KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI (Capsicum annuum L) DAN BERBAGAI JENIS GULMA

(1)

ABSTRAK

KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI

(Capsicum annuum L) DAN BERBAGAI JENIS GULMA

Oleh

Kristina Hayu Herwidyarti

Cabai merah (Capsicum annuum L) merupakan salah satu komoditas sayuran penting. Rendahnya produksi cabai antara lain disebabkan oleh penyakit antraknosa dan gulma yang tumbuh disekitar pertanaman cabai. Gulma selain menjadi tanaman pesaing cabai, sekaligus dapat sebagai tanaman inang alternatif jamur penyebab antraknosa Colletotrichum capsici L. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui apakah gulma dapat terserang penyakit antraknosa (2) mengetahui perbedaan masa inkubasi penyakit antraknosa pada cabai dan gulma. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan di lahan cabai di Kecamatan Kemiling, Kelurahan Langkapura Bandar Lampung pada bulan Juni hingga Agustus 2012. Penelitian ini disusun dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Data dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil pada taraf kepercayaan 5%. Perlakuan terdiri dari (a) cabai, (b) Cleome rutidosperma, (c) Cyperus kyllingia, (d) Synedrella nodiflora, (e) Paspalum distichum, dan (f) Ageratum conyzoides yang diinokulasikan dengan jamur Colletotrichum capsici pada saat tingginya berkisar antara 9-12 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa; (1) Keparahan penyakit antraknosa berbeda-beda, pada cabai 0,3% hingga 44,0% %, Cleome rutidosperma sebesar 7,5% hingga 51,0%, Cyperus kyllingia dan Paspalum distichum 0%, Synedrella nodiflora 9,3% hingga 47,0%. dan Ageratum conyzoides 12,8% menjadi 9,1%, (2) Masa inkubasi jamur Colletotrichum capsici berbeda-beda yaitu tersingkat pada gulma Cyperus kyllingia (0 hari), dan masa inkubasi terpanjang pada dan Paspalum conjugatum (27 hari). Pertumbuhan tinggi dan persentase jumlah daun tanaman cabai dan gulma yang diinokulasi dengan Colletotrichum capsici berbeda-beda dari minggu ke- 1 hingga minggu ke- 4. Pertumbuhan paling tinggi terjadi pada gulma Ageratum conyzoides sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada gulma Cleome rutidosperma. Persentase jumlah daun sakit paling besar adalah pada cabai dan Persentase jumlah daun paling kecil pada Cyperus kyllingia.

Kata Kunci: Ageratum conyzoides , Capsicum annuum L, Cleome rutidosperma, Colletotrichum capsici, Cyperus kyllingia, Paspalum distichum, Synedrella nodiflora.


(2)

ABSTRACT

DISEASE SAVERITY OF ANTHRACNISE ON RED CHILI

(Capsicum Annuum L) AND VARIOUS TYPES OF WEEDS

By

Kristina Hayu Herwidyarti

Red chili (Capsicum annuum L) known as one of favorit vegetables in our society. The low production of red chili caused by Anthracnose and weeds that grow around the plant. Weeds as unwanted plant competing the main plant red chili, and as alternative hosts for Anthracnose Colletotrichum capsici L. This study is aims to (1) determine if weeds can be infected by anthracnose disease (2) observe the differences of the incubation period of anthracnose disease on red chili and weeds. The research was conducted in Laboratory of Plant Pathology Faculty of Agriculture, Lampung University and on red chili plantation in the District of Kemiling, Langkapura in Bandar Lampung. From June to August 2012. The treatment was organized in a Rendomized Block Design (RBD) and 4 replications. The treatments consists of (a) chili, (b) Cleome rutidosperma, (c) Cyperus kyllingia, (d) Synedrella nodiflora, (e) Paspalum distichum, and (f) Ageratum conyzoides were inoculated with Colletotrichum capsici on high ranged between 9-12 cm. The results showed that (1) The disease severity of anthracnose in red chili 0,3% to 44,0%, Cleome rutidosperma of 7,5% to 51,0%, Cyperus kyllingia and Paspalum distichum 0%, Synedrella nodiflora 9,3% to 47,0% and Ageratum conyzoides 12,8% to be 9,1%, (2) The incubation of Colletotrichum capsici may vary from the shortest on Cyperus kyllingia (0 days), to the longest incubation period on Paspalum distichum (27 days). Growth rate is high and the percentage of leaves of red chili plants and weeds were inoculated with Colletotrichum capsici vary from first week to forth week. The highest occurred in Ageratum conyzoides while the lowest occurred in the Cleome rutidosperma. The highest percentage of infected leaves are red chili, and the smallest percentage of the infected leaves are in Cyperus kyllingia.

Key words: Ageratum conyzoides, Capsicum annuum L, Cleome rutidosperma, Colletotrichum capsici, Cyperus kyllingia, Paspalum distichum, Synedrella nodiflora.


(3)

KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI

(Capsicum annuum L) DAN BERBAGAI JENIS GULMA

(Skripsi)

Oleh

KRISTINA HAYU HERWIDYARTI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2012


(4)

KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI

(Capsicum annuum L) DAN BERBAGAI JENIS GULMA

Oleh

KRISTINA HAYU HERWIDYARTI Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2012


(5)

Trust in LORD with all you heart and

lean not on your own understanding (Proverbs 3:5)

Kesenangan terbesar dalam hidup ini adalah melakukan hal, dimana orang lain mengangap bahwa kita tidak mampu


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... vi

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Kerangka Pemikiran ... 3

1.4 Hipotesis ... 4

II. Tinjauan Pustaka 2.1 Tanaman Cabai ... 5

2.1.1 Botani Tanaman Cabai ... 5

2.1.2 Penyakit Antraknosa ... 7

2.2 Gulma ... 9

2.2.1 Gulma Berdaun Lebar ... 9

2.2.2 Gulma Rerumputan ... 11


(7)

ii

III. Metode Penelitian

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 14

3.2 Alat dan Bahan ... 14

3.3 Rancangan Percobaan ... 15

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 17

3.4.1 Penyiapan Media Tanam ... 17

3.4.2 Penyemaian Cabai ... 18

3.4.3 Penanaman Gulma ... 18

3.4.4 Penyiapan Isolat C. capsici ... 18

3.4.5 Inokulasi Isolat Colletotrichum Pada Tanaman Cabai dan Gulma ... 19

IV. Hasil dan Pembahasan 4.1 Isolat C. capsici ... 22

4.2 Tinggi Tanaman dan persentase Daun Sakit Cabai dan Gulma .. 23

4.3 Keparahan Penyakit Antraknosa Pada Cabai dan Beberapa Jenis Gulma ... 27

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 31

5.2 Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33 LAMPIRAN


(8)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1. Tinggi Tanaman Cabai dan Gulma Yang Menunjukkan Gejala

