PENERAPAN BAHASA JAWA PADA PENGASUHAN DALAM KELUARGA Penerapan Bahasa Jawa pada Pengasuhan dalam Keluarga.

PENERAPAN BAHASA JAWA
PADA PENGASUHAN DALAM KELUARGA

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Starta II
pada Jurusan Psikologi Sekolah Pascasarjana

Oleh:

MISYKAH NUZAILA BIROHMATIKA
S 300 12000 8

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017

PENERAPAN BAHASA JAWA PADA PENGASUHAN
DALAM KELUARGA
Abstrak
Bahasa merupakan sarana utama pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Semakin sedikitnya pengguna bahasa Jawa di daerah Jawa Tengah

menunjukkan bahwa bahasa Jawa menjadi asing di daerah asalnya sendiri. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengungkapkan dinamika penerapan bahasa Jawa
pada pengasuhan dalam keluarga. Metode yang digunakan ialah metode kualitatif
jenis studi kasus unit keluarga dengan mengambil informan tiga pasang ibu dan
anak yang kesehariannya masih mempertahankan bahasa Jawa Krama dalam
berkomunikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Jawa
Krama dapat menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai kesantunan, kepatuhan
dan penghormatan kepada orang tua dan orang yang lebih tua. Identitas diri Jawa
yang terbentuk pada diri orangtua mendorong tercetaknya gaya pengasuhan yang
khas dengan penerapan bahasa Jawa dan pemberlakuan unggah-ungguhnya dalam
keluarga sehingga dapat membentuk perilaku anak yang santun, patuh dan hormat
kepada orang tua dan orang yang lebih tua. Maka hasil ini diharapkan mampu
menjadi pertimbangan utama pemilihan bahasa keseharian yang diprogramkan
secara sadar oleh setiap keluarga Jawa maupun lembaga pendidikan agar dapat
menjaga dan melestarikan bahasa dan budaya Jawa.
Kata Kunci: Pengasuhan, penerapan bahasa, keluarga Jawa.
Abstract
Language is the main tool of cultural inheritance from one generation to the next.
Javanese users on the wane in Central Java making the Javanese into a strange
thing in its own home. The purpose of this study was to disclose the application of

the Java language in parenting. This research uses the qualitative method with
case study approach, which uses the family as a unit. Informants we interviewed
are three pairs of mothers and children who use the "Krama Javanese" while
communicating in their daily lives. We get the result that the use of the Java
language can be a tool to inherited values of modesty, obedience, and respect for
older people. Java identity in the parents making them use the “Krama Javanese”
language and implemented the "unggah-ungguh" in the family in their parenting
style. The use of Javanese and “unggah-ungguh” aims to get the child's behaviour
more polite, obedient and respectful to older people. The use of the Java language
in everyday life may be prescribed by the educational institution in order to
preserve the language and culture of Java.
Keywords: Parenting, Language implementation, Javanese Family

1

1. PENDAHULUAN
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman budaya. Salah
satu contoh kekayaan budaya tersebut adalah beragamnya bahasa daerah yang
tersebar di seluruh pelosok wilayah negara. Di antara bahasa yang memiliki
kedudukan tertinggi dari bahasa-bahasa daerah di Indonesia adalah bahasa Jawa.

Bahasa Jawa merupakan bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur terbesar di
Indonesia yaitu 75.500.800 penutur (Lauder dalam Wati, 2014). Bahasa Jawa
merepresentasikan budaya Indonesia yang dikenal dengan keramahan dan
kesantunannya. Secara sosial, orang Jawa selalu mengutamakan kerukunan,
keharmonisan dan selalu menghindari adanya kecenderungan akan munculnya
konflik. Falsafah menjaga harmoni ini terlihat dari bahasa dan cara tuturnya yang
khas dengan kehalusan, penuh sopan santun, luwes dan anggun dalam berbicara
(Purwadi, 2012).
Permasalahan yang ada saat ini adalah terkikisnya transfer ilmu bahasa
Jawa dari orangtua kepada anak dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa penelitian
mengenai perkembangan bahasa Jawa menyatakan bahwa penggunaan bahasa
Jawa telah berkurang 40,44% (Laksono, 2006), di Wilayah Semarang penggunaan
bahasa Jawa hanya 26,16% (Handoyo, 2004) dan pada kalangan remaja
penggunaan bahasa Jawa hanya 12,5% (Pujiastuti, dkk., 2008, disitasi Suryadi,
2014).
Penelitian tersebut dikuatkan dengan data observasi yang dilakukan
penulis dalam tiga tahun terakhir dari bulan Agustus 2012 sampai Desember 2015
pada salah satu lembaga pendidikan tingkat dasar atau Sekolah Dasar di
Kabupaten Sukoharjo bahwa mayoritas siswa menggunakan bahasa Jawa ngoko
dan bahasa Indonesia kepada guru maupun orangtua dalam keseharian. Selain itu,

