Deindustrialisasi dan dampak reindustrialisasi terhadap ekonomi makro serta kinerja sektor industri non migas di Indonesia

(1)

DEINDUSTRIALISASI DAN DAMPAK REINDUSTRIALISASI

TERHADAP EKONOMI MAKRO SERTA KINERJA SEKTOR

INDUSTRI NON-MIGAS DI INDONESIA

DISERTASI

HERU KUSTANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan disertasi saya yang berjudul :

DEINDUSTRIALISASI DAN DAMPAK REINDUSTRIALISASI

TERHADAP EKONOMI MAKRO SERTA KINERJA SEKTOR

INDUSTRI NON-MIGAS DI INDONESIA

merupakan gagasan saya atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan para komisi Pembimbing, kecuali yang jelas rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Februari 2012

Heru Kustanto NRP. H.361060051


(3)

ABSTRACT

HERU KUSTANTO. The Deindustrializsation and Impact of Reindustrialisation on Macro Economy and Economic Performance of Non-Oil and Gas Industrial Sectors in Indonesia (RINA OKTAVIANI as Chairman, BONAR M. SINAGA and MUHAMMAD FIRDAUS as Member of the Advisory Committee).

The objectives of the study were to analyze factors affecting deindustrialisation and to analyze impact of reindustrialisation on macro economy and economic performance of non-oil and gas industrial sector in Indonesia. Deindustrialisation in this study measured with declining of a share of output from non-oil and gas industrial sector. The study used regression and estimated using Ordinary Least Squares (OLS) method to analyze factors affecting deindustrialization and Computable General Equilibrium (CGE) to analyze impact of reindustrialisation on macro economy and economic performance of non-oil and gas industrial sectors. The main analysis used comparative static of CGE model (CGE INDUSTRINDO) that built with combine from other CGE models. The results have shown that in the long term from demand side, deindustrialisation were affected negatively by investment share and export share of industrial goods. Deindustrialisation were affected positively by share of imported industrial goods. From the supply side, deindustrialisation were affected positively by real wage, real price of fuel and were affected negatively by the technology used in industrial sectors. Reindustrialisation were done by simulation of increasing investment of non-oil and gas industrial sectors, increasing export of non-oil and gas industrial goods, reducing import of non-oil and gas industrial goods, and increasing a productivity in non-oil and gas industrial sectors. The results have shown that all simulation increased macro economy performance i.e. output or Gross Domestic Product (GDP) and increased share of non-oil and gas industrial sector in total GDP. Reindustrialisation with increasing of investment increased the output of small, medium scale industry more higher than large scale industry. Finally, to increase a growth and a share of industrial sector can be done through increasing investment both local and foreign direct investment; increasing of exports and reducing import value of industrial goods; and increasing the technology and productivity of non-oil and gas industrial sectors.

Keywords :Deindustrialisation, Reindustrialisation, Computable General Equilibrium, Macro Economy, Small, Medium and Large Industry


(4)

(5)

v

RINGKASAN

HERU KUSTANTO. Deindustrialisasi dan Dampak Reindustrialisasi terhadap Ekonomi Makro serta Kinerja Sektor Industri Non-Migas di Indonesia (RINA OKTAVIANI sebagai Ketua, BONAR M. SINAGA and MUHAMMAD FIRDAUS sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Selama 30 tahun sebelum terjadinya krisis keuangan dan ekonomi pada tahun 1997/1998, sektor industri Indonesia mengalami transformasi dan pertumbuhan yang cepat. Secara perlahan kontribusi sektor industri dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) melampaui kontribusi sektor pertanian yang pada awal-awal pembangunan ekonomi mendominasi perekonomian nasional. Namun demikian, sektor industri terus menurun kontribusinya dalam PDB.

Menurunnya kontribusi sektor industri cukup mengkhawatirkan mengingat sektor industri sangat diharapkan peranannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi tingginya tingkat pengangguran. Penurunan kontribusi dan pertumbuhan sektor industri ini mengarah pada suatu gejala deindustrialisasi yaitu proses perubahan sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh penurunan kapasitas atau aktivitas industri dalam suatu wilayah atau negara. Gejala-gejala deindustrialisasi telah nampak pada perekonomian Indonesia, dimana secara umum peranan sektor industri dalam sumbangannya terhadap PDB mengalami penurunan. Deindustrialisasi terjadi jika PDB negara semakin tinggi pada saat pangsa sektor industri menurun dan sebaliknya pangsa sektor jasa cenderung meningkat. Bila deindustrialisasi di Indonesia terus berlanjut, maka sektor industri tidak bisa lagi diharapkan menjadi motor penggerak dan memegang peranan penting bagi perekonomian Indonesia di masa-masa mendatang. Oleh karena itu perlu dilakukan serangkaian upaya antisipasi agar kondisi deindustrialisasi tidak berlanjut dan berdampak buruk pada perekonomian Indonesia. Analisis dampak faktor-faktor penyebab deindustrialisasi menjadi penting untuk dilakukan agar dapat dirumuskan berbagai kebijakan untuk mendorong kembali peranan sektor industri dalam perekonomian nasional melalui serangkaian kebijakan reindustrialisasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor penyebab deindustrialisasi yang dilihat dari perubahan pangsa output sektor industri dalam perekonomian Indonesia; menganalisis dampak reindustrialisasi terhadap kinerja sektor industri secara umum, kinerja industri menurut kelompok (agro, basis manufaktur, dan alat angkut) serta sektor industri menurut skala usahanya yaitu kecil, menengah dan besar; menganalisis dampak reindustrialisasi terhadap ekonomi makro Indonesia; dan merumuskan kebijakan untuk strategi reindustrialisasi.

Model regresi diestimasi dengan Ordinary Least Squares (OLS) untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan perubahan pangsa nilai tambah sektor industri yang merupakan indikator terjadinya deindustrialisasi. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah pangsa nilai tambah sektor industri. Sementara itu, faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap perubahan pangsa nilai tambah sektor industri berasal dari sisi permintaan dan penawaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi dari sisi permintaan adalah pangsa investasi sektor industri, pangsa ekspor produk-produk industri dan pangsa impor produk-produk nonmigas. Sementara itu, dari sisi penawaran adalah tingkat upah riil di sektor industri, harga riil energi listrik dan bahan bakar minyak


(6)

vi

(BBM) dan tingkat teknologi sektor industri. Dalam penelitian ini digunakan dua model regresi untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi pangsa nilai tambah sektor industri sebagai dependent variable baik dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran.

Berdasarkan hasil pengujian terhadap asumsi-asumsi klasik OLS menunjukkan bahwa model regresi linier faktor-faktor penyebab deindustrialisasi baik dari sisi permintaan maupun penawaran masih memenuhi asumsi-asumsi yang dipersyaratkan dalam metode OLS yaitu bahwa model-model regresi linier tersebut tidak terdapat masalah serius mengenai multikolinieritas, disturbance error tidak terjadi autokorelasi, dan disturbance error bersifat

homoscedasticity. Dengan demikian metode OLS dapat digunakan untuk mengestimasi parameter faktor-faktor penyebab deindustrialisasi baik dari sisi permintaan maupun dari sisi penawaran.

Berdasarkan hasil analisis faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya deindustrialisasi, menunjukkan bahwa dari sisi permintaan deindustrialisasi dipengaruhi secara negatif oleh pangsa investasi dan pangsa ekspor produk industri serta dipengaruhi secara positif oleh pangsa impor produk-produk nonmigas. Sementara itu, dari sisi penawaran deindustrialisasi dipengaruhi secara negatif oleh tingkat teknologi yang dimiliki oleh sektor industri dan dipengarui secara positif oleh upah riil tenaga kerja sektor industri dan harga riil bahan bakar minyak.

Model ekonomi keseimbangan umum digunakan untuk menganalisis dampak reindustrialisasi terhadap ekonomi makro Indonesia dan kinerja sektor industri. Data yang digunakan adalah data Tabel Input-Output tahun 2008 yang sudah diperbaharui. Struktur tabel input-ouput yang digunakan sebagai data dasar model sama dengan yang digunakan pada model ORANI-dan model INDOF.

Selain tabel input-output, model juga menggunakan Tabel SAM (Social Accounting Matrix) atau dikenal juga dengan SNSE (Sistem Neraca Sosial Ekonomi) yang menggambarkan distribusi pendapatan untuk semua faktor produksi, pendapatan rumah tangga dan pola dari pengeluaran rumah tangga. SNSE digunakan untuk melengkapi data pada tabel input-output, seperti data mengenai komposisi tenaga kerja (skilled dan unskilled), pangsa modal dan lahan serta pangsa pendapatan di antara golongan rumah tangga. Tabel SAM yang digunakan adalah Tabel SNSE 2005 yang dipublikasi dalam tipe agregasi sektoral yaitu 37 x 37 dan 110 x 110.

Untuk mengkaji dampak reindustrialisasi terhadap ekonomi makro Indonesia dan kinerja sektor industri digunakan model Computable General Equilibrium (CGE) sebagai alat analisis utama. Dalam penelitian ini dilakukan kombinasi dari beberapa model CGE tersebut dan dilakukan pengembangan dengan menambahkan persamaan-persamaan untuk mendisagregasikan variabel-variabel makroekonomi seperti GDP, konsumsi, investasi, ekspor, impor, pengeluaran pemerintah, dan inventory berdasarkan sektor-sektor ekonomi yaitu pertanian, pertambangan (termasuk migas), industri non-migas dan jasa. Dari langkah ini akan tercipta variabel-variabel makro seperti GDP sektor pertanian, GDP sektor pertambangan, GDP sektor industri, dan GDP sektor jasa. Demikian pula untuk variabel makro lain seperti konsumsi rumah tangga untuk produk-produk pertanian, pertambangan, industri dan jasa. Shock pada variabel reindustrialisasi akan menghasilkan perubahan pada variabel-variabel makro yang ujungnya adalah variabel GDP sektoral, sehingga dapat dihitung bagaimana dampak shock variabel tersebut perubahan pangsa output sektoral, khususnya perubahan pangsa output sektor industri non-migas yang digunakan sebagai indikator deindustrialisasi. Kedua, persamaan-persamaan untuk mendisagregasikan sektor-sektor ekonomi berdasarkan skala usahanya, yaitu kecil, menengah dan besar. Pendekatan top down digunakan untuk


(7)

vii

mendisagregasikan ke dalam skala usaha yaitu dengan melihat pangsa output, pangsa ekspor, pangsa investasi, pangsa pengeluaran rumah tangga berdasarkan skala usahanya. Penggunaan pendekatan top down ini relatif lebih mudah karena tidak membutuhkan data yang besar selain dari data pangsa-pangsa berdasarkan skala usaha. Shock pada variabel reindustrialisasi akan menghasilkan perubahan pada variabel-variabel sektoral berdasarkan skala usaha, sehingga dapat dihitung bagaimana dampak shock variabel tersebut terhadap output dan penyerapan tenaga kerja sektoral berdasarkan skala usahanya yaitu kecil, menengah, dan besar. Selanjutnya model ini diberi nama model CGE INDUSTRI INDONESIA (Model CGE-INDUSTRINDO).