Sakit Setelah Perakuan ... 24

2. Tinggi Tanaman Cabai dan Beberapa Jenis Gulma Yang Tetap Sehat ... 24

3. Persentase Jumlah Daun Tanaman Cabai dan Beberapa Jenis Gulma (%) ... 26

4. Keparahan Penyakit Pada Cabai dan Beberapa Jenis Gulma ... 27

5. Masa Inkubasi Jamur C. capsici Pada Cabai dan Gulma ... 29

6. Hasil Pengamatan Tinggi Tanaman Minggu ke- 1 ... 36

7. Uji Homogenitas Ragam Tinggi Tanaman Minggu ke- 1 ... 37

8. Analisis Ragam Untuk Tinggi Tanaman Minggu ke-1 ... 38

9. Hasil Pengamatan Tinggi Tanaman Minggu Ke- 2 ... 39

10. Uji Homogenitas Ragam Tinggi Tanaman Minggu ke- 2 ... 40

11. Analisis Ragam Untuk Tinggi Tanaman Minggu ke-2 ... 41

12. Hasil Pengamatan Tinggi Tanaman Minggu ke- 3 ... 42

13. Uji Homogenitas Ragam Tinggi Tanaman Minggu ke- 3 ... 43

14. Analisis Ragam Untuk Tinggi Tanaman Minggu ke- 3 ... 44

15. Hasil Pengamatan Tinggi Tanaman Minggu ke- 4 ... 45

16. Uji Homogenitas Ragam Tinggi Tanaman Minggu ke- 4 ... 46


(9)

iv

18. Hasil Pengamatan Tinggi Tanaman Cabai dan Gulma

Yang Sehat ... 48

19. Uji Homogenitas Ragam Tinggi Tanaman Cabai dan Gulma Yang Sehat ... 49

20. Analisis Ragam Untuk Tinggi Tanaman Cabai dan Gulma Yang Sehat ... 50

21. Total Jumah Daun Yang Diamati Pada Tanaman Cabai dan Beberapa Jenis Gulma ... 51

22. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-1 ... 52

23. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-1 Dengan Transformasi ... 52

24. Uji Homogenitas Ragam Keparahan Penyakit Minggu ke- 1 ... 53

25. Analisis Ragam Untuk Keparahan Penyakit Minggu ke- 1 ... 54

26. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-2 ... 55

27. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-2 Dengan Transformasi ... 56

28. Uji Homogenitas Ragam Keparahan Penyakit Minggu ke- 2 ... 56

29. Analisis Ragam Untuk Keparahan Penyakit Minggu ke- 2 ... 57

30. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-3 ... 58

31. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-3 Dengan Transformasi ... 58

32. Uji Homogenitas Ragam Keparahan Penyakit Minggu ke-3 ... 59

33. Analisis Ragam Untuk Keparahan Penyakit Minggu ke- 3 ... 60

34. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-4 ... 61

35. Hasil Pengamatan Keparahan Penyakit Minggu ke-4 Dengan Transformasi ... 61


(10)

v

37. Analisis Ragam Untuk Keparahan Penyakit Minggu ke- 2 ... 63 38. Hasil Pengamatan Masa Inkubasi Jamur Colletotrichum capsici

Pada Cabai dan Beberapa Jenis Gulma ... 64 39. Uji Homogenitas Ragam Masa Inkubasi Jamur Colletotrichum capsici

Pada Cabai dan Beberapa Jenis Gulma ... 65 40. Analisis Ragam Untuk Masa Inkubasi Jamur Colletotrichum capsici


(11)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Denah Unit Percobaan Keparahan Penyakit Antraknosa

Pada Cabai dan Berbagai Jenis Gulma ... 16

2. Tata Letak Percobaan Penanaman Cabai dan Berbagai Jenis Gulma Yang Diinokulasikan Dengan Colletotrichum capsici ... 17

3. Inokulasi Suspensi Colletotrichum capsici Pada Gulma A. conyzoides ... 19

4. Isolat C. capsici 7 Hari Setelah Inkubasi ... 22

5. Konidia C. capsici ... 23

6. Tinggi Tanaman Cabai dan Beberapa Jenis Gulma ... 25


(12)

33

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS). 2009. Produksi Terung, Ketimun dan Cabe Merah Menurut Kabupaten/Kota. http:/lampung.bps.go.id/tabel/pertanian1.pdf. diakses pada tanggal 17 April 2012.

Bartz, J.A., dan J.K.Brecht. 2002. Postharvest Physiology and Pathology of Vegetables. CRC Press. USA. 744 Hlm.

Duriat, A.S., N.Gunaeni., dan A.W.Wulandari. 2007. Penyakit Penting Pada Tanaman Cabai dan Pengendaliannya. Balai Penelitian Sayuran : Bandung. 55 hlm.

Herwidyarti, K.H. 2011. Pengamatan Keparahan Penyakit Bercak Daun Ungu

(Alternaria pori (Ell.)Cif) Tanaman Bawang Daun Di Balai Peneitian Tanaman Sayuran Lembang Bandung. Laporan Praktik Umum. Fakultas Pertanian Universitas Lampung : Bandar Lampung. 44 hlm.

Johnson, L.A., P.J.White, dan R.Galloway. 2008. Soybeans Chemistry, Production, Processing and Utilization. AOCS Press. USA. 842 Hlm.

Korlina, E. dan Baswarsiati, 1995. Uji Ketahanan Beberapa Kultivar Bawang Merah Terhadap Penyakit Layu Fusarium. Prosiding Konggres Nasional XIII dan Seminar Ilmiah Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Mataram. 535-539.

Moenandir,J. 1993. Ilmu Gulma Dalam Sistem Pertanian. PT Raja Grafindo Persada : Jakarta. 175 hlm.

