PENGARUH BEBERAPA JENIS EKSTRAK TUMBUHAN TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA TANAMAN CABAI BESAR (Capsicum annuum L.) DI LAPANGAN

(1)

PENGARUH BEBERAPA JENIS EKSTRAK TUMBUHAN TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA TANAMAN

CABAI BESAR (Capsicum annuum L.) DI LAPANGAN

Oleh Maya Gusmarini

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

PENGARUH BEBERAPA JENIS EKSTRAK TUMBUHAN TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA TANAMAN CABAI BESAR

(Capsicum annuum L.) DI LAPANGAN

Oleh Maya Gusmarini

Antraknosa adalah penyakit terpenting dalam budidaya cabai besar yang menyebabkan kehilangan hasil di lapangan sekitar 75%. Salah satu alternatif pengendalian penyakit ini yaitu dengan menggunakan fungisida botani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa jenis ekstrak babadotan, tumbuhan siam, alang-alang, dan teki sebagai alternatif pengendalian penyakit antraknosa pada tanaman cabai yang ramah lingkungan. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tanaman dan Laboratorium Lapangan Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan November 2012 sampai dengan Maret 2013.

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari 5 perlakuan dengan 5 ulangan. Setiap unit percobaan terdiri atas 2 tanaman cabai (dalam satu polibag). Perlakuan terdiri atas air steril sebagai kontrol (M0), ekstrak A. conyzoides (babadotan) 100 g/100 ml air (M1), ekstrak C. odorata (tumbuhan siam) 100 g/100 ml air (M2), ekstrak I. cylindrica (alang-alang) 100 g/100 ml air (M3), dan ekstrak C. rotundus (teki) 100 g/100 ml air (M4). Pengamatan dilakukan dengan selang waktu tujuh hari sekali. Adapun


(3)

peubah yang diamati adalah keparahan penyakit pada daun, pada buah, bobot buah cabai sehat, dan bobot buah cabai sakit. Data dianalisis ragam dan

dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) ekstrak A. conyzoides (babadotan), C. odorata (tumbuhan siam), I. cylindrica (alang-alang), dan C. rotundus (teki) berpengaruh dalam menekan keparahan penyakit antraknosa (2) pengaruh ekstrak A. conyzoides (babadotan), C. odorata (tumbuhan siam), I. cylindrica (alang-alang), dan C. rotundus (teki) berbeda-beda namun ekstrak C. odorata (tumbuhan siam) dan C. rotundus (teki) lebih efektif dari pada A. conyzoides (babadotan), I. cylindrica (alang-alang) dalam menekan keparahan penyakit antraknosa pada daun dan buah cabai.

Kata kunci: penyakit antraknosa Colletotrichum capsici, ekstrak Ageratum conyzoides, Chromolaena odorata, Imperata cylindrica, Cyperus rotundus.


(4)

Judul Skripsi : PENGARUH BEBERAPA JENIS EKSTRAK TUMBUHAN TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA TANAMAN CABAI BESAR (Capsicum annuum L.) DI LAPANGAN

Nama Mahasiswa : Maya Gusmarini

No. Pokok Mahasiswa : 0854013018

Jurusan : Agroteknologi

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI, 1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suskandini Ratih D, M.P. Ir. Muhammad Nurdin, M.Si. NIP 196105021987072001 NIP 196107201986031001

2. Ketua Jurusan Agroteknologi

Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P. NIP 196411181989021002


(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Ir. Suskandini Ratih D, M.P. ...

Sekretaris : Ir. Muhammad Nurdin, M.Si. ...

Penguji

Bukan Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P. ...

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 196108261987021001


(6)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR. ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Kerangka Pemikiran ... 3

1.4 Hipotesis ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Cabai Besar ... 5

2.2 Colletotrichum capsici ... 6

2.2.1 Klasifikasi C. capsici ... 6

2.2.2 Gejala Penyakit ... 7

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Penyakit ... 8

2.2.4 Pengendalian Penyakit ... 9

2.3 Fungisida Botani ... 9

2.3.1 Babadotan ... 10

2.3.2 Tumbuhan Siam ... 11

2.3.3 Alang-alang ... 12

2.3.4 Teki ... 13

III. BAHAN DAN METODE ... 14

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

3.2 Bahan dan Alat ... 14


(7)

ii

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 15

3.4.1 Pembuatan Media PDA ... 15

3.4.2 Penyemaian Benih Cabai ... 16

3.4.3 Penyiapan Media Tanam Cabai... 16

3.4.4 Pindah Tanam dan Pemeliharaan Bibit Cabai ke dalam Polibag ... 16

3.4.5 Penyiapan Isolat C. capsici... 17

3.4.6 Pembuatan Ekstrak Tumbuhan. ... 17

3.4.7 Aplikasi Fungisida Botani. ... 18

3.4.8 Inokulasi C. capsici pada Tanaman Cabai ... 18

3.5 Pengamatan dan Pengumpulan Data ... 18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1 Hasil Penelitian ... 20

4.1.1 Keparahan Penyakit Antraknosa pada Daun ... 21

4.1.2 Perkembangan Penyakit Antraknosa pada Daun ... 22

4.1.3 Keparahan Penyakit Antraknosa pada Buah ... 23

4.1.4 Perkembangan Penyakit Antraknosa pada Buah ... 24

4.2 Bobot Buah Sehat dan Bobot Buah Sakit ... 25

4.3 Pembahasan ... 26

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 28

5.1 Kesimpulan ... 28

5.2 Saran ... 28

PUSTAKA ACUAN ………. 29


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Rerata keparahan penyakit antraknosa pada daun cabai. ... 22

2. Rerata keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai. ... 24

3. Bobot buah sehat dan buah sakit. ... 26

4. Keparahan penyakit antraknosa pada daun cabai minggu ke 1. ... 33

5. Analisis ragam keparahan penyakit antraknosa pada daun cabai minggu ke 1. ... 33

6. Keparahan penyakit antraknosa pada daun cabai minggu ke 2. ... 33

7. Analisis ragam keparahan penyakit antraknosa pada daun cabai minggu ke 2. ... 34

8. Keparahan penyakit antraknosa pada daun cabai minggu ke 3. ... 34

9. Analisis ragam keparahan penyakit antraknosa pada daun cabai minggu ke 3. ... 34

10. Keparahan penyakit antraknosa pada daun cabai minggu ke 4. ... 35

11. Analisis ragam keparahan penyakit antraknosa pada daun cabai minggu ke 4. ... 35

12. Keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai minggu ke 1. ... 35

13. Analisis ragam keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai minggu ke 1. ... 36

14. Keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai minggu ke 2. ... 36

15. Analisis ragam keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai minggu ke 2. ... 36


(9)

