Resistensi Bibit Jabon Putih dan Merah (Anthocephalus spp.) terhadap Serangan Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit Mati Pucuk

RESISTENSI BIBIT JABON PUTIH DAN MERAH (Anthocephalus spp.)
TERHADAP SERANGAN Botryodiplodia theobromae
PENYEBAB PENYAKIT MATI PUCUK

LOLA ADRES YANTI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Resistensi Bibit
Jabon Putih dan Merah (Anthocephalus spp.) terhadap Serangan
Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit Mati Pucuk adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2015
Lola Adres Yanti
NIM E451120051

* Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

RINGKASAN
LOLA ADRES YANTI. Resistensi Bibit Jabon Putih dan Merah (Anthocephalus
spp.) terhadap Serangan Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit Mati
Pucuk. Dibimbing oleh ACHMAD dan NURUL KHUMAIDA.
Bibit jabon putih dan merah sangat digemari para pembudidaya karena
berbagai manfaat dan dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Permasalahan
utama dalam pembibitan tanaman kehutanan adalah hama dan penyakit. Salah
satu penyakit yang banyak menyerang bibit adalah penyakit mati pucuk. Penyakit
mati pucuk disebabkan oleh B. theobromae, yang dapat menyebabkan kematian
inang. Patogen dapat menyerang secara pasif dan aktif. Setiap tanaman memiliki

mekanisme resistensi terhadap serangan patogen, baik struktural maupun
biokimia, sebelum dan sesudah serangan patogen.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menguji serangan B. theobromae
dengan cara infeksi tanpa maupun dengan pelukaan batang bibit jabon; (2)
mempelajari resistensi bibit jabon secara struktural dan biokimia terhadap
serangan B. theobromae; (3) mempelajari interaksi antara spesies bibit jabon dan
cara infeksi terhadap resistensi bibit jabon; (4) memperoleh spesies bibit jabon
yang lebih resisten terhadap serangan B. theobromae.
Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap faktorial (RALF)
dengan mengkombinasikan spesies bibit jabon dan cara infeksi. Resistensi
struktural diamati dengan mempelajari kondisi mikroskopis batang bibit jabon
yang sehat dan terinfeksi patogen menggunakan scanning electron microscope.
Resistensi biokimia dilakukan dengan melihat komponen senyawa kimia bibit
jabon menggunakan analisis fitokimia.
Kejadian penyakit mati pucuk pada bibit jabon merah dengan cara infeksi
tanpa pelukaan batang lebih luas, yaitu sebesar 80% dibandingkan dengan bibit
jabon putih sebesar 30%. Keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon merah
dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang lebih berat yaitu sebesar 16%
dibandingkan dengan bibit jabon putih sebesar 12%. Respon spesies bibit jabon
dan cara infeksi tanpa pelukaan batang terhadap keparahan penyakit mati pucuk

menunjukkan berat yang sama besar.
Kejadian penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih dan merah dengan
cara infeksi pelukaan batang masing-masing sebesar 100%. Keparahan penyakit
mati pucuk pada bibit jabon putih dengan cara infeksi pelukaan batang lebih berat,
yaitu sebesar 62% dibandingkan dengan bibit jabon merah sebesar 38%. Respon
spesies bibit jabon dan cara infeksi pelukaan batang terhadap kejadian penyakit
mati pucuk menunjukkan luas yang sama tinggi, sedangkan keparahan penyakit
terberat terjadi pada bibit jabon putih. Kejadian dan keparahan penyakit pada bibit
jabon dengan cara infeksi pelukaan batang lebih luas dan berat dibandingkan
dengan cara infeksi tanpa pelukaan batang.
Bibit jabon putih hanya memiliki resistensi nekrotik sebagai resistensi
struktural sesudah serangan patogen. Sebelum dan sesudah serangan patogen pada
bibit jabon merah, resistensi struktural berturut-turut ditunjukkan dengan
terdapatnya struktur trikoma pada jaringan epidermis dan resistensi nekrotik.
Resistensi biokimia sebelum serangan patogen pada bibit jabon merah adalah
terdapatnya zat inhibitor dalam sel, yaitu senyawa metabolit sekunder, terutama

triterpenoid dan steroid, sedangkan pada bibit jabon putih hanya terdapat senyawa
steroid. Sesudah serangan patogen pada bibit jabon merah, resistensi biokimia
ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan akumulasi senyawa fenol hidrokuinon,

tanin dan kadar yang tetap pada flavanoid, sedangkan bibit jabon putih mengalami
peningkatan akumulasi senyawa flavanoid, tanin dan penurunan fenol
hidrokuinon.
Kata kunci : cara infeksi, kejadian penyakit, keparahan penyakit, resistensi
biokimia, resistensi struktural

SUMMARY
LOLA ADRES YANTI. Resistency of White and Red Jabon Seedlings
(Anthocephalus spp.) to Botryodiplodia theobromae Causing Dieback Disease.
Supervised by ACHMAD and NURUL KHUMAIDA.
White and red jabon seedlings are very popular to nurserier, because of the
benefits and can improve the economic. The main problem in nurseries are insects
and diseases attack. One of the diseases is dieback disease. Dieback disease is
caused by B. theobromae, that can make the seedlings death. These pathogens can
attack passively and actively. Every plant has a mechanism of resistance to
pathogen attack, either structural or biochemical, before and after attacked.
This research aimed: (1) to test B. theobromae attacked with non wounded
and wounded stem infection methods in jabons; (2) to study the structural and
biochemical resistance of jabons to B. theobromae attacked; (3) to study the
interaction between the species of jabons and stem infection methods in jabons to

the resistance of jabon seedlings; (4) to obtain the most resistance species of
jabons to B. theobromae attacked.
This research used factorial completely randomized design that combined
the species of jabons and stem infection methods in seedling. The structural
resistance was done with studying the microscopy of infected and non infected
jabon used scanning electron microscope. The biochemical resistance was done
with studying the chemical compound of Jabons used phytochemistry analysis.
The disease incidency of red jabon seedlings with non wounded stem
infection methods were 80%, that were wider than white jabon seedlings were
30%. The disease severity of red jabon seedlings with non wounded stem
infection methods were 16%, that were worse than white jabon seedlings were
12%. The response of the species of jabons and non wounded stem infection
method for the disease severity showed the same severity.
The disease incidency of red and white jabon seedlings with wounded
stem infection methods were 100%. The disease severity of white jabon seedlings
with wounded stem infection methods were 62%, that were worse than red jabon
seedlings were 38%. The response of the species of jabons and wounded stem
infection method for the disease incidency showed the same width high, but, the
disease severity of white jabon seedlings were worse than red jabon seedlings.
The incidency and the severity of disease in jabons with wounded stem infection

methods were wider and worse than jabons with non wounded stem infection
methods.
The white jabon seedlings just had the necrotic resistance as the structural
resistance after pathogen attacked. Before and after pathogen attacked of red
jabon seedlings, structural resistance were showed with found the structure of
trychomaes on the epidermis and the necrotic resistance. The biochemical
resistance before pathogen attacked of red jabon seedlings were found secondary
metabolites, aspecially, triterpenoid and steroid, but, for white jabon seedlings
were just found steroid. After pathogen attacked of red jabon seedlings, the
biochemical resistance were showed with found the increase in the content of
phenol hydroquinon, tannin and the fixed of flavanoid, but, the white jabon

seedlings had the increase in the content of flavanoid, tannin and the decrease of
phenol hydroquinon.
Key words: biochemical resistance, disease incidency, disease severity, stem
infection methods, structural resistance