hasil wawancara kepada salah satu guru SD tersebut menyatakan bahwa “ sangat
sedikit sekali murid yang bisa menggunakan Bahasa Jawa krama dengan gurunya,
tidak sampai 10 dari 300 siswa atau sekitar 3% siswa saja, kebanyakan memakai
bahasa Indonesia dan paling parah hanya bisa bahasa Jawa ngoko ketika berbicara
kepada orangtua dan gurunya”. Studi awal ini dilanjutkan dengan pengamatan
terhadap enam siswa di lingkungan rumahnya, yang mana didapatkan hasil bahwa
keenam siswa tersebut menggunakan bahasa Jawa Krama dengan baik dan benar

2

kepada orangtua mereka atau orang lain yang lebih tua dari mereka namun bukan
kepada saudara kandung.
Wawancara pada 5 April 2016 dengan salah satu guru pada salah satu SD
di Kabupaten Klaten juga menunjukkan hasil bahwa hanya sekitar 15%dari 130
siswa yang dapat berbahasa Jawa Krama kepadanya. Berdasarkan hasil survey,
dari 15% siswa tersebut bahasa Jawa Krama juga digunakan oleh 10% siswa di
rumah untuk berkomunikasi kepada orangtuanya dan orang-orang yang lebih tua
darinya, namun tidak termasuk saudara kandung dan sisanya hanya digunakan di
sekolah saja sebagai bahasa formalitas kepada guru. Artinya sebagian penggunaan
bahasa Jawa Krama dihasilkan dari pembiasaan pengasuhan di rumah dan

sebagian lainnya dihasilkan dari penyesuaian pembelajaran di sekolah saja.
Hasil wawancara selanjutnya pada tanggal 6 – 7 April 2016 kepada tiga
ibu rumah tangga di wilayah Surakarta menyatakan bahwa anak-anak zaman
sekarang sulit untuk menerapkan bahasa Jawa Krama sesuai dengan aturan
unggah-ungguhnya kepada orangtua. Alasannya ialah karena lingkungan di luar
rumah sendiri banyak yang meninggalkan bahasa Jawa sehingga terkadang justru
orangtua yang akhirnya mengikuti bahasa yang digunakan oleh anak-anak yaitu
bahasa Jawa Ngoko ataupun bahasa Indonesia.
Penulis juga melakukan survey di sebuah dusun di Kabupaten Klaten pada
tanggal 8 - 17 Mei 2016. Hasilnya adalah dusun tesebut meliputi satu Rukun
Warga (RW) yang terdiri dari tiga Rukun Tetangga (RT) dan menaungi 82 KK.
Dari 82 KK ini penulis mengidentifikasi ada 26 keluarga yang membiasakan
bahasa Jawa Krama dan ada 56 keluarga yang menggunakan bahasa Jawa Ngoko
di dalam rumah. Bahasa Jawa Krama masih berlaku sebagai alat komunikasi antar
tetangga terutama anak kepada orang yang lebih tua. Ditemukan dari kelompok
keluarga yang menggunakan bahasa Jawa Krama di rumah, bahwa rata-rata
mereka menggunakannya kepada orangtua, tidak kepada saudara kandungnya
serta beberapa orangtua kepada anak yang sedang dalam tahap belajar berbicara.
Hanya ada satu keluarga saja menerapkan bahasa ini kepada semua anggota
keluarganya termasuk orangtua kepada anak dan antar saudara kandung.

Berdasarkan beberapa studi awal yang telah dilakukan oleh penulis,
ditemukan bahwa terdapat ragam penggunaan bahasa Jawa antara anak kepada
orangtua, orangtua kepada anak, orangtua kepada anak yang sedang dalam tahap
3

belajar berbicara, kakak kepada adik, adik kepada kakak, anak kepada tetangga
yang lebih tua, anak kepada tetangga sebaya, anak kepada teman dan anak kepada
guru. Ada beberapa indikasi pula yang menunjukkan bahwa bahasa Jawa terutama
bahasa Jawa Krama kian hari kian memudar dimana sebagian besar anak banyak
yang tidak memahami bahasa daerahnya sendiri. Kondisi bahasa Jawa semakin
*terpuruk. Berbicara dengan bahasa Jawa dianggap jadul dan kampungan
(Suparlan dalam Wati 2014). Menurut Clyne (2003) hal ini sangat ditentukan oleh
keluarga. Domain keluarga dengan orangtua sebagai interlokutor dan rumah
adalah komponen paling utama dalam pemilihan bahasa dalam berkomunikasi.
Dengan begitu rumah adalah domain terpenting dalam pemertahanan bahasa dan
budaya.
Adanya kesenjangan antara nilai budaya Jawa yang dijunjung dengan
realita di masyarakat menarik perhatian khusus mengenai pola pengasuhan
keluarga Jawa saat ini dan bagaimana nilai-nilai tersebut dipertahankan melalui
penerapan bahasa keseharian yang dipakai. Bahasa bisa menjadi kunci eksistensi

