KADAR SENG (Zn) PLASMA BERKORELASI DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PSORIASIS VULGARIS.

(1)

i

TESIS

KADAR SENG

(Zn) PLASMA BERKORELASI DENGAN

DERAJAT KEPARAHAN PSORIASIS VULGARIS

ARY WULANDARI NIM 1114088201

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

KADAR SENG

(Zn) PLASMA BERKORELASI DENGAN

DERAJAT KEPARAHAN PSORIASIS VULGARIS

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana

ARY WULANDARI NIM 1114088201

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 18 Januari 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. dr. Md Swastika A.,Sp.KK(K), FINSDV, FAADV NIP. 19520101 198003 1 003

Dr. dr. IGAA Praharsini, Sp.KK NIP. 19630821 199003 2 001

Mengetahui, Ketua Program Studi Ilmu biomedik–Combined Degree Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Direktur

Program pascasarjana Universitas Udayana,

Dr. dr. Gede Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc.,Sp.GK NIP 19580521 198503 1 002

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 195902151985102001


(4)

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No:

Ketua : Prof. dr. Made Swstika Adiguna, SpKK(K),FINSDV,FAADV

Anggota :

1. Dr. dr. IGAA Praharsini, Sp.KK

2. Dr. dr Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV

3. Dr. dr. AAGP Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV 4. Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV


(5)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : dr. Ary Wulandari

NIM : 1114088201

Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine-Degree)

Judul : Kadar Seng Tidak Berkorelasi dengan Derajat Keparahan

Psoriasis Vulgaris

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai pertemuan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar,………

Yang membuat pernyataan,


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka tesis yang berjudul ” Korelasi Kadar Seng Plasma dengan Derajat Keparahan Psoriasis Vulgaris” dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas pada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Universitas Udayana.

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi mahasiswa program pasca sarjana, program studi kekhususan kedokteran klinik (combined degree).

Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree), Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pasca Sarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree).

Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. A.A.A Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Kardiologi dan Kedokteran Vaskular dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar.


(7)

vii

Prof. dr. Made Swastika Adiguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV, selaku pembimbing pertama dan Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNUD/RSUP Sanglah serta memberikan dorongan, dukungan, semangat serta meluangkan waktu dan pemikiran dalam penyusunan tesis ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.

Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK (K), FINSDV yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan dukungan sejak awal sampai akhir pendidikan penulis. Terima kasih karena telah menjadi orang tua yang senantiasa mengarahkan, membimbing dan memberikan dukungan selama penulis menjalani pendidikan PPDS I Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.

Dr .dr. I. G. A. A. Praharsini, Sp.KK selaku pembimbing kedua yang dengan kesediaan penuh membimbing, memberikan arahan, dan dorongan yang tinggi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini.

Dr. dr. Made Wardhana, Sp.KK (K), FINSDV, Dr. dr. A. A. G. P Wiraguna, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV dan Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV, selaku penguji yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan dan penulisan tesis ini.

Seluruh staf Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah atas segala bimbingan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

Suami tercinta, dr. I Putu Agus Wismantara, yang selalu memberikan dukungan dengan penuh kasih sayang, yang rela membagi waktunya demi kesempurnaan penelitian ini. Terimakasih.

Kedua orang tua, Drs. Made Sutedja Bsc, dan Ni Ketut Soli yang telah dengan penuh kasih sayang dan penuh cinta membesarkan, mendidik, dan memberikan


(8)

viii

dukungan moril, materi, serta doa sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Tak lupa juga terima kasih untuk kakak dan adik penulis dr. Putri Sawitri dan Tri Maharani atas semua dukungan dan doanya.

Rekan residen dr. Ida Ayu Dayu Utami dewi, dr. herjuni Oematan, dr. Ni Made Dina Pranidya Ari dan dr. Nieke Andina Wijaya, yang tanpa bantuannya maka tesis ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan residen lainnya yang dalam suka maupun duka bekerja sama selama mengikuti pendidikan ini.

Teman-teman Sekretariat Kulit dan Kelamin, Ibu Wayan, Ibu Kadek, Wayan Keni dan Murni yang selalu mendukung, membantu selama pendidikan spesialis ini,

Kepada semua pihak rekan paramedis dan non paramedis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu di sini, atas seluruh dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama penulis menjalani pendidikan PPDS I Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan tesis ini. Penulis berharap agar hasil yang tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan.

Denpasar, Januari 2015 Penulis,


(9)

ix ABSTRAK

KADAR SENG PLASMA BERKORELASI DENGAN DERAJAT KEPARAHAN PSORIASIS VULGARIS

Patogenesis pasti psoriasis vulgaris masih belum diketahui. Defisiensi trace element seperti seng menyebabkan stress oksidatif yang diduga perperan dalam patogenesis psoriasis vulgaris. Seng meningkatkan aktivitas Superoxide dismutase (SOD) merupakan antioksidan enzimatik yang mampu mencegah kerusakan sel. Seng terlibat dalam reaksi inflamasi dan imunologi seperti keratinisasi dan pembentukan melanin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi kadar seng dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris.

Penelitian ini adalah penelitian cross sectional yang melibatkan 47 orang penderita psoriasis vulgaris dan 11 orang kontrol sehat. Analisis sampel plasma untuk pemeriksaan kadar seng menggunakan inductively couple plasma atomic emission spectroscopy (ICP-AES). Derajat keparahan psoriasis vulgaris diukur dengan skor psoriasis area and severity index (PASI).

Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar seng plasma pada subjek psoriasis vulgaris secara bermakna lebih rendah dibandingkan dengan subjek kontrol sehat (p < 0,001). Terdapat korelasi yang lemah antara kadar seng plasma dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris dengan nilai r = 0,037 dan nilai p = 0,836.

Dari penelitian ini dapat disimpulkan terdapat korelasi yang lemah antara kadar seng plasma dengan derajat keparahan penyakit psoriasis vulgaris namun secara statistik tidak signifikan. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengklarifikasi pentingnya hasil penelitian ini pada patogenesis psoriasis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai data dasar untuk penelitian selanjutnya.


(10)

x ABSTRACT

CORRELATIONS BETWEEN ZINC IN PLASMA WITH SEVERITY OF PSORIASIS VULGARIS

The exact pathogenesis of psoriasis vulgaris is still unknown. Deficiency of trace element such as zinc causes oxidative stress has been implicated in the pathogenesis of psoriasis. Zinc can increase activity of Superoxide dismutase (SOD) as enzymatic antioxidant can prevent cell damage. Zinc involved in immunological and inflammatory reactions such as keratinization and melanin formation. The aim of this study is to assess the correlation between zinc with severity of psoriasis vulgaris.

This is cross-sectional study involving 47 patients with psoriasis vulgaris and 11 patient healthy controls. Plasma samples analysis for examination of zinc level using inductively couple plasma atomic emission spectroscopy (ICP-AES). The severity of psoriasis was assessed by psoriasis area and severity index score (PASI).

This study found that the mean of zinc in plasma of psoriasis vulgaris was significantly lower from healthy control (p < 0,001). There was weak correlation between plasma levels of zinc and psoriasis vulgaris severity with r = 0,037 and p = 0,836.

This study concluded that there were weak correlations between plasma zinc levels with severity of psoriasis vulgaris but statistically not significant. More studies are required to clarify the importance of these findings in pathogenesis or treatment of psoriasis. The Result of this study could be uses as preliminary data for further study.


(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARATAN GELAR ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR SINGKATAN ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan khusus ... 5


(12)

xii

1.4.1Manfaat teoritis ... 5

1.4.2Manfaat praktis ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

2.1 Psoriasis ... 7

2.1.1 Definisi ... 7

2.1.2 Epidemiologi ... 7

2.1.3 Patogenesis ... 8

2.1.4 Manifestasi Klinis ... 13

2.1.4.1 Psoriasis vulgaris ... 13

2.1.4.2 Psoriasis gutata ... 14

2.1.4.3 Psoriasis Inversa ... 14

2.1.4.4 Psoriasis eritrodermi ... 14

2.1.4.5 Psoriasis pustular generalisata (von Zumbusch) ... 15

2.1.4.6 Psoriasis pustular lokalisata ... 15

2.1.4.7 Sebopsoriasi ... 15

2.1.5 Diagnosis ... 15

2.1.6 Derajat Keparahan Penyakit ... 16

2.1.7 Terapi ... 18

2.2 Seng ... 20

2.2.1 Biologi Seng ... 20

2.2.2 Seng sebagai Antioksidan ... 23


(13)

xiii

2.4 Hubungan Seng dan Psoriasis... 27

BAB III KERANGKA BERFIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN ... 33

3.1 Kerangka berfikir ... 33

3.2 Konsep Penelitian ... 35

3.3 Hipotesis Penelitian ... 36

BAB IV METODE PENELITIAN ... 37

4.1 Rencangan Penelitian ... 37

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37

4.3 Penentuan sumber data ... 38

4.3.1 Populasi Target ... 38

4.3.2 Populasi Terjangkau ... 38

4.3.3 Sampel Penelitian ... 38

4.3.3.1 Kriteria Inklusi ... 38

4.3.3.2 Kriteria Eksklusi ... 39

4.3.4 Besar Sampel ... 40

4.4 Variabel Penelitian ... 40

4.4.1 Klasifikasi dan Identifikasi Variabel ... 41

4.4.2 Definisi Operasional Variabel ... 42

4.5 Bahan Penelitian ... 45

4.6 Instrumen Penelitian ... 46


(14)

xiv

4.8 Analisis Data... 49

4.9 Etika Penelitian ... 50

BAB V HASIL PENELITIAN ... 51

5.1 Karakteristik Subyek Penelitian ... 51

5.2 Uji Normalitas dan Homogenitas Data ... 53

5.3 Perbedaan Kadar Seng Plasma pada Kelompok Psoriasis vulgaris dan bukan psoriasis vulgaris ... 53

5.4 Korelasi Kadar Seng Plasma pada Penderita Psoriasis vulgaris dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris ... 55

