DESKRIPSI UPACARA KEMATIAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA

BAB III DESKRIPSI UPACARA KEMATIAN PADA MASYARAKAT BATAK TOBA

3.1 Tinjauan Umum Kematian Pada Masyarakat Batak Toba

Berbicara tentang kematian suku Batak mempunyai tradisi yang unik. Ada pula konsep “kematian ideal” pada suku Batak. Kematian (mate) ideal yang dimaksud disini adalah mate saur matua. Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan.

Pada masyarakat batak kematian (mate) di usia yang sudah sangat tua merupakan kematian yang paling diinginkan terutama bila orang yang mati telah menikahkan semua anaknya dan telah memiliki cucu dari anak-anaknya. Dalam tradisi budaya masyarakat batak (khususnya batak toba) kematian seperti ini disebut sebagai mate saur matua. Tulisan ini membahas mate saur matua sebagai sebuah upacara kematian warisan produk kebudayaan

masa lampau melalui tinjauan etnoarkeologi 2 . Kiranya tulisan ini mampu memberikan tinjauan kritis dan arif terutama melalui konteks sistem (hubungan masyarakat Batak Kristen

dengan upacara saur matua dari waktu terdahulu hingga terkini). Apalagi dimasa terkini upacara ini sering memunculkan kontroversi seputar ketidaksetujuan dari sebagian masyarakat batak kristen untuk melestarikannya. Upacara saur matua dianggap bertentangan dengan ajaran agama baru (kristen) yang mereka anut. Motivasi awal upacara saur matua di masa prakristen adalah agar kedudukan sahala (kemuliaan, hikmat, dan otoritas) arwah orang tua bisa naik terus hingga setingkat para dewa. Pada upacara adat orang yang mati saur matua

2 Et noarkeologi m erupakan ilm u arkeologi yang m enggunakan dat a et nografi sebagai analogi unt uk m em bantu m em ecahkan m asalah-m asalah.

umumnya akan disembah, setidaknya dari keturunannya (pomparan) supaya sahala arwah meningkat dan mereka juga akan mendapatkan berkat sahala dari orang tua tersebut. Kini suku batak memandang upacara adat saur matua sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas umur panjang dan kesempatan melihat anak cucunya. Bagi suku batak pesta ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian kepada orang tua yang sudah meninggal. Namun dari kacamata iman Kristen hal itu tidak berguna karena orang tersebut sudah meninggal. Seharusnya bentuk pengabdian seorang anak ditunjukkan ketika orang tuanya masih hidup.

Kematian satu kata yang identik dengan kesedihan dan air mata, serta biasanya dihindari manusia untuk diperbincangkan. Namun, sebenarnya itulah yang ditunggu-tunggu manusia yang sadar bahwa tanpa kematian tidak ada proses pada kehidupan yang kekal dan abadi. Kematian merupakan akhir dari perjalanan hidup manusia. Maka kematian pada dasarnya adalah hal yang biasa, yang semestinya tidak perlu ditakuti, karena cepat atau lambat

masing-masing manusia. Namun, wajar bila kematian bukan menjadi keinginan utama manusia. Berbagai usaha akan selalu ditempuh manusia untuk menghindari kematian, paling tidak memperlambat kematian itu datang. Idealnya kematian itu datang pada usia yang sudah sangat tua.

3.2 Jenis-jenis Kematian Masyarakat Desa Sigumpar

Ada banyak jenis kematian pada adat suku batak, diantaranya adalah Sari Matua, Saur Matua, Mauli Bulung. Jenis kematian lain seperti “martilaha” (anak yang belum berumah tangga meninggal dunia), “mate mangkar” (yang meninggal suami atau istri, tetapi belum berketurunan), “matipul ulu” (suami atau istri meninggal dunia dengan anak yang masih kecil-kecil), “matompas tataring” (istri meninggal lebih dahulu juga meninggalkan anak yang masih kecil)

3.2.1 Sari Matua

Sari matua adalah seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau istri yang sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau putri atau keduanya, tetapi masih ada diantara anak-anaknya yang belum kawin (hot ripe).

3.2.2 Saur Matua

Saur matua adalah seseorang yang ketika meninggal dunia dalam posisi titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru artinya seseorang juga berstatus saur matua seandainya anaknya hanya laki-laki atau hannya perempuan, namun suda semuanya hot ripe dan punnya cucu. Saur matua juga dikatakan bila orang yang mati telah menikahkan semua anaknya dan telah memiliki cucu dari anak-anaknya. Inilah kematian yang paling “didambakan” oleh suku batak toba. Mayat orang yang meninggal tersebut di baringkan di ruang tengah yang kakinya mengarah ke jabu (bona rumah suhut) selanjutnya di selimuti dengan kain batak tau ulos. Pada saat yang bersamaan pihak laki-laki baik dari keturunan orang tua yang meninggal maupun sanak saudara berkumpul dirumah duka dan membicarakan bagaimana upacara yang akan dilaksanakan kepada orang tua yang sudah saur matua itu. Dari musyawarah keluarga akan diperoleh hasil-hasil dari setiap hal yang di bicarakan. Hasil-hasil ini di catat oleh para suhut untuk kemudian dipersiapkan ke musyawarah umum. Penentuan hari untuk musyawarah umum ini juga sudah ditentukan dan mulailah di hubungi pihak family dan mengundang pihak hula-hula, boru, dan dongan tubu. Sesudah acara mangarapot selesai maka diadakanlah pembagian tugas bagi pihak hasuhuton. Beberapa orang dari pihak hasuhuton pergi mengundang (manggokkon hula-

hula,boru,dongan sabutuha 3

3 Dongan sabut uha art inya t erdiri dari t em an sem arga,t em an sahut a, t em an sat u kam pung sert a sanak saudara yang ada di rant au.

Motivasi awal upacara saur matua di masa prakristen adalah agar kedudukan sahala (kemuliaan, hikmat, dan otoritas) arwah orang tua bisa naik terus hingga setingkat para dewa. Pada upacara adat, orang yang mati saur matua umumnya akan disembah, setidaknya dari keturunannya (pomparan) supaya sahala arwah meningkat dan mereka juga akan mendapatkan berkat sahala dari orang tua tersebut. Kini suku batak memandang upacara adat saur matua sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas umur panjang dan kesempatan melihat anak cucunya. Namun dalam praktiknya ada banyak hal yang perlu dikritisi. Upacara adat ini sarat dengan kemewahan misalnya untuk pesta saur matua jumlah yang tidak wajar untuk merayakan kematian seseorang. Bagi suku batak, pesta ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian kepada orang tua yang sudah meninggal. Namun dari kacamata iman Kristen, hal itu tidak berguna karena orang tersebut sudah meninggal. Seharusnya bentuk pengabdian seorang anak ditunjukkan ketika orang tuanya masih hidup. Mate Saur matua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara bagi masyarakat batak terkhusus batak toba, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya yaitu mate saur matua bulung artinya mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan. Namun keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal artinya meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi. Dalam kondisi seperti inilah masyarakat batak mengadakan pesta untuk orang yang meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang meninggal tersebut memang sudah waktunya sudah tua untuk menghadap Tuhan dan ini disambut dengan rasa bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada tapi mengingat meninggalnya memang dikarenakan proses alami sudah tua maka kesedihan tidak akan berlarut-larut. Ibaratnya orang yang meninggal dalam status saur matua hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/lunas. Dalam Motivasi awal upacara saur matua di masa prakristen adalah agar kedudukan sahala (kemuliaan, hikmat, dan otoritas) arwah orang tua bisa naik terus hingga setingkat para dewa. Pada upacara adat, orang yang mati saur matua umumnya akan disembah, setidaknya dari keturunannya (pomparan) supaya sahala arwah meningkat dan mereka juga akan mendapatkan berkat sahala dari orang tua tersebut. Kini suku batak memandang upacara adat saur matua sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas umur panjang dan kesempatan melihat anak cucunya. Namun dalam praktiknya ada banyak hal yang perlu dikritisi. Upacara adat ini sarat dengan kemewahan misalnya untuk pesta saur matua jumlah yang tidak wajar untuk merayakan kematian seseorang. Bagi suku batak, pesta ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian kepada orang tua yang sudah meninggal. Namun dari kacamata iman Kristen, hal itu tidak berguna karena orang tersebut sudah meninggal. Seharusnya bentuk pengabdian seorang anak ditunjukkan ketika orang tuanya masih hidup. Mate Saur matua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara bagi masyarakat batak terkhusus batak toba, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya yaitu mate saur matua bulung artinya mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan. Namun keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal artinya meninggal dengan tidak memiliki tanggungan anak lagi. Dalam kondisi seperti inilah masyarakat batak mengadakan pesta untuk orang yang meninggal dunia tersebut. Ini menjadi sebuah tanda bahwa orang yang meninggal tersebut memang sudah waktunya sudah tua untuk menghadap Tuhan dan ini disambut dengan rasa bahagia dan suka cita. Sedih pasti ada tapi mengingat meninggalnya memang dikarenakan proses alami sudah tua maka kesedihan tidak akan berlarut-larut. Ibaratnya orang yang meninggal dalam status saur matua hutangnya di dunia ini sudah tidak ada lagi/lunas. Dalam