sebuah budaya. Bahasa adalah alat transfer nilai-nilai budaya. Bahasa merupakan
sarana utama dalam pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Tanpa bahasa, generasi penerus tidak akan mengenal budaya aslinya (Matsumoto,
2008). Proses sosialisasi nilai budaya ini direalisasikan pertama kali oleh sebuah
unit yang dinamakan keluarga. Hoff (2006) mengungkapkan dalam penelitiannya
bahwa orangtua merupakan sumber utama pengalaman berbahasa bagi anak.
Orangtua sangat berpotensi unutk merubah bahasa yang akan digunakan oleh
anak. Maka perkembangan bahasa pada anak sangat tergantung pada keaktifan
orangtuanya terutama pada masa awal tahap pemerolehan bahasa.
Didukung oleh Matsumoto (2008) yang menyatakan bahwa anak-anak
mempelajari bahasa asli mereka dengan cara imitasi dari lingkungan asli mereka
yaitu keluarga. Seorang anak di sebuah keluarga akan diasuh menurut nilai
budaya yang diyakini oleh orangtuanya. Pengasuhan tersebut tentunya mencakup
pemilihan bahasa oleh orangtua yang akan diajarkan kepada anak, agar bahasa
yang menjadi aspek utama dalam budaya selalu terjaga dan teraplikasi dalam
setiap perilaku yang mencerminkan nilai sebuah budaya, sebagaimana halnya
budaya juga mempengaruhi pola pengasuhan itu sendiri (Fardhani, 2015). Bahasa
akan digunakan dalam interaksi setiap anggota keluarga. Maka dapat dikatakan
4


bahwa eksistensi sebuah bahasa daerah tergantung pada kualitas pengasuhan
dalam sebuah keluarga.
Nancy (Idrus, 2012) mendefinisikan pengasuhan sebagai aktivitas
kompleks yang terdiri dari perilaku-perilaku yang khas yang secara individu
ataupun bersama-sama mempengaruhi perkembangan anak. Berns (2010) juga
menyatakan bahwa terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi praktik
pengasuhan orangtua, yaitu ideologi politik, budaya, agama dan status sosial
ekonomi orangtua. Penelitian Idrus (2004) menunjukkan bahwa model
pengasuhan terbaik dalam keluarga Jawa adalah keluarga yang berhasil
membesarkan anak-anaknya dengan kecerdasan sosial yang baik atau berinteraksi
dengan masyarakat secara luwes dan dapat mengamalkan nilai-nilai budaya Jawa.
Biasanya masyarakat melabel sebagai orang yang njawani.
Adapun model interaksi masyarakat Jawa ditemukan oleh Geertz (1983)
memiliki 2 kaidah besar, yaitu kaidah kerukunan yang artinya menghindari
konflik dan kaidah hormat artinya setiap orang dalam cara bicara dan membawa
diri selalu harus dapat menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain. Dalam
menerapkan 2 kaidah nilai budaya Jawa tersebut, setiap keluarga memiliki cara
yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang, pembiasaan dan tujuan
pendidikan dalam keluarga tersebut. Dan yang paling menonjol karena
kelangkaannya saat ini adalah keluarga yang masih menerapkan bahasa Jawa

krama (halus) sebagai bahasa harian dalam keluarga.
Idrus (2012) menyatakan bahwa pembiasaan penggunaan bahasa Jawa
Krama Inggil akan memiliki dampak yang positif bagi perkembangan anak.
Terkait dengan model pembiasaan ini, Wimbarti (2002) mengungkapkan bahwa
menggunakan bahasa Jawa Krama menuntut mereka untuk menyesuaikan sikap
batin dan perilaku luarnya dengan bahasa halus tersebut sehingga menggunakan
bahasa Krama Inggil tetapi perilakunya berangasan akan tidak tepat.
Pengasuhan dan lingkungan keluarga menjadi faktor yang sangat
mempengaruhi pemertahanan penggunaan bahasa Jawa baik Krama maupun
Ngoko. Penjelasan lainnya dalam pengembangan studi mengenai pemerolehan
bahasa pada anak oleh Berko-Gleason (1989, dalam Matsumoto, 2008)
menunjukkan bahwa anak tidak sekedar meniru apa yang mereka dengar,
melainkan membuat hipotesis-hipotesis tentang bahasa dan kemudian menguji
5

