Pandangan Ulama Mengenai Hubungan Agama Dengan Negara

V. Pandangan Ulama Mengenai Hubungan Agama Dengan Negara

a. Pemikiran Politik Islam Abad Klasik dan Pertengahan Bagi pemikir Islam abad ini, hubungan agama dan negara merupakan sesuatu yang saling melengkapi, sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan. Agama membutuhkan negara, demikian pula sebaliknya (Kamil, 2013). Sebagai contoh, Al- Mawardi berpendapat bahwa kepemimpinan politik dalam Islam didirikan untuk melanjutkan tugas-tugas kenabian dalam memelihara agama (harasah ad-din) dan mengelola kebutuhan duniawiyah (siyasah ad dunya). Pemikiran tersebut juga bisa ditelusuri dari pendapat al-Farabi (870-950 M), al-Mawardi (975-1059), al-Ghazali

(1058-1111), Ibnu Taimiyah (1263-1329), hingga Ibnu Khaldun (1332-1406). 56 Al-Farabi dalam menggambarkan pentingnya sebuah pemerintahan,

mengilustrasikan fungsi negara sebagai anggota badan yang apabila satu menderita maka yang lain akan merasakannya (Azhar, 1997). Anggota badan juga mempunyai fungsi dan peran yang berbeda-beda, begitu pula kebahagiaan masyarakat tidak akan terwujud tanpa pendistribusian kerja yang sesuai dengan kecakapan dan kemampuan sebagai manifestasi interaksi sosial. Bagi al-Farabi, kedudukan kepala negara sama dengan kedudukan jantung bagi badan yang merupakan sumber koordinasi. Oleh karenanya, pekerjaan kepala negara tidak hanya bersifat politis, melainkan meliputi etika sebagai pengendali way of life.

Al-Farabi memberikan 12 kriteria bagi seorang kepala negara yang salah satunya harus memiliki fa‟al (akal aktif) yang bisa menyerap ilham dan wahyu. Kriteria ini terlalu ideal dimana filosof dan waliullah merupakan tokoh tertinggi yang layak menjadi kepala negara. Namun al-Farabi memberikan alternatif dari idealismenya tersebut dengan menyatakan bila masyarakat atau negara kesulitan dalam mencari kepala negara yang bersatus wali atau filosof, bisa digantikan dengan sistem presidium.

Al-Mawardi 57 , pengarang kitab politik al-ahkam al-Sulthaniyah, mendasarkan teori politiknya dengan terlebih dahulu merumuskan hakikat manusia sebagai makhluk sosial

dan memerlukan bantuan dari pihak lain. Perbedaan inteligensia, kepribadian dan bakat mendorong manusia untuk saling bekerja sama. Berangkat dari unsur kerjasama inilah al-Mawardi berpendapat bahwa manusia sepakat mendirikan negara. Adanya negara adalah melalui kontrak sosial atau perjanjian atas dasar suka rela (Syadzali, 1993). Hubungan antara ahlul halli wal aqdi (legislatif) dengan kepala negara (eksekutif) merupakan hubungan antara dua pihak peserta kontrak sosial yang melahirkan kewajiban dan hak di kedua belah pihak atas dasar timbal balik. Kepala negara selain berhak ditaati oleh rakyatnya dan menuntut adanya partisipasi dan loyalitas penuh mereka; sebaliknya kepala negara mempunyai kewajiban pada rakyatnya seperti

56 Muhammad Zulifan, Politik Islam di Indonesia: Ideologi, Transformasi Dan Prospek Dalam Proses Politik Terkini, Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1, 2016, hlm. 173

57 Nama lengkap ilmuwan Islam al-Mawardi adalah Abu al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Bashri. Ia dilahirkan di Bashrah pada tahun 364 H/975 M, dan wafat dalam usia 86 tahun

pada tanggal 30 Rabiul Awwal 450 H/27 juni 1058 M di Baghdad. Panggilan “al-Mawardi” diberikan kepadanya karena kecerdasan dan kepandaiannya dalam berorasi, berdebat, berargumen, dan memiliki ketajaman analisis terhadap setiap masalah yang dihadapinya. Sedangkan julukan “al-Bashri” dinisbatkan pada tempat kelahirannya, Basrah. Lihat lengkap: Rashda Diana, Al-Mawardi dan Konsep Kenegaraan dalam Islam, Jurnal TSAQAFAH, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 160.

memberikan perlindungan, mengelola kepentingan mereka dengan baik dan penuh tanggungjawab.

Menurut Pandangan Al-Mawardi yang dikutip oleh Abdul Qadim Zalum bahwa; karena Islam sudah menjadi ideologi politik bagi masyarakat dalam kerangka yang lebih konkret, bahwa Islam memerintahkan kaum Muslimin untuk menegakkan negara dan menerapkan aturan berdasarkan hukum-hukum Islam. Masalah politik, ekonomi, sipil, militer, pidana, dan perdata diatur jelas oleh Islam. Hal itu membuktikan bahwa Islam merupakan system bagi negara dan pemerintahan, serta untuk mengatur masyarakat,

umat, dan individu-individu. 58 Bagi Al-Mawardi, yang berwenang memilih kepala negara adalah lembaga

legislatif (ahl al-ikhtiyar), mereka dipersyaratkan memiliki keadilan; (2) memiliki pengetahuan dan mampu mengetahui siap yang berhak menjadi kepala negara. Sementara untuk jabatan kepala negara dipersyaratkan: (1) adil dalam arti luas; (2) ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad; (3) sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; (4) sehat jasmani sehingga tidak terhalang untuk melakukan aktivitas; (5) pandai dalam mengendalikan urusan rakyat, dan (6) berani dan tegas membela rakyat dan menghadapi agresor dan (7) keturunan suku Quraisy.

Al-Mawardi sebagai seorang teoritikus politik Islam terkemuka, bisa disebut sebagai salah satu tokoh pendukung paradigma ini. Seperti terlihat pada karya monumentalnya, al-Ahkâm al-Sulthâniyyah. Al-Mawardi lebih mengutamakan aspek formal negara. Kecenderungan formalistik ini hampir dikatakan pragmatis, apabila dibaca pada bagian pertama kitabnya ketika membicarakan persoalan imâmah. Ia mengatakan bahwa imâmah (khalifah) merupakan lembaga penting untuk meneruskan tugas nubuwwah dalam rangka memelihara agama dan mengatur persoalan dunia.

Tampaknya pernyataan tersebut yang menjadi postulasi pemikirannya. Al-Mawardi ingin meletakkan agama dalam kerangka politik dalam hubungan yang bersifat simbiotik, 59 di mana di antara keduanya terjadi hubungan timbal-balik dan saling

melengkapi (Tabroni dan Arifin, 1994:48). Dalam pandangan al-Mawardi, sebuah negara membutuhkan enam sendi utama

untuk berdiri; pertama, menjadikan agama sebagai pedoman. Agama diperlukan sebagai pengendali hawa nafsu dan pembimbing hati nurani manusia. Agama merupakan fondasi yang kokoh untuk menciptakan kesejahteraan dan ketenangan negara. Kedua, pemimpin yang bijak dan memiliki otoritas yang melekat dalam dirinya dengan kekuasaannya. Dengan kriteria ini seorang pemimpin dapat mengompromikan beberapa aspirasi yang berbeda, sehingga dapat membangun negara mencapai tujuan. Ketiga, keadilan yang menyeluruh yang dengannya akan tercipta kedamaian, kerukunan, rasa hormat, ketaatan pada pemimpin, dan meningkatkan gairah rakyat untuk berprestasi.

58 Rashda Diana, Al-Mawardi dan Konsep Kenegaraan dalam Islam, Jurnal TSAQAFAH, Vol. 13, No. 1, Mei 2017, hlm. 164.

59 simbiotik (symbiotic paradigm). Agama dan Negara, menurut paradigm ini, berhubungan secara simbiotik, yaitu suatu hubungan yang bersifat timbal-balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini, agama

memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang, demikian pula sebaliknya. Negara juga memerlukan agama karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral spiritual (Wahid dan Rumadi, 2001:26). Dalam paradigma simbiotik ini masih tampak adanya

kehendak “mengistimewakan” penganut agama yang mayoritas untuk memberlakukan hukum-hukum agamanya di bawah legitimasi negara, atau paling tidak, karena sifatnya yang simbiotik tersebut, bahkan

dalam masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan hukum negara.