3.2.3 Mauli Bulung

Mauli bulung adalah seseorang yang meninggal dunia dalam posisi titir maranak, titir marboru, marpahompu sian anak, marpahompu sian boru sahat tu namarnini sahat tunamarnono dan kemungkinan ke “marondok-ondok” yang selama hayatnya tak seorang pun dari antara keturunannya yang meninggal dunia (manjoloi) seseorang yang beranak pinak, bercucu, bercicit mungkin hingga ke buyut. Dapat diprediksi umur yang mauli bulung sudah sangat panjang, barangkali 90 tahun keatas di tinjau dari segi generasi. Mereka yang memperoleh predikat mauli bulung sekarang ini sangat langka.

Dalam tradisi adat batak, mayat orang yang sudah mauli bulung di peti mayat dibaringkan lurus dengan kedua tangan sejajar dengan badan (tidak dilipat). Kematian seseorang dengan status mauli bulung, menurut adat batak adalah kebahagiaan tersendiri bagi keturunannya. Tidak ada lagi isak tangis, mereka bleh bersyukur dan bersuka cita , berpesta tetapi bukan hura-hura, memukul godang ogung sabangunan, musik tiup, menari, sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan yang Maha Kasih lagi penyayang. Pada masyarakat toba ada juga jenis kematian yang ada yaitu kematian sempurna. Kematian sempurna yang dimaksud disini adalah masyarakat batak toba begitu percaya bahwa kematian merupakan sebuah peristiwa yang tak kalah istimewa dengan peristiwa kelahiran. Mereka percaya bahwa orang yang mati hannya raga, sedangkan jiwanya berjalan terus menempuh perjalanan ke alam lain alam yang sangat gaib dan tak terjangkau oleh mereka yang masih hidup. Orang yang masih hidup mengangap perjalanan jiwa orang mati menuju alam lain itu memerlukan perlakuan khusus agar rohnya merasa tenteram dan dihargai oleh keturunannya.

Dalam tradisi batak toba didesa sigumpar, orang yang mati disebut saur matua dan akan disembah dalam upacara saur matua setidaknya oleh semua anaknya. Penyembahan yang diterima roh orangtua alias si mati melalui upacara saur matua dan upacara mangogkal holi dari para keturunannya akan menambah kekuatan sahala (kekuatan) roh bersangkutan di alam lain, sementara keturunannya mendapatkan berkat sahala dari roh bersangkutan. Konsep kepercayaan awal hannya mengantarkan simati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan simati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan simati ke alam barunya, berkembang menjadi keinginan untuk tetap dapat berinteraksi dengan simati melalui ritual pemanggilan, penghormatan, hingga pada akhirnya pemujaan terhadap roh simati. Saking istimewanya, perlakuan terhadap jasad simati tentunya sangat spesial begitu pulak setelah upacara penguburan usai maka keluarga yang ditinggalkan masih merasa perlu mengekspresikan kesedihan mereka yang ditinggal oleh simati. Kini, masyarakat batak toba di desa sigumpar masih mengekspresikan pemujaan simati dalam sebuah upacara penguburan sekunder yang disebut mangongkal holi. Disebut sekunder karena sebelumnya telah dilakukan upacara penguburan (primer) simati. Upacara penguburan sekunder dilakukan melalui penggalian tulang belulang simati dari kubur awal (primer) untuk dikuburkan kembali kedalam kubur sekunder.

Pada masyarakat batak toba didesa sigumpar, kematian (mate) diusia yang sudah sangat tua terutama telah menikahkan semua anaknya dan memiliki cucu merupakan kematian yang paling diinginkan. Dalam tradisi budaya masyarakat batak (khususnya batak toba) kematian seperti ini disebut sebagai mate saur matua. Upacara adat kematian ini diklasifikasikan berdasarkan usia dan status simati. Untuk yang mati ketika dalam masih kandungan (mate dibortian) maka ia belum mendapatkan perlakuan adat (langsung dikubur tanpa peti mati), bila mati ketika masih bayi (mate poso-poso), mati saat anak-anak (mate

dakdanak), mate saat remaja (mate bulung) dan mati saat sudah dewasa namun belum menikah (mate ponggol). Keseluruhan kematian tersebut mendapat perlakuan adat mayatnya ditutupi selembar ulos (kain tenunan khas batak) sebelum dikuburkan. Ulos penutup mayat untuk mate poso-poso berasal dari orang tuanya, sedangkan ulos untuk mate dakdanak dan mate bulung berasal dari tulang (saudara laki-laki ibu) si orang mati. Mate saur matualah yang menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Sebenarnya masih ada tingkat kematian yang lebih diatasnya yaitu mate saur matua bulung yakni mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga dan bahkan telah bercicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan. Mate saur matua maupun mate saur matua bulung keduanya dianggap sama sebagai konsep kematian ideal karena meninggal saat tidak memiliki tanggungan anak lagi. Biasanya orang yang meninggal saur matua sepulang dari pekuburan biasanya dilakukan ritual adat ungkap hombung. Adat ungkap hombung adalah ritus memberikan sebagian harta yang ditinggalkan simendiang (berbagi harta warisan) untuk diberikan kepada pihak hula-hula. Namun mengenai adat ungkap hombung ini telah memiliki variasi pengertian pada masa kini. Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung keluarga kematian orangtua yang tergolong saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula. Sebagian masyarakat batak dewasa ini lebih memahami upacara saur matua bukan untuk menyembah siorang tua agar kekuatan sahala diberikan kepada anak cucunya tetapi sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas anugrah umur panjang kepada orang yang mati saur matua. Namun konsep saur matua sebagai “kematian sempurna” tetap dipertahankan karena orientasi sosial budaya masa kini juga mengangap simati di usia yang sangat tua adalah kematian yang paling baik.