17. Analisis ragam keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai

minggu ke 3. ... 37 18. Keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai minggu ke 4. ... 37 19. Analisis ragam keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai

minggu ke 4. ... 38 20. Bobot buah cabai sehat (g) pada pengamatan minggu ke 4. ... 38 21. Analisis ragam bobot buah sehat pada pengamatan minggu ke 4. . 38 22. Bobot buah cabai sakit (g) pada pengamatan minggu ke 4. ... 39 23. Analisis ragam bobot buah sakit pada pengamatan minggu ke 4. .. 39


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Penyakit antraknosa pada cabai besar ... 7

A. Gejala antraknosa pada buah ... 7

B. Koloni C. capsici ... 7

C. Spora C. capsici... 7

2. Gejala serangan penyakit antraknosa pada buah cabai ... 8

3. Gambar gejala penyakit antraknosa pada daun dan buah cabai besar ... 20

(A) Gejala antraknosa pada daun cabai (21 hsi) ... 20

(B) Gejala antraknosa pada buah cabai (34 hsi) ... 20

4. Grafik perkembangan penyakit antraknosa pada daun dengan berbagai perlakuan ... 23

5. Grafik perkembangan penyakit antraknosa pada buah dengan berbagai perlakuan ... 25

6. Skor daun cabai besar yang bergejala antraknosa (%) ... 40

7. Skor buah cabai besar yang bergejala antraknosa (%) ... 40


(11)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Cabai besar (Capsicum annuum L.) merupakan suatu komoditas sayuran yang selalu di gunakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain berguna

sebagai penyedap masakan dan pembangkit selera makan, cabai juga mengandung nutrisi yang sangat diperlukan untuk kesehatan manusia. Di Indonesia tanaman ini mempunyai arti ekonomi penting dan menduduki tempat kedua setelah kacang-kacangan (Ruslidkk., 1997).

Salah satu kendala utama dalam budidaya tanaman cabai adalah penyakit

antraknosa. Penyakit ini disebabkan oleh C. capsici yang dapat menurunkan hasil yang cukup besar (Rohmawati, 2002). Penyakit ini juga merupakan salah satu faktor pembatas produksi cabai besar. Kehilangan hasil akibat penyakit tersebut dapat mencapai sekitar75 % (Hersanti dkk., 2001).

Penyakit ini berkembang cepat pada kondisi kelembaban udara relatif tinggi pada suhu sekitar 32 0C dan lingkungan pertanaman yang banyak gulma serta banyak genangan air (Prajnata, 2001). C. capsici dapat menyerang daun dan batang, selanjutnya menginfeksi buah (Semangun, 2004). Gejala penyakit antraknosa adalah bercak-bercak pada buah, buah kehitaman dan membusuk, kemudian rontok (Nazaruddin, 1999).


(12)

2

Untuk mengendalikan penyakit antraknosa umumnya petani cabai menggunakan fungisida kimia namun, penggunaan fungisida kimia dapat memberi dampak negatif, selain terhadap manusia yang mengkonsumsinya, juga terhadap lingkungan. Penggunaan fungisida kimia yang tidak bijaksana justru menimbulkan permasalahan baru seperti resistensi patogen, pencemaran lingkungan, dan residu pada tanaman yang berbahaya untuk kesehatan. Oleh sebabitu, perlu dicari alternatif lain untuk pengendalian penyakit antraknosa, yaitu pengendalian yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan.

Salah satu diantaranya dengan menggunakan fungisida botani yaitu fungisida yang berasal dari tumbuhan.

Tumbuhan yang dapat digunakan sebagai fungisida botani antara lain Ageratum conyzoides (babadotan), Chromolaena odorata (tumbuhan siam), Imperata cylindrica (alang-alang), dan Cyperus rotundus (teki). Tumbuhan tersebut

mengandung senyawa kimia seperti minyak atsiri, sineol, dan alkaloid, yang dapat berperan sebagai fungisida botani. Atas dasar ini maka untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada tanaman cabai dilakukan penelitian tentang efektivitas ekstrak babadotan, tumbuhan siam, alang-alang, dan teki sebagai fungisida botani (Mirin 1997 dalam Friska, 2007).


(13)

3

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan perumusan masalah,maka tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh ekstrak A. conyzoides (babadotan),C. odorata

(tumbuhan siam), I. cylindrica (alang-alang), dan C. rotundus (teki) sebagai pengendali penyakit antraknosa pada tanaman cabai.

2. Mengetahui efektifitas ekstrak A. conyzoides (babadotan), C. odorata (tumbuhan siam), I. cylindrica (alang-alang), dan C. rotundus (teki) untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada cabai.

1.3 Kerangka Pemikiran

Kendala utama dalam menurunkan produksi cabai adalah serangan penyakit antraknosa. Oleh sebab itu dicari cara pengendalian yang efektif dapat mengurangi sumber infeksi dan menekan pertumbuhan patogen serta ramah lingkungan. Salah satu alternatif pengendalian yang digunakan sekarang ini adalah dengan menggunakan fungisida botani yang diartikan sebagai suatu fungisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan seperti daun, bunga, buah, biji, kulit, dan batang yang mempunyai kelompok metabolit sekunder atau senyawa bioaktif. Fungisida botani bersifat mudah terurai dialam sehingga tidak mencemari lingkungan, dan relatif aman bagi manusia (Kardinan, 2004).

Beberapa tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa-senyawa kompleks yang dapat mengganggu siklus pertumbuhan patogen (Supriatin dan Marwoto, 2000).


