KONSEP PENGEMBANGAN BERKELANJUTAN

V. KONSEP PENGEMBANGAN BERKELANJUTAN

uang lingkup pengembangan komoditas sagu berkelanjutan yang disarankan adalah: pengembangan kelembagaan, pengembang- an Litbang Iptek sagu, pengembangan teknologi, pengembangan inovasi, dan pengembangan entrepreneurship.

1. Pengembangan Kelembagaan

Kelembagaan yang selama ini menaruh perhatian pada pengembangan komoditas sagu perlu diberdayakan agar dapat mengimplementasikan program aksi nyata mereka. Berbagai instansi pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga sosial masyarakat (LSM) yang memiliki kepedulian terhadap pengembangan komoditas sagu perlu bersinergi untuk mengakselerasi terwujudnya berbagai macam inovasi berbasis sagu. Pengertian inovasi yang dimaksudkan disini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Prof. Hadi K. Purwadaria yaitu inovasi adalah “Gagasan baru yang telah diterapkan secara komersial dan telah mendatangkan keuntungan ”.

Kontribusi ilmuan dan berbagai stakeholder pemerhati sagu dalam mengembangkan komoditas sagu sampai saat ini baru pada tingkat wacana, publikasi ilmiah, dan invensi. Formulasi wacana, publikasi ilmiah, dan invensi akan melahirkan teknologi. Agar teknologi yang dibangkitkan dapat berguna, maka proses selanjutnya adalah transformasi teknologi melalui rekayasa sosial menuju terciptanya inovasi. Tingkatan pengembangan sampai pada tingkat inovasi inilah yang akan menjadi lokomotif pergerakan ekonomi dan impactnya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat baru dapat dirasakan. Jika kelembagaan pemerhati sagu bersinergi dalam bingkai ABG, maka dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan bermunculan inovasi baru berbasis sagu sebagai lokomotif pergerakan perekonomian masyarakat.

2. Pengembangan Litbang IPTEK

Pengembangan Litbang IPTEK Sagu akhir-akhir ini menunjukkan suatu kemajuan, terlihat dari menculnya berbagai macam organisasi yang memfokuskan aktifitasnya pada kajian sagu. Penelitian, pengetahuan, dan teknologi merupakan suatu rangkaian yang tak terpisahkan. Kajian komoditas sagu sejak Symposium International Sago Palm yang pertama sampai yang ke-11 baru-baru ini dilaksanakan di Manokwari, berbagai seminar sagu nasional dan lokal telah melahirkan banyak kajian dan ide-ide cemerlang untuk pengembangan tanaman sagu.

Penelitian sagu yang telah di lakukan sampai saat ini mencakup aspek ektnobiologi, morfologi, Anatomi, klasifikasi, habitat, agronomi, potensi produksi, pengolahan pascapanen, dan potensi sebagai bahan baku industri. Hampir semua aspek kajian telah dilakukan, tetapi belum mendalam dan masih bersifat studi awal (preliminary study). Masih diperlukan study yang mendalam dari berbagai aspek untuk mengaktualisasikan menjadi sesuatu yang memiliki nilai jual yang disebut inovasi.

Symposium International tanaman sagu yang ke 11 pada bulan November 2013 menunjukkan bahwa dari 43 makalah dan beberapa poster yang disajikan, umumnya membahas biodiversiti, habitat tegakan alami, pengolahan pascapanen, limbah sagu, dan potensi sebagai bahan baku industri. Pusat penelitian tanaman sagu dan umbi-umbian UNIPA mengungkapkan aspek etnobiologi, biodiversity, dan habitat tegakan alami tanaman sagu. Pusat penelitian tanaman sagu di Sungai Talau, Malaysia mengungkapkan aspek agronomi, technologi extraksi tepung sagu, agrobisnis, dan pengolahan tepung sagu dari tanaman sagu. The society of sago palm study, Jepang banyak mengungkapkan penelitian agronomi, biodiversiti, anatomi, dan potensi sebagai bahan baku industri dari tanaman sagu. Berbagai kajian komoditas sagu yang telah dilakukan tersebut masih sangat sedikit yang berujung pada munculnya IPTEK dan inovasi. IPTEK adalah software suatu kemajuan dan Inovasi adalah hardware dari kemajuan itu.

3. Pengembangan Teknologi

Teknologi yang dibangkitkan untuk meningkatkan daya guna dan nilai ekonomi komoditas sagu seyogyanya memenuhi tiga unsur pokok yaitu: (1) selaras dengan persoalan dan kebutuhan masyarakat, (2) sesuai dengan kapasitas adopsi masyarakat yaitu investasi awal rendah, biaya aplikasi rendah, dan teknis operasionalnya sederhana, dan (3) secara finansial menguntungkan. Teknologi yang dikembangkan oleh Para ilmuan dan perekayasa yang berkaitan dengan komoditas sagu masih sangat minim dan belum dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat secara menyeluruh dalam mengelola dan mengembangkan produk yang berbasis sagu. Teknologi dari hulu sampai hilir perlu dikembangkan untuk meningkatkan nilai tambah produk komoditas sagu.