hipotesis tersebut. Pembuatan hipotesis dan pengujiannya ini merupakan strategi
penting yang dipakai anak di seluruh dunia untuk mempelajari bahasa ibu mereka
(Matsumoto, 2008). Artinya, perolehan bahasa pada manusia mengandung faktor
yang kompleks untuk ditelaah lebih lanjut karena ada sisi internal yang
menyinggung kecanggihan otak manusia dalam mengolah bahasa dan sisi

eksternal yang menyangkut kondisi lingkungan manusia itu sendiri.
Terjadinya pemilihan bahasa disebabkan adanya bahasa mayoritas dan
bahasa minoritas (Sofiah, 2011). Permasalahan yang terjadi saat ini dalam konteks
budaya Jawa adalah bahasa Jawa Krama menjadi bahasa minoritas dalam
pengasuhan di keluarga Jawa sendiri. Warisan bahasa Jawa Krama hampir
terhenti karena sebagian besar anak bahkan orang tua Jawa tidak lagi menguasai
bahasa Jawa itu sendiri terutama bahasa Jawa Krama. Berdasarkan penjelasan
yang telah dipaparkan di atas, dapat diprediksi bahwa fokus masalah pada
penelitian ini memiliki pertimbangan kuat untuk ditelaah dan diteliti lebih dalam
tentang bagaimana dinamika pemertahanan dan penerapan bahasa Jawa pada
pengasuhan dalam keluarga Jawa itu sendiri.

2. METODE
Penelitian

ini

menggunakan

metode


penelitian

kualitatif

dengan

pendekatan studi kasus unit keluarga. Melalui teknik wawancara dan observasi,
penelitian ini mengambil tiga keluarga Jawa dimana terdiri dari ayah, ibu dan
anak yang menggunakan bahasa Jawa Krama secara intens dalam kesehariannya
sebagai informan utama dan guru wali kelas anak sebagai informan sekunder.
Subjek yang diwawancara adalah tiga pasang ibu dan anak, sedangkan subjek
yang diobservasi adalah seluruh anggota keluarga termasuk ayah, ibu, anak dan
orang-orang yang tinggal di rumah keluarga tersebut dengan melihat cara
komunikasi antara satu dengan lainnya.
Analisis data dalam penelitian ini mengacu pada model Miles &
Huberman (2009) yakni reduksi, penyajian, serta kesimpulan atau verifikasi. Dan
dijabarkan menjadi langkah-langkah sebagai berikut: membuat transkrip data
verbal dari hasil rekaman, menelaah seluruh data dari sumber yaitu hasil
wawancara, catatan lapangan, dan hasil observasi informan, melakukan reduksi
data, reduksi data hasil wawancara, reduksi data catatan lapangan, menyusun
6

satuan-satuan analisis data dan melakukan pengkodean, melakukan penafsiran
data, melakukan triangulasi, melakukan analisis temuan-temuan lain dan menulis
hasil penelitian.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Jawa Krama
dapat menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai kesantunan, kepatuhan dan
penghormatan kepada orang tua dan orang yang lebih tua. Dalam aspek
komunikasi ditemukan adanya dua pola penggunaan bahasa Jawa dalam keluarga
Jawa.
Bagan 1. Pola Penerapan Bahasa Jawa
pada Pengasuhan dalam Keluarga
Pola 1

Pola 2

Ayah

Ayah

Ibu

Anak

Ibu

Anak

Keterangan :
: Bahasa Jawa Krama
: Bahasa Jawa Ngoko
Pola pertama (lihat Bagan 1) yang

muncul dari keluarga I dan III

menunjukkan adanya unsur budaya patriarki. Patriarki adalah sebuah sistem sosial
yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam
organisasi sosial (Moore, 1998). Pada konteks temuan penelitian ini, ayah menjadi
pusat penghormatan dalam keluarga yang ditunjukkan dengan digunakannya
bahasa Jawa Krama oleh setiap anggota keluarga baik anak maupun ibu kepada
ayah namun ayah membalasnya dengan bahasa Jawa Ngoko. Pola kedua (lihat
bagan 2) muncul dari keluarga II dengan ciri bahasa Jawa Krama diterapkan
secara ketat oleh setiap anggota keluarga tanpa melihat kedudukannya di keluarga.
Dengan kata lain, orangtua baik ayah maupun ibu tetap menggunakan bahasa
Jawa Krama kepada anak-anaknya meskipun dalam budaya Jawa kedudukan anak
lebih rendah dari orangtua.
7