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

RESISTENSI BIBIT JABON PUTIH DAN MERAH (Anthocephalus spp.)
TERHADAP SERANGAN Botryodiplodia theobromae
PENYEBAB PENYAKIT MATI PUCUK

LOLA ADRES YANTI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Bonny PW Soekarno, MS

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian yang
dilaksanakan sejak bulan April sampai Desember 2014 adalah Resistensi Bibit
Jabon Putih dan Merah (Anthocephalus spp.) terhadap Serangan Botryodiplodia
theobromae Penyebab Penyakit Mati Pucuk. Satu naskah dengan judul Uji
Resistensi Bibit Jabon Putih dan Merah (Anthocephalus spp.) terhadap Serangan
Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit Mati Pucuk telah diterima pada
Jurnal Silvikultur Tropika dan sedang menunggu proses penerbitan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Achmad, MS dan Dr Ir
Nurul Khumaida, MS selaku pembimbing yang telah membimbing penulis untuk
menyelesaikan studi. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr Ir Bonny
PW Soekarno, MS selaku dosen penguji ujian tesis saya dan Prof Dr Ir Nurheni
Wijayanto, MS selaku moderator ujian tesis, yang telah banyak memberikan
masukan untuk kesempurnaan penulisan tesis. Terima kasih juga disampaikan

kepada Bakrie Center Foundation yang telah memberikan beasiswa studi selama
setahun dan membantu pembiayaan kegiatan penelitian hingga akhirnya tesis ini
dapat disusun. Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Kepala
Laboratorium Patologi Hutan, Laboratorium Kimia Kayu, dan Laboratorium
Kimia Analitik IPB, serta Pusat Penelitian Zoologi LIPI Cibinong. Terima kasih
kepada Kepala BPDAS Citarum-Ciliwung di Persemaian Permanen Kampus IPB
Dramaga yang telah memberikan izin pada penulis untuk melaksanakan kegiatan
penelitian di lingkungan kerjanya. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada
Ibu Ai Rosah Aisah, SHut MSi, Ibu Tutin BScF, Bapak Suprihatin, Bapak Ismail,
Ibu Encah, Bapak Eter Cahyadi, SHut, Ibu Nunung, Ibu Yuni dan Ibu Endang
LIPI Cibinong, Ibu Illa Anggraeni, Bapak Taufan, dan rekan-rekan mahasiswa
Silvikultur Tropika angkatan 2012, serta rekan-rekan mahasiswa S1 dan S2 yang
berada di lingkup Laboratorium Patologi Hutan, serta semua pihak yang telah
membantu teknis pelaksanaan penelitian ini. Ungkapan terima kasih dan rasa
hormat yang mendalam juga penulis sampaikan kepada Ayah, Ibu, dan Adik-adik
tersayang, serta keluarga besar yang senantiasa mendukung dan memberikan
dorongan moral.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015


Lola Adres Yanti

x

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hipotesis Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
2
3
3
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Jabon Putih (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.)
Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil.)
Perbedaan Jabon Merah dan Jabon Putih
Botryodiplodia theobromae
Mekanisme Infeksi Patogen terhadap Tanaman Inang
Resistensi Inang terhadap Serangan Patogen

6
7
8
10
12
14

3 BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Metode
Analisis Data

21
21
22
28

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Karakteristik Makroskopis dan Mikroskopis Isolat B. theobromae
Resistensi Bibit Jabon terhadap Serangan Patogen
Resistensi Struktural Batang Bibit Jabon (Anthocephalus spp.)
Resistensi Biokimia Batang Bibit Jabon (Anthocephalus spp.)
Pembahasan Umum

28
29
35
37
38

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

48
48

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

xi

DAFTAR TABEL
1 Karakteristik morfologi jabon merah dan putih
2 Kandungan senyawa primer pada daun jabon merah dan putih (%)
3 Kandungan senyawa metabolit sekunder pada daun jabon
merah dan putih (A. macrophyllus dan A. cadamba) berumur 7 bulan
4 Nilai numerik kategori serangan dan keparahan penyakit mati
pucuk pada bibit jabon
5 Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap kejadian
penyakit mati pucuk
6 Respon spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap keparahan
penyakit mati pucuk
7 Masa inkubasi bibit jabon putih dan merah terhadap serangan
patogen B. theobromae
8 Temperatur dan kelembapan selama 14 hari pengamatan
9 Keragaan fitokimia senyawa metabolit sekunder bibit jabon
(Anthocephalus spp.)

9
9
10
25
33
33
34
35
38

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

Kerangka pemikiran penelitian
Karakteristik mikroskopis Botryodiplodia theobromae
Struktur anatomi batang bibit Tilia americana
Mekanisme serangan M. graminicola selama 11 hari pengamatan
Kondisi mikroskopis penampang batang bibit jambu monyet
umur 2 bulan yang terserang L. theobromae
Tahapan penelitian resistensi bibit jabon putih dan
merah terhadap serangan patogen B. theobromae
Nilai numerik kategori serangan dan keparahan penyakit mati pucuk
pada bibit jabon
Miselium B. theobromae yang berumur 3 hari setelah tanam (HST)
Karakteristik mikroskopis B. theobromae
Kondisi bibit jabon putih dan merah perlakuan kontrol
Kondisi bibit jabon putih selama 14 hari pengamatan
Kondisi bibit jabon merah selama 14 hari pengamatan
Kondisi mikroskopis penampang melintang batang bibit jabon putih
Kondisi mikroskopis penampang melintang batang bibit jabon merah

5
11
12
13
15
22
26
28
29
30
31
32
36
37

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Rekapitulasi sidik ragam spesies bibit jabon dan cara infeksi
pada kejadian penyakit mati pucuk
Rekapitulasi sidik ragam spesies bibit jabon dan cara infeksi
pada keparahan penyakit mati pucuk
Fitokimia senyawa metabolit sekunder batang bibit jabon umur 5 bulan

