Islamic Politics Economic Politics For W

Islamic Politics, Economic Politics For World Welfare In Perspective Maqasid Ash Shari'ah

Murtahani Arif SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Januari 2018

Email: murtahani.arifsps@uinjkt.ac.id

Abstract

Islam is a plenary religion where in their view the political system and government are part of the religious teachings. Al Mawardi called the function of government is to replace the function of prophethood in order to maintain the religion and govern the affairs of the world. Imam Al Ghazali mentamsilkan religion as the foundation and sulthan (political power) as a guard. Something without foundation will collapse and An unattended base will be lost. So the existence of the government is obligatory according to Shariah law 'and there is no reason to leave it. Islam is believed to be holistic. As a tool for understanding life, Islam is often regarded as something more than a religion. Some see it as a "civil society". There are also those who regard it as a "whole civilization" system.

Ibn Khaldun's political thought of the state is in fact a reflection of the moral concept as shown in Islamic social history, especially during the reign of the Prophet. Ibn Khaldun's core idea of political and state concepts is an attempt to create a religious state order that guarantees the benefit of mankind. Sunni political thinkers have argued that leadership issues are a worldly matter. Therefore, the obligation to appoint political leaders is determined by the agreement of the Muslims (ijma '), based on the consideration of revelation (religion). Even Ibn Khaldun provides a prerequisite for a leader who is so strict as to require a leader to have a philosophical personality. With such personality, will be able to meet the criteria of ideal leaders, namely leaders who are able to create peace and prosperity of the world.

In the context of Dharuriyah, in particular "guarding the state," Islam obliges Muslims to have a state that governs them with laws that Allah has revealed and develops Islamic treatises to mankind, in other words having a state in charge of its affairs with Islam which it believes to be an aqeedah and life system. The relationship between Maqashid Shari'a and mashlahah is very closely related, since the purpose of the maqashid of shari'a itself is to achieve mashlahah (welfare). So it is evident from the concept of Maqashid al-Shariah, it is very clear that the correlation between economic politics, Islamic politics has the same goals and principles for the purpose of creating "prosperity".

Keyword: Islamic Politics, Political Economy, Maqashid Asy Shari'ah, Ibn Khaldun Conditional Leader Ideal Personality philosof, Welfare

Politik Islam, Politik Ekonomi Untuk Mensejahterakan Dunia Dalam Perspektif Maqasid Asy Sy ari’ah

Murtahani Arif SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Januari 2018

Email: murtahani.arifsps@uinjkt.ac.id

Abstract

Islam adalah agama paripurna dimana dalam pandangan mereka sistem politik dan pemerintahan adalah bagian dari ajaran agama. Al Mawardi menyebut fungsi pemerintahan adalah untuk mengganti fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur urusan dunia. Imam Al Ghazali mentamsilkan agama ibarat pondasi dan sulthan (kekuasaan politik) sebagai penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh dan Suatu dasar tanpa penjaga akan hilang. Jadi keberadaan pemerintah wajib menurut hukum syari‟ah‟ dan tidak ada alasan untuk meninggalkannya. Islam dipercaya yang bersifat holistik. Sebagai sebuah alat untuk memahami kehidupan, Islam sering dianggap sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar agama. Ada yang melihatnya sebagai suatu “masyarakat sipil”. Ada juga yang menilainya sebagai suatu sistem “peradaban yang menyeluruh”.

Pemikiran politik Ibn Khaldun tentang negara, sesungguhnya merupakan pantulan konsep moral sebagaimana yang diperlihatkan dalam sejarah sosial Islam, terutama pada masa kepemimpinan Rasulullah. Inti pemikiran Ibn Khaldun tentang konsep politik dan negara merupakan upaya menciptakan tatanan negara yang bernuansa religius yang menjamin kemashlahatan umat manusia. Para pemikir politik Sunni berpadangan bahwa masalah kepemimpinan merupakan masalah keduniawian. Oleh karena itu, kewajiban mengangkat pemimpin politik ditentukan oleh kesepakatan kaum Muslimin (ijma‟), berdasarkan pertimbangan wahyu (agama). Bahkan Ibn Khaldun memberikan prasyarat bagi seorang pemimpin yang begitu ketat dengan mempersyaratkan seorang pemimpin harus berkepribadian filosof. Dengan kepribadian tersebut, akan mampu memenuhi kriteria pemimpin ideal, yaitu pemimpin yang mampu menciptakan perdamaian dan kesejahteraan dunia.

Dalam konteks Dharuriyah, khususnya “menjaga negara”, Islam mewajibkan kepada kaum muslimin agar mereka mempunyai negara yang memerintah mereka dengan hukum yang telah diturunkan Allah dan mengembangkan risalah Islam kepada umat manusia, dengan kata lain memiliki negara yang mengurusi urusannya dengan Islam yang diimaninya sebagai akidah dan sistem kehidupannya. Hubungan antara Maqashid Syariah dengan mashlahah kaitannya sangat erat sekali, karena tujuan daripada maqashid syariah itu sendiri adalah untuk mencapai mashlahah (kesejahteraan). Maka terlihat dari konsep Maqashid al-Syariah, sangat jelas bahwa korelasi antara politik ekonomi, politik islam memiliki tujuan dan prinsip yang sama untuk tujuan menciptakan “kesejahteraan”.

Kata Kunci: Politik Islam, Politik Ekonomi, Maqashid Asy Syari‟ah, Ibn Khaldun,

Syarat Pemimpin Ideal Berkepribadian filosof, Kesejahteraan

I. Pendahuluan

Pembicaraan tentang tema-tema yang terkait dengan Islam, negara, demokrasi, hukum dan politik sebenarnya bukanlah sebuah wacana yang dihembuskan pada abad mutakhir saat ini, melainkan tema yang berkembang sejak ribuan tahun yang silam. Namun, dalam rangka pengembangan dan memperkaya hasanah keilmuan, kajian seperti ini masih tetap eksis dan aktual. Analisis dari berbagai perspektif secara holistik

dan progresif menyebabkan tema-tema tersebut senantiasa relevan dan kontekstual. 1 Secara teologis, Islam adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiah dan