BAB VI PEMBAHASAN ... 58

6.1 Karakteristik Subyek Penelitian ... 58

6.2 Perbedaan Kadar Seng Plasama pada Kelompok Psoriasis Vulgaris dan Bukan Psoriasis Vulgaris ... 60

6.3 Korelasi Kadar Seng Plasma pada Penderita Psoriasis Vulgaris dengan Derajat Keparahan psoriasis vulgaris ... 62

6.4 Keterbatasan Penelitian ... 64

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 65

7.1 Simpulan ... 65

7.2 Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 66


(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Halaman 2.1 Sel-sel Imun dan Sitokin yang Berperan dalam Pembentuk Plak

Psoriasis ... 10

2.2 Aktivasi Jalur Sinyal STATs dan NF-κB oleh Sitokin pada Psoriasis ... 12

2.3 Homeostasis Seng Intraseluler ... 22

2.4 Seng Melalui Jalur A20 Menghambat Aktivasi Nuclear factor к-B ... 27

2.5 Patogenesis Psoriasis terkait dengan Seng ... 32

3.1 Kerangka Konsep Penelitian ... 35

4.1 Rancangan Penelitian Cross Sectional ... 37

4.2 Variabel-variabel Penelitian ... 42

4.3 Skema Alur Penelitian... 48

5.1 Grafik boxplot Perbandingan Kadar Seng Plasama pada Kelompok Psoriasis Vulgaris dengan Bukan Psoriasis Vulgaris ... 54 5.2 Grafik Scattered Plot Korelasi Kadar Seng Plasma dengan Skor PASI . 56


(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Halaman 2.1 Psoriasis Area and Severity Index ... 18 5.1 Gambaran Karakteristik Subyek Berdasarkan Kelompok Psoriasis

Vulgaris dan Bukan Psoriasis Vulgaris ... 52 5.2 Uji Normalitas Data ... 53 5.3 Hasil Analisis Perbedaan Kadar Seng Plasma pada kelompok Psoriasis

Vulgaris dan Bukan psoriasis vulgaris ... 54 5.4 Korelasi Kadar Seng Plasma dengan Derajat Keparahan


(17)

xvii

DAFTAR SINGKATAN

CAT : Catalase

Cu : Tembaga

Dkk : Dan kawan-kawan

EGFR : epidermal growth factor receptor GPx : glutathione peroxidase

H2O2 : Hydrogen peroksida

HLA : Human Leucocyte Antigen ICAM-1 : intercell adhesion molecule 1 IFN : Interferon

IL : Interleukin

IKK : IkB kinase

iNOS : inducible nitric oxide synthase MDA : Malondialdehyde

MH : Morbus Hansen

MT : Metallothioneins NF-κB : Nuclear factor кB NK : Natural Killer


(18)

xviii

PPAR : Peroxisome Proliferator Activated Receptor ROS : Reactive oxygen species

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

Se : Selenium

SH : Sulfhydryl

SOD : Superoxide dismutase

TGF : Transforming Growth Factor

Th : T helper

TNF : Tumor Necrosis Factor

TRAF : Tumor Necrosis Factor Receptor Associated Factor VCAM-1 : vascular cell adhesion molecule 1

VEGF : vascular endothelial growth factor


(19)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Keterangan Kelaikan Etik ... 72

2. Surat Ijin ... 73

3. Penjelasan dan Form Persetujuan Penelitian... 74

4. Persetujuan Ikut Serta dalam Penelitian ... 76

5. Kuesioner Penelitian ... 77

6. Penilaian Psoriasis Area And Severity Index (PASI) ... 84

7. Data Penelitian ... 86

8. Hasil Analisis ... 92


(20)

xx

TESIS

KORELASI KADAR SENG

(Zn) PLASMA DENGAN

DERAJAT KEPARAHAN PSORIASIS VULGARIS

ARY WULANDARI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan masalah kosmetik dan psikologis sehingga mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Perjalanan penyakit yang bersifat kronis residif serta pengobatan yang belum memuaskan menyebabkan perawatan psoriasis membutuhkan waktu lama serta biaya yang cukup mahal.

Prevalensi psoriasis pada populasi di seluruh dunia diperkirakan berkisar antara 2%-4,8% (Alwasiti dkk., 2011; Ni dan Chiu, 2014). Di Indonesia belum ada data pasti mengenai jumlah penderita psoriasis. Data epidemiologi psoriasis dari sepuluh rumah sakit di Indonesia pada tahun 1996 hingga 1998 menunjukan angka prevalensi yang bervariasi yaitu sebesar 0,59% hingga 0,92% (Lestari, 2009). Penelitian di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) H. Adam Malik Medan pada periode Januari hingga Desember 2010, dari total 3.230 orang yang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin, 34 pasien (1,05%) diantaranya merupakan pasien psoriasis (Pane, 2013). Di poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah, Denpasar pada Januari hingga Desember 2014 didapatkan insiden psoriasis sebesar dari 0,51%.

Psoriasis memiliki berbagai macam varian klinis (Gudjonsson dkk., 2012). Varian atau bentuk klinis psoriasis yang paling sering adalah psoriasis vulgaris yaitu sekitar 80% dari keseluruhan bentuk psoriasis. Psoriasis vulgaris ditandai dengan


(22)

2

plak eritema berbatas tegas yang ditutupi skuama berwarna putih tebal. Lesi kulit psoriasis memiliki distribusi yang simetris pada area kulit kepala, siku, lutut, dan area lumbosakral (Monteleone dkk., 2011; Langley dkk., 2012; Gudjonsson dkk., 2012).

Derajat keparahan psoriasis dinilai dengan menghitung psoriasis area and severity index (PASI). Psoriasis area and severity index merupakan metode yang dikembangkan oleh Fredriksson dan Pettersson pada tahun 1978, digunakan untuk mengevaluasi hasil terapi psoriasis (Louden dkk., 2004). Metode ini membagi area tubuh menjadi empat bagian, antara lain; kepala, ekstrimitas atas, badan dan ekstrimitas bawah. Luas permukaan tubuh yang terlibat dinilai dengan metode rule of nine. Penilaian terhadap tingkat keparahan plak psoriasis berdasarkan tiga kriteria, yaitu; eritema, ketebalan lesi dan skuama (Louden dkk., 2004; Langley dkk., 2004). Berdasarkan hasil perhitungan PASI maka derajat keparahan psoriasis dibagi menjadi tiga yaitu derajat ringan, sedang dan berat (Mohamad, 2013).

Peran sitokin serta beberapa sel imun seperti keratinosit dan leukosit telah banyak dibuktikan pada patogenesis psoriasis (Coimbra dkk., 2012). Studi yang berkembang saat ini menunjukan adanya peran stres oksidatif dan jalur tranduksi sinyal pada patogenesis psoriasis (Alwasiti dkk., 2011). Jalur tranduksi sinyal oleh nuclear factor кB (NF-кB) merupakan faktor transkripsi terbukti terlibat dalam perkembangan psoriasis (Zhou dkk., 2009). Faktor transkripsi ini diaktifkan oleh ROS dan sitokin, seperti: tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan interleukin-1 (IL-1) yang menginduksi proses inflamasi, proliferasi sel dan apoptosis (Zhou dkk., 2009 dan Prasad, 2014). Nuclear factor кB pada sel keratinosit, monosit dan makrofag mengekspresikan gen yang mengkode sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β dan IL-8 yang berperan dalam patogenesis psoriasis. Aktivitas NF-кB dapat dihambat


(23)

3

oleh seng (Zn) melalui aktivasi protein A2 yang memediasi jalur sinyal tumor necrosis factor (TNF) receptor associated factor (TRAF) dan peroxisome proliferator activated receptor (PPAR) sehingga sitokin-sitokin proinflamasi yang berperan dalam patogensis psoriasis tidak dihasilkan (Prasad, 2007).

Seng sebagai trace element terlibat dalam berbagai proses seluler, berfungsi menjaga integritas membran sel dengan menurunkan pembentukan radikal bebas dan mencegah peroksidasi lipid. Seng juga berfungsi sebagai kofaktor dari metalloenzymes serta terlibat dalam sintesis protein, penyembuhan luka, pembentukan melanin dan diferensiasi keratinosit (Lee dkk., 1999; Dadras dkk. 2012; Jebory, 2012; Mohamad, 2013). Proses diferensiasi keratinosit diperankan oleh gen seng finger protein 750 (ZnF750) yang mengkode faktor transkripsi seng finger atau protein seng finger. Mutasi pada ZnF750 diduga sebagai penyebab psoriasis (Birnbaum dkk. 2011; Cohen dkk. 2012). Gen ini terletak pada kromosom 17q25 di lokus PSORS2 (Birnbaum dkk. 2011). Beberapa penelitian menunjukan adanya peran genetik seperti gen PSORS 1 pada gen kromosom 6p21, gen PSORS 2 pada kromosom 17 pada psoriasis (Lestari, 2009).

