Kartikasari. Analisis Kebiasaan Makan Masyarakat Di Sekitar Waduk Cirata, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur

ANALISIS KEBIASAAN MAKAN MASYARAKAT DI
SEKITAR WADUK CIRATA, KECAMATAN CIRANJANG,
KABUPATEN CIANJUR

WAHYU RIZKY KARTIKASARI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kebiasaan
Makan Masyarakat di Sekitar Waduk Cirata, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten
Cianjur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Wahyu Rizky Kartikasari
NIM I14100143

ABSTRAK
WAHYU RIZKY KARTIKASARI. Analisis Kebiasaan Makan Masyarakat di Sekitar
Waduk Cirata, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur. Dibimbing oleh CLARA
MELIYANTI KUSHARTO dan KARINA RAHMADIA EKAWIDYANI.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kebiasaan makan masyarakat di
sekitar waduk Cirata, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur. Penelitian ini dilakukan
di sekitar waduk Cirata dengan total contoh sebanyak 57 orang. Data dikumpulkan melalui
kuesioner. Sebagian besar contoh (77.2%) merupakan keluarga kecil dengan jenjang
pendidikan contoh (66.6%) adalah sekolah dasar dan mayoritas pekerjaan kepala keluarga
(50.8%) yaitu budidaya ikan dengan kategori pendapatan rendah dan tinggi (63.2% dan
36.8%). Sebanyak 54.4% contoh berstatus gizi normal, 42.1% gizi lebih dan 3.5% gizi
kurang. Hasil uji korelasi menunjukkan hubungan yang signifikan (p27.0)
1.
2.

3.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
1.
2.

Keluarga kecil (≤ 4 orang)
Keluarga sedang (5–6 orang)
Keluarga besar (≥ 7 orang)

Tidak sekolah
SD
SMP
SMA sederajat
Akademi/Perguruan tinggi
Tidak bekerja
Buruh
Jasa (ojek/supir)
Petani
PNS/TNI/POLRI
Pegawai swasta
Dagang/wiraswasta
Lainnya
Rendah
Tinggi

1.
2.
1.
2.

3.

Suku Sunda
Suku Bugis
Kurang (80%)

Tabel 2 Cara pengkategorian variabel penelitian (lanjutan)
Variabel
Tingkat kecukupan energi, protein
dan karbohidrat (Gibson 2005)

Tingkat kecukupan lemak (Depkes
RI 2013)

7

Kategori Pengukuran
1. Defisit tingkat berat ( 65
Total
Status gizi

Kurus (17.0–18.4)
Normal (18.5–25.0)
Gemuk (25.1–27.0)
Gemuk sekali (˃27.0)
Total

Bugis

Sunda
n
%

Total
n

%

n

%


27
1
28

96.4
3.6
100

29
0
29

100
0.0
100

56
1
57


98.2
1.8
100.0

0
15
13
0
28

0.0
53.6
46.4
0.0
100

1
14
13

1
29

3.4
48.3
44.8
3.4
100

1
29
26
1
57

1.8
50.9
45.6
1.8
100.0


1
13
5
9
28

3.6
46.4
17.9
32.1
100

1
18
5
5
29

3.4

62.1
17.2
17.2
100

2
31
10
14
57

3.5
54.4
17.5
24.6
100

Sebagian besar contoh adalah perempuan (98.2%). Laki-laki yang
diwawancarai merupakan anggota keluarga contoh yang merupakan kepala rumah
tangga. Seluruh responden beragama Islam. Rentang usia contoh adalah 19 hingga

80 tahun. Sebagian besar contoh (54.4%) berstatus gizi normal. Namun, terdapat
sedikitnya 50% suku Bugis dan 34.4% suku Sunda yang status gizinya melebihi
normal. Berdasarkan uji Mann-Whitney diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan (p=0.182) untuk status gizi antara kedua kelompok. Beberapa
faktor penyebab kegemukan diantaranya konsumsi makanan terutama makanan
yang mengandung tinggi lemak dan gula, aktivitas fisik yang kurang serta faktor
genetik (Roemling dan Qaim 2012). Menurut Farooqi (2006), faktor genetik