(14)

4

Beberapa laporan hasil penelitian menyebutkan bahwa fungisida botani efektif dalam mengendalikan penyakit tanaman. Andre (2011) melaporkan bahwa terdapat jenis tumbuhan yang diketahui efektif menekan pertumbuhan patogen seperti A. conyzoides (babadotan), C. odorata (tumbuhan siam), I. cylindrica (alang-alang), dan C. rotundus (teki). Ekstrak tumbuhan tersebut sering digunakan untuk mengendalikan penyebab penyakit (patogen) pada

perkecambahan biji jagung. Ekstrak daun tersebut mengandung senyawa tertentu seperti minyak atsiri. Mekanisme minyak atsiri adalah dapat mengendalikan jamur patogen tanaman seperti Colletotrichum capsici, Phytophthora capsici, dan Rhizoctonia solani adalah dengan menghambat perkecambahan spora sehingga berperan sebagai antifungi (Bajpai dan Kang, 2012). Hasil penelitian ini

diharapkan dapat diterapkan oleh petani dalam memanfaatkan ekstrak tumbuhan A. conyzoides (babadotan), C. odorata (tumbuhan siam), I. cylindrica

(alang-alang), dan C. rotundus (teki) yang juga sebagai gulma di lingkungan lahan pertanian sebagai upaya melakukan pertanian berkelanjutan yang ramah

lingkungan.

1.4 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran maka dapat dirumuskan suatu hipotesis sebagai berikut :

1. Ekstrak A. conyzoides (babadotan), C. odorata (tumbuhan siam), I. cylindrica (alang-alang), dan C. rotundus (teki) dapat menekan keparahan penyakit antraknosa pada daun dan buah cabai besar.

2. Efektifitas ekstrak A. conyzoides (babadotan), C. odorata (tumbuhan siam), I. cylindrica (alang-alang), dan C. rotundus (teki) berbeda-beda.


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cabai besar

Klasifikasi dan Deskripsi Cabai Besar: Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta Sub divisio : Angiospermae Ordo : Polemoniales Famili : Solanaceae

Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum annuum L.

Cabai besar merupakan tanaman semusim berbentuk perdu, berdiri tegak dangan batang berkayu, dan memiliki banyak cabang. Tinggi tanaman dewasa antara 65 – 120 cm. Lebar tajuk tanaman 50 – 90 cm (Prajnata, 2003).

Cabai besar dibudidayakan di dataran rendah maupun dataran tinggi, pada lahan sawah atau tegalan. Tanah yang baik untuk pertanaman cabai adalah yang berstruktur remah atau gembur, banyak mengandung bahan organik. Tanaman cabai yang dibudidayakan di sawah sebaiknya ditanam pada akhir musim hujan, sedangkan di tegalan pada musim hujan, ini dimaksudkan agar kebutuhan air selama pertanaman dapat terpenuhi dengan baik. Dimana pada lahan sawah yang umumnya lembab jika musim hujan volume air akan meningkat akibatnya

tanaman tergenag dan dapat mengakibatkan tanaman busuk dan mati (BPTP Lampung, 2008).


(16)

6

2.2 Colletotrichum capsici

2.2.1 Klasifikasi C. capsici

Divisio : Ascomycotina Sub divisio : Eumycota Kelas : Pyrenomycetes Ordo : Sphaeriales Famili : Polystigmataceae Genus : Colletotrichum

Spesies : Colletotrichum capsici

Miselium C. capsici terdiri atas beberapa septa, intra dan interseluler hifa. Aservulus dan stroma pada batang berbentuk hemispherical dan ukuran 70 – 120 µm, berwarna coklat gelap sampai coklat muda, serta terdiri dari beberapa septa dan ukuran 150 µm. Konidiofor tidak bercabang, masa konidia nampak warna kemerah-merahan. Konidia berada di ujung konidiofor. Konidia berbentuk hialin, uniseluler, ukuran 17 – 18 x 3 – 4µm. Konidia dapat berkecambah di dalam air selama 4 jam. Namun konidia lebih cepat berkecambah pada

permukaan buah yang hijau atau tua daripada di dalam air. Tabung akan segera membentuk apresoria (Singh, 1996).

Pertumbuhan awal C. capsici membentuk koloni miselium yang berwarna putih dengan miselium yang timbul di permukaan. Kemudian secara perlahan-lahan berubah menjadi hitam dan akhirnya terbentuk aservulus ditutupi oleh warna merah muda sampai coklat muda yang sebetulnya adalah masa konidia (Rusli dkk., 1997).


(17)

7

Gambar 1. Penyakit antraknosa pada cabai besar. A= Gejala antraknosa pada buah. B= Koloni C. capsici. C= Spora C. capsici.

2.2.2 Gejala Penyakit

C. capsici dapat menginfeksi cabang, ranting, dan buah. Serangan pada batang dan daun tidak menimbulkan masalah yang berarti bagi tanaman, tetapi dari bagian inilah penyakit dapat berkembang ke buah. Infeksi pada buah biasanya terjadi pada buah yang menjelang tua. Gejala awal berupa bintik-bintik kecil yang berwarna kehitam-hitaman dan sedikit melekuk. Serangan lebih lanjut mengakibatkan buah mengerut, kering, membusuk dan jatuh (Rusli dkk., 1997).

Infeksi C. capsici dimulai dari konidia yang berkecambah pada permukaan tanaman dan menghasilkan tabung kecambah. Setelah penetrasi maka terbentuk jaringan hifa. Hifa intra dan interseluler menyebar melalui jaringan tanaman yang seterusnya membentuk spora. Spora dapat disebarkan oleh air hujan dan pada inang yang cocok spora akan kembali menginfeksi (Kronstad, 2000).


(18)

8

Gambar 2. Gejala serangan penyakit antraknosa pada buah cabai

2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Penyakit

Antraknosa adalah penyakit terpenting yang endemik pada tanaman cabai di Indonesia. Penyakit antraknosa dapat menyebabkan kerusakan sejak persemaian sampai tanaman cabai berbuah dan merupakan masalah utama pada buah masak, serta berakibat serius terhadap penurunan hasil dan penyebaran penyakit

(Syamsudin, 2002).

Penyakit jarang terlihat pada musim kemarau, di lahan yang mempunyai drainase baik, dan gulmanya terkendali dengan baik. Perkembangan penyakit paling baik terjadi pada suhu 30 0C. Buah yang muda lebih rentan dari pada yang setengah masak tetapi, perkembangan bercak karena C. capsici lebih cepat terjadi pada buah yang lebih tua, meskipun buah muda lebih cepat gugur karena infeksi.

Penyakit antraknosa pada buah masak lebih parah dibandingkan dengan buah yang belum masak (masih hijau). Buah cabai yang masak, selain mengandung glukosa dan sukrosa juga mengandung fruktosa, sedangkan buah yang masih hijau hanya mengandung sukrosa dan glukosa. Dengan demikian diduga fruktosa


(19)

9

merupakan jenis gula mempunyai korelasi dengan penyakit antraknosa, sehingga fruktosa dalam buah dapat dijadikan karakter seleksi ketahanan tanaman cabai terhadap serangan antraknosa (Tenaya, 2001).