Acara adat dilakukan akan semakin besar serta memakan waktu lama dimulai dari jenis mate mangkar hingga kepada mate mauli bulung. Penghormatan terhadap seorang Acara adat dilakukan akan semakin besar serta memakan waktu lama dimulai dari jenis mate mangkar hingga kepada mate mauli bulung. Penghormatan terhadap seorang

1. Kuburan umum tempat pemakaman satu kampung atau disebut huta.

2. Tambak yaitu berupa tanah yang ditinggikan diatas kuburan seorang yang mati dalam peringkat sarimatua/saurmatua. Tanah yang ditinggikan tersebut terdapat rumput manis diletakkan secara terbalik, bertingkat tiga,lima dan tujuh. Diatas tanah yang ditinggikan itu ditanam pohon hariara atau beringin dan bintatar sebagai pertanda. Dengan berbagai variasi yang berkembang kemudian tambak digunakan sebagai pusara bagi keluarga atau marga dan biasanya dibangun dikampung asal (bona pasogit)

3. Tugu sebagai monumen pembangunannya berkembang secara besar-besaran. Tugu ini biasanya dibangun untuk persatuan marga dibona pasogit atau kampung asal dan didalamnya terdapat tulang belulang leluhur dengan ritual magongkal holi atau menggali dan memindahkan tulang belulang.

3.3 Tahap Pelaksanaan Pesta Adat Saur matua Desa Sigumpar

3.3.1 Tahapan Ke Arah Pelaksanaan Adat.

Pada tahap ini akan diadakan parpunguan hata (pembicaraan). Keluarga berkumpul untuk mencari kesepakatan (adat dan dana) tentang konsep adat yang akan dilaksanakan. Setelah ada kesepakatan, maka konsep adat yang akan dilaksanakan disampaikan kepada tetua adat untuk mendapatkan pengarahan sesuai konsep yang sudah disepakati. Di sinilah fungsi raja adat atau tetua adat dalam menyikapi konsep adat yang diterima, apabila ada kekurangan dan kelebihan tentunya tetua adat/raja adat mempunyai fungsi untuk menyempurnakan. Setelah tidak ada masalah undangan diberikan kepada pihak tulang dan

hula-hula serta kepada tetua adat. Apabila sudah saur matua dan mauli bulung undangan disampikan juga kepada hula-hula, buna tulang, hula-hula namarhaha-anggi dan hula-hula anak manjae serta tulang rorobot/narobot. Setelah hula hula hadir semua, antara hasuhuton dengan pihak hula-hula duduk berhadapan dan hasuhuton terlebih dahulu mengecek kehadiran semua undangan terutama hula-hula dan tulang serta tulang rorobot. Kata sambutan dari hasuhuton (hata huhuasi) atas kehadiran semua undangan terutama atas kehadiran horong ni hula-hula. Pada akhir huhuasi di beritahukan maksud dan tujuan undangan dan minta nasehat terhadap rencana yang diutarakan. Kalau sudah ada kesepakatan antara hasuhuton, horong ni hula-hula serta dongan sahuta, tentang konsep adat yang akan dilaksanakan terhadap yang meninggal maka pada hari yang sudah ditentukan dalam pelaksanaan adat tinggal mengikuti konsep yang sudah disepakati tadi. Bagi sebagian daerah pembicaraan konsep adat dengan hula-hula sudah dianggap parrapoton. Akan tetapi disebagian daerah parrapoton diadakan pada saat pembukaan pelaksanaan adat dipimpin oleh seorang raja adat yang sudah punya cucu. Raja adat tersebut akan memperkenalkan diri di depan halayak ramai dan keluarga yang kemalangan seperti ini ; “Au na di patua di adaton di sigumpar on, au namarpanggoaran Op Punguan Hutasoit, manguluhon parrapoton di partua ni inanta naung jumolo monding on, sai anggiat ma tutu dijalo Tuhanta on asa hita pe nadi tinggalhonna tong dibagas hahipason, Mauliate ma”.

3.3.2 Jalannya Upacara Saur matua

Walaupun adat pada masyarakat batak toba hampir sama, akan tetapi disini membahas upacara adat yang terdapat didesa sigumpar yaitu pada kematian saur matua. Saur matua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap atau sempurna dalam kekerabatan telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan, maka harus Walaupun adat pada masyarakat batak toba hampir sama, akan tetapi disini membahas upacara adat yang terdapat didesa sigumpar yaitu pada kematian saur matua. Saur matua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik dari anak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya lengkap atau sempurna dalam kekerabatan telah beranak cucu. Karena yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan, maka harus

Ketika seseorang masyarakat Batak mate saur matua, maka sewajarnya pihak-pihak kerabat segera mungkin mengadakan musyawarah keluarga (martonggo raja), membahas persiapan pengadaan upacara saur matua. Pihak-pihak kerabat terdiri dari unsur-unsur dalihan natolu. Dalihan natolu adalah sistem hubungan sosial masyarakat batak terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan yaitu: pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu: teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah). Fungsi dalihan natolu menggunakan istilah adat yaitu Pangarapotan: Adalah suatu penghormatan kepada yang meninggal yang mempunyai gelar Sari Matua dan lain-lain sebelum acara besarnya dan penguburannya atau dihalaman (bilamana memungkinkan). Dalam hal ini suhut dapat meminta tumpak (bantuan) secara resmi dari family yang tergabung dalam dalihan natolu disebut tumpak di alaman. Partuatna : hari yang dianggap menyelesaikan adat kepada seluruh halayat dalihan natolu yang mempunyai hubunngan berdasarkan adat. Pada waktu pelaksanaan ini pulu suhut akan memberikan piso-piso/stuak natonggi kepada kelompok hula-hula/tulang yang mana memberikan ulos tersebut diatas kepada yang meninggal dan keluarga dan pemberian uang ini oleh keluarga tanda kasihnya.

Dalam dalihan natolu mempunyai 3 hal yang berhubungan dengan ulos yaitu: Pemberian Ulos saput. Ulos ini diberikan kepada yang meninggal dunia sebagai tanda perpisahan. Siapakah yang berhak memberikan saput tersebut, dalam hal ini perlu kita Dalam dalihan natolu mempunyai 3 hal yang berhubungan dengan ulos yaitu: Pemberian Ulos saput. Ulos ini diberikan kepada yang meninggal dunia sebagai tanda perpisahan. Siapakah yang berhak memberikan saput tersebut, dalam hal ini perlu kita

holong . Dari semua pihak hula-hula, tulang rerobot bahkan bona ni ari termasuk dari hula- hula ni anak manjae/hula-hula ni na marhahamaranggi, berhak memberikan kepada keluarga yang meninggal. Juga pada waktu bersamaan ini pula dibagikan jambar-jambar sesuai dengan fungsinya masing-masing dengan azas musyawarah sebelumnya, setelah itu dilaksanakanlah upacara adat mandokon hata dari masing-masing pihak sesuai dengan urutan-urutan secara tertulis. Setelah selesai, bagi orang Kristen diserahkan kepada Gereja (Huria) untuk seterusnya dikuburkan. Setelah semua dalihan natolu berkumpul maka diadakanlah martonggo raja. Martonggo raja dilaksanakan oleh seluruh pihak di halaman luar rumah duka, pada sore hari sampai selesai. Pihak masyarakat setempat (dongan sahuta) turut hadir sebagai pendengar dalam rapat biasanya akan turut membantu dalam penyelenggaraan upacara. Rapat membahas penentuan waktu pelaksanaan upacara, lokasi pemakaman, acara adat sesudah penguburan, dan keperluan teknis upacara dengan pembagian tugas masing- masing. Keperluan teknis menyangkut penyediaan peralatan upacara seperti: pengadaan peti mati, penyewaan alat musik beserta pemain musik, alat-alat makan beserta hidangan buat yang menghadiri upacara.