9
menyumbang 40% hingga 70% penyebab perbedaan status gizi setiap individu.
Seseorang dengan keturunan obesitas memiliki kecenderungan menjadi obesitas
yang lebih besar karena terjadi gangguan makan yang melibatkan genetik. Begitu
pula sebaliknya, seseorang dengan keturunan kurus memiliki kebiasaan makan
dengan porsi sedang hingga berlebih namun kenaikan indeks massa tubuh sangat
kecil (Santrock 1996).
Keadaan Sosial Ekonomi
Mayoritas keluarga suku Bugis (71.4%) tergolong keluarga kecil, sama
halnya dengan suku Sunda (82.8%). Uji beda Mann Whitney pada besar keluarga
menunjukan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p=0.312) antara kedua kelompok.
Sebagian besar ibu pada suku Bugis (50%) dan suku Sunda (82.8%) berpendidikan
sekolah dasar (SD). Uji beda Mann Whitney pada jenjang pendidikan menunjukan
terdapat perbedaan yang nyata (p=0.004). Jenjang pendidikan suku Bugis lebih
tinggi daripada suku Sunda karena terdapat contoh yang berpendidikan SMA dan
Perguruan Tinggi (PT).
Pekerjaan kepala keluarga contoh bervariasi seperti buruh, jasa (supir/ojek),
petani, pegawai negeri sipil (PNS), pegawai swasta, wiraswasta/dagang, dan lainlain. Mayoritas pekerjaan kepala keluarga suku Bugis adalah bekerja sebagai
wiraswasta yaitu budidaya ikan (92.9%), sedangkan kepala keluarga suku Sunda
sebagian besar bekerja sebagai buruh bangunan (69.0%).
Peningkatan pendapatan cenderung diikuti dengan peningkatan pengeluaran
yang dapat mengubah gaya hidup seseorang maupun keluarga (Rudjito 1987).
Setelah dibandingkan dengan garis kemiskinan perdesaan Jawa Barat 2014,
sebagian besar suku Bugis (75%) memiliki pendapatan per kapita yang tergolong
rendah, sementara pendapatan per kapita suku Sunda yang tergolong rendah
(51.7%) dan tinggi (48.3%) hampir sama. Namun, uji beda yang dilakukan tidak
menunjukan perbedaan yang nyata (p=0.071). Pendapatan rata-rata per kapita suku
Bugis sebesar Rp265 547, sedangkan suku Sunda Rp336 839. Rata-rata pendapatan
per kapita suku Bugis sedikit lebih rendah dibandingkan dengan suku Sunda
dikarenakan penghasilan dari penjualan ikan hanya jika ikan siap untuk dipanen
yaitu sekitar 3–5 bulan sekali.
Tabel 4 Sebaran keadaan sosial ekonomi contoh
Variabel
Besar Keluarga
Kecil (7)
Total
Jenjang Pendidikan
Tidak sekolah
SD
SMP
SMA sederajat
PT
Total

Bugis

Sunda
n
%

n

Total
%

n

%

20
8
0
28

71.4
28.6
0.0
100.0

24
5
0
29

82.8
17.2
0.0
100.0

44
13
0
57

77.2
22.8
0.00
100.0

1
14
9
3
1
28

3.6
50.0
32.1
10.7
3.6
100.0

1
24
4
0
0
29

3.4
82.8
13.8
0.0
0.0
100.0

2
38
13
3
1
57

3.5
66.6
22.8
5.3
1.8
100.0

10
Tabel 4 Sebaran keadaan sosial ekonomi contoh (lanjutan)
Variabel

Bugis

Pekerjaan Kepala Keluarga
Tidak Bekerja
Buruh
Jasa (ojek/supir)
Petani
PNS/TNI/POLRI
Wiraswasta
Lainnya
Total
Pendapatan per kapita
Rendah (≤ Rp277 645/bln)
Tinggi (> Rp277 645/bln)
Total

Sunda
n
%

n

Total
%

n

%

0
0
0
0
0
26
2
28

0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
92.9
7.1
100.0

1
20
1
2
1
3
1
29

3.4
69.0
3.4
6.9
3.4
10.3
3.4
100.0

1
20
1
2
1
29
3
57

1.8
35.1
1.8
3.5
1.8
50.8
5.2
100

21
7
28

75.0
25.0
100.0

15
14
29

51.7
48.3
100.0

36
21
57

63.2
36.8
100.0

Pengetahuan gizi
Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi,
sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi agar tidak
menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi dalam
makanan tidak hilang serta bagaimana hidup sehat (Notoatmodjo 2003). Kurang
dari separuh pengetahuan gizi suku Bugis baik (39.2%), sedangkan 55.2%
pengetahuan gizi suku Sunda dalam kategori sedang. Setelah dilakukan uji beda
Mann-Whitney, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.399) antara kedua
kelompok tersebut.
Tabel 5 Sebaran pengetahuan gizi contoh
Kategori
Kurang (skor80%)
Total

