1
Bagian bab ini telah dipublikasikan dalam Bulletin Agronomi 361:16-23 2008 dengan judul: Perbaikan Teknik Kultur Embryo Kelapa Kopyor Cocos nucifera L. asal Sumenep Jawa Timur
Melalui Penambahan Bahan Aditif dan Pengujian Periode Subkultur
BAB III PERBAIKAN TEKNIK KULTUR EMBRIO SIGOTIK
KELAPA KOPYOR
1
Abstrak
Kultur embrio kelapa kopyor baik untuk penyelamatan embrio maupun untuk produksi bahan tanam belum efisien. Penelitian ini telah berusaha
meningkatkan efisiensi protokol yang sudah ada dengan melakukan manipulasi pada media pertumbuhan Eeuwens yang mengandung sukrosa 60 gl dan arang
aktif 2.5 gl termasuk penambahan bahan aditif seperti air kelapa, air santan, thio-urea; penambahan IBA, dan periode subkultur. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa air kelapa 150 mll meningkatkan perkecambahan embrio mencapai 95 dan meningkatkan pembentukan planlet lengkap, yaitu planlet dengan tunas dan
akar. Walaupun demikian, air kelapa tidak mempunyai pengaruh yang nyata pada pertumbuhan planlet seperti panjang tunas, jumlah daun, dan lebar daun.
Pertumbuhan dan jumlah plantlet yang diperoleh maksimal jika planlet disubkultur ke media baru setiap 2 bulan sekali. Penambahan IBA 1 mgl
menghasilkan 87.5 planlet yang berakar, sedangkan IBA 2 mgl dibutuhkan untuk pembentukan akar lateral.
Kata kunci: air kelapa, IBA, penyelamatan embrio
IMPROVEMENT OF ZYGOTIC EMBRYO CULTURE TECHNIQUE OF KOPYOR COCONUT
1
Abstract
Embryo culture of kopyor coconut zygotic embryo for its rescue and subsequent planting material production has not been efficient. We attempted to
improve the protocols by manipulation of growth medium Eeuwens medium containing 60 gl sucrose and 2.5 gl active charcoal that include addition of
organic addenda such as liquid coconut endosperm, coconut milk, thio-urea; addition of IBA, and subculture period. The results showed that addition of 150
mll liquid coconut endosperm improved embryo germination to 95 and the frequency of complete plantlet formation i.e. with both shoot and root. While it
did not have any significant effect on the growth of plantlet like shoot length, number of leaves, and leaf width. Growth and number of plantlets were
maximum when they were transferred to fresh medium every 2 months. Addition of 1 mgl IBA produced 85.7 rooted plantlets, while 2 mgl of IBA was required
for the formation of lateral roots. Key words: coconut water, IBA, embryo rescue
1
Part of this chapter has been published in the Bulletin Agronomi 361:16-23 2008, with title: Improving Embryo Culture Technique of Kopyor Coconut Cocos nucifera L. Obtained from
Sumenep East Java through Addition of Additive Agents and Different Periods of Subculture
Pendahuluan
Kelapa kopyor merupakan salah satu jenis kelapa mutan yang ada di Indonesia. Mutasi yang terjadi pada endosperma buah kelapa kopyor
menyebabkan embrio yang berada di dalamnya tidak mampu berkecambah karena tidak ada sumber energi yang tersedia dalam proses perkecambahan. Petani
memperoleh buah kelapa kopyor dari pohon kelapa biasa yang menghasilkan tandan dengan buah kelapa biasa normal dan kelapa kopyor. Jumlah buah
kopyor yang dihasilkan dari pohon jenis ini sangat rendah yaitu antara 1-2 buah per tandan. Untuk meningkatkan jumlah buah kopyor per pohon dapat dilakukan
dengan cara menanam embrio yang diambil dari buah kelapa kopyor pada media buatan. Metode ini disebut dengan teknik kultur embrio. Pohon kelapa yang
ditanam dari bibit hasil teknik kultur embrio dapat menghasilkan buah kopyor sampai mencapai 100 Novarianto 1999; Tahardi 1997.
Banyak kendala yang dihadapi dalam proses pengkulturan embrio kelapa kopyor sehingga persentase keberhasilan dalam memperoleh bibit masih
tergolong rendah yaitu kurang dari 30 Mashud 1999. Protokol untuk kultur embrio kelapa kopyor sampai sekarang masih mengacu pada protokol kelapa
“Makapuno” sebutan kelapa kopyor di Filipina ekotipe “Laguna Tall” yang dikembangkan oleh Del Rosario de Guzman 1978 dengan media dasar
Eeuwens 1976. Di Indonesia protokol untuk kelapa kopyor telah dikembangkan oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor dengan media dasar MS
Tahardi Warga-Dalem 1982. Masing-masing protokol dikembangkan sesuai dengan ekotipe kelapa yang dikulturkan. Sukendah 2002 telah mengembangkan
protokol embrio kelapa kopyor ekotipe Sumenep dan Jember di Jawa Timur dengan memakai media dasar Eeuwens.
Melalui pengujian berbagai protokol bentuk media padat dan cair selama dua tahun dua kali periode pengujian, ternyata embrio kelapa kopyor asal
Sumenep Jawa Timur hanya bisa tumbuh baik pada serangkaian media Eeuwens padat fase perkecambahan; fase pertumbuhan planlet; fase penguatan planlet
dengan persentase perolehan planlet sekitar 40 Sukendah 2005. Embrio kelapa kopyor sulit berkecambah pada media cair, baik pada media dasar
Eeuwens maupun MS, tidak seperti embrio kelapa ”Makapuno” yang bisa berkecambah dengan baik pada media Eeuwens cair.
