Etiologi Patogenesis KAJIAN PUSTAKA

11 Penyakit kusta dapat mengenai semua usia namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan produktif. Berdasarkan jenis kelamin penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan dengan proporsi yang sama. Penyakit kusta juga dipengaruhi oleh sosial ekonomi, dimana penyakit kusta lebih jarang ditemukan pada tingkat sosial ekonomi yang tinggi Kemenkes RI, 2012.

2.3 Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang merupakan bakteri tahan asam, berbentuk batang gram positif, tidak dapat dikultur pada media buatan, aerob dan bersifat obligat intraseluler. Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873 sehingga penyakit ini dikenal pula sebagai Morbus Hansen Lee dkk., 2012; Sekar, 2010. Mycobacterium leprae bersifat non motil berukuran panjang 1-8 mikron dan diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang membulat. Tropisme dari bakteri ini adalah sistem retikuloendotelial dan sistem saraf perifer sel Schwann. Replikasi memerlukan waktu 11 hingga 13 hari, tumbuh maksimal pada suhu 27 C hingga 30 C Eichelmann dkk., 2013; Sekar, 2010. Dinding sel bakteri mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target lipoglikan respon imunitas selular maupun humoral yang ditemukan pada membran bagian luar hingga ke membran sel. Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu pthiocerol dimycocerosate dan phenolic glycolipid-1 PGL-1 yang merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae yang aktif secara serologis. Phenolic 12 glycolipid-1 sangat imunogenik,dapat memicu imunoglobulin kelas Imunoglobulin Ig M yang ditemukan pada 60 kusta tipe TT dan 90 kusta tipe LL. Lee dkk., 2012; Sekar, 2010; Polycarpou dkk., 2013.