Bugis
n
9
8
11
28

%
32.1
28.6
39.3
100.0

Sunda
n
8
16
5
29

%
27.6
55.2
17.2
100.0

Total
n
17
24
16
57

%
29.8
42.1
28.1
100.0

Uji korelasi menggunakan korelasi Spearman, didapatkan hubungan yang
signifikan (p=0.001) antara jenjang pendidikan dengan pengetahuan gizi contoh.
Uji tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang,
semakin baik pula pengetahuan yang dimiliki. Jenjang pendidikan suku Bugis lebih
tinggi dibandingkan dengan suku Sunda karena didapatkan contoh yang
berpendidikan SMA dan Perguruan Tinggi (PT) sehingga pengetahuan gizi contoh
suku Bugis tergolong baik. Pengetahuan gizi ibu sangat berpengaruh terhadap
keadaan gizi keluarga (Suhardjo 1989). Menurut Contento (2007), semakin tinggi
jenjang pendidikan seseorang, maka akan lebih baik dalam menerima, memproses,
menginterpretasikan, dan menggunakan informasi.

11
Pola Makan
Sebagian besar suku Bugis (78.6%) dan suku Sunda (82.8%) tidak mengikuti
diet tertentu. Tabel 6 menyajikan sejumlah pertanyaan yang diajukan yang salah
satunya mengenai program diet yang sedang diikuti disertai enam pilihan jawaban.
Terdapat pilihan lainnya dimana tiga contoh yang menjawab (satu merupakan suku
Bugis dan dua merupakan suku Sunda) sedang menjalani diet asam urat atau
mengurangi konsumsi sayuran hijau. Minuman yang biasanya diminum sebagian
besar contoh dalam sehari yaitu air putih dan teh (47.7%) dengan jumlah rata-rata
tujuh gelas air putih per hari dan tiga gelas teh per hari. Cemilan biasanya
didefinisikan sebagai kesempatan makan yang berbeda dengan makanan utama
(Popkin dan Piernas 2010). Sebanyak 92.9% suku Bugis dan 82.8% suku Sunda
biasa mengkonsumsi cemilan. Cemilan yang biasanya dimakan adalah biskuit,
kacang sukro, gorengan, keripik pisang dan keripik singkong.
Tingginya angka kegemukan suku Bugis (50%) berkaitan dengan tingginya
kebiasaan makan cemilan (92.9%), memesan makanan dari luar rumah atau makan
diluar (42.9%) dan kebiasaan makan malam (92.9%). Hal ini sesuai dengan
Guerrero et al. (2008) bahwa mengemil berasosiasi dengan kejadian obesitas pada
perempuan, namun, tidak ada kaitan antara obesitas dan makan diluar rumah. Lain
halnya dengan Kant dan Graubard (2004) yang menyebutkan bahwa beberapa studi
menunjukkan hubungan antara berat badan dan frekuensi konsumsi makanan di
restoran terutama fast food. Alasan yang diberikan karena tingginya energi dari
porsi lebih besar, atau densitas energi yang tinggi dari sejumlah makanan yang
disajikan di banyak restoran. Terdapat 21.4% suku Bugis dan 34.5% suku Sunda
yang tidak memiliki kebiasaan makan malam. Alasan contoh tidak makan malam
salah satunya karena makan malam dapat menyebabkan kegemukan. Asumsi
tersebut ternyata bertentangan dengan penelitian Guerrero et al. (2008) yang
menyatakan bahwa pada studi saat ini, perempuan yang tidak makan malam
cenderung akan mengalami obesitas. Namun, hal tersebut diatas tidak sejalan
dengan uji yang dilakukan terhadap status gizi dan kebiasaan makan cemilan,
kebiasaan makan malam dan kebiasaan makan/memesan makanan dari luar rumah.
Tabel 7 dan 8 menunjukan bahwa contoh suku Bugis dengan status gizi
normal memiliki persentase kebiasaan makan cemilan dan kebiasaan makan malam
yang lebih tinggi daripada contoh suku Bugis dengan status gizi lebih. Tabel 9
menunjukan bahwa suku Bugis dengan status gizi lebih memiliki persentase
kebiasaan makan atau memesan makanan dari luar rumah yang lebih tinggi
dibandingkan dengan contoh dengan status gizi normal. Namun hal sebaliknya
terjadi pada suku Sunda. Uji chi square menunjukan bahwa tidak terdapat
hubungan antara status gizi dengan kebiasaan makan cemilan (p=0.782), kebiasaan
makan/memesan makanan dari luar rumah (p=0.305) dan kebiasaan makan malam
(p=0.733).
Sebanyak 42.9% suku Bugis pernah makan diluar atau memesan makanan ke
rumah. Sekitar 21.4% suku Bugis tersebut makan diluar atau memesan makanan ke
rumah setiap minggu, sebagian lagi (21.4%) setiap bulan. Sebesar 13.8% suku
Sunda pernah makan diluar atau memesan makanan ke rumah setiap minggu (6.9%)
adapula yang setiap bulan (6.9%). Jenis tempat makan yang biasa dikunjungi
Warteg, Rumah Makan Padang, dan lainnya.