Defisiensi Zn diduga sebagai penyebab psoriasis. Kadar Zn yang rendah menyebabkan terjadinya penurunan aktivitas SOD sehingga memicu stres oksidatif akibat peningkatan kadar ROS, hal ini yang diduga sebagai penyebab terjadinya psoriasis (Mohamad, 2013). Rendahnya kadar Zn plasma pada psoriasis juga diduga akibat hilangnya Zn bersamaan dengan skuama yang terlepas dari lesi psoriasis (Alwasiti dkk. 2011; Payasvi dkk. 2013; Mohamad, 2013).

Status Zn dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa parameter, seperti: konsentrasi Zn dalam darah, rambut, kuku, urin, studi isotop dan pengukuran enzim


(24)

4

yang mengandung Zn (Hidayat, 1999; Seo dkk., 2014). Konsentrasi Zn dalam darah adalah parameter yang paling sering digunakan untuk menentukan status Zn seseorang karena mudah dilakukan dan cukup akurat (Hidayat, 1999; Afridi dkk., 2011).

Beberapa penelitian yang mencari hubungan kadar Zn dalam darah dengan psoriasis memberikan hasil yang bervariasi (Dadras dkk. 2012). Penelitian mengenai peran trace elements pada psoriasis ringan dan berat oleh mohamad menunjukan adanya penurunan kadar Zn dalam serum pada kelompok psoriasis dibandingankan kelompok orang yang sehat (Mohamad, 2013). Hasil penelitian tersebut didukung oleh studi yang dilakukan sebelumnya oleh Alwasiti dkk. (2011), Al-Jebory (2012) dan Payasvi dkk. (2012) terjadi penurunan kadar Zn dalam serum yang signifikan pada kelompok psoriasis vulgaris dibandingkan kontrol yang sehat. Dadras dan Ala mendapatkan hasil penelitian yang berbeda, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antara kadar Zn plasma pada pasien psoriasis dibandingkan dan kelompok orang sehat (Dadras dkk, 2011; Ala dkk, 2013).

Berdasarkan data yang telah dipaparkan tersebut, didapatkan bahwa korelasi antara kadar seng dengan derajat keparahan psoriasis masih kontroversi. Perbedaan hasil penelitian tersebut yang mendasari untuk dilakukan penelitian untuk mengetahui korelasi antara kadar seng dengan derajat keparahan psoriasis.


(25)

5

1.2Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat perbedaan kadar seng plasma antara subyek psoriasis vulgaris dan bukan psoriasis vulgaris?

2. Apakah kadar seng plasma berkorelasi negatif dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris?

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1Tujuan umum

Mengetahui korelasi negatif antara kadar seng plasma dengan derajat keparahan pada subyek psoriasis vulgaris.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan kadar seng plasma antara subyek psoriasis vulgaris dan bukan psoriasis vulgaris.

2. Untuk mengetahui apakah terdapat korelasi negatif antara kadar seng plasma dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris.

1.4Manfaat Penelitian 1.4.1Manfaat teoritis

Memberikan tambahan ilmu pengetahuan mengenai peran seng pada patogenesis psoriasis yang ditandai dengan adanya perbedaan kadar seng plasma antara penderita psoriasis vulgaris dengan bukan psoriasis vulgaris.


(26)

6

1.4.2Manfaat praktis

Pemeriksaan kadar seng plasma dapat digunakan sebagai pemeriksaan tambahan dalam menilai derajat keparahan psoriasis vulgaris.


(27)

7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Psoriasis 2.1.1 Definisi

Psoriasis vulgaris adalah penyakit inflamasi kronis yang ditandai dengan plak eritema berbatas tegas ditutupi skuama putih tebal berlapis dengan predileksi terutama pada ekstremitas bagian ekstensor seperti siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia, terdapat tanda auspitz, koebner dan fenomena bercak lilin yang positif. (Gudjonsson dan Elder, 2012).

2.1.2 Epidemiologi

Psoriasis tersebar di seluruh dunia. Prevalensinya diberbagai populasi bervariasi dari 0,1% hingga 11,8%. Di Amerika Serikat prevalensi psoriasis berkisar 2,2% sampai 2,6% dengan perkiraan 150.000 kasus baru didiagnosis tiap tahunnya. Prevalensi psoriasis di RSUP dr. Kariadi semarang pada tahun 2003 hingga 2007 terdapat 198 kasus yaitu sebesar 0,97%. Psoriasis dapat menyerang semua kelompok umur, baik anak-anak hingga dewasa (Parisi dkk., 2013). Pada sebagian besar kasus yaitu kurang lebih 75% psoriasis terjadi pada umur kurang dari 40 tahun dengan puncak awitan psoriasi adalah pada usia 20 hingga 30 tahun (Basko dkk., 2012).


(28)

8

2.1.3 Patogenesis

Patogenesis psoriasis sampai saat ini masih sulit untuk dipahami sehingga menarik untuk diteliti. Psoriasis memiliki penyebab yang multifaktorial, antara lain: adanya faktor genetik, faktor lingkungan dan gangguan sistem imun (Darouti dan Hay, 2010; Mohamad, 2013; Barrea dkk., 2015). Beberapa penelitian menemukan adanya peran genetik seperti lokus psoriasis susceptibility 1 (PSORS 1) pada kromosom 6p21, lokus PSORS 2 pada kromosom 17 dan Human Leucocyte Antigen (HLA) seperti HLA-Cw6, HLA-B13, HLA-Bw57 dan HLA-DR7 pada psoriasis (Lestari, 2009). Pada lokus PSORS 2 terdapat gen ZNF750 berfungsi dalam proses diferensiasi keratinosit. Gen ini mengkode protein seng finger yang membutuhkan satu atau lebih ion Zn untuk menstabilkan strukturnya, sehingga mutasi pada gen ZNF750 dapat menyebabkan psoriasis (Birnbaum dkk. 2011; Cohen dkk., 2012). Faktor lingkungan yang berperan pada psoriasis adalah trauma, obesitas, merokok, stres, konsumsi alkohol, infeksi strepotococcal dan obat-obatan (Darouti dan Hay, 2010; Mohamad, 2013; Barrea dkk., 2015).

Pada psoriasis terjadi hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit epidermis, inflamasi, perubahan vaskuler yang diperantarai oleh sistem imun (Lestari, 2009). Mekanisme sistem imun pada psoriasis melibatkan interaksi yang komplek antar sel imun dan sitokin-sitokin proinflamasi. Sel limfosit T merupakan sel utama yang berperan dalam patogenesis psoriasis. Sel imun lain yang juga berperan dalam patogenesis psoriasis adalah sel dendritik, sel natural killer (NK), sel mast, neutrophil, makrofag dan sel keratinosit. Pada lesi psoriasis sel T CD8+ terdapat di


(29)

9

epidermis sedangkan makrofag, sel dendritik dermal dan sel T CD4+ terdapat di dermis (Gudjonsson dan Elder, 2012). Sel dendritik yang matur akan menghasilkan berbagai macam sitokin yang memicu diferensiasi dan ekspansi sel Th1 (IL2), Th17 (IL-6, TGF-β1 dan ILβγ) dan Thββ (TNF-α dan IL-6). Sel-sel imun berkomunikasi melalui sitokin-sitokin yang dihasilkan akibat stimulasi dari bakteri, bahan kimia, sinar ultraviolet dan faktor iritatif yang lain (Chamian dan Krueger, 2004; Das dkk., 2009; Gudjonsson dan Elder, 2012; Coimbra dkk., 2012).

Peran sitokin pada patogenesis psoriasis sudah banyak dibutikan. Psoriasis mengekspresikan berbagai macam sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL), tumor necrosis factor (TNF), dan interferon- (IFN- ). Tumor necrosis factor-α banyak diekspresikan pada lesi psoriasis, dihasilkan oleh sel makrofag, sel T, sel mast, sel NK dan keratinosit. Sitokin ini berfungsi untuk meningkatkan pelepasan sitokin oleh limfosit dan kemokin oleh sel makrofag, meningkatkan ekspresi molekul adesi yang menarik sel neutrophil dan makrofag ke lesi melalui aktivasi endotel vascular, menginduksi proliferasi sel keratinosit dan neovaskularisasi sel endotel yang menstimulasi proses inflamasi (Kruger dan Bowcock, 2005; Darouti dan Hay, 2010; Coimbra dkk., 2012; Ni dan Chiu, 2014).

Interferon- sangat penting terutama pada fase awal psoriasis dihasilkan oleh sel Th1, meningkatkan migrasi sel radang dan meregulasi berbagai macam sitokin proinflmasi lain seperti IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, IL-15, TNF, interferon-inducible protein-10 dan iNOS (Zhou dkk., 2009). Sitokin ini juga memiliki fungsi menghambat apoptosis dan meningkatkan proliferasi keratinosit (Coimbra dkk.,


(30)

10

2012; Ni dan Chiu, 2014).

Gambar 2.1 Sel-sel Imun dan Sitokin yang Berperan dalam Pembentukan Plak Psoriasis (Monteleone dkk., 2011; Yassky dan Krueger, 2007).