Kedua pola tersebut menunjukkan bahwa peran ibu menjadi kunci utama
penerapan bahasa Jawa Krama dalam keluarga karena ibu mempraktikkan bahasa
Jawa Krama kepada seluruh anggota keluarga termasuk kepada anak-anak,
sehingga internalisasi nilai budaya yang tersirat dalam bahasa Jawa Krama juga
mudah diserap oleh anak. Maka dapat dikatakan bahwa peranan ibu merupakan
kontributor terbesar dalam pemertahanan bahasa Jawa Krama dan nilai budaya
Jawa.
Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa pola pengasuhan orangtua
menjadi faktor utama dalam mempengaruhi proses penerapan bahasa Jawa Krama
dalam keluarga. Dinamika penerapan bahasa Jawa pada pengasuhan dalam
keluarga terungkap pada Bagan 2.
Penerapan bahasa Jawa Krama dipengaruhi oleh faktor eksternal dan
faktor internal yang juga saling mempengaruhi. Faktor eksternalnya berupa (1)
perubahan iklim bahasa dimana penggunaan bahasa Jawa Krama semakin lama
semakin terkikis di daerah asalnya sendiri dan (2) pengasuhan dari orangtua
(generasi pertama) yang juga menerapkan bahasa Jawa Krama kepada generasi
kedua. Dua faktor eksternal ini mendorong faktor internal yang berupa (1)
pemertahanan bahasa. Di era kemunduran eksistensi bahasa Jawa, generasi kedua
justru ingin mempertahankan dan menampilkan budaya Jawa melalui penerapan
bahasa Jawa Krama pada anak-anaknya. hal tersebut juga sekaligus membawa
misi (2) penanaman moral yang sesuai dengan budaya Jawa yaitu menegakkan
sikap kesantunan dan penghormatan kepada orangtua.
Kedua faktor ini saling berkorelasi dan menghasilkan pembentukan
identitas diri Jawa pada generasi kedua. Identitas diri (Sarwono, 2005) adalah
konsep yang digunakan oleh seseorang untuk menyatakan siapakah dirinya,
bagaimana kepribadiannya dan bagaimana hubungannya dengan orang lain. Ia
juga merupakan keanggotan dalam sebuah komunitas yang menyebabkan
seseorang merasa terlibat, termotivasi, berkomitmen dan menjadikannya rujukan
atau pertimbangan dalam memilih dan memutuskan sesuatu berdasarkan hal yang
normatif. Terbentuknya identitas diri pada dasarnya dipengaruhi secara intensif
oleh interaksi seseorang dengan lingkungan sosial. Identitas diri yang digunakan
seseorang untuk menjelaskan tentang diri biasanya juga berisikan identitas sosial.
Sebagaimana penelitian Amelia (2014) menyatakan bahwa status identitas diri
8

dipengaruhi oleh gaya pengasuhan dan budaya. Menurut konsep ini, maka dapat
disampaikan bahwa identitas diri generasi kedua merupakan hasil interaksi
sosialnya secara intens dalam budaya Jawa sehingga termotivasi dan memutuskan
untuk mewariskan bahasa Jawa Krama dan nilai-nilai budaya Jawa kepada anakanaknya atau generasi ketiga. Maka bahasa Jawa Krama menjadi pilihan bahasa
utama yang diterapkan pada pengasuhan dalam keluarganya.
Bagan 2. Dinamika Penerapan Bahasa Jawa Krama
pada Pengasuhan dalam Keluarga
Faktor eksternal:
- Perubahan iklim
bahasa
- Pengasuhan dari
orangtua (generasi I)

Faktor internal:
- Pemertahanan
bahasa
- Penanaman moral
sesuai budaya Jawa
Pembentukan identitas
diri Jawa (generasi II)

Penerapan Bahasa Jawa Krama pada
pengasuhan dalam Keluarga

Strategi penerapan bahasa:
Pengenalan bahasa sejak
lahir
- Imitasi
- Pengujian hipotesis
- Modelling
-

-

Nilai yang ditanamkan pada
pengasuhan:
Kesantunan
Hormat kepada orangtua dan
orang lain
Tanggungjawab
Jujur
disiplin

Gambaran perilaku anak sesuai dengan nilai budaya Jawa yang ditegakkan di
keluarga:
- Santun dan hormat kepada orangtua dan orang lain dalam bersikap dan
bertutur kata yakni menggunakan bahasa Jawa Krama kepada orangtua, guru
dan orang yang lebih tua
- Peka dan peduli terhadap lingkungan
- Memiliki rasa kebersamaan