Secara potensial dengan pemakaian protokol media yang dimodikasi tersebut perolehan planlet kelapa kopyor masih bisa ditingkatkan sekitar 40 jika
jumlah planlet yang pertumbuhannya lambat, stagnan atau browning dapat diturunkan. Kehilangan planlet karena hal ini bisa mencapai 30. Hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Sukendah Rachmat 2003 menunjukkan bahwa dari berbagai bahan aditif yang diuji sari tauge tomat, air kelapa, dan
ekstrak ragi hanya air kelapa yang dapat meningkatkan persentase perkecambahan embrio kelapa kopyor sekitar 16 dan mempercepat
pertumbuhan planlet. Beberapa penelitian menggunakan air santan yang diperoleh dari endosperma padat buah kelapa untuk meningkatkan pertumbuhan
kultur in vitro Al-Khayri et al. 1992; Boase Wright 1993. Air kelapa
merupakan endosperma cair yang berfungsi sebagai sumber nutrisi selain endosperma padat bagi perkembangan dan perkecambahan embrio kelapa.
Oleh sebab itu sangat menarik untuk mengkaji jenis air kelapa yang mana yang lebih
baik yaitu air kelapa biasa atau air kelapa dari endosperma padat santan untuk proses perkecambahan in vitro embrio kelapa kopyor. Di samping itu masih perlu
dicari bahan aditif lainnya yang kemungkinan dapat meningkatkan dan mempercepat perkecambahan embrio kelapa kopyor yang lebih baik dari pada air
kelapa. Permasalahan pertumbuhan planlet kelapa kopyor yang lambat dan
stagnan planlet berhenti tumbuh pada periode-periode tertentu pernah dicoba diatasi dengan pemberian GA3 Astuti 2002. Zat pengatur tumbuh GA3 dapat
mempercepat pertumbuhan planlet kelapa kopyor namun planlet yang dihasilkan menjadi sangat ramping tidak kokoh sehingga berpengaruh pada vigor planlet.
Pemberian ZPT dari jenis sitokinin seperti kinetin juga tidak banyak berpengaruh pada pertumbuhan planlet kelapa kopyor dari Jawa Timur Astuti 2002. Jika
pada percobaan sebelumnya Sukendah Rachmat 2003 air kelapa dapat mempercepat perkecambahan embrio kelapa kopyor kemungkinan air kelapa juga
dapat mempercepat pertumbuhan planlet. Salah satu percobaan dalam penelitian ini menjawab hal tersebut.
Usaha lain untuk menjaga planlet agar tetap tumbuh adalah melakukan kegiatan subkultur yaitu memindahkan planlet pada media baru dengan komposisi
media yang sama atau berbeda dengan media sebelumnya. Pada protokol sebelumnya subkultur dilakukan sebanyak 2-3 kali dengan periode subkultur 3-4
bulan. Keberhasilan pembentukan bibit kelapa kopyor dari kultur embrio tidak
hanya ditentukan oleh keberhasilan selama proses pengkulturan embrio tetapi juga sangat ditentukan oleh periode pasca pengkulturan. Kedua periode tersebut saling
terkait untuk menghasilkan persentase bibit yang tinggi. Pada periode in vitro planlet ditumbuhkan dalam botol kultur di bawah kondisi steril, intensitas cahaya
rendah, dan tingkat kelembaban tinggi pada media yang mengandung gula dan nutrisi yang menyebabkan tanaman hidup secara heterotrop Hazarika 2003.
Kondisi in vitro tersebut menginduksi fenotipe planlet dengan karakteristik yang rentan dengan kondisi ex vitro. Planlet tidak akan dapat bertahan hidup jika
langsung ditanam di rumah kaca atau di lapangan. Oleh sebab itu perlu teknik pengadaptasian atau proses aklimatisasi yang tepat untuk planlet-planlet tersebut.
Pada tanaman kelapa, kendala utama pada pemindahan planlet asal kultur embrio sigotik dari kondisi in vitro ke ex vitro adalah sistem perakaran yang kurang baik
Ashbuhrner et al. 1993. Untuk itu perlu dilakukan perbaikan sistem perakaran planlet kelapa kopyor sebelum dilakukan aklimatisasi di rumah kaca.
Tujuan Penelitian
Penelitian berikut ini bertujuan memperbaiki efisiensi pembentukan planlet kelapa kopyor siap aklimatisasi dari embrio sigotik melalui peningkatan:
1 persentase perkecambahan embrio, 2 persentase pembentukan planlet, dan 3 persentase planlet berakar pra-aklimatisasi.
Metode Penelitian
Pemilihan Sumber Eksplan
Buah kelapa kopyor sebagai sumber eksplan diambil dari kebun petani yang mempunyai pohon kelapa berbuah kopyor, yaitu di daerah Sumenep, Jawa
Timur mulai bulan Agustus 2006. Buah kelapa kopyor yang diambil embrionya dipilih yang kira-kira berumur 11-12 bulan dengan berat buah yang hampir sama.
Buah kelapa kopyor dibersihkan sabutnya sehingga yang tertinggal hanya tempurung kelapanya. Tempurung kelapa kemudian dibelah secara horizontal dan
diambil bagian endosperma yang berisi embrio dengan alat semacam spatula. Ukuran endosperma yang diambil kira-kira 2 cm Gambar 3.1a. Endosperma
yang mengandung embrio dikumpulkan di tabung gelas steril yang berisi akuades steril dan dibawa ke laboratorium Bioteknologi Agronomi UPN ”Veteran” Jatim.
Sterilisasi dan Penanaman Embrio
Endosperma yang berisi embrio disterilisasi dengan Natrium hipoklorit NaClO 1 selama 20 menit dan dibilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali.