Nawangsih, A.A., H.P.Imdad., dan A.Wahyudi. 1995. Cabai Hot Beauty. Penebar Swadaya : Jakarta. 114 hlm.

Nazarudin. 1999. Budi Daya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah. Penebar Swadaya : Jakarta. 142 hlm.

Prajnanta, F. 2001. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya : Jakarta. 162 hlm.


(13)

34

Rubatzky, V.E., dan Mas Yamaguchi. 1999. Sayuran Dunia 3 Prinsip Produksi dan Gizi. Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung. 320 hlm.

Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. 850 hlm.

Sembodo, D.R.J. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Graha Ilmu : Yogyakarta. 166 hlm. Soerjani, M., A.J.G.H.Koestermans, dan G. Tjitrosoepomo. 1987. Weeds Of Rice In Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta. 716 hlm.

Widodo dan Y.Sutiyoso. Hama dan Penyakit Tanaman. Trubust info kit Vol.09. PT. Trubus Swadaya : Depok. 322 hlm.


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Cabai

2.1.1 Botani Tanaman Cabai

Cabai merah merupakan suatu komoditas sayuran yang tidak dapat ditinggalkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan asal-usulnya, cabai (hot pepper) berasal dari Peru. Ada yang menyebutkan bahwa bangsa Meksiko kuno sudah menggemari cabai semenjak tahun 700, jauh sebelum Colombus

menemukan Benua Amerika (1492). Christophorus Colombus kemudian menyebarkan dan mempopulerkan cabai dari Benua Amerika ke Spanyol pada tahun 1492. Pada awal tahun 1500-an, bangsa Portugis mulai memperdagangkan cabai ke Makao dan Goa, kemudian masuk ke India, Cina, dan Thailand. Sekitar tahun 1513 kerajaan Turki Usmani menduduki wilayah Portugis di Hormuz, Teluk Persia (Prajnata, 2001). Cabai adalah tanaman asli wilayah tropika dan subtropika Amerika. Cabai merah (Capsicum annuum L.) adalah spesies yang paling banyak dibudidayakan dan paling penting secara ekonomis (Rubatzky, 1999).

Secara lengkap cabai merah diklasifikasikan (Prajnanta, 2001) berikut ini Kingdom : Plantarum


(15)

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Klas : Dicotyledonae Subklas : Sympetalae

Ordo : Tubiflorae Solanales Famili : Solanaceae

Genus : Capsicum

Spesies : Capsicum annuum L.

Cabai bermanfaat sebagai penyedap masakan dan juga mengandung zat gizi yang sangat diperlukan untuk kesehatan. Cabai mengandung protein, lemak,

karbohidrat, kalsium (Ca), fosfor (P), besi (Fe), vitamin-vitamin, dan mengandung senyawa-senyawa alkaloid, seperti capsaicin, flavenoid, dan minyak esensial (Prajnanta, 2001).

Cabai adalah tanaman herba, dengan pangkal batang berkayu. Pada umumnya, tanaman tumbuh tegak, bercabang banyak, dan tinggi 50-150 cm. Tanaman cabai berakar tunggang yang kuat dan masuk ke dalam tanah. Daun relatif halus, daun tunggal dan tipis, dengan ukuran yang bervariasi, dengan helaian daun lanset dan bulat telur lebar (Rubaztky, 1999).

Cabai dapat hidup pada daerah yang memiliki ketinggian antara 0-1200 m dpl. Tanaman ini toleran terhadap dataran tinggi maupun dataran rendah.

Jenis tanah ringan maupun berat dapat menjadi media tumbuh tanaman cabai asalkan diolah dengan baik. Namun, untuk pertumbuhan dan produksi cabai yang


(16)

terbaik sebaiknya cabai ditanam pada tanah berstruktur remah/gembur dan kaya bahan organik. pH tanah yang dikehendaki tanaman cabai antara 6,0-7,0

(Nazarudin, 1999).

Tanaman cabai peka terhadap suhu rendah dan lebih sesuai dengan cuaca panas, dengan periode panjang untuk dapat menjadi tanaman cabai yang produktif. Suhu siang yang ideal rata-rata 20-25oC, pertumbuhan tanaman meningkat pada suhu malam tidak melebihi 20oC. Suhu rendah cenderung membatasi perkembangan aroma dan warna, serta tanaman dan buah rentan terhadap kerusakan suhu dingin. Bunga cabai tidak terbuahi pada suhu ekstrim di bawah 16oC atau di atas 32oC karena produksi tepung sari cabai rusak. Penyerbukan dan pembuahan optimum pada suhu antara 20oC dan 25oC. Umumnya, kultivar berbuah kecil lebih rentan terhadap suhu ekstrim tinggi atau rendah. Cabai harus ditanam dalam tanah yang berdrainase baik, karena tanaman sangat peka terhadap genagan. Tanaman yang tergenang cenderung mengalami kerontokan daun, dan terserang penyakit akar. Cabai tanggap terhadap pemupukan, dan biasanya pupuk nitrogen tambahan diberikan sebelum tanam dan diberikan lagi sebelum pembungaan pertama (Rubaztky, 1999).

2.1.2 Penyakit Antraknosa

Penyakit penting yang dijumpai pada pertanaman cabai adalah bercak daun cercospora, antraknosa, layu bakteri, layu fusarium, dan penyakit mosaik.

Tingkat serangan yang berat menyebabkan kegagalan panen buah cabai (Nawangsih, 1995).


(17)

Penyakit antraknosa sangat merugikan karena dapat menghancurkan seluruh pertanaman di lapang. Pengamatan terhadap perkembangan penyakit antraknosa harus dilakukan setiap hari pada musim hujan. Penyakit antraknosa juga terbawa hingga pascapanen buah cabai. Cabai segar yang dipanen kemudian disimpan 1-2 hari dapat menunjukkan gejala penyakit ini karena antraknosa dapat menginfeksi biji dan bertahan di dalam biji selama 9 bulan. Penyakit ini berkembang pada kondisi kelembapan relatif tinggi (> 95%) pada suhu sekitar 32˚ C dan lingkungan pertanaman yang kurang bersih serta banyak terdapat genangan air (Prajnanta, 2001).