12
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pertanyaan mengenai pola makan
Pola makan
Apakah mengikuti diet tertentu?
Tidak
Rendah lemak
Diabetes
Rendah garam
Vegetarian
Lainnya
Total
Makanan mana yang teratur dimakan?
Sarapan
Makan Siang
Makan malam
Sarapan dan makan siang
Sarapan dan makan malam
Makan siang dan makan malam
Sarapan, makan siang, makan
malam
Total
Biasa mengkonsumsi cemilan?
Tidak
Iya
Total
Waktu mengkonsumsi cemilan?
Pagi
Siang
Sore
Malam
Pagi dan Siang
Siang dan Sore
Total
Apakah pernah makan diluar atau
memesan makanan ke rumah?
Iya
Tidak
Total
Apakah meminum suplemen selama satu
bulan ini?
Tidak
Iya
Total
Apakah memiliki kebiasaan makan
malam?
Iya
Tidak
Total

Bugis
n
%

Sunda
n
%

Total
n
%

22
0
4
1
0
1
28

78.6
0.0
14.3
3.6
0.0
3.6
100.0

24
0
0
3
0
2
29

82.8
0.0
0.0
10.3
0.0
6.9
100.0

46
0
4
4
0
3
57

80.7
0.0
7.0
7.0
0.0
5.3
100.0

12
7
1
0
2
3
3

42.9
25.0
3.6
0.0
7.1
10.7
10.7

10
3
3
1
1
2
9

34.5
10.3
10.3
3.4
3.4
6.9
31.0

22
10
4
1
3
5
12

38.6
17.5
7.0
1.8
5.3
8.8
21.0

28

100.0

29

100.0

57

100.0

2
26
28

7.1
92.9
100.0

5
24
29

17.2
82.8
100.0

7
50
57

12.3
87.7
100.0

5
14
5
0
2
0
26

17.9
50.0
17.9
0.0
7.1
0.0
92.9

2
6
3
10
0
3
24

6.9
20.7
10.3
34.5
0.0
10.3
82.8

7
20
8
10
2
3
50

12.3
35.1
14.0
17.5
3.5
5.3
87.7

12
16
28

42.9
57.1
100.0

4
25
29

13.8
86.2
100.0

16
41
57

28.1
71.9
100.0

26
2
28

92.9
7.1
100.0

28
1
29

96.6
3.4
100.0

54
3
57

94.7
5.3
100.0

22
6
28

78.6
21.4
100.0

19
10
29

65.5
34.5
100.0

41
16
57

71.9
28.1
100.0

13
Tabel 7 Sebaran kebiasaan makan cemilan berdasarkan status gizi
Status
Gizi
Kurus
Normal
Lebih
Total

Bugis

Sunda

Iya
n
1
13
12
26

Tidak

%
100.0
100.0
85.7
92.9

n
0
0
2
2

%
0.0
0.0
14.3
7.1

Iya
n
1
15
8
24

%
100.0
83.3
80.0
82.8

n
0
3
2
5

Tidak
%
0.0
16.7
20.0
17.2

Tabel 8 Sebaran kebiasaan makan malam berdasarkan status gizi
Status
Gizi
Kurus
Normal
Lebih
Total

Bugis

Sunda

Iya
n
1
11
10
22

Tidak
%
100.0
84.6
71.4
78.6

n
0
2
4
6

%
0.0
15.4
28.6
21.4

Iya
n
0
12
7
19

%
0.0
66.7
70.0
65.5

Tidak
n
%
1
100.0
6
33.3
3
30.0
10
34.5

Tabel 9 Sebaran kebiasaan makan/memesan makanan dari luar rumah berdasarkan
status gizi
Status
Gizi
Kurus
Normal
Lebih
Total