Reindustrialisasi melalui peningkatan investasi, peningkatan ekspor, penurunan impor, peningkatan teknologi melalui peningkatan produktivitas sektor industri non-migas dan subsidi harga energi secara umum mengakibatkan peningkatan output di seluruh cabang industri. Pertumbuhan output cabang industri dari industri yang berbasis pertanian (agroindustri) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan cabang-cabang industri lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa agroindustri memegang peranan yang sangat penting dalam struktur industri di Indonesia.

Reindustrialisasi secara umum mengakibatkan dampak yang berbeda dalam penyerapan tenaga kerja pada beberapa cabang industri. Penyerapan tenaga kerja pada cabang industri yang padat karya umumnya relatif tinggi. Di sisi lain, cabang-cabang industri yang padat teknologi umumnya mengalami penurunan dalam penyerapan tenaga kerjanya. Reindustrialisasi mengakibatkan pendapatan rumah tangga secara nominal mengalami peningkatan yang relatif hampir merata untuk semua golongan rumah tangga. Reindustrialisasi secara umum akan memberikan dampak positif untuk seluruh sektor dan skala usaha.

Reindustrialisasi memberikan dampak yang berbeda dalam penyerapan tenaga kerjanya untuk seluruh sektor dan skala usaha. Umumnya cabang-cabang industri yang banyak menyerap tenaga kerja, penggunaan tenaga kerjanya meningkat baik pada industri kecil, menengah maupun besar. Demikian pula sebaliknya, cabang-cabang industri yang merupakan padat modal modal teknologi, penggunaan tenaga kerjanya menurun baik pada industri kecil, menengah maupun besar.

Reindustrialisasi menyebabkan peningkatan PDB riil nasional meningkat. Peningkatan PDB riil dipengaruhi antara lain oleh peningkatan investasi, perubahan stock, neraca perdagangan, dan konsumsi rumah tangga. Reindustrialisasi mampu mendorong pertumbuhan sektor industri lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi nasional karena didorong oleh pertumbuhan pengeluaran investasi riil sektor industri yang lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran investasi riil seluruh sektor. Demikian pula dengan konsumsi rumah tangga untuk komoditas sektor industri yang meningkat lebih besar dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga secara rata-rata. Hal yang sama terjadi pada peningkatan ekspor produk-produk industri yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan ekspor rata-rata komoditas.

Reindustrialisasi mampu mendorong pertumbuhan sektor industri non-migas lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini mengakibatkan pangsa output sektor industri mengalami peningkatan yang menandakan bahwa reindustrialisasi tersebut cukup efektif mendorong pertumbuhan sektor industri dan peningkatan pangsa output sektor industri non-migas.


(8)

ix

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis


(9)

(10)

xi

DEINDUSTRIALISASI DAN DAMPAK REINDUSTRIALISASI

TERHADAP EKONOMI MAKRO SERTA KINERJA SEKTOR

INDUSTRI NON-MIGAS DI INDONESIA

HERU KUSTANTO

Disertasi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(11)

xii Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup :

1. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

2. Dr. Ir. Suharno, M.S

Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. D.S. Priyarsono, M.S

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor

2. Dr. Dedi Mulyadi, M.Si

Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri, Kementerian Perindustrian


(12)

xiii

Judul Disertasi : Deindustrialisasi dan Dampak Reindustrialisasi terhadap Ekonomi Makro serta Kinerja Sektor Industri Non-Migas di Indonesia

Nama : Heru Kustanto

Nomor Pokok : H 361060051

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui : 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, M.S Ketua

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Anggota Anggota

Mengetahui :

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 18 Januari 2012 Tanggal Lulus :


(13)

xv

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat rahmat-Nya Disertasi yang berjudul “Deindustrialisasi dan Dampak Reindustrialiasi terhadap Ekonomi Makro serta Kinerja Sektor Industri Non-Migas di Indonesia” dapat diselesaikan dengan baik. Judul ini dilatarbelakangi oleh terus menurunnya kontribusi sektor industri non-migas dalam perekonomian nasional yang mengarah pada gejala deindustrialisasi dini. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya melalui reindustrialisasi untuk mendorong dan meningkatkan kembali kontribusi sektor industri non-migas melalui analisis dampak yang ditimbulkannya terhadap ekonomi makro dan kinerja sektor industri secara keseluruhan termasuk industri kecil, menengah dan besar di Indonesia.

Pada kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada Komisi Pembimbing :

1. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan mendorong penulis untuk menguasai model ekonomi keseimbangan umum sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan motivasi dan arahan kepada penulis untuk selalu memberikan kontribusi pada pengembangan model ekonomi keseimbangan umum.


(14)

xvi

3. Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.D, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan untuk mempertajam hal-hal baru dalam pengembangan model ekonomi keseimbangan umum.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada penguji luar komisi pada ujian tertutup :

1. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec, Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, yang telah banyak memberikan saran untuk penyempurnaan model ekonomi keseimbangan umum.

2. Dr. Ir. Suharno, MS Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, yang telah banyak memberikan saran untuk menegaskan pentingnya perhatian pada masalah deindustrialisasi.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada penguji luar komisi pada ujian terbuka :

1. Dr. Dedi Mulyadi, M.Si, Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri, Kementerian Perindustrian.

2. Dr. Ir. D.S. Priyarsono, M.S, Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada :

1. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor, atas kesempatan yang diberikan untuk melanjutkan studi program doktor.

2. Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian RI, Ir. Anshari Bukhari, MA, dan Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri Kementerian Perindustrian


(15)

xvii

RI, Ir. Sri Sundari, M.Si yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa tugas belajar Program Doktoral (S3).

3. Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian RI, Dr. Dedi Mulyadi, M.Si, yang telah mempromosikan penulis untuk mendapatkan beasiswa program doktoral dari Kementerian Perindustrian.

4. Sekretaris Direktorat dan para Direktur Pengembangan Fasilitasi Industri di Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian RI, Ir. Budhi Setyanto, MBA, Ir. I.G. Putu Suryawirawan, Ir. Endang Supraptini, dan Ir. Achmad Sigit Dwiwahjono, MPP, yang telah memberikan dukungan moril dalam penyelesaian disertasi ini.

5. Direktur Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), Kementerian Perindustrian, Ibu Ir. Juli Astuti, MA yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menyelesaikan disertasi ini selama penulis bekerja sebagai fungsional dosen. 6. Bapak Drs. Udin Syamsudin, MM, Direktur Akademi Pimpinan Perusahaan

(APP) Kementerian Perindustrian periode (2007-2011) dan Bapak Entjep Mawardi, SE, MBA, Direktur Akademi Pimpinan Perusahaan periode (2003-2007) yang telah memberikan dorongan dan merelakan salah satu dosen terbaiknya untuk mengambil pendidikan tingkat doktoral.

7. Rekan-rekan mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) angkatan 2006 dan 2007, atas kekompakan dan kerjasama kita sehingga memotivasi penulis agar disertasi ini dapat diselesaikan secepatnya.

8. Rekan-rekan kerja dosen di Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) yang selalu memberikan motivasi agar penulis dapat menyelesaikan studi dan memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan industri nasional.


(16)

xviii

9. Rekan-rekan kerja di Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri, Kementerian Perindustrian atas bantuannya dalam melengkapi data yang dibutuhkan sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

10.Keluarga penulis, yaitu istri tersayang Euis Kurnia Komara, S.Si dan kedua puteri tercinta : Novia Febriyanti Heruputeri dan Meylani Agustina Heruputeri atas kesabaran, doa, dorongan semangat, pengorbanan dan kasih sayangnya. 11.Ibunda penulis, Ibu Apit Sutarsih dan kakak Yudi Darmaji yang tiada

henti-hentinya berdoa agar penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil semoga Allah SWT membalas segala amalnya dengan segala rahmat dan rahim-Nya.

Disadari sepenuhnya bahwa disertasi ini memiliki banyak kelemahan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan sektor industri di Indonesia. Amin.

Bogor, Februari 2012


(17)

xix

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 27 September 1970 di Ciamis Jawa Barat, merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Yahya Sukarta (Almarhum) dan Ibu Apit Sutarsih. Penulis menikah dengan Euis Kurnia Komara, S.Si pada tahun 1996 dan dikaruniai dua orang puteri, yaitu Novia Febriyanti Heruputeri (1997) dan Meylani Agustina Heruputeri (2002).

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Sukaasih Cikoneng Ciamis pada tahun 1984, pada tahun 1987 menamatkan pendidikan menengah pertama pada SMP Negeri Cihaurbeuti Ciamis, dan pada tahun 1990 menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 Tasikmalaya. Melalui Undangan Saringan Masuk IPB (USMI) tahun 1990, penulis meneruskan studi di Institut Pertanian Bogor. Gelar Sarjana Teknologi Pertanian Jurusan Teknologi Industri Pertanian diperoleh tahun 1995 dan pada tahun 2000 memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2006 penulis diberikan kesempatan melalui Program Rintisan Gelar Doktoral Kementerian Perindustrian untuk melanjutkan studi Program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 1995-1996 bekerja di PT Nestle Confectionery Indonesia sebagai Production Supervisor. Sejak tahun 1998 penulis bekerja sebagai fungsional dosen pada Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), Pusat Pendidikan dan Pelatihan Industri, Kementerian Perindustrian. Sejak Desember 2011 penulis diangkat menjadi pejabat eselon 3 pada jabatan Kepala Bagian Program, Evaluasi dan Pelaporan, Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri, Kementerian Perindustrian.


(18)

xxi

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... xxv DAFTAR GAMBAR ... xxxiii DAFTAR LAMPIRAN ... xxxvii I. PENDAHULUAN...

1.1. Latar Belakang ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan ... 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ...

1 1 10 21 22 II. TINJAUAN PUSTAKA ...

2.1. Gambaran Perekonomian Indonesia ... 2.2. Strategi Industrialisasi... 2.2.1. Strategi Industrialisasi Substitusi Impor... 2.2.2. Strategi Industrialisasi Promosi Ekspor ... 2.2.3. Strategi Klaster Industri ... 2.2.4. Industrialisasi di Indonesia ... 2.2.5. Reindustrialisasi ... 2.3. Keragaan Industri Non-Migas Nasional ... 2.3.1. Kinerja Industri Secara Makro ... 2.3.2. Struktur Industri ... 2.3.3. Tenaga Kerja Sektor Industri ... 2.3.4. Keragaan Industri Berdasarkan Skala Usaha ... 2.3.4.1. Nilai Tambah ... 2.3.4.2. Unit Usaha, Tenaga Kerja dan Produktivitas ... 2.3.4.3. Ekspor ... 2.3.4.4. Investasi ... 2.4. Studi tentang Deindustrialisasi ... 2.5. Studi tentang Peranan Sektor Industri ...

29 29 35 38 41 44 54 62 65 65 66 69 72 72 90 96 99 104 111


(19)

xxii

Halaman III. KERANGKA TEORITIS ...