57
57
57

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Jabon putih dan merah merupakan tanaman fast growing, yang banyak
diminati saat ini. Kedua jenis jabon ini banyak digunakan sebagai pohon peneduh,
hiasan tepi jalan, dan dalam kegiatan reboisasi (Orwa et al. 2009). Menurut
Soerianegara dan Lemmens (1993), jabon putih dan merah dapat dimanfaatkan
untuk kayu lapis, konstruksi ringan, lantai, pulp dan kertas, langit-langit, peti,
mainan, ukiran, dan obat tradisional. Jabon merah lebih diminati karena memiliki
kayu yang lebih keras dan lebih resisten terhadap hama dan penyakit (Halawane et
al. 2011). Dikarenakan manfaat dan keunggulannya, kedua jenis ini banyak
dibudidayakan pada level pembibitan.
Permasalahan utama yang sering terjadi di pembibitan tanaman kehutanan
adalah serangan hama dan penyakit. Penyakit yang banyak menyerang adalah
mati pucuk, bercak, dan hawar daun. Penyakit bercak daun pada bibit jabon putih
telah diidentifikasi oleh Anggraeni dan Lelana (2011) disebabkan oleh
Colletotrichum sp., sedangkan menurut Herliyana et al. (2012) oleh Rhizoctonia
sp. Sementara itu, penyakit hawar daun dan mati pucuk pada jabon putih berturutturut disebabkan oleh Fusarium sp. dan Botryodiplodia sp. (Herliyana et al.
2012).
Penyakit yang menjadi fokus pada penelitian ini adalah penyakit mati
pucuk, yang disebabkan oleh Botryodiplodia sp. Identifikasi secara molekuler
oleh Winara (2014), menginformasikan spesies patogen penyebab mati pucuk
yaitu, Botryodiplodia theobromae. Menurut Anggraeni dan Lelana (2011),
Botryodiplodia sp. dilaporkan menjadi patogen pada beberapa tanaman kehutanan
di Indonesia antara lain, menyebabkan bercak daun pada pulai (Alstonia sp.),
merbau (Intsia bijuga Kuntze.), bakau (Rhizophora mucronata Lamk.), dan
skubung (Macaranga gigantea Muell.), busuk akar pada meranti (Shorea sp.),
bledok pada nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn.), dan penyakit batang
pada gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.). Pernyataan ini juga didukung oleh
Begoude et al. (2009) bahwa, Botryosphaeriaceae mempunyai distribusi inang
yang sangat luas termasuk monokotiledon, dikotiledon, gymnospermae, dan
angiospermae. Patogen ini merupakan patogen lemah yang membutuhkan luka
untuk menginfeksi inang, namun dapat menyerang parah (Semangun 2007).
Menurut Aisah (2014), bibit jabon putih umur 4 bulan yang tidak dilukai, terdapat
gejala infeksi patogen Botryodiplodia spp. Penelitian Arshinta (2013)
menunjukkan bahwa, bibit jabon putih dengan umur 3, 4, dan 5 bulan mengalami
kejadian penyakit masing-masing sebesar 100% dengan keparahan penyakit
berturut-turut adalah 61, 42, dan 54%. Penyakit mati pucuk pada bibit jabon
berpotensi menimbulkan kerusakan dan kematian bibit. Menurut Achmad et al.
(2012) bahwa, semakin bertambah umur semai pinus, resistensi terhadap patogen
penyakit lodoh akan semakin meningkat. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini
menggunakan bibit jabon putih dan merah umur 5 bulan.
Beberapa penelitian mengenai Botryodiplodia spp. yang menyerang bibit
jabon putih adalah uji patogenisitas Botryodiplodia sp. pada bibit jabon putih oleh
Arshinta (2013), virulensi isolat Botryodiplodia sp. pada bibit jabon putih

2

(Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq) oleh Aisah (2014), dan bioaktivitas
ekstrak mahoni dan identifikasi jenis isolat Botryodiplodia sp. pada bibit jabon
putih oleh Winara (2014). Namun demikian, penelitian mengenai bibit jabon
merah masih jarang, terutama penelitian yang membandingkan resistensi bibit
jabon putih dan merah.
Setiap tanaman memiliki mekanisme resistensi terhadap penyakit.
Menurut Agrios (1997), resistensi yang dimiliki oleh tanaman dibedakan menjadi
dua yaitu, resistensi struktural dan biokimia, baik sebelum dan sesudah serangan
patogen. Emery (1987) bahwa, resistensi tanaman dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu, faktor genetik dan non genetik. Resistensi tanaman yang dipengaruhi oleh
faktor genetik dibedakan menjadi resistensi antar spesies, umur, resistensi dalam
spesies (strain), dan kerusakan bawaan. Resistensi non genetik berupa faktor
abiotik, seperti temperatur, kelembapan, dan virulensi patogen. Sehingga dipilih
dua jenis tanaman dari genus yang sama yaitu Anthocephalus untuk dilihat
resistensi antar spesiesnya. Penilaian bibit tanaman kehutanan secara operasional
mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan
Sosial (Perdirjen RLPS) No. P.05/V-Set/2009 tentang Pedoman Sertifikasi Mutu
Bibit Tanaman Hutan. Bibit jabon yang bermutu harus memiliki Ø > 7 mm, tinggi
> 40 cm, kekompakan media utuh, jumlah daun > 4 pasang, umur 2-3 bulan,
berbatang tunggal dan lurus, bibit sehat, dan batang bibit berkayu, diukur dari
pangkal batang sampai dengan setinggi 50% dari tinggi bibit. Varietas resisten
adalah varietas yang memiliki sifat untuk menghindar atau pulih kembali dari
serangan hama dan penyakit, memiliki sifat yang dapat mengurangi kemungkinan
hama menggunakan tanaman sebagai inang, atau menghasilkan produk yang lebih
banyak dan lebih baik dibandingkan dengan varietas lain pada tingkat populasi
hama dan penyakit yang sama.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian mengenai resistensi bibit
jabon (Anthocephalus spp.) terhadap serangan Botryodiplodia theobromae penting
dilakukan. Perlakuan cara infeksi penting diketahui untuk mempelajari
mekanisme Botryodiplodia theobromae menginfeksi tanpa (bukan pada lentisel)
maupun dengan pelukaan batang.

Perumusan Masalah
Permasalahan utama yang banyak terjadi di pembibitan tanaman
kehutanan adalah serangan hama dan penyakit. Penyakit yang menjadi fokus
dalam penelitian ini adalah penyakit mati pucuk, yang disebabkan oleh
Botryodiplodia spp. Identifikasi molekuler yang dilakukan oleh Winara (2014),
menginformasikan bahwa spesies patogen ini adalah B. theobromae. Kejadian
penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih umur 3, 4, dan 5 bulan masing-masing
sebesar 100% dan keparahan penyakit berturut-turut adalah 61, 42, dan 54%.
Keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih umur 5 bulan lebih rendah
yaitu sebesar 54% dibandingkan dengan bibit jabon putih umur 4 bulan sebesar
42% (Arshinta 2013). Penelitian Achmad et al. (2012) menunjukkan bahwa,
semakin bertambah umur semai pinus, resistensi terhadap patogen penyakit lodoh
akan semakin meningkat. Menurut Aisah (2014) bahwa, B. theobromae dapat
menyerang bibit jabon putih baik tanpa maupun dengan pelukaan batang.