Selanjutnya di dalam Laminair Air Flow Cabinet embrio dikeluarkan dari endosperma dan dimasukkan dalam erlenmeyer 250 ml, masing-masing
erlenmeyer diisi 50 embrio Gambar 3.1b. Embrio kemudian disterilisasi dengan 0.5 NaClO selama 5 menit. Sterilisasi ini diulang sekali dengan waktu yang
sama. Selanjutnya embrio dibilas dengan air steril sebanyak tiga kali. Embrio ditanam pada tabung reaksi yang berisi media Eeuwens Eeuwens
1976 Tabel Lampiran 1 padat yang ditambah dengan berbagai bahan aditif air kelapa 150 mll, air santan 150 mll, thio-urea 50 mgl, dan thio-urea 100 mgl,
arang aktif 2.5 gl, sukrosa 60 gl dengan pH media 5.8 sebelum sterilisasi.
Gambar 3.1 Endosperma kelapa kopyor yang berisi embrio setelah diambil dari
buah kelapa kopyor a dan embrio kelapa kopyor yang telah dikeluarkan dari endosperma dan dimasukkan dalam erlenmeyer
untuk proses sterilisasi b. b
a
Satu tabung ditanam satu embrio. Tabung reaksi kemudian ditutup dengan aluminium foil dan dimasukkan dalam kotak stereofoam steril untuk dibawa ke
laboratorium Biologi Molekuler Dept. Agronomi dan Hortikultura IPB Bogor.
Perkecambahan Embrio pada Berbagai Bahan Aditif
Percobaan dirancang dengan faktor tunggal bahan aditif dengan 4 perlakuan air kelapa 150 mll, air santan 150 mll, thio-urea 50 mgl, dan thio-
urea 100 mgl. Air kelapa dan air santan diambil dari buah kelapa normal yang tua umur 11-12 bulan. Air kelapa dan santan disaring sebelum dicampur dengan
media dan disterilisasi. Setiap perlakuan diulang 3 kali dengan 25 botol kultur per ulangan, sehingga ada 300 satuan percobaan. Embrio yang telah ditanam pada
tabung reaksi sesuai dengan perlakuan masing-masing diletakkan dalam rak kultur menurut Rancangan Acak Lengkap RAL dalam kondisi gelap dengan suhu ±
25 C. Proses perkecambahan ditandai dengan munculnya bakal tunas danatau bakal akar. Pengamatan dilakukan dengan menghitung persentase daya kecambah
embrio, persentase embrio browning, persentase embrio yang stagnasi, persentase embrio tidak viabel, dan waktu yang dibutuhkan embrio berkecambah.
Data-data yang terkumpul dianalisis dengan sidik ragam ANOVA untuk menentukan pengaruh perlakuan SAS Institute, 1992. Rata-rata nilai tengah
dibedakan dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test DMRT pada taraf nyata 5.
Pertumbuhan Planlet pada Media dengan Air Kelapa dan Periode Subkultur
Embrio kelapa kopyor yang telah berkecambah diseleksi berdasarkan pertumbuhan tunas dan akar. Kecambah yang menunjukkan adanya tunas dan
akar dengan ukuran ±1.0 cm dipilih untuk bahan penelitian ini. Kecambah selanjutnya dipindah ke media pertumbuhan planlet, yaitu media Eeuwens
Eeuwens 1976 padat yang mengandung sukrosa 60 gl dan arang aktif 2.5 gl. Ke dalam media ditambahkan air kelapa dengan berbagai konsentrasi: 0 mll, 100
mll, 150 mll, 200 mll. Air kelapa diambil dari buah kelapa normal yang sudah tua umur 11-12 bulan. Air kelapa disaring dan disterilisasi dengan autoklaf
bersama media.
Planlet disubkultur sesuai dengan perlakuan periode subkultur yaitu 1, 2, 3, dan 4 bulan sekali. Selanjutnya masing-masing perlakuan kombinasi
konsentrasi air kelapa dan periode subkultur diulang 3 kali dengan 5 botol planlet per ulangan. Planlet diletakkan pada rak kultur menurut Rancangan Acak
Lengkap RAL dengan kondisi lama penyinaran 9 jam dan suhu ± 25 C. Evaluasi perlakuan dilakukan dengan mengamati tinggi planlet, jumlah dan lebar
daun, planlet browning, planlet dengan pertumbuhan akar yang sempurna, planlet yang belum keluar akar, dan jumlah planlet siap aklimatisasi.
Data dianalisis dengan sidik ragam ANOVA memakai Program SAS versi 6.12. Untuk membedakan rata-rata nilai tengan dilakukan uji lanjut dengan
memakai Uji Duncan DMRT 5.
Pengakaran Planlet Kelapa Kopyor Pra-aklimatisasi dengan ZPT IBA
Sebelum diaklimatisasi planlet perlu diperbaiki pertumbuhan akarnya. Untuk mempercepat pertumbuhan akar, planlet kelapa kopyor perlu diberi
perlakuan hormon auksin seperti IBA. Planlet-planlet yang tanpa akar digunakan untuk percobaan pengakaran planlet pra-aklimatisasi.
Planlet tanpa akar disubkultur ke botol kultur pada media cair 50 ml yang mengandung senyawa makro dan mikro Eeuwens 1976 dan vitamin dari Morel
Wetmore 1951, agar untuk kultur jaringan Phytotech 7 gl, dan arang aktif Jepang 2.5 gl dan zat pengatur tumbuh IBA Sigma 87-51-4 dengan berbagai
konsentrasi: 1.0; 2.0; dan 3.0 mgl. Setiap perlakuan diulang 9 kali. Planlet selanjutnya diletakkan di rak kultur menurut Rancangan Acak Lengkap RAL
dan dipelihara dalam ruang yang diberi cahaya selama 12 jam penyinaran dengan suhu ± 25 C. Planlet dipelihara sampai kurang lebih selama dua bulan atau
sampai keluar akar-akar baru. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah daun, tinggi planlet,
jumlah akar lateral, panjang akar primer, persentase planlet yang membentuk akar lateral, persentase planlet yang tidak membentuk akar. Data selanjutnya dianalisis
dengan ANOVA sesuai dengan rancangannya, yaitu RAL. Jika ada pengaruh nyata dari perlakuan analisis diteruskan untuk mencari perbedaan diantara
perlakuan dengan uji DMRT 5.