Ket gambar : Jenazah dalam peti (kiri) dikelilingi oleh para keturunannya, salah satu gerak tortor (tengah), prosesi penguburan diserahkan kepada pihak Greja (kanan).

Jalannya upacara saur matua yang terdapat pada masyarakat toba desa sigumpar ada beberapa hal yakni; Upacara dijabu menuju maralaman dalam arti semua suhut sudah bersiap-siap lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan upacara dijabu menuju maralaman. Setelah semuanya hadir dirumah duka, maka upacara ini dimulai tepatnya pada waktu matahari akan naik sekita pukul 10.00 Wib. Anak laki-laki berdiri disebelah kanan peti mayat, anak perempuan atau pihak boru berdiri disebelah kiri, hula-hula bersama pengurus gereja berdiri didepan peti mayat dan dongan sabutuha berdiri dibelakang boru. Kemudian acara dipimpin oleh pengurus greja mengenakan pakaian resmi atau jubah.

Setelah acara greja selesai maka pengurus greja menyuruh pihak boru untuk mengangkat peti mayat kehalaman rumah sambil diiringi dengan nyanyian greja yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara hati-hati dan perlahan-lahan oleh pihak boru dibantu oleh pihak hasuhuton juga dongan sabutuha ke halaman. Peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang lalu peti mayat itu diletakkan dihalaman rumah sebelah kanan dan didepannya diletakkan palang salib kristen yang bertiliskan nama orang tua yang meninggal. Sesampainya dihalaman peti mayat ditutup dan diletakkan diatas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur dalihan na tolu yang ada didalam rumah kemudian berkumpul dihalaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya.

Ket gambar : upacara Greja saat dihalaman rumah

Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu gondang yaitu gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya yang maha kuasa berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera dimasa mendatang lalu pargonsi memainkan sitolu gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari. Setelah sitolu gondang itu selesai dimainkan pengurus greja kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saur matua ini selamat-selamat dan sejahtera. Pada jenis gondang ini rombongan greja menari mengelilingi borotan. Gerak tari pada gondang ini adalah kedua tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang. Setelah mengelilingi borotan maka pihak pengurus greja memberkati semua boru dan suhut. Setelah hasuhuton selesai menari pada gondang mangaliat, maka menarilah dongan sabutuha juga dengan gondang mangaliat dengan memberikan “beras si pir ni tondi” kepada suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru sambil memberikan beras atau uang. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau uang mereka juga memberikan ulos kepada semua keturunan orangtua yang meninggal (baik anak laki-laki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan ulos holong.

Biasanya setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang diberikan hula-hula lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan kemudian pihak ale-ale yang mangaliat juga memberikan beras atau uang. Kegiatan gondang ini di akhiri dengan pihak parhobas dan naposo bulung yang menari. Pada akhir dari setiap kelompok yang menari selalu dimintakan gondang hasahatan atau sitio-tio dan mengucapkan “Horas” sebanyak tiga kali.

Pada saat setiap kelompok dalihan na tolu menari, ada juga yang mengadakan pembagian jambar dengan memberikan sepotong daging yang diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang berkepentingan dan pembagian jambar serta margondang terus berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka acara diserahkan kepada pengurus greja karena merekalah yang akan menurup upacara ini lalu semua unsur dalihan na tolu mengelilingi peti mayat yang tertutup. Dimulai acara greja dengan bernyanyi, berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata sambutan dari pengurus greja, bernyanyi dan doa penutup. Kemudian peti mayat dipakukan dan siap untuk dibawa ketempat penguburannya yang terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya peti mayat diangkat oleh hasuhuton dibantu dengan boru dan dongan sahuta sambil diiringi nyanyian greja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ketempat pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada pengurus greja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua yang turut mengantar kerumah duka. Acara sesudah upacara kematian artinya sesampainya pihak suhut, hasuhuton, boru, dongan sabutuha, hula-hula dirumah duka, maka acara selanjutnya adalah makan bersama. Pembagian jambar langsung dipinpin oleh pengetua adat tetapi terdapat beberapa variasi pada berbagai tempat yang ada pada masyarakat batak toba. Salah satu uraian yang diberikan dalam pembagian jambar ini adalah sebagai berikut:

Kepala untuk tulang

Telur untuk pangolin

Somba-somba untuk bona tulang

Satu tulang paha belakang untuk bona ni ari

Satu tulang belakang untuk parbonaan

Leher dan sekerat daging untuk boru

Setelah pembagian jambar ini selesai dilaksanakan maka kepada setiap hula-hula yang memberikan ulos karena meninggal saur matua orang tua ini akan diberikan piso yang disebut “pasahatton piso-piso” yaitu menyerahkan sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya menurut kedudukan masing-masing dan keadaan bila mana seorang ibu yang meninggal saur matua maka diadakan mangungkap hombung (buha hombung) yang dilakukan oleh hula-hula dari ibu yang meninggal biasanya dijalankan oleh amana posona (anak dari ito atau abang adek yang meninggal). Buha hombung artinya membuka simpanan dari ibu yang meninggal. Hombung ialah suatu tempat tersembunyi dalam rumah, dimana seorang ibu menyimpan harta keluarga berupa pusaka, perhiasan, emas dan uang. Harta kekayaan itu diminta oleh hula-hula sebagai kenang-kenangan juga sebagai kesempatan terkahir untuk meminta sesuatu dari simpanan borunya, setelah selesai mangungkap hombung maka upacara ditutup oleh pengetua adat. Beberapa hari setelah selesai upacara kematian saur matua, hula-hula datang untuk mangapuli (memberikan penghiburan) kepada keluarga dari orang yang meninggal saur matua dengan membawa makanan berupa ikan mas, yang bekerja menyediakan keperluan acara adalah pihak boru.

Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi, berdoa, menyampaikan kata-kata penghiburan, setelah itu dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah acara ini selesai maka selesailah pelaksanaan upacara kematian saur matua. Latar belakang dari pelaksanaan upacara kematian saur matua ini adalah karena faktor adat yang harus dijalankan oleh para keturunan orang tua Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi, berdoa, menyampaikan kata-kata penghiburan, setelah itu dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah acara ini selesai maka selesailah pelaksanaan upacara kematian saur matua. Latar belakang dari pelaksanaan upacara kematian saur matua ini adalah karena faktor adat yang harus dijalankan oleh para keturunan orang tua

Sebagai salah satu bentuk aktivitas adat maka pelaksanaan upacara ini tidak terlepas dari kehadiran dari unsur-unsur dalihan na tolu yang memainkan peranan berupa hak dan kewajiban mereka. Maka dalihan na tolu ini lah yang mengatur peranan tersebut sehingga perilaku setiap unsur khususnya dalam kegiatan adat maupun dalam kehidupan sehari-hari tidak menyimpang dari adat yang sudah ada.

3.3.3 Pelaksanaan Upacara Adat

Pelaksanaan upacara bergantung pada lamanya mayat disemayamkan. Idealnya diadakan ketika seluruh putra-putri orang yang mati saur matua dan pihak hula-hula (saudara laki-laki dari pihak istri) telah hadir. Namun karena telah banyak masyarakat batak merantau sering terpaksa berhari-hari menunda pelaksanaan upacara (sebelum dikuburkan) demi menunggu kedatangan anak-anaknya yang telah berdomisili jauh. Hal seperti itu dalam martonggo raja dapat dijadikan pertimbangan untuk memutuskan kapan pelaksanaan puncak upacara saur matua sebelum dikuburkan. Sambil menunggu kedatangan semua anggota keluarga, dapat dibarengi dengan acara non adat yaitu menerima kedatangan para pelayat. Pada hari yang sudah ditentukan upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari diruangan terbuka yang cukup luas (idealnya dihalaman rumah duka).