Peran Sel T helper 17 (Th 17) pada patogenesis psoriasis sudah banyak dipaparkan. Sel Th17 berdiferensiasi dari sel T CD4+ akibat stimulasi dari IL-1, IL-6 dan transforming growth factor – β (TGF- β) dan proliferasinya diatur oleh IL-23 yang dihasilkan oleh sel keratinosit, makrofag dan sel dendritik yang teraktivasi (Alobaidi dkk,2012; Coimbra dkk., 2012). Sel Th 17 memproduksi IL-17 dan IL-22 yang merupakan sitokin proinflamasi poten untuk mempertahankan proses inflamasi (Kruger dan Bowcock, 2005; Alobaidi dkk., 2012; Coimbra dkk., 2012). Interleukin-17 akan mengaktivasi sel keratinosit untuk menghasilkan IL-8 sebagai kemoatraktan dari sel neutrophil. Interleukin-8 juga menginduksi aktivitas mitogen sel epidermis


(31)

11

termasuk proliferasi epidermis. Interleukin-22 berfungsi untuk menginduksi hiperplasia, diferensiasi serta proliferasi sel keratinosit (Coimbra dkk., 2012). Sel keratinosit menghasilkan sitokin inflamasi seperti IL-1β, IL-6 dan TNF-α yang akan meningkatkan aktivitas sel dendritik dan memperluas inflamasi lokal (Monteleone dkk., 2011; Yassky dan Krueger, 2007). Patogenesisi psoriasis dapat dijelaskan pada Gambar 2.1.

Reactive oxygen species memicu terjadinya stres oksidatif yang menginduksi berbagai macam respon biologi menyebabkan modifikasi DNA, peroksidasi lipid dan produksi berbagai macam sitokin proinflamasi yang berkonstribusi dalam patogenesis psoriasis (Zhou dkk., 2009). Reactive oxygen species terbentuk melalui proses enzimatik yang tergantung seng. Reactive oxygen species bertindak sebagai second messengers mempengaruhi jalur tranduski sinyal seperti NF-κB dan STAT pada psoriasis. Faktor transkripsi NF-κB berperan penting dalam proses selular seperti proses inflamasi, imun, proliferasi sel dan apoptosis (Lowes dkk., 2007).

Nuclear factor-κB sangat banyak diekspresikan pada lesi psoriasis. Reactive oxygen species seperti hydrogen peroksida (H2O2), O2, HOCl, ONOO- yang

memodulasi aktivasi dari NF-κB. Jalur sinyal ini secara klasik diinduksi oleh sitokin-sitokin proinflamasi seperti TNF dan IL-1β yang menyebabkan terbentuknya jalur sitokin pada patogenesis psoriasis. Jalur ini dihambat oleh Zn sehingga sitokin-sitokin proinflamasi yang berperan dalam pathogenesis psoriasis tidak terbentuk (Lowes dkk., 2007).


(32)

12

Gambar 2.2 Aktivasi jalur sinyal STATs dan NF-κB oleh sitokin pada Psoriasis (Lowes dkk., 2007).

Signal transducer and activator of transcription (STAT) merupakan jalur sinyal yang juga berperan dalam patogenesis psoriasis. Jalur STAT pada mamalia terdiri dari tujuh anggota yaitu STATs1, 2, 3, 4, 5a, 5b, dan 6. STAT1 diatur oleh IFN- dan IL-20 yang menginduksi terbentuknya mediator inflamasi dan secara parsial berkonstribusi pada pembentukan fenotip psoriasis. Pada sel keratinosit, STAT3 diaktifkan oleh IL-22 adalah sitokin yang berperan dalam meningkatkan pembentukan lesi psoriasis. ROS seperti H2O2 juga mengaktifkan Jalur STAT3

(Lowes dkk., 2007; Zhou dkk., 2009). Aktivasi jalur sinyal STATs dan NF-κB pada patogenesis psoriasis ditunjukan pada Gambar 2.2.


(33)

13

Perjalanan klinis psoriasis tidak dapat diprediksi, ditandai oleh remisi dan kambuh. Lesi klasik psoriasis memiliki ciri yang khas berupa papul hingga plak eritema batas tegas yang disertai dengan skuama (Gudjonsson dan Elder, 2012; Mohamad, 2013). Kulit dibawah skuama mengalami eritema dan bleeding points muncul jika skuama dihilangkan yang dikenala dengan Auspitz sign. Lesi psoriasis pada umumnya memiliki distribusi yang simetris (Gudjonsson dan Elder, 2012). Fenomena Koebner atau isomorphic response adalah trauma yang menginduksi lesi psoriasis pada kulit tanpa lesi. Fenomena ini tidak spesifik untuk psoriasis tetapi dapat membantu dalam diagnosis jika fenomena ini ada (Gudjonsson dan Elder, 2012). Keluahn gatal yang timbul pada psoriasis bervariasi dari ringan sampai berat. Rasa gatal yang terjadi pada psoriasis diduga disebabkan oleh peningkatan aktivitas sel mastosit, substansi P dan histamine (Walujo dkk., 2007).

Psoriasis dapat diklasifikasikan menjadi beberapa sub tipe seperti psoriasis vulgaris, psoriasis gutata, psoriasis inversa, psoriasis eritrodermi, psoriasis pustulosa generalisata (Von Zumbusch), psoriasis pustulosa lokalisata, sebopsoriasis (Traub dan Marshall, 2007; Gudjonsson dan Elder, 2012).

2.1.4.1 Psoriasis vulgaris

Psoriasis vulgaris adalah bentuk klinis psoriasis yang paling sering terjadi yaitu sekitar 90% pasien. Lesi kulit berupa plak eritema dengan skuama tebal, memiliki distribusi yang simetris pada bagian ekstensor ekstremitas seperti siku dan lutut, scalp, lumbosakral bagian bawah, bokong dan keterlibatan genital (Gudjonsson dan


(34)

14

Elder, 2012).

2.1.4.2 Psoriasis gutata

Psoriasis gutata (eruptive) sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang terjadi dua minggu setalah infeksi streptococcal β hemolytic atau virus (Traub dan Marshall, 2007). Psoriasis gutata ditandai dengan erupsi kulit berupa papul kecil berdiameter 0.5 sampai 1.5 cm pada badan bagian atas dan ekstremitas bagian proksimal, biasanya dapat menghilang dengan sendirinya dalam kurun waktu tiga sampai empat bulan (Traub dan Marshall, 2007; Gudjonsson dan Elder, 2012). Tipe psoriasis ini memiliki hubungan yang kuat dengan HLA-Cw6 dan infeksi streptococcal pada tenggorokan terjadi terlebih dahulu atau bersamaan dengan munculnya psoriasis gutata (Gudjonsson dan Elder, 2012).

2.1.4.3 Psoriasis Inversa

Psoriasis inversa terjadi terutama pada lipatan kulit, seperti aksila, region genito-kruris dan leher. Skuama umumnya minimal atau tidak ada, dan lesi menunjukan plak eritema mengkilat dengan batas yang jelas (Gudjonsson dan Elder, 2012).

2.1.4.4 Psoriasis eritrodermi

Psoriasis eritrodermi merupakan bentuk generalisata dari penyakit mengenai semua bagian tubuh, seperti wajah, tangan, kaki, kuku, badan dan ekstremitas. Lesi kulit eritema merupakan gejala klinis yang paling menonjol, skuama yang terjadi berbeda dengan psoriasis bentuk kronis. Kulit psoriasis sering mengalami hipohidrotik


(35)

15

disebabkan karena oklusi dari duktus kelenjar keringat (Gudjonsson dan Elder, 2012). 2.1.4.5 Psoriasis pustular generalisata (von Zumbusch)

Psoriasis pustular generalisata adalah varian psoriasis yang akut, terbentuk dari tipe psoriasis yang lain. Serangan ditandai dengan demam dalam jangka waktu beberapa hari, erupsi pustul steril yang generalisata secara mendadak. Pustul tersebar pada badan dan ekstremitas, termasuk nail beds, telapak tangan dan kaki (Gudjonsson dan Elder, 2012).

2.1.4.6 Psoriasis pustular lokalisata

Psoriasis pustular lokalisata memiliki beberapa varian klinis seperti pustulosis palmaris et plantaris dan acrodermatitis continua (Hallopeau) (Gudjonsson dan Elder, 2012).

2.1.4.7 Sebopsoriasi

Sebopsoriasi ditandai dengan plak eritema dengan skuama yang berminyak pada area seborrheic seperti kepala, glabella, lipatan nasolabial, perioral, area presternal dan intertriginosa. Sebopsoriasis sebagai modifikasi dari dermatitis seboroik dengan latar belakang genetik psoriasis (Gudjonsson dan Elder, 2012).

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis psoriasis umumnya ditegakkan berdasarkan gambaran klinis berupa makula eritema yang ditutupi skuama kasar berlapis-lapis, transparan pada tempat predileksi yang khas. Pada pemeriksaan fisik ditemukan fenomena bercak lilin,


(36)

16

Auspitz sign dan Koebner (isomorfik). Fenomena bercak lilin dan Auspitz sign merupakan tanda khas pada psoriasis, sedangkan fenomena Koebner merupakan tanda yang tidak khas didapatkan positif pada 47% kasus dan didapatkan juga pada penyakit yang lain seperti liken planus dan veruka plana juvenilis (James dkk., 2006; Gudjonsson dan Elder, 2012).