karena itu sekaligus bersifat transenden. Tetapi dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial didalam kehidupan manusia. Islam dalam realitas sosial tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat menzaman dan menjagatraya (universal), tetapi mengejawantahkan diri dalam institusi-instutsi sosial yang dipengaruhi oleh situasi dan dinamika ruang dan waktu. Islam mengandung doktrin atau ajaran yang bersifat universal tadi pada tingkat sosial tidak dapat menghindarkan diri dari kenyataan lain, yakni perubahan. Menurut ajaran Islam sendiri, perubahan sering dikatakan sebagai suatu sunnatullah, yang merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya secara keseluruhan. Semua manusia, kelompok

masyarakat, dan lingkungan hidup mereka mengalami perubahan secara terus menerus. 2 Agama diturunkan bukanlah merupakan pembatas dan penghalang manusia

untuk berbuat kebaikan, saling mengenal dan saling menolong, melainkan sebagai khazanah dan rahmat agar kehidupan manusia dinamis dan tidak monoton. Oleh karena itu, memaksakan suatu agama dengan cara apa pun kepada orang lain selain bertentangan dengan misi dan ajaran agama itu sendiri, juga merupakan sumber konflik dan penderitaan manusia serta kerusakan di muka bumi.

Dengan demikian, komitmen seseorang terhadap suatu agama terletak pada sejauh mana seseorang dalam membangun, berkarya, berperadaban, menjaga dan menyelamatkan kehidupan umat manusia dan lingkungan hidup serta mengembangkan perdamaian di dunia. Agama juga tidak mentolerir bahkan berupaya mcncegah orang- orang yang berbuat kerusakan dan pertumpahan darah yang akan menjatuhkan harkat dan martabat kemanusiaan.

Doktrin yang tidak dapat dipertanggungjawabkan jika misi suatu agama memaksakan seseorang untuk mengikuti agama tertentu. Agama diturunkan bukan untuk mempolarisasi manusia atau untuk menghakimi, melainkan memberi arah pencarian kebenaran yang modelnya mungkin berbeda-beda. Sebaliknya, pemaksaan suatu agama justru dapat menimbulkan persoalan karena dengan cara itu agama bukannya sebagai rnoral atau aset pembangunan melainkan sebagai justifikasi sikap bermusuhan dan pelanggaran terhadap perikemanusiaan. Begitu pula adanya keyakinan terhadap berbagai agama di dunia menjadi bukti yang paling asasi bahwa secara kodrati manusia membutuhkan pedoman hidup yang berdimensi spiritual dan transendental, juga sekaligus membutuhkan tujuan hidup yang paling hakiki yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat (Tabroni dan Arifin,1994:1-2).

1 Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum Dan Politik, ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14, Nomor 1, Juni 2014, hlm. 30.

2 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post- Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 1

Dalam pandangan agama, menurut Watt sebagaimana dikutip Efendi (1996:95), hampir setiap muslim meyakini akan pentingnya prinsip-prinsip Islam dalam kehidupan politik. Akan tetapi bagaimana pendapat ini dituangkan ke dalam bentuk kehidupan politik yang lebih riil masih terdapat perbedaan pendapat. Sejauh yang dapat ditangkap dari perjalanan pemikiran dan aktivitas politik Islam, tidak ada kata sepakat, khususnya menyangkut bentuk dan isi hubungan antara Islam dan sistem politik modern (demokrasi).

Negara dalam pengertian yang sangat sederhana ketika diperlukan untuk mencapai perkembangan manusia dalam peradabannya, terutama keinginan masyarakat untuk mengatur sendiri berbagai kepentingannya, baik politik, ekonomi, maupun social budaya berdasarkan aturan-aturan yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Tampaknya, satu-satunya dasar pertimbangan yang digunakan adalah teori perjanjian masyarakat.

Adapun dalam pandangan Islam, negara adalah suatu kehidupan berkelompok, manusia yang mendirikannya bukan saja atas dasar perjanjian bermasyarakat (kontrak sosial), tetapi juga atas dasar fungsi manusia sebagai khalifah Allah di bumi yang mengemban kekuasaan sebagai amanah-Nya. Oleh karena itu, manusia dalam menjalani hidup ini harus sesuai dengan perintah-perintah-Nya dalam rangka mencapai kesejahteraan, baik di dunia maupun di akhirat (Azhari, 1992:12).

Pandangan tersebut mengisyaratkan pentingnya menegakkan sebuah masyarakat yang adil berdasarkan etika agar manusia dapat mencapai kesejahteraan sehingga dalam menjalankan amanah Allah di muka bumi sesuai dengan dasar dan petunjuk Islam. 3

Ada tiga kelompok pemikiran yang mengemuka dalam dunia Islam terkait hubungan Agama dan Negara. Pertama, kelompok yang memandang bahwa agama dan negara adalah ibarat dua sisi dari satu keping mata uang, satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Mereka berpendapat bahwa negara adalah lembaga keagamaan sekaligus politik. Pendapat kelompok pertama merupakan pendapat jumhur ulama dan kebanyakan kelompok Islam, terutama yang beriktikad ahlus Sunnah wal Jama‟ah (Sunni).

Kelompok kedua menyatakan bahwa negara adalah lembaga keagamaan tapi memiliki fungsi politik. Karenanya seorang kepala negara memiliki kekuasaan agama yang berdimensi politik. Pendapat kedua ini didominasi oleh pemahaman kelompok

Syi‟ah dengan berbagai sektenya. Sama seperti pendapat kelompok sunni, bagi Syi‟ah persolan kepemimpinan atau imamah adalah wajib hukumnya. Hanya saja wajib yang

mereka pahami sangat berbeda dengan wajib yang dipahami oleh sunni. Syi‟ah menganggap wajibnya mendirikan imamah adalah bagi Allah swt bukan atas umat.

Persoalan Imamah bukanlah urusan publik yang diserahkan kepada umat. Sebagaimana Tuhan wajib mengirim nabi, Tuhan juga berkewajiban mengirim pengganti nabi sesudahnya. Dan nabi wajib menentukan imam bagi umat sebelum ia wafat atas perintah Tuhan. Oleh karena itu para imam adalah sama ma‟shumnya dengan para nabi.