3

Penelitian mengenai jabon putih telah banyak, namun demikian, tidak ada
penelitian yang membandingkan resistensi kedua jenis bibit jabon yang terserang
B. theobromae, penyebab mati pucuk. Setiap tanaman memiliki mekanisme
resistensi terhadap penyakit. Menurut Agrios (1997), resistensi yang dimiliki oleh
tanaman dibedakan menjadi dua yaitu, resistensi struktural dan biokimia, baik
sebelum dan sesudah serangan patogen. Resistensi struktural sebelum dan sesudah
serangan patogen berturut-turut adalah struktur permukaan tanaman dan resistensi
jaringan, sel, sitoplasma, serta nekrotik. Resistensi biokimia sebelum dan sesudah
serangan patogen, salah satunya berturut-turut adalah terdapatnya zat inhibitor
dalam sel tumbuhan berupa senyawa metabolit sekunder dan peningkatan
akumulasi senyawa fenolik. Beberapa senyawa metabolit sekunder merupakan
senyawa fenolik seperti, flavanoid, kuinon, dan tanin. Penelitian Wali (2014)
menunjukkan bahwa, kandungan senyawa metabolit sekunder, berupa kuinon dan
steroid pada daun bibit jabon merah lebih kuat dibandingkan dengan daun bibit
jabon putih.
Penelitian ini diharapkan menjawab beberapa pertanyaan, antara lain :
1. Apakah patogen B. theobromae dapat menyerang bibit jabon tanpa (bukan
pada lentisel) maupun dengan pelukaan batang?
2. Bagaimana resistensi bibit jabon putih dan merah secara struktural dan
biokimia terhadap serangan B. theobromae?
3. Bagaimana interaksi antara spesies bibit jabon dengan cara infeksi pada
resistensi bibit jabon?
4. Apakah bibit jabon putih atau merah yang lebih resisten terhadap serangan B.
theobromae?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Menguji serangan B. theobromae dengan cara infeksi tanpa maupun dengan
pelukaan batang bibit jabon.
2. Mempelajari resistensi bibit jabon secara struktural dan biokimia terhadap
serangan B. theobromae.
3. Mempelajari interaksi antara spesies bibit jabon dan cara infeksi terhadap
resistensi bibit jabon.
4. Memperoleh spesies bibit jabon yang lebih resisten terhadap serangan B.
theobromae.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi bagi ilmu pengetahuan mengenai serangan B.
theobromae tanpa maupun dengan pelukaan pada batang bibit jabon.
2. Memberikan informasi bagi ilmu pengetahuan mengenai spesies bibit jabon
yang lebih resisten terhadap serangan B. theobromae.
3. Memberikan rekomendasi mengenai spesies bibit jabon yang lebih resisten
terhadap serangan B. theobromae.

4

Hipotesis Penelitian
1.
2.
3.
4.

Hipotesis dari penelitian ini adalah :
B. theobromae dapat menyerang bibit jabon putih dan merah dengan cara
infeksi tanpa (bukan pada lentisel) maupun dengan pelukaan batang.
Bibit jabon putih dan merah memiliki perbedaan resistensi secara struktural
dan biokimia terhadap serangan B. theobromae.
Spesies bibit jabon dan cara infeksi memiliki interaksi pada resistensi bibit
jabon terhadap serangan B. theobromae.
Bibit jabon merah lebih resisten terhadap serangan patogen B. theobromae
dibandingkan dengan bibit jabon putih.

Kerangka Pemikiran
Pemanfaatan jabon putih dan merah telah disebutkan pada latar belakang,
namun di lapangan, jabon merah lebih diminati dibandingkan dengan jabon putih,
karena memiliki kayu yang lebih keras dan lebih resisten terhadap hama dan
penyakit (Halawane et al. 2011). Kedua jenis ini banyak dibudidayakan pada
pembibitan. Permasalahan utama pada pembibitan tanaman kehutanan adalah
serangan hama dan penyakit. Penyakit yang banyak menyerang adalah mati
pucuk, bercak, dan hawar daun. Menurut Begoude et al. (2009), kisaran inang B.
theobromae, penyebab penyakit mati pucuk, sangat luas dari monokotiledon,
dikotiledon, gymnospermae, dan angiospermae. Kejadian penyakit mati pucuk
pada bibit jabon putih berumur 3, 4, dan 5 bulan masing-masing sebesar 100%,
sedangkan keparahan penyakit berturut-turut adalah 61, 42, dan 54% (Arshinta
2013). Penyakit mati pucuk pada bibit jabon berpotensi menimbulkan kerusakan
dan kematian bibit, sehingga menurunkan keuntungan ekonomi. Pohon yang sehat
berasal dari bibit yang berkualitas, tidak terserang hama, dan penyakit. B.
theobromae merupakan parasit lemah yang menginfeksi inang melalui luka
mekanis, seperti luka akibat pemangkasan dan serangga (Semangun 2007).
Penelitian Kunz (2007) menunjukkan bahwa, Botryodiplodia spp. membutuhkan
luka untuk menyerang tanaman. Menurut Aisah (2014), Botryodiplodia spp.
menghasilkan gejala pada bagian batang bibit jabon putih yang dilukai dan tidak
dilukai. Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.

5

Jabon putih

Jabon merah

Pohon peneduh, hiasan tepi jalan,
dan kegiatan reboisasi (Orwa et al.
2009). Konstruksi ringan, furniture,
plywood, papan, dan obat
tradisional (Halawane et al. 2011).

Pohon peneduh, hiasan tepi jalan,
dan kegiatan reboisasi (Orwa et
al. 2009). Kayu lapis, konstruksi
ringan, lantai, pulp dan kertas,
serta obat tradisional
(Soerianegara dan Lemmens
1993).

Lebih diminati
Kayunya lebih keras dan lebih
resisten terhadap hama dan
penyakit (Halawane et al. 2011).

Pembibitan
Hama dan penyakit

Merugikan
secara ekonomi
Penyakit mati pucuk
Botryodiplodia
theobromae

Membutuhkan
pelukaan
Menyerang
parah
Kisaran inang
luas

Resistensi inang

Resistensi struktural sebelum
dan sesudah serangan

Aisah (2014),
terjadi gejala
pada bagian
tidak dilukai

Resistensi biokimia sebelum
dan sesudah serangan

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

6

2 TINJAUAN PUSTAKA

Jabon Putih (Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.)
Taksonomi dan Botani
Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq. dikenal dengan nama jabon putih.
Menurut Martawijaya et al. (1989) bahwa, taksonomi jabon putih adalah sebagai
berikut :
Kindom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Anthocephalus
Spesies
: Anthocephalus cadamba (Roxb.) Miq.
Jabon putih merupakan pohon berukuran besar dengan batang lurus,
silindris, dan memiliki tajuk tinggi seperti payung dengan sistem percabangan
khas mendatar. Tinggi pohon mencapai 45 m, dengan lingkar batang berkisar 100160 cm, dan kadang-kadang berbanir hingga ketinggian 2 m. Daun menempel
pada batang utama, berwarna hijau mengilap, berpasangan, dan berbentuk ovallonjong berukuran 15-50 cm x 8-25 cm (Soerianegara dan Lemmens 1993). Kulit
pohon muda berwarna abu-abu dan mulus, sedangkan kulit pohon tua kasar dan
beralur. Bunga jabon putih berbentuk kepala terminal bulat tanpa brakteol,
bertangkai, berwarna oranye atau kuning. Bunga bersifat biseksual, terdiri dari
lima bagian dan kelopak bunga berbentuk corong. Mahkota bunga berbentuk
seperti cawan. Benang sari ada lima dan melekat pada tabung mahkota. Buah
jabon putih merupakan buah majemuk, berbentuk bulat, dan lunak. Buah jabon
memiliki biji sangat kecil, berbentuk kapsul berdaging, dan berisi sekitar 8.000
biji. Biji berbentuk trigonal, tidak teratur, dan tidak bersayap (Soerianegara dan
Lemmens 1993).
Penyebaran dan Karakteristik
Jabon putih tumbuh secara alami di Australia, Cina, India, Indonesia,
Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Singapura, dan Vietnam. Jabon putih telah
disebar ke Kosta Rika, Puerto Riko, Afrika Selatan, Suriname, Taiwan,
Venezuela, negara-negara subtropis dan tropis lainnya (Orwa et al. 2009).
Jabon putih merupakan tanaman pionir yang tumbuh pada tanah aluvial
lembap. Pada habitat alami, suhu maksimum pertumbuhan jabon putih adalah 3242 °C dan suhu minimum adalah 3-15.5 °C. Jabon putih dapat tumbuh pada
daerah kering dengan curah hujan tahunan minimum 200 mm (Martawijaya et al.
1989).
Kayu jabon putih bertekstur halus sampai kasar, berserat lurus, kurang
mengkilat, dan tidak berbau (Krisnawati et al. 2011). Kayu teras berwarna putih
kekuningan sampai kuning terang dan warnanya tidak dapat dibedakan dengan
kayu gubal (Martawijaya et al. 1989). Kerapatan kayu jabon putih adalah 290-560
kg/m3 pada kadar air 15% (Soerianegara dan Lemmens 1993). Kayu jabon putih
termasuk kelas kuat III-IV dan kelas awet V.