Pada beberapa kasus yang secara anamnesis dan pemeriksaan fisik diagnosis psoriasis tidak dapat ditegakkan, maka biopsi dibutuhkan untuk membantu dalam menegakkan diagnosis. Pada pemeriksaan histopatologi pada lesi psoriasis dijumpai gambaran hyperkeratosis, parakeratosis, akantosis dan hilangnya stratun granulosum. Aktibitas mitosis sel epidermis yang tinggi sehinga proses pematangannya yang cepat menyebabkan terjadi penebalan pada stratum korneum. Pada stratum korneum dijumpai kumpulan sel radang yang dikenal sebagi mikroabses Monroe (James dkk., 2006).

2.1.6 Derajat Keparahan Penyakit

Penilaian untuk luas dan derajat keparahan psoriasis digunkan sistem skor dengan PASI. Skor PASI pertama kali diperkenalkan pada tahun 1978 sebagai metode kuantitatif untuk menilai luas dan derajat keparahan penyakit psoriasis (Mohamad, 2013).

Psoriasis area and severity index menggabungkan elemen pada presentasi klinis yang tampak pada kulit berupa eritema, indurasi (ketebalan lesi) dan skuama dari setiap lokasi di permukaan tubuh. Setiap elemen tersebut dinilai secara terpisah


(37)

17

menggunakan skor 0 hingga 4 untuk setiap bagian tubuh, seperti kepala, badan, ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Skor nol apabila tidak didapatkan lesi, satu jika presentasi klinis ringan, dua dengan presentasi klinis sedang, tiga jika presentasi klinis berat dan empat sangat berat. Penilaian dari masing-masing ketiga elemen yaitu eritema, indurasi dan skuama kemudian dijumlahkan. Hasil penjumlahan tersebut kemudian dikalikan dengan faktor koreksi yang terdapat pada tiap area tubuh (0,1 untuk kepala; 0,2 ekstremitas atas; 0,3 tubuh dan 0,4 ekstremitas bawah. Nilai yang didapatkan dikalikan dengan skor 0 sampai 6 yang menggambarkan luas area yang terlibat sehingga didapatkan nilai total keseluruhan PASI (Cindy, 2014). Nilai maksimal skor PASI adalah 72 dan terrendah adalah nol (Dadras dkk. 2012)

Derajat keparahan psoriasis dibagi menjadi ringan dan berat (Mohamad, 2013). Psoriasis dengan derajat ringan jika didapatkan total skor PASI 3 sampai 12, derajat berat dengan skor PASI 13 sampai 18. Dadras dkk. (2012) membagi derajat keparahan psoriasis menjadi derajat ringan, sedang dan berat. Psoriasis derajat ringan jika skor PASI kurang dari 10, sedangkan derajat sedang hingga berat memiliki skor PASI lebih dari 10 (Dadras dkk., 2012).

Budiastuti dan Sugianto (2009) serta penelitian oleh Sugianto dkk (2013), pada penelitiannya membagi derajat keparahan psoriasis menjadi tiga berdasarkan skor PASI yaitu: derajat ringan dengan PASI kurang dari 8, derajat sedang dengan PASI 8 hingga 12 dan derajat berat dengan PASI lebih dari 12. Psoriasis area and severity index merupakan sistem penilaian yang digunakan untuk tujuan penelitian dan memantau respon terapi psoriasis (Mohamad, 2013).


(38)

18

Tabel 2.1 Psoriasis Area and Severity Index Karakteristik

Plak

Skor Bagian tubuh dan Nilainya

Kepala Ekstremitas atas

Badan Ekstremitas bawah Eritema Tidak ada = 0

Minimal = 1 Sedang = 2 Berat = 3 Sangat berat = 4

Tebal lesi Skuama

Total

Faktor koreksi x 0.1 x 0.2 x 0.3 x 0.4

A. Total permukaan Area Persentase

area tubuh yang terlibat (nilai antara 0 sampai 6)

Tidak ada = 0 <10% = 1 10-29% = 2 30-49% = 3 50-69% = 4 70-89% = 5 90-100% = 6 B. Total Permukaan area dikalikan dengan area yang terlibat

Nilai Total (Total A + Total B) Nilai PASI

2.1.7 Terapi

Penanganan psoriasis masih sangat sulit, pengobatan yang tersedia saat ini belum memberikan hasil yang memuaskan karena belum ditemukan pengobatan yang efektif dan aman untuk mempertahankan remis lesi psoriasis (Walujo dkk., 2007). Tujuan terapi adalah untuk meningkatkan dan menekan derajat keparahan penyakit hingga ditingkatan yang tidak mempengaruhi kehidupan pribadi, sosial dan pekerjaan pasien. Tiga dasar modalitas terapi untuk penatalaksanaan psoriasis adalah agen topikal, sistemik dan fototerapi. Semua modalitas terapi ini dapat digunakan tunggal,


(39)

19

kombinasi satu dengan yang lain (Mikhail dan Scheinfeld, 2004). Terapi topikal lini pertama untuk psoriasis adalah emolien, kortikosteroid dan analog vitamin D, sedangkan untuk terapi lini kedua dapat dipilih asam salisilat dan retinoid topikal. Pilihan terapi sistemik lini pertama untuk psoriasis terdiri dari methotrexate, acitretin dan agen biologi, terapi lini kedua dapat dipilih cyclosporine A. Fototerapi untuk pasien psoriasis, antara lain: narrow band dan broad band ultraviolet B (UVB) yang merupakan terapi lini pertama dan PUVA dan excimer sebagai terapi lini kedua (Gudjonsson dan Elder, 2012) .

Setiap pasien psoriasis memiliki manifestasi dan kondisi klinis yang berbeda-beda sehingga pemilihan terapi untuk psoriasis bersifat individual tergantung dampak terhadap kualitas hidup pasien, luas area tubuh yang terlibat, gaya hidup, masalah kesehatan yang mendasari dan harapan dari pasien (Mikhail dan Scheinfeld, 2004).

Terapi untuk psoriasis plak kronis ringan hingga sedang dimulai dengan terapi topikal seperti emolien dan agen keratolitik, kortikosteroid topikal, analog vitamin D, tar, retinoid topikal dan antralin. Terapi topikal tunggal dapat diberikan jika area yang terlibat kurang dari lima persen. Pada psoriasis yang berat modalitas terapi yang dapat dipilih adalah sinar ultraviolet B, psoralen dan ultraviolet A, retinoid oral, methotrexate (terutama pada artritis), cyclosporine dan agen biologi (Mikhail dan Scheinfeld, 2004).

Pemberian antioksidan dalam penatalaksanaan psoriasis saat ini terbukti bermanfaat (Zhou dkk., 2009). Pemberian suplemen antioksidan pada psoriasis


(40)

20

bertujuan untuk menghambat inflamasi dan stres oksidatif (Ala dkk., 2013). 2.2 Seng

2.2.1 Biologi Seng

Seng terdapat pada semua organ, jaringan dan cairan tubuh (Haghollahi dkk., 2008). Kulit dan jaringan adneksa banyak mengandung Zn, diperkirakan kurang lebih 20% dari kadar total seluruh tubuh. Kadar Zn di epidermi (50-70 µg/g) lebih banyak lima hingga enam kali lipat dibandingkan dermis yaitu sebesar 5-10 µg/g (Lansdown dkk., 2007; Rostan, dkk., 2002).

Seng pada tubuh dalam bentuk Zn2+, memiliki afinitas tinggi terhadap elektron yang memungkinkan untuk bereaksi dengan beberapa asam amino (Shankar, 2000). Seng berikatan dengan protein seperti albumin, mikroglobulin dan trasferin (Honscheid, 2009).

Homeostasis Zn dalam tubuh tergantung pada absobsi Zn eksogenus, sekresi gastrointestinal dan eksresi Zn endogenus (Hidayat, 1999; Zaky dkk., 2013). Seng eksogenus terutama diabsobsi pada duodenum dan jejunum bagian proksimal, kemudian berikatan dengan membran apikal enterosit yang selanjutnya dibawa ke dalam sel, disekresikan ke darah atau kembali ke saluran cerna, disimpan dalam hati dan pancreas sebagai Zn endogen (Lansdown dkk., 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi absobsi Zn, antara lain: jumlah Zn yang diperoleh dari makanan yang dikonsumsi, diet yang meningkatkan dan menghambat absorbsi Zn. Makanan yang kaya protein umumnya banyak mengandung Zn (Lansdown dkk., 2007). Absorbsi Zn


(41)

21

dihambat oleh zat besi, copper dan phytates. Beberapa obat seperti ciprofloksasin, penisilin, tetrasiklin dan antagonis reseptor H2 juga menurunkan absobsi Zn. Kontrasepsi oral dan tetrasiklin menurunkan kadar Zn dalam plasma (Hidayat, 1999 dan Haghollahi dkk., 2008). Diet yang meningkatkan absobsi Zn adalah air susu ibu dan protein hewani (Hidayat, 1999).

Eksresi Zn terjadi melalui saluran pencernaan yaitu feses sebesar 1 hingga 3 mg per hari, urin sebesar 0.1 hingga 0.9 mg per hari dan 0.5 hingga 1.5 mg perhari melalui keringat, kuku, kulit dan rambut (Hidayat, 1999 dan Haghollahi dkk., 2008).