3.1. Perubahan Struktur Ekonomi ... 3.2. Teori Pertumbuhan ...

3.2.1. Penawaran Barang dan Fungsi Produksi ... 3.2.2. Permintaan Barang dan Fungsi Konsumsi ... 3.2.3. Pertumbuhan Persediaan Modal dan Kondisi Mapan ... 3.3. Fungsi Produksi ... 3.4. Faktor-Faktor Penyebab Deindustrialisasi ... 3.5. Teori Ekonomi Keseimbangan Umum ... 3.5.1. Keseimbangan Produksi ... 3.5.2. Keseimbangan Konsumen ... 3.5.3. Keseimbangan Sektor Produksi dan Konsumsi ... 3.6. Kerangka Pemikiran Konseptual ...

131 131 140 141 143 144 149 151 167 171 172 174 178 IV. METODOLOGI PENELITIAN ...

4.1. Aplikasi Model Regresi ... 4.2. Aplikasi Model Ekonomi Keseimbangan Umum... 4.2.1. Sumber dan Struktur Data ... 4.2.2. Struktur Model ... 4.2.3. Elastisitas dan Parameter Lainnya ... 4.2.4. Diagram Alir Penyusunan Model CGE INDUSTRINDO

185 185 187 187 188 212 212 V. MEMBANGUN DATA DASAR MODEL KESEIMBANGAN

UMUM ... 5.1. Tabel Input Output Indonesia Tahun 2008 ... 5.1.1. Struktur Input-Output ... 5.1.2. Agregasi dan Disagregasi Sektor ... 5.2. Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 5.3. Klasifikasi Rumah Tangga ... 5.4. Klasifikasi Tenaga Kerja ... 5.5. Pendapatan Atas Lahan dan Modal ... 5.6. Elastisitas dan Parameter Lain ... 5.6.1. Elastisitas Armington ... 5.6.2. Elastisitas Permintaan Ekspor ...

217 218 218 219 223 228 229 231 231 231 233


(20)

xxiii

5.6.3. Elastisitas Substitusi Faktor Primer ... 5.6.4. Elastisitas Tenaga Kerja ... 5.6.5. Elastisitas Pengeluaran ... 5.6.6. Parameter Lainnya ... 5.7. Prosedur Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum .

235 236 236 237 242 5.7.1. Membangun Data Dasar ...

5.7.2. Membuat File HAR... 5.7.3. Membuat File Tablo ... 5.7.4. Agregasi Data Dasar ... 5.7.5. Pengujian Keseimbangan Data Dasar ...

243 246 248 248 248 VI. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB DEINDUSTRIALISASI ...

6.1. Pengujian Asumsi-Asumsi Klasik ... 6.1.1. Uji Multikolinieritas ... 6.1.2. Uji Autokorelasi ... 6.1.3. Uji Heterokedastisitas ... 6.2. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri ... 6.3. Faktor-Faktor Penyebab Deindustrialisasi dari Sisi Permintaan ... 6.4. Faktor-Faktor Penyebab Deindustrialisasi dari Sisi Penawaran .... 6.5. Upaya Keluar dari Deindustrialisasi Melalui Reindustrialisasi ...

257 257 258 262 263 265 269 278 283 VII. DAMPAK REINDUSTRIALISASI TERHADAP KINERJA

EKONOMI MAKRO DAN SEKTOR INDUSTRI NON-MIGAS ... 7.1. Dampak Peningkatan Investasi di Sektor Industri Non-Migas ... 7.1.1. Dampak terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral ... 7.1.2. Dampak terhadap Kinerja Sektor Industri Kecil, Menengah dan Besar ... 7.1.3. Dampak terhadap Ekonomi Makro ... 7.2. Dampak Peningkatan Ekspor Produk Industri Non-Migas... 7.2.1. Dampak terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral ... 7.2.2. Dampak terhadap Kinerja Sektor Industri Kecil, Menengah dan Besar ... 7.2.3. Dampak terhadap Ekonomi Makro ... 7.3. Dampak Penurunan Impor Produk Industri Non-Migas ... 7.3.1. Dampak terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral ...

289 291 291 296 298 301 302 306 308 311 314 Halaman


(21)

xxiv

7.3.2. Dampak terhadap Kinerja Sektor Industri Kecil, Menengah dan Besar ... 7.3.3. Dampak terhadap Ekonomi Makro ... 7.4. Dampak Peningkatan Produktivitas di Sektor Industri Non-Migas 7.4.1. Dampak terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral ... 7.4.2. Dampak terhadap Kinerja Sektor Industri Kecil, Menengah dan Besar ... 7.4.3. Dampak terhadap Ekonomi Makro ... 7.5. Dampak Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak ... 7.5.1. Dampak terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral ... 7.5.2. Dampak terhadap Kinerja Sektor Industri Kecil, Menengah dan Besar ... 7.5.3. Dampak terhadap Ekonomi Makro ... 7.6. Dampak Pengembangan Kelompok Industri Prioritas ... 7.6.1. Dampak terhadap Kinerja Ekonomi Sektoral ... 7.6.2. Dampak terhadap Kinerja Sektor Industri Kecil, Menengah dan Besar ... 7.6.3. Dampak terhadap Ekonomi Makro ... 7.7. Rekapitulasi Dampak Reindustrialisasi ... 7.7.1. Dampak terhadap Output Sektoral ... 7.7.2. Dampak terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral ... 7.7.3. Dampak terhadap Pendapatan Rumah Tangga ... 7.7.4. Dampak terhadap Output Industri Kecil, Menengah dan Besar ... 7.7.5. Dampak terhadap Ekonomi Makro ...

317 319 322 323 326 328 330 330 334 335 338 339 346 350 352 352 354 356 358 359 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ...

8.1. Kesimpulan... 8.2. Implikasi Kebijakan ... 8.3. Saran Penelitian Lanjutan ...

363 363 365 367 DAFTAR PUSTAKA ... 369 LAMPIRAN ... 377 Halaman


(22)

xxv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Pertumbuhan Cabang Industri Non-Migas Tahun 2006 – 2010 ... 15

2. Perubahan Struktur Industri Non-Migas Tahun 1993 -2010 ... 16

3. Struktur Industri Indonesia Menurut Skala Usaha Tahun 2008... 17

4. Perkembangan Nilai Ekspor Non-Migas Menurut Sektor Tahun 2006 –

2010... 18

5. Perkembangan Pangsa Ekspor Menurut Sektor Tahun 2006 – 2010 ... 18 6. Perbandingan Pangsa Produk Domestik Bruto dan Pangsa Tenaga

Kerja Menurut Sektor Usaha Tahun 2010 ... 19 7. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ... 30 8. Faktor Pendorong Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ... 31 9. Pangsa Sektoral dalam Perekonomian Indonesia ... 32 10. Perbedaan Strategi Outward dan Inward Looking ... 36

11. Pertumbuhan dan Kontribusi serta Kinerja Industri Non-Migas

terhadap Perekonomian Nasional Tahun 2009 ... 66

12. Struktur Industri Non-Migas ... 68

13. Persebaran Industri di Pulau Jawa ... 68 14. Persebaran Industri di Indonesia ... 69 15. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Menurut Skala Usaha ... 70

16. Jumlah dan Pangsa Tenaga Menurut Klasifikasi Sektor Usaha... 71

17. Pangsa Produk Domestik Bruto Menurut Sektor dan Skala Usaha

Berdasarkan Harga Berlaku ... 75

18. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Menurut Skala Usaha

Berdasarkan Harga Berlaku ... 75


(23)

xxvi

Halaman

19. Pangsa Produk Domestik Bruto Sektor Industri Tahun 1998 ... 77

20. Pangsa Produk Domestik Bruto Sektor Industri Tahun 2006 ... 77

21. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Sektor Industri Menurut Skala

Usaha Tahun 2000 ... 78

22. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Cabang Industri Menurut Skala

Usaha Tahun 2006 ... 79

23. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Sektor Industri Menurut Skala

Usaha Tahun 2006 ... 80

24. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Sektor Industri Menurut

Skala Usaha Tahun 1997-2006 ... 80

25. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Makanan,

Minuman dan Tembakau Menurut Skala Usaha Tahun 1997-2006 ... 81

26. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Tekstil,

Barang Kulit dan Alas Kaki Menurut Skala Usaha Tahun 1997-2006 .... 82

27. Jumlah Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya Menurut Skala Usaha Tahun 1997-2006... 83

28. Jumlah Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Kertas dan

Barang Cetakan Menurut Skala Usaha Tahun 1997-2006... 84

29. Jumlah Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Pupuk, Kimia

dan Barang dari Karet Menurut Skala Usaha Tahun 1997-2006... 85

30. Jumlah Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Semen

Menurut Skala Usaha Tahun 1997-2006... 86

31. Jumlah dan Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Logam

Dasar Besi dan Baja Menurut Skala Usaha Tahun 1997-2006 ... 87

32. Jumlah Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Alat Angkutan, Mesin dan Peralatannya Menurut Skala Usaha Tahun

1997-2006 ... 88

33. Jumlah Pangsa Produk Domestik Bruto Cabang Industri Lain-Lain Menurut Skala Usaha Tahun 1997-2006... 89


(24)

xxvii

Halaman

34. Jumlah Unit Usaha Menurut Sektor dan Skala Usaha ... 90

35. Pangsa Jumlah Unit Usaha Menurut Skala Usaha ... 91

36. Pangsa Unit Usaha Sektor Industri Menurut Skala Usaha ... 93

37. Pangsa Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektor dan Skala Usaha ... 94

38. Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektor dan Skala Usaha ... 95

39. Jumlah dan Pangsa Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri Menurut

Sektor Usaha ... 96

40. Pangsa Ekspor Menurut Sektor Usaha Tahun 1998 dan 2006 ... 97

41. Pangsa Ekspor Menurut Sektor dan Skala Usaha Tahun 1998 dan 2006 97

42. Jumlah dan Pangsa Ekspor Sektor Industri Menurut Skala Usaha ... 98

43. Jumlah Pangsa Investasi Menurut Skala Usaha... 100

44. Pangsa Investasi Menurut Sektor Usaha ... 102

45. Pangsa Investasi Menurut Sektor dan Skala Usaha Tahun 2006 ... 103

46. Agregasi Sektor Ekonomi yang Diteliti (27 Sektor) Berdasarkan Tabel

I-O Tahun 2008 Klasifikasi 66 Sektor ... 221

47. Struktur Umum Sistem Neraca Sosial Ekonomi ... 225

48. Pengelompokkan Sektor Ekonomi yang Diteliti dan Tabel Input-Output

dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Tahun 2005... 227

49. Pembayaran Upah Tiap Sektor Berdasarkan Jenis Pekerjaan, Tahun

2008 ... 230

50. Pendapatan Lahan dan Modal Tahun 2008 ... 232

51. Nilai Elastisitas Armington, Permintaan Ekspor, Substitusi Input

Primer, dan Substitusi Tenaga Kerja pada Masing-Masing Komoditi.... 234

52. Elastisitas Pengeluaran Berdasarkan Kelompok Rumah Tangga ... 238

53. Nilai PDB Indonesia dari Sisi Pengeluaran dan Sisi Pendapatan, Tahun 2008 ... 251


(25)

xxviii

Halaman 54. Nilai Penjualan Setiap Sektor Diirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2008 .. 252