Keterangan :
: saling berkorelasi dan menghasilkan
: mempengaruhi
: mengandung hal yang saling berkorelasi

9

Adapun penerapan bahasa ini memiliki beberapa strategi. Di antaranya (1)
pengenalan bahasa yang dimulai sejak bayi lahir. Orang Jawa mempunyai
kebiasaan mengajak bicara bayi dengan bahasa yang akan diprogramkan
kepadanya. Beberapa orangtua Jawa mennyebutnya “juweh” yang artinya
orangtua atau orang dewasa harus cerewet atau sering mengajak bicara bayi agar
perkembangan kognitifnya cepat dan mudah dalam memahami bahasa. (2) Imitasi
yang berarti menirukan. Pada dasarnya anak dapat menangkap bahasa dari
orangtua atau orang di sekitarnya sejak dari dalam kandungan (Dardjowidjojo,
2010). Namun proses aplikasi pembelajaran bahasanya dimulai sejak tahap
pralinguistik pertama yang disebut tahap meraban. Yaitu anak berada di usia 0
sampai 5 bulan mulai mengeluarkan bunyi-bunyian seperti tangisan, menjerit,
tertawa dan sebagainya (Hartati, 2000). Bunyi-bunyian tersebut merupakan respon
dan bahasa isyarat terhadap orang yang ada di sekelilingnya. Kemudian bahasa
yang akan diwariskan kepada anak akan mulai teridentifikasi pada tahap linguistik
I yang biasa disebut dengan tahap holofrastik. Tahap holofrastik ialah anak
memasuki usia 1 sampai 2 tahun dan mulai menirukan kata yang diejakan oleh
orang dewasa dengan maknanya seperti nama anggota keluarga dan nama-nama
benda.
Cara ketiga adalah (3) pengujian hipotesis yang dilakukan oleh anak. Anak
mulai mengenal bahasa kedua dan ketiga selain bahasa ibunya serta mulai
membandingkan bahasa mana yang paling mudah untuk dipahami dan layak
untuk dipertahankan. Dalam kasus ini, bahasa Jawa Krama menjadi bahasa ibu.
Setiap bahasa memiliki tingkat kesulitan masing-masing termasuk bahasa Jawa
Krama yang mempunyai aturan yang beragam dan lebih rumit dari bahasa Jawa
Ngoko dan bahasa Indonesia. Dalam ranah keluarga, ketiga informan menjadikan
bahasa Jawa Krama sebagai alat komunikasi harian sehingga pembiasaan ini
menepiskan tingkat kesulitan dalam memahami aturannya. Justru anak cenderung
lebih menyukai untuk mempelajarinya lebih dalam. Misalnya ada tingkatantingkatan dalam membahasakan kata “kamu” dengan melihat usia dan status
orang yang diajak bicara. Kata “kamu” bisa dibahasakan dari “kowe”,
“sampeyan” dan “panjenengan”. Struktur-struktur seperti ini diuji oleh anak-anak
melalui proses pembelajaran yang ia dapatkan di ranah pendidikan maupun
kelauarga. Kedua wilayah ini saling menopang dalam menyusun tata bahasa Jawa
10

yang telah diinventarisasi oleh anak. Sehingga kemampuan bahasa mereka terus
berkembang dan membentuk rasa bahasa serta memberlakukan bahasa tersebut
sesuai dengan nilai budaya yang tertanam di dalamnya.
Cara ketiga disambut dengan cara yang keempat yaitu (4) modelling.
Modelling menurut Bandura (2001) merupakan proses belajar melalui pengamatan
terhadap orang yang ia jadikan model. Pengamatan tersebut mencakup proses
seleksi dan pengambilan nilai-nilai budaya yang akan ia imitasi atau diambil
konsekuensinya saja. Orangtua mencontohkan bagaimana bahasa Jawa Krama
digunakan sesuai dengan kaidahnya dimana pemilihan diksi dalam bahasa tersebut
harus mempertimbangkan status sosial, usia atau jenis kelamin orang yang diajak
bicara. Anak mulai belajar nilai-nilai budaya yang tersirat dalam bahasa tersebut.
Penyampaian nilai-nilai budaya Jawa ini juga dikuatkan melalui pola
pengasuhan Jawa yang menekankan beberapa nilai pendidikan berikut:
tanggungjawab, kejujuran, kedispilinan, komitmen dan konsisten terhadap
kewajiban. Pola pengasuhan yang khas dengan nuansa kelembutan budaya Jawa
ini