Bugis

Sunda

Iya
n
1
4
7
12

Tidak
%
100.0
30.8
50.0
42.9

n
0
9
7
16

%
0.0
69.2
50.0
57.1

Iya
n
0
3
1
4

%
0.0
16.7
10.0
13.8

Tidak
n
%
1
100.0
15
83.3
9
90.0
25
86.2

Suplemen adalah produk yang dimaksudkan untuk menambah nilai gizi dan
berfungsi sebagai pelengkap kekurangan zat gizi dalam tubuh (FDA 2012).
Berdasarkan wawancara kepada responden, hanya sedikit yang mengkonsumsi
suplemen. Suplemen yang dikonsumsi sebagian kecil contoh (5.3%) adalah zat besi.
Perubahan kebiasaan makan
Model multidimensional adalah suatu pendekatan untuk menerangkan pola
pangan penduduk. Pendekatan tersebut mencakup deskripsi atau penjelasan tentang
kebiasaan makan dari empat komponen, yaitu konsumsi pangan, preferensi pangan,
ideologi pangan dan sosial budaya pangan (Sanjur 1982 dalam Suhardjo 1989).
Makassar merupakan wilayah yang terletak di pesisir pantai Sulawesi Selatan, yang
didominasi oleh suku Bugis (Ciptakarya 2004). Makanan kesukaan suku Bugis
adalah ikan yang diolah dengan cara dibakar. Kesukaan suku Bugis akan ikan
didukung dengan letak wilayahnya yang berada di pesisir pantai.
Ketika masyarakat dari suatu suku berpindah ke area dengan perbedaan nilai
budaya, adaptasi terhadap masyarakat yang baru dimulai. Proses ini disebut
akulturasi. Kebiasaan makan berbasis budaya sering menjadi salah satu praktik
terakhir yang diubah oleh masyarakat melalui akulturasi. Tidak seperti berbicara
ataupun mengenakan pakaian tradisional, makan biasanya dilakukan secara privasi

14
di dalam rumah, tersembunyi dari pengamatan mayoritas anggota masyarakat.
(Kittler dan Sucher 2008). Berdasarkan wawancara 28 rumah tangga suku bugis
yang bertempat tinggal rumah apung di waduk Cirata, 67.9% alasan kepindahan
suku bugis tersebut adalah untuk mengadu nasib, 21.4% dikarenakan ikut sanak
saudara, dan 10.7% mengembangkan usaha. Lama tinggal suku Bugis yang
menetap di waduk Cirata yaitu mulai dari kisaran waktu 2 bulan hingga 20 tahun
lebih. Sebanyak 89.3% contoh mengaku tidak terjadi perubahan terhadap cara
mengolah makanan, porsi makan dan frekuensi makan, sedangkan 10.7% contoh
mengalami perubahan dalam cara mengolah makanan yang sebelumnya dibakar
menjadi digoreng. Hal tersebut dikarenakan di tempat tinggalnya saat ini sulit
mendapatkan arang.
Biasanya pola makan penduduk berkembang dari makanan yang tersedia di
sekitar untuk jangka waktu yang panjang. Kelangkaan makanan berpengaruh pula
terhadap pola makan (Suhardjo 1989). Beberapa dari suku Bugis mengaku bahwa
sulit sekali mencari ikan laut di daerah tempat tinggalnya saat ini, padahal sewaktu
masih di Sulawesi ikan laut begitu mudah didapat. Menurut Hurif (1990), berbagai
jenis ikan laut, beberapa jenis ikan air tawar dan udang merupakan makanan sumber
protein hewani yang paling sering dikonsumsi suku Bugis setiap hari. Jenis ikan
laut yang banyak dikonsumsi kebanyakan suku Bugis adalah ikan bandeng, tongkol,
teri, cumi, kembung dan baronang serta ikan air tawar seperti ikan gabus.
Tekstur dan aroma ikan laut dengan ikan air tawar menurut contoh berbeda.
Ikan laut memiliki daging ikan yang keras dan tidak begitu amis sedangkan ikan air
tawar memiliki daging yang cenderung lembek dan amis. Hal ini sesuai dengan
Pusluh (2011), bahwa perbedaan yang mendasar antara ikan air tawar dan ikan air
laut terletak pada tekstur dagingnya. Tekstur daging ikan air tawar lebih lembek
daripada ikan air laut. Namun, kebanyakan suku bugis yang telah lama menetap
sudah bisa beradaptasi dengan olahan ikan air tawar terutama ikan nila. Dapat
terlihat bahwa faktor lingkungan berpengaruh terhadap pemilihan makan suku
Bugis. Akibat tempat tinggalnya saat ini tidak berada di sekitar laut, sehingga
kebiasaan makan ikan air laut berubah menjadi ikan air tawar yang merupakan hasil
budidaya suku Bugis sendiri di sekitar waduk Cirata. Hal ini disebut sebagai food
coping strategy yaitu respon terhadap menurunnya akses terhadap pangan.
Frekuensi Makan Sehari, Kebiasaan Sarapan dan Prioritas Makan
Makanan pokok seluruh warga suku Bugis yang diwawancarai adalah nasi.
Frekuensi makan makanan pokok dalam sehari seluruh contoh dari rentang satu kali
hingga lebih dari tiga kali, 64.9% memiliki frekuensi makan tiga kali sehari dan
35.1% memiliki frekuensi makan dua kali sehari. Menurut Khomsan (2002)
frekuensi makan yang baik adalah tiga kali sehari. Frekuensi makan ≥ 3 kali dalam
sehari merupakan pola makan yang baik, karena dengan demikian kebutuhan akan
zat gizi dapat terpenuhi (Megiyawati 2004). Kebiasaan sarapan setiap anggota
keluarga berbeda-beda, ada yang selalu sarapan, sering, jarang dan tidak sarapan
sama sekali. Pada Tabel 10 disajikan kebiasaan sarapan suku Bugis dan suku Sunda.
Didapatkan bahwa 71.4% suku Bugis dan 82.2% suku Sunda selalu melakukan
sarapan. Jenis sarapan yang biasa dikonsumsi contoh adalah gorengan, nasi goreng,
roti dan biskuit. Menurut Hurif (1990), jenis sarapan yang biasa dikonsumsi suku