2.2.4 Pengendalian Penyakit

Pengendalian penyakit tanaman yang dipergunakan pada umumnya menggunakan fungisida kimia, dan sangat sedikit menggunakan fungisida nabati atau botani. Apabila ditemukan gejala penyakit antraknosa maka pengendalian yang dapat disarankan adalah mengurangi sumber infeksi agar tidak meluas, dengan cara mencabut dan memusnahkan tanaman sakit (Moekasan dkk., 2000).

2.3 Fungisida Botani

Saat ini perlu diprioritaskan penelitian yang bertujuan untuk mencari atau mengidentifikasi tumbuhan-tumbuhan yang berperan sebagai fungisida botani (Soehardjan, 1994). Pengertian fungisida botani mencakup bahan botani yang berfungsi sebagai zat pembunuh, zat penolak, zat pengikat dan zat penghambat pertumbuhan organisme pengganggu. fungisida botani adalah fungisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan. Fungisida botani mulai banyak diminati oleh petani, hal tersebut disebabkan oleh mahalnya harga fungisida kimia atau sintetik. Penggunaan fungisida botani selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan, harganya relatif lebih murah apabila dibandingkan dengan fungisida kimia.

Fungisida botani dapat dibuat dengan menggunakan teknologi tinggi dan


(20)

10

kelompok tani ataupun perorangan. Fungisida botani yang dibuat secara sederhana dapat berupa larutan hasil rendaman, ekstrak, dan rebusan bagian tumbuhan atau tanaman, yakni berupa akar, umbi, batang, daun, biji, dan buah (Sudarmo, 2009). Berbagai jenis tumbuhan yang mempunyai peranan yang sangat potensial sebagai sumber fungisida botani seperti babadotan, siam, alang-alang, dan teki.

2.3.1 Babadotan

Klasifikasi babadotan

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Classis : Dicotyledonae Sub kelas : Sympetalae Ordo : Campanulatae Familia : Compositae Genus : Ageratum

Species : Ageratum conyzoides.

Babadotan tergolong dalam tumbuhan terna semusim, tumbuh tegak atau bagian bawahnya berbaring, tingginya sekitar 30 – 90 cm dan bercabang. Batang bulat berambut panjang, jika menyentuh tanah akan mengeluarkan akar. Daun bertangkai, letaknya saling berhadapan dan bersilang, helaian daun bulat telur dengan pangkal membulat dan ujung runcing, tepi bergerigi, panjang 1 – 10 cm, kedua permukaan daun berambut panjang dengan kelenjar yang terletak

dipermukaan bawah daun, warnanya hijau. Bunga majemuk berkumpul 3 atau lebih, berbentuk malai rata yang keluar dari ujung tangkai, warnanya putih. Panjang bonggol bunga 6 – 8 mm, dengan tangkai yang berambut. Buahnya berwarna hitam dan bentuknya kecil (Anonim, 2007).


(21)

11

Babadotan mengandung asam amino, minyak atsiri, kumarin, ageratochromene, friedelin, sitosterol, stigmasterol, tannin, dan sulfur. Daun dan bunga

mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol, disamping itu daunnya juga mengandung minyak atsiri (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).

Hasil penelitian yang lain menunjukkan bahwa ekstrak air dan metanol A. conyzoides potensial sebagai antibakteri terhadap Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitica, Salmonella gallinarum dan Escherichia coli (Gunawan dan Mulyani, 2004).

2.3.2 Tumbuhan Siam

Klasifikasi tumbuhan siam

Kingdom : Plantae

Super divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub kelas : Asteridae Ordo : Asterales Famili : Asteraceae Genus : Chromolaena

Spesies : Chromolaena odorata.

Tumbuhan siam termasuk kedalam golongan tumbuhan terna pemanjat semusim yang dapat tumbuh dua sampai tiga meter pada tempat terbuka dan dapat

mencapai dua puluh meter. Tumbuhan ini dinyatakan sebagai tumbuhan penting karena jumlahnya atau kelimpahannya sangat besar. Tumbuhan ini tidak

memerlukan kondisi yang ekstrim, dapat tumbuh subur di daerah tropis.

C. odorata dapat menyebar ke tempat-tempat lain hampir di seluruh dunia karena kemampuannya menyebar sangat mudah dan cepat. Hal itu terjadi karena biji


(22)

12

C. odorata ringan dan mudah menempel pada segala sesuatu yang mengenainya karena adanya rambut-rambut halus.

Tumbuhan ini mengandung senyawa metabolit sekunder. Dari isolasi tumbuhan ini berhasil ditemukan sejumlah alkohol, flavononas, flavonas, khalkones, asam aromatik dan minyak esensial. Minyak esensial dari daun diduga dapat menekan pertumbuhan beberapa jamur patogen tanaman seperti jamur Pyricularia grisea, Fusarium oxysporum dan Phytophthora nicotiana (Haryanti dkk., 2004).

2.3.3 Alang-alang

Klasifikasi alang-alang

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Sub kelas : Commelinidae Ordo : Poales

Famili : Poaceae Genus : Imperata

Spesies : Imperata cylindrica.

Alang-alang atau ilalang lebih banyak kita kenal sebagai tumbuhan pengganggu. Tumbuhan ini seperti padi tapi tidak memiliki biji.

Hasil penelitian tentang tanaman ini menyebutkan bahwa alang-alang mengandung mannitol, glukosa, asam malic, asam sitrat, coixol, arundoin, silindrin, fernerol, simiarenol, anemonin, esin, alkali, saponin, taninin, dan polifenol (Anonim 2012a).


(23)

13

2.3.4 Teki

Klasifikasi teki

Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Super devisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Sub kelas : Commelinidae Ordo : Cyperaceae Famili : Cyperaceae Genus : Cyperus

Spesies : Cyperus rotundus.