Gejala kerusakan buah cabai mula-mula berupa bercak coklat kehitaman, kemudian meluas dan akhirnya menyebabkan buah menjadi busuk dan lunak. Pada pusat bercak terlihat titik-titik hitam terdiri dari kumpulan seta dan konidia (Nawangsih, 1995).

Penyebab penyakit ini adalah Colletotrichum capsici (Syd) Butl. Et Bisby . Cendawan C. capsici menginfeksi dengan membentuk bercak coklat kehitaman yang kemudian meluas menjadi busuk lunak. Serangan berat menyebabkan buah mengering dan keriput seperti jerami. Jika cuaca kering jamur hanya membentuk bercak kecil yang tidak meluas, tetapi setelah buah dipetik karena kalembaban udara yang tinggi selama di simpan dan diangkut, jamur akan berkembang dengan cepat (Semangun, 2000).


(18)

Gulma merupakan tumbuhan yang mengganggu atau merugikan kepentingan manusia sehingga manusia berusaha untuk mengendalikannya. Kepentingan manusia ini sangat beragam, bisa ditinjau baik dari segi ekonomi, estetika, kesehatan, maupun lingkungan. Dengan demikian, masalah gulma tidak hanya ditemui pada proses budidaya tanaman, tetapi juga pada aspek kehidupan lainnya seperti kebersihan trotoar dan lapangan parkir, gedung-gedung permukiman, jalan raya, jalan kereta api, kelestarian lingkungan, dan sebagainya. Gulma merupakan bagian dari organisme pengganggu tanaman (OPT) yang terdiri dari hama, penyakit, dan gulma (Sembodo, 2010).

Gulma pada suatu saat menjadi tidak berguna karena keberadaannya tidak

dikehendaki. Hal itu mungkin saja karena tumbuhnya salah tempat dimana tempat yang ada diperuntukkan tanaman yang dibutuhkan oleh petani (Moenandir, 1993). Beberapa gulma yang biasa dijumpai pada budi daya cabai hibrida dapat

dibedakan dalam golongan gulma berdaun lebar, rerumputan, dan teki.

2.2.1 Gulma Berdaun Lebar

Gulma berdaun lebar (broadleaves) memiliki ciri-ciri yang beragam tergantung dari familinya. Secara umum bentuk daun gulma golongan ini adalah lonjong, bulat, menjari atau berbentuk hati. Akar yang dimilikinya berupa akar tunjang, beberapa gulma yang termasuk dalam jenis paku-pakuan atau pakis memiliki perakaran serabut. Batang umumnya bercabang, berkayu atau sukulen. Bunga gulma golongan ini ada yang majemuk atau komposit dan ada yang tunggal (Sembodo, 2010).


(19)

Gulma berdaun lebar yang banyak ditemukan pada pertanaman cabai hibrida yaitu Legetan (Synedrella nodiflora), Nama spesies : Synedrella nodiflora (L) Gaertn, nama umum/daerah : Legetan (Jawa), Jukut Berak kambing, Jotang kuda, Jukut gendreng (sunda), Beruan (bruwan). Gulma ini memiliki perakaran tunggang, daun berbentuk melebar oval atau elips, batang tumbuh tegak, bunga majemuk berada di ketiak daun tangkai panjang 0.5 cm, kelopak berambut, berwarna kuning, mahkota berbentuk tabung. Termasuk gulma berdaun lebar, merupakan tumbuhan berkeping dua dan gulma ini sangat tergantung pada jenis tanaman utama, seperti iklim dan pola tanam.

Wedusan (Ageratum conyzoides),

Nama Spesies : Ageratum conyzoides L, nama umum : berokan, wedusan (Jawa). Gulma ini tumbuh tegak dengan tinggi dapat mencapai 120 cm, bentuk daunnya bulat telur atau oval dengan ukuran 2-10 x 0.5-5 cm (Soerjani, 1987). Pada bagian pangkal membulat atau meruncing, tepinya bergerigi. Bunga berbentuk seperti lonceng dengan warna bunga putih atau ungu.

Cabai-cabaian (Cleome rutidosperma)

Nama Spesies : Cleome rutidosperma, nama umum : cabai-cabaian

Gulma ini tumbuh tegak, dapat merambat, dan tinggi gulma ini dapat mencapai 100cm (Soerjani, 1987). Berbunga sepanjang tahun, daun berbentuk bulat telur hinga lonjong, terdapat batang berbentuk kapsul yang berada diantara daun yang menyerupai buah cabai.


(20)

Beberapa jenis gulma berdaun lebar lainnya yang terdapat pada pertanaman cabai seperti krokot (Portulaca oleraceae), gendong anak (Euphorbia hirta), bayam duri (Amaranthus lividus), sawi liar (Capsella bursa-pastoris), tolod

(Alternanthera philoxeriodes), dan anakan pisang liar (Mulsa sp) (Prajnanta, 2001).

2.2.2 Gulma Rerumputan

Gulma rerumputan (grasses), semua jenis gulma yang termasuk dalam famili poaceae atau gramineae adalah kelompok rerumputan. Ciri utama gulma

kelompok ini yaitu tulang daun sejajar dengan tulang daun utama, berbentuk pita, dan terletak berselang seling pada ruas batang. Batang berbentuk silindris, beruas, dan berongga. Akar gulma golongan ini tergolong dalam akar serabut (Sembodo, 2010).

Jenis gulma rerumputan yang sering dijumpai yaitu jenis rumput pahit (Paspalum distichum)

Nama Spesies : Paspalum distichum, nama umum : rumput pahit, lamhani (Sunda). Gulma ini dapat tumbuh pada daerah tropis maupun subtropis, terdapat pada ketinggian 0-1500m dpl (Soerjani, 1987). Batang atau tangkainya panjang, membentuk stolon dan berwarna hijau. Daun pada bagian pangkal meruncing, permukaan halus dengan rambut halus dan berwarna hijau.

Selain rumput pahit, terdapat juga rumput belulang (Eleusine indica), tuton (Echinochloa colona), rumput grintingan (Cynodon dactilon), dan rumput sunduk


(21)

gangsir (Digitaria ciliaris) yang terdapat pada pertanaman cabai (Prajnanta, 2001).