Ket gambar : upacara dihalaman rumah

Jenazah yang telah dimasukkan kedalam peti mati diletakkan ditengah-tengah seluruh anak dan cucu dengan posisi peti bagian kaki mengarah ke pintu keluar rumah. Disebelah kanan peti jenazah adalah anak-anak lelaki dengan para istri dan anaknya masing-masing, disebelah kiri adalah anak-anak perempuan dengan para suami dan anaknya masing-masing, disinilah dimulai rangkaian upacara saur matua. Ketika seluruh pelayat dari masyarakat adat telah datang (idealnya sebelum jamuan makan siang). Jamuan makan merupakan kesempatan pihak penyelenggara upacara menyediakan hidangan kepada para pelayat berupa nasi dengan lauk berupa hewan kurban yang sebelumnya telah dipersiapkan oleh para parhobas (orang- orang yang ditugaskan memasak segala makanan selama pesta). Setelah jamuan makan dilakukan ritual pembagian jambar (hak bagian atau hak perolehan dari milik bersama). Jambar terdiri dari empat jenis berupa juhut (daging), hepeng (uang), tortor (tari) dan hata (berbicara) masing-masing pihak dari dalihan na tolu mendapatkan hak dari jambar sesuai ketentuan adat. Pembagian jambar hepeng tidak wajib karena pembagian jambar juhut di anggap menggantikan jambar hepeng namun bagi keluarga status sosial terpandang jambar hepeng biasanya ada.

Selepas ritus pembagian jambar juhut dilanjutkan ritual pelaksanaan jambar hata berupa kesempatan masing-masing pihak memberikan kata penghiburan kepada anak-anak orang yang meninggal saur matua (pihak hasuhuton). Urutan kata dimulai dari hula-hula dilanjutkan dengan dongan sahuta, kemudian boru/bere dan terakhir dongan sabutuha. Setiap pergantian kata penghiburan diselingi ritual jambar tortor yaitu ritus manortor (menarikan tarian tortor). Tortor adalah tarian tradisional khas batak. Tarian tortor biasanya diiringi musik dari gondang sabangunan. Gondang sabangunan adalah orkes musik tradisional batak terdiri dari seperangkat instrumen yakni : empat ogung, satu hesek, lima taganing, satu odap, satu gondang dan satu sarune.

Setelah jambar tortor dari semua pelayat selesai, selanjutnya adalah kata-kata ungkapan sebagai balasan pihak hasuhuton kepada masing-masing pihak yang memberikan jambar hata dan jambar tortor tadi. Selanjutnya salah seorang suhut mengucapkan jambar hata balasan (mangampu) sekaligus mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terlaksanya upacara. Setiap peralihan mangampu dari satu pihak ke pihak lain diselingi ritus manortor. Manortor dilakukan dengan sambil menghampiri dari tiap pihak yang telah mengakhiri upacara tersebut sebagai tanda penghormatan sekaligus meminta doa restu.

Setelah semua ritus tersebut selesai dilaksanakan, upacara adat diakhiri dengan menyerahkan ritual terakhir (acara penguburan berupa ibadah singkat). Ibadah bisa dilakukan ditempat itu juga tau ketika jenazah sampai dilokasi penguburan. Hal ini menyesuaikan kondisi namun prinsipnya sama saja. Maka sebelum peti dimasukkan kedalam lobang tanah yang sudah digali sebelumnya, ibadah singkat dilaksanakan dengan berdoa kemudian jenazah yang sudah di dalam peti yang tertutup dikuburkan.

Ket gambar : upacara ritual saat penguburan

Sepulang dari pekuburan dilakukan ritual adat ungkap hombung yaitu pembagian harta yang ditinggalkan mendiang tersebut untuk diberikan kepada hula-hula. Idealnya tanpa diingatkan oleh pihak hula-hula, ungkap hombung dapat dibicarakan atau beberapa hari sesudahnya. Apapun yang akan diberikan untuk ungkap hombung keluarga yang kematian orangtua yang tergolong saur matua hendaklah membawa rasa senang pada pihak hula-hula. Ini adalah bagian dari ritual kematian adat batak khususnya batak toba. Memang unik tetapi itu nyata dan saya melihat serta pernah mengikuti proses ini sendiri. Kematian yang seharusnya dengan air mata akan penuh dengan canda tawa dan riuhnya pesta pakai musik layaknya pesta pernikahan hannya jika mendiang meninggal dengan status saur matua tadi. Ya, ini memang adatnya. Kita tidak mungkin menolak atau menentangnya. Tetapi saya bangga memiliki budaya seperti ini penuh kekhasan yang tidak ada di negara lain di dunia ini.

Setelah keperluan upacar selesai dipersiapkan barulah upacara kematian saur matua ini dapat dimulai. Pelaksanaan upacara kematian saur matua ini terbagi atas dua bagian yaitu :

1. Upacara dijabu (didalam rumah) termasuk didalamnya upacara di jabu menuju maralaman (upacara dirumah menuju halaman) artinya pada saat upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orang tua yang meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan dengan kamar orang tua yang meninggal ataupun kamar anak- anaknya dan diselimuti dengan ulos sibolang. Suami atau istri yang ditinggalkan duduk disebelah kanan tepatnya disamping muka orang yang meninggal. Kemudian diikuti oleh anak laki-laki mulai dari anak yang paling besar sampai anak yang paling kecil. Anak perempuan dari orang tua yang meninggal, duduk disebelah kiri dari peti mayat, sedangkan cucu dan cicitnya ada yang duduk dibelakang atau di depan orang tua mereka masing-masing. Dan semua unsur dari dalihan na tolu sudah hadir di rumah duka dengan mengenakan ulos.

2. Upacara maralaman (dihalaman) artinya upacara yang kegiatannya pestanya di laksanakan di luar rumah, biasanya pas di depan (halaman rumah). Kedua bentuk upacara inilah yang dilaksanakan oleh masyarakat batak toba sebelum mengantarkan jenazah ke liang kubur.

3.3.4 Lokasi Upacara Saur Matua

Pada hari yang sudah ditentukan upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya dihalaman rumah duka). Di dalam adat batak toba jika seseorang yang saur matua meninggal maka harus diberangkatkan dari antara bidang (halaman) kekuburan (partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat partuatna. Pada upacara ini posisi dari semua unsur dalihan na tolu berbeda dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara didalam rumah. Pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling besar ke yang bungsu) dan dibelakang mereka berdiri parumaen (menantu perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak Pada hari yang sudah ditentukan upacara saur matua dilaksanakan pada siang hari, di ruangan terbuka yang cukup luas (idealnya dihalaman rumah duka). Di dalam adat batak toba jika seseorang yang saur matua meninggal maka harus diberangkatkan dari antara bidang (halaman) kekuburan (partuatna). Maka dalam upacara maralaman akan dilaksanakan adat partuatna. Pada upacara ini posisi dari semua unsur dalihan na tolu berbeda dengan posisi mereka ketika mengikuti upacara didalam rumah. Pihak suhut berbaris mulai dari kanan ke kiri (yang paling besar ke yang bungsu) dan dibelakang mereka berdiri parumaen (menantu perempuan dari yang meninggal) posisi dari suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak

BAB IV

ANALISIS TEKSTUAL DAN FUNGSI SOSIAL BUDAYA NYANYIAN ANDUNG

Dalam bab ini akan dibahas mengenai analisis tekstual dan fungsi sosial andung. Penulis disini akan mendeskripsikan teks dari andung dengan menterjemahkannya dan melihat apa-apa saja makna teks tersebut. Penulis juga akan melihat bagaimana pengaruh andung itu sendiri terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat batak toba. Dengan demikian maka akan dapat diketahui fungsi sosial dan budaya dari andung tersebut.