Homeostasis Zn intraseluler diatur oleh protein buffer dan protein transport. Protein buffer yang berperan dalam menjaga homeostasis Zn intraseluler adalah metallothioneins (MT) yang bertindak sebagai penyimpan. Protein transport diperankan oleh 14 ZnT (SLC 39A) dan 10 ZIP (SLC 30A), mengatur transport Zn di intraseluler (Gambar 2.3) (Prasad, 2014; Cebrera, 2015). Pelepasan ion Zn dihasilkan melalui proses reduksi thiol pada molekul MT. Protein transport ZIP terutama terlibat dalam uptake Zn, sedangkan Znt memediasi pengeluaran atau efflux Zn intraselular (Lansdown dkk., 2007; Cebrera, 2015 ).


(42)

22

Gambar 2.3 Homeostasis Seng Intraseluler (Cebrera, 2015).

Seng terdapat pada matrik intraselular dan ekstraselular epidermis dan dermis dalam bentuk komplek protein yang berperan dalam menjaga stabilitas membran sel, maturasi, migrasi dan mitosis. Kadar seng yang lebih tinggi pada epidermis dibandingkan dermis menunjukkan aktivitas enzim DNA dan RNA polymerase membutuhkan Zn untuk proses mitosis pada sel basal (Lansdown dkk., 2007).

Keseimbangan Zn dalam tubuh sangat penting untuk menjaga proses biologi tetap berjalan dengan baik. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi Zn dalam tubuh antara lain sickle cell anemia, gangguan ginjal, diabetes


(43)

23

mellitus, alcoholism, kehamilan, anorexia, bulimia, usia tua, infeksi HIV, pasien luka bakar dan pasien dengan penyakit gastrointestinal yang kronis.

Parameter yang digunakan untuk mengetahui status Zn adalah kadar Zn serum atau plasma; konsentrasi Zn pada eritrosit, leukosit dan neutofil; Kadar Zn dalam rambut, urin dan air liur; uji ketajaman pengecapan; keseimbangan metabolism Zn; studi isotope; respon pertumbuhan dan perkembangan seksual terhadap suplemen Zn; enzim yang tergantung Zn. Konsentrasi Zn dalam serum atau plasma paling sering digunakan sebagai parameter untuk menetapkan status Zn seseorang karena mudah dilakukan dan cukup akurat. Pemeriksaaan ini memiliki keterbatasan yaitu hanya dapat digunakan bila serum tidak mengalami hemolisis atau terkontaminasi serta tidak adanya infeksi (Hidayat, 1999). Konsentrasi Zn dalam plasma cepat mengalami perubahan dipengaruhi oleh beberapa kondisi seperti stres, infeksi, hormonal dan asupan makanan (Feitosa dkk., 2013).

2.2.2 Seng sebagai Antioksidan

Antioksidan berperan dalam menjaga kesehatan kulit. Manfaat antioksidan seperti vitamin C dan E sudah banyak diketahui, namun manfaat Trace elements seperti Zn masih belum banyak ketahui (Rostan dkk., 2002). Banyak studi pada manusia menunjukan Zn memiliki efek proteksi terhadap radikal bebas dan stres oksidatif (Rostan dkk., 2002). Seng berfungsi menjaga kestabilan membran terhadap radikal bebas yang menginduksi kerusakan jaringan selama proses inflamasi (Prasad, 2008). Trace elements ini merupakan elemen yang penting pada lebih dari 300


(44)

24

metalloenzymes, yaitu sebagai kofaktor superoxide dismutase (SOD), mempengaruhi pembentukan, kestabilan dan aktivitas enzim tersebut (Rostan dkk., 2002). Superoxide dismutase merupakan enzim yang mengkatalisis superoksida menjadi H2O2. Seng menghambat enzim NADPH oksidase sehingga mengurangi

pembentukan ROS dan juga menginduksi pembentukan metallotionein yang kaya cysteine melindungi dari •OH (Prasad, 2014). Seng juga menjaga penyimpanan vitamin E, menjaga kestabilan struktur membran dan mencegah oksidasi LDL serta VLDL.

Mekanisme kerja Zn sebagai antioksidan masih belum diketahui. Dua teori yang diperkirakan sebagai mekanisme kerja Zn dalam perannya sebagai antioksidan, yaitu: reaksi redok oleh Zn menggantikan reaksi redok trace elements lain seperti Fe dan tembaga (Cu) di intra dan ekstraselular; Zn menginduksi sintesis metallothionein (MT), membentuk seng-thiolate yang berfungsi untuk melindungi kulit dan komponennya terhadap radikal bebas terutama dari ion .OH (Powell, 2000; Prasad, 2014).

Seng berikatan dengan membran sel dan beberapa protein, bersaing dan menggantikan reaksi redok dari Fe dan Cu. Besi dan tembaga mampu untuk mentransfer elektron bebas sehingga menghasilkan ROS seperti HO. Dan O2- . Seng

memiliki reaksi redok yang stabil dan tingkatan ionsisasi yang tunggal pada pH fisiologi. Seng berkompetisi dengan Fe dan Cu untuk berikatan dengan ligan (DNA atau membran sel) yang akan menurunkan produksi radikal bebas (Prasad, 2014).


(45)

25

terdapat H2O2 oleh enzim SOD akan membentuk OH- dan HO. yang dapat

menyebabkan kerusakan struktur dan mutasi DNA (Powell, 2000; Prasad, 2014). Fe++ - ligan + H2O2 Fe+++ - ligan + OH- + HO.

Jika Seng menggantikan tempat Fe pada ligan, maka reaksi yang merusak akibat terbentuknya OH- dan HO. dapat dicegah. Ion Fe yang bebas akan berikatan dengan protein ferritin pada ruang intraseluler dan transferrin pada ruang ekstraseluler (Powell, 2000).

Fe++ - ligan + Zn++ Zn++ - ligan + Fe++

Fe++ + ferritin, transferrin Fe- ferritin,-transferrin

Mekanisme lain yang menunjukkan Zn sebagai antioksidan adalah Zn akan berikatan dengan kelompok sulfhydryl (SH) pada molekul biologi yang akan melindunginya dari proses oksidasi, Zn meningkatkan aktivasi molekul, protein dan enzim antioksidan seperti glutathione, katalase, SOD dan menurunkan aktivitas enzim yang menginduksi pembentukan oksidan, seperti iNOS, NADPH oxidase dan menghambat proses peroksidase lipid (Mohamad, 2013; Prasad, 2014).

2.2.3 Seng sebagai Antiinflamasi

Defisiensi Zn selain menyebabkan kondisi stres oksidatif juga memicu inflamasi dengan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi (Prasad, 2009). Ditingkat selular Zn berperan dalam proses tranduksi sinyal dengan menghambat aktivitas Nuclear factor к-B sehingga menurunkan ekspresi gen dan pembentukan TNF-α, IL-1β dan IL-8 (Prasad, 2008). Nuclear factor к-B diaktifkan oleh ROS yang memicu


(46)

26

pembentukan sitokin inflamasi, molekul anti-apoptotic, faktor pertumbuhan seperti vascular endothelial growth factor (VEGF), epidermal growth factor receptor (EGFR), molekul adesi seperti integrin, intercell adhesion molecule 1 (ICAM-1), vascular cell adhesion molecule 1 (VCAM-1) serta enzim inducible nitric oxide synthase (iNOS). Seng melalui protein A20 yang merupakan faktor transkripsi Zn atau seng finger protein menghambat aktivasi Nuclear factor к-B dengan menurunkan aktivasi enzim IkB kinase (IKK) sehingga menurunkan produksi sitokin proinflamasi dan molekul adhesi (Prasad, 2014; Cebrera, 2015). Penghambatan Aktivasi NF- к-B oleh Zn ditunjukan pada Gambar 2.4 (Cebrera, 2015).

Seng meningkatkan ekspresi protein PPAR-α yang juga menghambat aktivitas Nuclear factor к-B dengan menurunkan produksi sirokin proinflamasi dan molekul adhesi (Prasad, 2014). Defisisensi Zn memicu kondisi stres oksidatif sehingga meningkatkan aktivitas makrofag untuk menghasilkan sitokin proinflamasi seperti TNF-α, IL-1β, IL-6 dan IL-8. Kadar IL-10 juga meningkat pada kondisi dengan defisiensi Zn. Beberapa penelitian menunjukan sitokin inflamasi seperti TNF-α, IL

-1β yang dihasilkan monosit dan makrofag dapat meningkatkan produksi ROS.

Meningkatnya kadar sitokin ini dikaitkan dengan penurunan kadar Zn (Prasad, 2008; Cabrera, 2014).

Proses inflamasi meningkatkan produksi ROS, mengaktifkan jalur sinyal NF к-B yang selanjutnya meningkatkan regulasi gen target yang mengkode sitokin inflamasi, CRP, molekul adhsi, inducible nitric oxide synthase (iNOS), cyclo-oxygenase 2, fibrinogen dan faktor jaringan (Prasad, 2014).


(47)

27

Gambar 2.4 Seng melalui jalur A20 menghambat aktivasi Nuclear factor к-B (Cebrera, 2015).

