Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penggelapan dengan Pendekatan Restoratif Justice: Studi Penelitian di Polrestabes Semarang T2 322013034 BAB II

(1)

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Tinjauan Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu Strafbaarfeit atau delict yang berasal dari bahasa Latin delictum. Sedangkan perkataan ”feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti ”sebagian dari kenyataan” atau ”een gedeelte van werkelijkheid” sedangkan ”strafbaar” berarti ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan ”strafbaar feit ” itu dapat diterjemahkan sebagai ” sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.1 Sedangkan Moeljatno

dalam Sudarto, memberikan arti perbuatan pidana sebagai suatu perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.2

Pendapat para ahli mengenai tindak pidana ini berbeda-beda, berkaitan dengan pandangan yang mereka anut, yaitu pandangan dualistis dan pandangan monistis.

Menurut Pompe, yang merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut

1 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

1997, h. 181


(2)

2

sesuatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum”.3

Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah “suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan”. 4

J. Bouman (dalam Adami Chazawi) berpendapat bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.5 Pandangan ini berpendapat bahwa antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana harus dipisahkan.

Meskipun dalam KUHP tidak memberikan pengertian tentang tindak pidana tetapi kita dapat melihat dari beberapa pakar hukum pidana yang memberikan pengertian tentang straafbaarfeit. Straafbaar feit menurut Simons adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Alasan dari Simons dalam Moeljatno merumuskan straafbaarfeit seperti tersebut di atas, karena6 :

a. Untuk adanya straafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau

3 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori

Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h. 72.

4Ibid. h. 72 5Ibid., h. 104


(3)

3

kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;

b. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang;

c. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban, menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling.

Dari pengertian straafbaarfeit (tindak pidana) tersebut, maka untuk adanya Tindak Pidana harus ada unsur-unsur yang dipenuhi, sebagai berikut :

a. Perbuatan (manusia)

b. Memenuhi rumusan Undang-Undang (syarat formil) c. Bersifat melawan hukum (syarat materii)

2. Unsur Tindak Pidana

Perbuatan yang dikategorikan sebagai delik menurut Lamintang, bila memenuhi unsur-unsur, sebagai berikut7 :

a. Harus ada perbuatan manusia;

b. Perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan perumusan pasal dari undang-undang yang bersangkutan;

c. Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf); d. Dapat dipertanggungjawabkan.

7Ibid, 1997, h. 184.


(4)

4

Menurut Moeljatno (dalam Leden Marpaung), tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir, oleh karena itu perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan adalah adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya hal ihwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.8

Simons sebagai penganut pandangan monistis mengemukakan unsur-unsur stafbaar feit adalah sebagai berikut:9

a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat) b. Diancam dengan pidana

c. Melawan hukum

d. Dilakukan dengan kesalahan

e. Oleh orang yang bertanggungjawab.

Aliran dualistis memandang dari sudut abstrak bahwa di dalam memberikan isi pengertian tindak pidana tidak dengan demikian, lalu dibayangkan adanya orang yang dipidana, memandang tindak pidana semata-mata pada perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah dilakukan/terjadi (konkret), baru melihat pada orangnya jika orang itu mempunyai kemampuan bertanggung jawab sehingga perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya. Dengan demikian, kepadanya dijatuhi pidana. Sementara itu, aliran monistis memandang sebaliknya (konkret), yaitu strafbaar feit tidak dapat dipisahkan dengan orangnya, selalu dibayangkan bahwa dalam strafbaar feit selalu adanya si pembuat (orangnya) yang dipidana.

8Ibid, h. 67


(5)

5

Oleh karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak pidana. Unsur tindak pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana (pada orang) tidak dipisah sebagaimana menurut paham dualistis.

B.

Tindak Pidana Penggelapan

1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan (penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah.

Menurut R. Soesilo, penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian barang yang dimiliki itu belum berada di tangan pencuri dan masih harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan kejahatan.10

Menurut Lamintang, tindak pidana penggelapan adalah penyalahgunaan hak atau penyalahgunaan kepercayaan oleh seorang yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya tanpa adanya unsur melawan hukum.11

Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak pidana

10 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal, 1968, h. 258


(6)

6

yang terjadi harus diketahui makna dan definisinya termasuk tindak pidana penggelapan. Penggelapan berarti memiliki barang atau sesuatu yang dimiliki oleh orang lain tetapi tindakannya tersebut bukan suatu kejahatan.

Tindak Pidana penggelapan adalah termasuk tindak pidana kejahatan terhadap harta kekayaan orang atau vermogendelicten sebagaimana yang diatur dalam Pasal 372 sampai dengan pasal 377 KUHP.

Kejahatan terhadap harta kekayaan adalah berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain (bukan milik petindak).12

Dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menegaskan :

Barang siapa dengan sengaja melawan hukum memiliki barang sesuatu atau seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Tindak pidana yang tercantum di dalam Pasal 372 KUHP adalah tindak pidana pokok. Artinya, semua jenis penggelapan harus memenuhi bagian inti Pasal 372 KUHP ditambah bagian inti lainnya.

Adami Chazawi mengemukakan penjelasannya mengenai tindak pidana penggelapan berdasarkan pasal 372 KUHP yang dikemukakan sebagai berikut :13

12 Adami Chazawi, 2011, h. 1 13Ibid, h. 70


(7)

7

Perkataan verduistering yang kedalam bahasa kita diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu, bagi masyarakat Belanda diberikan secara arti luas (figurlijk), bukan diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin sesuatu menjadi tidak terang atau gelap. Lebih mendekati pengertian bahwa petindak menyalahgunakan haknya sebagai yang menguasai suatu benda (memiliki), hak mana tidak boleh melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi kepercayaan untuk menguasai benda tersebut bukan karena kejahatan.

Dari beberapa pengertian dan penjelasan mengenai arti kata penggelapan dapat dilihat juga pada penjelasan C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil yang mendefinisikan penggelapan secara lengkap sebagai berikut :14

Penggelapan, barang siapa secara tidak sah memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain dan yang ada padanya bukan karena kejahatan, ia pun telah bersalah melakukan tindak pidana eks. Pasal 372 KUHP yang dikualifikasikan sebagai “verduistering” atau “penggelapan”. Selanjutnya, Tongat menegaskan perihal pengertian tentang penggelapan ini, bahwa :15

Apabila suatu benda berada dalam kekuasaan orang bukan karena tindak pidana, tetapi karena suatu perbuatan yang sah, misalnya karena penyimpanan, perjanjian penitipan barang, dan sebagainya. Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk diri sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti melakukan “penggelapan”.

Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab XXIV (buku II) KUHP, terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya yakni Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam

14 C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum. Pustaka Sinar Harapan.

Jakarta, 2000, h. 252


(8)

8

bentuk pokok yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900 (sembilan ratus) rupiah."

Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang menyimpang/menyeleweng, menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan awal barang itu berada ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan dari hasil kejahatan.

2. Jenis-Jenis Tindak pidana Penggelapan

Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP.

a. Penggelapan biasa

Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan yang diatur dalam Pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.