4.1 Analisis Tekstual

Analisis tekstual adalah suatu penyelidikan atau pemeriksaan yang melakukannya dengan memakai metode ilmiah, biasanya untuk mengkaji isi karangan atau isi teks nyanyian (Echols dan Shadili 1986: 380)

Mengamati bagaimana penggarapan teks dari nyanyian andung, seperti yang dikemukakan Merriam (1964:189), mengemukakan bahwa kalimat-kalimat teks lagu dari sekelompok budaya sering tidak mengikuti sturuktur bahasa daerahnya sendiri. Kecenderungan teknis penggunaan bahasa dalam teks nyanyian, dibagi dalam beberapa pendekatan tekhnik eufonis yaitu penghilangan atau penambahan silabel untuk tujuan pencapaian efek musikal. Selanjutnya pengubahan bunyi dari kata yang biasa dalam percakapan sehari-hari menjadi bunyi yang tidak biasa dalam suatu teks nyanyian.

Untuk menganalisis teks nyanyian penulis mengacu kepada tulisan Meriam (1964:187) menyebutkan suatu yang paling penting untuk mengerti tata tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan musik adalah melalui teks nyayian. Teks tentu saja ialah bahasa tingkah laku yang lebih dari bunyi musik, mereka merupakan suatu kesatuan yang integral Untuk menganalisis teks nyanyian penulis mengacu kepada tulisan Meriam (1964:187) menyebutkan suatu yang paling penting untuk mengerti tata tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan musik adalah melalui teks nyayian. Teks tentu saja ialah bahasa tingkah laku yang lebih dari bunyi musik, mereka merupakan suatu kesatuan yang integral

4.2 Deskripsi Nyanyian Andung

Andung adalah sebuah nyanyian ratapan yang disajikan oleh perempuan dalam konteks kematian. Isi daripada andung tersebut merupakan kisah hidup orang yang meninggal dunia dinyanyikan atau diandungkan dihadapan jasadnya. Nyanyian ratapan ini memakai beberapa ikon-ikon tangisan.

Teks yang dinyanyikan selalu muncul secara spontan berdasarkan konteks penyajiannya. Artinya teks yang muncul tidak bersifat baku dan muncul berdasarkan suasana hati sipenyaji. Sipenyaji selalu merasa bebas untuk memulai atau menggarap teksnya. Hal yang sama juga terjadi dalam penggarapan melodi dan ritem andung. Hal ini terjadi karena secara struktural, melodi dan ritem andung ini memang tidak memiliki bentuk yang baku. Hal ini pula yang menyebabkan bahwa penyajian nyanyian andung selalu bervariasi, karena setiap penyaji akan menyajikannya dengan gaya dan tekhnik yang berbeda-beda.

4.2.1 Teks Nyanyian Andung

Dalam menuliskan teks dari nyanyian andung ini, penulis akan menampilkan teks nyanyian yang disajikan oleh Op Bronson Hutasoit (56 tahun). Disini penulis juga akan menuliskan terjemahan dari teks tersebut yang mana langsung diterjemahkan oleh penulis sendiri agar memudahkan pembaca dalam membaca teksnya, penulis langsung membubuhkan terjemahannya dibawah teks tersebut.

Adapun kata-kata tersebut adalah :

Inong...

Ahado namasa naro tuho inong,nungga lao beho hapek manadingkon hami inong..g

Ise nama donganku marsipasukkunan i inongku..uu

Ise ma donganku narap tu pestaii..i

Hapek sai burju ho nian inong..

Haccit nai pambahenanmon tuhami inongku...

Paet nai pakkilaan nami on inong,toppu nai panadingmon dihami inongkuuu..

Inong..

Burju nai ho inong manadingkon hami,laos soadong tonam tuhami inongku..

Inong..

Alusi jo au inong ale-alemon na jou-jou on,sangap dope ho dihami da inongku,arga dope ho dihami inong..

Ise nama donganku rap tubalian i,marende ende hita diladang i,age tahe tung so tagam do rohakku diparlaomon inongku..

Naboha do di hilala ho inong.. umbaen toppu parlaomon inongku..

Alusi jo au inonggg..

Terjemahannya:

Ibu...

Apanya yang terjadi samamu ibu,udah pergi kamu meninggalkan kami ibuu..u

Siapalah kawanku bisa saling bertannya ibu..

Siapalah kawanku yang sama ke pesta itu..

Padahal baik kali kau ibu..

Ngeri kali kami rasakan ibu, cepat kalilah Ibu pergi..

Ibu...

Baik kali lah kau ibu meninggalkan kami tanpa ada pesa apapun..

Ibu..

Jawab dulu aku kawanmu ini yang manggil-manggil ibu,masih berharganya kau sama kami ibu..

Siapalah kawanku sama ke ladang itu,nyanyi-nyai kita disana,yahh gak nyangka aku kau pergi begitu saja.

Kenapa nya kau ibu apa yang kau rasakan makanya cepat kali pergi..

Jawab dulu aku ibu..

Dari teks diatas merupakan gambaran kisah sedih sipangandung. Andung ini tidak diiringi musik. Orang yang mangandung diatas adalah sahabat akrab orang yang meninggal tersebut (bahasa bataknya Ale-alena hinan), yaitu Op Bronson Hutasoit yang dulu semasa hidupnya dialah kawannya paling akrab, ketika mereka keladang ataupun kepesta mereka selalu sama. Sipenyaji mengungkapkan hal yang dirasakannya itu sambil menangis atau merasa sangat bersedih, orang-orang yang mendengarnya juga ikut bersedih bahkan ada juga yang ikut menangis.

4.2.2 Pemilihan dan Penggunaan Kata dalam Teks Nyanyian Andung

Berdasarkan teks yang dituliskan sebelumnya, dapat dilihat bahwa kata-kata yang dipakai dalam teks nyanyian andung merupakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bahasa sehari-hari masyarakat batak toba. Teks yang digunakan adalah kalimat yang tidak bersifat baku, karena berasal dari perasaan (apa yang dirasakan) oleh sipenyaji. Andung yang diungkapkan oleh sipenyaji tersebut juga bermanfaat agar orang-orang yang mendengarnya tau betapa akrabnya dulu mereka.

4.2.3 Struktur Teks Nyanyian Andung

Bila dilihat struktur bentuk teks dari nyanyian andung dapat digolongkan dalam bentuk prosa yaitu rangkaian kata-kata yang disajikan didepan orang yang meninggal yang biasanya di ungkapkan tentang bagaimana sifat dan tingkah laku orang yang meninggal tersebut sehingga memiliki suatu cerita atau persambungan makna dengan menggunakan bahasa sehari-hari yang halus dan memiliki makna-makna khusus. Teks dari nyanyian andung tidak terikat dengan pola-pola persajakan atau pola-pola pantun, tetapi merupakan paparan yang cukup lugas dan indah karena bahasa yang konotatif. Secara umum teks dari nyanyian andung tidak memiliki struktur teks yang baku. Artinya teks yang diungkapkan oleh sipenyaji selalu berdasarkan isi hati atau perasaan sipenyaji itu sendiri. Apa yang diungkapkan si penyaji pada awal andung nya bisa saja muncul pada bagian pertengahan atau di akhir andung nya tersebut. Nyanyian andung ini biasanya diungkapkan secara berulang- ulang. Teks dari nyanyian andung ini tidak memiliki aturan mengenai dimana letak bagian pembuka, isi, atau penutup. Seluruh teks dari nyanyian andung merupakan isi karena keseluruhan dari teks tersebut berisi ungkapan perasaan yang dirasakan sipenyaji.