3 Nasaruddin, Pemikiran Islam Tentang Hubungan Negara Dengan Agama, Jurnal Hunafa, Vol. 6, No.2, Agustus 2009, hlm. 208.

Bahkan persolan imamah dalam pandangan syi‟ah adalah bagian dari rukun agama dan kaedah Islam. 4

Kelompok ketiga menyatakan bahwa Negara adalah lembaga politik yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama. Kepala negara hanya memiliki kekuasaan politik, atau penguasa duniawi saja. Kelompok ini mulai muncul dalam dunia Islam sejak persentuhan Islam dengan kolonialisme dan sekularisme Barat. Terutama sekali sejak runtuhnya khilafah Islamiyah Turki Utsmani tahun 1924 atas prakarsa Mustafa kemal At-Tartuk. Sejak itu paham sekularisme terus bermunculan di berbagai belahan dunia Islam dengan tokoh semisal Ali Abdur Raziq, Faraj Fodah, Hasan Hanafi, Naser

Abu Zaid, Aminah abdul Wadud, Abdullahi an Na‟im dan lainnya. Dalam pandangan kelompok ini ajaran Islam sama sekali tidak terkait dengan politik dan pemerintahan.

Agama hanya berkisar tentang hubungan manusia dengan tuhannya (tauhid) dan pembinaan akhlak dan moral manusia dalam berbagai aspek kehidupan. 5

Dalam kajian ini, penulis hanya akan fokus pada kerangka pemikiran kelompok pertama yang memandang bahwa agama Islam adalah agama paripurna dimana dalam pandangan mereka sistem politik dan pemerintahan adalah bagian dari ajaran agama. Al Mawardi menyebut fungsi pemerintahan adalah untuk mengganti fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur urusan dunia. 6 Imam Al Ghazali mentamsilkan agama ibarat pondasi dan sulthan (kekuasaan politik) sebagai penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh dan Suatu dasar tanpa penjaga akan hilang. Jadi keberadaan

pemerintah wajib menurut hukum syara‟ dan tidak ada alasan untuk meninggalkannya. 7 Dalam kaitan ini, perlu ditegaskan sebuah pengakuan dari seorang orientalis,

Joseph Schacht sebagaimana dikutip Qardhawy menyatakan bahwa Islam adalah suatu sistem yang integral, yang mencakup agama dan negara sekaligus. 8 Dalam bahasa

Qardhawy, Islam yang benar adalah akidah, ibadah, tanah air dan kebangsaan, toleransi dan kekuatan, moril dan materiil, kebudayaan dan hukum. Meskipun Islam merupakan ajaran yang bersifat universal, menyangkut berbagai sistem kehidupan; sosial, politik, ekonomi, budaya maupun hukum, namun ketika nilai itu dikaitkan dengan suatu negara tertentu, maka ajaran yang bersifat universal tersebut berbenturan dengan budaya dalam masyarakat yang bersangkutan. Indonesia, misalnya, sebagai sebuah negara dimana penduduknya mayoritas beragama Islam, tapi di dalam praktek ideologi bernegara memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat muslim dunia lainnya.

Lazimnya, orang Islam percaya terhadap sifat Islam yang holistik. Sebagai sebuah alat untuk memahami kehidupan, Islam sering dianggap sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar agama. Ada yang melihatnya sebagai suatu “masyarakat sipil”. Ada juga yang menilainya sebagai suatu sist em “peradaban yang menyeluruh”. Bahkan, ada pula yang mempercayainya sebagai “agama dan negara”. Lebih spesifik lagi, Islam tidak

4 Muhammad Abu Zuhrah, Tarikh al Mazahib al Islamiyah fis Siyasah wal „Aqidah, (Beirut: Dar al Fikr al Arabi), tth, hlm. . 59-60

5 H. Mutiara Fahmi, Lc. MA, Prinsip Dasar Konstitusi Negara Dalam Perspektif Al- Qur‟an, pdf. hlm. 476.

6 Al Mawardi, al Ahkam al Sulthaniyah,(Beirut: Dar al Fikr) tth, hlm.3 7 Al Ghazali, al Iqtishad fil I‟tiqad, ( kairo: maktabah al Jund), thn 1972, hlm. 105-106 8 Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara (Jakarta: Robbani Press, 1997), hlm. 24.

mengenal dinding pemisah antara yang bersifat spiritual dan temporal. Sebaliknya, Islam memberi panduan etis bagi setiap aspek kehidupan. 9

Meskipun Islam diyakini memberi pedoman bagi segala aspek kehidupan, khususnya mengenai ketatanegaraan atau politik, ternyata hubungan antara agama dan negara dalam Islam sangat poly interpretable, kaya penafsiran. Dalam Islam, pemikiran politik mengenai hubungan agama dan negara ternyata masih menjadi perdebatan yang hangat di kalangan para ahli. 10 Secara global, hingga kini setidaknya ada tiga paradigma pemikiran tentang hubungan agama dan Negara. 11 Pertama, paradigma yang mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan negara, karena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan. Menurut paradigma ini, secara historis wilayah Nabi Muhammad terhadap kaum Mukmin adalah wilayah risalah yang tidak dicampuri oleh tendensi pemerintahan. Sebagian tokoh terkenal yang mendukung

konsep ini adalah „Ali Raziq dan Thaha Husein. Paradigma kedua menganggap bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang

mencakup segala-galanya, termasuk masalah negara atau sistem politik. Tokoh-tokoh utama dari paradigma ini adalah Hassan al-Banna, Sayyid Quthb, Rasyid Ridha dan tentu saja Abu al- A‟la al-Maududi .

Paradigma ketiga, menolak pendapat bahwa Islam mencakup segala-galanya dan juga menolak pandangan bahwa Islam hanya mengatur hubungan antara manusia dan Penciptanya semata. Paradigma ini berpendapat bahwa Islam memang tidak mencakup segala-galanya, tapi mencakup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan bermasyarakat termasuk bernegara. Tokoh yang termasyhur dalam

paradigma ini adalah Muhammad „Abduh dan Muhammad Husein Haikal. 12 Namun dalam makalah ini penulis bukan terfokus pada pembahasan paradigm

tersebut melainkan akan menguraikan bagaimana konsep Negara menurut Islam? Bagaimana hubungan negara dengan agama serta pengaruhnya dalam aspek kehidupan? Bagaimana “fotret karakteristik” sebuah Negara dan kepala negara yang idealis yang sudah mengakomodasi nilai-nilai Islam? Bagaimana konsep Islam mengatur kesejahteraan suatu Negara dan berkeadilan?