55. Biaya Produksi Setiap Sektor Dirinci Menurut Jenisnya, Tahun 2008.... 253

56. Komponen Database 27 Sektor ... 254

57. Korelasi Antar Variabel Penjelas Faktor-Faktor Penyebab

Deindus-trialisasi dari Sisi Permintaan ... 260

58. Korelasi Antar Variabel Penjelas Faktor-Faktor Penyebab

Deindus-trialisasi dari Sisi Penawaran ... 261

59. Hasil Uji Heterokedastisitas Mengggunakan Metode Park untuk Model Regresi Linier Faktor Penyebab Deindustrialiasi dari Sisi Permintaan ... 264

60. Hasil Uji Heterokedastisitas Mengggunakan Metode Park untuk Model Regresi Linier Faktor Penyebab Deindustrialiasi dari Sisi Penawaran ... 265

61. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dari Tahun 1994 sampai dengan Tahun 2010... 266

62. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Perilaku Deindustrialisasi dari

Sisi Permintaan... 270

63. Perkembangan Pangsa Kredit yang Disalurkan Perbankan pada Berbagai Sektor Ekoomi Tahun 1993 – 2006... 272

64. Perkembangan Jumlah Kredit yang Disalurkan Perbankan pada Berbagai Sektor Ekoomi Tahun 1997 – 2006 ... 273

65. Hasil Estimasi Parameter Persamaan Perilaku Deindustrialisasi dari Sisi Penawaran ... 278

66. Trend Beberapa Variabel yang Digunakan dalam Penelitian ... 284

67. Nilai PDB dan Trendnya Menurut Penggunaan Tahun 2003-2010... 285 68. Dampak Simulasi Peningkatan Investasi terhadap Output dan

Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral ... 292

69. Dampak Simulasi Peningkatan Investasi terhadap Distribusi Pendapatan Riil Rumah Tangga... 295

70. Dampak Simulasi Peningkatan Investasi terhadap Total Output Menurut Sektor dan Skala Usaha ... 297


(26)

xxix

Halaman 71. Dampak Simulasi Peningkatan Investasi terhadap Indikator

Makroekonomi Nasional ... 299

72. Perkembangan Pembentukan Modal Tetap Bruto dan Pangsanya dalam Produk Domestik Bruto Tahun 2003-2010 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000... 300

73. Dampak Simulasi Peningkatan Ekspor Produk Industri Non-Migas terhadap Output dan Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral ... 304

74. Dampak Simulasi Peningkatan Ekspor Produk Industri Non-Migas terhadap Distribusi Pendapatan Riil Rumah Tangga... 305

75. Dampak Simulasi Peningkatan Ekspor Produk Industri Non-Migas terhadap Total Output Menurut Sektor dan Skala Usaha ... 307

76. Dampak Simulasi Peningkatan Ekspor Produk Industri Non-Migas terhadap Indikator Makroekonomi Nasional ... 309

77. Perkembangan Ekspor dan Pangsanya dalam Produk Domestik Bruto Tahun 2003-2010 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000... 311

78. Perkembangan Impor Menurut Penggunaan Tahun 2006-2010... 313 79. Dampak Simulasi Penurunan Impor Produk Industri Non-Migas

terhadap Output dan Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral ... 315

80. Dampak Simulasi Penurunan Impor Produk Industri Non-Migas terhadap Distribusi Pendapatan Riil Rumah Tangga ... 317

81. Dampak Simulasi Penurunan Impor Produk Industri Non-Migas terhadap Total Output Menurut Sektor dan Skala Usaha ... 318

82. Dampak Simulasi Penurunan Impor Produk Industri Non-Migas terhadap Indikator Makroekonomi Nasional ... 320

83. Perkembangan Impor dan Pangsanya dalam Produk Domestik Bruto Tahun 2003-2010 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000... 321

84. Dampak Simulasi Peningkatan Produktivitas terhadap Output dan Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral ... 324 85. Dampak Simulasi Peningkatan Produktivitas terhadap Distribusi

Pendapatan Riil Rumah Tangga... 325

86. Dampak Simulasi Peningkatan Produktivitas terhadap Total Output Menurut Sektor dan Skala Usaha ... 327


(27)

xxx

Halaman 87. Dampak Simulasi Peningkatan Produktivitas terhadap Indikator

Makroekonomi Nasional ... 329

88. Dampak Simulasi Subsidi Harga BBM terhadap Output dan Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral ... 331

89. Dampak Simulasi Subsidi Harga BBM terhadap Distribusi Pendapatan Riil Rumah Tangga... 333

90. Dampak Simulasi Subsidi Harga BBM terhadap Total Output Menurut Sektor dan Skala Usaha ... 335

91. Dampak Simulasi Subsidi Harga BBM terhadap Indikator Makroekonomi Nasional ... 336

92. Dampak Simulasi Pengembangan Kelompok Industri Prioritas terhadap Output Sektoral ... 340

93. Dampak Simulasi Pengembangan Kelompok Industri Prioritas terhadap Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral ... 342

94. Dampak Simulasi Pengembangan Kelompok Industri Prioritas terhadap Distribusi Pendapatan Riil Rumah Tangga... 345

95. Dampak Simulasi Pengembangan Kelompok Industri Agro terhadap Total Output Menurut Sektor dan Skala Usaha ... 346

96. Dampak Simulasi Pengembangan Kelompok Industri Basis Manufaktur terhadap Total Output Menurut Sektor dan Skala Usaha ... 347

97. Dampak Simulasi Pengembangan Kelompok Industri Alat Angkut terhadap Total Output Menurut Sektor dan Skala Usaha ... 349 98. Dampak Simulasi Pengembangan Kelompok Industri Prioritas terhadap

Indikator Makroekonomi... 351 99. Rekapitulasi Dampak Reindustrialisasi terhadap Output Sektoral ... 353 100. Rekapitulasi Dampak Reindustrialisasi terhadap Penyerapan Tenaga

Kerja Sektoral... 355 101. Rekapitulasi Dampak Reindustrialisasi terhadap Pendapatan Riil


(28)

xxxi

Halaman 102. Rekapitulasi Dampak Reindustrialisasi terhadap Output Sektor Industri

Kecil, Menengah dan Besar ... 358 103. Rekapitulasi Dampak Reindustrialisasi terhadap Kinerja Ekonomi

Makro ... 360


(29)

(30)

xxxiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kontribusi Sektor Industri Pengolahan dalam Pembentukan Produk Domestik Bruto...

11

2. Pertumbuhan Sektor Industri Periode Tahun 1993-2010 ... 12 3. Nilai Tambah Sektor Industri Periode Tahun 1993-2010 Atas Dasar

Harga Konstan Tahun 2000 ... 12 4. Kontribusi Sektor Primer, Sektor Sekunder dan Sektor Tersier

dalam Perekonomian Indonesia Periode Tahun 1993-2010 ... 13 5. Kontribusi Sektor Tradeable dan Sektor Nontradeable dalam

Perekonomian Indonesia Periode Tahun 1993-2010 ... 14 6. Penggunaan Model Diamond Sebagai Sumber Keunggulan Bersaing 50 7. Peningkatan Nilai Tambah Sepanjang Rantai Nilai ... 55 8. Perkembangan Pangsa Tenaga Kerja dan Output Sektor Industri ... 73 9. Perkembangan Jumlah Unit Usaha Industri Kecil Menengah dan

Industri Besar ... 92 10. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Sektor ... 95 11. Perkembangan Ekspor Sektor Industri Menurut Skala Usaha ... 99 12. Perkembangan Investasi Tahun 1999 – 2006 Menurut Harga

Konstan ... 101 13. Perkembangan Investasi Industri Kecil Menengah dan Industri

Besar Tahun 1999 – 2006 Menurut Harga Konstan ... 103 14. Fungsi Produksi dalam Model Solow ... 143 15. Hubungan antara Output, Konsumsi dan Investasi pada Model

Solow ... 145

16. Hubungan antara Depresiasi dan Output pada Model Solow... 146 17. Hubungan antara Investasi, Depresiasi dan Kondisi Mapan pada

Model Solow... 147


(31)

xxxiv

Halaman 18. Peningkatan Output Akibat Kenaikan Tingkat Tabungan pada

Model Solow ... 149 19. Perubahan Struktur Tenaga Kerja ... 166 20. Pangsa Output Riil Industri Berdasarkan Harga Konstan ... 167 21. Diagram Kotak Edgeworth pada Kasus Dua Komoditi dan Dua

Faktor Produksi ... 173 22. Kurva Kemungkinan Produksi ... 174 23. Keseimbangan Sektor Produksi dan Konsumsi ... 175 24. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian... 183 25. Data Input-Output pada Model Keseimbangan Umum ... 189 26. Struktur Produksi Model Computable General Equilibrium

-INDUSTRINDO ... 195 27. Struktur Pembentukan Investasi dan Barang Modal ... 198 28. Spesifikasi Konsumsi Rumah Tangga ... 199 29. Diagram Alur Penyusunan Model CGE INDUSTRINDO... 214 30. Perhitungan Nilai Stok Kapita ... 240 31. Tahap I dalam Membangun Data Dasar Model Keseimbangan

Umum Indonesia ... 247

32. Tahap II dan III dalam Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum (CGE) ... 249

33. Tahap IV dalam Membangun Data Dasar Model Keseimbangan Umum ... 250 34. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Subsektor Industri Minyak

dan Gas Bumi (Migas) Tahun 1993-2010 ... 267 35. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Subsektor Industri Non-Migas

Tahun 1993 – 2010... 268 36. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri Tahun 1993 –


(32)

xxxv

Halaman

37. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Pangsa

Kredit untuk Sektor Industri Tahun 1993 – 2009... 271 38. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Jumlah

Kredit untuk Sektor Industri Tahun 1993 – 2009... 273 39. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Pangsa

Ekspor Produk Industri Tahun 1993 – 2009... 274 40. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Nilai

Ekspor Non-Migas Tahun 1993 – 2009... 275 41. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Pangsa

Impor Produk Non-Migas Tahun 1993 – 2009... 276 42. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Nilai

Impor Produk Non-Migas Tahun 1993 – 2009 ... 277 43. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Nilai Upah

Riil Sektor Industri Tahun 1993 – 2009... 279 44. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Harga

Listrik Tahun 1993 – 2009 ... 280 45. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Harga

Bahan Bakar Minyak Tahun 1993 – 2009 ... 282 46. Perkembangan Pangsa Nilai Tambah Sektor Industri dan Nilai

Ekspor Produk Teknologi Tinggi Tahun 1993 – 2009... 283 47. Hubungan Ekonomi Makro dalam Model CGE ... 290 48. Perkembangan Pangsa Pembentukan Modal Tetap Bruto dalam

Pembentukan PDB Tahun 2003-2010 Menurut Harga Konstan

Tahun 2000 ... 301 49. Perkembangan Pangsa Ekspor dalam Pembentukan PDB Tahun

2003-2010 Menurut Harga Konstan Tahun 2000 ... 312 50. Perkembangan Pangsa Impor dalam Pembentukan PDB Tahun

2003-2010 Menurut Harga Konstan Tahun 2000 ... 322


(33)

xxxvi


(34)

xxxvii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Data Penelitian untuk Model Ekonometrika ... 379 2. Persamaan Model Ekonometrika ... 381 3. Keluaran Model Regresi dari Sisi Permintaan ... 385 4. Keluaran Model Regresi dari Sisi Penawaran ... 389 5. Input File Tablo dan Model CGE INDUSTRINDO ... 395 6. Closure dalam Model CGE INDUSTRINDO ... 443


(35)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tidak dapat dipungkiri bahwa industrialisasi di Indonesia sejak Pelita I hingga saat ini telah mencapai hasil yang diharapkan dengan telah terjadinya transformasi struktural di Indonesia. Pola pertumbuhan secara sektoral di Indonesia sejalan dengan kecenderungan proses transformasi struktural yang terjadi di berbagai negara yaitu terjadi penurunan kontribusi sektor pertanian yang sering disebut sektor primer, sementara itu di sisi lain kontribusi sektor sekunder dan tersier cenderung meningkat.