Teknologi hulu adalah teknologi yang dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak dan bermutu tinggi, teknologi budidadaya yang dapat meningkat produksi dan mempercepat masa panen, teknologi in vitro dan rekayasa genetika yang dapat menghasilkan bibit unggul, dan teknologi pupuk yang ramah lingkungan dengan memanfaatkan mikroorganisme dan senyawa organik. Teknologi hilir adalah teknologi penen yaitu mulai dari penebangan, parut, ekstraksi pengeringan pati, dan pengemasan pati; teknologi pacapanen yaitu pemanfaatan pati sagu dengan berbagai produk kuliner dan non- kuliner, teknologi penanganan limbah untuk media tumbuh jamur, pakan ternak dan ikan; teknologi plastik biodegradabel untuk menghasilkan berbagai macam plastik yang ramah lingkungan; dan teknologi biofuel untuk menghasilkan bahan bakar.

4. Pengembangan Inovasi

Pengembangan inovasi sagu merupakan hal mutlak yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk berbasis komoditas sagu. Selain istilah inovasi yang telah dikemukan

sebelumnya, istlah lain dari inovasi itu adalah “the first application of science and technology in a new way, with commercial success ” . Goal dari berbagai macam penelitian yang dilakukan adalah invensi. Selanjutnya invensi yang dikembangkan menjadi produk

komersialisasi dan mendatangkan keuntungan disebut inovasi.

Pengembangan inovasi sangat tergantung pada kemajuan invensi. Komponen penting dari inovasi adalah sains, desain, rekayasa, dan pasar sehingga perlu melibatkan berbagai profesi (saintis, designer, perekayasa, pemasaran) untuk mempercepat terwujudnya inovasi. Dampak inovasi tergantung dari dua sifat inovasi itu sendiri yaitu disruptif dan pervasif (Darwadi dan Susanthi, 2013). Inovasi disruptif adalah difusi inovasi mensubtitusi fungsi teknologi lain yang telah mapan dan Inovasi pervasif adalah inovasi itu digunakan secara luas untuk berbagai keperluan dari berbagai sektor.

Pengembangan suatu komoditi dapat dirasakan manfaatnya, jika sudah sampai pada tingkat inovasi. Kemajuan pengembangan komoditas sagu sampai saat yaitu baru sampai pada tingkat invesi dan hanya sebagian kecil yang mencapai tingkat inovasi, sehingga kontribusinya secara luas terhadap perbaikan perekonomian belum dirasakan oleh masyarakat. Pertanyaannya adalah mengapa inovasi sagu pergerakannya begitu lambat, jawabannya sederhana yaitu belum dibuat kebijakan dan regulasi tentang pengembangan komoditas sagu. Ketika kebijakan dan regulasi berpihak pada komoditas sagu, maka dalam jangka waktu yang singkat akan memberikan pengaruh terhadap perbaikan prekonomian. Saintis telah banyak menghasilkan invensi tentang komoditas sagu. Langkah selanjutnya adalah merekayasa dan mendesain invensi agar sesuai dengan selera konsumen dan pasar. Sentuhan kebijakan dan regulasi diperlukan untuk mengakselerasi terwujud inovasi.

5. Pengembangan Entrepreneurship

Langkah yang harus dilakukan setelah inovasi dibangkitkan adalah pengembangkan entrepreneurship agar inovasi itu dapat bergulir dalam skala besar dan luas ke segenap kalangan masyarakat. Kata entrepreneurship sering kali keliru dalam memahaminya dan memaknainya. Kekeliruan (1) : Entrepreneurship diartikan sama dengan berdagang, (2) entrepreneurship diartikan sebagai mengelola bisnis, (3) entrepreneurship diartikan sebagai berproduksi, (4) entrepreneurship diartikan sebagai sesuatu yang harus dimulai dengan uang, dan (5) entrepreneurship diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan karena termotivasi untuk mendapatkan uang. Jika Langkah yang harus dilakukan setelah inovasi dibangkitkan adalah pengembangkan entrepreneurship agar inovasi itu dapat bergulir dalam skala besar dan luas ke segenap kalangan masyarakat. Kata entrepreneurship sering kali keliru dalam memahaminya dan memaknainya. Kekeliruan (1) : Entrepreneurship diartikan sama dengan berdagang, (2) entrepreneurship diartikan sebagai mengelola bisnis, (3) entrepreneurship diartikan sebagai berproduksi, (4) entrepreneurship diartikan sebagai sesuatu yang harus dimulai dengan uang, dan (5) entrepreneurship diartikan sebagai sesuatu yang dilakukan karena termotivasi untuk mendapatkan uang. Jika

bussiness or organisation from practically nathing or make things

happen ”. Selanjutnya definisi entrepreneur berdasarkan Prof. Howard Stevenson adalah the pursuit of opportunity without regards to resources currently controlled. Kedua definisi tersebut cukup

mengantarkan kita memaknai secara mendalam entrepreneurship itu. Pengembangan suatu komoditi sampai pada tingkat entrepreneur, maka komoditi itu sudah memberikan sumbangan