(9)

9

b. Penggelapan Ringan

Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25. Diatur dalam Pasal 373 KUHP.

c. Penggelapan dengan Pemberatan

Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah (Pasal 374 KUHP).

d. Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga

Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan yang dilakukan dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).16

3. Unsur-Unsur Pasal Tindak Pidana Penggelapan

Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif meliputi perbuatan memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan unsur-unsur Subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja dan penggelapan melawan hukum. Pasal-Pasal penggelapan antara lain : a. Pasal 372 KUHP Penggelapan Biasa

1) Dengan sengaja memiliki.

16 Moeljatno, Op. Cit, h.132


(10)

10

2) Memiliki suatu barang.

3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.

4) Mengakui memiliki secara melawan hukum.

5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan. Hukuman :Hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun. b. Pasal 373 KUHP Penggelapan Ringan

1) Dengan sengaja memiliki. 2) Memiliki suatu bukan ternak.

3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.

4) Mengakui memiliki secara melawan hukum

5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan. 6) Harganya tidak lebih dari Rp. 25,-

Hukuman :Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan. c. Pasal 374 dan KUHP Penggelapan dengan Pemberatan

1) Dengan sengaja memiliki. 2) Memiliki suatu barang.

3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.

4) Mengakui memiliki secara melawan hukum.

5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan. 6) Berhubung dengan pekerjaan atau jabatan.


(11)

11

d. Pasal 375 KUHP Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain 1) Dengan sengaja memiliki.

2) Memiliki suatu barang.

3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.

4) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan. 5) Terpaksa disuruh menyimpan barang.

6) Dilakukan oleh wali, atau pengurus atau pelaksana surat wasiat, atau pengurus lembaga sosial atau yayasan.

Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.

Penggelapan yang ada pada pasal 375 ini adalah beradanya benda objek Penggelapan di dalam kekuasaan pelaku disebabkan karena: Terpaksa disuruh menyimpan barang itu, ini biasanya disebabkan karena terjadi kebakaran, banjir dan sebagainya. Kedudukan sebagai seorang wali (voogd); Wali yang dimaksudkan di sini adalah wali bagi anak-anak yang belum dewasa. Kedudukan sebagai pengampu (curator); Pengampu yang dimaksudkan adalah seseorang yang ditunjuk oleh hakim untuk menjadi wali bagi seseorang yang sudah dewasa, akan tetapi orang tersebut dianggap tidak dapat berbuat hukum dan tidak dapat menguasai atau mengatur harta bendanya disebabkan karena ia sakit jiwa atau yang lainnya.

Kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder); Seorang kuasa berdasarkan BW adalah orang yang ditunjuk oleh


(12)

12

hakim dan diberi kuasa untuk mengurus harta benda seseorang yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa menunjuk seorang wakil pun untuk mengurus harta bendanya itu. Kedudukan sebagai pelaksana surat wasiat; Yang dimaksud adalah seseorang yang ditunjuk oleh pewaris di dalam surat wasiatnya untuk melaksanakan apa yang di kehendaki oleh pewaris terhadap harta kekayaannya. Kedudukan sebagai pengurus lembaga sosial atau yayasan.

e. Pasal 376 KUHP Penggelapan dalam Keluarga 1) Dengan sengaja memiliki.

2) Memiliki suatu barang.

3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik orang lain.

4) Mengakui memiliki secara melawan hukum.

5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan. 6) Penggelapan dilakukan suami (isteri) yang tidak atau sudah

diceraikan atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin. Hukuman : Hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.

Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut juga delik aduan relatif dimana adanya aduan merupakan syarat untuk melakukan penuntutan terhadap orang yang oleh pengadu disebutkan namanya di dalam pengaduan. Dasar hukum delik ini diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan dari tindak pidana


(13)

13

pencurian dalam kelurga sebagaimana telah diatur dalam pembahasan tentang pidana pencurian, yang pada dasarnya pada ayat pertama bahwa keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur dan keadaan tidak bercerai harta kekayaan merupakan dasar peniadaan penuntutan terhadap suami atau istri yang bertindak sebagai pelaku atau yang membantu melakukan tindak pidana penggelapan terhadap harta kekayaan istri dan suami mereka. Pada ayat yang kedua, hal yang menjadikan penggelapan sebagai delik aduan adalah keadaan di mana suami dan istri telah pisah atau telah bercerai harta kekayaan.

Alasannya, sama halnya dengan pencurian dalam keluarga yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap harta kekayaan suami mereka, yaitu bahwa kemungkinan harta tersebut adalah harta bersama yang didapat ketika hidup bersama atau yang lebih dikenal dengan harta gono-gini yang mengakibatkan sulitnya membedakan apakah itu harta suami atau harta istri.

Oleh karena itu, perceraian harta kekayaan adalah yang menjadikan tindak pidana penggelapan dalam keluarga sebagai delik aduan.17 Tindak pidana Penggelapan dalam lingkungan keluarga dapat diadili jika kejahatan tersebut diadukan oleh keluarga yang bersengketa.

C.

Tinjauan Umum

Restorative Juctice

17 Abdoel. http://blogspot.com/2009/01/kejahatan-terhadap-harta-kekayaan.html. diakses tanggal


(14)

14

Istilah restorative justice yang dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut dengan istilah keadilan restoratif, secara definisi atau pengertian dari restorative justice, para ahli hukum memiliki pendapat yang beragam. Menurut pendapat dari Andi Hamzah menerjemahkan keadilan restoratif sama dengan criminal justice diterjemahkan dengan peradilan pidana.18

Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall dalam tulisannya Restorative justice an Overview memberi definisi restorative justice:19

Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come togather to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future.

Terjemahan:

Restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran atau delik tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama atau kolektif bagaimana menyelesaikan mengenai akibat dari suatu pelanggaran atau delik tersebut demi kepentingan masa depan. Pengertian dari Tony F. Marshall tersebut di atas, kemudian diuraikan secara lebih lengkap oleh Susan Sharpe dengan mengungkapkan lima prinsip kunci dari restorative justice yaitu sebagai berikut:20

1. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus; 2. Restorative justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian

yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;

3. Restorative justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh;

18 Andi Hamzah, Restorative Justice dan Hukum Pidana Indonesia, Makalah yang disampaikan

pada Seminar IKAHI tanggal 25 April 2012, halaman 5 (Selanjutnya disebut: Andi Hamzah I).

19 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative

Justice, Refika Aditama, Bandung, 2009, h. 28 (Selanjutnya disebut: Marlina I).

20 Marlina, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan terhadap Anak yang

Berhadapan dengan Hukum, dalam Mahmul Siregar dkk, Pedoman Praktis Melindungi Anak dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA), Medan 2007, h. 83 (Selanjutnya disebut Marlina II)


(15)

15

4. Restorative justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan kriminal; 5. Restorative justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar

dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya;

Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana, seperti yang tergambar dari definisi yang dikemukakan oleh Dignan, sebagai berikut:21

Restorative justice ia a new framework for responding to wrongdoing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, sosial work and and counseling professionals and community groups. Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced fokus on theperson harmed, the person causing the harm, and the affected community.