2.2.3 Teki

Gulma golongan teki (seddges) termasuk family cyperaceae memiliki ciri utama letak daun berjejal pada pangkal batang, bentuk daun seperti pita, tangkai bunga tidak beruas dan berbentuk silindris, segi empat atau segitiga. Untuk jenis tertentu seperti Cyperus rotundus, batangnya membentuk umbi. Antar umbi yang berasal dari satu individu dihubungkan dengan sulur-sulur (Sembodo, 2010).

Teki juga merupakan salah satu gulma dominan pada lahan pertanaman cabai hibrida. Jenis teki yang biasa ditemukan yaitu Cyperus kyllingia.

Nama spesies : Cyperus kyllingia, nama daerah : teki, teki badot, teki rawa, jukut pendul bodas (Sunda), melaran, suket wudelan, udel-udelan alit, teki Pendul (Jawa). Gulma ini tumbuh pada tanah lembab dan berair, terutama pada tanah yang sedikit ternaungi. Batangnya tegak atau melengkung, berbentuk segitiga dan permukaannya licin. Daun terdapat pada pangkal batang, helai daun berbentuk garis memanjang dan agak kaku dibagian tengah, bagian ujungnya agak runcing atau runcing dan lebarnya 2-5 mm. merupakan teki tahunan, ciri khasnya adalah umumnya masa tumbuh pendek. perbungaan terdapat di ujung batang, warnanya keputih-putihan, kepala bunga tengah berbentuk bulat atau elips. Gulma jenis ini umumnya tergolong tanaman monokotil, perakarannya serabut berdaun pita, umumnya pada batang berbentuk segitiga atau bulat tidak berongga (Soerjani, 1987). Selain itu terdapat gulma jenis teki seperti Cyperus rotundus (rumput


(22)

teki), C. compressus, dan C. distans yang terdapat pada pertanaman cabai (Prajnanta, 2001).

Pada dasarnya pengolahan tanah juga dimaksudkan untuk menghilangkan keberadaan gulma. Aktivitas gulma antara lain berkompetisi dalam memperoleh unsur hara dengan tanaman inang, menjadi inang bagi serangga vektor dan menjadi inang patogen penyakit tanaman (Ripangi, 2012).


(23)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Selain itu penelitian dilakukan pada tanaman cabai (in planta) yang ditanam di polibag dan diletakkan di lahan cabai di Kecamatan Kemiling, Kelurahan Langkapura Bandar Lampung pada bulan Juni hingga Agustus 2012.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: polibag, cangkul, kawat kasa untuk mengayak tanah, kertas lakmus untuk mengukur pH tanah, cawan petri, spatula, bor gabus, hand sprayer, gelas ukur, timbangan, ajir dan alat tulis. Bahan- bahan yang digunakan dalam peneliitian ini meliputi: tanah, pupuk kandang, benih cabai hibrida F1 Belinda (rentan) terhadap penyakit antraknosa dan gulma Cleome rutidosperma (Cabai-cabaian), Cyperus kyllingia (Teki), Synedrella nodiflora (Legetan), Paspalum distichum (Rumput pahit), dan Ageratum conyzoides (Wedusan)

3.1 Rancangan Percobaan

Penelitian ini disusun dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK). Pengelompokan ini berdasarkan pada fase pertumbuhan vegetatif gulma (mengingat bahwa gulma memiliki masa dormansi biji yang panjang sehingga dalam penelitian ini gulma yang digunakan tidak berupa bibit yang berasal dari biji tetapi menggunakan stek batang dari gulma yang tumbuh di alam).


(24)

Keenam tumbuhan yang diinokulasi dengan penyebab antraknosa adalah : a. Cabai

b. Gulma Cleome rutidosperma (Cabai-cabaian) c. Gulma Cyperus kyllingia (Rumput teki) d. Gulma Synedrella nodiflora (Legetan)

e. Gulma Paspalum distichum (Rumput pahit) f. Gulma Ageratum conyzoides (Wedusan)

Masing-masing perlakuan diulang 4 kali. Adapun denah unit percobaan disajikan pada gambar 1.

I II III IV

C A F E

D E E C

E F C D

F C A F


(25)

Gambar 1. Denah unit percobaan keparahan penyakit antraknosa pada cabai dan berbagai jenis gulma

Keterangan: a. Cabai

b. Gulma Cleome rutidosperma (Cabai-cabaian) c. Gulma Cyperus kyllingia (Rumput teki) d. Gulma Synedrella nodiflora (Legetan)

e. Gulma Paspalum distichum (Rumput pahit) f. Gulma Ageratum conyzoides (Wedusan)

Gambar 2. Tata letak percobaan penanaman cabai dan berbagai jenis gulma yang diinokulasi dengan Colletotrichum capsici

Keterangan I, II, III, IV adalah ulangan penelitian.


(26)

3.2 Pelaksanaan Penelitian 3.4.1 Penyiapan Media Tanam

Penyiapan media tanam dimulai dengan mengayak tanah, setelah itu dikeringanginkan selama 3 hari. Selanjutnya tanah dicampur dengan pupuk kandang dan dimasukkan ke dalam polibag. Setiap polibag diisi dengan 9 kg tanah yang terdiri dari 7 kg tanah ditambah 1 kg pupuk kandang (kotoran kambing) dan 1 kg kompos ( 7 : 1 : 1 ).

3.4.2 Penyemaian Cabai

Benih cabai hibrida F1 Belinda di rendam dalam air selama 24 jam. Benih cabai yang mengapung dibuang. Benih yang baik disemaikan langsung ke dalam polibag sebanyak 3 benih per polibag.

3.4.3 Penanaman Gulma

Stek batang gulma diambil dari gulma-gulma yang tumbuh secara alami di lahan pertanaman cabai. Dalam hal ini dipilih gulma dengan kriteria memiliki 3-5 daun atau kisaran tinggi gulma 9 - 12cm dan belum berbunga (masih termasuk ke dalam kriteria pertumbuhan vegetatif). Gulma ini di tanam dahulu selama satu bulan di dalam polibag sebelum digunakan sebagai bahan penelitian. Setiap polibag ditanam 4 bibit gulma. Gulma yang di tanam meliputi C. rutidosperma (Cabai-cabaian), C. kyllingia (Teki), S. nodiflora (Legetan), P. distichum (Rumput pahit), A. conyzoides (Wedusan).