2.3 Hubungan Seng dan Psoriasis

Psoriasis merupakan penyakit inflamasi yang melibatkan faktor genetik, lingkungan dan sistem imun (Darouti dan Hay, 2010; Mohamad, 2013; Barrea dkk., 2015). Gen ZNF750 yang terletak pada kromosom 17, lokus PSORS 2 berfungsi dalam proses diferensiasi keratinosit. Gen ini mengkode protein seng finger yang membutuhkan satu atau lebih ion Zn untuk menstabilkan strukturnya. Beberapa studi menunjukan gen ZNF750 banyak diekspresikan pada pasien dengan riwayat keluarga psoriasis (Birnbaum dkk. 2011; Cohen dkk., 2012).


(48)

28

Stres oksidatif terjadi akibat ketidak seimbangan antara oksidan dan antioksidan berupa peningkatan produksi ROS dan menurunnya aktivitas antioksidan berperan pada patogenesis psoriasis (Nassiri dkk., 2009; Zhou dkk., 2009). Reactive oxygen species terbentuk selama proses inflamasi yang dihasilkan oleh neutrophil, sel keratinosit, dan fibroblast (Nassiri dkk., 2009; Kadam dkk., 2010; Al-Jebory, 2012; Sheikh dkk., 2015). Kondisi Stres oksidatif pada psoriasis memicu terjadinya hiperproliferasi epidermis, meningkatnya proses peroksidasi lipid sehingga terbentuk malondialdehyde (MDA) (Nassiri dkk., 2009). Hal ini dibuktikan oleh Nassiri dan kawan-kawan pada tahun 2009, pada penelitiannya terdapat peningkatan kadar MDA serum pada penderita psoriasis dibandingkan kontrol. Pada lesi psoriasis didapatkan peningkatan kadar asam arakidonat yang merupakan bahan alami untuk sintesis MDA sebagai produk akhir dari proses peroksidasi lemak (Kadam dkk., 2010). Penelitian oleh Kadam dkk (2010), menunjukan peningkatan kondisi stres oksidatif pada fibroblast kulit pasien psoriasis tanpa lesi, hal ini membuktikan adanya kondisi stres oksidatif bahkan sebelum lesi plak psoriasis terbentuk.

Tubuh memiliki sistem antioksidan untuk proteksi terhadap efek ROS. Sistem antioksidan dibagi menjadi dua, yaitu: antioksidan enzimatik dan non enzimatik. Antioksidan enzimatik terdiri dari superoxide dismutase (SOD) merupakan enzim tergantung Zn yang berperan dalam melawan efek buruk ROS dilaporkan berperan dalam patogenesis psoriasis (Nassiri dkk., 2009; Zhou dkk., 2009; Sheikh dkk., 2015). Superoxide dismutase pada sel mamalia memiliki tiga bentuk, yaitu: mitokondria Mn-SOD, sitoplasam Cu, Zn-SOD dan ekstraselular Cu, Zn-SOD.


(49)

29

Antioksidan enzimatik yang lainnya adalah catalase (CAT), glutathione peroxidase (GPx) dan metallothioneins, sedangkan Antioksidan non enzimatik terdiri dari: glutathione, vitamin dan trace elements (Nassiri dkk., 2009; Zhou dkk., 2009).

Peran trace elements pada patogenesis psoriasis masih belum banyak diketahui. Trace elements didapatkan dalam jumlah kecil pada jaringan, terdapat sepuluh jenis trace elements yang esensial, yaitu: Zn, tembaga, mangan, yodium, zat besi, cobalt, molybdenum, timah, selenium dan chromium. Jumlah normal trace elements dalam darah penting untuk menjaga kesehatan kulit, jumlah yang tidak normal dapat memicu berbagai macam penyakit kulit termasuk psoriasis (Dadras dkk., 2012; Mohamad, 2013).

Seng merupakan co-factor dari enzim polymerase DNA dan RNA yang dibutuhkan dalam sintesis protein pada kulit. Seng berikatan dengan enzim SOD (Zn-SOD) di ruang intramembran mitokondria berfungsi untuk mengurangi produksi ROS yang dapat memicu proses inflamasi. Menurunnya kadar Zn menyebabkan menurunnya aktivitas enzim SOD menginduksi kerusakan sel (Mohamad, 2013). Seng pada psoriasis berfungsi menjaga keseimbangan peroksidan dan antioksidan menyebabkan perubahan kadar Zn dalam serum pada penderita psoriasis (Ala dkk., 2013).

Nuclear factor κβ merupakan jalur transkripsi yang terlibat dalam patogenesis psoriasis. Nuclear factor кB terdapat pada sel keratinosit, limfosit dan endotel, diaktifkan oleh ROS dan sitokin seperti TNF, IL-1, TLR. Aktivasi NF-кB menghasilkan sitokin dan faktor pertumbuhan seperti TNF-α dan IL-1β, IL-6, IL-8,


(50)

30

IL-20, ECGF, VEGF, PDGF yang terbukti berperan dalam pembentukan lesi psoriasis (lowes dkk., 2007; Zhou dkk., 2009). Aktivasi tumor necrosis factor alpha merupakan faktor penting dalam menginduksi dan menjaga lesi psoriasis. Seng menghambat aktivasi NF-кB melalui Zinc finger protein A20. Zinc finger protein A20 disebut juga tumor necrosis factor (TNF) α induced protein 3 (TNFAIP3) merupakan protein yang memiliki sistem regulasi negative terhadap jalur sinyal NF-кB dan menghambat aktivasi dari jalur transkripsi ini. Ekspresi TNFAIP3 terbukti berkorelasi negatif dengan derajat keparahan psoriasis (Tang dkk., 2014).

Penelitian yang mencari korelasi antara kadar Zn dengan psoriasis menggunakan darah sebagai parameternya. Konsentrasi kadar Zn dalam darah paling sering digunakan sebagai parameter untuk menentapkan status Zn karena mudah dilakukan. Konsentrasi Zn dalam serum umumnya 5-15% lebih tinggi dari plasma karena adanya pelepasan Zn oleh trombosit dan eritrosit pada saat darah membeku. Pada penelitian oleh Chen dan kawan-kawan membuktikan bahwa konsentrasi Zn dalam plasma dan serum tidak menunjukan perbedaan secara bermakna (Hidayat, 1999).

Peran seng dalam patogenesis psoriasis masih belum jelas, beberapa penelitian yang mencari hubungan seng dengan psoriasis memberikan hasil yang bervariasi. Beberapa penelitian melaporkan kadar Zn pada darah pasien psoriasis lebih rendah dibandingkan kontrol yang sehat. Penjelasan yang banyak dipaparkan mengenai penyebab rendahnya kadar Zn dalam darah pada psoriasis akiba hilangnya Zn secara sekunder melalui proses eksfoliasi (Ala, 2013; Payasvi, 2013). Penurunan


(51)

31

kadar Zn dalam darah juga dihubungkan dengan derajat keparahan psoriasis, penurunan kadar seng terutama terjadi pada psoriasis berat akibat regenerasi kulit yang cepat dan eksfoliasi kulit yang banyak mengandung Zn (Mohamad, 2013).

Menurunnya kadar albumin menyebabkan penurunan kadar Zn yang berdampak terhadap penurunan aktivitas enzim SOD sehingga meningkatkan kondisi stres oksidatif yang berperan dalam perkembangan psoriasis (Gambar 2.5). Kadar protein dan albumin darah yang rendah pada psoriasis terjadi akibat meningkatnya turnover penglupasan kulit yang disertai dengan jumlah skuama berlebih dan rendahnya sintesis protein (Nigam, 2005; Mohamad, 2013). Hipoalbuminemia yang terjadi pada psoriasis akibat mengingkatnya katabolisme endogen tanpa disertai kehilangan albumin lewat urin, feses dan kulit yang signifikan. Beberapa penelitian menunjukan terjadi peningkatan kebutuhan pengambilan albumin oleh hati dan makrofag yang memperberat kondisi hipoalbuminemia (Sheikh dkk., 2015). Perubahan kadar Zn dalam plasma maupun serum mempengaruhi kondisi patologi pada psoriasis, hal ini dibuktikan pada beberapa studi yang menunjukan lesi psoriasiform dikaitkan dengan defisiensi Zn sistemik pada percobaan hewan maupun manusia (Ala dkk., 2013).


(52)

32

Gambar 2.5 Patogenesis Psoriasis Terkait dengan Seng (Sheikh dkk., 2014). Plak psoriasis juga diduga terjadi akibat defisiensi Zn secara sistemik (Mohamad, 2013). Fakta menunjukan defisiensi Zn yang didapat dan kongenital memberikan berbagai macam manifestasi kulit seperti psoriasis-like eruption, bula, rambut rontok dan onychopathy (Ala dkk., 2013). Manifestasi kulit psoriasis-like eruption pada defisiensi Zn berupa bercak atau plak eritema berbatas tegas dengan skuama yang simetris pada lutut, siku, tumit dan kepala bagian occipital merupakan lokasi yang sering mengalami trauma atau gesekan. Plak mengalami hiperkeratosis mirip dengan lesi psoriasis. Lesi vesikel maupun bula dapat terjadi pada ujung jari dan telapak tangan. Perubahan pada kuku berupa warna kuku kecoklatan, paronikia dan terdapat Beau’s Line (Rostan dkk., 2002).


(1)

Gambar 2.4 Seng melalui jalur A20 menghambat aktivasi Nuclear factor к-B (Cebrera, 2015).

