Analisis Yuridis Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap Perusahaan Asing Dalam Bentuk Joint Venture Setelah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

(1)

TESIS

Oleh

RUBEN SIANIPAR

117011003/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RUBEN SIANIPAR

117011003/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : RUBEN SIANIPAR

Nomor Pokok : 117011003

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum) (Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum 2. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn


(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : RUBEN SIANIPAR

Nim : 117011003

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PEMBERIAN HAK GUNA USAHA

TERHADAP PERUSAHAAN ASING DALAM BENTUK

JOINT VENTURE SETELAH UNDANG UNDANG

NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :RUBEN SIANIPAR Nim :117011003


(6)

2013 kepada Perusahaan Asing dalam bentuk joint venture setelah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Dimana pengujian Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 terhadap Undang Undang Dasar 1945 telah di uji di Mahkamah Konstitusi. Dalam pelaksanannya perusahaan asing yang menerima Hak Guna Usaha wajib berkerja sama dengan Penanam Modal Dalam Negeri dalam bentuk joint venture sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.

Penelitian ini bersifat Preskriptif, karena mengambarkan gejala-gejala, fakta, aspek aspek serta upaya hukum terhadap pemberian Hak Guna Usaha terhadap Perusahaan Asing dalam bentuk joint venture setelah Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal di Indonesia, dan pendekatan yuridis normatif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa Prosedur Pemberian Hak Guna Usaha adalah atas permohonan pemohon untuk mengajukan atas Hak Guna Usaha kepada Pejabat yang berwenang Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan tembusan kepada kepala daerah, sebelum melakukan permohonan Hak Guna Usaha investor asing harus berupa badan hukum Indonesia atau Perseroan Terbatas dimana investor asing wajib melakukan joint venture dengan Penanam Modal dalam Negeri sesuai dengan peraturan yang berlaku. Perusahaan asing sebagai pemohon terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan yang berisi tentang data diri pemohon dan Permohonan Hak Guna Usaha, setelah itu maka Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional melakukan proses pemberian/penerbitan surat keputusan Hak Guna Usaha dan setelah pemohon menerima kutipan surat keputusan Pemberian hak Guna Usaha tersebut, maka pemohon diwajibkan untuk segera memenuhi kewajiban berupa uang pemasukan kepada negara dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Disarankan kepada Kepala Badan pertanahan dan instansi instansi yang berkaitan dalam pemberian Hak Guna Usaha terhadap perusahaan asing harus melihat apakah pemberian Hak Guna Usaha memberikan kesejahteraan kepada Rakyat.


(7)

the form of joint venture after Law No. 25/2007, in which the examination of Law No. 25/2007 on the 1945 Constitution has been taken in the Constitutional Court. In its implementation, a foreign company which receives Leasehold is required to collaborate with Domestic Investment in the form of joint venture, according to the prevailing rules in Indonesia.

The research was prescriptive with judicial normative approach since it described phenomena, facts, legal aspects, and legal remedy in giving Leasehold to a foreign company in the form of joint venture after Law No. 25/.2007 on Capital Investment in Indonesia was enacted.

The result of the research showed that the procedure in giving Leasehold on the request by applicants to obtain Leasehold to Head of the National Land Board is regulated in the Regulation of Head of the National Land Board, with a copy to Regional Chief Executive. Before requesting Leasehold, a foreign investor is required to be an Indonesian legal entity or a Corporation in which it is required to perform joint venture with Domestic Investment according to the prevailing rules. A foreign company as an applicant is required to request in written form to Head of the Land Office by attaching his personal data and the Request for Leasehold. Head of the National Land Board then processes the issuance of the Decree of Leasehold and gives it to the applicant; after that, the applicant is required to immediately take a responsibility by paying an amount of money for State’s revenues and land and building acquisition fee.

It is recommended that Head of the National Land Board and the agencies concerned, in giving Leasehold to foreign companies, find out whether the giving of Leasehold had the benefit for the people.


(8)

menyelesaikan tesis ini dengan judul “Analisis Yuridis Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap Perusahaan Asing Dalam Bentuk Joint Venture Setelah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (MKn) Universitas Sumatera Utara. Keberhasilan dalam penulisan tesis diperoleh dengan melalui beberapa proses, dimana dalam proses penulisan sampai dengan selesai tidak terlepas dari peran para pihak yang turut serta dalam memberi arahan, bimbingan, saran, kritik dan motivasi. Sehingga pada kesempatan yang berbahagia ini, Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K) Rektor Universitas Sumatera Utara atas sarana dan fasilitas kampus yang mendukung Penulis dalam mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) dan Komisi Pembimbing saya, dimana selama masa kepemimpinannya telah menciptakan dan menjamin terlaksananya proses belajar mengajar dengan baik dan membimbing saya dengan penuh perhatian memberikan arahan, saran, kritik maupun motivasi sehingga tesis dapat diselesaikan dengan baik.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., SH, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) sekaligus sebagai Dosen Penguji, yang telah banyak memberikan arahan, saran dan kritik yang sangat membantu dalam penulisan tesis ini.


(9)

5. Dosen Bapak Prof. Dr. Suhaidi., SH, M.H selaku dosen Pembimbing yang telah dengan penuh perhatian memberikan arahan, saran, kritik maupun motivasi sehingga tesis dapat diselesaikan dengan baik.

6. Bapak Notaris Dr. H. Syahril Sofyan, SH, MKn selaku Dosen Penguji yang telah banyak memberikan arahan, saran dan kritik yang sangat membantu dalam penulisan tesis ini.

7. Orangtua Penulis, Almarhun Efendi Sianipar dan Rosmada Hutagaol yang dengan perhatian penuh dan tidak pernah bosan memberikan motivasi, saran dan doanya yang sangat membantu Penulis khususnya pada saat Penulis mengalami kesulitan dan kebuntuan.

8. Abang penulis Afpin Prabowo Sianipar ST, kakak ipar Penulis Rila Sari Ginting SH, adik Penulis Sri Maria Sianipar Amd dan Nadia Hartati Sianipar, serta teman dekat wanita Penulis Ns.Rusmita Silaban, S.Kp. yang juga telah memberikan dorongan semangat dan doa kepada Penulis.

9. Rekan-rekan Program Magister Kenotariatan sekalian, khususnya Stambuk 2011 yang telah bersama-sama dengan Penulis mengikuti pendidikan sejak awal, kiranya hubungan baik yang sudah terjalin selama ini akan tetap terjalin untuk selanjutnya.

10. Sahabat Penulis Tigor Sinambela SH, Rismanto Panjaitan SE, Simon Simbolon SH dan Samson Marpaung yang memberikan semangat dan motivasi.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna dan memiliki kekurangan, akan tetapi Penulis berharap penulisan tesis ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Hormat saya,


(10)

Nama : Ruben Sianipar

Tempat/ Tanggal Lahir : Rantauprapat/25 mei 1987

Status : Belum Kawin

Alamat : Jl.Cempaka 12,Padang bulan Medan

II. ORANG TUA

Nama Ayah : Almarhum Efendi Sianipar

Nama Ibu : Rosmada Hutagaol

III. PENDIDIKAN

SD : SD Swasta Methodist 2 Rantauprapat Tamat Tahun 1999 SLTP : SLTP RK Bintang Timur Rantauprapat Tamat Tahun 2002 SMU : SMU Negeri I Rantauprapat Tamat Tahun 2005

S1 : Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Tamat Tahun 2010 S2 : Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU Tamat


(11)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR ISTILAH ASING ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Keaslian Penelitian ... 16

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Konsepsi ... 23

G. Metode Penelitian ... 25

1. Spesifikasi Penelitian ... 25

2. Teknik Pengumpulan Data ... 25

3. Bahan Data ... 26

4. Alat Pengumpulan Data ... 27

5. Analisis Data ... 28

BAB II PROSEDUR PEMBERIAN HAK GUNA USAHA TERHADAP PERUSAHAAN ASING DIINDONESIA SETELAH UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TELAH MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PERUSAHAAN ASING ... 29


(12)

C. Konsekwensi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-V/2007 22/PUU-V/2007.Perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 Terhadap

Undang-Undang Dasar... 57

BAB III PROSEDUR BERDIRINYA PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL SETELAH UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG PENANAMAN MODAL ... 61

A. Pengertian Joint Venture pada Perusahaan Penanaman Modal ... 61

B. Tata Cara Penanaman Modal di Indonesia... 73

C. Prosedur Pendirian Perusahaan Penanaman Modal Setelah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal ... 79

BAB IV KENDALA KENDALA YANG DIHADAPI PERUSAHAAN ASING PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN 2007... 84

A. Kendala Dalam Penerapan Undang-Undang Penanaman Modal ... 84

B. Kendala Perizinan Penanaman Modal . ... 90

C. Kendala Dalam Kerjasama Penanaman Modal ... 94

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 101


(13)

(inevitable)Tidak dapat dihindarkan (law enforcement)Penegakan hukum (investasi) Penanaman modal

(home work)Pekerjaan rumah

(differensiated welfare state)Negara kesejahteraan terdifereniasi (integrated welfare state)Negara kesejahteraan yang terintergrasi (corporatist welfare state)Negara kesejahteraan yang koorporatis (welfare state modern)Negara kesejahteraan modern

(bestuurzorg)Kesejahteraan umum (public service)Pelayanan publik (library research)Penelitian kepustakaan

(friess ermessen doelmatige) Keputusan pemerintah dianggap paling baik (rechtmatige) berdasarkan hukum

(bargaining position)Posisi tawar

(direct investment) Investasi secara langsung (portofolio investment)Investasi portofolio (law of contract) Hukum perjanjian

( choice of law)pilihan hukum (skill)kemampuan

(joint venture company) Perusahaan patungan (nachwalkerstaats)Penjaga malam

(fairness)Keadilan

(recent death coral)koral mati dari alam (repatriasi)Pengiriman

(doelmatige)Sesuai dengan tujuan (project proposal)Proposal proyek

(domestic countervailing power)Pembatasan kekuasaan pemodal dalam negeri (capital gain)Surat berharga


(14)

2013 kepada Perusahaan Asing dalam bentuk joint venture setelah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, Dimana pengujian Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 terhadap Undang Undang Dasar 1945 telah di uji di Mahkamah Konstitusi. Dalam pelaksanannya perusahaan asing yang menerima Hak Guna Usaha wajib berkerja sama dengan Penanam Modal Dalam Negeri dalam bentuk joint venture sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.