(27)

3.4.4 Penyiapan Isolat C. capsici

Penyiapan isolat dilakukan di laboratorium dengan mengisolasi jamur C. capsici dari buah cabai yang bergejala antraknosa. Isolat ditumbuhkan di atas media Agar Glukosa Kentang (AGK) dalam cawan petri. Isolat C. capsici diperoleh dari buah cabai yang terserang antraknosa, kemudian dilakukan pembiakan jamur pada media AGK. Setelah jamur tumbuh pada media AGK, kemudian dilakukanpemurnian jamur dengan mengisolasi kembali pada media AGK.

3.4.5 Inokulasi Isolat Colletotrichum Pada Tanaman Cabai dan Gulma

C. capsici yang tumbuh dalam cawan petri umur 7 hari setelah inkubasi dipanen dan disuspensikan dalam 100 ml aquades.

Selanjutnya isolat diinokulasikan pada tanaman cabai dan gulma dengan cara disemprotkan menggunakan handsprayer sebanyak 5 ml dengan kerapatan

4.750 x 106 spora/ml, tiap polibag tanaman cabai dan gulma, kemudian diamati perkembangannya.


(28)

Gambar 3. Inokulasi Suspensi C. capsici pada gulma A. conyzoides

Pengamatan masa inkubasi dilakukan sejak inokulasi hingga munculnya gejala. Pengamatan keparahan penyakit dilakukan setiap satu minggu dimulai sejak sehari setelah inokulasi C.capsici, dihitung dengan rumus (Zadoks dan Schein, 1979) sebagai berikut:

Keterangan:

I = Intensitas tanaman terserang n = Jumlah tanaman terserang

v = Nilai numerik tanaman yang diamati N = Jumlah tanaman yang diamati V = Nilai numerik kategori tertinggi


(29)

Nilai kategori serangan (skor) untuk penyakit antraknosa didasarkan pada skala kerusakan tanaman yang tereserang penyakit (Herwidyarti, 2011 dimodifikasi). Nilai kategori serangan (skor) sebagai berikut:

0 = Tidak ada kerusakan 1 = Bercak seluas 1 – 20% 2 = Bercak seluas 21 – 40% 3 = Bercak seluas 41 – 60% 4 = Bercak seluas > 60%

Data yang diperoleh kemudian dihitung menggunakan analisis ragam dan

dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata 95%. Selain itu diamati pula tinggi tanaman dan persentase jumlah daun sakit. Jumlah daun sakit dihitung dengan rumus menurut Korlina dan Baswarsiati (1995) :dimodifikasi

Keterangan : I: Persentase jumlah daun sakit a: Jumlah daun sakit


(30)

Judul Skripsi : Keparahan Penyakit Antraknosa Pada Cabai (Capsicum annuum L) dan Berbagai Jenis Gulma

Nama Mahasiswa : Kristina Hayu Herwidyarti Nomor Pokok Mahasiswa : 0714041038

Program Studi : Agroteknologi

Jurusan : Agroteknologi

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI 1.Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suskandini Ratih D, M.P. Ir. Dad Resiworo J. Sembodo, M.S. NIP 19610502 198707 2 001 NIP 19620422 198603 1 001

2.Ketua Jurusan Agroteknologi

Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P. NIP 19641118 198902 1 002


(31)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Dr. Ir. Suskandini Ratih D, M.P.

Sekretaris : Ir. Dad Resiworo J. Sembodo, M.S.

Penguji

Bukan Pembimbing : Ir. Muhammad Nurdin, M.Si.

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 19610826 198702 1 001


(32)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 5 Desember 1989, anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Widojo Sapardi dan Ibu Esterica Herning Kuswinarni.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak kanak di Xaverius No 3 Rawa Laut Pahoman Bandar Lampung tahun 1995; kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah Dasar di SD Fransiskus 2 Rawa Laut Pahoman Bandar Lampung lulus pada tahun 2001; pada tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP Xaverius 2 Pahoman Bandar Lampung; dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Dharma Wanita Surabaya pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Lampung melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan pada tahun 2008 penulis diintegrasikan pada Program Studi Agroteknologi yang merupakan penggabungan dari empat program studi, yaitu: Agronomi, Hortikultura, HPT, dan Ilmu Tanah.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif menjadi anggota sebuah organisasi sosial di luar kampus. Penulis mengikuti Praktik Umum ( PU ) pada bulan Juli - Agustus tahun 2011 di Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang Bandung.


(33)

SANWANCANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah mencurahkan kasih dan karuniaNya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Suskandini Ratih D, M.P., selaku Pembimbing I atas segala ide, pengarahan, bimbingan, motivasi, perhatian serta pengertian yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian dan penulisan skripsi hingga selesai;

2. Bapak Ir. Dad Resiworo Jekti Sembodo, M.S., selaku Pembimbing II atas segala saran, motivasi, pengarahan, bimbingan dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama penelitian dan penulisan skripsi ini; 3. Bapak Ir. Muhammad Nurdin, M.Si., selaku Dosen Penguji atas saran dan

koreksi selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. F.X. Susilo, M.Sc., selaku Pembimbing Akademik atas pengarahan dan bimbingannya selama penulis menjadi mahasiswa

Universitas Lampung.

5. Bapak Dr. Ir. Kuswanta Futas Hidayat, M.P., selaku Ketua Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.


(34)

7. Papa dan Mama yang selalu memberikan kasih sayang, doa, dukungan, dan sarana dan prasarana kepada penulis demi kesuksesan penulis. 8. Kedua kakak ku Angga dan Bogi yang senantiasa memberikan motivasi,

kasih sayang dan telah menjadi tempat kegembiraan dan mengeluh selama ini.

9. Teman-teman yang telah membantu penulis dalam penelitian Lusia Yuli Hastiti,S.P., Hanna Banuarea, Madya Dwi Aji H, Christin Natalia M, Kristin S.M, Nani Octavia I, Sri Purwanti S.P, Yulyanti, S.P, Septya Eka P.R, S.P terima kasih atas segala kerja sama dan bantuan kepada penulis dan teman-teman HPT 2007.