2.3 Hubungan Seng dan Psoriasis

Psoriasis merupakan penyakit inflamasi yang melibatkan faktor genetik, lingkungan dan sistem imun (Darouti dan Hay, 2010; Mohamad, 2013; Barrea dkk., 2015). Gen ZNF750 yang terletak pada kromosom 17, lokus PSORS 2 berfungsi dalam proses diferensiasi keratinosit. Gen ini mengkode protein seng finger yang membutuhkan satu atau lebih ion Zn untuk menstabilkan strukturnya. Beberapa studi menunjukan gen ZNF750 banyak diekspresikan pada pasien dengan riwayat keluarga psoriasis (Birnbaum dkk. 2011; Cohen dkk., 2012).


(2)

Stres oksidatif terjadi akibat ketidak seimbangan antara oksidan dan antioksidan berupa peningkatan produksi ROS dan menurunnya aktivitas antioksidan berperan pada patogenesis psoriasis (Nassiri dkk., 2009; Zhou dkk., 2009). Reactive oxygen species terbentuk selama proses inflamasi yang dihasilkan oleh neutrophil, sel keratinosit, dan fibroblast (Nassiri dkk., 2009; Kadam dkk., 2010; Al-Jebory, 2012; Sheikh dkk., 2015). Kondisi Stres oksidatif pada psoriasis memicu terjadinya hiperproliferasi epidermis, meningkatnya proses peroksidasi lipid sehingga terbentuk malondialdehyde (MDA) (Nassiri dkk., 2009). Hal ini dibuktikan oleh Nassiri dan kawan-kawan pada tahun 2009, pada penelitiannya terdapat peningkatan kadar MDA serum pada penderita psoriasis dibandingkan kontrol. Pada lesi psoriasis didapatkan peningkatan kadar asam arakidonat yang merupakan bahan alami untuk sintesis MDA sebagai produk akhir dari proses peroksidasi lemak (Kadam dkk., 2010). Penelitian oleh Kadam dkk (2010), menunjukan peningkatan kondisi stres oksidatif pada fibroblast kulit pasien psoriasis tanpa lesi, hal ini membuktikan adanya kondisi stres oksidatif bahkan sebelum lesi plak psoriasis terbentuk.

Tubuh memiliki sistem antioksidan untuk proteksi terhadap efek ROS. Sistem antioksidan dibagi menjadi dua, yaitu: antioksidan enzimatik dan non enzimatik. Antioksidan enzimatik terdiri dari superoxide dismutase (SOD) merupakan enzim tergantung Zn yang berperan dalam melawan efek buruk ROS dilaporkan berperan dalam patogenesis psoriasis (Nassiri dkk., 2009; Zhou dkk., 2009; Sheikh dkk., 2015). Superoxide dismutase pada sel mamalia memiliki tiga bentuk, yaitu: mitokondria Mn-SOD, sitoplasam Cu, Zn-SOD dan ekstraselular Cu, Zn-SOD.


(3)

Antioksidan enzimatik yang lainnya adalah catalase (CAT), glutathione peroxidase (GPx) dan metallothioneins, sedangkan Antioksidan non enzimatik terdiri dari: glutathione, vitamin dan trace elements (Nassiri dkk., 2009; Zhou dkk., 2009).

Peran trace elements pada patogenesis psoriasis masih belum banyak diketahui. Trace elements didapatkan dalam jumlah kecil pada jaringan, terdapat sepuluh jenis trace elements yang esensial, yaitu: Zn, tembaga, mangan, yodium, zat besi, cobalt, molybdenum, timah, selenium dan chromium. Jumlah normal trace elements dalam darah penting untuk menjaga kesehatan kulit, jumlah yang tidak normal dapat memicu berbagai macam penyakit kulit termasuk psoriasis (Dadras dkk., 2012; Mohamad, 2013).

Seng merupakan co-factor dari enzim polymerase DNA dan RNA yang dibutuhkan dalam sintesis protein pada kulit. Seng berikatan dengan enzim SOD (Zn-SOD) di ruang intramembran mitokondria berfungsi untuk mengurangi produksi ROS yang dapat memicu proses inflamasi. Menurunnya kadar Zn menyebabkan menurunnya aktivitas enzim SOD menginduksi kerusakan sel (Mohamad, 2013). Seng pada psoriasis berfungsi menjaga keseimbangan peroksidan dan antioksidan menyebabkan perubahan kadar Zn dalam serum pada penderita psoriasis (Ala dkk., 2013).

Nuclear factor κβ merupakan jalur transkripsi yang terlibat dalam patogenesis psoriasis. Nuclear factor кB terdapat pada sel keratinosit, limfosit dan endotel, diaktifkan oleh ROS dan sitokin seperti TNF, IL-1, TLR. Aktivasi NF-кB menghasilkan sitokin dan faktor pertumbuhan seperti TNF-α dan IL-1β, IL-6, IL-8,


(4)

IL-20, ECGF, VEGF, PDGF yang terbukti berperan dalam pembentukan lesi psoriasis (lowes dkk., 2007; Zhou dkk., 2009). Aktivasi tumor necrosis factor alpha merupakan faktor penting dalam menginduksi dan menjaga lesi psoriasis. Seng menghambat aktivasi NF-кB melalui Zinc finger protein A20. Zinc finger protein A20 disebut juga tumor necrosis factor (TNF) α induced protein 3 (TNFAIP3) merupakan protein yang memiliki sistem regulasi negative terhadap jalur sinyal NF-кB dan menghambat aktivasi dari jalur transkripsi ini. Ekspresi TNFAIP3 terbukti berkorelasi negatif dengan derajat keparahan psoriasis (Tang dkk., 2014).

Penelitian yang mencari korelasi antara kadar Zn dengan psoriasis menggunakan darah sebagai parameternya. Konsentrasi kadar Zn dalam darah paling sering digunakan sebagai parameter untuk menentapkan status Zn karena mudah dilakukan. Konsentrasi Zn dalam serum umumnya 5-15% lebih tinggi dari plasma karena adanya pelepasan Zn oleh trombosit dan eritrosit pada saat darah membeku. Pada penelitian oleh Chen dan kawan-kawan membuktikan bahwa konsentrasi Zn dalam plasma dan serum tidak menunjukan perbedaan secara bermakna (Hidayat, 1999).

Peran seng dalam patogenesis psoriasis masih belum jelas, beberapa penelitian yang mencari hubungan seng dengan psoriasis memberikan hasil yang bervariasi. Beberapa penelitian melaporkan kadar Zn pada darah pasien psoriasis lebih rendah dibandingkan kontrol yang sehat. Penjelasan yang banyak dipaparkan mengenai penyebab rendahnya kadar Zn dalam darah pada psoriasis akiba hilangnya Zn secara sekunder melalui proses eksfoliasi (Ala, 2013; Payasvi, 2013). Penurunan


(5)

kadar Zn dalam darah juga dihubungkan dengan derajat keparahan psoriasis, penurunan kadar seng terutama terjadi pada psoriasis berat akibat regenerasi kulit yang cepat dan eksfoliasi kulit yang banyak mengandung Zn (Mohamad, 2013).

Menurunnya kadar albumin menyebabkan penurunan kadar Zn yang berdampak terhadap penurunan aktivitas enzim SOD sehingga meningkatkan kondisi stres oksidatif yang berperan dalam perkembangan psoriasis (Gambar 2.5). Kadar protein dan albumin darah yang rendah pada psoriasis terjadi akibat meningkatnya turnover penglupasan kulit yang disertai dengan jumlah skuama berlebih dan rendahnya sintesis protein (Nigam, 2005; Mohamad, 2013). Hipoalbuminemia yang terjadi pada psoriasis akibat mengingkatnya katabolisme endogen tanpa disertai kehilangan albumin lewat urin, feses dan kulit yang signifikan. Beberapa penelitian menunjukan terjadi peningkatan kebutuhan pengambilan albumin oleh hati dan makrofag yang memperberat kondisi hipoalbuminemia (Sheikh dkk., 2015). Perubahan kadar Zn dalam plasma maupun serum mempengaruhi kondisi patologi pada psoriasis, hal ini dibuktikan pada beberapa studi yang menunjukan lesi psoriasiform dikaitkan dengan defisiensi Zn sistemik pada percobaan hewan maupun manusia (Ala dkk., 2013).


(6)

Gambar 2.5 Patogenesis Psoriasis Terkait dengan Seng (Sheikh dkk., 2014). Plak psoriasis juga diduga terjadi akibat defisiensi Zn secara sistemik (Mohamad, 2013). Fakta menunjukan defisiensi Zn yang didapat dan kongenital memberikan berbagai macam manifestasi kulit seperti psoriasis-like eruption, bula, rambut rontok dan onychopathy (Ala dkk., 2013). Manifestasi kulit psoriasis-like eruption pada defisiensi Zn berupa bercak atau plak eritema berbatas tegas dengan skuama yang simetris pada lutut, siku, tumit dan kepala bagian occipital merupakan lokasi yang sering mengalami trauma atau gesekan. Plak mengalami hiperkeratosis mirip dengan lesi psoriasis. Lesi vesikel maupun bula dapat terjadi pada ujung jari dan telapak tangan. Perubahan pada kuku berupa warna kuku kecoklatan, paronikia dan terdapat Beau’s Line (Rostan dkk., 2002).