Keadilan itu bermula dari sikap adil pada diri sendiri, kemudian kepada orang lain. Keadilan kepada orang lain dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori, yaitu; 1) adil kepada bawahan (subordinat), seperti keadilan kepala negara kepada wakil atau pejabat eksekutif bawahannya, 2) adil kepada atasan (superior), yaitu keadilan yang dilakukan oleh rakyat kepada kepala negara, untuk patuh, loyal dan siap membantu negara, dan 3) adil kepada sejawat (peer), yaitu keadilan kepada orang yang setara, dengan cara menghormati sikap mereka, tidak mempermalukan dan menyerangnya. 60

Keempat , keamanan semesta, yang akan memberi inner peace (kedamaian batin) kepada rakyat, dan pada akhirnya mendorong rakyat berinisiatif dan kreatif dalam membangun negara. Kelima, kesuburan tanah air yang berkesinambungan, yang akan menguatkan inisiatif rakyat untuk menyediakan kebutuhan pangan dan kebutuhan ekonomis lainnya sehingga konflik antarpenduduk dapat dikurangi dan teratasi. Keenam, harapan bertahan dan mengembangkan kehidupan. Kehidupan manusia melahirkan generasi-generasi masa depan. Generasi sekarang harus mempersiapkan sarana dan prasarana, struktur dan infrastruktur bagi generasi mendatang. Orang yang tidak mempunyai harapan bertahan (hope of survival) maka ia tidak mempunyai semangat dan usaha untuk hidup mapan. 61

Melalui enam sendi di atas diharapkan negara benar-benar mengupayakan segala cara untuk menjaga persatuan umat dan saling tolong menolong sesama mereka, memperbanyak sarana kehidupan yang baik bagi setiap warga, sehingga seluruh rakyat dapat menjadi laksana bangunan yang kokoh. Pada waktu yang sama memikul kewajiban dan memperoleh hak tanpa adanya perbedaan antara penguasa dan rakyat, antara yang kuat dan yang lemah, dan antara kawan dan lawan. 62

Senada dengan al-Mawardi, al-Ghazali juga berpandangan bahwa manusia itu makhluk sosial. Manusia tidak bisa hidup sendirian disebabkan dua faktor; pertama, kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup manusia. Kedua, saling membantu dalam menyediakan kebutuhan hidup seperti makanan, pakaian dan pendidikan. Dalam suatu negara diperlukan division of labour antara warga negara, sejumlah industri dan profesi, dimana empat darinya merupakan profesi inti bagi eksistensi suatu negara: pertanian, pemintalan, pembangunan dan politik untuk mengelola negara. Untuk menempati posisi politik diperlukan manusia yang memiliki kemampuan, keahlian, pengetahuan dan kearifan yang mendalam dan harus dibebaskan dari tugas dan tanggungjawab yang lain (Syadzali, 1993).

Ab 63 ū Ha mid al-Gazzālī dalam suatu karyanya yang berjudul, al-Iqti şād fī al-

I ‟tiq ād, menegaskan bahwa antara kekuasaan politik dan agama mempunyai saling

60 Suyuti Pulungan, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. 4, 1999), hlm. 227.

61 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 62.

62 Muhammad Azhar, Filsafat Politik: Perbandingan Antara Islam dan Barat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. 2, 1997), 83.

63 Nama lengkapnya Zain ad-D īn Abū Hamīd Muhammad ibn Muhammad al-Gazzālī a - īsī asy- Sy āfi ‟ī. Ia dilahirkan di desa Gazalah di ūs Khurasan, kini dekat Masyhad pada tahun 450 H/1058 M dan wafat pada tahun 505H/1111 M. Ia dikenal luas sebagai seorang fakih, ahli ilmu kalam (teolog),

filosof, dan sufi. Ayahnya, Muhammad, adalah seorang pemintal dan pedagang kain wol, sehingga sering filosof, dan sufi. Ayahnya, Muhammad, adalah seorang pemintal dan pedagang kain wol, sehingga sering

“Agama merupakan dasar, dan sul ţa n adalah penjaga-nya…sesungguhnya kekuasaan (sul ţa n) itu hukumnya merupakan keniscayaan (daru rī) bagi ketertiban dunia dan ketertiban dunia merupakan keniscayaan bagi ketertiban agama serta ketertiban agama merupakan keniscayaan bagi keberhasilan di akhirat. Hal itu merupakan tujuan yang sebenarnya dari para nabi. Oleh sebab itu, keharusan adanya imam merupakan salah satu

bentuk keniscayaan agama yang tidak bisa diabaikan”. 64 Sesuai dengan ungkapan al-Gazz ālī tersebut, dapat dipahami bahwa antara

kekuasaan politik dan agama mempunyai saling ketergantungan yang sangat erat, di mana terciptanya iklim yang kondusif bagi agama tergantung kepada adanya stabilitas politik, karena sul ţa n selaku pemegang kekuasaan politik merupakan penjaga agama, di mana dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara agama merupakan dasar bagi semua. Oleh sebab itu, jika sul ţa n yang mempunyai kewajiban untuk menjaga agama tersebut tidak dalam suasana stabil, maka akan berdampak kurang baik bagi suasana beragama di suatu negara. 65

Penekanan terhadap prinsip taat dalam keadaan baik dan buruk terhadap umat sebegitu kuatnya dalam teori politik Islam abad pertengahan. Faktor penekanan yang begitu kuat terhadap prinsip taat tersebut disinyalir menjadi faktor penentu bagi terhambatnya perkembangan proses syu ra dalam pemikiran politik Islam, karena tidak didukung oleh suasana yang memungkinkan bagi terciptanya syu ra di kalangan umat

Islam. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila gagasan demokrasi dalam arti keikutsertaan masyarakat dalam proses politik tidak populer dalam sejarah Islam masa

lampau. 66 Al-Ghazali menyatakan bahwa kewajiban mengangkat seorang kepala negara

bukanlah berdasarkan rasio, tetapi berdasarkan keharusan agama. Faktor keamanan jiwa dan harta tidak akan tercapai tanpa adanya penguasa yang berkarakter wali dan filosof yang sangat berkopetensi (al-Ghazali, 1320 H: 125). Oleh karena itu penguasa dan agama merupakan dua saudara kembar. Agama adalah fundamen sementara penguasa adalah pelindungnya. Operasionalisasi tata aturan dunia tidak akan terjamin kecuali ada kepala negara yang „arif. Konsekuensi dari teori ini, al-Ghazali tidak memisahkan antara agama dan negara. Tidak ada sekularisasi ajaran agama yang hanya urusan individu sehingga harus dilepaskan dari urusan politik, kenegaraan dan kemasyarakatan dalam arti luas. Dengan demikian, agama tidak hanya mengatur kehidupan individual, melainkan juga kehidupan kolektif. Agama mencakup kehidupan seluruhnya termasuk ritual, etika, hubungan antara anggota keluarga, sosial ekonomi,

nama al-Gazz ālī dinisbahkan dari kata gazzāl yang berarti pemintal wol. Dia memiliki saudara laki-laki yang bernama Ab ū Futūh Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad a - ûsi al-Gazzālī, yang dikenal dengan julukannya Majdudin.

64 Abu Hamid al-Gazz ālī, Al-Iqtişād fī al-I`tiqād, (Beirut: Dār al-Kutub al- „Alamiyyah, 1988), hlm. 148-149.

65 Sahri, Konsep Negara Dan Pemerintahan Dalam Perspektif Fikih Siyasah Al-Gazzali, Asy- Syir‟ah Jurnal Ilmu Syari‟ah dan Hukum, Vol. 47, No. 2, Desember 2013, hlm. 522.

Ahmad Syafi‟i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan Dalam Konstituante , (Jakarta: LP3ES, 1996), hlm. 28.

administrasi pemerintahan, hak dan kewajiban warga negara, sistem peradilan, hukum perang dan damai, hukum internasional dan seterusnya. Antara agama dan negara terjalin hubungan kuat bagi tegaknya kedaulatan negara melalui seorang kepala negara yang ditaati, yang mampu menjembatani kepentingan rakyat.

Lebih lanjut al-Ghazali berpendapat bahwa Allah telah memilih bani Adam dua kelompok pilihan: pertama, para Nabi yang bertugas menjelaskan kepada hamba-hamba Allah tentang jalan yang benar yang akan membawa kebahagiaan dunia akhirat; dan kedua , para raja (kepala negara) dengan tugas menjaga agar hamba-hamba Allah tidak saling bermusuhan dan saling melanggar hak, dan memandu mereka ke raha kedudukan yang terhormat. Karena itu, sultan adalah bayangan Allah di muka bumi, maka wajib dicintai, diikuti dan tidak dibenarkan menentangnya.