Aklimatisasi Planlet
Planlet-planlet yang siap diaklimatisasi kemudian dikeluarkan dari laboratorium dan diadaptasikan pada kondisi ex vitro dalam ruang tanam selama
dua minggu. Selanjutnya planlet dikeluarkan dari media kultur cair, dicuci akarnya dan direndam dalam fungisida selama 5 menit. Planlet kelapa kopyor
ditanam pada polybag kecil ukuran 10 x 10 cm atau gelas plastik yang diisi dengan media campuran tanah dengan pupuk organik 1:3. Semua macam media
sebelum digunakan disterilisasi lebih dahulu dengan autoklaf pada suhu 121 C selama 30 menit dan dicampur merata setelah dingin. Polybag selanjutnya dalam
sungkup plastik untuk 1-2 bulan. Setelah satu bulan atau jika sudah ada penambahan daun baru, bibit kelapa kopyor disemprot dengan pupuk daun dan
sungkup plastik bisa dibuka. Bibit dipindah ke polybag dengan ukuran yang lebih besar dan diletakkan di udara terbuka.
Hasil Penelitian
Perkecambahan Embrio pada Berbagai Bahan Aditif
Ada berbagai bentuk respon embrio setelah embrio dikulturkan pada media dengan penambahan bahan aditif atau tanpa bahan aditif, yaitu 1 embrio
segera membesar dan berkecambah Gambar 3.2a, 2 embrio membesar tetapi tidak menunjukkan kemajuan pertumbuhan ke arah perkecambahan Gambar 3.2
b. Kemungkinan embrio masih bisa berkecambah jika diberi perlakuan khusus, seperti penambahan zat pengatur tumbuh dan dipindah ke media baru. Nurita-
Toruan 1978 menambahkan IAA 10 mgl untuk merangsang embrio kelapa agar berkecambah, 3 embrio membesar kemudian embrio mengalami browning
pencoklatan dan akhirnya embrio mati Gambar 3.2c, dan 4 embrio tidak menunjukkan respon apapun, kemungkinan embrio tidak viabel Gambar 3.2d.
Perkecambahan embrio kelapa kopyor pada media padat Eeuwens yang mengandung berbagai macam bahan aditif seperti air kelapa, air santan dan thio-
urea ditandai dengan membesarnya embrio sampai keluarnya tonjolan bakal akar primer dan bakal primordium daun ke arah lateral Gambar 3.2a. Rata-rata
embrio kelapa kopyor membutuhkan waktu untuk berkecambah 1-1½ bulan
Tabel 3.1. Embrio yang dikulturkan pada media dengan air kelapa 150 mll lebih cepat berkecambah, yaitu kurang dari satu bulan 29 hari dan nyata berbeda
dengan media tanpa bahan aditif. Embrio pada media thio-urea 50 mgl juga berkecambah dalam waktu yang tidak berbeda nyata dengan media air kelapa 150
mll. Waktu yang dibutuhkan oleh embrio pada media air santan untuk berkecambah lebih lama daripada embrio pada media air kelapa namun masih
lebih cepat daripada embrio pada media tanpa bahan aditif Tabel 3.1. Embrio pada media thio-urea 100 mgl membutuhkan waktu untuk berkecambah nyata
lebih lama dibandingkan dengan media air kelapa 150 mll atau thio-urea 50 mgl. Bahkan 3 hari lebih lama dibandingkan dengan media tanpa bahan aditif,
meskipun kedua media tersebut tidak berbeda nyata. Daya kecambah embrio kelapa kopyor pada media dengan bahan aditif
atau tanpa bahan aditif berbeda nyata. Daya kecambah embrio pada media air kelapa 150 mll nyata lebih besar dibandingkan pada media air santan 150 mll
atau thio-urea 50 dan 100 mgl atau pada media tanpa bahan aditif Tabel 3.1. Penambahan bahan aditif air santan 150 mll, thio-urea 50 mgl, dan thio-urea 100
mgl tidak dapat meningkatkan persentase daya kecambah embrio, yang dibuktikan dengan daya kecambah yang tidak berbeda nyata dengan embrio yang
dikulturkan pada media tanpa bahan aditif Tabel 3.1.
Gambar 3.2 Berbagai respon embrio kelapa kopyor pada media perkecambahan.
a. Embrio yang berkecambah tumbuh bakal tunas dan akar, b. Embrio yang hanya membesar tetapi tidak menunjukkan
pertumbuhan ke arah perkecambahan, c. Embrio yang sudah berkecambah namun mengalami browning, d. Embrio yang tidak
viabel atau tidak bisa berkecambah. d
c b
a
tunas akar
Tabel 3.1 Persentase daya kecambah dan waktu yang dibutuhkan embrio kelapa kopyor untuk berkecambah
Bahan aditif Daya kecambah
Waktu untuk berkecambah hari
Tanpa bahan aditif 74.0b
45.0a Air kelapa 150 mll
95.0a 29.0b
Air santan 150 mll 76.5ab
39.0ab Thio-urea 50 mgl
75.0b 30.0b
Thio-urea 100 mgl 59.0b
47.0a
Angka rata-rata dalam kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan DMRT 5
Tabel 3.2 Persentase embrio kelapa kopyor yang mengalami browning, stagnasi, dan embrio tidak viabel pada fase perkecambahan di berbagai media
tanpa bahan aditif dan dengan bahan aditif
Bahan aditif Browning
Stagnasi Embrio yang
tidak viabel Tanpa bahan aditif
6.0 18.0
2.0 Air kelapa 150 mll
0.0 4.0
1.0 Air santan 150 mll
23.5 0.0
0.0 Thio-urea 50 mgl
15.0 3.0
1.9 Thio-urea 100 mgl
40.0 1.0
0.0
Daya kecambah embrio kelapa kopyor di media tanpa bahan aditif atau media dengan penambahan thio-urea 100 mgl rata-rata masih di bawah 75.