7

Kegunaan
Jabon putih digunakan sebagai bahan baku kayu lapis, konstruksi ringan,
lantai, pulp dan kertas, langit-langit, kotak, peti, mainan, ukiran, korek api,
sumpit, dan pensil (Soerianegara dan Lemmens 1993). Pohon jabon berfungsi
sebagai pohon peneduh, hiasan tepi jalan, pelindung tanaman lain pada wanatani,
dalam kegiatan reboisasi dan penghijauan, serta memperbaiki sifat fisika dan
kimia tanah (Orwa et al. 2009).
Kayu jabon putih juga digunakan sebagai bahan pembuatan sampan dan
perkakas rumah sederhana, lapisan inti atau lapisan permukaan kayu lapis, serta
bahan baku papan partikel, papan semen, dan papan blok. Ekstrak daun jabon
putih digunakan sebagai obat kumur dan daun segarnya sebagai pakan ternak.
Kulit kayu kering digunakan sebagai bahan tonik dan obat menurunkan demam.
Pewarna kuning dari kulit akar berfungsi sebagai tanin (Soerianegara dan
Lemmens 1993).
Hama dan Penyakit
Menurut Soerianegara dan Lemmens (1993) bahwa, Gloeosporium
anthocephali menyebabkan defoliasi sebagian atau seluruh daun jabon putih.
Beberapa jenis serangga menyerang daun jabon putih. Penelitian Ngatiman dan
Tangketasik (1987) menunjukkan bahwa, beberapa jenis ulat menyerang jabon
putih di Kalimantan Timur. Menurut Suratmo (1987) bahwa, Margaronia sp.
(Lepidoptera, Pyralidae) merupakan defoliator jabon putih. Penelitian Arshinta
(2013); Aisah (2014); Winara (2014) menunjukkan bahwa, Botryodiplodia spp.
merupakan penyebab penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih.

Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil.)
Taksonomi dan Botani
Jabon merah memiliki nama latin Anthocephalus macrophyllus (Roxb.)
Havil. dan termasuk Rubiaceae. Menurut Halawane et al. (2011) bahwa,
klasifikasi jabon merah adalah sebagai berikut :
Kindom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Rubiales
Famili
: Rubiaceae
Genus
: Anthocephalus
Spesies
: Anthocephalus macrophyllus (Roxb.) Havil.
Jabon merah merupakan jenis pohon yang menggugurkan daun
(deciduous). Tinggi pohon mencapai 40-45 m, dengan tinggi bebas cabang hingga
30 m, dan lingkar batang mencapai 150 cm (Ø= 40-50 cm). Batang jabon merah
berwarna merah kehitaman. Kayu jabon merah berwarna kemerah-merahan
seperti, kayu meranti. Tajuk pohon berbentuk payung dan berukuran kecil. Batang
dan daun menyebar secara horizontal. Pucuk daun berwarna merah dan
permukaan daun berbulu. Jabon merah memiliki daun berbentuk oval dan elips
dengan ukuran 15-50 cm x 8-25 cm. Secara fisik, daun jabon merah mirip dengan
daun jati (Halawane et al. 2011).

8

Penyebaran dan Karakteristik
Jabon merah berasal dari daerah beriklim muson tropika seperti, Indonesia,
Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Jabon merah juga ditemukan tumbuh di Sri
Lanka, Nepal, Laos, Myanmar, Thailand, China, dan Papua New Guinea. Jabon
merah disebarkan ke Afrika Selatan, Puertorico, Suriname, Taiwan, dan Negara
subtropis lain. Penyebaran alami jabon merah di Indonesia lebih sempit
dibandingkan dengan jabon putih yaitu meliputi, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Jabon merah memiliki beberapa nama lokal, seperti Karumama (Sulawesi Utara)
dan Samama (Maluku Utara) (Heyne 1978).
Jabon merah merupakan tanaman fast growing. Jabon merah memiliki
resistensi yang lebih tinggi terhadap serangan hama dan penyakit (Halawane et al.
2011). Jabon merah memiliki tekstur halus dengan arah serat lurus. Kayu jabon
merah termasuk kelas kuat II-III, kelas awet IV, dan kelas sedang dalam
menyerap bahan pengawet. Pohon jabon merah tumbuh pada ketinggian 10-1000
mdpl. Pemupukan pada bibit jabon merah sangat diperlukan untuk mempercepat
pertumbuhan dan meningkatkan kualitas bibit jabon merah (Halawane et al.
2011).
Kegunaan
Pemanfaatan jabon merah sebagai bahan papan rumah (Heyne 1978).
Kayu jabon merah digunakan sebagai bahan bangunan konstruksi ringan,
furniture, plywood, papan, peti, korek api, dan lain-lain. Pemanfaatan non kayu
pada jabon merah adalah sebagai obat tradisional (Halawane et al. 2011).
Hama dan Penyakit
Hama yang menyerang tanaman jabon merah pada persemaian dan di
lapangan berturut-turut adalah semut, bekicot, ulat, rayap, dan penggerek akar,
ulat grayak (Spodoptera sp.), pengisap daun (Helopeltis sp.), ulat pemakan daun,
ulat api (Thosea asigna), Achaea sp., belalang (Valanga nigricornis), rayap
(Captotermes sp.), serta tikus (Ratus tiomanicus).
Penyakit yang menyerang jabon merah pada persemaian dan di lapangan
berturut-turut adalah penyakit dumping off dan bercak daun (leaf spot), keriting
daun (leaf curl), embun jelaga (black mildew), embun tepung (powdery mildew),
busuk akar (root rot), busuk hati (heart rot), serta cacar daun (Halawane et al.
2011).

Perbedaan Jabon Merah dan Jabon Putih
Jabon merah melakukan pemangkasan alami seperti jabon putih. Jabon
merah memiliki tajuk dengan daun berwarna merah dan kayu yang lebih keras
serta lebih resisten terhadap serangan hama penyakit dibandingkan jabon putih.
Menurut Kartikaningtyas et al. (2014) bahwa, bibit jabon putih memiliki batang
yang halus/licin dengan titik lentisel yang tampak jelas, sedangkan batang bibit
jabon merah berbulu dan agak kasar. Secara fisik, bibit jabon putih tidak berbulu,
licin, dan berwarna kehijauan, sedangkan bibit jabon merah agak kasar, berbulu
halus, dan berwarna kemerahan.