10. Mbak Widyaningrum, S.P., Mas Iwan, Pak Paryadi, yang telah banyak membantu penulis selama penelitian.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi yang membaca dan penulis berharap semoga Tuhan membaas kebaikan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Bandar Lampung, Desember 2012

Kristina Hayu Herwidyarti


(35)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cabai merah (Capsicum annuum L) merupakan salah satu komoditas sayuran penting. Buah cabai digunakan sebagai bahan penyedap dan pelengkap berbagai menu masakan khas Indonesia, oleh karena itu cabai diperlukan setiap hari. Kian hari, kebutuhan cabai meningkat karena semakin bervariasinya jenis dan menu makanan yang memanfaatkan produk ini, juga karena semakin banyaknya

konsumen yang membutuhkan (berkaitan dengan pertambahan jumlah penduduk) (Nawangsih,1995).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) (2009) produksi cabai merah di Provinsi Lampung mencapai 203.680 kuintal, dengan sentra produksi utama di Lampung Barat (38.287 ha), Tanggamus (54.464 ha), Lampung Selatan (35.230 ha), dan Pesawaran (25.392 ha).

Rendahnya produksi cabai disebabkan banyak faktor. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh di dalam budidaya tanaman cabai, terutama cabai hibrida adalah sifat rentan terhadap serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) meliputi hama, penyakit dan gulma. Gulma selain menjadi tanaman pesaing cabai (persaingan gulma dengan cabai terjadi karena gulma menyerap zat hara yang


(36)

dibutuhkan cabai), sekaligus dapat sebagai tanaman inang alternatif beberapa patogen seperti antraknosa.

Penyakit yang sering terdapat pada pertanaman cabai adalah penyakit antraknosa (patek) yang disebabkan oleh patogen Colletotrichum spp. Penyakit ini bergejala mati pucuk yang berlanjut ke bagian tanaman sebelah bawah. Daun, ranting dan cabang menjadi kering berwarna coklat kehitam-hitaman. Pada batang cabai aservulus cendawan terlihat seperti tonjolan (Duriat, et al.2007). Patogenitas Colletotrichum sangat kuat sehingga dapat menurunkan produksi cabai. Diduga bahwa penyakit antraknosa dapat menyerang gulma yang berada di sekitar tanaman cabai sehingga keberadaan gulma dapat menjadi sumber penularan penyakit antraknosa terhadap tanaman cabai

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan peruumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui apakah gulma dapat terserang oleh jamur Colletotrichum capsici dan menyebabkan seperti antraknosa yang pada umumnya menyerang tanaman cabai.

2. Mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan masa inkubasi penyakit antraknosa pada cabai dan gulma.


(37)

1.3 Kerangka Pemikiran

Keberhasilan pertumbuhan tanaman cabai dipengaruhi oleh hama, penyakit tanaman, dan gulma. Menurut Raid dan Pennypacker (1987) dalam Bartz (2002) gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman tomat dapat mempengaruhi

pertumbuhan tanaman tomat sekaligus dapat menjadi inang Colletotrichum coccodes.

Gulma pada suatu saat menjadi tidak berguna karena keberadaannya tidak

dikehendaki. Hal itu mungkin saja karena tumbuhnya salah tempat dimana tempat yang ada diperuntukkan tanaman yang dibutuhkan oleh petani (Moenandir, 1993). Beberapa gulma yang biasa dijumpai pada budi daya cabai hibrida dapat

dibedakan dalam golongan gulma berdaun lebar, rerumputan, dan teki.

Beberapa jenis gulma berdaun lebar lainnya yang terdapat pada pertanaman cabai seperti krokot (Portulaca oleraceae), gendong anak (Euphorbia hirta), bayam duri (Amaranthus lividus), sawi liar (Capsella bursa-pastoris), tolod

(Alternanthera philoxeriodes), dan anakan pisang liar (Mulsa sp) (Prajnanta, 2001).

Selain rumput pahit, terdapat juga rumput belulang (Eleusine indica), tuton (Echinochloa colona), rumput grintingan (Cynodon dactilon), dan rumput sunduk gangsir (Digitaria ciliaris) yang terdapat pada pertanaman cabai (Prajnanta, 2001).


(38)

Selain itu terdapat gulma jenis teki seperti Cyperus rotundus (rumput teki), C. compressus, dan C. distans yang terdapat pada pertanaman cabai (Prajnanta, 2001).

Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh cendawan

Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. Et Bisby. Gejala umum antraknosa cabai tampak pada daun berupa nekrosis, jaringan mati yang tidak beraturan pada pinggiran daun dimulai dari bagian ujung melebar ke seluruh daun. Selain itu, antraknosa juga menimbulkan kerusakan pada ranting, bunga, dan buah cabai. Pada cabai, buah cenderung kering dan mengerut (Trubus info kit, vol.09).

1.4Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah:

1. Keparahan penyakit antraknosa berbeda pada cabai dan gulma. 2. Masa inkubasi penyakit antraknosa berbeda pada cabai dan gulma.


(39)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap rasa syukur kepada Tuhan Yesus Kristus

Penulis ingin mempersembahkan Karya kecil ini

Sebagai ungkapan rasa cinta kasih, hormat dan sayangku kepada: Papa, Mama, Kak Angga, Kak Bogi dan Seluruh keluarga besar

Yang selalu ada di hatiku dan setia menunggu keberhasilanku Serta almamaterku tercinta


(40)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan sebagai berikut:

1. Keparahan penyakit antraknosa berbeda-beda, berurutan pada cabai 0,3% hingga 44,0 %, pada gulma C. rutidosperma sebesar 7,5% hingga 51,0%, gulma C. kyllingia 0%, untuk gulma S. nodiflora 9,3% hingga 47,0%, gulma P. distichum 0% , dan gulma A. conyzoides 12,8% menjadi 9,1% (menurun).

2. Masa inkubasi jamur C. capsici berbeda-beda pada cabai dan gulma. Masa inkubasi terpendek terjadi pada gulma C. kyllingia (teki) yaitu 0 hari (tidak memiliki masa inkubasi), sedangkan masa inkubasi terpanjang terjadi pada dan P. conjugatum (rumput pahit) yaitu 27 hari (yang hanya terjadi pada dua ulangan).