Terjemahan:

Keadilan restoratif adalah suatu kerangka pemikiran baru untuk mengatasi penyimpangan dan konflik yang membutuhkan penerimaan dan dukungan secara cepat dari kaum intelektual, penegak hukum, pekerja sosial dan konsultan professional serta kelompok komunitas. Keadilan restoratif adalah suatu pendekatan berbasis nilai untuk mengatasi penyimpangan dan konflik, dengan fokus yang seimbang antara korban dan pelaku serta masyarakat. Restorative justice memberikan keutamaan untuk mengembalikan konflik kepada semua pihak yang berperkara, dalam hal ini yang paling terkena pengaruh yaitu korban, pelaku dan kepentingan kelompok komunitas untuk memecahkan suatu perkara dengan pengutamaan rekonsiliasi (penyelesaian seperti semula). Menurut Eva Achjani Zulfa, keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan


(16)

16

mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. 22

Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif membutuhkan peran aktif baik dari korban maupun pelaku. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Marlina yang menyatakan:23

Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk bersama-sama berbicara.

Menurut Eva Achjani Zulfa, tidak mudah memberikan definisi bagi pendekatan keadilan restoratif ini, mengingat banyaknya variasi model dan bentuk yang berkembang dalam penerapannya. Karenanya banyak terminologi yang digunakan untuk menggambarkan aliran keadilan restoratif ini antara lain “commutarian justice (keadilan komutarian), making amends (penggantian kerugian), positive justice (keadilan positif), relation justice (keadilan relasional), reparative justice (keadilan reparatif) dan community justice (keadilan masyarakat).24

Dengan demikian bahwa keadilan restoratif memiliki terminologi yang bervariasi dan dapat diuraikan dengan merumuskan makna yang terkandung di dalamnya, sebagaimana diuraikan oleh Harkristuti Harkrisnowo adalah sebagai berikut:25

- Respon yang lentur terhadap kejahatan, pelaku dan korban, yang memungkinkan penyelesaian kasus secara individual;

22 Eva Achjani Zulfa I, Op.Cit., hlm..3 23 Marlina I, Op.Cit., hlm 180

24 Eva Achjani Zulfa I, Op.Cit., hlm 118

25 Harkristuti Harkrisnowo, Perlindungan Saksi dan Korban: Pendekatan Restorative Justice

dalam Sistem Peradilan Pidana, Makalah yang disampaikan pada Focus Group Discussion yang diselenggarakan oleh LPSK pada tanggal 1 Desember 2011


(17)

17

- Respon atas kejahatan dengan tetap mempertahankan harkat dan martabat setiap orang, membangun saling pengertian dan harmoni melalui pemulihan korban, pelaku dan masyarakat;

- Mengurangi dampak stigmatisasi pelaku;

- Dapat dilakukan sejalan dengan mekanisme tradisional yang masih dipertahankan;

- Melakukan pemecahan masalah dan sekaligus mengatasi akar munculnya konflik;

- Tidak harus bertumpu pada prosedur hukum.

Keadilan restoratif merupakan sebuah konsep pemikiran atau gagasan untuk merespon dalam pengembangan sistem peradilan pidana dan dengan menitikberatkan pada kebutuhan untuk melibatkan masyarakat dan korban, yang selama ini tidak puas dengan mekanisme yang ada terhadap bekerjanya sistem peradilan pidana. Sehingga keadilan restoratif yang merupakan suatu kerangka berpikir baru diharapkan dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi para penegak hukum.

Restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan materil). Restorative Justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan siste m pemasyarakatan. Dari kenyataan yang ada, sistem pemidanaan yang berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (integrated justice), yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi masyarakat. Hal inilah yang mendorong kedepan konsep ”restorative

justice”.

Kemudian Bagir Manan, dalam tulisannya juga, menguraikan tentang substansi ”restorative justice” berisi prinsip-prinsip, antara lain: ”Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”.


(18)

18

Konsep restorative justice merupakan proses penyelesaian tindak pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam suatu pertemuan untuk bersama-sama berbicara.26

Prinsip yang di paparkan oleh Tony Marshal dan prinsip yang ditulis Susan Sharpe sebenarnya telah di praktikkan selama ribuan tahun oleh masyarakat walaupun secara nonformal. Di Indonesia praktik secara restorative justice ini juga telah dilakukan yang di kenal dengan penyelesaian secara kekeluargaan.

Bentuk praktik restorative yang telah berkembang di negara Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan Newzealand dapat di kelompookan menjadi empat jenis praktik yang menjadi pioneer penerapan restorative justice di beberapa negara yaitu:

1. Victim Offender Mediation (VOM)

2. Conferencing/Family Group Conferencing 3. Circles

4. Restorative Board/Youth Panels

1. Victim Offender Mediation (VOM)

Program victim offender mediation pertama kali dilaksanakan sejak tahun 1970 di Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia dan Finlandia.

26 Marlina, Op. Cit, h. 180.


(19)

19

Tujuan dilaksanakannya VOM dalah memberi penyelesaian terhadap perristiwa yang terjadi, diantaranya dengan membuat sanksi alternatif bagi pelaku atau untuk melakukan pembinaan di tempat khusus bagi pelanggaran yang benar-benar serius.27

Sasaran dari VOM yaitu proses penyembuhan kepada korban dengan menyediakan wadah bagi semua pihak untuk bertemu dan berbicara secara sukarela serta memberi kesempatan pada pelaku bejalar terhadap akibat dari perbuatannya itu serta membuat rencana penyelesaian kerugian yang terjadi.

Peserta yang terlibat dalam bentuk mediasi adalah korban (secara sukarela), pelaku, pihak yang bersimpati terhadap kedua pihak, dan orang yang dianggap penting bila diperlukan, serta mediator yang dilatih khusus.

Dalam VOM para pihak yang ikut tidak menjadi berdabat. Seseorang yang secara jelas melakukan kejahatan dan telah mengakui perbuatannya sehingga koraban merasa dihormati. Selanjutnya isu bersalah atau tidak bersalah tidak diagendakan dalam victim offender mediation, juga tidaka mengharapkan bahwa korban kejahatan berkompromi dan mengharapkan lebih kecil dari apa yang mereka butuhkan untuk mengembalikan kerugiannya.

Kalau jenis mediasi yang lain lebih menitikberatkan pertanggungjawaban tapi victim offernder mediation mendasarinya

27 Marlina, Op. Cit, h. 181.


(20)

20

dengan dialog dengan perhatian kepada penyembuhan korban dan pertanggungjawaban pelaku dan mengembalikan kerugian.

2. Family Group Conferencing (FGC)

Conferencing pertama kali dikembangkan di negara Newzealand pada tahun 1989 dan di Australiia pada tahun 1991 dan pada mulanya merupakan refleksi atau gambaran aspek proses secara tradisional masyarakat yang diperoleh dari penduduk asli Newzzealand yaitu bangsa Maori.

Conferencing tidak hanya melibatkan korban utama dan pelaku utama, tetapi juga korban sekunder seperti anggota keluarga dan teman korban. Orang-orang ini ikut dilibatkan karena mereka juga terkena damaak atau imbas dalam berbagai bentuk akibat dari kejahatan yang terjaadi dan juga karena mereka peduli terhadap korban ataupun pelaku utama.28

Sasarannya memberikan kesempatan kepada korban untuk terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan mengenai pelanggaran yang terjadi padanya dengan saksi yang tepat bagi pelaku serta mendengar secara langsung penjelasan dari pelaku tentang pelanggaran yang terjadi. Kemudian meningkatkan kepedulian atas akibat perbuatannya. Selain itu bagi keluarga atau pihak pelaku bertanggungjawab penuh dapat bersama-sama menentukan sanksi bagi pelaku dan membimbingnya setelah mediasi berlangsung. Terakhir adalah memberikan korban dan pelaku untuk saling berhuubungan

28 Marlina, Op. Cit, h. 188.


(21)

21

dalam memperkuat kembali tatanan masyarakat yang sempat terpecah karena terjadinya pelanggaran oleh pelaku terhadap korban.

Orang yang turut serta dalam proses family group conferencing adalah anggota masyarakat, pelaku, korban, mediator, keluarga atau pihak dari korban dan pelaku serta lembaga yang punya perhatian terhadap permasalahan anak.

3. Circles

Pelaksanaan circles pertama kali sekitar tahun 1992 di Yukon, Canada. Circles sama halnya dengan conferencing yang dalam pelaksanaannya memperluas partisiasi para peserta dalam proses mediasi di luar korban dan pelaku utama. Pihak keluarga dan pendukung dapat diikutsertakan sebagai peserta peradilan pidana.29

Sasaran yang ingin di capai melalui proses circle adalah terlaksananya penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan pelaku dan memberi kesempatan pada pelaku untuk memperbaiki dirinya dengan tanggungjawab penyelesaian kesepakatan.

Keberhasilam dari Circle ini adalah jika adanya kerjasama dengan system peradilan formal dan masyarakat. Sistem peradilan formal perlu ikut berperan untuk memastikan bahwa proses yang dijalankan telah memberikan keadilan dan bersifat jujur bagi semua pihak dan tanpa pemaksaan. Kekuatan masyarakat yang ikut serta

29 Marlina, Op. Cit, h. 192.


(22)

22

dalam circle akan terjalin erat melalui kepedulian secara bersama-sama mengatasi tindak pidana anak.

4. Reparatif Board/Youth Panel

Program ini mulai dilaksanakan di negara bagian Vermont pada tahun 1996 dengan lembaga pendamping Bureau of Justice Assictance setelah melihat respon yang baik dari warga negara terhadap studi yang dibuat oleh Spring tahun 1994 yang memaparkan keikutsertaan masyarakat dalam program reparative tersebut dan sifat perbaikan yang menjadi dasarnya.30

Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator, dan juga hakim, jaksa, dan pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi bagi korban atau masyarakat.

Sasarannya adalah peran aktif serta anggota masyarakat secara langsung dengan pelaku. Dalam pertemuan yang diadakan tersebut pelaku melakukan pertanggungjawaban secara langsung atas tindakan yang telah dilakukannya.

Tata cara pelaksanaannya mediator yang memfasilitasi pertemuan ini aalah orang-orang yang sudah diberi pendidikan khusus mediasi. Pertemuan dilaksanakan secara tatap muka semua peserta dan dihadiri juga oleh pihak pengadilan. Selama pertemuan para petugas berdiskusi dengan pelaku tentang perbuatan negatifnya dan konsekuensi

30 Marlina, Op. Cit, h. 194.


(23)

23

yang harus ditanggung. Kemudian para peserta merancang sebuah sanksi yang didiskusikan dengan pelaku dalam jangka waktu tertentu untuk membuat perbaikan atas akibat tindak pidananya. Setelah dirasakan cuku dan disepakati maka hasilnya dilaporkan kepada pihak pengadilan untuk disahkan. Setelah itu maka keterlibatan board terhadap pelaku berakhir.

D.

Kebijakan Dalam Restoratif Justice

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Kebijakan” dari akar kata “bijak” sebagai “rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tata pemerintahan, organisasi dan sebagainya)”. Kebijakan juga berarti; “pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran”.31

Sebagai suatu rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana pelaksanaan tindakan maka kebijakan merupakan suatu sistem. Sebagai sistem, kebijakan penanggulangan tindak pidana merupakan sub sistemdari sistem Kebijakan Sosial (Social Policy). Kebijakan sosial dengan demikian dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas dalam pelaksanaan suatu rencana bertindak pemerintah untuk mencapai suatu tujuan. Kebijakan sosial dalam berfungsinya mempunyai tujuan besar yakni “kesejahteraan masyarakat” (social welfare) dan “perlindungan masyarakat” (social defence).

31 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia


(24)

24

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat diberi arti lain dengan “Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy). Dalam kerangka sistem policy, sub sistem criminal policy secara operasional berupaya mewujudkan tujuan utama; social welfare dan social defence. Sebagai sarana penanggulangan kejahatan, criminal policy dapat ditempuh melalui sarana penal (penal policy) dan sarana non penal (non penal policy). Barda Nawawi Arief dalam kajian social policy dan criminal policy ini memberikan bagan sistematis mengenai kebijakan tersebut.32

Dalam pelaksanaan tugas Polri dalam masyarakat terutama sebagai penegak hukum yang berupaya menanggulangi tindak pidana, maka yang dikemukakan Barda Nawawi Arief di atas dapat dipakai sebagai acuan tugas, bahwa upaya penanggulangan tindak pidana dalam pelaksanaannya perlu ditempuh melalui kebijakan integral (integrated appoarch) dengan memadukan antara social policy dengan criminal policy dan memadukan antara penal policy dan non penal policy.

Dalam menguraikan berbagai segi negatif dari perkembangan masyarakat, Sudarto menegaskan bahwa upaya “minta bantuan” kepada hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak pidana hendaknya atau harus dipertimbangkan paling akhir. Hukum pidana mempunyai fungsi subsidier artinya baru digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan kurang memberi hasil yang memuaskan atau kurang sesuai. Akan tetapi kalau toh hukum pidana akan dilibatkan, maka hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal terutama pada tujuan “perlindungan

32 Barda Nawawi Arief, Opcit., h. 78.


(25)

25

masyarakat” (sebagai planning for social defence). Rencana perlindungan masyarakat ini harus merupakan bagian integral dari planning for national development (rencana pembangunan nasional).33

Sehubungan dengan integrasi antara rencana perlindungan masyarakat dengan rencana pembangunan nasional, berikut ini disampaikan berbagai ketetapan internasional yang menunjang integrasi tersebut; Kongres PBB ke-4 tentang “Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” tahun 1970 membicarakan masalah pokok “Crime and Development” juga pernah menegaskan :34 “any dictionary between a country’s policies for social defence and its planning for national

development was unreal by definitions”.

Penegasan Kongres di atas memberikan makna pentingnya integrasi antara kebijakan perlindungan masyarakat dengan rencana pembangunan nasional, bahkan Kongres menegaskan hal tersebut jangan didekotomikan.

Kongres PBB ke-5 tahun 1975 juga menegaskan35: “The many aspects of criminal policy should be coordinated and the whole should be integrated into the general social policy of each country”. Makna yang dapat diambil dari penegasan Kongres di atas adalah; banyak aspek dari kebijakan kriminal yang harus dikoordinasikan dan diintegrasikan ke dalam kebijakan social setiap Negara.

Penegasan Kongres di atas membuktikan perlunya integrasi antara kebijakan social (social policy) dengan kebijakan kriminal (criminal policy).

33 Sudarto, direformulasi oleh penyusun dari buku Hukum Pidana dan perkembangan masyarakat,

Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 34.

34 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,

2005, h. 5.


(26)

26

Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa bertolak dari konsepsi kebijakan, integral sebagaimana penegasan Kongres PBB di atas, maka kebijakan penanggulangan kejahatan (tindak pidana = penulis) tidak banyak artinya apabila kebijakan sosial kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor kriminogen dan victimogen.36

Akhirnya Sudarto menegaskan bahwa dilibatkan hanya hukum pidana dalam social defence planning, harus diingat atau harus diakui bahwa penggunaan hukum pidana ini merupakan penanggulangan sesuatu gejala (“KURIEREN AM SYMPTOM”) dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya.37

Dilibatkannya hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak pidana sebagaimana diuraikan di atas, terutama ke masalah kemampuan hukum pidana sendiri, bahwa dia menduduki posisi subsidier, kemampuannya hanya pada penanggulangan atas gejala, bukan menanggulangi penyebab, membuktikan sifat terbatasnya kemampuan hukum pidana tersebut. Terlebih lagi jika dihubungkan dengan masalah biaya yang harus dikeluarkan negara jika hukum pidana dilibatkan tentu teramat besar.

Dalam kaitannya kinerja Polri, maka syarat “kemampuan aparat penegak hukum” layak menjadi perhatian dalam pelaksanaan tugasnya. Makna kemampuan tidak sekedar diberi makna kuantitas atau jumlah personil Polri, yang lebih utama justru pada kualitas personil Polri tersebut. Kualitas personil Polri mencakup, tingkat intektualitasnya, moralnya,

36Ibid., h. 7


(27)

27

kinerjanya, kedisiplinannya, ketegasannya, keteladanannya dan ketaqwaannya. Semua persyaratan itu amat berpengaruh pada citra Polri.

Dalam upaya kebijakan, penanggulangan tindak pidana (criminal policy), G. Peter Hoefnogels menggambarkan ruang lingkupnya sebagaimana direferensikan oleh Barda Nawawi Arief dan dianalisa oleh penulis sebagai berikut.38 G. Peter Hoefnagels menggambarkan, bahwa

kebijakan criminal (criminal policy) mencakup; pertama, mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pidana lewat media massa; kedua, penerapan hukum pidana (kriminologi praktis) dan ketiga, pencegahan tanpa pidana yang meliputi: politik social, rencana kesehatan mental masyarakat, dan lainnya.

Gambaran Hoefnagels mengenai “pencegahan tanpa pidana, menunjukkan sifat non penalnya dari fungsionalisasi criminal policy yang berarti lebih menitik beratkan pada sifat preventif, sementara penggunaan sarana penal lebih bersifat represif”. Sudarto memberikan pemahaman, bahwa tindakan represif, pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.39

Kebijakan penanggulangan tindak pidana melalui jalur non penal ini oleh Barda Nawawi Arief dikatakan, bahwa jalur ini lebih bersifat pencegahan terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif untuk penyebab terjadinya kejahatan.40

38 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, h. 41.

39Ibid., h. 42. 40Ibid


(28)

28

Profesionalisme Polisi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya merupakan dambaan semua bangsa di dunia, termasuk Indonesia, karena peran yang dimainkannya sangat komprehensif mencakup perannya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, pengayom dan pelayan masyarakat, dan sebagai penegak hukum.41

Sebagai seorang profesional, Polri dipersyaratkan harus mempunyai keahlian khusus yang diperoleh melalui “pengalaman latihan” sejalan dengan kompetensi intelektualnya. Persyaratan lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa seorang polisi profesional harus memiliki kesadaran untuk mengabdikan segala kemampuan tersebut untuk pelayanan masyarakat.

Karakteristik yang menjadi ukuran profesionalisme sesungguhnya sangat banyak (puluhan), namun menurut Charles H. Lavine (1977:33 dst.) sebagaimana dikutip oleh Muladi, terdapat beberapa karakteristik dasar seperti: (1) skill based on theoretical knowledge; (2) required educational and training; (3) testing of competence (via exam, etc); (4) organization (into a professional association); (5) adherence to a code of enduct; and (6) altruistic service.42

Secara lebih spesifik menurut M. Karyadi (Komisaris Besar Polisi Purnawirawan), bahwa dalam pengabdiannya kepada masyarakat yang

41 Selain polisi, yang tercakup pula sebagai seorang profesional adalah dokter, notaries, wartawan,

dosen, insinyur, pengacara, psikolog dan lain sebagainya. Dari sekian profesi tersebut, ada yang memiliki klien secara personal, tetapi ada pula yang tidak memiliki klien secara pribadi dan ditugasi di suatu korporasi.

42 Menurut Charles H. Lavine (1977:33 dst.) sebagaimana dikutip oleh Muladi, bahwa yang

menjadi karakteristik professional antara lain: (1) skill based on theoretical knowledge; (2) required educational and training; (3) testing of competence (via exam, etc); (4) organization (into a professional association); (5) adherence to a code of enduct; and (6) altruistic service (kf.

Muladi, “Kejahatan Lingkungan Profesional” dalam Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.


(29)

29

bercita-citakan kehidupan yang tertib, aman sentausa dan sejahtera sesuai dengan amanat para leluhur untuk menciptakan masyarakat yang “tata-tentrem-kertaraharja, maka lahirlah dalam jiwa Polri yang insyaf akan pedoman hidup yang tertuang dalam “TRIBRATA”, yaitu Satu Berbakti Kepada Nusa Dan Bangsa Dengan Penuh Ketaqwaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa; Dua Menjunjung Tinggi Kebenaran, Keadilan Dan Kemanusiaan Dalam Menegakkan Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia Yang Berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945; Tiga Senantiasa Melindungi, Mengayomi Dan Melayani Masyarakat Dengan Keikhlasan Untuk Mewujudkan Keamanan Dan Ketertiban. Ketiga asas tersebut dapat disimpulkan sebagai “bhakti-dharma-waspada” diharapkan dapat diterapkan di dalam tugas profesional seorang anggota polisi.43

Menyadari akan prinsip-prinsip dasar profesionalisme polisi tersebut, maka Muladi berpendapat bahwa kredo yang sebaiknya dikembangkan adalah “menjadikan polisi bukan sebagai pelanggar HAM, tetapi berada di garis terdepan dalam memperjuangkan HAM”. Kredo ini merupakan kunci yang sangat menentukan efektivitas lembaga kepolisian, yang dampak positifnya akan segera dapat diukur dan dirasakan, seperti meningkatkan kepercayaan dan sikap kooperatif masyarakat, penyelesaian konflik secara damai, dan proses yuridis ke pengadilan dapat berhasil dengan baik. Dengan demikian, citra positif dari polisipun akan melekat di benak masyarakat, seperti polisi sebagai pengaman dan penertib yang bijaksana, sebagai penegak hukum yang jujur dan adil, sebagai tokoh

43 E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum: Norma-norma Bagi Penegak Hukum. Penerbit Kanisius,


(30)

30

panutan dalan menghargai hukum, dan sebagai aparat yang proaktif dalam menghadapi persoalan di masyarakat.44

Menyadari akan prinsip-prinsip profesionalisme polisi sebagaimana diuraikan di atas, maka Polri dalam menjalankan profesinya mau tidak mau harus mampu memadukan secara seimbang dua doktrin polisi yang memiliki tekanan berbeda, yakni doktrin the strong hand of society (tangan yang keras/kuat bagi masyarakat = pelayan yang keras bagi masyarakat) dan the soft hand of society (tangan yang lembek/lembut = pelayan yang lembut bagi masyarakat). Doktrin the strong hand of society adalah doktrin kekuasaan, yang menunjukkan polisi dalam jenjang vertical ketika berhadapan dengan rakyat, karena ia diberi sejumlah kewenangan yang tidak diberikan kepada lembaga lain dalam masyarakat, seperti menangkap, menggeledah, menahan, menyuruh berhenti, melarang meninggalkan tempat, dan sebagainya.

Dalam konteks demikian itu, hubungan antara polisi dan rakyat bersifat “atas-bawah” atau hirarkhis, di mana polisi ada pada kedudukan memaksa sedangkan rakyat wajib mematuhi”.45 Sementara doktrin the soft

hand of society adalah “kemitraan” dan “kesejajaran”, di mana polisi dan rakyat berada pada posisi yang sama dengan hubungan yang bersifat

44 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie

Center, Jakarta, 2002, h. 276. Menurut Achmad Ali, citra polisi di mata masyarakat, sebenarnya juga tidak terlepas dari persepsi keliru warga masyarakat terhadap karakteristik pekerjaan polisi. Ketika polisi melakukan kekerasan dalam melaksanakan tugasnya menghadapi penjahat misalnya, masyarakat dan pers terlalu cepar mempersalahkan mereka, tanpa memahami bagaimana

karakteristik pekerjaan polisi yang sebenarnya (Achmad Ali, “Polisi dan Efektivitas Hukum dalam

Penanggulangan Kriminalitas” dalam Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. PT. Yasrif

Watampone, Jakarta , 1998, h. 221).

45 Satjipto Rahardjo, “Membangun Polisi Indonesia Baru: Polri dalam Era Pasca-ABRI”,

Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum UNDIP Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998, h. 5.


(31)

31

“horizontal”. Tugas yang diberikan kepada polisi di sini adalah untuk mengayomi, melindungi, membimbing dan melayani rakyat. Contoh dari tugas yang demikian itu antara lain: membantu menyelesaikan perselisihan antara warga masyarakat, membina ketertiban, mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat, memelihara keamanan, ketertiban lalu lintas dan keselamatan jiwa raga, harta benda.

Dengan demikian, sesungguhnya peran yang dimainkan oleh kepolisian itu tidak hanya bersifat represif. Dalam kenyataannya, secara prosentase pekerjaan polisi yang bersifat represif itu lebih kecil jika dibandingkan dengan yang bersifat preventif, dan bahkan jauh lebih kecil lagi bila dibandingkan dengan pekerjaan yang bersifat pre-emptif.46

Perpaduan peran Polri yang demikian itu mengisyaratkan bahwa cara kerja Polri bukan seperti “pemadam kebakaran” yang bekerja setelah kejadian, melainkan harus selalu mendahului munculnya kejadian dengan mengedepankan tindakan prefentif dan pre-emtif ketimbang represif.

Mengingat peran yang dimainkan oleh Polri secara komprehensif seperti itu (represif-preventif-pre-emtif), maka model peradilan yang cocok dikembangkan oleh Polri (dan tentunya juga oleh perangkat penegak hukum yang lain) dalam menangani berbagai kasus kriminal adalah Restorative Justice (peradilan restoratife). Model peradilan yang demikian itu lebih mengutamakan upaya “pemulihan keadaan” sehingga dapat meningkatkan kepercayaan (trust) dari masyarakat pencari keadilan. Peran Polri dalam model peradilan restoratif adalah sebagai “fasilitator” dan bukan semata

46 Satjipto Rahardjo, Ibid, 1998, h. 5-6. Awaloedin Djamin dalam makalahnya berjudul “Beberapa

Masalah dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia” (1986) menggunaka istilah “pembinaan


(32)

32

sebagai “penghukum” (penegak hukum) yang menjurus ke tindakan represif. Dengan demikian, hasil yang diharapkan dari proses peradilan restoratif adalah menggalang terwujudnya “perdamaian” antara para pihak melalui upaya win-win solution.47

Model peradilan restoratif yang semula dikembangkan pada masyarakat Jepang ini tampaknya cocok untuk dikembangkan di Indonesia, karena dari kultur masyarakat Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi oleh “budaya harmonisasi”. Budaya harmonisasi ini pulalah yang memiliki andil yang sangat besar dalam penataan pola-pola penyelesaian kasus-kasus kriminal (juga kasus-kasus sengketa yang lain) pada masyarakat lokal di Indonesia. Masyarakat Batang Jawa Tengah, misalnya, berkembang sebuah tradisi peradilan yang lebih populer disebut dengan “peradilan mela sareka” atau “peradilan tapan halo” (peradilan rekonsiliatif), yakni peradilan yang lebih berupaya untuk membangun kembali relasi sosial para pihak yang bertikai.48

Tradisi peradilan yang demikian itu pun identik dengan “peradilan padu” atau “peradilan pepadun” yang berkembang cukup efektif pada jaman kerajaan maupun jaman pejajahan Belanda.49 Selain strategi pemantapan

cara pandang dan cara kerja Polri dalam melakukan penegakan hukum, juga dikembangkan strategi pemantapan dan peningkatan kualitas sumber daya

47 Kf. Naskah Akademik Grand Strategi Polri 2005-2025 point 1.2.2 tentang “Restorasi Sistem

Keadilan: Restorative Justice”. Uraian lebih lanjut mengenai Restorative Juctice yang semula

digagas oleh John Braitwite ini dapat dibaca dalam Paulus Hadisaputro, “Pemberian Malu

Reintegratif sebagai Sarana Nonpenal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan Surakarta)”. Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum. Semarang: PDIH Undip, 2003, halaman 36-37 & 143-155.

48 Karolus Kopong Medan, “Peradilan Rekonsiliatif: Konstruksi Penyelesaian Kasus Kriminal

Menurut Tradisi Masyarakat Lamaholot di Flores, Nusa Tenggara Timur”, Disertasi Program

Doktor Ilmu Hukum, Semarang: PDIH Undip, 2006.


(33)

33

Polri melalui penyelenggaraan pendidikan/pelatihan di lingkungan Polri yang terpogram secara baik. Program pendidikan/pelatihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan wawasan dan pengembangan kemampuan umum/manajerial maupun spesialisasi bagi anggota Polri. Strategi yang demikian itu dapat dilakukan melalui penyelenggaraan kerjasama pendidikan/pelatihan dalam dan luar negeri yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi Polri, dan program berlatih sambil bekerja yang melekat pada setiap satuan organisasi, maupun dengan memanfaatkan teknologi pendidikan.50

Sekalipun arah pengembangan SDM Polri yang demikian, tidak berarti bahwa Polri yang ideal tidak hanya peduli pada persoalan kemampuan profesional teknis semata, tetapi juga menitikberatkan pada rancang bangun komunikasi yang alamiah dengan masyarakat dalam upaya untuk menangani berbagai kasus kriminal yang terjadi. Hanya dengan modal yang demikian itu, Polri dapat mengajak masyarakat untuk peduli dan peka terhadap setiap bentuk perilaku menyimpang atau kejahatan yang terjadi dalam lingkungannya. Pola pengembangan SDM Polri yang demikian itu akan mampu menopang model perpolisian yang merupakan gabungan antara perpolisian reaktif (reactive police) dengan perpolisian yang didasarkan pada kedekatan dengan masyarakat (community policing).51

Melengkapi upaya penanggulangan tindak pidana dengan sarana Non Penal, Kongres PBB ke 7 Tahun 1985 di Milan, Italia, dalam dokumen

50 Keputusan Kapolri No. Pol : Kep/200/IX/2005, tanggal 7 September 2005 tentang Rencana

Strategis Polri 2005-2009 (Renstra Polri), h. 26.

51 Kf. Suparmin, “Lembaga Kepolisian dalam Penyelesaian Konflik Pendukung Antar Partai di

Kabupaten Jepara: Studi Kasus di Desa Dongos Kecamatan Kedung”, Tesis Program Magister Ilmu Hukum. Semarang: Undip, 2000, h. 138-139.


(34)

34

A/CONF.121/L/9 tentang “Crime Prevention in the Context of

Development” ditegaskan, bahwa upaya penghapusan sebab-akibat dan kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan “strategi pencegahan kejahatan yang mendasar” (the basic crime prevention strategies).

Dalam “Guiding Priciples” yang dihasilkan kongres ke 7 ditegaskan antara lain bahwa:52 “Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan

dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidak adilan yang bersifat sosio-ekonomi, di mana kejahatan sering hanya merupakan gejala/symptom”. (policies for crime preventions and criminal justice should take into account the structural causes, including socio-economie causes of injustice, of which criminality is often but a symptom). Dalam guiding principles di atas dampak keharusan penggunaan upaya non penal, seperti mempertimbangkan faktor struktural dan faktor ketidak adilan yang bersifat sosio-ekonomi, dalam upaya penanggulangan kejahatan/tindak pidana.

52Ibid., h. 44.


(35)

(1)

30

panutan dalan menghargai hukum, dan sebagai aparat yang proaktif dalam menghadapi persoalan di masyarakat.44

Menyadari akan prinsip-prinsip profesionalisme polisi sebagaimana diuraikan di atas, maka Polri dalam menjalankan profesinya mau tidak mau harus mampu memadukan secara seimbang dua doktrin polisi yang memiliki tekanan berbeda, yakni doktrin the strong hand of society (tangan yang keras/kuat bagi masyarakat = pelayan yang keras bagi masyarakat) dan the soft hand of society (tangan yang lembek/lembut = pelayan yang lembut bagi masyarakat). Doktrin the strong hand of society adalah doktrin kekuasaan, yang menunjukkan polisi dalam jenjang vertical ketika berhadapan dengan rakyat, karena ia diberi sejumlah kewenangan yang tidak diberikan kepada lembaga lain dalam masyarakat, seperti menangkap, menggeledah, menahan, menyuruh berhenti, melarang meninggalkan tempat, dan sebagainya.

Dalam konteks demikian itu, hubungan antara polisi dan rakyat

bersifat “atas-bawah” atau hirarkhis, di mana polisi ada pada kedudukan

memaksa sedangkan rakyat wajib mematuhi”.45 Sementara doktrin the soft

hand of society adalah “kemitraan” dan “kesejajaran”, di mana polisi dan rakyat berada pada posisi yang sama dengan hubungan yang bersifat

44 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, h. 276. Menurut Achmad Ali, citra polisi di mata masyarakat, sebenarnya juga tidak terlepas dari persepsi keliru warga masyarakat terhadap karakteristik pekerjaan polisi. Ketika polisi melakukan kekerasan dalam melaksanakan tugasnya menghadapi penjahat misalnya, masyarakat dan pers terlalu cepar mempersalahkan mereka, tanpa memahami bagaimana

karakteristik pekerjaan polisi yang sebenarnya (Achmad Ali, “Polisi dan Efektivitas Hukum dalam

Penanggulangan Kriminalitas” dalam Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. PT. Yasrif

Watampone, Jakarta , 1998, h. 221).

45 Satjipto Rahardjo, “Membangun Polisi Indonesia Baru: Polri dalam Era Pasca-ABRI”, Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian Fakultas Hukum UNDIP Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998, h. 5.


(2)

31

“horizontal”. Tugas yang diberikan kepada polisi di sini adalah untuk

mengayomi, melindungi, membimbing dan melayani rakyat. Contoh dari tugas yang demikian itu antara lain: membantu menyelesaikan perselisihan antara warga masyarakat, membina ketertiban, mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat, memelihara keamanan, ketertiban lalu lintas dan keselamatan jiwa raga, harta benda.

Dengan demikian, sesungguhnya peran yang dimainkan oleh kepolisian itu tidak hanya bersifat represif. Dalam kenyataannya, secara prosentase pekerjaan polisi yang bersifat represif itu lebih kecil jika dibandingkan dengan yang bersifat preventif, dan bahkan jauh lebih kecil lagi bila dibandingkan dengan pekerjaan yang bersifat pre-emptif.46

Perpaduan peran Polri yang demikian itu mengisyaratkan bahwa cara

kerja Polri bukan seperti “pemadam kebakaran” yang bekerja setelah

kejadian, melainkan harus selalu mendahului munculnya kejadian dengan mengedepankan tindakan prefentif dan pre-emtif ketimbang represif.