berpengaruh

terhadap

perilaku

anak

yang

tergambarkan

dengan

kesantunannya, rasa hormat kepada orangtua dan orang lain, lembah lembut,
kepekaan dan kepedulian terhadap lingkungan serta rasa kebersamaan dengan
mempriorotaskan kepentingan bersama daripada pribadinya. Maka dari itu
dinamika tersebut menimbulkan pergesaran pola asuh dari generasi pertama
sampai generasi ketiga.
Pada keluarga ketiga ditemukan bahwa pola asuh generasi pertama kepada
generasi kedua masih cenderung otoriter dengan gaya kaku, disiplin keras,
membatasi kebebasan anak dan cenderung menghukum. Orangtua memaksa anak
untuk mengikuti aturan dan menghormati pekerjaan orangtua (Baumrind,
Moscatelli dan Rubini, 2009; Santrock, 2012).
Terlebih dengan penerapan bahasa Jawa Krama, anak dituntut untuk
menampilkan rasa penghormatan yang tinggi kepada orangtua sehingga hubungan
antara anak dan orangtua menjadi lebih jauh dan kaku. Pada generasi kedua dan
generasi ketiga dengan perkembangan zaman yang jauh berbeda, pola pengasuhan
dituntut untuk lebih demokratis. Penegakan sikap kepatuhan, rasa hormat dan
sopan melalui penerapan bahasa Jawa Krama harus tetap dipertahankan namun
sikap keterbukaaan dan kedekatan dengan anak harus terus dibangun. Sehingga
11

generasi ketiga dapat mengalami perkembang kepribadian yang sesuai dengan
harapan.

4. PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan
bahasa Jawa Krama pada pengasuhan dari ketiga keluarga dipengaruhi oleh
terbentuknya identitas diri Jawa pada orangtua (generasi II) yang didorong oleh
faktor berikut: perubahan iklim bahasa, pengasuhan dari orangtua (generasi I),
pemertahanan bahasa Jawa Krama dalam rangka penanaman sikap santun dan
hormat kepada orangtua. Adapun strategi yang digunakan adalah pengenalan
bahasa sejak lahir dengan cara mengajak bicara pada masa pra linguistik, imitasi
pada masa linguistik I, pengujian hipotesis yang dilakukan oleh anak di ranah
keluarga, pendidikan dan pergaulan serta modelling yang diperankan oleh
orangtua terutama ibu. Adanya penerapan bahasa Jawa Krama ini mempengaruhi
perilaku anak yang sesuai dengan nilai pendidikan yang ditanamkan dalam
keluarga Jawa, antara lain: sikap kepatuhan, hormat, santun, kepekaan dan
kepedulian terhadap lingkungan sekitar dan tanggungjawab.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini memiliki banyak keterbatasan dan
kelemahan, di antaranya data orangtua hanya diambil dari sisi ibu saja, padahal
penelitian ini mengangkat tema pengasuhan yang sebaiknya informasi bersumber
dari ayah dan ibu agar menjadi data yang lengkap dan akurat. Pertimbangan jenis
kelamin anak tidak dimasukkan pada karakterisktik pengambilan sampel dan
kebetulan semua informan adalah anak perempuan. Analisis akan menjadi lebih
kaya, jika karakteristik setiap anak (laki-laki atau perempuan) ditonjolkan karena
sikap kepatuhan antara anak laki-laki dan perempuan berbeda.
Tidak ada wawancara dengan pihak yang disebut generasi I (kakeknenek), sehingga gaya pengasuhan orangtua yang menjadi salah satu faktor
terbentuknya gaya pengasuhan dengan pola penerapan bahasa Jawa Krama yang
diaplikasikan pada generasi selanjutnya tidak tergali dan tidak terkonfirmasi..