Melalui kepala negara sebagai bayangan Allah di bumi, maka ia adalah suci (muqaddas) dan kekuasaannya tidak datang dari rakyat sebagaimana pendapat al- Mawardi. Sistem pemerintahan al-Ghazali dekat dengan sistem teokrasi. Karenanya, al- Ghazali dalam menentukan syarat kepala negara sama dengan syarat-syarat untuk menjadi hakim, ditambah dengan atribut keturunan quraisy. Syarat-syarat itu adalah: (1) merdeka; (2) laki-laki; (3) mujtahid; (4) berwawasan luas; (5) adil; (6) dewasa; (7) bukan wanita, anak-anak, orang fasik, munafik, orang jahil dan pembeo, otoriter, egois, dll.

Pemikir lain, Ibnu Taimiyah menekankan bahwa menegakkan negara sebagai tugas suci yang dituntut agama dan merupakan salah satu perangkat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut Ibnu Taimiyah, istilah negara tidak disinggung dalam al- Qur ‟an maupun hadits, tetapi unsur-unsur esensial yang menjadi dasar negara dapat dengan mudah ditemukan dalam keduanya, unsur-unsur itu termasuk keadilan, persaudaraan, ketahanan, kepatuhan, dan kehakiman, serta penciptaan perdamaian yang dapat diterjemahkan sebagai instrumen sosial politik tegaknya negara (Khan, 1983). Beberapa tugas keagamaan seperti mengumpulkan zakat dan distribusinya, menghukum tindak kejahatan serta organisasi jihad tidak akan terlaksana dengan baik tanpa intervensi penguasa politik. Kendati negara merupakan keharusan doktrinal dan praktis, negara tetap subsider sejauh kaitannya dengan agama. Kepentingan Islam adalah mempersatukan seluruh umat manusia dan menciptakan masyarakat besar berdasarkan keyakinan dan hukum yang sama, sebuah tata sosial berdasarkan hukum ilahi yang kekal dan universal. Nilai-nilai dan tata sosial Islam tidak akan terealisasi secara ideal tanpa negara. Negara didirikan agar kaum Muslimin dapat menjaga eksistensi dan identitas mereka, sehingga mereka tidak mengalami anarki dan disintegrasi.

Konsep Ibnu Taimiyah tentang negara didasarkan pada akal dan nagl. Akal terletak pada kebutuhan manusia untuk bergabung, bekerjasama dan membutuhkan pemimpin tanpa peduli orang itu penganut agama atau tidak. Sementara nagl berasal dari banyak hadits yang menekankan perlunya kepemimpinan dan pemerintah. Sebagai

sabda Nabi: ”bila ada tiga orang melakukan perjalanan, maka hendaknya salah satu di antara mereka menjadi pemimpin 67 ”. Ibnu Taimiyah menyatakan; ”empat puluh tahun berada di

bawah pemerintahan tiranik lebih baik dari pada satu malam tanpa pemerintahan.” Bagi

67 H.R. Abu Dawud No. 2606

Ibnu Taimiyah, menegakkan agama sebagai tugas suci yang fungsinya amat besar untuk menegakkan keadilan memberantas kejahatan, memasyarakatkan tauhid dan mempersiapkan munculnya sebuah negara yang mengabdi kepada Allah (Taimiyah, tt: 174).

Menariknya, Ibnu Taimiyah tidak mengakui adanya konsep negara tunggal seluruh dunia Islam ataupun istilah negara Islam atau sistem khilafah negara-negara Islam. Bagi Ibnu Taimiyah, yang penting setiap negara tetap sebagai penyelenggara syariah. Taimiyah menyatakan Islam bukan monarki, aristokrasi maupun demokrasi. Ia bergeser dari khilafah ke sistem pemerintahan modern yang lebih pragmatis, fungsional dan rasional. Sebagaimana al-Ghazali, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa eksistensi kepala negara diperlukan bukan saja sekedar menjamin keselamatan jiwa dan harta rakyat maupun menjamin terpenuhinya bidang material. Tetapi lebih dari itu untuk menjamin berlakunya syariat.

Bagi Ibnu Taimiyah, apapun hukum Allah yang mengandung berbagai perintah kepada kaum muslimin adalah tanggung jawab yang berat dan tidak dapat dilaksanakan tanpa bantuan mekanisasi politik yang dikenal sebagai negara. Akan tetapi, Ibnu Taimiyah keberatan apabila tanggung jawab yang diterima itu dianggap sebagai otoritas ilahi yang diwakilkan kepada kita (Khan,1995:143). Kritik-kritik Ibnu Taimiyah terhadap teori khalifah ini kemudian membentuk versi politik refomisme-konservatif yang menghendaki digalakkannya kembali ijtihad dalam pemikiran keagamaan serta menolak dengan tegas prosedur-prosedur yang tidak kritis apalagi yang bersifat taklid.

Pandangan senada dengan Ibnu Taimiyah dikemukakan oleh Abduh dalam Ahmad (1978:149) bahwa Islam tidak menetapkan bentuk negara. Keduanya sama-sama tidak mementingkan bentuk pemerintahan dan sama-sama berpendapat, bahwa system pemerintahan disesuaikan dengan kehendak umat melalui ijtihad serta tidak berdasarkan

kepada syari‟ah yang kaku. Pemerimtah dan rakyat mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk memelihara dasar-dasar agama, dan menafsirkannya selama masalah

tersebut berkaitan dengan hal-hal keduniaan atau produk dari pemahaman itu tidak bertentangan dengan salah satu pokok-pokok agama. Artinya, merekalah yang menentukan bagaimana bentuk pemerintahan yang mereka kehendaki.

Ibnu Khaldun, pengarang kitab Muqaddimah, memandang bahwa negara ada berkat rasa persatuan dan soliditas yang kuat. Terbentuknya negara adalah suatu gejala alami bagi manusia (Zainuddin, 1992). Kendati alami, peranan agama sangat diperlukan dalam menengakkan negara. Dengan adanya peran agama, maka rasa solidaritas itu akan mampu menjauhkan persaingan yang tidak sehat, justru seluruh perhatiannya terarah pada kebaikan dan kebenaran. Teori negara Ibnu Khaldun selain berdasarkan pada proses sosiologis, juga didasarkan pada agama. Ia tetap sebagai pelanjut pemikir- pemikir sebelumnya seperti al-Farabi, al-Mawardi, Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah.

Ibnu Khaldun memandang bahwa penguasa bukan pada atribut penguasaannya, melainkan sekadar dipercaya rakyat untuk mengurus mereka. Relasional di sini dapat dikatakan relasi demokratis. Kepentingan rakyat terhadap penguasa bukanlah dilandasi karena sesuatu hal yang luar biasa, melainkan karena rakyat mempercayainya untuk mengurusi kepentingannya. Baik buruknya penguasa tergantung bagaimana cara Ibnu Khaldun memandang bahwa penguasa bukan pada atribut penguasaannya, melainkan sekadar dipercaya rakyat untuk mengurus mereka. Relasional di sini dapat dikatakan relasi demokratis. Kepentingan rakyat terhadap penguasa bukanlah dilandasi karena sesuatu hal yang luar biasa, melainkan karena rakyat mempercayainya untuk mengurusi kepentingannya. Baik buruknya penguasa tergantung bagaimana cara

Meski tidak menghendaki tidak terlalu pintar, dalam suksesi kepala negara tetap mensyaratkan seorang calon harus disetujui oleh ahlul halli wal aqdi dan harus memiliki pengetahuan, adil, mampu, sehat badan, panca indera dan dari suku Quraisy. Mengenai suku Quraisy, Khaldun berusaha menerangkan bahwa pemegang kendali umat haruslah berasal dari golongan yang memiliki dominasi terhadap golongan lainnya.

Untuk dapat melaksanakan tugas pemerintahan dengan baik, kepala negara memiliki beberapa fasilitas dan hak, di antaranya: dominasi (Ghalabah), pemerintahan (al-Sulthan) , dan kekuasaan untuk melakukan tekanan (al-yad qahirah). Fasilitas itu dimaksudkan sebagai tindakan preventif, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam masyarakat. Untuk menghindari kesewenangan kepala negara, dibuatlah peraturan dan kebijaksanaan politik tertentu yang harus ditaati oleh semua pihak. Peraturan tersebut menurut Ibn Khaldun dapat berasal dari hasil musyawarah para cendekiawan, negarawan, rohaniawan ulama, maupun aturan yang bersumber dari ajaran agama. Karakteristik siyasah diniyyah menurut Ibnu Khaldun berbasis Al- Qur‟an dan Sunnah, meskipun akal manusia sama-sama berperan dan berfungsi dalam kehidupan negara. Menurutnya, tipe negara yang paling baik dan ideal adalah siyasah diniyah atau

nomokrasi Islam. 68

b. Pemikiran Politik Islam Abad Modern Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), dalam melihat politik menganjurkan pembentukan Jamiah Islamiyah, yakni suatu ikatan politik yang mempersatukan seluruh umat Islam yang disebut sebagai Pan-Islamisme (Pulungan, 1994). Asosiasi ini berdasar solidaritas akidah Islam yang bertujuan membina kesetiakawanan dan persatuan umat Islam serta menentang kolonialisme dan dominasi Barat.