9

Beberapa karakteristik morfologi yang membedakan jabon merah dan
jabon putih tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Karakteristik morfologi jabon merah dan putih
Karakteristik morfologi Jabon merah
Jabon putih
Tunas daun muda
Berwarna merah
Berwarna coklat muda
Pangkal daun
Runcing
Rata
Urat daun primer
Berwarna merah
Berwarna hijau
kekuningan
Batang muda
Berwarna merah
Berwarna hijau kecoklatan
kehitaman
Batang pohon
Berwarna kehitaman
Berwarna coklat kelabu
Warna buah
Buah masak fisiologis
Buah masak fisiologis
berwarna coklat
berwarna coklat kuning
kemerahan
Sumber : Halawane et al. (2011).
Sifat kimia kayu jabon berperan terhadap mekanisme resistensi kayu
terhadap serangan hama dan penyakit serta membantu menentukan cara
pengerjaan dan pengolahan kayu untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Penelitian Wali (2014) menunjukkan bahwa, daun jabon putih mengandung kadar
air, serat kasar, ADF, dan lignin yang lebih banyak dibandingkan dengan daun
jabon merah, sedangkan daun jabon merah mengandung lebih banyak lemak kasar
dan selulosa. Kandungan senyawa primer daun jabon merah dan putih disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Kandungan senyawa primer pada daun jabon merah dan putih (%)
Jenis analisis
Jabon merah
Jabon putih
(A. macropyllus)
(A. cadamba)
Bahan kering
91.81
96.35
Kadar abu
6.95
6.72
Protein kasar
14.78
16.44
Serat kasar
10.77
14.49
Lemak kasar
3.15
2.41
Bahan ekstrak tanpa nitrogen (NFE)
56.16
56.29
Calsium (Ca)
1.84
1.47
Phospor (P)
0.32
0.25
Nitrogen (N)
2.36
2.63
Natrium clorida (NaCl)
0.03
0.03
ADF (Acid Dietary Fiber)
31.40
38.72
Selulosa
10.13
2.39
Lignin
21.19
24.21
Sillika
0.07
0.04
Sumber : Wali (2014).

10

Kandungan senyawa metabolit sekunder daun jabon merah dan putih umur
7 bulan tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Kandungan senyawa metabolit sekunder pada daun jabon merah dan putih
(A. macrophyllus dan A. cadamba) berumur 7 bulan
Senyawa aktif
Jenis daun
Jabon merah
Jabon putih
Alkaloid
Flavanoid
Kuinon
++
+
Tanin
Saponin
Steroid
++
+
Triterpenoid
Keterangan: (-) : negatif; (+) : positif tapi lemah; (++) : positif dan kuat.
Sumber : Wali (2014).
Penelitian Wali (2014) menunjukkan bahwa, daun jabon merah
mengandung senyawa kuinon dan steroid yang lebih kuat dibandingkan dengan
daun jabon putih. Senyawa antrakuinon dan kuinon berfungsi sebagai antibiotik,
penghilang rasa sakit, dan merangsang pertumbuhan sel baru pada kulit manusia
maupun hewan (Harborne 1987). Steroid merupakan senyawa metabolit sekunder
yang dimanfaatkan sebagai obat. Senyawa steroid yang terdapat pada tumbuhan
berfungsi sebagai pelindung dari serangan mikroba penyebab penyakit (Harborne
1987; Robinson 1995).
Menurut Emery (1987), resistensi tanaman dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu, faktor genetik dan non genetik. Resistensi tanaman yang dipengaruhi oleh
faktor genetik dibedakan menjadi resistensi antar spesies, umur, resistensi dalam
spesies (strain), dan kerusakan bawaan. Resistensi non genetik berupa faktor
abiotik, seperti temperatur, kelembapan, dan virulensi patogen.

Botryodiplodia theobromae
Taksonomi dan Morfologi
Menurut Alexopoulos et al. (1996) bahwa, taksonomi Botryodiplodia sp.
adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Fungi
Phylum
: Deuteromycota
Kelas
: Deuteromycetes
Ordo
: Sphaeropsidales
Famili
: Sphaeropsidaceae
Genus
: Botryodiplodia
Botryodiplodia sp. merupakan Deuteromycetes dan bersifat saprofit. Fungi
ini membutuhkan pelukaan untuk menyerang tanaman inang. Pertumbuhan
piknidia Botryodiplodia sp. pada media buatan bersifat jarang dan membutuhkan
waktu yang lama. Miselium tumbuh cepat dan konstan. Pada awal masa inkubasi,

11

miselium Botryodiplodia sp. berwarna putih, kemudian berubah menjadi hitam
setelah 3-4 minggu (Kunz 2007).
Penenelitian Gandjar et al. (1999) menunjukkan bahwa, koloni B.
theobromae pada media OA (Oatmeal Agar) dan PDA (Potatoes Dextrose Agar),
membentuk miselia yang lebat dan berwarna coklat tua dengan piknidia berbentuk
bulat, berleher panjang, dan berwarna hitam kehijauan. Konidia tua B.
theobromae memiliki dua sel, berukuran 22-28 x 12-15 µm, berbentuk elips,
berwarna coklat tua, dan memiliki garis longitudinal. Menurut Punithalingam
(1976) bahwa, miselium B. theobromae berbentuk seperti benang halus atau kapas
dengan miselium udara yang tebal. Piknidia B. theobromae berbentuk sederhana,
bergerombol, beragregat, stromatik, dan ostiolate dengan lebar sampai 5 mm.
Konidia muda bersifat uniseluler, hialin, granulosa, subovoid sampai ellipsoid,
berdinding tebal, dan memotong seperti sekat, sedangkan konidia tua memiliki
sekat dan berwarna coklat dengan ukuran 20-30 μm x 10-15 μm. Berikut adalah
gambar karakteristik mikroskopis B. theobromae.

10 µm
a

b 40µm

Gambar 2 Karakteristik mikroskopis Botryodiplodia theobromae: (a) konidia
muda dan tua; (b) piknidium. Sumber : Sato et al. (2008).
Tanda panah menunjukkan konidia muda yang hialin dan tidak
bersekat, konidia tua yang berwarna coklat tua dan bersekat, serta
piknidium B. theobromae.
Karakteristik dan Inang
Patogen B. theobromae memiliki kisaran inang yang luas. Patogen ini
merupakan parasit lemah yang menginfeksi melalui luka mekanis, seperti luka
akibat pemangkasan atau serangga (Semangun 2007). Penelitian Aisah (2014)
menunjukkan bahwa, Botryodiplodia spp. dapat menginfeksi bagian batang bibit
jabon putih tanpa dan dengan pelukaan. Menurut Arshinta (2013), kejadian dan
keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih umur 3-5 bulan berturutturut sebesar 100% dan 42-61%. Penyakit mati pucuk pada bibit jabon putih
berpotensi menimbulkan kerusakan dan kematian bibit.
Menurut Begoude et al. (2009), Botryosphaeriaceae mempunyai distribusi
inang yang sangat luas, yaitu monokotiledon, dikotiledon, gymnospermae, dan
angiospermae. Penelitian Anggraeni dan Lelana (2011) menunjukkan bahwa,
Botryodiplodia sp. merupakan patogen yang menyerang beberapa tanaman
kehutanan di Indonesia, antara lain menyebabkan bercak daun pada pulai
(Alstonia sp.), merbau (Intsia bijuga Kuntze.), bakau (Rhizophora mucronata

12

Lamk.), dan skubung (Macaranga gigantea Muell.), busuk akar pada meranti
(Shorea sp.), bledok pada nyamplung (Calophyllum inophyllum Linn.), dan
penyakit batang pada gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.).