Teki memiliki daya tahan luar biasa terhadap pengendalian mekanik karena memiliki umbi batang didalam tanah yang mampu bertahan berbulan-bulan. Selain itu, tumbuhan ini menjalankan jalur fotosintesis C4 yang menjadikannya sangat efisien dalam menguasai areal pertanian secara cepat. Ciri-cirinya adalah letak daun berjejal pada pangkal batang bentuk daun seperti pita tidak berongga, tangkai bunga tidak beruas berbentuk silindris, tidak memiliki lidah daun, dan titik tumbuh tersembunyi. Tumbuhan ini biasanya tumbuh secara liar di tempat terbuka atau sedikit terlindung dari sinar matahari seperti di tanah kosong, tegalan, lapangan rumput, pinggir jalan atau lahan pertanian.

Tumbuhan teki mengandung alkaloid, flavonoid dan minyak esensial. Teki ini mengandung senyawa yang terdiri dari atas seskuiterpen, hidrokarbon, epokside, keton-keton, monoterpen dan alifatik alkohol serta beberapa senyawa lain yang belum dapat diidentifikasi (Anonim 2012b).


(24)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tanaman dan Laboratorium Lapangan Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan

November 2012 sampai dengan Maret 2013.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi tanah humus, benih cabai varietas Lado, buah cabai yang terserang penyakit antraknosa, kentang, gula, agar batang, aquades, bahan perekat, asam laktat, alkohol 70%, ekstrak babadotan, ekstrak siam, ekstrak alang-alang, dan ekstrak teki.

Alat yang digunakan adalah cawan petri, jarum ose, beakerglass, autoklaf, hand taily, haemacytometer, micropipete, gelas ukur, tabung reaksi, erlenmeyer, kaca preparat, spatula, laminar air flow, oven, timbangan, bor gabus, bunsen, blender, handsprayer, alumunium foil, kertas saring, sepidol, tissue, nampan plastik, panci, polibag, plastik tahan panas, plastik warp, cangkul, tali rafia, ember, kain saring, kalkulator, kertas label, kamera dan alat tulis.


(25)

15

3.3 Metode Penelitian

Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) terdiri dari 5 perlakuan dan 5 ulangan sehingga terdapat 25 satuan percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas 2 tanaman cabai (dalam satu polibag). Perlakuan terdiri atas air steril sebagai kontrol (M0), ekstrak A. conyzoides (babadotan) 100 g/100 ml (M1), ekstrak C. odorata (tumbuhan siam) 100 g/100 ml (M2), ekstrak I. cylindrica (alang-alang) 100 g/100 ml (M3), dan ekstrak C. rotundus (teki) 100 g/100 ml (M4).

Data yang diperoleh dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5 %.

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Pembuatan Media PDA

Untuk membuat media PDA sebanyak 1 liter, dibutuhkan 20 g agar batang yang telah dipotong-potong, 20 g gula pasir, dan 200 g kentang. Kentang dipotong kecil-kecil lalu direbus didalam 1 liter air sambil diaduk, setelah itu rebusan bahan-bahan disaring ke dalam tabung erlenmeyer ukuran 1 liter. Tabung erlenmeyer yang berisikan PDA tersebut disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121 0C dan tekanan 1 atm selama ±30 menit. Setelah proses sterilisasi selesai, media PDA didiamkan sampai hangat kuku kemudian ditambah 0,7 ml asam laktat. Selanjutnya media dituang ke dalam cawan petri.


(26)

16

3.4.2 Penyemaian Benih Cabai Besar

Benih cabai yang digunakan adalah benih varietas Lado. Sebelum disemai benih direndam dengan air hangat kuku selama 1 jam. Tujuan perendaman untuk

memudahkan perkecambahan dan mematikan patogen yang terbawa benih. Selanjutnya benih disemai dalam media berupa tanah humus yang ada dalam nampan plastik yang pada sisi bawahnya telah diberi lubang-lubang kecil. Setelah benih cabai ditabur, pada bagian permukaan ditutup dengan tanah halus.

Usahakan persemaian tidak terkena sinar matahari langsung. Penyiraman dilakukan setiap pagi atau sore hari.

3.4.3 Penyiapan Media Tanam Cabai

Penyiapan media tanam cabai dimulai dengan mengayak tanah untuk membersihkan tanah dari sisa-sisa tanaman sebelumnya. Selanjutnya tanah dicampur dengan humus (perbandingan 2:1) lalu dimasukkan kedalam polibag. Masing-masing polibag diberi label untuk memudahkan pada saat aplikasi dan pengamatan.

3.4.4 Pindah Tanam dan Pemeliharaan Bibit Cabai ke dalam Polibag

Setelah bibit cabai berumur 30 hari setelah tebar dan bibit mempunyai 5 – 6 helai daun maka bibit dipindahkan ke polibag yang telah berisi tanah humus.

Penyiraman tanaman dilakukan setiap hari. Pada umur 25 hari setelah pindah tanam, tanaman cabai dipasangi ajir agar dapat berdiri kokoh dan mampu menopang tajuknya dari angin ataupun hujan. Pengendalian gulma dilakukan setiap minggu dengan cara mencabut langsung gulma yang terdapat disekitar


(27)

17

tanaman cabai. Penyulaman bibit cabai dilakukan apabila bibit rusak ataupun mati.

3.4.5 Penyiapan Isolat C. capsici

C. capsici diisolasi dari jaringan buah cabai dari lapangan yang memiliki gejala bintik-bintik kecil berwarna kehitaman dan lekukan pada buah. Jaringan buah cabai yang telah terinfeksi dipotong pada bagian pembatas antara yang sehat dan yang sakit (± 5 mm). Potongan-potongan tersebut direndam dalam larutan klorok 1% selama 15 – 30 detik lalu dibilas dengan aquades, selanjutnya diletakan diatas tisu steril sampai kering. Potongan buah cabai tersebut ditumbuhkan pada media PDA secara aseptik dan diinkubasi dalam suhu ruang selama 7 – 11 hari atau

sampai koloni memenuhi cawan. Setelah diperoleh isolat murni C. capsici

kemudian diperbanyak dalam media PDA.

3.4.6 Pembuatan Ekstrak Tumbuhan

Fungisida botani yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstrak A.conyzoides (babadotan), C. odorata (tumbuhan siam), I. cylindrica (alang-alang), dan

C. rotundus (teki). Masing-masing bahan tumbuhan diambil di lapangan, kemudian dicuci dengan air bersih. Bahan tanaman ditimbang seberat 100 g ditambah 100 ml aquades, selanjutnya diblender. Bahan tanaman yang sudah diblender kemudian disaring dengan kain halus atau kain kasa. Ekstrak hasil saringan siap digunakan (Suryaningsih dan Hadisoeganda, 2004).