Sekitar 25 dari embrio tidak mampu berkecambah. Ketidakmampuan embrio untuk berkecambah dapat disebabkan oleh embrio yang tidak viabel, stagnasi
atau embrio mengalami browning. Browning embrio banyak terjadi pada media dengan penambahan thio-urea 100 mgl atau air santan Tabel 3.2. Rata-rata
browning embrio yang terjadi pada media tersebut berkisar antara 24.5 air santan sampai 40 thio-urea 100 mgl. Browning merupakan salah satu
kendala utama pada pengkulturan jaringan secara in vitro. Browning terjadi apabila jaringan tanaman mengeluarkan senyawa fenolik ke media dan
teroksidasi. Senyawa ini bisa menghambat aktivitas enzim dan mengakibatkan pencoklatan media dan eksplan yang berakibat kematian jaringan Laukkanen et
al. 1999. Sementara itu, pada media tanpa bahan aditif embrio yang tidak mampu berkecambah sebagian besar disebabkan oleh embrio yang berhenti
tumbuh setelah embrio membesar stagnasi.
Pertumbuhan Planlet
Pertumbuhan planlet kelapa kopyor dievaluasi melalui pengukuran panjang planlet dan lebar daun, penghitungan jumlah daun, serta persentase
planlet yang dihasilkan. Tidak ada interaksi yang nyata antara periode subkultur dengan konsentrasi air kelapa pada pertumbuhan planlet kelapa kopyor.
Pertumbuhan planlet kelapa kopyor lebih dipengaruhi oleh periode subkultur atau konsentrasi air kelapa secara sendiri-sendiri. Dengan melihat pertumbuhan
panjang planlet dan lebar daun umur 5 bulan, maka periode subkultur 2 bulan lebih baik untuk pertumbuhan planlet kelapa kopyor daripada periode subkultur
lainnya Tabel 3.3. Panjang planlet dan lebar daun pada media yang diganti setiap 2 bulan sekali nyata lebih panjang dan lebih lebar daripada planlet pada
periode subkultur lainnya. Persentase total planlet yang dihasilkan pada periode
Tabel 3.3 Pertumbuhan planlet kelapa kopyor setelah umur 5 bulan pada berbagai periode subkultur dan pada media Eeuwens yang
mengandung berbagai konsentrasi air kelapa
Perlakuan Panjang planlet
cm Jumlah daun
Lebar daun cm
Periode subkultur: 1 bulan
2 bulan 3 bulan
4 bulan 2.26b
3.28a 1.90b
1.70b 1.25
1.63 1.63
1.38 0.24b
0.51a 0.34ab
0.26b Konsentrasi air kelapa:
100 mll 150 mll
200 mll Tanpa air kelapa
2.17ab 2.70a
1.66b 2.60a
1.50 1.63
1.25 1.50
0.30 0.45
0.27 0.34
Angka rata-rata dalam kolom yang sama pada masing-masing perlakuan yang diikuti oleh huruf yang sama berarti tidak berbeda nyata menurut uji Duncan DMRT 5
Tabel 3.4 Persentase planlet kelapa kopyor yang diperoleh pada berbagai periode subkultur dan pada media Eeuwens yang mengandung berbagai
konsentrasi air kelapa setelah 8 bulan dalam proses pengkulturan
Perlakuan Planlet yang
belum berkembang akarnya
Planlet dengan perkembangan
akar yang baik Total
planlet yang diperoleh
Periode subkultur: 1 bulan
2 bulan 3 bulan
4 bulan 25.00
31.82 33.33
20.00 35.00
45.46 47.62
25.00 60.00
77.28 80.95
45.00
Konsentrasi air kelapa: Tanpa air kelapa
100 mll 150 mll
200 mll 42.86
25.00 36.34
5.88 33.33
45.00 40.90
41.18 76.19
70.00 77.24
47.06
subkultur 2 bulan sekali setelah 8 bulan dalam proses pengkulturan juga cukup tinggi. Planlet yang diperoleh sebesar 77.28 yang terdiri dari 45 adalah planlet
dengan pertumbuhan akar yang baik, sedangkan 31.82 adalah planlet dengan pertumbuhan akar yang belum berkembang sempurna. Walaupun demikian, jika
persentase total planlet yang dijadikan bahan pertimbangan, maka periode subkultur 3 bulan dapat menjadi alternatif berapa lama planlet harus disubkultur.
Persentase total planlet yang dihasilkan 3 lebih tinggi daripada periode subkultur 2 bulan Tabel 3.4. Sebaliknya kultur yang terlalu sering dipindah ke
media yang baru subkultur 1 bulan sekali atau terlalu lama dipindah subkultur 4 bulan sekali justru menghasilkan total planlet paling sedikit.
Air kelapa tidak banyak memberi peningkatan pertumbuhan planlet kelapa kopyor. Pertumbuhan planlet seperti jumlah dan lebar daun pada berbagai media
air kelapa 100, 150, dan 200 mll serta media tanpa air kelapa tidak berbeda nyata Tabel 3.3. Media dengan air kelapa 200 mll justru menghasilkan panjang
planlet nyata lebih tinggi dan total planlet yang diperoleh lebih banyak daripada media tanpa air kelapa Tabel 3.4. Hal yang menarik adalah air kelapa
meningkatkan persentase planlet dengan perkembangan akar yang sempurna.