4.2.4 Isi Teks Nyanyian Andung

Jika diamati lebih jauh teks dari nyanyian andung berisi sifat kesehariannya orang yang meninggal. Sipenyaji mengungkapkan isi perasaanya yang sangat sedih ketika ditinggal oleh sahabat akrabnya itu, bisa juga ungkapan rasa kecewa atau penyesalan sipenyaji bahwa orang yang disayanginya dan diharapkannya telah pergi jauh untuk selamanya. Meskipun dirundung dengan kesedihan yang demikian, didalam nyanyian andung ini juga selalu menyertakan hata (kata-kata atau pesan), dan tangiang (Doa dan harapan) yang disampaikan oleh sipenyaji.

4.2.5 Fungsi Sosial Budaya Nyanyian Andung Pada Masyarakat Toba

Selain menganalisis struktur teksnya, fokus penelitian pada tulisan ini juga membahas mengenai fungsi sosial dan budaya nyanyian andung. Seperti yang dikemukakan oleh Alan P Merriam dalam bukunya The Anthropology Of Music menyatakan ada 10 fungsi dari musik. Akan tetapi disini ada beberapa fungsi yang dipakai yaitu (1)fungsi pengungkapan emosional yaitu disini music berfungsi sebagai suatu media bagi seseorang yaitu untuk mengungkapkan perasaan atau emosinya. (2)fungsi komunikasi yaitu musik memiliki fungsi komunikasi berarti bahwa sebuah music yang berlaku disuatu daerah kebudayaan mengandung isyarat- isyarat tersendiri yang hannya diketahui oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari teks ataupun melodi tersebut. (3)fungsi pengintegrasian masyarakat yaitu music memiliki fungsi dalam pengintegrasian masyarakat. Suatu music jika dimainkan secara bersama-sama maka tanpa disadari musik tersebut menimbulkan rasa kebersamaan diantara pemain atau penikmat musik itu. Setelah menganalisis teks dengan melihat makna yang tersirat, pesan-pesan yang terkandung, keluh kesah, dan melihat keadaan penyajiannya, maka penulis memperoleh fungsi sosial budaya dari nyanyian andung ini adalah sebagai perantara atau media budaya terhadap masyarakat toba. Adapun fungsi sosial dai andung ini Selain menganalisis struktur teksnya, fokus penelitian pada tulisan ini juga membahas mengenai fungsi sosial dan budaya nyanyian andung. Seperti yang dikemukakan oleh Alan P Merriam dalam bukunya The Anthropology Of Music menyatakan ada 10 fungsi dari musik. Akan tetapi disini ada beberapa fungsi yang dipakai yaitu (1)fungsi pengungkapan emosional yaitu disini music berfungsi sebagai suatu media bagi seseorang yaitu untuk mengungkapkan perasaan atau emosinya. (2)fungsi komunikasi yaitu musik memiliki fungsi komunikasi berarti bahwa sebuah music yang berlaku disuatu daerah kebudayaan mengandung isyarat- isyarat tersendiri yang hannya diketahui oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari teks ataupun melodi tersebut. (3)fungsi pengintegrasian masyarakat yaitu music memiliki fungsi dalam pengintegrasian masyarakat. Suatu music jika dimainkan secara bersama-sama maka tanpa disadari musik tersebut menimbulkan rasa kebersamaan diantara pemain atau penikmat musik itu. Setelah menganalisis teks dengan melihat makna yang tersirat, pesan-pesan yang terkandung, keluh kesah, dan melihat keadaan penyajiannya, maka penulis memperoleh fungsi sosial budaya dari nyanyian andung ini adalah sebagai perantara atau media budaya terhadap masyarakat toba. Adapun fungsi sosial dai andung ini

4.3 Penggarapan Teks Nyanyian Andung

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa teks dari nyanyian andung akan berganti-ganti sesuai dengan penyelenggaraan dan keadaan upacara. Hal yang sudah pasti berganti-ganti adalah menyangkut identitas penyelenggara upacara. Ditambah kondisi keluarga yang berbeda-beda maka harus berbeda juga penggarapan teks untuk mengungkapkan keadaan itu.

Langkah awal yang dilakukan oleh sipenyaji andung untuk penggarapan teks adalah dengan memperhatikan kondisi keluarga. Langkah yang biasanya dilaksanakan untuk memperoleh atau mencari tahu secara detail keadaan orang yang meninggal adalah dengan mengingat penderitaan yang dialami dalam hidupnya. Semua keluh kesah diungkapkan dalam andung tersebut. Teks yang disajikan dalam andung berupa ungkapan kesedihan sipenyaji. Biasanya dalam mangandung ini bisa juga di iringi dengan ende (lagu untuk orang meninggal) yang dibawakan oleh salah satu orang disekitarnya kemudian diikuti oleh andung-andung.

Tidak ada batasan untuk seseorang yang akan menyajikan nyanyian andung, misalnya kelas masyarakat, jenis kelamin, umur atau golongan. Namun secara umum semua masyarakat yang ikut turut berduka bisa mangandung, baik anak-anak maupun orang dewasa.

Akan tetapi orang yang pada umumnya mangandung adalah orang yang sudah dewasa atau orang tua.

4.4 Aspek bahasa

Sesuai dengan Ensiklopedia Indonesia (1986: 45), bahasa adalah kumpulan kata-kata dan aturannya yang tetap dalam menggabungkannya, berupa kalimat dan merupakan sistem bunyi yang melambangkan pengertian-pengertian tertentu. Dari segi ilmu bahasa, nyanyian (musik vokal) adalah penggabungan kata-kata yang memiliki intonasi dengan ciri-ciri khusus berupa modifikasi intonasi wicara.

Menyangkut hubungan bahasa dengan musik ini sudah lama menjadi perhatian dari ilmuwan bahasa dan musik. Bahkan para ilmuan sosial dan etnomusikologi sering membahas hubungan antara musik dengan bahasa atau bunyi musikal dengan fenomena linguistik (linguistik fenomena). Menurut Seeger (1977:142), ada dua hal yang dapat dikemukakan dari hubungan interelasi antar kedua unsur tersebut yaitu:

1. Bahasa didalam musik, yaitu meliputi hubungan (relasi) tekstual, sifat puitik dan gaya bahasa di dalam struktur nyanyian.

2. Musik di dalam bahasa, yakni masalah yang meliputi eksistensi sifat (propertis) kemusikalan dari bahasa.

Sesuai dengan topik tulisan ini yaitu nyanyian andung sebagai nyanyian rakyat, jelas mempunyai hubungan inter relasi antara unsur bahasa dengan musiknya, baik itu yang meliputi hubungan tekstual didalam sturuktur nyanyian maupun dalam pemilihan kata.

Bila kita amati sepintas lalu, maka kata-kata yang dipergunakan dalam nyanyian andung pada umumnya sama dengan kata-kata yang dipergunakan dalam kehidupan sehari- hari yang dipilih lebih halus. Pengamatan sekilas kata-kata yang dipergunakan dalam Bila kita amati sepintas lalu, maka kata-kata yang dipergunakan dalam nyanyian andung pada umumnya sama dengan kata-kata yang dipergunakan dalam kehidupan sehari- hari yang dipilih lebih halus. Pengamatan sekilas kata-kata yang dipergunakan dalam

Walaupun begitu tidak semua kata-kata yang dipergunakan dalam andung tidak seluruhnya bergantung pada makna denotatif, tetapi lebih cenderung pada makna konotatif. Makna konotasi inilah yang justru lebih banyak memberi efek makna bagi yang mendengar, karena mampu meresap kedalam hati dan perasaan para pendengarnya.