Selama 30 tahun sebelum terjadinya krisis keuangan dan ekonomi pada tahun 1997/1998, sektor industri Indonesia mengalami transformasi dan pertumbuhan yang cepat. Tidak seperti negara-negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an tidak banyak melakukan pembangunan sektor industri moderen. Namun demikian, pada pertengahan tahun 1990-an Indonesia dikelompokkan sebagai salah satu negara di Asia Timur sebagai Negara Industri Baru (Newly Industrializing Economies) oleh Bank Dunia bersama dengan Malaysia dan Thailand. Sejak tahun 1980-an ketiga negara Asia Tenggara tersebut mengalami suatu lompatan dalam ekspor produk-produk industri, walaupun dalam skala yang lebih kecil seperti yang telah dicapai oleh empat macan Asia seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong dan Singapura (Bank Dunia, 1993 dalam Thee Kian Wie, 2000).

Secara perlahan kontribusi sektor industri dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) melampaui kontribusi sektor pertanian yang pada


(36)

awal-2

awal pembangunan ekonomi mendominasi perekonomian nasional. Pada tahun 1971, sektor pertanian masih memegang peranan yang dominan dalam struktur perekonomian nasional dengan kontribusinya terhadap PDB mencapai 44.83 persen. Sementara itu, pada tahun yang sama sektor industri baru memberikan kontribusi sekitar 8.36 persen. Pada tahun 2004 kontribusi sektor industri pada PDB mencapai puncaknya menjadi 28.37 persen, sementara sektor pertanian turun menjadi hanya 14.9 persen. Namun demikian, sektor industri terus menurun kontribusinya dalam PDB yang pada tahun 2010 mencapai 25.76 persen (Badan Pusat Statistik, 2011). Sementara itu, penelitian Hayashi (2005) menunjukkan bahwa dari periode 1995-2000, sektor industri manufaktur Indonesia mengalami peningkatan dalam pangsa produksi, penguatan orientasi ekspor, dan menurunnya ketergantungan impor.

Laporan Bank Dunia (1993) menyimpulkan beberapa permasalahan struktural pada industri Indonesia. Pertama, tingginya tingkat konsentrasi dalam perekonomian dan banyaknya monopoli, baik yang terselubung maupun terang-terangan pada pasar yang diproteksi. Kedua, dominasi kelompok bisnis pemburu rente (rent seeking) ternyata belum memanfaatkan keunggulan mereka dalam skala produksi dan kekuatan finansial untuk bersaing di pasar global. Ketiga, lemahnya hubungan intra industri, sebagaimana ditunjukkan oleh minimnya perusahaan yang bersifat spesialis yang mampu menghubungkan klien bisnisnya yang berjumlah besar secara efisien. Keempat, struktur industri Indonesia terbukti masih dangkal, dengan minimnya sektor industri menengah. Kelima, masih kakunya BUMN sebagai pemasok input maupun sebagai pendorong kemajuan teknologi. Keenam, investor asing masih cenderung pada orientasi pasar domestik (inward oriented), dan sasaran usahanya sebagian besar masih pada pasar yang diproteksi.


(37)

3

Puncak dari keberhasilan sektor industri terjadi sampai dengan tahun 1997, yaitu awal dimulainya krisis ekonomi yang dipicu dari krisis ekonomi yang terjadi di Thailand dan Malaysia (Iriana dan Sjoholm, 2002). Pada saat itu pertumbuhan sektor industri mencapai 12 persen per tahun melebihi pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 7-8 persen. Namun semenjak krisis ekonomi, kinerja sektor industri masih belum bisa kembali seperti kondisi sebelum krisis. Sebagai ilustrasi dalam periode tahun 2005 dan 2006, pertumbuhan sektor industri (termasuk migas) masih di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan industri pada tahun 2005 dan 2006 berturut-turut adalah 4.57 persen dan 4.63 persen, di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5.68 persen dan 5.48 persen. Sementara itu, pertumbuhan sektor industri pada tahun 2010 baru mencapai 5.09 persen di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6.1 persen (Kementerian Perindustrian, 2011).

Menurunnya pertumbuhan sektor industri cukup mengkhawatirkan mengingat sektor industri sangat diharapkan peranannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi tingginya tingkat pengangguran. Penurunan pertumbuhan sektor industri ini mengarah pada suatu gejala deindustrialisasi yaitu proses perubahan sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh penurunan kapasitas atau aktivitas industri dalam suatu wilayah atau negara.

Deindustrialisasi memiliki hubungan yang sangat erat dengan industrialisasi karena deindustrialisasi merupakan antitesis dari industrialisasi. Deindustrialisasi merupakan proses lebih lanjut dari industrialisasi. Namun pada tingkat perkembangan tertentu, deindustrialisasi seringkali dianggap mengkhawatirkan.


(38)

4

Sebuah negara yang mulai meningkat perekonomiannya melalui industrialisasi akan memasuki fase pematangan industri (industrial maturity). Fase ini berkenaan dengan evolusi perekonomian nasional suatu negara yang menyandarkan diri pada sektor industri (Anwari, 2008).

Sejalan dengan perjalanan waktu dari satu titik perkembangan menuju titik perkembangan yang lain, sektor industri makin meningkat kontribusinya terhadap PDB. Jika hal ini terjadi, maka suatu negara diidentifikasi sedang berada dalam taraf industrialisasi. Sebagai konsekuensinya, tidak ada industrialisasi ketika sektor industri tidak lagi memiliki kontribusi secara signifikan terhadap PDB. Sebaliknya, jika ternyata kontribusi sektor industri terhadap PDB mengalami penurunan secara relatif dibandingkan sektor perekonomian yang lain, maka industrialisasi memasuki fase titik balik. Ini berarti, perekonomian sebuah negara sedang memasuki fase deindustrialisasi.

Deindustrialisasi merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindarkan ketika sektor industri sudah tidak lagi mampu berperan sebagai basis terciptanya kemakmuran suatu bangsa. Pengangguran muncul sebagai dampak dari deindustrialisasi, yaitu akibat semakin lumpuhnya sektor industri dalam peranannya sebagai penyedia lapangan kerja. Namun demikian, lahirnya terobosan-terobosan cerdas memungkinkan terjadinya reindustrialisasi. Ini semua terkait dengan sejarah industrialisasi dimana industrialisasi bermula dari berlangsungnya transformasi untuk membawa masuk sektor primer ke dalam proses lebih lanjut dalam kerangka industri. Di sisi lain, deindustrialisasi menjadi pertanda adanya perkembangan lebih lanjut perekonomian ke arah pasca-industri. Inilah yang kemudian dikenal sebagai kemunculan industri tersier, sebagaimana tercermin pada munculnya industri padat teknologi tinggi karena menguatnya ekonomi berbasis


(39)

5

pengetahuan (knowledge economy) sebagai penentu kecenderungan (Anwari, 2008).

Dari pemaparan di atas, maka deindustrialisasi mempunyai dua dimensi, bisa berarti positif namun bisa pula berarti negatif. Dalam pengertian positif, deindustrialisasi merupakan pertanda bahwa industrialisasi merupakan fase yang berdiri di antara dua fase pertama dan ketiga dari perkembangan ekonomi. Fase pertama adalah perkembangan ekonomi yang dilandaskan pada sektor primer, sedangkan fase ketiga adalah sektor tersier. Industrialisasi dengan demikian dapat dimaknai sebagai fase kedua dalam perkembangan ekonomi masyarakat dalam fungsinya sebagai sektor sekunder. Dalam evolusi perekonomian seperti itu, deindustrialisasi merupakan suatu keniscayaan. Deindustrialisasi semacam inilah yang pernah berlangsung di Inggris, Perancis dan Amerika Serikat. Tiga negara anggota OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) itu kini memang telah dikenal sebagai garda depan perkembangan ekonomi tersier di dunia, setelah sebelumnya berhadapan dengan realitas deindustrialisasi. Ini berarti, deindustrialisasi benar-benar bermakna positif karena berbanding lurus dengan kehadiran masyarakat pascaindustri. Deindustrialisasi semacam ini yang mengawali hadirnya perekonomian yang bercorak teknologi tinggi seperti munculnya Côte d’ Azur di Perancis, Silicon Valley di California (Amerika Serikat) serta timbulnya Silicon Glen di Inggris (Anwari, 2008).

Deindustrialisasi dalam maknanya yang negatif muncul secara mencolok dalam perekonomian suatu negara yang PDB-nya masih terlampau besar ditentukan oleh peran sektor industri. Perekonomian sebuah negara seperti Indonesia, masih memiliki ketergantungan yang kuat terhadap peran sektor industri


(40)

6

dalam pembentukan PDB. Perkembangan akhir-akhir ini memperlihatkan merosotnya kontribusi sektor industri terhadap PDB. Dengan demikian berarti industrialisasi berhenti sebelum mencapai tingkat kematangan dalam kontribusinya pada pembentukan PDB. Hal ini terjadi karena munculnya beragam distorsi yang menghadang kelanjutan peran sekktor industri. Jauh sebelum memiliki kemampuan sebagai kontributor utama dalam terciptanya kemakmuran, sektor industri justru mengalami penurunan kontribusi. Dengan konteks seperti ini, deindustrialisasi memiliki makna negatif, berbeda dibandingkan dengan apa yang terjadi di Perancis, Amerika Serikat maupun Inggris (Anwari, 2008).

Sementara itu, data menunjukkan bahwa beberapa sektor industri di dalam negeri mengalami kemerosotan pertumbuhan selama tahun 2010. Secara empiris, pertumbuhan beberapa cabang industri selama 2010 dapat dijelaskan seperti berikut: tekstil, barang dari kulit, dan alat kaki tumbuh relatif kecil 2.73 persen; barang kayu dan hasil hutan lainnya minus 3.50 persen; semen dan barang galian bukan logam tumbuh relatif kecil 2.16 persen; logam dasar besi dan baja tumbuh relatif kecil 2.56 persen; kertas dan barang cetakan tumbuh relatif kecil 1.64 persen (Kementerian Perindustrian, 2011). Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa gejala-gejala deindustrialisasi di Indonesia benar-benar berada dalam wujud yang semakin nyata.