15
Bugis yaitu nasi, dan juga terbiasa hanya minum kopi serta pisang goreng. Menu
sarapan tersebut belum memenuhi konsep gizi seimbang karena susunan makanan
yang belum beraneka ragam dalam jumlah dan proporsinya. Kurang beragamnya
menu sarapan yang dikonsumsi diduga disebabkan oleh rendahnya pendapatan
yang berkaitan dengan daya beli terhadap bahan pangan yang akan diolah dan
dikonsumsi (Megiyawati 2004).
Pada dasarnya makanan memiliki dua peranan dalam masyarakat, yaitu
berperan dalam kesehatan dan memiliki peran sosial dalam masyarakat (Den
Hartog 2006). Peran sosial diantaranya adalah sebagai media komunikasi dan
identitas budaya. Hal tersebut dapat terlihat dari kebiasaan suku Sunda maupun
Bugis yang membagi-bagikan makanan saat ada perayaan atau syukuran. Selain itu
kebiasaan meliwet di suku Sunda masih terlihat pada saat penelitian dimana
komunikasi antar warga sekitar berlangsung.
Berdasarkan hasil wawancara, sekitar 14.3% suku Bugis dan 27.6% suku
Sunda tidak lagi melakukan kegiatan makan bersama. Menurut Putnam (2000), hal
ini terjadi karena begitu cepat perubahan yang terjadi pada hubungan sosial seperti
biaya hidup yang tinggi membuat suami dan istri harus bekerja lebih lama sehingga
semakin kekurangan waktu untuk melakukan kegiatan makan bersama. Pada Tabel
10 disajikan sebaran contoh berdasarkan frekuensi makan, kebiasaan sarapan,
kebiasaan makan bersama, dan prioritas makan.
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi makan, kebiasaan sarapan pagi,
kebiasaan makan bersama dan prioritas makan
Kebiasaan Makan
Frekuensi Makan sehari
1 kali
2 kali
3 kali
> 3 kali
Total
Kebiasaan sarapan
Selalu (7 kali/minggu)
Sering (5-6 kali/minggu)
Jarang (1-4 kali/minggu)
Tidak pernah
Total
Kebiasaan makan bersama
Tidak ada
Ada
Total

Bugis

Sunda

Total

n

%

n

%

n

%

0
10
18
0
28

0.0
35.7
64.3
0.0
100.0

0
10
19
0.0
29

0.0
34.5
65.5
0.0
100.0

0
20
37
0
57

0.0
35.1
64.9
0.0
100.0

20
2
5
1
28

71.4
7.1
17.9
3.6
100.0

24
0
4
1
29

82.8
0.0
13.8
3.4
100.0

44
2
9
2
57

77.2
3.5
15.8
3.5
100.0

4
24
28

14.3
85.7
100.0

8
21
29

27.6
72.4
100.0

12
45
57

21.1
78.9
100.0

17
4
4
3
28

60.7
14.3
14.3
10.7
100.0

13
5
9
2
29

44.8
17.2
31.0
6.9
100.0

30
9
13
5
57

52.6
15.8
22.8
8.8
100.0

Prioritas Makan
Tidak ada
Suami
Istri
Anak
Total

Dalam sebuah keluarga biasanya ada yang diprioritaskan dalam
pendistribusian makan, bisa suami, istri ataupun anak. Pada Tabel 10, didapatkan