12

DAFTAR PUSTAKA
Amelia, J. (2014). Asosiasi antara Gaya Pengasuhan dan Status Identitas Diri
Remaja Etnis Jawa. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya.
Vol. 3 (1): 2 – 14.
Balai Bahasa Yogyakarta. (2001). Kamus Bahasa Jawa. Yogyakarta: Balai
Bahasa Yogyakarta.
Bandura, A. (2001). Social Cognitive Theory: An Agentic Perspective. Annual
Review of Psychology, 52(1), 1-26.
Berns, R. (2010). Child, Family, School, Community Socialization and Support.
California: Wadsworth.
Clyne, M. (2003). Dynamics of Language Contact. Cambridge: Cambridge
University Press.
Dardjowidjojo, S. (2010). Psikoliguistik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ekowarni, A. (2006). Kesenjangan Pola Asuh Jawa antar Dua Generasi. Jurnal
Psikondimaik. 8 (1): 1-16.
Fardhani, L. (2015). Makna “Dadi Wong” sebagai Refleksi dari Sosialisasi pada
Pola Pengasuhan Anak dalam Keluarga Jawa di Keluarahan Wanea Kota
Manado. Jurnal Holistik. Tahun VIII, (15): 1-13.
Fishman (1975). The Sosiolinguistics of Language. Massuchuseets: Newfury
Hause Publisher.
Geertz, H. (1985). Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Pers.
Hakim, M.A., Supriyadi dan Yuniarti, K.W. (2012). The Content of Indonesian
Child-Parent Attachment. International Society for The Study of
Behavioral Development. (2): 11-15.
Hakim, M.A., Thontowi, H.B., Yuniarti, K.W., dan Kim, U., (2012). The Basis of
Children’s Trust towards Their Parents in Java: Ngemong. International
Journal of Research Studies in Psychology. Vol.1 (2): 3-16.
Handoyo, S. (2004). Tinggal 26,16 % Warga Semarang yang Masih Setia
Menggunakan Bahasa Jawa. Seranta Bahasa dan Sastra 2004. Jakarta:
Pusat Bahasa, hal. 1-29.
Hartati, T. (2000). Pemerolehan Imbuhan Siswa Sekolah Dasar Negeri Cileunyi
Kabupaten Bandung. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

13

Hart, B., & Risley, T. R. (1992). American Parenting of Language-Learning
Children: Persisting Differences in Family-Child Interactions Observed
in Natural Home Environments. Developmental Psychology, 28(6): 1096
- 1105.
Hoff, E., & Tian, C. (2005). Socioeconomic Status and Cultural Influences on
Language. Journal of Communication Disorders, 38(4): 271-278.
Hoff, E. (2006). How Social Contexts Support and Shape Language Development.
Developmental Review. (26): 55-88.
Hurlock, E.B. (2006). Child Development. Jakarta: Erlangga.
Idrus, M. (2004). Kepercayaan Eksistensial Remaja Jawa. (Disertasi tidak
dipublikasikan).

Program

Doktor

Psikologi,

Fakultas

Psikologi

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Idrus, M. (2012). Pendidikan Karakter pada Keluarga Jawa. Jurnal Pendidikan
Karakter. Vol. II (2): 118 – 130.
Laksono, K. (2006). Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa dalam Perspektif
Kebhinekatunggalikaan. Kongres Bahasa Jawa IV: Komisi Kearifan
Lokal. Semarang, hal. 85-97.
Matsumoto, D. (2008). Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Miles,M.B., & Huberman, A.M. (2009). Analisis Data Kualitatif. Terj. Rohidi,
T.R. Jakarta: UII Press.
Moscatelli, S., & Rubini, M. (2009). Parenting Style in Adolescence: The Role of
Warmth, Strinctness, and Psychological Autonomy Granting in
Influencing Collective Self-Esteem and Expectations for The Future.
Handbook of Parenting: Styles, Stress & Strategies, 342-349.
Purwadi., Mahmudi., & Zaidah, N. (2012). Tata Bahasa Jawa. Yogyakarta: Pura
Pustaka.
Santrock, J. W. (2012). Life Span Development. Jakarta: Erlangga.
Sarwono, S. W. (2005). Psikologi Sosial Kelompok dan Terapan. Jakarta: PT
Balai Pustaka.
Sofiah, N.K. (2011). Pemakaian Bahasa Dalam Keluarga Dengan Orangtua
Berbeda Suku. Tesis. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia, Jakarta.
14

Suryadi, M. (2014). The Use of Krama Inggil (Javanese Language) in Family
Domain at Semarang and Pekalongan Cities. International Journal of
Linguistic, Vol.6 (3): 243-256.
Tamis‐LeMonda, C. S., Bornstein, M. H., Baumwell, L., & Melstein Damast, A.
(1996). Responsive Parenting in the Second Year: Specific Influences on
Children's Language and Play. Early Development and Parenting, 5(4),
173-183.
Tarigan, H. G. (1985). Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, H. G. (2010). Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Wati, D.C. (2014). Peran Lembaga Pendidikan Dasar Dalam Pelestarian Bahasa
Daerah Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Budaya. (Tesis tidak
dipublikasikan). Program Studi Ketahanan Nasional. Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta.
Wimbarti, S. (2002). Pola Asuh yang Mencerdasakan Anak: Dari Sisi EQ.
Makalah dalam Seminar Pola Asuh Yang Mencerdaskan Anak dalam
rangka Sewindu PSW LP UII, 20 April 2002.

15