Bila faktor-faktor penyebab deindustrialisasi ini tidak diantisipasi, dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia secara makro seperti perkembangan output, input, harga, penyerapan tenaga kerja, PDB riil, konsumsi rumah tangga, investasi, inflasi, kesempatan kerja, ekspor, impor, dan neraca perdagangan serta kinerja sektor industri itu sendiri dilihat dari sisi skala usahanya yaitu Industri Kecil Menengah (IKM) dan Industri Besar (IB).


(41)

7

Perhatian dampak faktor-faktor penyebab deindustrialisasi pada sektor IKM dan IB menarik untuk dikaji mengingat beberapa fakta empiris menunjukkan bahwa IKM dan IB mempunyai respon yang berbeda dalam menghadapi berbagai guncangan yang menerpa perekonomian Indonesia. Terbukti pada saat terjadinya krisis ekonomi 1997-1998, usaha kecil menengah (termasuk IKM) mampu menjadi penyelamat perekonomian Indonesia di saat usaha besar (termasuk IB) mengalami kebangkrutan. Hasil studi Djaimi (2006) dengan menggunakan pendekatan Social Accounting Matrix memperlihatkan bahwa peranan IKM lebih besar daripada industri skala besar dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan di Indonesia. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Okuda (1997) yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan bermodal kecil mampu beroperasi secara fleksibel dan efisien sehingga mampu meningkatkan produksinya sekaligus memperbaiki produktivitasnya.

Di samping itu, dalam konteks pembangunan industri di Indonesia jelas terlihat adanya dualisme dan lemahnya keterkaitan industri kecil menengah dengan industri besar. Dualisme ini muncul karena orientasi industrialisasi berbasis pada modal besar dan teknologi tinggi namun kurang berdasar atas kekuatan ekonomi rakyat. Pengalaman Taiwan, sebagai perbandingan, justru menunjukkan ekonominya dapat tumbuh pesat karena ditopang oleh sejumlah usaha kecil dan menengah yang disebut community based industry. Perkembangan industri moderen di Taiwan, yang sukses menembus pasar global, ternyata ditopang oleh kontribusi usaha kecil dan menengah yang dinamis. Keterkaitan yang erat antara usaha besar dan usaha kecil lewat program subcontracting terbukti mampu menciptakan sinergi yang menopang perekonomian Taiwan (Kuncoro, 1997).


(42)

8

Pelajaran ini sangat berharga dalam membangun industri khususnya peningkatan peran IKM dalam perekonomian Indonesia.

Strategi industrialisasi yang banyak mengandalkan akumulasi modal, proteksi, dan teknologi tinggi telah menimbulkan polarisasi dan dualisme dalam proses pembangunan di Indonesia. Fakta menunjukkan sektor industri yang moderen hidup berdampingan dengan sektor pertanian yang tradisional dan kurang produktif. Dualisme dalam sektor industri juga terjadi antara industri kecil dan kerajinan rumah tangga yang berdampingan dengan industri menengah dan besar.

Sementara itu, di sisi lain industri kecil dan menengah memiliki peranan yang cukup besar dalam sektor industri dilihat dari sisi jumlah unit usaha dan daya serap tenaga kerja, namun lemah dalam menyumbang nilai tambah. Dari total unit usaha manufaktur di Indonesia pada tahun 2007 sebanyak 3 234 764, ternyata 99.94 persen merupakan unit usaha IKM. Sementara itu, pada tahun 2007 IKM menyediakan kesempatan kerja sebesar 85 persen dari total kesempatan kerja sektor industri. Kendati demikian, sumbangan nilai tambah IKM pada tahun 2007 terhadap industri manufaktur hanya 23.9 persen. Banyaknya jumlah orang yang bekerja pada IKM memperlihatkan betapa pentingnya peranan IKM dalam membantu memecahkan masalah pengangguran dan pemerataan distribusi pendapatan (Kementerian Koperasi dan UKM, 2008).

Sejak tahun 1983, pemerintah secara konsisten telah melakukan berbagai upaya deregulasi sebagai upaya penyesuaian struktural dan restrukturisasi perekonomian. Kendati demikian, banyak yang mensinyalir deregulasi di bidang perdagangan dan investasi tidak memberi banyak keuntungan bagi perusahaan kecil dan menengah, bahkan justru perusahaan besar dan konglomeratlah yang mendapat keuntungan. Studi empiris membuktikan bahwa peningkatan nilai


(43)

9

tambah ternyata tidak dinikmati oleh perusahaan skala kecil, menengah dan besar, namun justru perusahaan skala konglomerat dengan tenaga kerja lebih dari 1000 orang yang menikmati kenaikan nilai tambah secara absolut maupun per rata-rata perusahaan (Kuncoro dan Abimanyu, 1995).

Dalam konteks inilah, perhatian untuk menumbuhkembangkan IKM setidaknya dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, IKM menyerap banyak tenaga kerja. Kecenderungan menyerap banyak tenaga kerja umumnya membuat banyak IKM juga intensif dalam menggunakan sumberdaya alam lokal. Apalagi, karena lokasinya banyak di perdesaan, pertumbuhan IKM akan menimbulkan dampak positif terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja, pengurangan jumlah kemiskinan, pemerataan dalam distribusi pendapatan, dan pembangunan ekonomi di perdesaan (Simatupang et al., 1994; Kuncoro, 1996). Dari sisi kebijakan, IKM jelas perlu mendapat perhatian karena tidak hanya memberikan penghasilan bagi sebagian besar angkatan kerja Indonesia, namun juga merupakan ujung tombak dalam pengentasan kemiskinan. Di perdesaan, peran penting IKM memberikan tambahan pendapatan, merupakan seed-bed bagi pengembangan industri dan sebagai pelengkap produksi pertanian bagi penduduk miskin (Kuncoro, 1997).

Kedua, IKM memegang peranan penting dalam ekspor non-migas, yang pada tahun 2007 mencapai 17.82 persen dari total ekspor sektor industri manufaktur. Ketiga, adanya urgensi untuk mengubah struktur ekonomi yang berbentuk piramida menjadi semacam gunungan. Puncak piramida dipegang oleh usaha skala besar dengan ciri-ciri : beroperasi pada stuktur pasar quasi monopoli oligopolistik, hambatan masuk tinggi (adanya bea masuk, nontarif, modal, dan lain-lain), menikmati margin keuntungan yang tinggi, dan ada akumulasi modal cepat. Pada


(44)

10

dasar piramida didominasi oleh usaha skala menengah dan kecil yang beroperasi dalam iklim yang sangat kompetitif, hambatan masuk rendah, margin keuntungan rendah, dan tingkat drop out tinggi. Struktur ekonomi bentuk piramida terbukti telah mencuatkan isu konsentrasi dan konglomerasi, serta banyak dituding melestarikan dualisme dan neolibarisme dalam perekonomian Indonesia.

1.2. Perumusan Masalah

Deindustrialisasi adalah menurunnya peran industri dalam perekonomian secara menyeluruh. Menurunnya peranan industri dalam perekonomian bisa dilihat dari berbagai sisi, misalnya turunnya pekerja di sektor industri, turunnya produk industri, serta turunnya kontribusi sektor industri dibandingkan sektor lain. Fenomena deindustrialisasi di Indonesia mulai terlihat dari menurunnya kontribusi sektor industri dalam PDB. Pada Gambar 1 dapat dilihat bahwa kontribusi sektor industri mengalami peningkatan dari tahun 1993 sampai mencapai puncaknya pada tahun 2004 yaitu 28.37 persen. Peranan sektor industri terus mengalami penurunan pada periode tahun 2005 sampai dengan 2010 dimana pada tahun 2010 kontribusi sektor industri turun menjadi 25.76 persen.

Penurunan pertumbuhan sektor industri paling dirasakan pada masa berlangsungnya krisis ekonomi yaitu pada tahun 1998. Pada tahun 1998, nilai pertumbuhan sektor industri mencapai angka terendah yaitu –11.88 persen. Pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa pada periode tahun 2005 sampai dengan 2010, pertumbuhan sektor industri selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini menunjukkan bahwa sektor industri tidak dapat lagi diandalkan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional.


(45)

11

Sumber : Badan Pusat Statistik, Berbagai Tahun (Diolah)

Gambar 1. Kontribusi Sektor Industri dalam Pembentukan Produk Domestik Bruto

Pada periode tahun 1993-1997, nilai tambah sektor industri terus mengalami peningkatan seperti dapat dilihat pada Gambar 3. Krisis ekonomi menyebabkan sektor industri mengalami kemunduran dan mulai bangkit kembali pada tahun 2001 dimana nilai tambah sektor industri kembali pada kondisi sebelum krisis. Pada periode tahun 2001 sampai dengan 2010, nilai tambah sektor industri terus mengalami peningkatan walaupun pertumbuhannya masih berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.

Penurunan kontribusi sektor industri yang merupakan sektor sekunder juga disebabkan oleh meningkatnya kontribusi sektor jasa atau sektor tersier dalam struktur perekonomian Indonesia seperti dapat dilihat pada Gambar 4. Pada periode tahun 1993-2004, peranan sektor sekunder terus mengalami peningkatan dari 22.30 persen pada tahun 1993 menjadi 28.37 persen pada tahun 2004. Peranan sektor


(46)

12

sekunder mengalami penurunan pada periode tahun 2005-2010 di mana pada tahun 2010 kontribusi sektor sekunder menjadi 25.76 persen.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010 (Diolah)

Gambar 2. Pertumbuhan Sektor Industri Periode Tahun 1993-2010

Sumber : Badan Pusat Statistik, Berbagai Tahun (Diolah)

Gambar 3. Nilai Tambah Sektor Industri Periode Tahun 1993 - 2010 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000


(47)

13

Sebaliknya pada periode tahun 2001-2010, peranan sektor jasa/tersier meningkat dari 45.11 persen menjadi 53 persen. Dari Gambar 4 juga dapat dilihat bahwa pada periode krisis ekonomi, yaitu tahun 1997-2000, sektor tersier mengalami penurunan karena terkena dampak baik langsung maupun tidak langsung dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Sebaliknya, pada krisis tersebut sektor primer termasuk di dalamnya sektor pertanian mengalami peningkatan dari 23.78 persen pada tahun 1997 menjadi 27.30 persen pada tahun 2000.

Sumber : Badan Pusat Statistik, Berbagai Tahun (Diolah)

Gambar 4. Kontribusi Sektor Primer, Sektor Sekunder, dan Sektor Tersier dalam Perekonomian Indonesia Periode Tahun 1993-2010

Menurunnya kontribusi sektor industri dalam PDB disebabkan oleh relatif rendahnya pertumbuhan sektor industri non-migas dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada tahun 2006, sektor industri non-migas dapat tumbuh sekitar 7.51 persen, tetapi pada tahun 2010 sektor industri non-migas hanya


(48)

14

tumbuh sekitar 5.09 persen. Pada periode 2006-2010, sektor industri non-migas rata-rata tumbuh sekitar 4.4 persen.

Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010(Diolah)

Gambar 5. Kontribusi sktor Tradeable dan Sektor Nontradeable dalam Perekonomian Indonesia Periode Tahun 1993-2010

Sementara itu, dalam periode yang sama perekonomian nasional rata-rata tumbuh 5.7 persen. Dengan angka pertumbuhan yang lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi nasional, sektor industri non-migas tidak bisa diharapkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia ke angka yang lebih tinggi lagi. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa dari sembilan cabang industri non-migas hanya industri makanan, minuman dan tembakau serta industri alat angkutan, mesin dan peralatannya yang rata-rata pertumbuhannya di atas 5 persen per tahun. Bahkan ada beberapa cabang industri yang kinerjanya cukup memprihatinkan dengan pertumbuhan relatif kecil dan bahkan negatif seperti industri tekstil, barang kulit dan alas kaki; barang kayu dan hasil hutan serta industri logam dasar besi dan baja. Kondisi ini cukup memprihatinkan mengingat industri tekstil dan industri kayu memegang peranan yang penting dalam sumbangannya terhadap ekspor dan penyerapan tenaga kerja. Sementara itu, industri logam dasar besi dan baja


(49)

15

merupakan cabang industri yang menjadi penyokong (supporting industry) bagi berkembangnya cabang-cabang industri yang lebih moderen. Jadi penurunan kinerja ketiga cabang industri ini jelas akan memberikan pengaruh terhadap kinerja sektor industri non-migas secara keseluruhan yang akhirnya akan berdampak pada perekonomian Indonesia.

Sementara itu dilihat dari sisi struktur industri, industri nasional selama periode 1993 – 2010 mengalami banyak mengalami pergeseran. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa alat angkutan, mesin dan peralatannya merupakan cabang industri yang strukturnya mengalami peningkatan dalam periode tersebut yaitu dari 14.20 persen pada tahun 1993 menjadi 28.14 persen pada tahun 2010.

Tabel 1. Pertumbuhan Cabang Industri Non-MigasTahun 2006 - 2010

(Persen) Lapangan Usaha 2006 2007 2008 2009 2010

Rata- Rata Ekonomi Nasional 5.47 6.37 6.01 4.55 6.10 5.7 Industri Non-migas 5.27 5.15 4.05 2.52 5.09 4.4 1. Makanan, minuman dan tembakau 7.22 5.04 2.34 11.29 2.73 5.7 2. Tekstil, barang kulit dan alas kaki 1.23 -3.68 -3.64 0.53 1.74 -0.8 3. Barang kayu dan hasil hutan lainnya -0.66 -1.74 3.45 -1.46 -3.50 -0.8 4. Kertas dan barang cetakan 2.09 5.79 -1.48 6.27 1.64 2.9 5. Pupuk, kimia dan barang dari karet 4.48 5.69 4.46 1.51 4.67 4.2 6. Semen dan barang galian bukan logam 0.53 3.40 -1.49 -0.63 2.16 0.8 7. Logam dasar besi dan baja 4.73 1.69 -2.05 -4.53 2.56 0.5 8. Alat angkutan, mesin dan peralatannya 7.55 9.73 9.79 -2.94 10.35 6.9 9. Barang lainnya 3.62 -2.82 -0.96 3.13 2.98 1.2 Sumber : Kementerian Perindustrian, 2011 (Diolah)

Sementara itu makanan, minuman dan tembakau mengalami penurunan dari 42.13 persen tahun 1993 menjadi 33.60 persen pada tahun 2010. Sementara itu pupuk, kimia dan dan barang dari karet cenderung relatif konstan. Ketiga cabang


(50)

16

industri tersebut memegang peranan yang cukup penting dalam struktur industri non-migas nasional. Di sisi lain, tekstil, barang kulit dan alas kaki cenderung mengalami fluktuasi dalam struktur industri pada periode tersebut. Perubahan struktur keempat cabang industri tersebut, jelas akan sangat mempengaruhi kinerja industri nasional mengingat keempat cabang industri tersebut merupakan tulang punggung industri nasional karena kontribusinya yang mencapai 83.43 persen pada tahun 2010.

Tabel 2. Perubahan Struktur Industri Non-Migas Tahun 1993 -2010

(Persen)

Cabang Industri Non-migas 1993 1998 2009 2010

1. Makanan, minuman dan tembakau 42.13 57.74 29.78 33.60 2. Tekstil, barang kulit dan alas kaki 10.68 8.56 9.80 8.97 3. Barang kayu dan hasil hutan lainnya 8.19 5.07 3.83 5.82 4. Kertas dan barang cetakan 4.14 4.48 5.18 4.75 5. Pupuk, kimia dan barang dari karet 13.31 11.95 13.28 12.72 6. Semen dan barang galian bukan logam 3.11 2.73 3.04 3.29 7. Logam dasar besi dan baja 3.64 2.76 1.47 1.95 8. Alat angkutan, mesin dan peralatannya 14.20 6.28 32.88 28.14

9. Barang lainnya 0.60 0.43 0.74 0.76

Industri Non-migas 100.00 100.00 100.00 100.00

Sumber : Kementerian Perindustrian, 2011 (Diolah)

Struktur industri di Indonesia dilihat dari skala usaha menunjukkan ketidakseimbangan antara industri kecil, industri menengah dan industri besar sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3. Dari sisi jumlah unit usaha dan penyerapan tenaga kerja, struktur industri lebih banyak didominasi oleh industri kecil. Namun demikian, relatif besarnya jumlah unit usaha industri kecil tidak berbanding lurus dengan nilai tambah yang dihasilkan. Jumlah unit usaha industri kecil yang mencapai 99.43 persen dari seluruh unit usaha sektor industri hanya memberikan kontribusi sebesar 12.81 persen dari total nilai tambah sektor industri.


(1)

(all,c,COM)(All,l,SCL) SCLSHARE3(c,l) # business scale consumption shares #; (all,c,COM)(All,l,SCL) SCLSHARE4(c,l) # business scale export shares #; (all,c,COM)(All,l,SCL) SCLSHARE5(c,l) # business scale 'other' shares #; Variable

qnat # national population: q is by household #;

Read

SCLSHARE1 from file mdata Header "1SCL"; SCLSHARE2 from file mdata Header "2SCL"; SCLSHARE3 from file mdata Header "3SCL"; SCLSHARE4 from file mdata Header "4SCL"; SCLSHARE5 from file mdata Header "5SCL"; Update

(all,i,IND)(All,l,SCL) SCLSHARE1(i,l) = scshr1(i,l); (all,i,IND)(All,l,SCL) SCLSHARE2(i,l) = scshr2(i,l); (all,c,COM)(All,l,SCL) SCLSHARE3(c,l) = scshr3(c,l); (all,c,COM)(All,l,SCL) SCLSHARE4(c,l) = scshr4(c,l); (all,c,COM)(All,l,SCL) SCLSHARE5(c,l) = scshr5(c,l);

! Excerpt 46 of TABLO input file: !

! Business Scale coefficients calculated within model !

Coefficient

(all,i,IND)(All,l,SCL) LABINDSCL(i,l) # Labour bills by industry and scale #; (All,l,SCL) LABSCLTOT(l) # Total labour bill by scale #;

(all,i,IND)(All,l,SCL) VALUADD(i,l) # Factor bills by industry and scale #; (All,l,SCL) VALUADDTOT(l) # Total factor bill by business scale #; Formula

(all,i,IND)(All,l,SCL) LABINDSCL(i,l) = V1LAB_O(i)*SCLSHARE1(i,l); (All,l,SCL) LABSCLTOT(l) = Sum(i,IND, LABINDSCL(i,l)); (all,i,IND)(All,l,SCL) VALUADD(i,l) = V1PRIM(i)*SCLSHARE1(i,l); (All,l,SCL) VALUADDTOT(l) = SUM(i,IND, VALUADD(i,l)); Zerodivide (zero_by_zero)default 0.1;

Zerodivide (nonzero_by_zero)default 0.1; Formula

(all,i,IND)(All,l,SCL)

SCLSHARE(i,l) = LABINDSCL(i,l)/SUM(s,SCL,LABINDSCL(i,s)); Zerodivide (zero_by_zero)off;

Zerodivide (nonzero_by_zero)off; Write

SCLSHARE to file SUMMARY header "3SHR" longname "Share of consumption"; Coefficient (All,c,LOCCOM)(All,l,SCL)

TOTDEMSCL(c,l) # All basic + margin use of good c in business scale l #;

! Excerpt 47 of TABLO input file: !


(2)

Formula

(All,c,MARLOCCOM)(All,l,SCL)

TOTDEMSCL(c,l) = SUM(i,IND, SCLSHARE1(i,l)*V1BAS(c,"dom",i)) + SUM(i,IND, SCLSHARE2(i,l)*V2BAS(c,"dom",i))

+ Sum(h,HH,V3BAS(c,"dom",h))*SCLSHARE3(c,l)

+ V4BAS(c)*SCLSHARE4(c,l) + V5BAS(c,"dom")*SCLSHARE5(c,l) + SUM(u,COM, V4MAR(u,c)*SCLSHARE4(u,l)

+ SUM(s,Src,SUM(h,HH, V3MAR(u,s,c,h))*SCLSHARE3(u,l)

+ V5MAR(u,s,c)*SCLSHARE5(u,l)+ SUM(i,IND, SCLSHARE1(i,l)*V1MAR(u,s,i,c) + SCLSHARE2(i,l)*V2MAR(u,s,i,c) )));

Formula

(All,c,NONMARLOCCOM)(All,l,SCL)

TOTDEMSCL(c,l) = SUM(i,IND, SCLSHARE1(i,l)*V1BAS(c,"dom",i)) + SUM(i,IND, SCLSHARE2(i,l)*V2BAS(c,"dom",i))

+ SUM(h,HH,V3BAS(c,"dom",h))*SCLSHARE3(c,l) + V4BAS(c)*SCLSHARE4(c,l)

+ V5BAS(c,"dom")*SCLSHARE5(c,l);

! Excerpt 48 of TABLO input file: !

! Business scale equations: direct and marginal demands follow

business scale shares !