20 21.1
18.18
11.76
5 10
15 20
25
0 mll 100 mll
150 mll 200 mll
Konsentrasi Air Kelapa B
ro w
n in
g
Gambar 3.3 Persentase planlet kelapa kopyor yang mengalami browning pada fase pertumbuhan di berbagai media tanpa air kelapa dan dengan
air kelapa konsentrasi 100 mll, 150 mll, dan 200 mll.
Meskipun begitu, penambahan air kelapa 150 mll menghasilkan persentase planlet dengan perkembangan akar yang lebih baik dengan akar primer
dan sekunder. Planlet-planlet seperti ini biasanya dapat langsung diaklimatisasi tanpa melewati masa penguatan akar untuk menginduksi akar-akar lateral pada
planlet yang belum sempurna akarnya. Planlet yang sempurna perkembangan akarnya rata-rata lebih tinggi pada media dengan air kelapa daripada media tanpa
air kelapa Tabel 3.4. Namun di lain pihak air kelapa juga cenderung menghasilkan persentase browning planlet yang lebih besar daripada media tanpa
air kelapa Gambar 3.3. Browning planlet pada media air kelapa meningkat sekitar 7-10 dibandingkan dengan media tanpa air kelapa.
Pengakaran Planlet Sebelum Periode Aklimatisasi
Sebelum memasuki periode aklimatisasi planlet yang belum mempunyai akar namun pertumbuhan tunasnya bagus Gambar 3.4a perlu dirangsang
perakarannya dengan perlakuan zat pengatur tumbuh ZPT dari golongan auksin. Zat pengatur tumbuh IBA ternyata mampu menginduksi keluarnya akar primer
planlet kelapa kopyor asal kultur embrio sigotik setelah dua bulan dalam pengkulturan. Walaupun demikian tidak semua planlet bisa diinduksi akar
primernya. ZPT IBA dapat menginduksi keluar akar primer planlet kelapa kopyor rata-rata antara 78-86, dan masih ada sekitar 14 sampai 22 planlet yang
kurang respon terhadap IBA Tabel 3.5. Berbagai konsentrasi IBA yang diberikan mulai dari 1-3 mgl tidak menunjukkan pola khusus tentang
pengaruhnya terhadap perakaran planlet kelapa kopyor. Konsentrasi IBA 1 mgl sudah cukup baik untuk menginduksi keluarnya akar primer planlet kelapa kopyor
85.75 planlet berakar. Jika konsentrasi IBA ditingkatkan lebih dari 1 mgl, pembentukan akar primer bahkan semakin menurun.
Tabel 3.5 Persentase planlet kelapa kopyor yang berhasil diinduksi akarnya pada media padat Eeuwens dengan penambahan ZPT IBA
Konsentrasi IBA Planlet keluar akar
Planlet dengan akar lateral
1 mgl 2 mgl
3 mgl 85.71
77.78 80.00
20.00 60.00
50.00
Tabel 3.6 Pertumbuhan tunas dan akar planlet kelapa kopyor asal kultur embrio
sigotik pada media Eeuwens dengan penambahan berbagai konsentrasi IBA setelah 2 dan 4 bulan perlakuan
Konsentrasi IBA
Tinggi planlet cm
Jumlah daun
Lebar daun
cm Panjang akar
primer cm Jumlah
akar lateral Dua bulan setelah pemberian IBA
1 mgl 21.01
2.60 1.62
1.36 1.5b
2 mgl 16.81
2.37 1.62
1.00 7.5a
3 mgl 16.79
2.92 1.56
0.83 4.5ab
Empat bulan setelah pemberian IBA
1 mgl 21.73
3.00 1.85
2.675 1.50b
2 mgl 17.99
2.75 1.80
2.435 7.50a
3 mgl 18.30
3.00 1.65
1.425 5.50a
Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan Multiple Range Test DMRT 5
Setelah planlet-planlet tersebut berhasil membentuk akar primer Gambar 3.4b, biasanya diikuti oleh keluarnya akar-akar lateral sekunder dari akar-akar
primer Gambar 3.4c. Untuk menginduksi keluarnya akar lateral dibutuhkan konsentrasi IBA lebih tinggi dari 1mgl. Persentae planlet yang membentuk akar
lateral tertinggi terdapat pada konsentrasi IBA 2 mgl. Pada perlakuan IBA 2 mgl sebanyak 60 planlet mempunyai akar lateral, dibandingkan IBA 1mgl yang
hanya 20 planletnya mempunyai akar lateral. Konsentrasi IBA di atas 2 mgl cenderung menghasilkan planlet dengan akar lateral lebih rendah Tabel 3.5.
IBA yang diberikan pada fase akhir kultur embrio sigotik kelapa kopyor tidak mempengaruhi pertumbuhan tunas planlet kelapa kopyor. Tinggi planlet,
jumlah daun dan lebar daun planlet tidak berbeda nyata antara ketiga level konsentrasi IBA, baik pada 2 bulan maupun 4 bulan setelah pemberian IBA
Tabel 3.6. ZPT IBA lebih berpengaruh pada jumlah akar lateral planlet, sedangkan panjang akar primer planlet juga tidak berbeda di antara level
konsentrasi IBA. Beberapa peneliti kelapa berpendapat bahwa akar-akar lateral sangat penting untuk menunjang penyerapan unsur hara sehingga planlet lebih
bisa bertahan pada kondisi luar setelah diaklimatisasi nanti. Untuk merangsang keluarnya akar lateral, konsentrasi IBA 2 mgl lebih efektif daripada 1 mgl atau 3
mgl Tabel 3.5. Pada konsentrasi IBA 2 mgl menghasilkan jumlah akar lateral nyata lebih banyak daripada IBA 1 mgl. IBA 2 mgl, jumlah akar lateralnya tidak
berbeda nyata dengan IBA 3 mgl baik pada 2 bulan maupun 4 bulan setelah pemberian IBA.