Mekanisme Infeksi Patogen terhadap Tanaman Inang
Jabon putih dan merah merupakan tanaman dikotil. Menurut Semangun
(1996) bahwa, struktur anatomi tanaman dikotil, terdiri dari jaringan epidermis,
korteks berupa parenkim dan kolenkim, dan stele yang terdiri dari endodermis,
perisikel, xilem, kambium, floem, serta empulur. Penelitian Arifin (2009)
menunjukkan bahwa, anatomi batang tanaman dikotil terdiri dari, epidermis,
korteks, dan stele. Epidermis terdiri dari, selapis sel dan merupakan bagian terluar
batang. Epidermis berperan mencegah transpirasi dan melindungi jaringan dalam
dari kerusakan mekanis dan penyakit. Daerah di sebelah dalam epidermis adalah
jaringan korteks. Korteks terbagi menjadi dua, yaitu kolenkim dan parenkim.
Kolenkim menempati posisi di bawah epidermis dan parenkim di sebelah dalam
kolenkim. Stele terdiri atas, endodermis, perisikel, berkas vaskuler, dan empulur.
Berkas vaskuler tersusun atas, xilem, kambium, dan floem. Bagian tengah batang
tanaman dikotil disebut empulur. Berikut adalah gambar struktur anatomi batang
Tilia americana, tersaji pada Gambar 3.

Berkas vaskuler

Empulur

Endodermis

Epidermis
Kolenkim

200 µm
Parenkim

Gambar 3 Struktur anatomi batang bibit Tilia americana. Sumber : Raven et al.
(1986).
Menurut Semangun (1996) bahwa, fungi merupakan patogen yang
menginfeksi tumbuhan melalui luka, lubang alami, atau menembus langsung ke
permukaan jaringan tanaman yang utuh. Lubang alami tersebut berupa stomata
dan lentisel. Mekanisme infeksi fungi pada lubang alami dan luka adalah sebagai
berikut, spora jamur menempel pada permukaan epidermis, berkembang, dan

13

membentuk buluh kecambah. Selanjutnya, buluh kecambah membesar dan
membentuk apresorium berupa tabung penetrasi yang akan masuk ke dalam
stomata atau luka. Apresorium membengkak, hifa berkembang, membentuk
haustorium, dan mengisap makanan sel inang. Mekanisme infeksi fungi pada
permukaan jaringan utuh adalah dengan membentuk apresorium dan hifa.
Senyawa penyusun kutikula dihancurkan secara biokimia oleh patogen.
Selanjutnya, hifa menghancurkan dinding sel epidermis. Selulosa yang merupakan
penyusun dinding sel mengalami pembengkakan. Hifa infeksi membentuk saluran
kecil dalam bengkakan dan masuk ke dalam sel.
Patogen Mycosphaerella spp. juga menyerang inang menggunakan senjata
fisik mekanik. Ilustrasi tahapan penyerangan Mycosphaerella spp. tersaji pada
Gambar 4.

a

d

b

e

c

f

Gambar 4 Mekanisme serangan M. graminicola selama 11 hari pengamatan : (a)
hari 1 : konidia berkecambah, berbentuk seperti pipa, dan masuk ke
ruang substomata melalui lubang alami; (b) hari 3: hifa berkolonisasi,
menginfeksi ruang substomata, dan menyebar ke samping; (c) hari 5:
hifa tumbuh di interselular dan berkembang ke samping; (d) hari 7: hifa
yang membentuk percabangan tegak lurus lama kelamaan menjadi
percabangan keranjang anyaman di sekeliling ruang substomata. Gejala
serangan yang tampak adalah klorosis dan nekrosis pada sel inang; (e)
hari 9: hifa yang berbentuk keranjang di ruang substomata berisi
piknidia; (f) hari 11: piknidia terlihat langsung dan hifa terus menyebar
ke seluruh lamela daun. Sumber : Duncan dan Howard (2000).
Tanda panah menunjukkan penyebaran hifa fungi dalam jaringan inang.
Pembentukan apresorium diinduksi oleh sinyal kimiawi, seperti ion
potassium dan kalsium, gula sederhana, gradien pH, dan perubahan temperatur.
Fungi yang mempenetrasi menggunakan apresorium menunjukkan melanisasi

14

pada dinding apresorium, sehingga terbentuk tekanan turgor untuk mempenetrasi
dinding sel inang. Selanjutnya, apresorium membentuk hifa penetrasi yang
berdinding tipis dan kuat. Mekanisme kerja hifa penetrasi dibantu oleh enzim
selulase untuk melunakkan dinding sel inang (Mendgen et al. 1996).
Penelitian Aisah (2014) menunjukkan bahwa, Botryodiplodia spp. dapat
menimbulkan gejala mati pucuk pada bibit jabon putih, baik tanpa maupun
dengan pelukaan batang. Gejala yang muncul pada bagian batang yang tidak
dilukai, menunjukkan bahwa, Botryodiplodia spp. dapat melakukan penetrasi
langsung pada jaringan inang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, Botryodiplodia
spp. dapat melakukan penetrasi secara pasif dan aktif. Fungi ini mempenetrasi
secara aktif menggunakan senjata biokimia seperti, enzim pektinase dan selulase.
Botryodiplodia spp. memiliki aktivitas pektinase yang lebih tinggi dibandingkan
dengan selulase, yang digunakan untuk mendegradasi pektin pada lamela tengah.
Mekanisme penetrasi secara aktif dilakukan melalui kekuatan mekanik atau
enzimatik. Menurut Mendgen et al. (1996), beberapa patogen tidak melakukan
diferensiasi apresorium, sehingga memerlukan enzim pendegradasi dinding sel
untuk mempenetrasi inang.

Resistensi Inang terhadap Serangan Patogen
Setiap tanaman memiliki mekanisme resistensi terhadap penyakit.
Menurut Agrios (1997), resistensi yang dimiliki oleh tanaman dibedakan menjadi
dua yaitu, resistensi struktural dan biokimia, baik sebelum dan sesudah serangan
patogen.
Resistensi Struktural Sebelum Serangan Patogen : Struktur Trikoma
Resistensi struktural sebelum serangan patogen adalah struktur permukaan
tanaman. Struktur tersebut meliputi, kualitas lilin dan kutikula yang menutupi sel
epidermis, ketebalan dan kekuatan dinding sel epidermis, ukuran stomata dan
lentisel, serta jaringan dinding sel yang tebal (Agrios 1997).
Trikoma merupakan rambut-rambut halus yang berada di permukaan
epidermis. Menurut Nugroho et al. (2006); Issaacson et al. (2009), struktur
trikoma berfungsi melindungi tanaman dari serangga pemangsa, spora jamur, dan
air hujan. Penelitian Faizah (2010) menunjukkan bahwa, kerapatan trikoma
merupakan mekanisme resistensi tanaman cabai terhadap begomovirus penyebab
penyakit keriting daun. Menurut Qazniewska et al. (2012), mekanisme trikoma
sebagai resistensi adalah dengan menangkap mikroorganisme, termasuk spora
fungi dan mencegah spora mencapai permukaan epidermis. Trikoma juga
berperan pada kelembapan di daerah epidermis, yang merupakan faktor penting
bagi perkembangan fungi. Spora fungi dibawa oleh angin dan menempel pada
ujung trikoma, ujung trikoma memiliki kelembapan yang sangat rendah,
sedangkan spora fungi membutuhkan air untuk berkembang.
Resistensi Struktural Sesudah Serangan Patogen : Resistensi Nekrotik
Resistensi struktural sesudah serangan patogen meliputi: resistensi
jaringan (pembentukan lapisan gabus, lapisan absisi, tilosa di dalam pembuluh
kayu, dan pengendapan getah), resistensi sel (pembengkakan, menebalnya

