47
E. Kerangka Berfikir
Dalam kehidupan sehari-hari, konflik merupakan suatu fenomena yang tidak bisa dihindari. Semasa hidup, setiap individu pernah mengalami konflik
baik konflik dalam diri maupun konflik dengan orang lain. Ketika mengalami konflik, individu akan melakukan tindakan untuk menghadapi konflik
tersebut. Proses yang dilakukan individu untuk menyusun strategi konflik dan menerapkannya guna mengendalikan konflik agar menghasilkan keluaran
yang diingkan disebut dengan manajemen konflik Wirawan, 2013: 129. Manajemen konflik merupakan suatu faktor yang sangat menentukan
apakah konflik akan bersifat merusak ataupu membangun. Ketika individu memiliki keterampilan yang baik dalam memanajemeni konflik akan
menghasilkan keluaran konflik yang positif. Begitupula sebaliknya, ketika individu tidak mampu menggunakan gaya manajemen konflik yang baik,
maka konflik akan menghasilkan keluaran negatif. Dampak negatif yang akan timbul diantaranya adalah timbulnya perasaan negatif, seperti stres, frustasi,
menurunkan produktifitas serta merusak hubungan dalam kelompok. Masa remaja merupakan masa dimana individu dituntut untuk dapat
menyesuaikan diri, matang dalam hubungan interpersonal serta mampu memaknai norma yang ada. Meski demikian, masa remaja menjadi masa yang
membuat individu lebih rentan mengalami konflik dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan keadaan emosi remaja yang
meledak-ledak dan mengalami perubahan dengan begitu cepat. Hall dalam Santrock, 2007 mengungkapkan bahwa pikiran, perasaan dan tindakan remaja
48 selalu berubah-ubah dengan begitu cepat sehingga membuat remaja menjadi
sosok yang begitu labil Setiap konflik akan dikelola dengan cara yang berbeda-beda. Thomas
dan Kilmann dalam Wirawan, 2013:140-142 mengungkapkan lima gaya manajemen konflik dengan dimensi keasertifan dan kerjasama. Lima gaya
manajemen konflik tersebut diantaranya kompetisi, kolaborasi, kompromi, menghindar dan akomodasi. Gaya kompetisi menggambarkan individu yang
mementingkan kepuasan pribadi sedangkan perhatian terhadap kepuasan orang lain rendah. Gaya kolaborasi menggambarkan individu yang memiliki
perhatian yang tinggi pada kepuasan pribadi maupun kepuasan lawan. Gaya kompromi menggambarkan individu yang memiliki perhatian sedang pada
kepuasaan pribadi maupun lawan. Gaya menghindar menggambarkan individu yang memiliki perhatian yang rendah pada kepuasan pribadi maupun lawan.
Gaya akomodasi meggambarkan individu yang memiliki perhatian rendah terhadap kepuasan pribadi namun tinggi pada kepuasan lawan.
Setiap remaja memiliki kecenderungan yang berbeda dalam memilih gaya manajemen konflik yang akan digunakan. Perbedaan pemilihan gaya
manajemen konflik dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya kecerdasan emosi Wirawan, 2010: 135-138. Kecerdasan emosi diartikan sebagai
kemampuan mengendalikan emosi diri dan membina hubungan interpersonal untuk mencapai kesuksesan dalam mencapai tujuan dan menjalin hubungan
dengan orang lain. Remaja dengan kecerdasan emosi yang tinggi akan mampu memilih pilihan-pilihan dalam hidup yang diketahuinya benar. Sebaliknya,
49 ketika remaja memiliki kecerdasan emosi rendah, remaja akan mengalami
kesulitan dalam membuat pilihan yang tepat baik bagi diri sendiri maupun orang lain
. Kecerdasan emosi memberi pengaruh yang besar terhadap aspek-aspek
penting pada diri remaja, termasuk pada keterampilan dalam memilih gaya manajemen konflik. Remaja dengan kecerdasan emosi yang tinggi akan
memilih gaya manajemen konflik yang menempatkan perhatian yang tinggi pada kepuasan diri keasertifan dan kepentingan orang lain kerja sama.
Remaja dengan kecerdasan emosi tinggi akan memilih gaya manajemen konflik yang tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain diantaranya
kolaborasi dan kompromi. Remaja dengan kecerdasan emosi yang rendah mengalami kesulitan dalam memilih gaya manajemen konflik yang
menguntungkan kedua pihak, sehingga gaya manajemen konflik yang digunakan cenderung kompetisi, menghindar maupun akomodasi. Hal
tersebut dikuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Devi Sari Nastiti dan Fitri Andriani 2014 yang menunjukkan bahwa semakin tinggi
kecerdasan emosi maka gaya manajemen konflik yang digunakan cenderung kolaborasi maupun kompromi sedangkan kecerdasan emosi yang rendah
memiliki kecenderungan menggunakan gaya manajemen konflik kompetisi maupun menghindar.
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir yang dikemukakan di atas, maka dapat dilihat hubungan antara variabel bebas yaitu kecerdasan emosi
50 dengan variabel terikat yaitu manajemen konflik. Hubungan tersebut dapat
digambarkan dengan paradigma yang dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Paradigma Penelitian
F. Hipotesis