Sejumlah planlet yang mempunyai pertumbuhan tunas dan perakaran yang bagus berhasil diaklimatisasi Gambar 3.4d dan dapat bertahan hidup sampai di
luar kondisi rumah plastik Gambar 3.4e. Planlet yang mempunyai tunas dan akar yang berkembang baik, yaitu ada akar primer dan akar lateral, maka
persentase planlet yang berhasil diaklimatisasi mencapai ± 75-80. Hal penting yang dilakukan sebelum planlet ditanam pada media aklimatisasi adalah mencuci
sisa media kultur dari akar dengan hati-hati supaya akar lateral tidak putus dan akar direndam dalam larutan fungisida selama 5 menit. Planlet diletakkan dalam
ruang tanam selama 1-2 minggu sebelum dipindah di rumah plastik. Setelah planlet menyesuaikan dengan kondisi media tanam yang baru, planlet dipindah ke
rumah plastik. Masa kritis planlet terjadi pada awal sampai umur 1-2 bulan setelah dipindah ke rumah plastik. Kematian bibit pada masa tersebut disebabkan oleh
kegagalan bibit untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan di luar botol kultur dan serangan cendawan yang mengakibatkan busuk batang.
Gambar 3.4 Proses pertumbuhan planlet kelapa kopyor asal kultur embrio
sebelum dan sesudah aklimatisasi. a. Planlet kelapa kopyor siap aklimatisasi hasil kultur embrio sigotik pada media cair Eeuwens
yang belum mempunyai akar, b. Planlet dengan akar primer setelah pemberian IBA, c Planlet dengan akar lateral yang keluar dari akar
primer pada perlakuan IBA 2 mgl, d. Bibit kelapa kopyor umur ± 3 bulan setelah aklimatisasi yang ditanam pada media tanah dan
pupuk organik 1:3, e. Bibit kelapa kopyor setelah dikeluarkan dari rumah plastik dan ditanam ke polybag dengan media campuran
tanah dan pupuk organik 2:1 umur ± 6 bulan setelah aklimatisasi.
Akar
primer
Akar
lateral a
b c
d e
Pembahasan
Perbaikan kultur embrio sigotik kelapa kopyor dilakukan mulai dari proses perkecambahan sampai dengan pengakaran planlet sebelum periode aklimatisasi.
Pada fase perkecambahan diantara berbagai bahan aditif yang dicoba, hanya air kelapa 150 mll yang dapat meningkatkan perkecambahan embrio kelapa kopyor
dengan waktu berkecambah lebih cepat. Embrio kelapa kopyor pada umumnya rata-rata membutuhkan waktu berkecambah sekitar 6 sampai 8 minggu
Miftahorrachman et al. 1991; Sukendah et al. 2006, dengan penambahan air kelapa 150 mll waktu berkecambah dipercepat sekitar 1-2 minggu. Daya
kecambah embrio kelapa kopyor pada media air kelapa 150 mll pada penelitian ini jauh lebih baik dibandingkan daya kecambah embrio kelapa kopyor pada
media penelitian sebelumnya dengan bahan adtif seperti sari tauge, sari buah tomat, dan ekstrak ragi Sukendah Rachmat 2003 atau daya kecambah embrio
kelapa kopyor pada media tanpa bahan aditif di berbagai laboratorium di Filipina yang berkisar antara 50-78 Rillo 1998. Kemungkinan karena komposisi air
kelapa mengandung beberapa hormon seperti auksin, sitokinin dan giberelin. Air kelapa juga mengandung bahan organik gula dan vitamin; asam amino termasuk
asam glutamat, asparagin, prolin, dan glisin; serta bahan anorganik seperti fosfat P, magnesium Mg, dan kalium K Raghavan 1977. Menurut Unagul et al.
2007, air kelapa mengandung monosakarida dengan kandungan gula setara dengan 60 gl dan sejumlah vitamin untuk menunjang pertumbuhan biomasa
rumput laut secara in vitro. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penambahan air kelapa pada media dapat meningkatkan pertumbuhan planlet,
seperti pada planlet kapulaga dengan penambahan air kelapa 50-200 mll Tefera Wannakrairoj 2004, planlet kiwi dengan penambahan air kelapa 100 mll
Boase Wright 1993. Disamping itu embrio yang dikecambahkan pada media dengan air kelapa
150 mll hampir tidak mengalami browning yang dapat menyebabkan kematian pada embrio Tabel 3.2. Dengan demikian air kelapa terbukti merupakan bahan
aditif yang paling cocok untuk proses perkecambahan embrio kelapa kopyor.
Pada periode pertumbuhan planlet, berbagai usaha dilakukan antara lain mengatur periode subkultur dan pemberian air kelapa untuk mempertahankan
planlet terus tumbuh dan supaya tidak mengalami browning atau stagnasi. Pada penelitian ini periode subkultur yang paling baik antara 2-3 bulan. Protokol kultur
embrio untuk kelapa dari UPLB Filipina, ORSTOM Perancis dan CPRI India rata-rata melakukan subkultur untuk pertumbuhan planlet setiap 4 minggu
1 bulan atau 6 minggu 1.5 bulan. Ini berarti frekuensi subkultur dapat dikurangi tanpa mengakibatkan pengaruh negatif pada pertumbuhan planlet
kelapa kopyor, bahkan dengan subkultur 2 bulan pertumbuhan planlet dan jumlah planlet yang diperoleh lebih baik daripada periode subkultur satu bulan sekali.