2.4 Patogenesis

Penyakit kusta ditandai dengan adanya spektrum klinis yang luas didasari oleh respon imunitas pejamu Gambar 2.1. Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh Th T Helper 1, IFN- γ dan interleukin IL-2 pada kulit dan saraf, yang menggambarkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen M. leprae. Kusta tipe tuberkuloid ditandai dengan adanya pembentukan granuloma dengan predominan sel T CD4+ dan gambaran klinis adanya gangguan saraf tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2 IL-4 dan IL-10 yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae, predominan sel T CD8+ serta tidak terbentuk granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe borderline yang menunjukan pola imunitas diantara kedua kutub kusta. Gulia dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk, 2010. 13 Gambar 2.1 Spektrum Klinis Penyakit Kusta Nath dan Chaduvula, 2010 Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas alamiah termasuk Toll-like receptor TLR. Toll-like receptor 2 membentuk heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali komponen mikobakterium seperti protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya Misch dkk., 2010. Lipoglikan lipomanan LM dan manosa atau arabinose-capped lipoarabinomanan ManLAM dan AraLAM merupakan faktor virulensi utama pada spesies mikobakterium, berperan sebagai agonis poten TLR12 dan berkontribusi pada aktivasi makrofag dan imunomodulasi respon pejamu. Molekul ini berperan pada pelepasan ROS oleh sel fagosit melalui mekanisme respiratory burst Hart dan Tapping, 2012. Beberapa reseptor signaling lainnya yang juga dianggap berperan antara lain TLR 4,6,8 dan 9, sel dendritik, Dectin-1 dan mincle Misch dkk., 2010. 14 Determinan utama diferensiasi sel limfosit T yang naïf menjadi sel Th1 dimediasi oleh antigen presenting cell APC dan komplek TLR melalui pelepasan IL-12. Pada kusta tipe tuberkuloid ekspresi IL-12 ditemukan 10 kali lipat lebih tinggi dibanding kusta tipe lepromatosa. Pelepasan IL12 juga dimediasi oleh TLR 1 dan 2 dan CD40 dimana ekspresi TLR maupun CD40 ini ditemukan lebih banyak pada lesi tuberkuloid dibanding lepromatosa. Hal ini menjelaskan mengapa pada kusta tipe lepromatosa terjadi kegagalan pembentukan Th1 dan IFN γ yang berespon terhadap antigen M. leprae Renault dan Ernst, 2015 Makrofag merupakan sel pejamu yang paling banyak berinteraksi dengan M. leprae. Makrofag memiliki 2 fungsi utama yaitu sebagai APC melalui molekul Major Histocompatibility Complex MHC klas I dan klas II yang dipresentasikan kepada sel CD8+ dan CD4+ serta sebagai fagositosis bakteri patogen melalui mekanisme efektor nonspesifik. Makrofag pada jaringan spesifik dan lokasi infeksi berperan dalam melepaskan sitokin termasuk TNF- α sebagai hasil dari stimulasi M. leprae utuh maupun komponen dinding sel. Stimulasi makrofag oleh PGL-1 juga dapat menginduksi pelepasan TNF- α Bath dan Prakash, 2012; Venkatesan dan Deo, 2012. Produk utama reaktivasi makrofag adalah ROS dan nitric oxide NO. Produksi ROS diperantarai oleh fagosit oksidase suatu enzim multisubunit yang diaktivasi terutama oleh IFN- γ dan sinyal dari TLR. Fagosit oksidase berfungsi mereduksi molekul oksigen menjadi ROS dengan kofaktor nicotinamide adenine dinucleotide phosphate NADPH. Radikal superoksid yang terbentuk dari proses ini kemudian akan mengalami dismutasi secara enzimatik menjadi hidrogen peroksida, yang selanjutnya digunakan oleh 15 enzim myeloperoksidase untuk mengubah ion halida menjadi asam hipoklorat yang bersifat reaktif. Proses ini dikenal dengan sebutan respiratory burst Abbas dkk., 2015. Selain ROS, makrofag juga memproduksi reactive nitrogen species terutama NO. Nitric oxide dibentuk dari aktivasi enzim inducible nitric oxide synthase iNOS. Enzim ini merupakan enzim sitosolik yang terinduksi sebagai respon terhadap produk mikrobial yang mengaktivasi TLR, terutama apabila dikombinasi dengan IFN- γ. Enzim iNOS mengkatalisasi konversi arginin menjadi sitrulin dan melepaskan NO yang berdifusi aktif. Di dalam fagolisosom NO dapat membentuk radikal peroksinitrit yang sangat reaktif, sebagai hasil penggabungan dengan hidrogen peroksida atau radikal superoksid yang dapat membunuh bakteri Abbas dkk., 2015. Gambar 2.2 Peran Makrofag pada Sistem Imunitas Abbas dkk., 2015 16 Sel schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M. leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae maupun melalui respon imunitas. Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang terdapat pada membran sel Schwann. Laminin binding protein 21 LBP-21 berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel Schwann, selanjutnya internalisasi M. leprae akan menyebabkan demyelinisasi saraf perifer diakibatkan oleh ikatan langsung antara bakteri dengan reseptor neuregulin, aktivasi ErB2 dan Erk12 dan aktivasi Mitogen Activated Protein MAP kinase Gulia dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk., 2010; Renault dan Ernst, 2015. Demyelinisasi oleh M. leprae akan memicu invasi lebih lanjut karena M. leprae lebih menyukai unit akson yang tidak bermyelin. Mekanisme kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada kusta tipe multibasilar Renault dan Ernst, 2015. Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun diduga disebabkan karena pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12, IL-16, IL-18, 1L-15 dan IL-1 β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang dikenali oleh TLR12 menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan apoptosis sel Schwann, selain itu sel Schwann yang terpapar secara in vitro terhadap neuron yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan nitric oxide NO yang merupakan mediator inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan saraf disebabkan karena influks sel imunitas dan cairan interstisial edema pada saraf 17 sehingga terjadi kompresi dan iskemia Misch dkk., 2010; Renault dan Ernst, 2015.

2.5 Cara Penularan