Al-Afghani menghendaki bentuk republik bagi negara Islam. Alasannya, dalam sistem Republik terdapat kebebasan berpendapat dan keharusan bagi kepala negara tunduk pada undang-undang. Yang berkuasa di dalam negara adalah konstitusi dan hukum, bukan kepala negara. Kepala negara hanya berkuasa untuk menjalankan undang-undang dan hukum yang dirumuskan lembaga legislatif. Pemikiran al-Afghani ini merupakan sistesis antara pemerintahan Barat dan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dengan demikian al-Afghani menghendaki reformasi politik Islam dengan mengganti bentuk khilafah menjadi republik.

Berbeda dengan al-Afghani, Muhammad Abduh (1849-1905) yang merupakan murid al-Afghani, tidak memperdulikan bentuk negara, karena Islam tidak menetapkan bentuk pemerintahan. Menurut Abduh, jika sistem khilafah masih tetap menjadi pilihan, maka bentuk ini harus bersifat dinamis yakni mengikuti perkembangan masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berfikir (Ahmad, 1979). Hal ini untuk mengantisipasi dinamika zaman. Abduh memandang bahwa adanya kejumudan umat Islam disebabkan adanya pemerintahan yang sewenang-wenang dan absolut. Bagi

68 Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum Dan Politik, ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14, Nomor 1, Juni 2014, hlm. 37

Abduh, syariat Islam mempunyai pengertian sempit dan luas. Islam memiliki unsur dinamis yang dapat disesuaikan dengan dinamika zaman lewat jalan ijtihad.

Rasyid Ridha (1865-1935) dalam karyanya al-khilafah au al imamah al-uzhma berpendapat bahwa jabatan khilafah perlu dihidupkan kembali dengan membentuk ahlul halli wal aqdi. Kelompok ini bertugas mendirikan pemerintahan yang mengatur kemaslahatan umat Islam. Ridha menghendaki bahwa khalifah adalah orang yang ahli fikih (faqih) agar mampu mengobati kerusakan masyarakat dalam pemerintahan modern. Baginya, jabatan khalifah adalah kewajiban syara‟ yang eksistensinya sangat penting dalam penerapan hukum syariat Islam yang terjamin dan terhindar dari berbagai bahaya, karena bentuk pemerintahan lain tidak mampu menerapkan syariat Islam (Ridha, 1341 H: 73).

Meski demikian, Ridha tetap mempertahankan sistem khilafah, tetapi ia menginginkan adanya perbaikan dalam pemerintahan tersebut berupa pelaksanaan syura dalam pemilihan khalifah yang selama ini berjalan secara turun-temurun serta dalam perumusan peraturan kebijakan politik, perang, pembinaan kesejahteraan umum.

Dalam keanggotaan ahlul halli wal aqdi, Ridha berpandangan lebih maju dari kebanyakan pemikir zaman klasik. Ia berpendapat bahwa keanggotaan lembaga ini tidak hanya dari ulama atau ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid saja, tapi juga dilengkapi oleh mereka para pemuka masyarakat di berbagai bidang perdagangan, perindustrian, dan sebagainya. Ahlul halli wal Aqdi tidak hanya bertugas mengangkat khalifah saja. Mereka juga bertugas sebagai pengawas atas jalannya pemerintahan khalifah dan mencegah perbuatan penyelewengan meskipun dengan kekerasan. Mereka bisa mengakhiri kekuasaan khalifah jika kepentingan umum terancam.

Untuk mempersiapkan calon khalifah, perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi keagamaan. Lulusan dari perguruan tinggi ini dipilih untuk dicari yang memiliki keunggulan dalam penguasaan ilmu dan ijtihad. Pemilihan ini dilakukan oleh sesama alumnus lembaga dan kemudian dikukuhkan melalui baiat ahlul halli wal aqdi dari seluruh dunia Islam. Adapun khalifah yang telah dibaiat ini wajib ditaati oleh tiap muslim dan dilarang untuk menentangnya.

c. Pemikiran Politik Kontemporer Ismail Raji al-Faruqi dan Naquib al-Attas, kedua tokoh ini memperkenalkan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Bagi keduanya, kemunduran umat Islam disebabkan karena kaum Muslimin menerima begitu saja kebudayaan-kebudayaan asing

(al-Faruqi, 1984: VII). Menurut al-Faruqi, umat islam perlu mengintegrasikan aspek kemodernan dan keislaman dengan menguasai semua disiplin modern sebagai prasyarat utama. Setelah itu mereka harus mengintegrasikan seluruh pengetahuan itu ke dalam

kebutuhan warisan Islam dengan melakukan eliminasi, perubahan, penafsiran kembali dan akomodasi terhadap berbagai komponennya sebagai word view Islam dan menetapkan nilai-nilainya. Setelah itu disosialisasikan kepada generasi muslim melalui pengajaran serta buku-buku teks secara Islami. Perlu juga dibangun pusat pemikiran dan universitas Islam untuk mendukung ide Islamisasi Ilmu pengetahuan tersebut.

Sementara Syekh Naquib al-Attas, pendiri International Institute of Islamic Thought Civilization (ISTAC) di Malaysia, mengemukakan betapa dunia Islam mengalami Sementara Syekh Naquib al-Attas, pendiri International Institute of Islamic Thought Civilization (ISTAC) di Malaysia, mengemukakan betapa dunia Islam mengalami

Fazlur Rahman (1982) mengemukakan bahwa satu-satunya jalan yang mungkin untuk melakukan pembaharuan adalah dengan cara merombak kembali asal-usul dan pengembangan keseluruhan tradisi Islam. Fazlur Rahman dengan neomodernisme-nya mengingatkan umat Islam untuk dapat membedakan secara jeli Islam normatif dan Islam Islam historis. Rahman membenarkan secara konseptual sistem parlemen di Barat, namun secara subtanstif-etik Rahman menilai parlemen tersebut berorientasi pada hal- hal yang material belaka. Umat Islam bisa saja menerima sistem parlemen tersebut sepanjang substansi musyawarahnya berorientasi pada hal-hal yang spiritualistic.

Mohamed Arkoun (1994), pemikir Islam kontemporer asal Al-Jazair dengan konsep Islamologi terapannya mencoba menampilkan konsep wewenang dan kekuasaan. Bila wewenang bersifat kharismatis teologis sebagai ciri pemikiran makkiyah dan melahirkan kesadaran dan ketundukan secara sukarela, maka konsep kekuasaan lebih bersifat rasionalistik dan sistemik sebagai ciri pemikiran madaniyah dan melahirkan pemaksaan kekuasaan terhadap rakyat. Arkoun tidak setuju masyarakat yang bersifat taqlid terhadap status quo dan harus bersifat oposisi loyal. Arkoun mengkritik penggunaan istilah-istilah politik yang dominatif dan hegemonik seperti terminologi baiat, wakil Allah di dunia (khalifah fil-ard), al- Mu‟tasim, al-Mutawakkil, bilah, yang digunakan oleh dinasti-diansti Islam klasik.

Arkoun menawarkan enam pemikiran Islamologi terapan (empirisme Islam), pertama , perlu mengenalkan isi obyektif al-Quran serta pemikiran para pendiri tradisi Islam. Kajian tidak boleh netral seperti Islamolog Barat klasik dan tidak bebas nilai. Kedua , meninggalkan episteme abad pertengahan muslim, serta menggunakan episteme modern seperti di Barat dewasa ini ilmu sosial modern telah menghancurkan saintifik Barat sebelumnya. Ketiga, studi fenomena agama tidak dibatasi pada satu agama tertentu belaka seperti yang dikaji di Barat. Keempat, tidak apriori kepada kebudayaan orang lain seperti yang tercermin dalam konflik Arab-Yahudi, atau konflik peradaban ala Huntington. Kelima, Islamologi terapan merupakan suatu paraktik ilmiah pluridisiplinir. Pendekatan penelitian agama tidak bisa dipisahkan dari psikoanalisis, psikologi, sejarah, sosial, budaya dan sebagainya. Islamologi terapan harus terbuka pada kritik karena tidak ada suatu metodologi pun yang bersifat sempurna (Azhar, 1997).

Selanjutnya Nurcholish Madjid, memberikan komentar bahwa kalau ada di antara umat Islam yang merasa wajib untuk membentuk negara dan pemerintahan, maka kewajiban itu bukanlah atas dasar perintah nash yang tegas, melainkan semata- mata atas dasar ijtihad dan pemikiran rasional. 69 Komentar Nurcholish Madjid tersebut, kelihatannya berdasar pada QS. al-Nisâ (4): 59

69 Nurcholish Madjid, “Cita-cita Politik Kita” dalam Bosco dan Dasrizal (ed), Aspirasi Umat Islam Indonesia (Jakarta: Lappenas, 1983), hlm. 4

„Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…‟

Integrasi ke-Islaman dan ke-Indonesiaan semakin konkrit, ketika Nurcholish Madjid menjelaskan hubungan Islam dengan ideologi Pancasila. Nurcholish Madjid berpendapat, bahwa kaum muslimin Indonesia menerima Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara dengan pertimbangan yang jelas. Kedudukan Pancasila dan UUD 1945, menurutnya sama kedudukan dan fungsi dokumen politik pertama dalam sejarah Islam, yaitu Piagam Madinah, dan umat pada masa Rasulullah saw menerima konstitusi Madinah dalam rangka menyetujui kesepakatan bersama dalam membangun masyarakat politik bersama. Atas pemikiran tersebut, tampaknya tidak perlu merasa risau ketika pemerintah Orde Baru memberlakukan Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1985 tentang Keormasan, antara lain menetapkan keharusan penlabelan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi kemasyarakatan, ia hanya menfilterisasi kekhawatiran sebagai umat Islam yang melihat pemberlakuan undang- undang tersebut dapat mereduksi peranan agama Islam yang justru pemanfaatan simbolisme formal agama menjadi kurang, dan pada waktu itu Nurcholis Madjid memunculkan idenya pada tahun 1970- an dengan slogan “Islam Yes, partai Islam No!”.

Lain halnya dengan Harun Nasution yang menyatakan, bahwa ada dua argumentasi yang mewajibkan membentuk khilâfah atau pemerintahan. Pertama , Ijma‟ para sahabat se peninggal Nabi saw, dan ijma‟ tersebut kemudian diikuti dengan kesepakatan umat Islam. Kedua, peraturan hukum haruslah berlaku dalam masyarakat,

dan untuk itu diperlukan adanya pemerintahan. 70 Golongan yang berpendapat tidak wajib membentuk khilâfah menurut Harun Nasution didasarkan pada anggapan bahwa

yang terpenting adalah berlakunya keadilan dalam masyarakat. Apabila semua itu berjalan dengan baik, maka pemerintah dengan sendirinya tidak diperlukan. Lebih lanjut Harun Nasution menyatakan, bahwa tidak ada satu pun dalil yang menjelaskan tentang keharusan mendirikan negara Islam, bahkan soal negara saja tidak ada ayat atau hadis yang secara tegas menyebutkan pembentukan pemerintahan atau negara di dalam Islam, karena jika terdapat suatu keharusan adanya sistem pembentukan negara, maka persoalan selanjutnya adalah bagaimana bentuk dan susunan negara itu, bagaimana pula system dan mekanisme pemerintahannya serta bagaimana warga negara yang bukan muslim dan sebagainya.

Namun demikian, meski tidak ada kewajiban membentuk negara Islam, sebagai masyarakat yang bernegara hendaknya dapat membentuk masyarakat yang Islami, yang mampu mengikuti perkembangan zaman, bukan sebaliknya sebagaimana kondisi sosial yang mengikuti perkembangan modern yang merupakan suatu refleksi dari trend

modernitas, sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok Neo-Tradisionalisme. 71

70 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Cet. X; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 1.

71 Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Membumikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 94.

d. Tipologi Dan Karakteristik Pemerintahan dalam Islam Islam berbeda dari sistem social lainnya seperti yang telah dijelaskan di atas. Jika sistem sosial lain berasal dari bentukan sistem sosial ciptaan manusia, sistem Islam tidak demikian. Sistem Islam berasal dari suatu sumber yang tetap adanya, tidak berubah ubah sepanjang masa. Yaitu, system Islam berpatokan pada wahyu Tuhan.

Baik dari segi asas yang mendasarinya, segi pemikiran dan pemahaman, segi standar dan hukum-hukumnya untuk mengatur berbagai urusan, maupun dari segi bentuknya yang mencerminkan sebuah sistem Islam; sesungguhnya sistem Islam berbeda dengan seluruh bentuk sistem selainnya yang dikenal di seluruh dunia.

Islam adalah sebuah sistem yang bukan hanya sebatas agama. Islam adalah sebuah tatanan luas yang mengatur segala aspek kehidupan yang mencakup ilmu, pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, militer, dan

hukum. 72 Dalam lingkup khazanah keilmuan Islam, konsep negara selalu mendapatkan

tempat yang istimewa. Hal ini terlihat sejak awal perkembangan ilmu politik, dimana negara telah menjadi salah satu kajian yang dipandang cukup penting dan sentral. 73

Salah satu pemikir berpengaruh di dunia Islam, Ibnu Khaldun, membagi proses pembentukan kekuasaan politik (siyâsah) atau pemerintahan menjadi tiga jenis. Pertama, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas naluri politik manusia untuk bermasyarakat dan membentuk kekuasaan. Kedua, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya didasarkan atas pertimbangan akal semata dengan tanpa berusaha mencari petunjuk dari cahaya ilahi. Ia hanya ada dalam spekulasi pemikiran para filosof. Ketiga, politik atau pemerintahan yang proses pembentukannya dilakukan dengan memperhatikan kaidah-kaidah agama yang telah digariskan oleh shari‟ah. Politik ini didasarkan atas keyakinan bahwa Tuhan sebagai pembuat shari ‟ah adalah yang paling tahu maslahat yang diperlukan manusia agar mereka bisa bahagia di dunia dan akhirat. Ibnu Khaldun menyebut jenis yang pertama

dengan sebutan al-mulk al- 74 thabi‟iy yang kedua dengan sebutan al-siyâsah al-madaniyah dan yang ketiga dengan sebutan al-siyasah al-diniyah atau 75 syar‟iyyah.

Pada perkembangan berikutnya, kajian-kajian tentang negara dan kaitannya dengan agama, selalu mendapat porsi lebih khusus. Inilah yang menyebabkan munculnya kesepakatan para ulama yang mewajibkan adanya pemerintahan, mekipun kajian klasik dan kontemporer punya pendapat yang beragam mengenai bentuk pemerintahan itu. Kewajiban ini didasarkan pada :

72 Rudiana, Islam Sebuah Sistem Kehidupan Bernegara, Jurnal Ilmu Pemerintahan, CosmoGov, Vol.1 No.1, April 2015, ISSN 2442-5958, hlm. 189.

73 Heinz Eulau, “Ilmu Politik”, dalam Bert F. Hoselitz, (Ed.), Panduan Dasar Ilmu-Ilmu Sosial, hlm. 7-8

74 Ibn Khaldun, Muqaddimah, teksnya berbunyi al- mulk manshibun hab‟iyyun li al-insân li annâ qad bayyannâ anna al-basyar la yumkinu hayâtuhum wa wujûduhum illa bi ijtimâ‟ihim wa ta‟âwunihim…wa ihtâjû

min ajli dzâlika ila al- wâzi‟ wa huwa al-hâkim „alaihim. hlm.. 187. Dalam teks lain dikatakan: al-Mulk althabi‟iy huwa hamlu al- kâffah „ala muqtadla al-ghardli wa al syahwah wa al-siyâsi wa huwa hamlu al-kâffah „ala muqtadla al-nazhri al-aqliyyi fi jalbi al-mashâlih al- dunyâwiyyah wa daf‟u al-madlâr hlm..191.

75 Rijal Mumazziq Zionis, Konsep Kenegaraan Dalam Islam Perdebatan Relasional Yang Tak Kunjung Tuntas, JURNAL FALASIFA. Vol. 1 No. 2 September 2010, hlm. 114.

a) Ijma shahabat,

b) Menolak bencana yang ditimbulkan oleh keadaan yang ka-cau balau akibat tidak adanya pemerintahan,

c) Melaksanakan tugas-tugas keagamaan,

d) 76 Mewujudkan keadilan yang sempurna. Para pemikir politik Sunni berpadangan bahwa masalah kepemimpinan

merupakan masalah keduniawian. Oleh karena itu, kewajiban mengangkat pemimpin politik ditentukan oleh kesepakatan kaum Muslimin ( ijma‟), berdasarkan pertimbangan wahyu (agama). Penentuan pengganti Nabi diserahkan kepada kaum Muslimin, bukan ditentukan oleh wahyu .