Bila kita lihat dalam kalimat .....boasama tadingkononmu hami gellengmon inang.... kata boasama tadingkononmu pada kalimat tersebut secara denotatif mengandung arti perasaan sedih karena ditinggal, namun arti yang tersirat atau secara konotatif mengandung makna sedih. Sehingga kalimat tersebut mengandung makna “ungkapan kesedihan sipenyaji. Jadi kata yang diungkapkan tersebut biasanya mempunyai makna dan arti tertentu

4.4.1 Proses Transkripsi

Sebagai langkah awal yang dilakukan oleh penulis dalam pentranskripsian, pertama sekali penulis mengadakan rekaman langsung dari Op.Bronson Hutasoit (Informan pokok). Rekaman yang ditranskripsi bukan pada saat berlangsungnya pesta adat kematiannya, tetapi nada, melodi dan teksnya disajikan (diandungkan) pada saat hari pertama orang yang meninggal. Andung yang direkam pada hari pertama, waktu itu memang sangat sulit untuk ditranskripsi karena terlalu banyak suara-suara ribut atau bising.

Selanjutnya seluruh rekaman tersebut di copy (direkam kembali ke kaset lain maupun ke plasdisk), hal ini dilakukan supaya kaset aslinya tidak cepat rusak oleh karena sering diputar ulang dalam mendengarkan nyanyian tersebut. Penulis berusaha dapat menirukan melodi Andung untuk mempermudah pentranskripsian.

Sesuai dengan kebutuhan trasnkripsi dalam tulisan ini, maka notasi yang dipakai adalah dengan pendekatan deskriptif, karena notasi deskriptif ini dapat juga dikaitkan sebagai notasi yang digunakan untuk menuliskan nyanyian andung yang telah disajikan dari apa yang didengar.

Dalam mentranskripsikan melodi nyanyian andung, penulis akan menggunakan notasi balok. Alasan penulis menggunakan notasi balok tersebut karena dalam tradisi musik batak toba sampai saat ini belum dijumpai sistem notasi tersendiri dan notasi balok lebih mudah dipakai untuk penotasian musik seperti nyanyian andung. Pada dasarnya notasi balok ini digunakan untuk musik-musik barat, namun dalam menotasikan musik non baratpun dapat dilakukan dengan cara memodifikasi notasi tersebut. Penggunaan notasi ini lebih tepat disamping sudah lazim digunakan dalam penulisan musik juga keefektifannya dalam melihat tinggi rendahnya nada, serta mampu memberikan kemudahan dalam kerja analisis.

4.4.5 Formula Melodi

Melodi adalah jajaran atau susunan dari unsur nada yang dikombinasikan dengan unsur ritem dan bergerak/berjalan dalam waktu. Secara alami kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan. Melodi tersusun dari beberapa rangkaian nada secara horizontal.

Menurut Malm (1977:80) bahwa formula melodi (bentuk) dapat dibagi beberapa jenis yaitu :

1. Repetitif yaitu bentuk nyanyian yang diulang-ulang

2. Interatif yaitu bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan kecenderungan pengulangan-pengulangan dalam keseluruhan nyanyian

3. Reverting yaitu bentuk nyanyian yang terjadi pada perulangan frase pertama setelah terjadi penyimpangan melodi

4. Stropic yaitu bentuk nyanyian yang pengulangan melodinya tetap sama tetapi teks nyanyian baru

5. Progresive yaitu bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi melodi yang baru

Jika dikaitkan dengan apa yang telah diutarakan oleh Malm diatas, maka bentuk dari nyanyian andung dapat disebut sebagai bentuk Repetitif yaitu bentuk nyanyian yang diulang-ulang.

4.4.6 Kontur

Kontur adalah garis atau alur melodi dalam sebuah lagu, hal ini menurut Malm (1964:8) dapat dibedakan beberapa jenis yaitu:

1. Ascending yaitu garis melodi yang sifatnya menaik dari nada yang rendah ke nada yang tinggi

2. Descending yaitu garis melodi yang sifatnya menurun dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah

3. Pendulous yaitu garis melodi yang sifatnya melengkung dari nada yang rendah ke nada yang lebih tinggi, kemudian kembali ke nada yang lebih rendah atau sebaliknya dari nada yang lebih tinggi ke nada yang lebih rendah dan kembali ke nada yang lebih tinggi.

4. Terraced yaitu garis melodi yang sifatnya berjengjang seperti anak tangga dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih tinggi, kemudian bergerak sejajar, lalu bergerak ke nada yang lebih tinggi lagi dan seterusnya yang akhirnya berbentuk seperti anak tangga

5. Statis yaitu garis melodi yang sifatnya tetap bergerak dalam ruang lingkup yang terbatas/datar.

Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis dapat melihat suatu kontur melodi dari nyanyian andung adalah pendulous. Hal ini dapat dilihat dari perjalanan melodi dari nada yang tinggi ke nada yang rendah lalu kembali ke nada yang tinggi dan sebaliknya.

4.5 Meter

Kombinasi dari kuat dan lemahnya sebuah pulsa berulang disebut dengan meter (Duckworth, 1992:7). Dengan kata lain meter juga dapat didefenisikan sebagai pola berulang yang timbul dari adanya aksen atau penekanan dari sebuah bunyi musik, yang kemudian menetapkan tempo atau ketukan dari musik itu sendiri. Pola meter yang paling umum dikenal adalah duple meter (meter 2/4), triple meter (meter 3/4), dan quadruple meter (meter 4/4). Angka yang terletak disebelah kiri menunjukkan jumlah ketukan (pulsa) dalam setiap birama, sedangkan angka yang terletak disebelah kanan menunjukkan nilai dari sebuah nada pada setiap ketukan. Pola-pola tersebut dikenal dengan istilah time signature (tanda waktu). Time signature ini dituliskan /diletakkan pada awal sebuah komposisi musik.

Pada nyanyian andung tidak ditemukan adanya penggunaan meter (free meter). Karena nyanyian ini disajikan sesuai dengan kebutuhan daripada sipenyaji itu sendiri. Maksudnya adalah sipenyaji memiliki kebebasan untuk menentukan dimana dia harus berhenti maupun mulai mangandung. Dari penjelasan diatas maka penulis menyimpulkan, bahwa meter dari nyanyian andung ditentukan dari keadaan penyajiannya.

4.2 Gaya yang ditimbulkan akibat hubungan teks dan melodi

Untuk melihat gaya yang muncul akibat hubungan teks dan melodi, Malm (1977:9), menulis apabila setiap suku kata menggunakan satu nada, gaya yang demikian disebut silabis dan apabila satu suku kata menggunakan beberapa nada maka gaya tersebut dinamakan melismatis.

Berdasarkan analisis terhadap gaya yang terjadi antara hubungan teks dengan melodi, penulis dapat mengemukakan bahwa penggarapan gaya silabis pada nyanyian andung cenderung didapati diawal dan ditengah frase, sedang penggarapan gaya melismatis didapati di akhir frase.

Pada dasarnya nyanyian andung mempunyai lirik (kata-kata) dan lagu (melodi). Sehubungan dengan itu Curts Sachs (1962:66-70), menulis tentang Logogenik dan Melogenik. Logogenik adalah nyanyian yang mengutamakan teks daripada melodinya, karena melodinya hannya merupakan perulangan-perulangan saja. Sedangkan melogenik adalah nyanyian yang mengutamakan melodi, sedang secara tekstual hanyalah perulangan- perulangan saja. Apabila dikaitkan dengan dengan nyanyian andung , maka nyanyian ini dapat dikatakan sebagai nyanyian melogenik