II. Pembahasan

Banyaknya upaya yang telah dilakukan para ulama dalam rangka pencarian format relasi agama dan negara, pada dasarnya mengandung dua maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara (menekankan aspek teoritis dan

formal), yaitu dengan menjawab pertanyaan, “Bagaimana bentuk negara dalam Islam?”.

9 Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), hlm. 7-8. 10 Menurut Prof Azyumardi Azra perdebatan tersebut sampai dewasa ini belum juga tuntas, Lihat: Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 1. 11 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 1-2; Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), hlm. x; Tim Puslit IAIN Syarif Hidayatullah, Pendidikan Kewarganagaraan, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani , (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Press, 2000), hlm. 127-128.

12 Zaprulkhan, Relasi Agama Dan Negara Dalam Perspektif Islam, Walisongo, Volume 22, Nomor 1, Mei 2014, hlm. 106-107.

Pendekatan ini bertolak pada suatu asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara. Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses

penyelenggaraan negara (menekankan aspek praktis dan substansial), yakni mencoba menjawab pertanyaan, “Bagaimana isi negara menurut Islam?”.

Istilah relasi, diartikan sebagai “hubungan”; “perhubungan”, dan “pertalian”. 13 Sedangkan “Agama” mengandung pengertian bahwa ia adalah suatu peraturan yang

mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. 14 Bila merujuk kedalam al- Qur‟an, pengertian agama secara redaksional memiliki banyak pengertian. 15 Di dalam Al- Qur‟an

disebut dengan term al-dîn dan atau al-millah. Upaya pendefinisian al-dîn dan al-millah, terlebih dahulu perlu ditelusuri aspek morfologisnya. Kata al-dîn, berasal dari kata

dayana 16 , yadînu kemudian dibaca dâna, yadînu. Dâna ( ََنَاد ) yang arti dasarnya “hutang” adalah sesuatu yang harus dipenuhi atau ditunaikan. Dari kata ini, kemudian jika di-

tashrîf melahirkan kata dîn ( َن ) َ يد “agama” adalah sesuatu undang-undang atau hukum yang harus ditunaikan oleh manusia, dan mengabaika nnya akan berarti “hutang” yang akan tetap dituntut untuk ditunaikan, serta akan mendapatkan hukuman atau balasan, jika tidak ditunaikan. Sedangkan kata al-millah, berasal kata milal yang menurut bahasa berarti sunnah (sistem) dan tharîqah (cara). 17 Menurut al-Râghib al-Ashfâni, pengertian millah dengan al-dîn adalah sama, walaupun ada juga perbedaannya. Dalam hal ini, ia menjelaskan secara komprehensif bahwa:

“Al-Millah sama dengan al-dîn, yaitu nama bagi apa yang disyariatkan oleh Allah terhadap hamba-hamba-Nya melalui para nabi guna mendekatkan mereka kepada Allah. Antara millah dan al-dîn masih dapat dibedakan. Millah tidak pernah dirangkaian dengan kata selain nama nabi, seperti ittabiû millata ibrâhîma (ikutilah agama Ibrahim). Kata millah juga tidak pernah dirangkaikan dengan Allah. Kata itu hanya digunakan untuk orangorang yang membawa syariat. Oleh karena itu, tidak pernah dikatakan millah Allah, millatî atau millah Zaid,

sebagaimana dikatakan dînullâh (dîn Allah) dan dîn Zaid. 18 ” Istilah ad-din mengandung konsep yang mencakup dua aspek kehidupan

manusia, yaitu aspek religius-spiritual dan aspek kemasyarakatan yang bertumpu pada

13 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Edisi II, hlm. 830

14 Berasal dari bahasa Sansekerta “a” berarti tidak, dan ”gama” berarti kacau. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, hlm. 10

15 Mengenai makna agama dapat dibaca dalam Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Asapeknya, jilid I (Cet. V; Jakarta: UI-Press, 1985), hlm. 9. Lihat pula Tim Penulis IAIN Syarif

Hidayatullah, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 445. 16 dilihat dalam Al-Sayyed Ahmad al-Hasyimiy, Jawâhir al-Balâgah fî al- Ma‟ânî wa al-Bayâni wa al-

Badî‟î (Mesir: Dâr al-Fikr, 1991), hlm. 7 17 Louis Ma‟lûf, al-Munjid fî al-Lughah (Bairût: Dâr al-Masyriq, 1977), hlm. 771

18 Al-Râghib al-Ashfahâni, Mufradât Al-fâzh al- Qur‟ân (Cet. I; Damsyiq: Dâr al-Qalam, 1992), hlm. 773

19 ajaran tauhid (unitas). 20 Para sarjana muslim membagi ad-din al-Islami menjadi tiga komponen yaitu 21 „aqidah, syari‟ah dan akhlaq. Ketiga komponen suatu totalitas yang

tidak dapat dipisahkan. Dalam tiga komponen ini pula terlibat tiga faktor yang saling berkaitan, yaitu posisi Allah manusia, baik sebagai individu maupun sebagai suatu kelompok masyarakat dan alam lingkungan hidup manusia. Islam bukan hanya sekedar agama yang mengandung seperangkat doktrin ritual, tetapi ia merupakan suatu pandangan dunia yang holistik yang menyeluruh dan sistematis. Islam sebagai ad-din mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.

Sebagai agama yang komprehensif, Islam menyatukan berbagai persoalan moril dan materil, serta mencakup berbagai kegiatan manusia dalam kehidupan dunia dan

akhirat. 22 Bahkan falsafah umum Islam menggabungkan antara dua persoalan tersebut, dan tidak membedakan antara keduanya selain hanya perbedaan sisi pandang saja.

Menurut Yusuf Qardhawi, Islam yang benar adalah akidah dan ibadah, tanah air dan kebangsaan, toleransi dan kekuatan, moril dan materiil, kebudayaan dan hukum. Karena itu, aspek-aspek negara, hukum, demokrasi dan politik hanyalah merupakan bagian-bagian dari ad-din al-Islami.