16
hasil bahwa 60.7% suku Bugis dan 44.8% suku Sunda tidak begitu memperhatikan
prioritas dalam pembagian makan dan sebanyak 14.3% suku Bugis
memprioritaskan suami/istri dan 31% suku Sunda memprioritaskan istri dalam
prioritas makan dalam keluarga. Menurut Hurif (1990), sebagian besar suku Bugis
tidak memberi prioritas distribusi makanan dalam keluarga. Menurut Khomsan et
al. (2006) pada penelitiannya di Jawa Barat, mengungkapkan bahwa suami lebih
diprioritaskan daripada anggota rumah tangga lainnya, namun hal ini tidak sejalan
dengan hasil penelitian kali ini.

Frekuensi Konsumsi Pangan
Pangan pokok adalah pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama
sehari-hari. Pangan pokok yang cukup dominan dikonsumsi contoh adalah nasi,
sedangkan frekuensi pangan pokok lainnya seperti mie, singkong, roti, jagung, ubi
jalar, dan kentang tidak sesering nasi. Konsumsi nasi suku Bugis lebih rendah
dibandingkan suku Sunda, namun konsumsi mie instan suku Bugis lebih tinggi
dibandingkan suku Sunda. Berdasarkan Purwantini (2012), konsumsi beras Jawa
Barat tahun 2010 adalah 100%, sedangkan Sulawesi Selatan adalah 98%. Konsumsi
mie instan Sulawesi Selatan adalah 68%, sedangkan Jawa Barat adalah 62.7%.
Menurut Suryana (2003) dalam Sianipar (2013), pola makan orang Indonesia tetap
didominasi oleh beras sebagai bahan makanan pokok yang terlihat dari tingkat
konsumsi di Indonesia yang masih diatas 95%. Kebanyakan orang Indonesia
mengaku belum makan jika belum mengkonsumsi nasi. Hal ini disebut faddisme
yaitu kesukaan berlebihan terhadap suatu jenis makanan tertentu yang
mengakibatkan kurang bervariasinya makanan. Sejak kecil masyarakat telah lebih
dahulu dikenalkan dengan nasi sebagai makanan pokok dibandingkan dengan
jagung, ubi, singkong dan makanan pokok lainnya, sehingga menyebabkan
kebiasaan makan nasi sangat sulit untuk berubah. Kebiasaan yang dipelajari lebih
awal akan lebih tahan lama dalam kehidupan selanjutnya dan lebih resisten untuk
berubah. Selain itu nasi dianggap memiliki fungsi status ekonomi yang tinggi
daripada jagung dan umbi-umbian.
Lauk pauk yang biasa dikonsumsi contoh adalah telur ayam, ikan nila, ikan
asin, tahu dan tempe. Secara umum, biasanya konsumsi ikan suku Bugis adalah dua
kali sehari. Berdasarkan hasil penelitian, suku Bugis memiliki kebiasaan makan
ikan nila yang lebih sering dibandingkan dengan suku Sunda, yaitu sekitar 1–2 kali
sehari. Hal ini dikarenakan suku Bugis memiliki kolam ikan, sehingga ikan nila
mudah diperoleh. Selain itu kesukaan suku Bugis akan ikan menjadi faktor yang
berpengaruh terhadap pemilihan konsumsi pangan sumber protein suku Bugis.
Walaupun contoh suku Bugis memiliki kolam ikan air tawar, tidak lantas dalam
setiap kali makan mengkonsumsi ikan secara terus menerus. Terdapat 14.3% dari
suku Bugis yang mengkonsumsi ikan nila 3 kali sehari, 35.7% mengkonsumsi ikan
nila 2 kali sehari, 25% mengkonsumsi ikan nila 1 kali sehari dan 25% kurang dari
1 kali sehari. Beberapa alasan yang mengemuka adalah tekstur dari ikan air tawar
lebih lunak dan berbau amis, berbeda dengan ikan laut yang teksturnya lebih padat.
Sehingga suku Bugis yang terbiasa mengkonsumsi ikan laut lebih memilih
mengkonsumsi ikan nila dibandingkan ikan mas dikarenakan tekstur ikan nila
sedikit lebih padat dibandingkan ikan mas. Namun untuk konsumsi ikan asin, tahu

