1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia memiliki kecenderungan untuk bersosialisasi antara yang satu dengan yang lain untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam
hal ini, manusia membuat suatu kelompok dimana terdapat hubungan yang erat diantara mereka yang hidup dalam bermasyarakat. Atas dasar ini
manusia disebut sebagai zoon politicon. Dalam hidup bermasyarakat, manusia selalu melakukan berbagai interaksi yang menimbulkan suatu
akibat. Dalam usaha melindungi masyarakat dari gangguan pelaku
pelanggar norma-norma sosial yang ada, maka salah satu sarana untuk menanggulanginya adalah dengan hukum pidana. Hukum pidana adalah
hukum yang bersifat represif, hukum yang mempunyai sanksi istimewa, hukum ini tak kenal kompromi, walupun si korban tindak pidana sudah
memaafkan atau tidak dituntut namun hukum pidana itu bersifat tegas, hukum harus ditegakkan dan pelaku harus ditindak.
1
Kebutuhan masyarakat atas hukum pidana semakin nyata, dan untuk keperluan itu oleh para ahli hukum pidana telah dipikirkan agar hukum
pidana berlaku adil sehingga timbulah bentuk-bentuk hukum pidana yang dirumuskan dalam undang-undang dan Kitab Undang-undang kodifikasi.
1
M. Faal, Penyaringan perkara pidana oleh Kepolisian Diskresi Kepolisian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, h. 4.
2
Hal ini tidak berarti hukum pidana yang ada di setiap negara di dunia berbentuk undang-undang dan kodifikasi.
Dalam masyarakat itu sendiri terdapat suatu aturan baik peraturan yang timbul dengan sendirinya selama proses sosialisasi itu berlangsung,
maupun aturan yang sengaja dibuat untuk mengatur dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat itu sendiri. Sikap tindak dalam melakukan
setiap perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tidak selamanya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Adapun tindakan yang melanggar
aturan atau peraturan hukum pidana tersebut dapat disebut dengan tindak pidana.
Tindak Pidana adalah suatu perbuatan yang bila dilanggar akan mendapatkan sanksi yang jelas dan sesuai dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana KUHP. Dari jenis tindak pidana dalam KUHP terdapat jenis tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan apabila ada
suatu pengaduan dari pihak yang dirugikan, hal ini diatur dalam Bab VII KUHP tentang mengajukan dan menarik kembali pengaduan dalam hal
kejahatan - kejahatan yang hanya dituntut atas dasar pengaduan. Pengaduan merupakan hak dari korban untuk diadakan penuntutan atau tidak dilakukan
penuntutan karena menyangkut kepentingan korban, untuk itu dalam perkara delik aduan diberikan jangka waktu pencabutan perkara yang diatur
dalam Pasal 75 KUHP. Hal ini dilakukan agar korban dapat mempertimbangkan dengan melihat dampak yang akan ditimbulkan bagi
korban apabila perkara tersebut tetap dilanjutkan atau tidak, diadakanya delik aduan adalah untuk melindungi pihak yang dirugikan dan memberikan
3
kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan perkara yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam rangka mengatur sikap manusia agar tidak mengganggu, merampas dan melanggar hak-hak orang lain, maka dibuatlah aturan pidana
agar orang-orang yang melakukan kejahatan dapat dikenai sanksi atau hukuman untuk mewujudkan ketentraman, keamanan dan kesejahteraan
dalam masyarakat. Salah satu tindak pidana yang sering dilakukan oleh seseorang adalah tindak pidana penggelapan verduistering sebagaimana
yang diatur dalam Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan Pasal 377 KUHP. Tindak pidana penggelapan di Indonesia saat ini sangat sering di
jumpai dikehidupan sehari-hari. Himpitan ekonomi dengan gaya hidup yang semakin tinggi menjadi faktor terjadinya tindak pidana penggelapan, Yang
dinamakan penggelapan adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP:
“Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri zich toeegenen barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Perkara penggelapan merupakan suatu delik atau tindak pidana biasa dan bukan delik aduan. Menurut R. Tresna, istilah pengaduan klacht tidak
sama artinya dengan pelaporan aangfte, bedanya adalah:
2
1. Pelaporan dapat diajukan terhadap segala perbuatan pidana, sedangkan
pengaduan hanya mengenai kejahatan-kejahatan, di mana adanya pengaduan itu menjadi syarat.
2. Setiap orang dapat melaporkan sesuatu kejadian, sedangkan pengaduan
hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang berhak mengajukannya.
2
R. Tresna. Azas-azas Hukum Pidana Disertai Pembahasan Beberapa Perbuatan Pidana yang