Sedangkan negara, secara terminologi melahirkan beberapa pengertian 23 diantaranya dapat diartikan dengan organisasi tertinggi diantara satu kelompok

masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam daerah tertentu dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif dari sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah negara, yakni adanya sebuah masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya pemerintah yang berdaulat. 24 Dalam kajian Islam (Islamic studies), istilah negara bisa bermakna daulah 25 . Daulah menjadi kosa-kata yang berlaku umum di dunia muslim untuk menunjukkan pengertian negara. Dalam bahasa Arab modern daulah memang mengandung pengertian negara, sehingga negara Islam disebut ad-Daulah al-Islamiyyah,

19 Tauhid adalah konsep ketuhanan Yang Mahaesa yang dibawa oleh para Rasul dan Nabi sejak Nabi Adam as. sampai Nabi Muhammad saw. Cukup banyak ayat-ayat al- Qur‟an yang mengandung

ajaran tauhid, antara lain QS. Al- Baqarah [2]: 163), Ali „Imran [3]:62, An-Nisa‟ [4]:171), an-Nahl [16]:22, Muhammad [47]:19, dan al-Ikhlas [112]:1.

20 Salah seorang diantara mereka adalah Syaikh Mahmud Syaltout yang menulis buku berjudul Islam Sebagai Aqidah dan Syari‟ah, terj. Bustami A. Gani dkk (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), Jilid I s/d V.

21 Ahmad Sukardja & Mujar Ibnu Syarif, Tiga Kategori Hukum: Syariat, Fikih, & Kanun (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 59.

22 Yusuf Qardhawy, Fiqh Negara, Ijtihad Baru Seputar System Demokrasi Multi Partai Keterlibatan Wanita Di Dewan Perwakilan Partisipasi Dalam Pemerintahan Sekuler , terj. Syafril Halim (Jakarta: Robbani

Press, 1997), hlm. 23. 23 Para ahli memberikan definisi Negara dengan redaksi yang berbeda-beda. Uraian lebih

mendalam lihat Edward, Paul. (Editor in Chief), The Encyclopedia of Philosophy, Vol. V (New York: Macmillan Publishing Co. Inc. & The Free Press 1997), hlm. 51. Lihat pula Encyclopedia Americana, Vol. VIII (Danbury: Glorier Incorporated, 2001), hlm. 21. Lihat pula Rahmat dan M. Halimi, Tata Negara (Cet. I; Bandung: Ganeca Exac, 1996), hlm. 10.

24 Ahmad A. Hafizar Hanafi, Tata Negara, hlm. 19 25 Berasal dari bahasa Arab, yakni dawlat, akar katanya berasal dari dalla-yadullu-dawlat yang

berarti “bergilir”, “beredar”, dan “berputar”. Dapat diartikan sebagai kelompok sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan diorganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan

kemaslahatan. Lihat Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid I, hlm. 262, lihat pula: „Abd. Hamid Ismâ‟il al-Ansariy, Nidzâm al-Hukm fî al-Islam (Qatar: Dâr al-Qatari bin al-Faja‟, 1985), hlm. 109.

negara Arab disebut ad-Daulah al- 26 „Arabiyah. Dalam Kamus Bahasa Arab, kata daulah yang berasal dari akar kata dawala mempunyai arti pergantian, perputaran, perubahan,

dinasti, kekuasaan dan negara. Sebagai padanan konsep negara atau pemerintahan, kata daulah baru berkembang pada pertengahan abad ke-8 dalam pengertian yang masih

bersifat netral, yaitu giliran. 27 Pengertiannya selalu merujuk pada Al- Qur‟an yang

28 29 30 31 menggunakan term al-balad 32 dan derivasinya. khilafah, imamah, hukumah, dan kesultanan 33 .

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami bahwa al-dîn dan al-millah adalah sama-sama bersumber dari Tuhan. Namun, kata al-dîn dalam Al- Qur‟an kelihatannya selalu merujuk pada pengertian Islam yang dianut oleh Nabi Muhammad saw, sementara al-millah adalah merujuk pada agama Islam yang dianut oleh nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw, yakni nabi Ibrahim as. Dari sini, dapat dipahami bahwa agama apa pun namanya, ketika ia bersumber dari Tuhan dan menyembah Tuhan satu, kemudian penganutnya mengerjakan amal shaleh maka diberi pahala dari Tuhan. Dalam QS. al-Baqarah (2): 62, disebutkan: م ۡ

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang- orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari

26 Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Siayasah dalam Konteks Perubahan Menuju Masyarakat Madani”, Jurnal Ilmu Sosial Keagamaan, Vol. 1, No. 1, Juni 1999, hlm. 19

27 Zuhraini, Islam: Negara, Demokrasi, Hukum Dan Politik, ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 14, Nomor 1, Juni 2014, hlm. 41.

28 Kata al-balad secara leksikal berarti tinggal di suatu tempat, kota atau daerah, dan negeri. Kata ۡ م ۡ ك م al-balad yang berarti kota ditemukan dalam QS. al-Balad (90): 1-2, yakni : َل مَم ۡٱَامٰܰ مهلܝَۢلحَ مܠݛ أمو َل مَم ۡٱَامٰܰ مهلܝَكݗلسۡݏ أَه َ (Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini (Mekah), dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah

ini). Sedangkan derivasi kata al-balad yang berarti negeri ditemukan dalam QS. al-Fajr (89):11, yakni ; (yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri ini). Pengertian yang sama, juga terdapat dalam QS. al- Furqân (25): 49, yakni ; (agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri yang mati). Negeri yang juga dapat diartikan negara (al-bilâd), disebut dalam Al- Qur‟an dengan berbagai bentuknya sebanyak 19 kali dengan perincian: kata balada disebut sebanyak 8 kali, kata baladan 1 kali, kata bilâdi 5 kali, sedangkan kata baldatun disebut sebanyak 5 kali, yang kesemuanya berarti negara/negeri. (Lihat: Muham mad Fu‟ad „Abd. al-Bâqi, al- Mu‟jam al-Mufahras li Alfâ ź al-Qur‟ân al-Karîm (Beirût: Dâr al-Fikr, 1992), hlm. 170.

29 M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Qur‟ân al-Karîm; Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Turunnya Wahyu (Cet. I; Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 785

30 Berasal dari kata khalf , yang berarti “wakil”, “pengganti”, atau “penguasa”. Istilah ini awalnya dipakai Abu Bakar saat menyebut dirinya sebagai khalifah (pengganti) Nabi Muhammad saw. Lihat Said

Agil Husin al- Munawwar, “Fiqh Siyasah Dalam Konteks Perubahan Menuju Masyarakat Madani”, hlm. 21. 31 Pada dasarnya, teori imamah lebih berkembang di kelompok Shi‟ah. Dalam lingkungan Shi‟ah,

imamah menekankan dua rukun, yaitu kekuasaan imam (wilayat) dan kesucian imam („ismah). Lihat Mustafa Hilmi, Nizam al-Khilafah Baina Ahl al-Sunnah wa al-Syiah, hlm. 149-155.