17
dan tempe, suku Sunda memiliki frekuensi lebih sering dibandingkan dengan suku
Bugis. Orang Sunda dikenal menyukai ikan asin dan hidangan laut. Berbagai
hidangan ikan laut yang diasinkan seperti ikan asin bulu ayam, teri, cumi-cumi,
jambal, ikan peda asin, dan ikan pari asin lazim ditemukan dalam hidangan Sunda
(UNKRIS 2014).
Tabel 11 menunjukan bahwa suku Sunda yang lebih sering dalam konsumsi
sayuran seperti bayam, wortel, kangkung, dan daun singkong. Makanan Sunda yang
dikenal dengan lalap yang disantap dengan sambal dan juga karedok menunjukkan
kesukaan orang Sunda terhadap jenis sayuran mentah segar (UNKRIS 2014). Ikan
segar sering dikonsumsi suku Bugis, namun konsumsi sayur dan buah masih kurang
dibandingkan dengan suku Sunda (Khomsan 2008). Kebiasaan suku Bugis tersebut
masih melekat walaupun telah menetap di Jawa Barat. Konsumsi sayur-sayuran
masih sangat kurang, padahal di Jawa Barat terkenal dengan tingginya konsumsi
sayur-sayuran. Salah satu faktor penghambat terjadinya perubahan adalah
kurangnya hubungan dengan masyarakat sekitar membuat warga Bugis merasa
puas dengan keadaan saat ini sehingga tidak terdapat kontak dengan budaya makan
masyarakat sekitar khususnya suku Sunda. Menurut He et al. (2004) tingginya
konsumsi buah dan sayur berhubungan signifikan dengan rendahnya risiko obesitas.
Seseorang yang mengkonsumsi buah dan sayur memiliki risiko 25% lebih rendah
menjadi obesitas.
Frekuensi konsumsi buah pisang untuk suku Bugis dan suku Sunda lebih
tinggi dari buah jeruk, mangga, dan pepaya. Hal ini dikarenakan buah pisang tidak
tergantung musim dan relatif selalu tersedia di lokasi. Konsumsi jeruk, mangga dan
pepaya suku Bugis umumnya kurang dari satu kali per minggu, sedangkan
konsumsi buah suku Sunda yang kurang dari satu kali per minggu adalah buah
mangga. Berdasarkan pola diet, umumnya diasumsikan bahwa suku Sunda lebih
banyak mengkonsumsi sayur atau buah segar atau daging tanpa lemak daripada
suku non Sunda (Budiningsih et al 1999). Menurut Tetens dan Alinia (2009), buah
memiliki densitas energi yang rendah dan tinggi kandungan serat serta terbukti
memiliki peran dalam mencegah kegemukan.
Rata-rata frekuensi konsumsi susu, mentega dan santan suku Bugis lebih
tinggi dibandingkan dengan suku Sunda, namun untuk penggunaan minyak, suku
Sunda lebih tinggi dibandingkan dengan suku Bugis. Berdasarkan Purwantini
(2012), konsumsi minyak goreng Jawa Barat tahun 2010 adalah 96.7%, sedangkan
Sulawesi Selatan adalah 92%. Budaya makan suku Sunda yaitu sedikit
mengkonsumsi lemak dan banyak makan sayur-sayuran (Efendi dan Makhfudli
2009). Makanan khas suku Bugis Makassar yang umum dijumpai diantaranya coto
makassar, jalangkote, kue tori, palubutung, pisang ijo, sop saudara dan sop konro
yang identik dengan kandungan lemak dan gula yang tinggi. Hal tersebut sejalan
dengan Burhan et al. (2013) bahwa di Jeneponto Sulawesi Selatan, faktor-faktor
yang terbukti berpengaruh terhadap kejadian obesitas sentral yaitu asupan gula
sukrosa yang tinggi, asupan lemak tinggi dan asupan sayur dan buah yang rendah.
Terdapat beberapa jenis pangan lainnya yang meliputi minuman bersoda,
gorengan, teh dan kopi. Frekuensi minuman bersoda, gorengan dan kopi suku
Sunda lebih tinggi, namun untuk teh suku Bugis lebih tinggi dibandingkan dengan
suku Sunda. Di Jawa Barat minum teh merupakan budaya, karena setiap restoran
dan rumah makan serta warung makan menyajikan minuman teh tanpa gula sebagai
minuman pengganti air putih (Adam 2006). Pada Tabel 11 terlihat bahwa konsumsi

18
teh suku Bugis lebih tinggi dibandingkan konsumsi teh suku Sunda. Terdapat
perbedaan dalam hal penyajian teh antara keduanya. Suku Bugis terbiasa minum
teh dengan menambahkan gula, sedangkan suku Sunda terbiasa minum teh tawar
atau tanpa gula. Hal ini dikarenakan suku Bugis lebih menyukai makanan atau
minuman yan