15

dinding sel, dan terdepositnya kalosa palipa pada bagian dalam dinding sel),
resistensi sitoplasma (sitoplasma menjadi granular dan keras), dan resistensi
nekrotik (patogen menyerang dan inti sel pecah) (Agrios 1997).
Menurut Agrios (1997), salah satu resistensi struktural sesudah serangan
patogen adalah resistensi nekrotik melalui reaksi hipersensitifitas. Mekanisme
resistensi nekrotik adalah sebagai berikut, patogen melakukan kontak dengan
protoplasma sel inang. Selanjutnya inti sel bergerak ke arah serangan patogen,
pecah, mengering, dan mengalami nekrosis. Berikut adalah kondisi mikroskopis
penampang batang bibit jambu monyet umur 2 bulan yang terserang L.
theobromae menggunakan scanning electron microscope, tersaji pada Gambar 5.

a

b

c

d

e

f

Gambar 5 Kondisi mikroskopis penampang batang bibit jambu monyet umur 2
bulan yang terserang L. theobromae : (a) kolonisasi hifa pada jaringan
parenkim; (b) xilem yang dikolonisasi oleh fungi; (c) hifa
mempenetrasi dinding sel; (d) sel parenkim penuh miselium; (e)
jaringan parenkim yang rusak; (f) sel yang terinfeksi patogen. Sumber:
Muniza et al. (2011).
Tanda panah menunjukkan jaringan yang terserang dan penyebaran
hifa.
Resistensi Biokimia Sebelum Serangan Patogen : Senyawa Metabolit
Sekunder
Menurut Agrios (1997) bahwa, resistensi biokimia sebelum serangan
patogen adalah terdapatnya zat inhibitor yang dilepaskan tumbuhan ke
lingkungannya, resistensi dengan tidak terdapatnya faktor-faktor esensial,
kekurangan reseptor dan bagian yang sensitif inang terhadap toksin, tidak
terdapatnya hara esensial bagi patogen, dan terdapatnya zat inhibitor dalam sel
tumbuhan sebelum infeksi seperti senyawa metabolit sekunder.
Metabolit sekunder merupakan senyawa metabolit non-esensial yang
berfungsi sebagai mekanisme resistensi diri terhadap kondisi lingkungan seperti,

16

resistensi dari serangan hama, penyakit, dan menarik polinator (Verpoorte dan
Alfermann 2000). Beberapa jenis senyawa metabolit sekunder adalah senyawa
alkaloid, fenol hidrokuinon, flavanoid, saponin, tanin, dan triterpenoid/steroid.
Alkaloid
Alkaloid merupakan senyawa nitrogen organik yang banyak ditemukan di
alam dan tersebar luas pada berbagai jenis tumbuhan (Tobing dan Rangke 1989).
Penelitian Harborne (1987) menunjukkan bahwa, alkaloid adalah substansi dasar
yang memiliki satu atau lebih atom nitrogen, bersifat basa, membentuk sistem
siklis berupa cincin heterosiklik, tidak berwarna, berbentuk kristal dengan titik
lebur tertentu, dan berbentuk amorf atau cairan pada suhu ruang. Alkaloid dapat
larut dalam air dan pelarut organik (Sirait 2007). Alkaloid bersifat racun pada
manusia, tetapi ada pula yang memiliki aktivitas fisiologis sehingga digunakan
dalam pengobatan (Harborne 1987).
Senyawa alkaloid dikelompokkan menjadi tiga, yaitu alkaloid,
protoalkaloid, dan pseudoalkaloid. Protoalkaloid merupakan senyawa sederhana
yang tidak memiliki cincin heterosiklik dan diperoleh dari biosintesis asam amino
yang bersifat basa. Pseudoalkaloid bukan merupakan senyawa turunan asam
amino dan senyawa ini bersifat basa (Sastrohamidjojo 1996).
Senyawa alkaloid berfungsi sebagai inhibitor enzim α-glukosidase
(Samson 2010), dalam bidang kesehatan seperti pemicu sistem saraf, menaikkan
tekanan darah, mengurangi rasa sakit, antimikroba, obat penenang, dan obat
penyakit jantung (Aksara et al. 2013), serta sebaga

Dokumen yang terkait

Pengaruh Jenis Media Tanam dan Dosis Pupuk NPK terhadap Pertumbuhan Bibit Jabon Putih (Anthocephalus cadamba Miq.)

5 106 65

Uji Patogenltas Gliocladium virens danTrichoderma spp Terhadap Penyebab Penyakit Antraknose Pada Cabe Merah (Gloesporium piperatum Ell.et Ev) Di Laboratorium

1 30 64

Pupuk Organik untuk Pertumbuhan Bibit Jabon (Anthocephalus cadamba miq.) dan Ketahanannya Terhadap Penyakit

0 6 27

Moduza procris Cramer (Lepidoptera: Nymphalidae) pada Daun Jabon Merah dan Putih (Anthocephalus spp.): Perkembangan dan Preferensi Makan

3 13 80

Uji Antagonis Trichoderma harzianum terhadap Botryodiplodia sp. Penyebab Penyakit Mati Pucuk pada Jabon (Anthocephalus cadamba) secara in Vitro

0 5 37

Bioaktivitas Ekstrak Mahoni dan Identifikasi Jenis Isolat Botryodiplodia sp. Penyebab Mati Pucuk pada Bibit Jabon

0 11 63

Keefektifan Kitosan Dalam Mengendalikan Botryodiplodia Theobromae Pat. Penyebab Mati Pucuk Pada Bibit Jabon (Anthocephalus Cadamba (Roxb) Miq)

2 8 43

Moduza procris Cramer (Lepidoptera Nymphalidae) pada Daun Jabon Merah dan Putih (Anthocephalus spp) Perkembangan dan Preferensi Makan

0 11 46

JENIS TANAMAN INANG DAN MASA INKUBASI PATOGEN BOTRYODIPLODIA THEOBROMAE PAT. PENYEBAB PENYAKIT KULIT DIPLODIA PADA JERUK ipi96793

0 1 9

PENGARUH PEMBERIAN PESTISIDA ORGANIK DAN INTERVAL PENYEMPROTAN TERHADAP SERANGAN HAMA PADA BIBIT TANAMAN JABON MERAH (ANTHOCEPHALUS MACROPHYLLUS) Influence of Organic Pesticides and Interval Spraying Against Pests on Red Jabon Seed (Anthocephalus macrophy

0 0 6