32 Jika khilafah dan imamah berkorelasi dengan format politik atau kekuasaan, maka hukumah. berhubungan dengan sistem pemerintahan. Lihat John L. Esposito (ed.) The Oxford …, vol 4. jilid II, artikel

“hukumah.” oleh. Keith Lewinstein, hlm. 139. 33 Istilah ini diartikan wewenang. Muncul berkali-kali dalam al- Quran dengan arti “kekuasaan”,

kadang- kadang “bukti” dan yang lebih khusus lagi—“kekuasaan yang efektif”, lazimnya diberi kata sifat mubi n, “ wewenang yang jelas”. Di Nusantara, penguasa muslim diberi laqab Sultan. Lihat Kamarzuzzaman, Relasi Islam …, h. 33 kadang- kadang “bukti” dan yang lebih khusus lagi—“kekuasaan yang efektif”, lazimnya diberi kata sifat mubi n, “ wewenang yang jelas”. Di Nusantara, penguasa muslim diberi laqab Sultan. Lihat Kamarzuzzaman, Relasi Islam …, h. 33

Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa kaum Shabi‟ûn, di samping Yahûdi dan Nashrâni yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian serta melakukan

amal shaleh, akan mendapat pahala di sisi Tuhan. Penafsiran lebih lanjut mengenai ayat tersebut, kebanyakan ulama menyatakan bahwa kedudukan agama yang dipeluk oleh kaum penganut Kristen, Hinduisme, Budhisme, Kon Fu Tse, Shinto dan Islam adalah

34 sama. 35 Pendapat senada, juga dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha. Berdasarkan pendapat-pendapat sebelumnya dapat dipahami, bahwa semua

agama yang menganggap bahwa “Tuhan itu Esa” adalah sama dengan Tuhannya agama Islam. Tuhan yang disembah oleh Islam, itu pula Tuhan yang disembah oleh agama

lain. Menurut penulis bahwa pendapat demikian, didasarkan pada kenyataan sejarah dan informasi Al- Qur‟an sendiri bahwa semua umat sebelum diutusnya Nabi saw telah diutus kepada mereka rasul-rasul. Akan tetapi, sebagian di antara mereka tidak diinformasikan oleh Al- Qur‟an. Dengan demikian dapat dipahami, bahwa ajaran agama-agama yang ada sekarang, tidak semuanya bersumber pula dari Allah swt.

Agama diturunkan oleh Allah swt, berfungsi sebagai pembimbing dan pemberi petunjuk. Dengan fungsi seperti ini, maka agama memiliki tujuan untuk untuk memberi keselamatan dan kebahagiaan yang abadi kepada penganutnya, sehingga hidupnya menjadi tenteram (al-amn), baik di dunia maupun di akhirat kelak. Fungsi-fungsi agama tersebut, tentu pula mencakup untuk kesejahteraan dan kedamaian masayarakat dalam sebuah negara, bilamana penganutnya menjalankan ajaran agama dengan sebaik- baiknya. 36

Dalam diskursus dan perdebatan tentang terma pemerintahan, meniscayakan kita untuk berbicara tentang Negara, kekuasaan, dan politik serta hal-hal yang terkait dengannya. Sebab, ketiga terma ini, bersifat integral dalam sebuah sistem politik pemerintahan. Rogert H. Soltau menulis, “Berdasarkan pendekatan sosiologis ia mengemukakan bahwa kekuasaan itu adalah hubungan antara manusia yang sangat penting untuk mengatur kehidupan manusia. Pandangan Soltau di atas menunjukkan, bahwa pemerintahan dan kekuasaan sangat urgen dalam suatu komunitas bangsa, karena dengan begitu jaminan atas tata kehidupan yang tertib, bertindak berdasarkan hukum, sikap saling percaya sesama warga, dan cita-cita membangun keadilan untuk semua warga, akan terwujud. Dalam Bowling Alone: The Collape and Revival of American Community, Robert D . Putnam, menulis, Diantara modal sosial yang sangat penting bagi tegaknya sebuah pemerintahan yang demokratis, adalah sikap saling percaya antar

34 Muhammad Ali, The Religion of Islam diterjemahkan oleh R. Kaelan dan H.M. Bahrun, Islamologi (Jakarta: Ikhtiar Baru: 1997), hlm. 412

35 Dalam Tafsîr al-Manâr dikatakan bahwa Majusi dan Shabi‟in termasuk ahlul kitab selain Yahudi dan Nasrani. Bahkan di luar dari itu, masih ada kelompok yang termasuk ahlulkitab, yaitu Hindu, Budha,

Kong Fu Tse dan Shinto. Uraian lebih lanjut, lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al- Qur‟ân al-Karîm, Juz IV (Bairût : Dâr al- Ma‟rifah, t.th), hlm. 188-199.

36 Mahmud Ishak, Hubungan Antara Agama Dengan Negara Dalam Pemikiran Islam, Tahkim,

Vol. X No. 2, Desember 2014, hlm. 115.

sesama warga (trust), di samping civil society sebagai satu jaringan keterlibatan warga dan norma hubungan timbal balik (reciprocity). 37

Berdasarkan urgensi keniscayaan adanya sebuah organisasi sistem pemerintahan ini, maka dalam Islam dikenal term al- siy āsah al-syar‟iyyat (politik keagamaan) dan kepemimpinan formal yang disebut khal īfah, sulṭān, imāmat, dan uli al-amr. Term-term tersebut direkam oleh beberapa ayat Al-Qur ‟an seperti: Q.S.: al-Nisa (4): 58-59, Q.S. :

H ūd (11): 61, Q.S. al-Baqarah (2): 30, Q.S. ād (38): 26, dan Q.S. li ‟Imrān (3): 26. Sementara para pakar tata Negara Islam yang mendukung adanya “konsep Negara

Islam” menyebutkan komponen ayat-ayat ini sebagai konsep dasar politik dalam Islam (al-siy āsah al-syar‟iyyat). Namun demikian pesan moralitas politik beberapa ayat tersebut,

meniscayakan kepada pemerintah sebagai pelaku kekuasaan politik, untuk melaksanakan pembangunan yang berwawasan keadilan dan atau yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Maka “pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah (khal īfah) harus mengacu dan berorientasi kepada kemaslahatan umum” (al-Taṣarruf al- Im 38 ām „alā al-Ra‟iyyat manū thun bi al-Maṣlahat ).”