Mengingat peran yang dimainkan oleh Polri secara komprehensif seperti itu (represif-preventif-pre-emtif), maka model peradilan yang cocok dikembangkan oleh Polri (dan tentunya juga oleh perangkat penegak hukum yang lain) dalam menangani berbagai kasus kriminal adalah Restorative Justice (peradilan restoratife). Model peradilan yang demikian itu lebih

mengutamakan upaya “pemulihan keadaan” sehingga dapat meningkatkan

kepercayaan (trust) dari masyarakat pencari keadilan. Peran Polri dalam

model peradilan restoratif adalah sebagai “fasilitator” dan bukan semata

46 Satjipto Rahardjo, Ibid, 1998, h. 5-6. Awaloedin Djamin dalam makalahnya berjudul “Beberapa Masalah dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia” (1986) menggunaka istilah “pembinaan


(3)

32

sebagai “penghukum” (penegak hukum) yang menjurus ke tindakan

represif. Dengan demikian, hasil yang diharapkan dari proses peradilan restoratif adalah menggalang terwujudnya “perdamaian” antara para pihak melalui upaya win-win solution.47

Model peradilan restoratif yang semula dikembangkan pada masyarakat Jepang ini tampaknya cocok untuk dikembangkan di Indonesia, karena dari kultur masyarakat Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi oleh

“budaya harmonisasi”. Budaya harmonisasi ini pulalah yang memiliki andil

yang sangat besar dalam penataan pola-pola penyelesaian kasus-kasus kriminal (juga kasus-kasus sengketa yang lain) pada masyarakat lokal di Indonesia. Masyarakat Batang Jawa Tengah, misalnya, berkembang sebuah

tradisi peradilan yang lebih populer disebut dengan “peradilan mela sareka” atau “peradilan tapan halo” (peradilan rekonsiliatif), yakni peradilan yang

lebih berupaya untuk membangun kembali relasi sosial para pihak yang bertikai.48

Tradisi peradilan yang demikian itu pun identik dengan “peradilan padu” atau “peradilan pepadun” yang berkembang cukup efektif pada jaman

kerajaan maupun jaman pejajahan Belanda.49 Selain strategi pemantapan

cara pandang dan cara kerja Polri dalam melakukan penegakan hukum, juga dikembangkan strategi pemantapan dan peningkatan kualitas sumber daya

47 Kf. Naskah Akademik Grand Strategi Polri 2005-2025 point 1.2.2 tentang “Restorasi Sistem Keadilan: Restorative Justice”. Uraian lebih lanjut mengenai Restorative Juctice yang semula

digagas oleh John Braitwite ini dapat dibaca dalam Paulus Hadisaputro, “Pemberian Malu

Reintegratif sebagai Sarana Nonpenal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan Surakarta)”. Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum. Semarang: PDIH Undip, 2003, halaman 36-37 & 143-155.

48 Karolus Kopong Medan, “Peradilan Rekonsiliatif: Konstruksi Penyelesaian Kasus Kriminal Menurut Tradisi Masyarakat Lamaholot di Flores, Nusa Tenggara Timur”, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum, Semarang: PDIH Undip, 2006.


(4)

33

Polri melalui penyelenggaraan pendidikan/pelatihan di lingkungan Polri yang terpogram secara baik. Program pendidikan/pelatihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan wawasan dan pengembangan kemampuan umum/manajerial maupun spesialisasi bagi anggota Polri. Strategi yang demikian itu dapat dilakukan melalui penyelenggaraan kerjasama pendidikan/pelatihan dalam dan luar negeri yang disesuaikan dengan kebutuhan organisasi Polri, dan program berlatih sambil bekerja yang melekat pada setiap satuan organisasi, maupun dengan memanfaatkan teknologi pendidikan.50

Sekalipun arah pengembangan SDM Polri yang demikian, tidak berarti bahwa Polri yang ideal tidak hanya peduli pada persoalan kemampuan profesional teknis semata, tetapi juga menitikberatkan pada rancang bangun komunikasi yang alamiah dengan masyarakat dalam upaya untuk menangani berbagai kasus kriminal yang terjadi. Hanya dengan modal yang demikian itu, Polri dapat mengajak masyarakat untuk peduli dan peka terhadap setiap bentuk perilaku menyimpang atau kejahatan yang terjadi dalam lingkungannya. Pola pengembangan SDM Polri yang demikian itu akan mampu menopang model perpolisian yang merupakan gabungan antara perpolisian reaktif (reactive police) dengan perpolisian yang didasarkan pada kedekatan dengan masyarakat (community policing).51

Melengkapi upaya penanggulangan tindak pidana dengan sarana Non Penal, Kongres PBB ke 7 Tahun 1985 di Milan, Italia, dalam dokumen

50 Keputusan Kapolri No. Pol : Kep/200/IX/2005, tanggal 7 September 2005 tentang Rencana Strategis Polri 2005-2009 (Renstra Polri), h. 26.

51 Kf. Suparmin, “Lembaga Kepolisian dalam Penyelesaian Konflik Pendukung Antar Partai di

Kabupaten Jepara: Studi Kasus di Desa Dongos Kecamatan Kedung”, Tesis Program Magister Ilmu Hukum. Semarang: Undip, 2000, h. 138-139.


(5)

34

A/CONF.121/L/9 tentang “Crime Prevention in the Context of

Development” ditegaskan, bahwa upaya penghapusan sebab-akibat dan

kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan “strategi pencegahan kejahatan yang mendasar” (the basic crime prevention strategies).

Dalam “Guiding Priciples” yang dihasilkan kongres ke 7 ditegaskan antara lain bahwa:52 “Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan

dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidak adilan yang bersifat sosio-ekonomi, di mana

kejahatan sering hanya merupakan gejala/symptom”. (policies for crime preventions and criminal justice should take into account the structural causes, including socio-economie causes of injustice, of which criminality is often but a symptom). Dalam guiding principles di atas dampak keharusan penggunaan upaya non penal, seperti mempertimbangkan faktor struktural dan faktor ketidak adilan yang bersifat sosio-ekonomi, dalam upaya penanggulangan kejahatan/tindak pidana.

52 Ibid., h. 44.


(6)

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggelapan Pajak oleh Notaris/PPAT Ditinjau dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi T2 322013035 BAB I

2 8 44

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggelapan Pajak oleh Notaris/PPAT Ditinjau dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi T2 322013035 BAB II

0 1 41

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penggelapan Pajak oleh Notaris/PPAT Ditinjau dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi T2 322013035 BAB IV

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penggelapan dengan Pendekatan Restoratif Justice: Studi Penelitian di Polrestabes Semarang T2 322013034 BAB I

0 1 21

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penggelapan dengan Pendekatan Restoratif Justice: Studi Penelitian di Polrestabes Semarang T2 322013034 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Penggelapan dengan Pendekatan Restoratif Justice: Studi Penelitian di Polrestabes Semarang

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Anak oleh Polres Tegal T2 322012002 BAB II

0 0 48

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penanganan Perkara Koneksitas dalam Tindak Pidana Korupsi

0 0 10

T2__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Motif Tindak Pidana Pembunuhan dalam Penjatuhan Pidana pada Proses Pembuktian dan Pertimbangan Putusan Hakim T2 BAB II

0 0 57

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Profil Polrestabes Semarang - IMPLEMENTASI KEADILAN RESTORATIF TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM PIDANA (STUDI KASUS DI POLRESTABES SEMARANG) - Unika Repository

0 0 30