3. Pertumbuhan tinggi dan persentase jumlah daun tanaman cabai dan gulma yang diinokulasi dengan C. capsici berbeda-beda dari minggu ke- 1 hingga minggu ke- 4. Pertumbuhan paling tinggi terjadi pada gulma A. conyzoides sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada gulma C. rutidosperma. Persentase jumlah daun sakit paling besar adalah pada cabai, dan Persentase jumlah daun sakit paling kecil pada C. kyllingia.


(41)

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kebertahanan (survival) C. capsici pada serasah cabai dan gulma. Dengan mengetahui bahwa serasah-serasah tersebut masih mengandung Colletotrichum, maka dapat dianjurkan cara membuang serasah ke dalam lubang dalam tanah.


(1)

dibutuhkan cabai), sekaligus dapat sebagai tanaman inang alternatif beberapa patogen seperti antraknosa.

Penyakit yang sering terdapat pada pertanaman cabai adalah penyakit antraknosa (patek) yang disebabkan oleh patogen Colletotrichum spp. Penyakit ini bergejala mati pucuk yang berlanjut ke bagian tanaman sebelah bawah. Daun, ranting dan cabang menjadi kering berwarna coklat kehitam-hitaman. Pada batang cabai aservulus cendawan terlihat seperti tonjolan (Duriat, et al.2007). Patogenitas Colletotrichum sangat kuat sehingga dapat menurunkan produksi cabai. Diduga bahwa penyakit antraknosa dapat menyerang gulma yang berada di sekitar tanaman cabai sehingga keberadaan gulma dapat menjadi sumber penularan penyakit antraknosa terhadap tanaman cabai

1.2 Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi dan peruumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui apakah gulma dapat terserang oleh jamur Colletotrichum capsici dan menyebabkan seperti antraknosa yang pada umumnya menyerang

tanaman cabai.

2. Mengetahui ada atau tidak adanya perbedaan masa inkubasi penyakit antraknosa pada cabai dan gulma.


(2)

1.3 Kerangka Pemikiran

Keberhasilan pertumbuhan tanaman cabai dipengaruhi oleh hama, penyakit tanaman, dan gulma. Menurut Raid dan Pennypacker (1987) dalam Bartz (2002) gulma yang tumbuh di sekitar pertanaman tomat dapat mempengaruhi

pertumbuhan tanaman tomat sekaligus dapat menjadi inang Colletotrichum coccodes.

Gulma pada suatu saat menjadi tidak berguna karena keberadaannya tidak

dikehendaki. Hal itu mungkin saja karena tumbuhnya salah tempat dimana tempat yang ada diperuntukkan tanaman yang dibutuhkan oleh petani (Moenandir, 1993). Beberapa gulma yang biasa dijumpai pada budi daya cabai hibrida dapat

dibedakan dalam golongan gulma berdaun lebar, rerumputan, dan teki.

Beberapa jenis gulma berdaun lebar lainnya yang terdapat pada pertanaman cabai seperti krokot (Portulaca oleraceae), gendong anak (Euphorbia hirta), bayam duri (Amaranthus lividus), sawi liar (Capsella bursa-pastoris), tolod

(Alternanthera philoxeriodes), dan anakan pisang liar (Mulsa sp) (Prajnanta, 2001).

Selain rumput pahit, terdapat juga rumput belulang (Eleusine indica), tuton (Echinochloa colona), rumput grintingan (Cynodon dactilon), dan rumput sunduk gangsir (Digitaria ciliaris) yang terdapat pada pertanaman cabai (Prajnanta, 2001).


(3)

Selain itu terdapat gulma jenis teki seperti Cyperus rotundus (rumput teki), C. compressus, dan C. distans yang terdapat pada pertanaman cabai (Prajnanta, 2001).

Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh cendawan

Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. Et Bisby. Gejala umum antraknosa cabai tampak pada daun berupa nekrosis, jaringan mati yang tidak beraturan pada pinggiran daun dimulai dari bagian ujung melebar ke seluruh daun. Selain itu, antraknosa juga menimbulkan kerusakan pada ranting, bunga, dan buah cabai. Pada cabai, buah cenderung kering dan mengerut (Trubus info kit, vol.09).

1.4Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian adalah:

1. Keparahan penyakit antraknosa berbeda pada cabai dan gulma. 2. Masa inkubasi penyakit antraknosa berbeda pada cabai dan gulma.


(4)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap rasa syukur kepada Tuhan Yesus Kristus

Penulis ingin mempersembahkan Karya kecil ini

Sebagai ungkapan rasa cinta kasih, hormat dan sayangku kepada: Papa, Mama, Kak Angga, Kak Bogi dan Seluruh keluarga besar

Yang selalu ada di hatiku dan setia menunggu keberhasilanku Serta almamaterku tercinta


(5)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Penelitian ini menyimpulkan sebagai berikut:

1. Keparahan penyakit antraknosa berbeda-beda, berurutan pada cabai 0,3% hingga 44,0 %, pada gulma C. rutidosperma sebesar 7,5% hingga 51,0%, gulma C. kyllingia 0%, untuk gulma S. nodiflora 9,3% hingga 47,0%, gulma P. distichum 0% , dan gulma A. conyzoides 12,8% menjadi 9,1% (menurun).

2. Masa inkubasi jamur C. capsici berbeda-beda pada cabai dan gulma. Masa inkubasi terpendek terjadi pada gulma C. kyllingia (teki) yaitu 0 hari (tidak memiliki masa inkubasi), sedangkan masa inkubasi terpanjang terjadi pada dan P. conjugatum (rumput pahit) yaitu 27 hari (yang hanya terjadi pada dua ulangan).

3. Pertumbuhan tinggi dan persentase jumlah daun tanaman cabai dan gulma yang diinokulasi dengan C. capsici berbeda-beda dari minggu ke- 1 hingga minggu ke- 4. Pertumbuhan paling tinggi terjadi pada gulma A. conyzoides sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada gulma C. rutidosperma. Persentase jumlah daun sakit paling besar adalah pada cabai, dan Persentase jumlah daun sakit paling kecil pada C. kyllingia.


(6)

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kebertahanan (survival) C. capsici pada serasah cabai dan gulma. Dengan mengetahui bahwa serasah-serasah tersebut masih mengandung Colletotrichum, maka dapat dianjurkan cara membuang serasah ke dalam lubang dalam tanah.