Penelitian ini bersifat Preskriptif, karena mengambarkan gejala-gejala, fakta, aspek aspek serta upaya hukum terhadap pemberian Hak Guna Usaha terhadap Perusahaan Asing dalam bentuk joint venture setelah Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal di Indonesia, dan pendekatan yuridis normatif.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa Prosedur Pemberian Hak Guna Usaha adalah atas permohonan pemohon untuk mengajukan atas Hak Guna Usaha kepada Pejabat yang berwenang Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan tembusan kepada kepala daerah, sebelum melakukan permohonan Hak Guna Usaha investor asing harus berupa badan hukum Indonesia atau Perseroan Terbatas dimana investor asing wajib melakukan joint venture dengan Penanam Modal dalam Negeri sesuai dengan peraturan yang berlaku. Perusahaan asing sebagai pemohon terlebih dahulu mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan yang berisi tentang data diri pemohon dan Permohonan Hak Guna Usaha, setelah itu maka Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional melakukan proses pemberian/penerbitan surat keputusan Hak Guna Usaha dan setelah pemohon menerima kutipan surat keputusan Pemberian hak Guna Usaha tersebut, maka pemohon diwajibkan untuk segera memenuhi kewajiban berupa uang pemasukan kepada negara dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.

Disarankan kepada Kepala Badan pertanahan dan instansi instansi yang berkaitan dalam pemberian Hak Guna Usaha terhadap perusahaan asing harus melihat apakah pemberian Hak Guna Usaha memberikan kesejahteraan kepada Rakyat.


(15)

the form of joint venture after Law No. 25/2007, in which the examination of Law No. 25/2007 on the 1945 Constitution has been taken in the Constitutional Court. In its implementation, a foreign company which receives Leasehold is required to collaborate with Domestic Investment in the form of joint venture, according to the prevailing rules in Indonesia.

The research was prescriptive with judicial normative approach since it described phenomena, facts, legal aspects, and legal remedy in giving Leasehold to a foreign company in the form of joint venture after Law No. 25/.2007 on Capital Investment in Indonesia was enacted.

The result of the research showed that the procedure in giving Leasehold on the request by applicants to obtain Leasehold to Head of the National Land Board is regulated in the Regulation of Head of the National Land Board, with a copy to Regional Chief Executive. Before requesting Leasehold, a foreign investor is required to be an Indonesian legal entity or a Corporation in which it is required to perform joint venture with Domestic Investment according to the prevailing rules. A foreign company as an applicant is required to request in written form to Head of the Land Office by attaching his personal data and the Request for Leasehold. Head of the National Land Board then processes the issuance of the Decree of Leasehold and gives it to the applicant; after that, the applicant is required to immediately take a responsibility by paying an amount of money for State’s revenues and land and building acquisition fee.

It is recommended that Head of the National Land Board and the agencies concerned, in giving Leasehold to foreign companies, find out whether the giving of Leasehold had the benefit for the people.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara historis keberadaan penanaman modal asing di Indonesia sebenarnya bukan merupakan fenomena yang baru, mengingat modal asing sudah hadir di Indonesia sejak zaman kolonial dahulu. Namun tentunya kehadiran penanaman modal asing pada masa kolonial berbeda dengan masa setelah merdeka, karena tujuan dari penanaman modal asing dimasa pada masa kolonial tentu didedikasikan untuk kepentingan pihak penjajah dan bukan untuk kesejahteran bangsa Indonesia.1

Sejarah penanaman modal asing di Indonesia tidak terlepas dari awal dilakukan perdangangan internasional di Indonesia pada sekitar tahun 1511, dimana pada saat itu para pedagangan komoditas rempah rempah yang mempunyai nilai sangat strategis pada masa itu. Kegiatan perdagangan internasional tersebut berkembang terus menjadi kegiatan yang bersifat kolonialisme di wilayah Indonesia, bukan saja oleh bangsa Portugis, tetapi juga oleh bangsa-bangsa lainnya, yaitu Belanda (tahun 1596-1795) selanjutnya tahun (1816-1942), Perancis (tahun 1795-1811), Inggris (tahun1811-1816) dan Jepang (tahun 1942-1945)2.

1

David Kairupan, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia, Jakarta: Kencana, hlm. 1

2

Boedi Harsono, Hukum agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, danPelaksanannya, Cet.9, Jakarta:Djambatan, hlm. 35-40


(17)

Pada masa awal penjajah kehadiran multinational company seperti verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dalam kegiataan perdagangan rempah-rempah di Indonesia juga memiliki peran yang sangat penting, khususnya dalam merepresentasikan kepentingan kerajaan belanda. Selanjutnya, kegiatan penanaman modal asing di zaman kolonialisme juga semakin berkembang agresif sejak diundangkan Agrarische wet pada tahun 1870 oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, yang ditandai dengan berkembang usaha-usaha perkebunan besar di wilayah Indonesia.

Peningkatan penanaman modal asing di Indonesia tidak datang dengan sendirinya. Hal itu memerlukan kerja keras untuk dapat menciptakan ikilm investasi yang kondusif. Salah satu isu klasik yang sangat signifikan dalam menciptakan iklim investasi yang kodusif di Indonesia adalah masalah penegakan hukum (law enforcement),disamping masalah masalah lainnya, seperti keterbatasan infrastruktur, keamanan, dan stabilitas sosial politik. Dalam melakukan penegakan hukum terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu: Kepastian Hukum, Kemanfaatan, dan Keadilan, yang harus berjalan secara harmonis3

Apabila penegakan hukum hanya memperhatikan kepastian hukum semata, maka pelaksanannya dapat mengabaikan keadilan serta kemanfaatannya dimasyarakat begitu pula sebaiknya apabila salah satu unsur tersebut terlalu lalu diutamakan, maka pelaksanannya dapat mengabaikan unsur-unsur lainnya.

3

Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cet 5, Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm. 160-260


(18)

Dengan luas lahan yang masih tersedia partisipasi modal dalam negeri belum cukup memadai, jika tidak didukung modal asing. Potensi yang ada dalam negeri masih memerlukan dukungan moral, tenaga dan skill dari luar negeri. Namun demikian kebijaksanan pemanfaatan modal dari luar negeri harus tetap memperhatikan batas batas yang tidak sampai bertentangan dengan tujuan pembangunan itu sendiri.

Hak Guna Usaha (HGU) merupakan hak atas tanah yang bersifat primer yang memiliki spesifikasi-spesifikasi tertentu.4 Spesifikasi hak guna usaha tidak besifat terkuat dan terpenuh.

Hukum investasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hukum agraria karena setiap investor, terutama investor asing, diberikan hak untuk menggunakan hak atas tanah di Indonesia. Namun, dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditentukan jangka waktu pengguna hak atas tanah. Hak atas tanah yang dapat digunakan investor, seperti HGU, HGB, dan Hak Pakai, Hak Guna Usaha (HGU) dapat diberikan dengan jumlah 95 tahun, dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang dimuka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbaharui selama 35 tahun. Hak Guna Bangunan (HGB) dapat diberikan dengan jumlah 80 tahun, dengan cara dapat diberikan dan di perpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun dan dapat diperbaharui selama 30 tahun. Hak Pakai (HP) dapat diberikan dengan jumlah 70 tahun. Dengan cara dapat


(19)

diberikan dan di perpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbaharui selama 25 tahun.5

Namun pada tanggal 17 Maret 2008 diputuskan dalam rapat permusyawaratan hakim konstitusi dibatalkan disebabkan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sehingga Pasal 22 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 dimaksud menjadi berbunyi:

1. Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf (a) dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbaruhi kembali atas penanam modal.

2. Hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: a) Penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan

perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing;

b) Penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiataan penanaman modal yang dilakukan;

c) Penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; d) Penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah Negara;

e) Penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum;

3. Hak atas tanah dapat diperbaruhi setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.

4. Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbaruhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dihentikan dan dibatalkan oleh pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan.6

Undang-Undang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007 tidak mengatur mengenai bentuk kerja sama penanaman modal asing. Namun, karena dalam

5

Dalam Pasal 22 UUPM 2007

6

http://www.Risalah Sidang Perkara nomor 21/PPU-V/2007.com diakses pada tanggal 16 mei 2013 pukul 20:53


(20)

kaitannya dengan penanaman modal asing dilakukan dalam bentuk-bentuk kerja sama tertentu, pembahasan mengenai hal tersebut tidaklah dapat ditinggalkan Apalagi dalam era globalisasi di mana di dalamnya terdapat liberalisasi perdagangan dan investasi, kehadiran bentuk kerja sama dalam menjalankan usaha sangatlah dibutuhkan demi kelangsungan usaha.7 Terutama dalam bidang penanaman modal asing, di mana perkembangan kerjasama dengan pihak asing dengan Negara Indonesia baik dengan pihak pemerintah maupun dengan pihak swasta sangatlah penting terutama dalam kaitannya dengan alih teknologi dan alih keterampilan.

Bentuk kerjasama tersebut tidak terbatas kepada kerja sama dagang, tetapi juga kerja sama dibidang penanaman modal, baik untuk sektor jasa, perdagangan, maupun sektor industri.

Menurut Ismail Suny,8 bentuk kerja sama berdasarkan klasifikasi dan/atau alasan-alasan tertentu, baik politas maupun ekonomis adalah sebagai berikut:

1) Kerja sama dalam bentuk joint venture. Dalam hal ini para pihak tidak membentuk suatu badan hukum yang baru (badan hukum Indonesia).

2) Kerja sama dalam bentuk joint enterprise. Di sini para pihak bersama-sama dengan modalnya (modal asing dan modal nasional) membentuk badan hukum baru, yakni badan hukum Indonesia.

3) Kerja sama dalam bentuk kontrak karya, serupa dengan perjanjian kerja sama dalam bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Dalam bentuk kerja sama tersebut, pihak asing(investorasing) membentuk badan hukum Indonesia. Badan hukum Indonesia dengan modal asing inilah yang menjadi pihak pada perjanjian tersebut, sedangkan pihak lainnya adalah badan hukum Indonesia dengan modal nasional.

7

Ruchyat, Kedudukan Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal, Jakarta, Bina cipta, hlm. 20. 8

Ismail Sunny, Tinjauan dan Pembahasan Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976,hlm. 108


(21)

Penanaman modal asing harus sejalan dengan program pembangunan nasional yang mengutamakan sektor-sektor produksi yang belum mencukupi kebutuhan dalam negeri yang memperluas ekspor dengan tidak mengabaikan kepentingan rakyat dan perkembangan perusahaan nasional. PMA harus benar benar memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan memberikan hak atas tanah kepada perusahaan, yang luasnya cukup besar harus melibatkan beberapa instansi. Hal ini diperlukan untuk mencegah timbulnya penggunaan dan penguasaan tanah yang tumpang tindih, demikian pula perlu dihindari apa yang diharapkan dari PMA dengan apa yang terjadi dilapangan. Seperti pemberian hak guna usaha bisa aja melibatkan Dinas Perkebunan, Pemerintah Daerah, Badan Pertanahan Nasional, Departemen Kehutanan, Kependudukan dan Lingkungan Hidup, dan sebagainya.

PMA yang melaksanakan usahanya di Indonesia dengan mempergunakan tanah hak guna usaha, harus diberikan syarat syarat tertentu seperti9

1. Bentuk perusahaan 2. Lama perusahaan 3. Jumlah investasi

4. Pemanfaatan tenaga kerja 5. Daerah/tempat berusaha 6. Jenis usaha

7. Jangka waktu penggunaan tanah

8. Syarat-sayarat teknis dan juridis lainnya.

Pembangunan yang diinginkan bangsa Indonesia adalah pembangunan yang berorintasi kepada kepentingan rakyat banyak. Pembanguna harus dapat

9

Chadidjah Dalimunte, Suatu Tinjauan Tentang Pemberian Hak Guna Usaha Dalam Rangka Penanaman Modal Asing, Medan Usu Press, 1994.hlm. 7


(22)

mengantarkan Rakyat Indonesia ketingkat yang lebih baik. Dalam pemanfaatan tanah untuk usaha pertanian harus tetap dijaga keseimbangan produksi tanah dan kelestarian alam dan lingkungan serta kelestarian dan keseimbangan secara keseluruhan.

Kekayaan alam, baik yang ada dipermukaan ataupun yang terkandung didalamnya yang merupakan kekuatan ekonomi potensial, terdapat banyak diseluruh tanah air. Kekuatan ekonomi potensial ini masih banyak yang belum diolah untuk dijadikan kekuatan ekonomi riil. Karena tidak tersedianya modal, keahlian, pengalaman dan teknologi. Kebijaksanaan pemanfaatan modal asing, harus mempertimbangkan segala aspek, terutama aspek sosialnya, agar jangan sampai menimbulkan hal hal yang dapat merugikan Rakyat yang rata-rata masih termasuk ekonomi lemah.

Dalam rangka meningkatkan gairah dan iklim investasi, pemerintah memberikan fasilitas hak atas tanah kepada modal asing. Hal ini diatur dalan Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 tentang Pemanfaatan Tanah Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan Untuk Usaha Patungan dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Keputusan ini menyebutkan bahwa, hak guna usaha dalam rangka penanaman modal asing di pegang oleh peserta Indonesia atas nama badan hukum peserta Indonesia dalam usaha patungan yang bersangkutan. Jika dalam usaha patungan terdapat lebih dari satu peserta Indonesia, maka hak guna usaha diberikan atas nama salah satu dari peserta tersebut. Permohonan untuk memperoleh hak guna usaha harus


(23)

diajukan oleh peserta Indonesia yang dapat diperoleh dalam jangka waktu 35 tahun dengan kemungkinan diperpanjang paling lama menjadi 60 tahun.

Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 dicabut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1992 tentang Pemanfaatan Tanah Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan Untuk Usaha Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Dalam Pasal 1 ayat (4) disebutkan bahwa, hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun sepanjang perusahaan yang bersangkutan masih menjalankan usahanya dengan baik dan dapat diperbaharui.

Selanjutnya, Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha yang dipegang oleh perusahaan patungan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa, dalam hal perusahaan patungan memerlukan tanah untuk keperluan bangunan pabrik, gudang, perumahan karyawan dan bangunan-bangunan lainnya, maka kepada usaha patungan tersebut dapat diberikan hak guna bangunan atas tanah yang bersangkutan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan ketentuan tanah yang dimohon tersebut terletak di luar areal yang sudah ada Hak Guna Usahanya.

Pelaksanaan lebih lanjut mengenai hak guna usaha ini telah ada sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah. Diketahui bahwa pemberian hak atas tanah berkaitan dengan subjek dan objek serta proses yang terjadi dalam pemberian hak tersebut, termasuk dalam pemberian HGU. Menyangkut subjek HGU,


(24)

diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, dinyatakan bahwa: yang dapat mempunyai Hak Guna Usaha adalah: (a) warga Negara Indonesia; (b) badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 di atas, Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetiarto10 mengatakan bahwa di Indonesia diperlukan sistem inkorporasidan juga prinsip legal seat dan real seat (tempat kedudukan menurut hukum atau menurut keadaan sebenarnya).

Menyangkut tanah yang dapat diberikan dengan HGU telah diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, sebagai berikut:

1) Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah Negara.

2) Dalam hal tanah yang akan diberikan dengan HGU itu adalah tanah Negara yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian HGU dapat dilakukan setelah tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan.

3) Pemberian HGU atau tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, pelaksanaan ketentuan HGU tersebut baru dapat dilaksanakan setelah pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4) Dalam hal diatas tanah yang akan diberikan dengan HGU itu terdapat tanaman dan/ atau bangunan milik pihak lain yang berkeberadaanya berdasarkan atas hak yang sah, pemilik bangunan dan tanaman tersebut diberi ganti kerugian yang dibebankan pada pemegang HGU baru.

5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian ganti rugi sebagaiman dimaksud dalam ayat (4), ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Dalam pemberian HGU kepada perorangan dan badan hukum, maka hal ini sangat berkaitan pula dengan luas tanah yang akan diberikan HGU tersebut.

10

Sudargo Gautama & Ellyda T. Soetiarto,Komentar Atas Peraturan-Peraturan Pokok Undang-Undang Pokok Agraria 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, Hak Tanggungan, Rumah Tinggal Untuk Orang Asing dan Rumah Susun,Bandung, Citra Aditya Bahkti, 1997. Hlm. 3


(25)

Hal ini sesuai ketentuan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dinyatakan sebagai berikut.

1) Luas minimum tanah yang dapat diberikan dengan HGU adalah 5 hektar.

2) Luas maksimum yang dapat diberikan dengan HGU kepada perorangan adalah 25 hektar.

3) Untuk penetapan luas tanah yang akan diberikan kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwewenang di bidang usaha yang bersangkutan dengan mengingat luas yang diperlukan untuk melaksanakan suatu usaha yang paling berdaya guna di bidang yang bersangkutan.

Dalam kenyataanya, HGU merupakan hak atas tanah yang mengalami perkembangan pesat. Hai ini dipengaruhi oleh perkembangan dunia usaha (bisnis) yang begitu pesat, seiring dengan adanya kebijakan pemerintanh yang memberi rangsangan terhadap pengembangan usahaagrobisnisdanagroindustri.

Dalam hal mengembangkan usaha-usaha dalam sektor agrobisnis dan agroindustri dimaksud, maka salah satu persyaratan yang harus tersedia adalah adanya tanah luas yang mendukung lokasi usaha tersebut. Adanya pengaturan HGU ini telah memberikan kemudahan kepada pemegang HGU untuk melakukan perpanjangan apabila jangka waktu HGU telah (akan) berakhir.

Perlu diperhatikan bahwa, pemberian HGU atau HGB sekaligus antara perpanjangan dengan pembaruannya, tidak berarti mengubah ketentuan dalam UUPA, yang diberikan adalah jaminan Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGU kepada Negara sesudah HGU tersebut hapus untuk diperpanjang dan/atau diperbaharui dan sebelum perpanjangan atau pembaruan itu diberikan, akan dievaluasi apakah syarat-syarat yang ditentukan dalam pemberian haknya dipenuhi


(26)

Apabila syarat-syarat ternyata dipenuhi, maka tata cara perpanjangan atau perbaruan hak disederhanakan, yaitu cukup dengan cara mencatat perpanjangan dan pembahruan tersebut dalam buku tanah dan sertifikat hak atas tanah.

Undang-Undang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007 tidak mengatur mengenai bentuk kerja sama penanaman modal asing. Namun, karena dalam kaitannya dengan penanaman modal asing dilakukan dalam bentuk-bentuk kerja sama tertentu, pembahasan mengenai hal tersebut tidaklah dapat ditinggalkan Apalagi dalam era globalisasi di mana di dalamnya terdapat liberalisasi perdagangan dan investasi, kehadiran bentuk kerja sama dalam menjalankan usaha sangatlah dibutuhkan demi kelangsungan usaha,11 Terutama dalam bidang penanaman modal asing, di mana perkembangan kerjasama dengan pihak asing dengan Negara Indonesia baik dengan pihak pemerintah maupun dengan pihak swasta sangatlah penting terutama dalam kaitannya dengan alih teknologi dan alih keterampilan.

Bentuk kerjasama tersebut tidak terbatas kepada kerja sama dagang, tetapi juga kerja sama dibidang penanaman modal, baik untuk sektor jasa, perdagangan, maupun sektor industri.

Bentuk kerja sama dalam kaitannya dengan penanaman modal dilakukan dalam bentuk joint venture, joint enterprise, kontrak production sharing, dan lain-lain, dimana bentuk-bentuk kerjasama tersebut memiliki perbedaan, keunggulan, dan kekurangan masing-masing.


(27)

Menurut Ismail Suny12, bentuk kerja sama berdasarkan klasifikasi dan/atau alasan-alasan tertentu, baik politas maupun ekonomis adalah sebagai berikut:

1 Kerja sama dalam bentuk joint venture. Dalam hal ini para pihak tidak membentuk suatu badan hukum yang baru (badan hukum Indonesia).

2 Kerja sama dalam bentuk joint enterprise. Di sini para pihak bersama-sama dengan modalnya (modal asing dan modal nasional) membentuk badan hukum baru, yakni badan hukum Indonesia.

3 Kerja sama dalam bentuk kontrak karya, serupa dengan perjanjian kerja sama dalam bidang pertambangan minyak dan gas bumi. Dalam bentuk kerja sama tersebut, pihak asing (investor asing) membentuk badan hukum Indonesia. Badan hukum Indonesia dengan modal asing inilah yang menjadi pihak pada perjanjian tersebut, sedangkan pihak lainnya adalah badan hukum Indonesia dengan modal nasional.

Masalah pembenahan proses perizinan penanaman modal diIndonesia merupakan pekerjaan rumah (home work) yang tampaknya tidak pernah selesai dikerjakan dengan baik. Birokrasi perizinan usaha sering kali bahkan menimbulkan biaya tinggi dalam dunia usaha, dikarenakan adanya biaya-biaya tidak resmi dalam pengurusan perizinan usaha tersebut. Hal ini tentu sangatlah memengaruhi iklim investasi di Indonesia, dimana sering kali survei-survei yang dilakukan menunjukkan bahwa ternyata melakukan suatu kegiataan usaha yang proses pengurusannya dari segi waktu serta biaya masih terbilang tidak efisien dan sangat birokratis.13

Bagi Indonesia, kegiatan penanaman modal/investasi langsung, baik dalam bentukinvestasi asing maupun investasi dalam negeri mempunyai kontribusi secara langsung bagi pembangunan. Penanaman modal akan semakin mendorong pertumbuhan ekonomi, ahli teknologi dan pengetahuan, serta menciptakan lapangan

12

Ibid,hlm. 7 13


(28)

kerja baru untuk mengurangi angka pengangguran dan mampu meningkatkan daya beli masyarakat. Pertumbuhan ekonomi yang hanya mampu pada konsumsi akan berjalan lambat pada akhirnya akan memunculkan persoalan peningkatan angka pengangguran yang tentunya akan berimbas pada meningkatnya jumlah mayarakat miskin dan berimbas pada terciptanya in-stabilitas politik dan keamanan.

Atas dasar hal tersebut, hal yang menjadi suatu keharusan yang tidak dapat dipungkiri dan dihindari adalah upaya untuk mendorong investasi harus dilakukan. Hanya dengan mendoronginvestasi, maka pertumbuhan ekonomi dapat terus dipacu yang pada akhirnya diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja, mengurangi pengangguran, dan mengentaskan kemiskinan.14

berdasarkan uraian tersebut diatas maka dapat di ambil sebuah kesimpulan bahwa kegiataan yang menyangkut Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap perusahaan Asing Dalam BentukJoint Venture Setelah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, sehingga perlu pengembangan yang lebih mendalam yang terkait dengan bagaimana mengetahui kebutuhan kebutuhan dan masalah masalah yang ada di Indonesia sehingga investor melakukan penanaman modal. Oleh karena hal tersebutlah yang menjadi dasar pemikiran untuk melakukan analisisi yuridis lebih lanjut mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap Perusahaan asing yang dilakukan oleh pemerintah serta

14

Dhaniswara K. Harjono,Hukum Penanaman Modal, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2007. hlm. 58


(29)

dampak dampaknya yang dirasakan oleh masyarakat, terutama oleh orang asing yang melakukan penanaman modal asing di Indonesia.

Dan karenanya, dalam hal ini sangat menarik sekali untuk melakukan penelitian mengenai bentuk, “Analisis Yuridis Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap Perusahaan Asing Dalam Bentuk Joint Venture Setelah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal “

Isu hukum inilah yang menjadi fokus penelitian ini dan itulah sebabnya perlu dilakukan penelitian terhadap Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap perusahaan Asing Dalam BentukJoint Venture Setelah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dalam mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1 Apakah Prosedur Pemberian Hak Guna Usaha terhadap Perusahaan Asing di Indonesia setelah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 telah memberikan kepastian hukum terhadap Perusahaan Asing di Indonesia?

2 Bagaimanakah Prosedur berdirinya Perusahaan Penanaman Modal setelah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal?

3 Bagaimana kendala-kendala yang dihadapi Perusahaan Asing di Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 ?


(30)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan tesis ini adalah ;

1. Untuk mengetahui dan menganalisis prosedur Pemberian Hak Guna Usaha kepada Perusahaan Penanaman Modal di Indonesia setelah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis Prosedur berdirinya suatu Perusahaan Penanaman Modal setelah Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala kendala yang dihadapi perusahaan asing di Indonesia Pasca Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007. D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu :

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi maupun masyarakat umum dan dapat memberi manfaat guna menambah khasanah ilmu hukum dan hukum bisnis secara khusus juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan Undang Undang nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.


(31)

a) Sebagai pedoman masukan bagi pemerintah dalam menetukan kebijakan maupun regulasi dalam menyusun peraturan pelaksana lebih lanjut terkait pelaksanaan Penanaman Modal asing.

b) Sebagai informasi bagi praktisi bisnis (para pelaku usaha, pemegang saham dan komisaris) dan investor untuk memahami peraturan penanaman modal dan pelaksanaannya.

c) Memberikan pemahaman yang dianggap tepat bagi masyarakat agar memahami perusahaan asing dan penanaman modal di Indonesia.

d) Sebagai bahan kajian bagi para akademisi untuk pengembangan lebih lanjut mengenai hal hal tentang penanaman modal di Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya dilingkungan universitas sumatera utara umumnya dan kepustakaan kenotariatan universitas sumatera utara, penelitian mengenai “Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap Perusahaan Asing Dalam BentukJoint Venture setelah Undang Undang nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal” belum pernah dilakukan penelitian.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis sipenulis mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi


(32)

sipembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya. Ini merupakan masukan eksternal bagi peneliti15.

Teori itu sendiri adalah serangkaian proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan atau suatu gejala.16

Sementara itu teori menurut Kerlinger adalah “A set of interrelated constructs (concepts), definitions, and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explaining predicting the phenomena”17 (Jadi teori adalah seperangkat proposisi yang berisi konstruksi (konsep abstrak) ataupun konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh satu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antara variabel tersebut).

Sedangkan fungsi teori dalam penelitian adalah untuk mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan “mengapa? Artinya teori merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesusaian dengan objek empiris untuk dapat dinyatakan benar. Didalam formulasi Radbruch,

15

M.Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm. 80

16

Duane R. monette, Thomas J.Sullivan, Cornell R. Deyong, Applied Social Research, New York, Cicago, Sanfrancisco: Holt, Rinehart and Winston, Inc. 1986, hlm. 2

17

F.N. Kerlinger, Foundation of Behavioral Research,New Yotk: Holt, Rinehart and Winston Inc, 1973, hlm. 9


(33)

tugas teori hukum adalah untuk membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya sehingga sampai pada dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.18

Berdasarkan pengertian teori dan fungsi serta daya kerja teori tersebut diatas dihubungkan dengan judul penelitian ini tentang Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap Perusahaan Asing Dalam Bentuk Joint Venture Setelah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, maka teori yang dipergunakan 3 (tiga) teori , yaitu

1,1 Teori Kesejahteraan Negara

Pada hakikatnya, Negara yang menganut paham kesejahteraan modern(welfare state modern)juga merupakan Negara hukum modern atau Negara hukum dalam arti materil yang selanjutnya dikenal dengan Negara kesejahteraan modern. Negara kesejahteraan ini lahir sebagai reaksi terhadap gagalnya konsep Negara hukum liberal dalam mewujudkan kesejahteraan warganya. Ajaran Negara hukum liberal berpandangan bahwa, fungsi Negara harus dibatasi secara minimal, sehingga kebebasan penguasa untuk melakukan tindakan sewenang-wenang.

Konsep Negara kesejahteraan, selain mengharuskan setiap tindakan Negara berdasarkan hukum juga Negara diberikan tugas dan tanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat. Ciri-ciri Negara kesejahteraan adalah sebagai berikut.19

18

W. Friedmann, Legal Teory: Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Susunan I,Terjemahan: Mohamad Arifin, Jakarta: CV. Rajawali. 1984 ,hlm. 2

19

Mustamin Dg. Matutu, Selayang Pandang Tentang Tipe-Tipe Negara Modern, Makasar, Orasi Ilmiah Fakultas Hukum Unhas, 1992. hlm. 16-20


(34)

a) Dalam Negara kesejahteraan yang diutamakan adalah terjaminnya hak-hak asasi sosial ekonomi rakyat.

b) Pertimbangan-pertimbangan efisiensi dan manajemen lebih diutamakan daripada pembagian kekuasaan yang berorientasi politis, sehingga peranan eksekutif lebih besar daripada legislatif

c) Hak milik tidak bersifat mutlak

d) Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan atau sekedar penjaga malam, melainkan Negara turut serta dalam usaha-usaha sosial dan ekonomi

e) Peranan hukum publik condong mendesak hukum privat, sebagai konsekuensi semakin luasnya peranan Negara

f) Lebih bersifat Negara hukum materil yang mengutamakan keadilan yang materil pula.

Konsep Negara kesejahteraan dalam perkembangannya dibedakan antara Negara kesejahteraan terdifereniasi (differensiated welfare state) biasanya disebut sebagai Negara kesejahteraan (welfare state) saja dan Negara kesejahteraan yang terintegrasi(integrated welfare state) dikenal dengan Negara koorporatis (corporatist welfare state) sebagai pengembangan yang pertama.20

Dalam koorporasi, pemerintah bekerjasama dengan komunitas bisnis dan serikat pekerja dalam mengatur ekonomi dan mengintegrasikan kesejahteraan sosial ke dalam kebijakan ekonomi dan sosial yang menyeluruh.21 Idealnya Indonesia masuk dalam kategori Negara kesejahteraan yang koorporasi, karena didasarkan pada tujuan Negara yang terdapat dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang menekankan pada tanggung jawab Negara terhadap kesejahteraan rakyatnya.

20

Rames Mishra,The Welfare State in Crisis, Helfelster Wheatsheaf, 1984, hlm. 180

21

Irawan Suhartono,Negara Kesejahteraan Welfare State: Harapan atau Hayalan, Bandung, Al MizLemlit Unpas No. 125/Mei 2004. hlm. 3-6


(35)

Secara kontemporer, konsep Negara hukum yang banyak diterapkan adalah Negara kesejahteraan(welfare state, welvaarstaat)atausosiale rechsstaat.22

Dalam konsep Negara hukum modern, kapasitas tugas dan fungsi pemerintahan bukan lagi hanya sebagai penjaga malam (nachwalkerstaats), melainkan lebih luas dari itu. Pemerintah dalam hal ini diserahi tugas dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurzorg).23 Tugas Negara yang di lapangan adalah penyelanggaraan kesejahteraan umum untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, baik secara materil maupun secara spiritual dan dilakukan melalui public service (pelayanan publik). Pelayanan umum yang demikian luasya mencakup pelayanan dalam bidang pertanahan, termasuk pengaturan (Regulasi), pelaksanaan kewewenangan aparat pertanahan sampai pada penegak hukum pertanahan.

Esping-Andersen yang dikutip oleh Darmawan Triwibowo dan Sugeng Bahgijo,24 memberikan ruang lingkup yang tegas tentang Negara kesejahteraan, bahwa:

bukan hanya suatu mekanisme untuk melakukan intervensi terhadap atau mengkoreksi, struktur ketidaksetaraan yang ada, namun merupakan suatu sistem stratifikasi sosial yang khas. Negara kesejahteraan merupakan suatu kekuatan yang dinamis dalam penataan ulang relasi sosial.

22

DHM. Meuwissen, Pengembanan Hukum, Jurnal Projustitia, tahun XII No. 1, Januari 1994, hlm. 48

23

SF. Marbun dan Moh. Mahfud M, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, Liberty, 2004. hlm. 45

24

Sjachran Basah, Eksisten dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung, Spasi Alumni, 1985, hlm. 11


(36)

Selanjutnya Sunaryati Hartono25 menegaskan, bahwa Negara kesejahteraan adalah Negara hukum dalam arti materil, yaitu Negara hukum yang dapat membawa keadilan sesuai dan berdasar nilai-nilai Pancasila.

1.2 Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal-Pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim untuk kasus serupa yang telah diputus.26

Kepastian hukum adalah merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.27 Menurut Scheltema, adanya unsur-unsur dalam kepastian hukum, meliputi: 1) asas legalitas; 2) adanya undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang sedemikian rupa, sehingga warga dapat

25

Nisa Istiani, “Teori Ketergantungan (Dependency Theory) dan Teori Liberal (LiberalTheory)”, dalam Modul Hukum Investasi, dikumpulkan oleh Ridwan Khairandy, Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2006), hlm 260

26

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2008, hlm 158

27

Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1999, hlm. 145


(37)

mengetahui apa yang diharapkan; 3) undang-undang tidak boleh berlaku surut; 4) pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain28.

1.3 Teori Keadilan

John Rawls berpendapat, keadilan sebagai fairness,29 yang subjek utamanya adalah struktur dasar masyarakat, atau lebih tepatnya cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial. Dengan kata lain, keadilan sebagai fairness mengandung asas-asas, bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya, hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya, dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki30 Disatu sisi keadilan merupakan nilai yang mengarahkan setiap pihak untuk memberikan perlindungan atas hak-hak yang dijamin oleh hukum (unsur hak), sedangkan di sisi lain, perlindungan ini pada akhirnya harus memberikan manfaat kepada setiap individu (unsur manfaat).

Menurut Andre Ata Ujan, dalam membangun teori keadilan ini diharapkan mampu menjamin distribusi yang adil antara hak dan kewajiban dalam suatu masyarakat yang teratur. Kondisi ini dapat dicapai atau dirumuskan apabila ada

28

Ida Bagus Putu Kumara Adi Adnyana, Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, Malang: Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitar Brawijaya, 2010, hlm. 95

29

Jhon Rawls,A Theory of Justice,Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press, 1971, hlm. 3

30

E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Januari 2007, hlm. 99


(38)

kondisi awal yang menjamin berlangsungnya suatu proses yang fair yang disebut “posisi asali”, yaitu yang ditandai oleh prinsip kebebasan, rasionalitas dan kesamaan, atau yang disebut rasional dan sama-sama netral. Dengan kata lain posisi asali sebagai status quo awal yang menegaskan, bahwa kesepakatan fundamental dicapai secara fair.31 Dengan demikian kadilan berkaitan dengan hak. Hanya saja dalam konseptual keadilan, hak ini tidak dapat dipisahkan dengan pasangan antinominya, yaitu kewajiban. Seperti Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, dengan tegas mengamanatkan keserasian antara hak dan kewajiban sebagai manusia yang hidup dalam masyarakat. Keadilan hanya dapat tegak dalam masyarakat yang beradab, atau sebaliknya, hanya dalam masyarakat yang beradab keadilan dihargai. Jadi keadilan yang dimaksud adalah dalam konteks keseimbangan dari nilai-nilai antinomi yang ada yang meliputi semua bidang, baik dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Hanya dengan demikian akan dapat dipenuhi tujuan nasional, menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.32

2. Konsepsi

Berdasarkan kerangka teoritis yang telah diuraikan, maka perlu dikemukakan definisi secara operasional untuk menghindarkan adanya penafsiran yang berbeda dalam pelaksanaan penelitian ini, definisi istilah atau konsep berfungsi untuk

31

Andre Ata Ujan,Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls,Yogyakarta: Kanisius, cetakan ke-5, 2005, hlm. 25-26

32

Dardji Darmodihardjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, apa dan bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, cetakan kedua, 1996, hlm. 167


(39)

menyederhanakan arti kata atau pengertian tentang ide-ide, hal-hal dan kata benda-benda maupun gejala sosial yang dipergunakan, agar orang lain yang membacanya dapat segera memahami maksudnya sesuai dengan keinginan penulis yang memakai konsep tersebut, dengan jelasnya pengutaraan konsep atau definisi tersebut akan memperlancarkan komunikasi antara penulis dengan pembaca yang ingin mengetahui isi tulisan atau penelitian tersebut, maka perlu dikemukakan definisi operasional sebagai berikut :

a) Hak Guna Usaha merupakan hak atas tanah yang bersifat primer memiliki spesifikasi-spesifikasi tertentu.spesifikasi hak guna usaha tidak bersifat terkuat dan terpenuh dalam artian, hak guna usaha ini terbatas daya berlakunya, walaupun dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

b) Perusahaan Asing merupakan suatu perseroan terbatas yang didirikan berdasarkan Undang-Undang perseroan terbatas di Indonesia, dimana didalamnya terdapat unsur modal asing, tanpa memerhatikan besarnya modal asing tersebut dalam struktur permodalan suatu perseroan terbatas.33

c) Joint Ventureadalah suatu usaha kerja sama yang dilakukan antar penanaman modal asing dengan modal nasional semata-mata berdasarkan suatu perjanjian atau kontrak belaka (kontrak), dalam arti ini pengertian joint venture mengarah kepada pembentukan suatu badan hukum.

33


(40)

d) Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha diwilayah Republik Indonesia.

G. Metode Penelitian 1 Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Sifat penelitian ini adalah Preskriptif analisis yuridis. Dikatakan Preskriptif karena penelitian ini menguraikan atau mengambarkan secara sistematis, menyeluruh dan mendalam tentang landasan pemikiran tentang norma yang ada dibalik ketentuan Undang-Undang penanaman modal khususnya ketentuan mengenai pemberian hak guna usaha terhadap perusahaan asing. Dikatakan analisis yuridis karena dalam penelitian ini akan menguraikan, menjabarkan, dan menilai aspek hukum khususnya makna norma hukum yang berkaitan dengan Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap perusahaan Asing Dalam Bentuk joint Venture Setelah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal sehinnga dapat diketahui dasar pemberian hak guna usaha terhadap perusahaan asing.

2. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pemikiran konseptual dan penelitian yang telah dilakukan oleh pihak lain yang relevan dengan penelitian ini dengan menelaah dan menginventarisasi pemikiran atau pendapat.


(41)

3. Bahan Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari data sekunder, yaitu terdiri dari bahan sekunder, yaitu terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

a) Bahan hukum primer terdiri dari norma atau kaedah dasar sebagaimana yang terdapat pada :

1. Undang-Undang Dasar 1945.

2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing 6. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai

7. Peraturan Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 2 Tahun 2013 Tentang pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dan kegiatan pendaftaran tanah.

8. Peraturan Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 9 Tahun 1999 Tata Cara Pemberian hak atas tanah negara dan hak pengelolaan.


(42)

9. Kepala badan koordinasi penanaman modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang pedoman dan tata cara permohonan penanaman modal.

b) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum sepanjang relevan dan objek penelitian.

c) Bahan hukum tersier, bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus,majalah maupun internet.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehinga apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat terjadi. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat pengumpulan data. Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen.

Studi dokumen yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan-bahan kepustakan yang meliputi bahan hukum primer, bahan sekunder dan bahan hukum tertier.


(43)

5. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja yang disarankan oleh data.34

Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian, maka semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut katagori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian. Dengan menggunakan metode dedukatif ditarik suatu kesimpulan dari data yang telah selesai diolah tersebut yang merupakan hasil penelitian.

34


(44)

BAB II

PROSEDUR PEMBERIAN HAK GUNA USAHA TERHADAP PERUSAHAAN ASING DI INDONESIA SETELAH UNDANG-UNDANG NOMOR 25 TAHUN

2007 TELAH MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PERUSAHAAN ASING DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum tentang Penanaman Modal Di Indonesia dan Hak Guna Usaha

Sebelum penanaman modal khususnya penanaman modal asing mengaplikasikan modalnya terlebih dahulu harus melalui beberapa prosedur dan tata cara penanaman modal khususnya penanaman modal asing. Calon penanam modal yang akan mengadakan usaha dalam rangka penanaman modal asing harus mempelajari daftar bidang-bidang usaha yang tertutup. Selanjutnya penanam modal khususnya penanam modal asing dapat mengajukan permohonan penanaman modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dengan mengisi formulir yang telah ditetapkan oleh BKPM.

Sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 12 UU No. 25 Tahun 2007 yang pada pokoknya menyatakan bahwa pemerintah telah menetapkan perincian bidang-bidang usaha baik bidang-bidang usaha yang terbuka, bidang-bidang usaha yang tertutup, maupun bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Adapun Daftar Negatif Investasi (DNI) yang harus diperhatikan bagi penanam modal khususnya penanam modal asing diatur dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 jo Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 jo Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007 Tentang


(45)

Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Bidang usaha yang terbuka merupakan bidang usaha yang diperkenankan untuk ditanamkan investasi, baik oleh investor asing maupun investor domestik.35 Bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal.36Didalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditentukan daftar bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal, baik untuk investasi domestik maupun investasi asing, yang meliputi:37

1. Produksi senjata 2. Mesiu

3. Alat peledak 4. Peralatan perang

5. Bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan Undang-undang.

Tentang Penanaman Modal telah dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam Lampiran I Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 telah diatur secara rinci tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup.

35

Salim H. S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 54

36

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal

37


(46)

Ada dua puluh daftar bidang usaha yang tertutup, baik untuk investasi domestik maupun investasi asing. Kedua puluh daftar bidang usaha yang tertutup untuk investasi yaitu:38

1. Budidaya ganja

2. Penangkapan spesies ikan yang tercantum dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Spesies of wild Fauna and Flora (CITES) 3. Pemanfaatan (pengambilan) koral/karang dari alam untuk bahan

bangunan/kapur/kalsium dan souvenir/perhiasan, serta koral hidup atau koral mati(recent death coral)dari alam

4. Industri minuman mengandung alkohol (minuman keras, anggur dan minuman mengandung malt)

5. Industri pembuatchlor alkalidengan prosesmerkuri

6. Industri bahan kimia yang dapat merusak lingkungan seperti: 1) Halondan lainnya

2) Penta chlorophenol, dichloro diphenyl trichloro elhane (DDT), dieldri, chlordane, carbon tetra, chloride, methyl chloroform, methyl bromide, chloro fluoro carbon (CFC) 7) industri bahan kimia schedule I konvensi senjata kimia(sarin, soman, tabun mustard, levisite, ricine, saxitoxin, VX, dll)

7. Penyediaan dan penyelenggaraan terminal darat 8. Penyelenggaraan dan pengoperasian jembatan timbang 9. Penyelenggaraan pengujian tipe kendaraan bermotor 10. Penyelenggaraan pengujian berkala kendaraan bermotor 11. Telekomunikasi/sarana bantu navigasi pelayaran

12. Vassel Traffic Information System (VTIS) 13. Jasa pemandu lalu lintas udara

14. Manajemen dan Penyelenggaraan Stadion Monitoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit

15. Museum pemerintah

16. Peninggalan sejarah dan purbakala (candi, keratin, prasasti, bangunan kuno, dsb)

17. Pemukiman/lingkungan adat 18. Monument

19. Perjudian/Kasino

38

Lampiran I Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010, tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.


(47)

Daftar bidang usaha yang tertutup dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 ini jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan daftar bidang usaha yang dinyatakan tertutup dalam Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007, dimana pada Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2007 terdapat 23 bidang usaha yang dinyatakan tertutup. Hal ini dikarenakan terdapat tiga bidang usaha yang dikeluarkan dari daftar bidang usaha yang tertutup, yakni:

1. Objek ziarah, seperti: tempat peribadahan, petilasan, dan makam 2. Lembaga penyiaran publik radio dan televisi;

3. Industri siklamat dan sakarin.

Bidang usaha yang tertutup dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan non komersial seperti, penelitian dan pengembangan dan mendapat persetujuan dari sektor yang bertanggung jawab atas pembinaan bidang usaha tersebut.39

Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah , dan Koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yanga dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.40

39

Salim H. S. dan Budi Sutrisno,Op. Cit. hal. 56 40

Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal


(48)

Daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan ini telah ditentukan dalam Lampiran II Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman modal.

Adanya pengaturan dan penetapan bidang usaha bagi penanaman modal oleh pemerintah, tentunya harapan dari pemerintah untuk mengarahkan penanaman modal sesuai dengan rencana pembangunan nasional maupun dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan bangsa Indonesia. Untuk itu penentuan bidang usaha bagi penanaman modal khususnya penanaman modal asing sangat wajar dan sesuai dengan landasan dan dasar untuk mengundang penanaman modal khususnya penanaman modal asing masuk ke Indonesia.

Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal berupa:41

1. Melakukan peluasan usaha; atau 2. Melakukan penanaman modal baru

Adapun penanaman modal yang dilakukan tersebut harus memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:42

1. Menyerap banyak tenaga kerja 2. Termasuk skala prioritas tinggi

3. Termasuk pembangunan infranstruktur 4. Melakukan alih teknologi

5. Melakukan industri pionir

41

Undang Undang Nomor 25 tahun 2007. Pasal 18 ayat (2) 42


(49)

6. Berada didaerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu

7. Menjaga kelestarian lingkungan hidup

8. Melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan inovasi

9. Bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi, atau industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri.

Apabila salah satu kriteria itu telah di penuhi, maka dianggap cukup bagi pemerintah untuk memberikan fasilitas atau kemudahan kepada investor. Ada sepuluh bentuk fasilitas atau kemudahan yang diberikan kepada investor, baik itu investor domestik maupun investor asing. Kesepuluh fasilitas itu, disajikan sebagai berikut ini:43

1. Fasilitas PPh melalui pengurangan penghasilan neto.

2. Pembebasan atau keringanan bea masuk impor barang modal yang belum bisa diproduksi di dalam negeri.

3. Pembebasan bea masuk bahan baku atau penolong untuk keperluan produksi tertentu.

4. Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor barang modal.

5. Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat. 6. Keringanan PBB.

Selain fasilitas tersebut di atas, Pemerintah juga memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh:44

1. Hak atas tanah

2. Fasilitas pelayanan keimigrasian, dan 3. Fasilitas perizinan impor

43

Ibid, Pasal 18 ayat (4) 44


(50)

Fasilitas-fasilitas yang dimaksud di atas hanya diberikan terhadap penanaman modal asing yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT).

Hak dan kewajiban penanam modal, khususnya penanam modal asing telah ditentukan dalam Pasal 8, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 18 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tantang Penanaman Modal. Hakinvestor asing, disajikan berikut ini:

1. Mengalihkan asset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkannya 2. Melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing.

Hak transfer merupakan suatu perangsang untuk menarik penanam modal asing. Repatriasi (pengiriman) dengan bebas dalam bentuk valuta asing, tanpa ada penundaan yang didasarkan pada perlakuan non diskriminasi, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak-hak transfer dan repatrisiasi ini, meliputi:45

a. Modal

b. Keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lainnya c. Dana-dana yang diperlukan, untuk:

1. Pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi atau barang jadi: atau

2. Penggantian barang modal dalam rangka untuk melindungi kelangsungan hidup penanaman modal

d. Tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal e. Dana untuk pembayaran kembali pinjaman

f. Royalti atau biaya yang harus dibayar

g. Pendapatan dari perseorangan Warga Negara Asing yang bekerja dalam perusahaan dan penanaman modal

h. Hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal i. Kompensasi atas kerugian

j. Kompensasi atas pengambilalihan 45


(51)

k. Pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen pembayaran yang dilakukan dibawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan

l. Hasil penjualan asset sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

Kewajiban penanaman modal, khususnyainvestorasing telah ditentukan dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Kewajiban itu, meliputi:

1. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik

Sistem tata kelola organisasi perusahaan yang baik ini menuntut dibangunnya dan dijalankannya prinsip-prinsip tata kelola perusahaan (GCG) dalam proses manajerial perusahaan. Dengan mengenal prinsip-prinsip yang berlaku secara universal ini diharapkan perusahaan dapat hidup secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi parastakeholder-nya.

2. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan

Tanggung jawab sosial perusahaan corporate sosial responsibility (untuk selanjutnya disebut CSR) mungkin masih kurang popular dikalangan pelaku usaha nasional. Namun, tidak berlaku bagi pelaku usaha asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan secara sukarela itu, sudah bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional ratusan tahun yang lalu. Penjelasan Pasal 15 huruf (b) UU Penanaman Modal menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.

Pelaksanaan CSR yang baik dan benar sesuai dengan aturan hukum yang berlaku akan berimplikasi pada iklim penanaman modal yang kondusif. Untuk bisa mewujudkan CSR setiap pelaku usaha(investor)baik dalam maupun asing yang melakukan kegiatan di wilayah RI wajib melaksanakan aturan dan tunduk kepada hukum yang berlaku di Indonesia, sebaliknya pemerintah sebagai regulator wajib dan secara konsisten menerapkan aturan dan sanksi apabila ada pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang tidak melaksanakan CSR sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

3. Membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal:

Dalam penerapan prinsip akuntabilitas menurut Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, setiap penanaman modal berkewajiban menerapkan prinsip akuntabilitas sebagai salah satu prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dengan membuat laporan kegiatan penanaman modal dan menyampaikannya kepada Badan Koordinasi Penanaman modal.


(52)

Pelaksanaan prinsip akuntabilitas kaitannya dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, direksi dan komisaris mempunyai tanggung jawab hukum yang sama dengan direksi atas laporan keuangan yang menyesatkan yang menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya.

4. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal, dan

Hal ini berarti bahwa sebelum perusahaan patungan didirikan harus didahului dengan sosialisasi kepada masyarakat untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari. Dengan demikian perencanaan penanaman modal ke depan merupakan perencanaan yang harus melibatkan semua stakeholder baik unsur Pemerintah, unsur swasta maupun Masyarakat.

5. Mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan

Undang-Undang tentang Penanaman Modal didasarkan pada semangat untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif dan mengatur hal-hal yang dinilai penting, antara lain yang terkait dengan cakupan undang-undang, kebijakan dasar penanaman modal, bentuk bahan usaha, perlakuan terhadap penanaman modal, bidang usaha, serta keterkaitan pembangunan ekonomi dengan pelaku ekonomi kerakyatan yang diwujudkan dalam pengaturan mengenai pengembangan penanaman modal bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal, serta fasilitas penanaman modal, pengesahan dan perizinan, koordinasi dan pelaksanaan kebijakan penanaman modal yang di dalamnya mengatur mengenai kelembagaan, penyelenggaraan urusan penanaman modal, dan ketentuan yang mengatur tentang penyelesaian sengketa.

Oleh karena hal tersebut di atas, agar tercipta pelaksanaan penanaman modal asing yang kondusif, maka segala aspek penanaman modal harus patuh pada peraturan perundang-undangan yang ada.

Di samping hak dan kewajiban itu harus ditaati oleh penanaman modal, khususnya penanam modal asing, penanam modal juga mempunyai tanggung jawab lainnya. Tanggung jawab adalah suatu keadaan menanggung segala sesuatu yang berkaitan dengan penanaman modal. Tanggung jawab itu telah ditentukan dalam Pasal 16 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Ada enam tanggung jawab penanam modal, khususnya penanam modal asing, yaitu:


(53)

1. Menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

2. Menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

3. Menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencagah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan Negara.

4. Menjaga kelestarian lingkungan hidup.

5. Menciptakan keselamatan, kesehataan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja; dan

6. Mematuhi semua peraturan perundang-undangan.

Hak guna usaha adalah untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh Negara dalam jangka waktu tertentu. Tujuan penggunaan tanah yang dipunyai dengan Hak Guna Usaha dibebankan pada tanah yang dikuasai Negara.

Hak Guna Usaha termasuk hak atas tanah yang bukan bersumber pada hukum adat, melainkan atas tanah yang baru yang diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modren. Berhubungan jangka waktu itu paling lama, maka Hak Guna Usaha tidak dimungkinkan pemberian oleh pemilik tanah. Alasannya adalah pemilik tanah akan terlalu lama terpisah dengan tanahnya. Lagi pula, pada tanah milik yang dikuasai oleh pihak lain itu berlaku kadaluarsa. Oleh karena itu, Hak Guna Usaha hanya dimungkinkan atas tanah yang dikuasai Negara.46

Sering sesuatu pemberian hak atas tanah hanya dilihat dari segi hukum administrasi saja atas tanah yang menurut ketentuan termasuk objek Undang-undang No. 3 Tahun 1960 Jo. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961, atau objek nasionalisasi (UU No. 86 Tahun 1958) atau Peraturan Presidium Kabinet No. 5

46


(54)

Tahun 1965 jo. Peraturan Direktur Jenderal Agraria No. 3 Tahun 1968 atau Peraturan Presidium Kabinet No. 2 Tahun 1965 mengenai proyek tanah Perusahaan Negara, penjualan rumah-rumah negeri Golongan III (Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 3 Tahun 1977) dan lain sebagainya.47

Demikian pula kebijaksanaan pemerintah dibidanglandrefromseperti dimulai dengan penghapusan tanah-tanah partikelir (UU No. 1 Tahun 1958) dan pengaturan batas pemilikan tanah pertanian (UU No. 56 Tahun 1960 jo Peraturan Pemerintah No.223 Tahun 1961) dimana pertimbangan-pertimbangan pemberian haknya adalah didasarkan pada prinsip prioritas, dimana penetuan hak terhadap prioritas hak atas ini adalah mutlak merupakan wewenang pemerintah dalam tindakannya dilapangan hukum administrasi.

Hasil tersebut sering disebut sebagai penetapan kebijaksanaan pemerintah yang mempunyai nilai friess ermessen (keputusan pemerintah dianggap paling baik) sesuai dengan tujuan (doelmatige) dan berdasarkan hukum (rechtmatige).48

Kewenangan pemerintah tersebut jika dilihat dari aspek lain, selain aspek hukum yang justru lebih ditonjolkan yaitu aspek sosial ekonomi, misalnya suatu tuntutan seorang pemilik tanah terhadap sekelompok warga masyarakat yang memiliki hak atas tanah sebagai hasil reditribusi49, yang apabila hanya segi hukumnya saja yang digunakan sebagai pertimbangan tentunya akibatnya akan

47

Husni Nasution, Perubahan Kebijakan Pemerintah Atas Jangka Waktu Hak Guna Usaha, Mkn, SPS USU, Medan, 2008, hlm. 8

48Ibid

, hlm. 9


(55)

menimbulkan hal-hal negatif terhadap warga masyarakat tersebut, yang tidak jarang akan menyebabkan krisis sosial dan mengganggu kewibawaan pemerintah.

Hak Guna Usaha dapat diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 (lima) hektar, Jika luas tanah 25 hektar atau lebih, harus menggunakan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman (Pasal 28 ayat (2) UUPA). Maksud ketentuan ini adalah agar Hak Guna Usaha dimanfaatkan tidak hanya oleh perusahaan besar, melainkan juga oleh perusahaan yang tidak besar yang berusaha dibidang pertanian, perikanan atau peternakan.