Sedangkan periode subkultur untuk protokol sebelumnya yang dikembangkan oleh Sukendah 2002 adalah 3-4 bulan sekali. Pada penelitian ini planlet
membutuhkan periode subkultur lebih sering dibandingkan dengan protokol sebelumnya untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan jumlah planlet.
Penambahan air kelapa pada periode pertumbuhan planlet tidak mempunyai pengaruh yang banyak, namun air kelapa dapat meningkatkan
persentase planlet yang berakar dengan baik. Walaupun demikian air kelapa juga cenderung meningkatkan planlet yang browning Gambar 3.3. Umumnya pada
sistem kultur jaringan, senyawa fenolik terutama senyawa fenolik yang teroksidasi berakibat buruk pada jaringan yang ditanam, yaitu eksplan yang mati akibat
browning Arnaldos et al. 2001; Laukkanen et al. 1999. Konsentrasi senyawa fenolik ini dapat dipengaruhi oleh beberapa bahan organik, terutama karbohidrat
yang ditambahkan pada media Lux-Endrich et al. 2000. Penambahan air kelapa ke dalam media akan meningkatkan kandungan karbohidrat pada media sehingga
kemungkinan konsentrasi senyawa fenolik meningkat dan mengakibatkan eksplan rentan terhadap browning.
Proses aklimatisasi merupakan tahap kritis bagi planlet kelapa kopyor untuk dapat bertahan hidup di luar kondisi laboratorium. Hal penting yang harus
diperhatikan agar planlet dapat bertahan pada saat proses aklimatisasi adalah vigor atau kondisi planlet sebelum dikeluarkan dari lingkungan laboratorium yang serba
terkontrol. Daya bertahan hidup planlet dapat ditingkatkan dengan pemberian hormon untuk perkembangan akar Van Telgen et al. 1992; Diaz-Perez et al.
1995. Ada sejumlah planlet kelapa kopyor yang sudah layak untuk diaklimatisasi mempunyai 3-4 daun yang membuka sempurna tetapi belum mempunyai akar
atau sistem perakarannya kurang baik. Planlet-planlet yang demikian butuh diperbaiki sistem perakarannya sebelum diaklimatisasi dengan perlakuan hormon
atau zat pengatur tumbuh yang dapat merangsang keluarnya akar. Penambahan zat pengatur tumbuh IBA pada media Eeuwens sangat
berpengaruh pada perakaran planlet kelapa kopyor. Konsentrasi IBA 2 mgl merupakan konsentrasi terbaik untuk menghasilkan akar lateral. Beberapa peneliti
menyatakan bahwa IBA berpengaruh terhadap pertumbuhan akar pada kultur in vitro Bogetti et al. 2001; De-Klerk et al. 2001. IBA dengan konsentrasi 3 mgl
dapat digunakan untuk meningkatkan perakaran planlet sambung mikro kina Toruan-Mathius et al. 2006. Di samping IBA, golongan auksin lainnya
seperti IAA dan NAA juga digunakan untuk meningkatkan perakaran panlet in vitro. Pada tanaman kopi untuk pengakaran lebih baik menggunakan IBA
daripada NAA, konsentrasi IBA 3 mgl mempunyai jumlah akar dan panjang akar tertinggi Ebrahim et al. 2007. Di antara 3 macam auksin IAA, IBA dan NAA,
IBA yang paling banyak dipakai untuk pengakaran keluarga Rubiace. Untuk pengakaran Ceanophora arabica yang paling baik menggunakan IBA 1.0 mgl
Ganesh Sreenath 1997. Keberhasilan bibit bertahan hidup pada proses aklimatisasi juga ditentukan
oleh jenis hormon yang dipakai pada saat pengakaran planlet Ebrahim et al. 2007. Planlet yang akarnya dirangsang dengan ZPT IBA dan IAA
menghasilkan bibit bertahan hidup lebih baik daripada ZPT NAA. Hal ini disebabkan NAA menghasilkan akar yang lebih pendek dan adanya massa kalus
di basal batang tempat akar berada. Tampaknya banyak jenis tanaman yang lebih sesuai menggunakan ZPT IBA daripada jenis auksin lainnya untuk merangsang
perakaran dengan konsentrasi berkisar antara 1-3 mgl.
Kesimpulan
Secara keseluruhan untuk perbaikan teknik kultur embrio kelapa kopyor adalah pada fase perkecambahan sebaiknya ditambahkan air kelapa 150 mll
untuk meningkatkan daya kecambah dan mempercepat perkecambahan embrio. Sedangkan pada fase pertumbuhan planlet tidak perlu ditambahkan bahan aditif,
kecuali jika ingin memperoleh lebih banyak planlet dengan perkembangan akar yang baik, maka pemakaian air kelapa 150 mll dapat dipertimbangkan. Periode
subkultur yang bisa dipakai untuk meningkatkan pertumbuhan planlet kelapa kopyor adalah 2 bulan. Pengakaran pada planlet kelapa kopyor asal kultur embrio
sigotik yang belum mempunyai akar sebelum proses aklimatisasi, sangat efektif diinduksi oleh perlakuan ZPT IBA. Rata-rata planlet dapat berakar dengan
persentase di atas 75. Konsentrasi IBA 1 mgl sudah dapat menghasilkan persentase planlet berakar sekitar 85, namun untuk merangsang keluarnya akar
lateral dibutuhkan konsentrasi IBA 2 mgl. Planlet hasil kultur embrio sigotik berhasil diaklimatisasi pada media campuran tanah dan bahan organik 1:3 dan
dapat bertahan hidup sampai di luar lingkungan rumah plastik.
1
Bagian bab ini dalam proses pengajuan paten ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I. dengan judul invensi: Pembelahan Eksplan
Embrio Sigotik untuk Peningkatan Jumlah Planlet dan Bibit Kelapa Kopyor
BAB IV REGENERASI KELAPA KOPYOR DENGAN METODE PEMBELAHAN