Ada tiga tipologi pemikiran dalam melihat relasi Islam dan bentuk pemerintahan, yakni bentuk pemerintahan Teo-Demokrasi, sekuler dan moderat (Kamil, 2013: 21). Tipologi Teo-Demokrasi melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah) . Pandangan ini menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan antara Islam dan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara benar-benar organik dimana negara berdasarkan syariah Islam dan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif bahkan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama yang sempurna, Islam tidak hanya sebagai agama seperti pengertian Barat yang sekuler, tetapi suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan tak terkecuali masalah politik. Adapun tokoh yang termasuk dalam tipologi ini adalah Rasyid Ridha (1865-1935), Sayyid Qutb (1906-1966, Abu al- A‟la al-Maududi (1903- 1979), dan di Indonesia Muhammad Natsir.

Khusus Indonesia, Muhammad Natsir menyatakan bahwa Islam lebih dari sekedar sistem agama, tetapi suatu kebudayaan yang lengkap. Negara adalah dua entitas relegio-politik yang menyatu. Konstruk negara yang dicita-citakan Islam adalah negara yang berfungsi menjadi alat Islam yang secara formal mendasarkan Islam sebagai ideologinya. Ia berfungsi mengawasi berlakunya nilai-nilai Islam dan menjunjung tinggi supremasi hukum Islam (Effendi, 1998).

Kedua , tipologi Sekuler. Menurut tipologi ini, Islam adalah agama yang tidak berbeda dengan agama lainnya dalam hal tidak mengajarkan cara-cara peraturan tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu persoalan negara adalah persoalan

sekuler (duniawi) yang pertimbangannya adalah akal dan moralitas (kemaslahatan) kemanusiaan yang bersifat duniawi semata. Negara tidak harus diatur agama, demikian juga negara tidak boleh intervensi masalah agama karena agama dalam persoalan pribadi dan keluarga. Pemikir yang masuk dalam tipologi ini adalah Ali Abd al-Raziq (1888-1966), A. Luthfi Sayyid (1872-1963), dan di Indonesia Soekarno (1901-1970).

Tipologi ketiga adalah tipologi moderat. Tipologi ini menolak pendapat bahwa Islam adalah agama yang lengkap yang mengatur semua urusan termasuk politik. Tetapi menolak juga pendapat kedua bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan politik (Kamil, 2013). Kendati Islam tidak menunjukkan preferensi pada sistem politik tertentu, namun dalam Islam terdapat prinsip-prinsip moral dan etika bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara dimana umat Islam bebas memilih sistem mana yang terbaik. Tokoh yang

76 Hasby Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, hlm. 50-57 76 Hasby Ash-Shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, hlm. 50-57

VI. Islam dan Demokrasi dalam Pandangan Pemikiran Politik Islam Prinsip demokrasi dalam al-Qur ‟an begitu kuat. Yang diperlukan adalah

reformulasi dan reinterpretasi. Persoalan mendasar dalam melihat hubungan antara Islam dan demokrasi adalah keyakinan bahwa tuhan yang berkuasa mutlak (QS. Ali Imran: 26).

Dalam khazanah pemikiran Islam klasik dan pertengahan, civil society bisa disimpulkan sejalan. Sejalan dengan konsep Ibn Hazm yang mengharuskan penguasa lalim diturunkan, konsep amar ma‟ruf mahyi munkar (check and balances), amanah (akuntabilitas) serta kecaman Islam pada masyarakat muslim yang membebek pada kekuasaan. Meski tidak persis sama dan tidak seluruh periodisasi sejarah, paling tidak ada beberapa praktik politik yang bisa dijadikan akar untuk dijadikan contoh civil society dalam dunia Islam. Kebebasan mengkritik juga dijamin dalam Islam misalnya prinsip amar ma‟ruf nahyi munkar (QS. Ali Imran: 104). Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dikatakan bahwa jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran pada penguasa yang zalim. Disamping itu terdapat jaminan kebebasan berpendapat (QS. As- Syura: 38, Annisa: 59 dan 83).

Terdapat perbedaan di kalangan pemikir politik Islam menyikapi konsep Demokrasi dalam wacana partai politik dan negara Islam. Kalangan yang menerima demokrasi berpandangan bahwa hal itu bukan sebagai problem yang harus dipermasalahkan. Dr. Yusuf Qaradhawi (1997) berpendapat bahwa substansi demokrasi sejalan dengan Islam karena Islam dan demokrasi sama-sama menolak diktatorisme. Huwaidi (1996) menyatakan, dalam Islam terdapat konsep penyelenggaraan kekuasaan dengan prinsip amanah, musawah, „adalah, syura‟, ijma‟, dan baiat.

Muhammad Muslehuddin memberikan argumentasi bahwa Syura‟ adalah prosesi yang wajib dalam sebuah negara, sekalipun pada awalnya perintah Allah SWT di dalam Q.S ash-Shurâ (42): 38 dan Ali-Imran (3):159, yang direkomendasikan dan di alamatkan kepada Rasulullah SAW, namun hal itu pada dasarnya adalah untuk umat manusia. 78 Karena hal demikian menjaga kemaslahatan umum yang berdasarkan keadilan dan

kemanfaatan serta sadd az- 79 zari‟ah (mencegah kerusakan). Konsep Syura‟, tentu dalam konteks prinsip kenegaraan Islam sangat terkait erat

dengan upaya penyelenggaraan pemerintahan yang baik, mengayomi kehidupan umat, dan melayani umat menuju kemaslahatan bersama (al-maslahat al-ammah). Demikian pula yang diungkapkan oleh Syathibi, bahwa unsur utama dari teori hukum (selain Al-

77 Muhammad Zulifan, Politik Islam di Indonesia: Ideologi, Transformasi Dan Prospek Dalam Proses Politik Terkini, Politik Indonesia: Indonesian Political Science Review 1, 2016, hlm. 184.

78 Muh. Muslehudin, Islam and its Political System, Cet-1, (New Delhi: International Islamic Publication, 1992), hlm. 103.

79 Nourozzaman Shiddiqie, Fiqih Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 68-69.

Qur‟an dan As-Sunnah) adalah seperti ijma‟ dan kemaslahatan orang banyak. Hal ini dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip yang universal (Kulliyat). Prinsip-prinsip yang bersifat umum inilah yang membentuk dasar- dasar syari‟ah yang bersumber dari

kumpulan prinsip-prinsip khusus (juziyyat). 80 Sementara itu, Imam as-Subki mengemukakan bahwa hubungan pemimpin dan

rakyat dalam sistem pemerintahan adalah berdasarkan keadilan, persamaan, dan mendahulukan suatu perkara yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat umum, yang

semuanya itu adalah landasan dari sebuah kemaslahatan. 81 Dalam mewujudkan konsepsi tersebut, tentu dibutuhkan sarana atau cara untuk menjembataninya, yang dalam Islam

dapat diwujudkan dalam bentuk musyawarah (syura). Konsep syurâ termasuk dalam prinsip-prinsip dasar berkaitan dengan negara dan pemerintahan (as-siyasah asy- syar‟iyah) serta hubungannya dengan kepentingan rakyat. 82 Konsep ini meliputi tiga aspek utama,

yaitu: 1) Dusturiyyah (tata negara), yang meliputi aturan pemerintah, prinsip dasar yang berkaitan pendirian suatu pemerintahan, aturan yang berkaitan dengan hak-hak pribadi, masyarakat, dan negara; 2) Kharijiyyah (luar negeri), meliputi hubungan negara dengan Negara lainnya, kaidah yang mendasar hubungan ini, dan aturan berkenaan dengan perang dan perdamaian; dan 3) Maliyyah (harta), meliputi sumber-sumber keuangan dan pembelanjaan negara. 83

Istilah Syura‟ atau musyawarah sebenarnya berasal dari bahasa Arab, dari kata syura‟ yang berarti sesuatu yang tampak jelas. Di dalam Al- Qur‟an, beberapa ayat yang akar katanya merujuk pada syura atau musyawarah, yaitu surat al-Baqarah (2) ayat 233, surat an-Nisa (4) ayat 34, surat Ali Imran (3) ayat 159, dan surat asy-Syura (42) ayat 38.

Ayat-ayat yang berhubungan dengan musyawarah ini menunjukkan suatu perintah bahwa musyawarah merupakan kewajiban hukum bagi kaum muslimin dan dasar pemerintahan. 84 Selain itu, kata syura memiliki asal kata kerja syawara-yusyawiru- musyawaratan, yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan, dan mengambil sesuatu. Sedangkan tasyawara berarti berunding atau saling bertukar pendapat. 85

Menurut Louis Ma‟luf sebagaimana dikutip Hasbi Amiruddin, syura secara etimologis berarti nasehat, konsultasi, perundingan, pikiran atau konsideran

permufakatan. Secara terminologi berarti majelis yang dibentuk untuk mendengarkan

80 Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam, terj. E. Kusnadiningrat dan Abdul Haris, Cet-1, Raja Grafindo, Jakarta 2000, hal. 256. Imam al-Ghazali berpendapat bahwa tujuan hukum dalam menuju

kemaslahatan harus mementingkan 5 (lima) aspek, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, Lihat pula Abdul Aziz Dahlan dkk, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996, hlm. 1144.