Pasal 29 UUPA Memberikan batas waktu yaitu:

(1) Hak guna-usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.

(2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna-usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.

(3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) Pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu yang paling lama 25 tahun.

Menurut Pasal 5 PP No. 40 Tahun 1996 mengenai luasnya Hak Guna Usaha yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:

1. Luas minimum tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah lima hektar

2. Luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada perorangan adalah dua puluh lima hektar.

3. Luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang dibidang usaha yang bersangkutan, dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu usaha yang paling berdaya guna di bidang yang bersangkutan.

Dengan demikian dari uraian-uraian diatas dapat dipahami bahwa Pasal 5 dari Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 ini mengenai luas minimum tanah dan luas


(56)

maksimumnya yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha, luas minimum itu adalah 5 hektar (ayat 1) dan luas maksimum adalah 25 hektar (ayat 2) untuk perorangan. Ketentuan mengenai minimum dan maksimum ini adalah sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Pasal 28 ayat (2) UUPA. Dinyatakan lebih lanjut bahwa soal penentuan dari pada minimum dan maksimum yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha ini harus disesuaikan dengan investasi modal yang layak dan teknik perusahan yang baik sesuai dengan investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman (ayat (2) Pasal 28 UUPA) dan dijelaskan pula dalam UUPA bahwa pemberian Hak Guna Usaha adalah dalam rangka penggunaan oleh perusahan pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 ayat (1) UUPA). Ditegaskan lebih lanjut didalam Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1996 bahwa luas maksimum tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang dibidang usaha yang bersangkutan. Jadi inilah kiranya yang telah dirumuskan dalam UUPA sebagaimana harus memperhatikan juga perkembangan zaman dan investasi untuk tipe perusahaan yang diperlukan.

Selanjutnya mengenai jangka Waktu Hak Guna Usaha menurut Pasal 8 PP No. 40 Tahun 1996 bahwa Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Sesudah jangka waktu Hak Guna usaha dan perpanjangnya berakhir, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha di atas yang sama.


(1)

3. Kendala-kendala yang dihadapai perusahaan asing pasca Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 adalah penerapan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang bertentangan dengan peraturan-peraturan seperti Undang Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,Hak Guna bangunan dan hak pakai. Perizinan yang rumit dan kerjasama antara Penanam Modal Asing dengan Penanam Modal Dalam Negeri, dimana kendala kendala dihadapi perusahaan asing sering sekali menyulitkan perusahaan asing dalam melakukan kegiataan perusahaan disebabkan kendala kendala tersebut sehingga para investor yang akan melakukan penanaman modal di Indonesia akan enggan menanamkan modalnya di Indonesia.

B. Saran

1. Disarankan kepada pemerintah membentuk badan pengawas mengenai Pemberian Hak-Hak atas Tanah yang mana berfungsi mengawasi instansi-instansi yang terlibat dalam Pemberian Hak Atas Tanah agar memberikan rasa kepastian hukum bagi Investor Asing yang akan melakukan Penanaman Modal di Indonesia

2. Disarankan agar Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal membuat satu pasal tata cara berdirinya perusahaan modal asing, agar para investor secara khusus memahami tata cara berdirinya perusahaan modal asing di Indonesia.


(2)

3. Disarankan kepada pemerintah agar mengawasi, memberikan sanksi terhadap pejabat pejabat yang mempersulit dan memyempurnakan kekurangan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 serta memberikan kemudahan pada investor baik asing maupun nasional untuk memperlancar kegiataan perusahaan demi kesejahteraan perekonomian rakyat Indonesia.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Amrial,Hukum Bisnis(Deregulasi dan Joint Venture di Indonesia teori dan praktek), Jakarta: Djambatan, 1996.

Anoraga, Panji, Perusahaan Multinasional dan Penanaman Modal Asing, Jakarta: Pustaka Jaya, 1994.

Dalimunte, Chadidjah,Suatu Tinjauan Tentang Pemberian Hak Guna Usaha Dalam Rangka Penanaman Modal Asing, Medan Usu Press, 1994.

Friedmann W., Legal Teory: Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum, Susunan I, Terjemahan: Mohamad Arifin, Jakarta: CV. Rajawali. 1984

Murnir, Fuady,Hukum Perusahaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999. Ginting, Budiman,Hukum Investasi, Medan: pustaka Bangsa Press, 2007.

Ginting, Darwin, Hukum Kepemilikan Hak atas Tanah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010

Harsono, Boedi,Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2007.

Harjono, Dhaniswara, Hukum Penanaman Modal, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007.

Ida, bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.

I.G.Rai, Widjaya, Penanaman Modal: Pedoman Prosedur Mendirikan dan Menjalankan Perusahaan Dalam Rangka PMA dan PMDN, Jakarta: Pradnya Paramita, 2000.

Ilmar, Aminuddin,Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007. Kairupan, David, Aspek Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia, Jakarta:

Kencana, 2013


(4)

Lubis, M.Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994 Lubis, Todung Mulya,Hukum Ekonomi,Jakarta: Sinar Harapan, 1992

Mahmud, Marzuki Peter, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008

Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum Suatu pengantar, Cet 5, yogyakarta: Liberty, 2005

Matutu, Mustamin Dg., Selayang Pandang Tentang Tipe-Tipe Negara Modern, Makasar, Orasi Ilmiah Fakultas Hukum Unhas, 1992. hlm. 16-20

Rames Mishra,The Welfare State in Crisis, Helfelster Wheatsheaf, 1984 Manullang E. Fernando M., Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum

Kodrat dan Antinomi Nilai, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, Januari 2007 Monette Duane R., Thomas J.Sullivan, Cornell R. Deyong, Applied Sosial Research,

New York, Cicago, Sanfrancisco: Holt, Rinehart and Winston, Inc. 1986 Nasution, Asmin, Transparansi dalam Penanaman Modal, Medan: Pustaka Bangsa

Press, 2008

Pramono, Nindyo, Bunga Rampai Hukum Bisnis Aktual, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2006.

Rakhmawati, N. Rosyidah, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia Dalam Menghadapi Era Global, Malang: Bayumedia Publishig, 2003.

Rokhmatussadyah, Ana dan Surtman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, Jakarta: sinar Grafik, 2010

Ruchijat, E, Kedudukan Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal, Bandung: Binacipta,1990.

Santoso, Urip,Hukum Agraria dan Hak Hak Atas Tanah, Jakarta: Kencana, 2007. Sembiring, Sentosa,hukum Investasi, Bandung: Nuansa Aulia. 2010.

Siregar, Mahmul, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal, Medan: Universitas Sumatera Utara, 2005.


(5)

Dirdjosisworo, Soedjono, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1999.

Ismail, Suny, dan Rudiono Rochmat, Tinjauan dan Pembahasan Undang Undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, Jakarta: Pradnya Paramita, 1971.

Suardi,Hukum Agraria,Jakarta: Iblam, 2005.

Suhartono, Irawan, Negara Kesejahteraan Welfare State: Harapan atau Hayalan, Bandung, Al MizLemlit Unpas No. 125/Mei 2004

Supriadi,Hukum Agraria, palu: Sinar Grafika, 2006.

Untung, Hendrik Budi,Hukum Investasi,cet I, Jakarta: Sinar Grafika. 2010.

Us, Salim dan Sutrisno, Budi, Hukum Investasi di Indonesia,Jakarta: Raja Grafindo Persada,2008.

Widjaya Rai, Merancangkan Suatu Kontrak, Edisi Revisi, Jakarta: Kesaint Blanc, 2007.

2. Perundang-undangan Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional

Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaran Penanaman Modal dalam Rangka Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal dalam Negeri.


(6)

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2013 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 Tentang daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan dibidang Penanaman Modal. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2

Tahun 1999 Tentang Izin Lokasi

Peraturan Menteri Dalam Negeri No 6 Tahun 1972 Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

Peraturan Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 9 Tahun 1999 Tata Cara Pemberian hak atas tanah negara dan hak pengelolaan

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pedoman Dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal

3. Internet

Dyahnovi, Pendirian Perusahaan Penanaman Modal Asing, http://notaris dyahnovi.wordpress.com/, diakses Juli 2013


Dokumen yang terkait

Joint Venture Agreement Dalam Tinjauan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.

8 96 109

Tinjauan Yuridis Joint Venture Agreement Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Dan Dikaitkan Dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2 57 158

Pemberian Hak Atas Tanah Dalam Rangka Penanaman Modal Setelah Diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

7 102 32

Tinjauan Hukum Perjanjian Nominee Terhadap Pemberian Kuasa Penanam Modal Asing Dalam Kepemilikan Perseroan Terbatas

2 28 0

Tinjauan hukum perjanjian nominee terhadap pemberian kuasa penanam modal asing dalam kepemilikan saham perseroan terbatas

8 75 87

Analisis Yuridis Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap Perusahaan Asing Dalam Bentuk Joint Venture Setelah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

0 0 13

Analisis Yuridis Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap Perusahaan Asing Dalam Bentuk Joint Venture Setelah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

0 0 2

Analisis Yuridis Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap Perusahaan Asing Dalam Bentuk Joint Venture Setelah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

0 0 28

Analisis Yuridis Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap Perusahaan Asing Dalam Bentuk Joint Venture Setelah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

0 0 32

Analisis Yuridis Pemberian Hak Guna Usaha Terhadap Perusahaan Asing Dalam Bentuk Joint Venture Setelah Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal

0 0 4