(28)

18

3.4.7 Aplikasi Fungisida Botani

Aplikasi diawali dengan penyemprotan ekstrak terhadap tanaman cabai. Penyemprotan ekstrak fungisida botani dilakukan pada pagi hari saat tanaman berumur 30 hari setelah pindah tanam. Penyemprotan dilakukan dengan

menggunakan handsprayer dengan cara menyemprotkan sebanyak masing-masing 20 ml atau 95 kali semprotan langsung ke tanaman cabai. Sebelum disemprotkan ke tanaman, ekstrak diberi tambahan bahan perekat indostik 0,15 ml/100 ml ekstraik. Penyemprotan dilakukan selang waktu satu minggu sampai pengamatan terakhir.

3.4.8 Inokulasi C. capsici pada Tanaman Cabai

Jumlah spora dihitung dengan metode hitungan mikroskopis langsung

menggunakan alat haemocytometer. Hasil dari penghitungan kerapatan spora C. capsici digunakan sebagai inokulum pada tanaman cabai. Penyemprotan C. capsici dengan menggunakan handsprayer empat semprot per tanaman. Suspensi diinokulasikan pada sore hari atau sembilan jam setelah aplikasi ekstrak fungisida botani, dengan cara menyemprotkan suspensi C. capsici langsung pada tanaman cabai.

3.5 Pengamatan dan Pengumpulan Data

Pengamatan dilakukan pada saat muncul gejala antraknosa berupa bercak nekrotik pada daun atau bercak nekrotik pada buah. Pengamatan dilakukan dengan selang waktu tujuh hari sekali. Peubah yang diamati adalah intensitas penyakit berupa


(29)

19

keparahan penyakit pada daun, pada buah, serta bobot buah cabai sehat dan bobot buah cabai sakit pada pengamatan minggu terakhir.

Keparahan penyakit dihitung dengan rumus :

KP

=

� � 100 %

Keterangan : Keparahan penyakit diamati pada daun cabai

KP = Keparahan penyakit (%)

n = Banyaknya daun dan buah dalam setiap kategori serangan N = Jumlah daun dan buah yang diamati

v = Nilai numerik untuk tiap kategori serangan V = Nilai skor tertinggi

Skor berdasarkan interval serangan pathogen penyebab antraknosa pada daun adalah sebagai berikut:

Skor 0 = Tanpa serangan

Skor 1 = Gejala terjadi pada lebih dari 1 – 20% Skor 2 = Gejala terjadi pada lebih dari 20 – 40% Skor 3 = Gejala terjadi pada lebih dari 40 – 60% Skor 4 = Gejala terjadi pada lebih dari 60 – 80% Skor 5 = Gejala terjadi pada lebih dari 80 – 100%

Skor berdasarkan interval serangan pathogen penyebab antraknosa pada buah adalah sebagai berikut:

Skor 0 = Tanpa serangan

Skor 1 = Gejala terjadi pada lebih dari 1 – 20% Skor 2 = Gejala terjadi pada lebih dari 20 – 40% Skor 3 = Gejala terjadi pada lebih dari 40 – 60% Skor 4 = Gejala terjadi pada lebih dari 60 – 80% Skor 5 = Gejala terjadi pada lebih dari 80 – 100%


(30)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

1. Ekstrak A. conyzoides (babadotan), C. odorata (tumbuhan siam), I. cylindrica (alang-alang), dan C. rotundus (teki) berpengaruh dalam menekan keparahan penyakit antraknosa.

2. Pengaruh ekstrak A. conyzoides (babadotan), C. odorata (tumbuhan siam), I. cylindrica (alang-alang), dan C. rotundus (teki) berbeda-beda namun ekstrak C. odorata (tumbuhan siam) dan C. rotundus (teki) lebih efektif dari pada A. conyzoides (babadotan), I. cylindrica (alang-alang) dalam menekan keparahan penyakit antraknosa pada daun dan buah cabai.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, perlu memperoleh formulasi ekstrak C. odorata (tumbuhan siam) dan C. rotundus (teki) agar dapat diaplikasikan dengan efektif.


(31)

29

PUSTAKA ACUAN

Andre. 2011. Pengaruh ekstrak beberapa jenis gulma penyebab patogen terhadap perkecambahan biji jagung (Zea mays L.). Jurnal Online.

http.pengaruh-ekstrak-jenis gulma.html. Diakses tanggal 28 juli 2012. Anonim. 2012a. Pestisida dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pestisida. Diakses

Tanggal 28 juli 2012.

Anonim. 2012b. Rumput teki dalam http://toiusd. Multiply.com/jurnal/ item/48/Cyperus rotundus. Diakses Tanggal 28 juli 2012. Anonim. 2007c. Gulma daun lebar. Tersedia dalam http://id.

Wikipedia.org/wiki/bandotan. Diakses Tanggal 28 juli 2012. BPTP Lampung. 2008. Teknologi budidaya cabai merah. Balai Pengkaji

Teknologi Pertanian. Bandar Lampung.

Bajpai, V.K., dan S.C. Kang. 2012. In vitro and vivo of plan patogenic fungi by essential oil and extracts of Magnolia liliflora Desr. JAST 14 : 845-856. Ditjenbun, 1994. Pedoman pengenalan pestisida botani. Direktorat Bina

Perlindungan Tanaman Perkebunan, Ditjenbun, Deptan Jakarta. hlm 79-85.

Friska, M., 2007.Percobaan pendahuluan pengaruh ekstrak daun nimba terhadap pertumbuhan jamur Colletotrichum capsici.Universitas Sumatra Utara. hlm 1-66.

Gunawan , D., dan Mulyani., 2004. Ilmu obat alam (Farmakogonosis) Jilid 1. Penebar Swadaya. 140 hlm.

Haryanti. S., Hidayah N., Haryono, K., Suharjo.R., Soffan . A. dan Swari. F.D. 2004. Pemanfaaatan ekstrak gulma siam (Chromolaena odorata) untuk mengendalikan Spodoptera exigua pada pertanaman bawang merah di keretek bantul. Laporan Akhir Program Kreativitas Mahasiswa. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. hlm. 19-31. Hersanti, F., Ling dan Zulkarnaen., I. 2001. Pengujian kemampuan campuran

senyawa benzothiadiazole 1 % -mankozeb 84 % dalam meningktkan ketahanan tanaman cabai merah terhadap penyakit Antraknosa.