81 Imam Jalaluddin Abdurrahman Ibn Abi Bakar al-Suyuti, al-Asybah wa an-Nazair Fi al- Furu', Dar al-Fikr, Beirut, 1995 M/1415 H, hlm. 84-85.

82 As-Siyasah asy-Syar'iyyah (Ilmu Politik Hukum Islam) adalah ilmu yang membahas tentang undang-undang dan sistem pemerintahan Islam yang sesuai dengan dasar-dasar Islam meskipun tidak ada

dalil khusus yang mengaturnya. Abdul Wahab Khallaf, Politik Hukum Islam, Terj. Zainuddin Adnan, Cet- 1, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994, hal. viii.

83 Lukman Santoso, Prinsip Syura Dalam Konstitusional Islam, As-Salam, Vol III, No.1, Th 2013, hlm. 46-47.

84 Muhammad Alim, Asas-asas Negara Hukum Modern Dalam Islam, Penerbit LkIS, Yogyakarta, 2010, hlm. 160.

85 Kafrawi Ridwan dkk. (ed.), Ensiklopedi Islam, jilid 5, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 18.

saran dan ide sebagaimana mestinya dan terorganisir dalam masalah-masalah kenegaraan. Termasuk juga saran-saran yang diajukan untuk memecahkan suatu masalah sebelum sampai kepada konklusi bagi keputusan-keputusan konstitusional. 86

Definisi lain tentang syurâ dijelaskan oleh Tahir Azhary, bahwa syura dapat diartikan sebagai forum tukar menukar pikiran, gagasan atau ide, termasuk saran-saran yang diajukan dalam memecahkan sesuatu masalah sebelum pada suatu pengambilan keputusan. Dilihat dari sudut kenegaraan, maka musyawarah adalah suatu prinsip konstitusional dalam demokrasi Islam yang wajib dilaksanakan dalam suatu pemerintahan dengan tujuan untuk mencegah lahirnya keputusan yang merugikan kepentingan umum atau rakyat. 87

Mengenai hubungan Islam dengan demokrasi, terdapat dua problem. Pertama, problem filosofis, yakni jika klaim agama terhadap pemeluknya sedemikian total, maka akan menggeser otonomi dan kemerdekaan manusia yang berarti juga menggeser prinsip-prinsip demokrasi. Kedua, problem histotis sosiologis, yakni ketika kenyataannya peran agama tidak jarang digunakan oleh penguasa untuk mendukung kepentingan politiknya.

Nilai demokrasi ada yang bersifat pokok dan ada yang bersifat derivasi atau lanjutan dari pokok itu. Ada tiga nilai pokok demokrasi yaitu, keadilan, kebebasan, dan musyawarah 88 . Keadilan merupakan landasan demokrasi dan peluang bagi semua orang untuk mengatur kehidupannya sesuai keinginannya. Perintah untuk menegakkan

keadilan, antara lain terdapat dalam QS. al-Mâidah (5): 8 م م َمݠكݞ َ َناݠك لܯ݆ۡٱ َ هناݠك لܯۡ݇م َ َ لَٓ م ملَل ۡݠمݏَكغܛ َ منمشَ ۡݗك ݜمݘلܱۡ َموَ مَُ مَمو َ َ لܿ ۡسلݐ ۡݕٱ َلܝَم٨ هامܯمݟكشَل لَّ ميلݘٰ ومݏَناݠكݛݠكݒَناݠكݜمݘام٨ َ َمݚيل َٱ َ ܛمݟُ أٓ مي م َ ٨ َمغݠكݖمݙۡ݇م َܛمݙلܝَۢكرلܞمخ َ َم ّٱ َ غلإ َ َهم ّٱ َ َناݠكݐ ٱ َموَٰۖىمݠۡݐ ܢݖل َ كبمܱۡݏ أ

“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekalikali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Berkenaan dengan ayat di atas Muhammad Rasyid Ridha menyatakan, bahwa menetapkan keadilan bisa melalui kekuasaan umum, peradilan dan tahkim dalam kasus- kasus tertentu. Artinya, dalam negara yang berdemokrasi, “keadilan” harus ditegakkan. Para pejabat negara harus menempatkan dirinya pada posisi lurus, seimbang, dan jujur baik perkataan dan tindakan maupun sikap, hati, dan pikirannya, dan melihat orang yang menuntut keadilan dalam posisi persamaan dengan berpegang teguh pada kode

etik menegakkan keadilan. 89

86 M. Hasbi Amiruddin, Republik Umar Bin Khattab, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2011), hlm. 36.

87 M. Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya di Lihat dari Segi Hukum Islam Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Cet. Ke-1 (Jakarta: Bulan Bintang, 1992),

hlm. 83. Lihat lengkap: Lukman Santoso, Prinsip Syura‟ Dalam Konstitusional Islam, As-Salam, Vol III, No.1, Th 2013, hlm. 46-48.

88 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara dan Kebudayaan (Depok: Desantara, 2001), hlm. 90. 89 Mahmud Ishak, Hubungan Antara Agama Dengan Negara Dalam Pemikiran Islam, Tahkim

Vol. X No. 2, Desember 2014, hlm. 124.

Dengan adanya keadilan, terwujud pula kebebasan, yakni kebebasan individual dihadapan kekuasaan negara, atau hak-hak individu sebagai warga negara dan hak kolektif dari masyarakat.

Ayat yang terkait dengan masalah kebebasan dalam konsep negara yang berdemokrasi, antara lain terdapat dalam QS. al-Kahfi (18): 29

„Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.‟

Berkenaan dengan ayat di atas, terbukti bahwa meskipun para Rasul Allah menghendaki seluruh umatnya beriman, namun sebagian besar manusia tetap tidak beriman, sebagaimana dalam QS. Yûsuf (12): 103

„Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.‟

Kedua ayat tersebut, melegalisasikan tentang adanya kebebasan beragama dalam sebuah negara. Setiap orang diberi hak kebebasan untuk memilih agama yang dikehendakinya. Artinya, Islam sejak kedatangannya telah mengundangkan “toleransi” dan kebebasan beragama, dan Nabi saw sendiri telah mempraktekkan ketika ia membangun negara Madinah. Masalah kebebasan beragama termaktub pula dalam

“Piagam Madinah”. Dalam The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World disebutkan, bahwa salah satu item terpenting dalam “Piagam Madinah” adalah memberi

jaminan kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas dan mewujudkan kerja sama seerat mungkin dengan sesama kaum muslimin. 90 Kebebasan

beragama merupakan hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi. Di dalam Encyclopedia Internasional dikatakan, bahwa hak-hak asasi manusia adalah hak-hak dasar dan kebebasan fundamental manusia baik laki-laki maupun perempuan yang diakui di dunia, tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.

Kebebasan mengkritik juga dijamin dalam Islam misalnya prinsip “amar ma‟ruf nahyi munkar” (QS. Ali Imran: 104). Dalam hadits riwayat Ibnu Majah dikatakan bahwa jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran pada penguasa yang zalim. Disamping itu terdapat jaminan kebebasan berpendapat (QS. As-Syura: 38, Annisa: 59 dan 83; kebebasan berserikat dalam al-Maidah ayat 2, al-Mujadilah: 22 dan kebebasan beragama dalam QS. al-Baqarah ayat 256 dan Yunus ayat 99 (Pulungan, 1994).

Disamping kebebasan beragama, masyarakat juga diberikan kebebasan berpendapat sesuai koridor hukum dan prosedur yang berlaku, yaitu melalui

91 “musyawarah”, 92 atau syûra. Di dalam forum musywarah ini, mereka dengan sebebas-

90 The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World (New York: Oxford University Press, 1995), hlm. 51.

91 Istilah musyawarah berasal dari bahasa Arab, yakni musyâwarat yang merupakan bentuk mashdar dari kata kerja syâwara, yusyâwiru , berarti “menampakkan dan menawarkan serta mengambil

sesuatu”. Makna yang terakhir terdapat dalam ungkapan syâwartu fulânan fî amri (saya mengambil pendapat si Fulan mengenai urusannku). Lihat Abû Husain bin Fâris bin Zakariyah, Mu‟jam Maqâyis al-

Lughah , Jilid III (Mesir: Mushthâfa al-Bâbi al-Halabi, 1972), hlm. 226117. 92 Syûra berarti “dirundingkan, permusyawataran, hal bermusyawarah konsultasi”. Istilah ini juga

berasal dari kata syâwara-yusyâwiru. Bentuk lain adalah asyâra (memberi isyarat), syâwir (mintalah berasal dari kata syâwara-yusyâwiru. Bentuk lain adalah asyâra (memberi isyarat), syâwir (mintalah

„…. dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang- orang yang bertawakkal kepada- Nya.‟

Berkenaan ayat di atas, Ibnu „Athiyyah menyatakan sebagaimana dinukil al- Qurthûbi bahwa salah satu kaidah syariat dan ketentuan hukum yang harus ditegakkan

adalah musyawarah. Barang siapa yang menjabat kepala negara, tetapi tidak mau bermusyawarah dengan ahli ilmu dan agama haruslah ia dipecat. 93

Dalam musyawarah, setiap orang yang ikut bermusyawarah akan berusaha mengemukakan pendapat yang baik, sehingga diperoleh pendapat yang dapat menyelesaikan problem yang dihadapi. Pelaksanaan musyawarah merupakan penghargaan kepada tokoh-tokoh dan para pemimpin masyarakat, sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam berbagai urusan dan kepentingan bersama. Dengan demikian, pelaksanaan musyawarah merupakan penghargaan kepada hak kebebasan mengemukakan pendapat, hak persamaan, dan hak memperoleh keadilan setiap individu. Inilah inti demokrasi dalam perspektif Islam.

Demokrasi yang telah diterapkan oleh Nabi saw di negara Madînah, mendapat pengakuan dari segenap pakar, termasuk Rober N. Bellah, seorang pemikir sosiologi agama menyatakan bahwa;

… there is no question but that under Muhammad, Arabian spsiety made a remarkable leap forward in social complexity and political capacity. When the strukture that took shape under the prophet was extended by the early caliphs to provide the organizing principle for a world empire, the result is something in the high degree of commitment, involmement, and participation expected from the rank-and-file members pf the community. It is modern in the openess of its leadership position to ability judged on universalistic grounds and

syimbolized in the attempt 94 to institutionalize a non hereditary top leadership”. „… tidak diragukan lagi, bahwa di bawah pimpinan Muhammad saw, masyarakat

Arabia telah membuat lompatan ke depan luar biasa dalam kompleksitas sosial dan kapasitas politik. Ketika struktur yang telah mulai terbentuk di bawa pimpinan nabi kemudian dikembangkan oleh para khalifah pertama untuk menyediakan dasar penyusunan emperium dunia, hasilnya ia lah sesuatu yang untuk masa dan tempatnya luar biasa modern. Ia modern dalam hal tingkat komitemn, keterlibatan dan partisipasi yang tinggi, yang diharapkan dari semua lapisan anggota masyarakat. Ia modern dalam hal keterbukaan posisi kepemimpinannya terhadap kemampuan yang dinilai menurut ukuran-ukuran

pendapat). Jadi, musyâwarah atau syûra berarti merundingkan atau meminta dan bertukar pendapat mengenai suatu perkara.

93 Abû „Adillah Muhammad bin Ahmad al-Qurthûbi, Jâm‟ al-Ahkâm al-Qur‟ân al-Karîm, Jilid XXV (Kairo: Dâr al- Sya‟b, t.th), hlm. 47.

94 Robert N. Bellah, “Islamic Traditions and Problems of Modernization”, dalam Robert N. Bellah (ed), Beyond Belief (New York: Harper and Row, 1976), hlm. 150-151.

universal, dan dilambangkan dalam usaha untuk melembagakan kepemimpinan puncak yang tidak bersifat warisan.‟

Kutipan di atas memberi pemahaman bahwa negara Madinah yang dipimpin oleh Nabi saw merupakan gambaran negara demokratis seperti dalam konsep-konsep sosial politik modern. Dalam hal ini, Abraham Lincolum (negarawan Amerika)

mengistilahkan demokrasi sebagai 95 “government of the people, by the people, for the people”. Sifat dan ciri khas demokrasi seperti ini, yang egaliter dan partisipatif itu telah tampak

dalam berbagai keteladanan Nabi saw sendiri. Demikian pula dalam keteladanan para khalifah yang bijaksana (khulafâ‟ alrâsyidûn).

Menurut Nurcholis Madjid, demokrasi sebagai suatu ideologi tidak hanya karena pertimbangan-pertimbangan prinsipil yaitu karena nilai-nilai demokrasi itu dibenarkan dan didukung semangat ajaran Islam, tetapi juga karena fungsinya sebagai aturan

permainan politik yang terbuka. 96 Argumen yang menunjukkan kesesuaian Islam dan demokrasi adalah penolakan

Islam terhadap kediktatoran Namrudz dan Firaun (QS.al-Baqarah: 258 dan ad-Dukhan: 31); pemilu sebagai kesaksian rakyat (al-Baqarah 282-283), pengecaman terhadap rakyat yang hanya membebek saja (QS. Al-Qashash: 8, 24), negara Islam menjunjung tinggi “toleransi” dan pluralitas sebagai sunnatullah (Qs. Al-Baqarah 256, Huud: 118 Yunus: 99).

Islam mengenal system penerimaan rakyat yang disebut baiat . Kata Nabi, “ada tiga orang yang shalatnya tidak terangkat sejengkalpun di atas kepalanya, salah satunya

orang yang mengimami shalat suatu kaum, sedang mereka membencinya”. 97 Berdasar hadits ini, salah satu ukuran demokrasi adalah pada tingkat aspiratifnya.

Suatu Negara dikatakan demokrasi sejauh ia mencerminkan aspirasi rakyatnya, termasuk di dalamnya tidak bertentangan dengan sistem kepercayaan (agama) yang dianutnya sebagaimana yang berlaku di Amerika Serikat dengan konsep WASP (White, Anglo Saxon, and Protestan).

Demokrasi ditolak oleh elit di negara muslim karena efektivitas demokrasi terhadap keutuhan bangsa. Demokrasi dianggap melahirkan kekacauan sosial, clean governance yang tidak kunjung tiba sebab maraknya praktik politik uang (korupsi) dan kolonisme akibat balas budi terhadap mereka yang berjasa dalam pemilihan presiden atau pilkada langsung. Hal utama penolakan tersebut disebabkan karena demokrasi tidak membawa pada peningkatan kesejahteraan ekonomi (Kamil, 2013).

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa pemikiran tentang hubungan Islam dengan demokrasi, terletak pada adanya gagasan dalam Islam tentang persamaan derajat (almusâwah), yakni suatu perlakuan yang sama di hadapan hukum, penegakan keadilan dengan tanpa pandang bulu (al- „adâlah), serta kebebasan berekspresi (al-hurriyah) melalui musyawarah. Gagasan dan sistem demokrasi yang demikian, tidak terlepas dari akomodir dari nilai-nilai agama. Bahwa, manusia mengakui dan

95 William Ebestein “Democracy” dalam William D. Halsey dan Bernard Johnston (ed) Collier Encyiclopedia , Vol VII (New York: Macmillan Educational Company, 1988), hlm. 75.

96 Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan (Jakarta: Paramadina, 1998), h. xviii. 97 HR. Ibnu Majah I/311 No. 971 96 Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan (Jakarta: Paramadina, 1998), h. xviii. 97 HR. Ibnu Majah I/311 No. 971

Penegakan keadilan, persamaan hak dan pertanggung jawaban pemerintahan kepada rakyat sebagai pilar-pilar demokrasi merupakan interpretasi real dari nilai-nilai Islam. Nilai-nilai demokratisasi dalam aplikatifnya harus ditopang oleh realisasi penerapan HAM, guna memanusiakan manusia di hadapan Tuhan. Pola seperti ini sangat relevan dengan esensi Islam yang menginginkan terwujudnya cinta-kasih sesama manusia di sisi-Nya. Pemerintahan yang demokratis, akan menghapus strata sosial masyarakat, mengubur sikap arogansi penguasa, serta mendudukkan hukum di atas segalanya. Proses semacam ini, pada hakikatnya juga bagian dari aplikasi nilai-nilai Islam.

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan, bahwa proses demokratisasi di muka bumi ini merupakan konsekuensi logis dari upaya pembumian nilai-nilai Islam. hakikat demokrasi merupakan aktualisasi interpretasi yang benar atas nilai-nilai pokok Islam. Pemberdayaan atas nilai-nilai demokratisasi sama halnya dengan pengukuhan relasi manusia dengan Tuhan. Karenanya, usaha keras untuk membangun masyarakat yang demokratis tidak kalah urgensinya dengan nilai ibadah semacam shalat dan puasa. Sungguh sangat disayangkan bila ulama dan umara (pemerintah) justru meninggalkan gagasan demokrasi yang ditawarkan oleh agama.