Equation E_x1csi_scl

# Direct intermediate demands by industry and business scale #

(All,c,LOCCOM)(All,s,Src)(all,i,IND)(All,l,SCL) x1csi_scl(c,s,i,l) = x1(c,s,i) + scshr1(i,l); E_x2csi_scl

# Direct investment demands by industry and business scale #

(All,c,LOCCOM)(All,s,Src)(all,i,IND)(All,l,SCL) x2csi_scl(c,s,i,l) = x2(c,s,i) + scshr2(i,l); E_x3cs_scl

# Consumption by business scale #

(All,c,LOCCOM)(All,l,SCL)(All,s,Src)(all,h,HH) x3cs_scl(c,s,l,h) = x3(c,s,h) + scshr3(c,l); E_x4_scl

# Foreign exports by business scale #

(All,c,LOCCOM)(All,l,SCL) x4_scl(c,l) = x4(c) + scshr4(c,l); E_x5cs_scl

# "Other" demands by business scale #

(All,c,LOCCOM)(All,s,Src)(All,l,SCL) x5cs_scl(c,s,l) = x5(c,s) + scshr5(c,l); E_x1marg_scl

# margin intermediate demands by industry and business scale #

(all,c,COM)(All,s,Src)(all,i,IND)(All,m,MARLOCCOM)(All,l,SCL) x1marg_scl(c,s,i,m,l) = x1mar(c,s,i,m) + scshr1(i,l);

E_x2marg_scl


(3)

(all,c,COM)(All,s,Src)(all,i,IND)(All,m,MARLOCCOM)(All,l,SCL) x2marg_scl(c,s,i,m,l) = x2mar(c,s,i,m) + scshr2(i,l);

E_x3marg_scl

# margin private consumption by business scale #

(all,c,COM)(All,s,Src)(All,m,MARLOCCOM)(All,l,SCL)(all,h,HH) x3marg_scl(c,s,m,l,h) = x3mar(c,s,m,h) + scshr3(c,l);

E_x4marg_scl

# margin to foreign export by business scale #

(all,c,COM)(All,m,MARLOCCOM)(All,l,SCL)x4marg_scl(c,m,l) = x4mar(c,m) + scshr4(c,l); E_x5marg_scl

# margins to "other" by business scale #

(all,c,COM)(All,s,Src)(All,m,MARLOCCOM)(All,l,SCL) x5marg_scl(c,s,m,l) = x5mar(c,s,m) + scshr5(c,l);

E_scshr1

# business scale shares of industry production #

(all,i,IND)(All,l,SCL) scshr1(i,l) = x1tot_l(i,l) - x1tot(i); E_scshr2

# scale shares of industry investment related to regional production shares #

(all,i,IND)(All,l,SCL)scshr2(i,l) = scshr1(i,l) + fscl2(i,l)+ ffscl2(i); E_qnat

# Indonesia-wide population equals sum of business scale populations #

Sum(l,SCL,LABSCLTOT(l))*qnat = Sum(s,SCL,LABSCLTOT(s)*q_scl(s)); E_scshr3

# scale shares in private cons'n move with regional labour income shares #

(all,c,COM)(All,l,SCL) scshr3(c,l) = (labrev_scl(l) - w1lab_io) + fscl3(c,l)+ ffscl3(c); E_scshr4

# business scale shares in foreign exports #

(all,c,COM)(All,l,SCL) scshr4(c,l) = fscl4(c,l)+ ffscl4(c); E_scshr5

# business scale shares in "other" demands #

(all,c,COM)(All,l,SCL) scshr5(c,l) = fscl5(c,l)+ ffscl5(c); E_lsum1

# For checking purposes: rsum1 should be endogenous and zero #

(all,i,IND) Sum(l,SCL, SCLSHARE1(i,l)*scshr1(i,l)) = lsum1(i); E_lsum2

# For checking purposes: rsum2 should be endogenous and zero #

(all,i,IND) Sum(l,SCL, SCLSHARE2(i,l)*scshr2(i,l)) = lsum2(i); E_lsum3


(4)

(all,c,COM) Sum(l,SCL, SCLSHARE3(c,l)*scshr3(c,l)) = lsum3(c); E_lsum4

# For checking purposes: rsum4 should be zero #

(all,c,COM) Sum(l,SCL, SCLSHARE4(c,l)*scshr4(c,l)) = lsum4(c); E_lsum5

# Used to ensure rsum5 is zero #

(all,c,COM) Sum(l,SCL, SCLSHARE5(c,l)*scshr5(c,l)) = lsum5(c);

! Excerpt 42 of TABLO input file: !

! Output of three Business scale industry types!

Equation E_x0_scl_A

# Output of nonmargins local commodities, Green book, eq39.8a #

(All,i,NONMARLOCCOM)(All,l,SCL) TOTDEMscl(i,l)*x0_scl(i,l) = SUM(j,IND, SCLSHARE1(j,l)*V1BAS(i,"dom",j)*x1csi_scl(i,"dom",j,l)) + SUM(j,IND, SCLSHARE2(j,l)*V2BAS(i,"dom",j)*x2csi_scl(i,"dom",j,l)) + SCLSHARE3(i,l)*SUM{h,HH,V3BAS(i,"dom",h)*x3cs_scl(i,"dom",l,h)} + V4BAS(i)*SCLSHARE4(i,l)*x4_scl(i,l)

+ V5BAS(i,"dom")*SCLSHARE5(i,l)*x5cs_scl(i,"dom",l); E_x0_scl_B

# Usage of margins local commodities #

(All,c,MARLOCCOM)(All,l,SCL) TOTDEMscl(c,l)*x0_scl(c,l)

= SUM(i,IND, SCLSHARE1(i,l)*V1BAS(c,"dom",i)*x1csi_scl(c,"dom",i,l)) + SUM(i,IND, SCLSHARE2(i,l)*V2BAS(c,"dom",i)*x2csi_scl(c,"dom",i,l)) + SCLSHARE3(c,l)*SUM(h,HH,V3BAS(c,"dom",h)*x3cs_scl(c,"dom",l,h)) + V4BAS(c)*SCLSHARE4(c,l)*x4_scl(c,l)

+ V5BAS(c,"dom")*SCLSHARE5(c,l)*x5cs_scl(c,"dom",l)

+ SUM(u,COM, V4MAR(u,c)*SCLSHARE4(u,l)*x4marg_scl(u,c,l)

+ SCLSHARE3(u,l)*SUM(s,Src,SUM(h,HH, V3MAR(u,s,c,h)*x3marg_scl(u,s,c,l,h))) + SUM(s,Src,V5MAR(u,s,c)*SCLSHARE5(u,l)*x5marg_scl(u,s,c,l)

+ SUM(i,IND, SCLSHARE1(i,l)*V1MAR(u,s,i,c)*x1marg_scl(u,s,i,c,l) + SCLSHARE2(i,l)*V2MAR(u,s,i,c)*x2marg_scl(u,s,i,c,l) )));

E_x1tot_l_A

# Supplies of local commodities related to production of local industries #

(All,c,LOCCOM)(All,l,SCL) x0_scl(c,l) = SUM(j,IND, {MAKE(c,j)/MAKE_I(c)}*x1tot_l(j,l)); E_x1tot_l_B

# Output of national industries eq39.2, DPSV P.260 #

(all,i,NATIND)(All,l,SCL) x1tot_l(i,l) = x1tot(i) + f_x1tot_l(i,l) + ff_x1tot_l(i)+ zcon_scl(i,l); E_lsum_nat

# Adding up rule for national industries: lsum_nat normally end. and zero #

(all,i,NATIND) SUM(l,SCL, SCLSHARE1(i,l)*x1tot_l(i,l)) = x1tot(i) + lsum_nat(i); ! Excerpt 49 of TABLO input file: !


(5)

Equation

E_labrev_scl # Total wage bills by business scale #

(All,l,SCL) LABSCLTOT(l)*labrev_scl(l) = SUM(i,IND, SCLSHARE1(i,l)*

SUM(o,OCC, V1LAB(i,o)*{scshr1(i,l) + p1lab(i,o) + x1lab(i,o)} )); E_ztot_scl # Gross business scale Products (income weights) #

(All,l,SCL) ztot_scl(l) = x1prim_i + SUM(i,IND, zcon_scl(i,l)); E_zcon_scl

# Contributions to deviations in total scale outputs from national GDP #

(all,i,IND)(All,l,SCL) zcon_scl(i,l) = {[VALUADD(i,l)/VALUADDTOT(l)] - [V1PRIM(i)/SUM(k,IND, V1PRIM(k))]}*[x1tot_l(i,l) - x1prim_i] + [V1PRIM(i)/SUM(k,IND, V1PRIM(k))] *[x1tot_l(i,l) - x1tot(i)]; E_persontot_scl # aggregate business scale employment#

(All,l,SCL) LABSCLTOT(l)*persontot_scl(l) = SUM(i,IND, LABINDSCL(i,l)*person_scl(i,l)); E_person_scl #employment by business scale and industry#

(all,i,IND)(All,l,SCL) person_scl(i,l) = x1lab_o(i) + scshr1(i,l); Display LABINDSCL;

Display LABSCLTOT;

!end of addition! ! end of file !


(6)

Lampiran 6. Closure dalam Model CGE INDUSTRINDO

Exogenous gret ;

!IND Gross rate of return = Rental/[Price of new capital]

Exogenous employ_i;

!aggregate employment,wage bill weights

Exogenous q ;

! HH Number of households

Exogenous f5 ;

! COM*SRC Government demand shift!

Exogenous f4p ;

! COM Price (upward) shift in export demand schedule

Exogenous f4q ;

! COM Quantity (right) shift in export demands

Exogenous fx6 ;

! COM*SRC Shifter on rule for stocks

Exogenous pe ;

!COM Basic price of export commodity

Exogenous a3_s ;

! COM*HH Taste change, hhold imp/dom composite

Exogenous a1fac ;

! AGRIFAC*AGIND Primary factor tech. change, agri.

Exogenous a1tot ;

! IND All input augmenting technical change

Exogenous a2tot ;

! IND Neutral technical change - investment

Exogenous f1oct ;

! IND Shift in price of "other cost" tickets

Exogenous t0imp ;

! COM Power of tariff

Exogenous a1faco ;

! N_AGRIFAC*N_AGIND Prim. factor tech. change, other

Exogenous f5tot2 ;

! 1 Ratio between f5tot and x3tot

Exogenous fgov_f ;

! TYPE Shift in transfers: govt. -- foreign

Exogenous fgov_h ;

! HH*TYPE Shift in transfers: govt. -- households

Exogenous pf0cif ;

! COM C.I.F. foreign currency import prices

Exogenous f0tax_s ;

! COM General sales tax shifter

Exogenous f3tot_h ;

! HH Ratio, consumption/income by hh

Exogenous f3tax_s ;

! 1 Uniform % change in powers of taxes on hh usage

Exogenous f5tax_cs ;

! 1 Uniform % change in powers of taxes on gov. usage

Exogenous f1inc_tax ;

! 1 Overall income tax shifter

Exogenous f1lab_i_x ;

! OCC Skill-specific labour shifter

Exogenous f1tax_csi ;

! 1 Uniform % change in powers of taxes on intermediate

usage

Exogenous f2tax_csi ;

! 1 Uniform % change in powers of taxes on investment

Exogenous x1cap_vah ;

! HH variable capital by household, agri.

Exogenous x1cap_vnh ;

! HH variable capital by household, non-agri.

Exogenous x1lab_i_h ;

! OCC*HH Household labour supply

Exogenous x1lndi_hh ;

! AGIND*HH Household supply of land, agri.

Exogenous x1cap_f_hh ;

! N_AGIND*HH fixed capital by hhold, non-ag.

Exogenous finv3 ;

!IND Shifter for longrun investment rule

Exogenous

invslack ; !1 Investment slack variable for exogenizing agg. investment

Exogenous ffscl2 ;

! IND

Exogenous ffscl3 ;

! COM

Exogenous ffscl4 ;

! COM

Exogenous ffscl5 ;

! COM

Exogenous ff_x1tot_l ;

! NATIND

Exogenous f_x1tot_l ;

! NATIND*SCL

Exogenous fscl2 ;

! IND*SCL

Exogenous fscl3 ;

! COM*SCL

Exogenous fscl4 ;

! COM*SCL

Exogenous fscl5 ;

! COM*SCL

Exogenous q_scl ;

! SCL

Rest endogenous;