(32)

30

Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Hasil. PFI, Bogor, 22-24 Agustus 2001.

Kardinan, A. 2004. Pestisida nabati rumusan dan apliksai. Penebar Swadaya Jakarta. 88 hlm.

Kronstad, J.W,. 2000. Fungal pathology. Klower Academic Publishers, Nederlands. Pp. 112-120.

Moekasan, T.K., L. Prabaningrum dan M.L. Ratnawati, 2000. Penerapan PHT pada sistem tanaman tumpanggilir bawang merah dan cabai. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bandung. Nazaruddin. 1999. Budidaya dan pengaturan panen sayuran dataran rendah.

Penebar Swadaya. Jakarta. 142 hlm.

Prajnata, F. 2001. Agribisnis cabai hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta. 30 hlm. Rohmawati, A., 2002. Pengaruh kerapatan sel dan macam agensia hayati

terhadap perkembangan penyakit antraknosa dan hasil tanaman cabai (Capsicum annuum L.) Diakses dari http :// digilib.si.itb.ac.id/ tanggal 25 juli 2012.

Rusli, I., Mardinus dan Zulpadli, 1997. Penyakit antraknosa pada buah cabai di Sumatera Barat. Prosiding Kongres Nasional XVI. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Palembang, 27-29 Desember 1997.

Semangun. 2004. Pengantar ilmu penyakit tumbuhan. Universitas Gajah mada. Yogyakarta. Press. hlm 83-86.

Singh, R.S., 1996. Pathogenesis and Host specifity in plant desease. Elsevier Sceence Ltd. Great Britain. Pp. 768.

Soehardjan, M., 1994. Konsepsi dan strategi penelitian dan pengembangan pestisida nabati. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor, 1-2 Desember 1993.

Suryaningsih, E., dan Hadisoeganda., 2004. Pestisida botani untuk

mengendalikan hama dan penyakit sayuran. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bandung.

Sudarmo, S.2009. Pestisida nabati pembuatan dan pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta. hlm 122-132.


(33)

31

Supriatin dan Marwoto. 2000. Efektifitas beberapa bahan nabati terhadap hama perusak daun kedelai. Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Hayati Tanaman Kacang-kacangan. PPTP. Malang. 458 Pp.

Syamsudin, 2002. Pengendalian penyakit terbawa benih (Seedborn Disease) pada tanaman cabai (Capsicum annuum L.) menggunakan agen biokontrol dan ekstrak botani. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pascasarjana/S3, IPB. Diakses dari http :// www. Tumotou. Net / tanggal 19 Februari 2007.

Syamsuhidayat S.S., dan Hutapea J.R., 1991. Inventaris tanaman obat Indonesia. Jakarta. Depkes RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta.

Tenaya , I. M. N., 2001 Pewarisan kandungan fruktosa dan kapsaisin serta

aktivitas enzim peroksidase pada tanaman hasil persilangan cabai rawit dengan cabai merah. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Agritop Vol 20 (2) : hlm 80-91.

Thamrin, M., Asikin, S., Mukhlis dan Budiman, A. 2005. Potensi ekstrak flora lahan rawa sebagai pestisida nabati. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa.


(1)

18

3.4.7 Aplikasi Fungisida Botani

Aplikasi diawali dengan penyemprotan ekstrak terhadap tanaman cabai. Penyemprotan ekstrak fungisida botani dilakukan pada pagi hari saat tanaman berumur 30 hari setelah pindah tanam. Penyemprotan dilakukan dengan

menggunakan handsprayer dengan cara menyemprotkan sebanyak masing-masing 20 ml atau 95 kali semprotan langsung ke tanaman cabai. Sebelum disemprotkan ke tanaman, ekstrak diberi tambahan bahan perekat indostik 0,15 ml/100 ml ekstraik. Penyemprotan dilakukan selang waktu satu minggu sampai pengamatan terakhir.

3.4.8 Inokulasi C. capsici pada Tanaman Cabai

Jumlah spora dihitung dengan metode hitungan mikroskopis langsung

menggunakan alat haemocytometer. Hasil dari penghitungan kerapatan spora C. capsici digunakan sebagai inokulum pada tanaman cabai. Penyemprotan C. capsici dengan menggunakan handsprayer empat semprot per tanaman. Suspensi diinokulasikan pada sore hari atau sembilan jam setelah aplikasi ekstrak fungisida botani, dengan cara menyemprotkan suspensi C.capsici langsung pada tanaman cabai.

3.5 Pengamatan dan Pengumpulan Data

Pengamatan dilakukan pada saat muncul gejala antraknosa berupa bercak nekrotik pada daun atau bercak nekrotik pada buah. Pengamatan dilakukan dengan selang waktu tujuh hari sekali. Peubah yang diamati adalah intensitas penyakit berupa


(2)

19

keparahan penyakit pada daun, pada buah, serta bobot buah cabai sehat dan bobot buah cabai sakit pada pengamatan minggu terakhir.

Keparahan penyakit dihitung dengan rumus :

KP = � � 100 %

Keterangan : Keparahan penyakit diamati pada daun cabai

KP = Keparahan penyakit (%)

n = Banyaknya daun dan buah dalam setiap kategori serangan N = Jumlah daun dan buah yang diamati

v = Nilai numerik untuk tiap kategori serangan V = Nilai skor tertinggi

Skor berdasarkan interval serangan pathogen penyebab antraknosa pada daun adalah sebagai berikut:

Skor 0 = Tanpa serangan

Skor 1 = Gejala terjadi pada lebih dari 1 – 20% Skor 2 = Gejala terjadi pada lebih dari 20 – 40% Skor 3 = Gejala terjadi pada lebih dari 40 – 60% Skor 4 = Gejala terjadi pada lebih dari 60 – 80% Skor 5 = Gejala terjadi pada lebih dari 80 – 100%

Skor berdasarkan interval serangan pathogen penyebab antraknosa pada buah adalah sebagai berikut:

Skor 0 = Tanpa serangan

Skor 1 = Gejala terjadi pada lebih dari 1 – 20% Skor 2 = Gejala terjadi pada lebih dari 20 – 40% Skor 3 = Gejala terjadi pada lebih dari 40 – 60% Skor 4 = Gejala terjadi pada lebih dari 60 – 80% Skor 5 = Gejala terjadi pada lebih dari 80 – 100%


(3)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

1. Ekstrak A. conyzoides (babadotan), C. odorata (tumbuhan siam), I. cylindrica (alang-alang), dan C. rotundus (teki) berpengaruh dalam menekan keparahan penyakit antraknosa.