Untuk mengetahui lebih mendalam hubungan antara negara dengan agama dalam perspektif Islam, perlu dikaji ayat-ayat Al- Qur‟an secara akurat dan mengaitkannya dengan sîrah Nabi saw dalam membangun negara Madani. Di samping itu, berbagai pandangan dan sikap-sikap tokoh-tokoh Islam atau ulama-ulama terkemuka, sangat perlu dicermati secara komprehensif. Dengan upaya seperti ini, di satu sisi akan dapat dirumuskan hubungan Negara dengan agama itu sendiri dalam berbagai aspeknya. Pada sisi lain, persoalan tentang hubungan negara dengan agama sangat penting untuk dibahas, karena persoalan tersebut kelihatannya masih menjadi perdebatan yang alot dalam pemikiran Islam sampai saat ini.

Dinamika para pemikir muslim mencari sintesa terbaik untuk merumuskan kembali konsep kenegaraan Islam, relasi antara agama dan negara, serta posisi agama dalam negara. Mengenai relasi agama dan negara, Islam sejak awal tidak memberikan ketentuan yang pasti tentang bagaimana konsep dan bentuk negara yang dikehendaki. Dalam konsep Islam, dengan mengacu pada al-Quran dan al-Hadith, ditemukan banyak rumusan tentang negara baik secara tekstual maupun kontekstual, bahkan secara eksplisit (inferencial), di dalam kedua sumber hukum Islam itu terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di antaranya adalah; 39

37 Untuk jelasnya, dapat dibaca dalam Robert D. Putnam, Bowling Alone: The Collape and Revival of American Community . (New: York: Simon & Schuster, 2000), h. 170. Hal ini berarti ketidakpercayaan

warga (citizen distrust) terhadap otoritas atau pemerintahan merupakan hal yang sangat krusial dalam sebuah negara yang berdaulat, guna memberi tekanan kepada pemerintahan tersebut, dan agar demokrasi dapat berjalan dengan baik. Ketidakpercayaan terhadap otoritas bahkan lebih krusial lagi dalam proses transformasi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi. Sikap saling percaya sesama warga, sebagai bentuk dari budaya politik, telah menjadi faktor menentukan bagi stabilitas demokrasi. Sikap saling percaya antar sesama warga sangat diperlukan untuk mengurangi tingkat ketidakpastian dalam interaksi di antara sesama, dan untuk mengurangi ongkos sebuah transaksi pelayanan Negara bagi rakyat.

38 Abd. Gani Jumat, Konsep Pemerintahan Dalam Al- Qur‟an: Analisis Makna Khalifah Dalam

Perspektif Fiqh Politik, Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 11, No. 1, Juni 2014, hlm. 174.

39 Abd. Salam Arif, Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jurnal Hermenia, hlm. 279

1. Keadilan (QS. 5:8). Berlaku adillah kalian karena adil itu lebih dekat kepada ta-qwa.

2. Musyawarah (QS. 42:38). Sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka.

3. Menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (QS. 3:110) Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan berimanlah kepada Allah.

4. Perdamaian dan persaudaraan (QS. 49:10) Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan ber-taqkwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.

5. Keamanan (QS. 2:126) Dan ingatlah ketika Ibrahim berdo'a, Ya Tuhanku jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa.

6. Persamaan (QS. 16:97 dan 40:40) Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (QS. 16:97).

7. Kesejahteraan ”Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat- malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta- minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan zakat, orang-orang yang menpati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang- orang yang bertaqwa.” QS, Al-Baqarah: 177 Dalam konteks ini, negara memperlakukan penerapan kebijakan sosial sebagai “penganugerahan hak-hak sosial” (the granting of social rights) kepada warganya (Triwibowo dan Bahagijo, 2006). Semua perlindungan sosial yang dibangun dan

didukung negara tersebut sebenarnya dibiayai oleh masyarakatnya melalui produktifitas ekonomi yang semakin makmur dan merata, sistem perpajakan dan asuransi, serta investasi sumber daya manusia (human investment), zakat, wakaf, infaq dan shodaqoh yang terencana dan melembag a sesuai syari‟ah. (Edi Suharto, PhD, tt, 5).

8. Kejujuran

9. Kepedulian, dll Sementara al-Mawardi menyebutkan setidaknya mengandung unsur-unsur dalam Negara sebagai berikut:

1. Di dalam negara ada agama yang dihayati. Agama yang diperlukan sebagai pengendali hawa nafsu dan pengawas melekat atas hati manusia, karenanya merupakan sendi sekaligus unsur yang terkuat bagi kesejahteraan dan ketenangan Negara.

2. Di dalam negara, ada penguasa yang berwibawa. Dengan wibawanya dia dapat mempersatukan aspirasi-aspirasi yang berbeda, dan membina negara untuk mencapai sasaran-sasarannya yang luhur.

3. Di dalam negara, harus ada keadilan yang menyeluruh. Terwujudnya keadilan akan menciptakan persatuan, membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan negara yang akhirnya mengamankan kedudukan penguasa serta menjamin stabilitas dalam negeri.

4. Di dalam negara, harus tercipta keamanan yang merata. Dengan meratanya keamanan, rakyat dapat menikmati ketenangan batin, inisiatif dan daya kreasi akan berkembang di kalangan rakyat.

5. Di dalam negara, terwujud kesuburan tanah. Dengan kesuburan tanah, kebutuhan rakyat akan bahan makanan dan kebutuhan materi yang lain dapat terpenuhi, dan dengan demikian dapat dihindarkan perebutan dengan segala akibat buruknya.

6. Di dalam negara, ada generasi. Generasi sekarang punya kaitan erat dengan generasi yang akan datang, maka generasi sekarang pewaris generasi yang lalu. Karenanya harus dipersiapkan generasi yang bersikap optimisme. 40

Di sinilah muncul berbagai penafsiran terhadap doktrin agama yang berkaitan dengan relasinya dengan negara. Agama ini hanya meletakkan beberapa prinsip dasar yang bersifat umum tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, dan memungkinkan dibangunnya suatu pemerintahan untuk kesejahteraan rakyat. 41

Berdasarkan pengertian negara yang telah dikemukakan di atas, terungkap bahwa salah satu unsur terpenting dalam suatu negara adalah agama itu sendiri. Dengan adanya agama, maka tercipta keadilan dan suasana yang aman. Ajaran agama juga memotivasi penganutnya untuk menjadikan negara yang dihuninya menjadi subur, dan mereka yang ditugasi dalam pengelolaan negara adalah para generasi sekarang dan mendatang. Jadi, kelihatan bahwa agama merupakan unsur terpenting dalam sebuah negara menurut perspektif Islam.

III. Konsep Khalifah Dalam Al- Qur’an

Kata khal īfah dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam Al-Qur ‟an. Pertama, pada Q.S. al-Baqarah (2): 30:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi" ….

Kedua, terdapat dalam Q.S. ād (38): 26:

“Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khal īfah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah…..

40 Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Dîn (Kairo: Dar al-Syaibah, 1950), hlm. 122-123. 41 Asghar Ali Engineer, Devolusi Negara Islam, hlm. 58

Sedangkan dalam bentuk plural (jamak) ditemukan beberapa kali digunakan oleh Al- Qur‟an, yaitu: pertama, dalam bentuk kata Khalāif yang terulang sebanyak empat kali, seperti pada surah al- An‟am ayat 165, Yunus ayat 14, 73, dan Fāṭir ayat 39. Kedua, dalam bentuk Khulaf ā` terulang sebanyak tiga kali, masing-masing pada surah al- A‟raf

ayat 69, 74 dan al-Naml ayat 62. 42

Dalam bentuk khalaif ( َ مفلئٓ ملمخ ), dapat ditemukan pada Q.S. al- An‟ām (6): 165:

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Juga terdapat pada Q.S. Yunus (10): 14 , 73 dan Q.S. F āṭir (35): 39: مۡ ٤ َمغݠكݖمݙۡ݇م َ مفۡيمݒَمܱ ك݄ݜم لنَۡݗلݞلܯۡ݇مبَۢݚلݘ َ َ لضۡ ۡٱ َ لَِ مفلئٓ ملمخَۡݗك ٰ منۡݖم݇مج َ ݗكَ

“Kemudiankami jadikan kamu pengganti-pengganti (mereka) di muka bumi sesudah mereka, supaya kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat.” َ(Qs. Yunus: 14)

“Lalu mereka mendustakan Nuh, Maka kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan kami jadikan mereka itu pemegang kekuasaan dan kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan

orang-o rang yang diberi peringatan itu”. (Qs. Yunus: 73) م

“Dia-lah yang menjadikan kamu khal īfah-khalīfah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.” (Qs. Fatir: 39)

Sedangkan dalam bentuk khulaf ā` ( َم٨هܛمݍمݖكخ ), dapat ditemukan pada Q.S. al- A‟rāf

(7): 69 dan 74. Berikut beberapa kutipan ayat menggunakan kata khulaf ā` diantaranya;

“Apakah kamu (Tidak percaya) dan heran bahwa datang kepadamu peringatan dari Tuhanmu yang dibawa oleh seorang laki-laki diantaramu untuk memberi peringatan kepadamu? dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh, dan Tuhan telah melebihkan kekuatan tubuh dan

42 Mu ḥammad Fu`ad Abd. al-Bāqi, Al-Mu‟jam al-Mufaras li AlFāẓ, al-Qur`an al-Karīm, (Cet. ke-4; Libanon: D ār Al-Fikr, 1414 H/1994 M), hlm. 305; lihat juga M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an

Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, ( Cet. ke-2; Bandung: Mizan, 1992), hlm. 157-158.

perawakanmu (daripada kaum Nuh itu). Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu

mendapat keberuntungan.” (Qs. (Al-A‟raf: 69). ۡ مۡ

“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah; Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di muka bumi membuat kerusakan.” (Qs. (Al-A‟raf: 74).

Pada Q.S. al-Naml (27): 62, juga ditemukan penggunaan kata khulaf ā` ( َم٨هܛمݍمݖكخ ), seperti terbaca pada ayat berikut: ً م مۡ

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khal īfah di bumi. Apakah disamping Allah ada Tuhan (yang lain)? amat sedikitlah kamu

mengingati(Nya).”(Qs. Al-Naml: 62) Keseluruhan kata tersebut berakar dari kata Khulaf ā` ( َم٨هܛمݍمݖكخ) yang berarti “di

belakang”. Dari makna ini, kata khalīfah (ًَۖܟمݍيلݖمخ) seringkali diartikan sebagai “pengganti” karena yang menggantikan selalu berada atau datang sesudah yang digantikannya. Al- R āghib al-Isfahānī, dalam Mufradāt fī gharīb Alquran, menjelaskan bahwa khulafā` ( َم٨هܛمݍمݖكخ),

berarti mengganti yang lain melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya. 43 Lebih lanjut menurutnya, bahwa

kekhal īfahan tersebut dapat terlaksana disebabkan ketiadaan di tempat, kematian, atau ketidak-mampuan orang yang digantikan, dan dapat juga akibat penghormatan yang

diberikan kepada yang menggantikan. 44 Dalam doktrin al- Qur‟an, Allah swt adalah pemilik segala sesuatu termasuk

manusia yang dimandatir oleh-Nya sebagai Khal īfah (pemimpin) di bumi. Dengan demikian Tuhan pasti Maha Kuasa atas mandatnya itu, bahkan Maha Kuasa atas segala makhluk-Nya. Dalam Q.S. al-M āidah (5): 18 dijelaskan: “Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya.” Demikian salah satu dari sekian banyak ayat-ayat Al-Qur ‟an yang berbicara tentang kekuasaan Allah yang meliputi segala sesuatu. Kita pun sebagai makhluk-Nya pasti mengakui dan merasakan kekuasaan-Nya itu bukan saja ketika kita menyaksikan realitas alam semesta, tetapi juga ketika membaca: “Pemilik hari kebangkitan (Q.S. al- Fatihah, [1]: 4)”. Adapun di dunia, disamping Dia melimpahkan sebagian kekuasaan-Nya kepada makhluk, juga diberikannya kepada makhluk tersebut aneka norma dan petunjuk pelaksanaan atau standar moralitas dalam melaksanakan hak dan kewajiban dan pertanggung jawaban