2. Pengaruh ekstrak A. conyzoides (babadotan), C. odorata (tumbuhan siam), I. cylindrica (alang-alang), dan C. rotundus (teki) berbeda-beda namun ekstrak C. odorata (tumbuhan siam) dan C. rotundus (teki) lebih efektif dari pada A. conyzoides (babadotan), I. cylindrica (alang-alang) dalam menekan keparahan penyakit antraknosa pada daun dan buah cabai.

5.2 Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, perlu memperoleh formulasi ekstrak C. odorata (tumbuhan siam) dan C. rotundus (teki) agar dapat diaplikasikan dengan efektif.


(4)

29

PUSTAKA ACUAN

Andre. 2011. Pengaruh ekstrak beberapa jenis gulma penyebab patogen terhadap perkecambahan biji jagung (Zea mays L.). Jurnal Online.

http.pengaruh-ekstrak-jenis gulma.html. Diakses tanggal 28 juli 2012. Anonim. 2012a. Pestisida dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Pestisida.Diakses

Tanggal 28 juli 2012.

Anonim. 2012b. Rumput teki dalam http://toiusd. Multiply.com/jurnal/ item/48/Cyperus rotundus. Diakses Tanggal 28 juli 2012. Anonim. 2007c. Gulma daun lebar. Tersedia dalam http://id.

Wikipedia.org/wiki/bandotan. Diakses Tanggal 28 juli 2012. BPTP Lampung. 2008. Teknologi budidaya cabai merah. Balai Pengkaji

Teknologi Pertanian. Bandar Lampung.

Bajpai, V.K., dan S.C. Kang. 2012. In vitro and vivo of plan patogenic fungi by essential oil and extracts of Magnolia liliflora Desr. JAST 14 : 845-856. Ditjenbun, 1994. Pedoman pengenalan pestisida botani. Direktorat Bina

Perlindungan Tanaman Perkebunan, Ditjenbun, Deptan Jakarta. hlm 79-85.

Friska, M., 2007.Percobaan pendahuluan pengaruh ekstrak daun nimba terhadap pertumbuhan jamur Colletotrichum capsici.Universitas Sumatra Utara. hlm 1-66.

Gunawan , D., dan Mulyani., 2004. Ilmu obat alam (Farmakogonosis) Jilid 1. Penebar Swadaya. 140 hlm.

Haryanti. S., Hidayah N., Haryono, K., Suharjo.R., Soffan . A. dan Swari. F.D. 2004. Pemanfaaatan ekstrak gulma siam (Chromolaena odorata) untuk mengendalikan Spodoptera exigua pada pertanaman bawang merah di keretek bantul. Laporan Akhir Program Kreativitas Mahasiswa. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. hlm. 19-31. Hersanti, F., Ling dan Zulkarnaen., I. 2001. Pengujian kemampuan campuran

senyawa benzothiadiazole 1 % -mankozeb 84 % dalam meningktkan ketahanan tanaman cabai merah terhadap penyakit Antraknosa.


(5)

30

Prosiding Kongres Nasional XVI dan Seminar Hasil. PFI, Bogor, 22-24 Agustus 2001.

Kardinan, A. 2004. Pestisida nabati rumusan dan apliksai. Penebar Swadaya Jakarta. 88 hlm.

Kronstad, J.W,. 2000. Fungal pathology. Klower Academic Publishers, Nederlands. Pp. 112-120.

Moekasan, T.K., L. Prabaningrum dan M.L. Ratnawati, 2000. Penerapan PHT pada sistem tanaman tumpanggilir bawang merah dan cabai. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bandung. Nazaruddin. 1999. Budidaya dan pengaturan panen sayuran dataran rendah.

Penebar Swadaya. Jakarta. 142 hlm.

Prajnata, F. 2001. Agribisnis cabai hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta. 30 hlm. Rohmawati, A., 2002. Pengaruh kerapatan sel dan macam agensia hayati

terhadap perkembangan penyakit antraknosa dan hasil tanaman cabai (Capsicum annuum L.) Diakses dari http :// digilib.si.itb.ac.id/ tanggal 25 juli 2012.

Rusli, I., Mardinus dan Zulpadli, 1997. Penyakit antraknosa pada buah cabai di Sumatera Barat. Prosiding Kongres Nasional XVI. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Palembang, 27-29 Desember 1997.

Semangun. 2004. Pengantar ilmu penyakit tumbuhan. Universitas Gajah mada. Yogyakarta. Press. hlm 83-86.

Singh, R.S., 1996. Pathogenesis and Host specifity in plant desease. Elsevier Sceence Ltd. Great Britain. Pp. 768.

Soehardjan, M., 1994. Konsepsi dan strategi penelitian dan pengembangan pestisida nabati. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati, Bogor, 1-2 Desember 1993.

Suryaningsih, E., dan Hadisoeganda., 2004. Pestisida botani untuk

mengendalikan hama dan penyakit sayuran. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bandung.

Sudarmo, S.2009. Pestisida nabati pembuatan dan pemanfaatannya. Kanisius. Yogyakarta. hlm 122-132.


(6)

31

Supriatin dan Marwoto. 2000. Efektifitas beberapa bahan nabati terhadap hama perusak daun kedelai. Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Hayati Tanaman Kacang-kacangan. PPTP. Malang. 458 Pp.

Syamsudin, 2002. Pengendalian penyakit terbawa benih (Seedborn Disease) pada tanaman cabai (Capsicum annuum L.) menggunakan agen biokontrol dan ekstrak botani. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pascasarjana/S3, IPB. Diakses dari http :// www. Tumotou. Net / tanggal 19 Februari 2007.

Syamsuhidayat S.S., dan Hutapea J.R., 1991. Inventaris tanaman obat Indonesia. Jakarta. Depkes RI. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta.

Tenaya , I. M. N., 2001 Pewarisan kandungan fruktosa dan kapsaisin serta

aktivitas enzim peroksidase pada tanaman hasil persilangan cabai rawit dengan cabai merah. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Agritop Vol 20 (2) : hlm 80-91.

Thamrin, M., Asikin, S., Mukhlis dan Budiman, A. 2005. Potensi ekstrak flora lahan rawa sebagai pestisida nabati. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa.