Biopelet dari Limbah Batang Sorgum (Sorghum bicolor L.)

(1)

BIOPELET DARI LIMBAH BATANG SORGUM (SORGHUM BICOLOR L.)

SYAHRUL ILMI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Biopelet dari Limbah Batang Sorgum (Sorghum bicolor L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015

Syahrul Ilmi


(4)

ABSTRAK

SYAHRUL ILMI. Biopelet dari Limbah Batang Sorgum (Sorghum bicolor L.). Dibimbing oleh NYOMAN JAYA WISTARA dan DJENI HENDRA.

Sorgum (Sorghum bicolor L.) merupakan tanaman serealia yang memiliki areal adaptasi yang luas dan memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan mutu fisik biopelet dari limbah batang sorgum yang difortifikasi dengan beragam kadar kulit mangiummangium dikombinasikan dengan beragam suhu peletisasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biopelet yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 0.81-5.37%, kerapatan sebesar 700-840 kg/m3, kadar zat terbang sebesar 70.44-75.85%, kadar abu sebesar 4.62-6.6%, ketahanan sebesar 83.09-92.1%, dan nilai kalor sebesar 3782-4730 Kkal/kg. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa kadar fortifikasi dengan kulit mangiummangium tidak berpengaruh nyata terhadap nilai kalor biopelet. Biopelet batang sorgum dengan mutu terbaik dapat dihasilkan dengan kadar fortifikasi kulit mangiummangium10% pada suhu peletisasi 150 ºC.

Kata kunci: biopelet, batang sorgum, kulit mangiummangium, mutu biopelet, suhu peletisasi

ABSTRACT

SYAHRUL ILMI. Biopellet from Sorghum Stalk Waste (Sorghum bicolor L.). Supervised by NYOMAN JAYA WISTARA and DJENI HENDRA.

Sorghum (Sorghum bicolor L.) is a potential cereal crop with a wide area of adaptation. The purpose of this study was to examine the physical quality of biopellet produced from the waste of sorghum stalk fortified with various percentage of the Acacia mangium bark combined with various pelletizing temperatures. The results showed that the moisture content, density, volatile matter, ash content, durabillity, and calorific value of the resulting biopellet were of 0.81-5.37%, 700-840 kg/m3, 70.44-75.85%, 4.62-6.6%, 83.09-92.1% and 3782-4730 Kcal/kg, respectively. The analysis of variance showed that fortification with the bark of acacia did not affect the calorific value of biopellet. The best quality of the sorghum stalk biopellet can be produced with 10% fortification at pelletizing temperature of 150 ºC.

Keywords: biopellet, sorghum stalk, acacia bark, biopellet quality, pelletizing temperature


(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Hasil Hutan

BIOPELET DARI LIMBAH BATANG SORGUM (SORGHUM BICOLOR L.)

SYAHRUL ILMI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015


(6)

(7)

Judul Skripsi : Biopelet dari Limbah Batang Sorgum (Sorghum bicolor L.) Nama : Syahrul Ilmi

NIM : E24100105

Disetujui oleh

Nyoman J. Wistara, Ph.D. Pembimbing I

Djeni Hendra, M.Si. Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Fauzi Febrianto, M.S. Ketua Departemen


(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2014 ini ialah Biopelet dari Limbah Batang Sorgum (Sorghum bicolor L.).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Nyoman Jaya Wistara, Ph.D. dan Djeni Hendra, M.Si. selaku pembimbing. Penulis mendedikasikan tulisan ini untuk ibu dan ayah tercinta yang berkat doa merekalah tulisan ini dapat terselesaikan. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang telah banyak ikut membantu dalam menyeleasaikan penelitian ini; Bapak Supriatin dan Pak Gunawan dari laboratorium KHH, Pak Ali, dan Pak Mahfudin dari Litbang Kehutanan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2015


(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

METODE 3

Proses Pembuatan Biopelet 3

Pengukuran Berat Jenis Bahan Baku Serbuk 3

Pengukuran Kadar Air 4

Pengukuran Kerapatan (Density) 4

Pengujian Ketahanan (Durability) 5

Pengujian Nilai Kalor (Heating Value) 5

Pengukuran Kadar Zat Terbang 5

Pengukuran Kadar Abu 5

Analisis Termogravimetri 6

Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Kadar Air 7

Kerapatan 8

Kadar Abu 9

Kadar Zat Terbang 11

Ketahanan 12

Nilai Kalor 13

Termogravimetric Analysis (TGA) dan Deferential Termal Analysis (DTA) 14

SIMPULAN DAN SARAN 17

Simpulan 17


(10)

DAFTAR PUSTAKA 18


(11)

DAFTAR TABEL

Hasil uji Duncan kadar air biopelet 7

Hasil uji Duncan kerapatan biopelet 9

Hasil uji Duncan kadar abu biopelet 10

Hasil uji Duncan kadar zat terbang biopelet 12

Analisis prokimat bahan baku biopelet 14

Karakteristik degradasi termal bahan baku 16

DAFTAR GAMBAR

Kadar air biopelet pada beragam tingkat fortifikasi. 7 Kerapatan biopelet pada beragam tingkat fortifikasi. 8 Kadar abu biopelet pada beragam tingkat fortifikasi. 10 Kadar zat terbang biopelet pada beragam tingkat fortifikasi. 11 Ketahanan biopelet pada beragam tingkat fortifikasi. 12

Nilai kalor biopelet pada suhu kempa 180 ºC 13

Hasil analisisis TGA dan DTA serbuk batang sorgum 15 Hasil analisis TGA dan DTA serbuk kulit mangium 15 Hasil analisis TGA dan DTA campuran serbuk batang sorgum dan


(12)

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sumber energi di Indonesia saat ini masih bergantung pada bahan bakar fosil. Sementara persediaan sumber daya fosil semakin terbatas dan tidak terbarukan. Oleh karena itu, untuk menciptakan ketahanan energi inovasi bahan energi berbasis non-fosil yang bersifat terbarukan perlu dikembangkan. Bahan utama yang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti fosil antara lain limbah pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Bahan-bahan tersebut berpotensi sebagai sumber energi melalui proses konversi, baik secara fisik, kimiawi maupun biologis (Hermiati et al. 2010).

Sorgum (Sorghum bicolor L.) merupakan salah satu tumbuhan serealia penghasil biomassa. Sorgum memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan tanaman penghasil biomassa lainnya. Tanaman ini mampu bertahan pada kondisi tanah yang kering maupun tergenang air serta mampu berproduksi pada tanah yang miskin unsur hara. Oleh karena itu, sorgum memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan di Indonesia (Sirappa 2003). Total luas panen sorgum di Indonesia yang telah divalidasi pada tahun 2012-2013 adalah seluas 26.306 Ha yang tersebar pada sembilan provinsi. Provinsi-provinsi tersebut adalah Nusa Tenggara Timur sebesar 58.3%, Sulawesi Tenggara sebesar 15.2%, Sulawesi Selatan sebesar 12.9%, Jawa Timur sebesar 8.4%, dan diikuti oleh provinsi lainnya sebesar kurang dari 4% (Subagio dan Suryawati 2014). Limbah batang dan daun sorgum di Indonesia biasanya digunakan sebagai pakan ternak (Purnomohadi 2006). Maka dari itu, optimasi pemanfaatan limbah sorgum perlu dilakukan.

Biopelet merupakan salah satu sumber energi alternatif bahan bakar minyak berbasis limbah biomassa yang dihaluskan dan dipadatkan dengan cara dikempa pada suhu dan tekanan yang tinggi. Proses pembuatan biopelet umumnya dimulai dengan pengeringan bahan baku sampai kadar air yang diinginkan. Kemudian bahan baku dicacah, digiling, selanjutnya dicetak menjadi biopelet. Faktor utama yang memengaruhi kekuatan dan ketahanan dari pelet adalah bahan baku, kadar air, ukuran partikel, kondisi pengempaan, penambahan perekat, pencampuran dengan biomasa lain, alat densifilasi, dan perlakuan setelah proses produksi (Lehmann et al. 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Theerarattananoon et al. (2011) menunjukkan bahwa kadar air optimum pada limbah batang sorgum untuk dijadikan pelet adalah sebesar 14-16%. Pada rentang kadar air tersebut, biopelet memiliki ketahanan tertinggi yaitu sebesar 89.5%. Kenaikan kadar air sampai tingkat tertentu dalam suatu bahan biopelet dapat memperkuat ikatan antar partikel di dalam biopelet melalui daya ikat molekul air (Fasina 2008). Selain kadar air, kadar abu, dan karbon terikat juga memengaruhi mutu biopelet. Gracia

et al. (2014) menyatakan bahwa tingginya kadar abu pada suatu bahan akan

menurunkan nilai kalor dari bahan tersebut. Sedangkan karbon terikat yang tinggi pada suatu bahan akan meningkatkan nilai kalor bahan tersebut (Liu et al. 2014). Kandungan kimia pada suatu bahan juga akan memengaruhi nilai kalor dari suatu bahan. Lignin dan zat ekstraktif memiliki korelasi yang sangat tinggi terhadap


(14)

2

nilai kalor. Lignin dapat memengaruhi nilai kalor sampai 56.4% sedangkan zat ekstraktif sebesar 43.6% (Telmo dan Lousada 2011).

Lignin merupakan bahan yang bersifat termoplastik. Karena sifatnya tersebut, lignin dapat menjadi perekat alami dalam pembuatan biopelet. Temperatur peletisasi memiliki peran yang penting dalam peningkatan kerapatan biopelet. Lignin akan menghasilkan ikatan inter-partikel karena perlakuan temperatur yang tinggi pada peletisasi sehingga kerapatan biopelet meningkat (Biswas et al. 2014). Pelunakan lignin pada biomassa akan menghasilkan

mechanical interlocking dan inter-diffusion (Poddar et al. 2014). Kaliyan dan

Morey (2009a) menyatakan bahwa suhu transisi lignin untuk melunak adalah sekitar 81.7 ºC. Penelitian yang dilakukan Xiao et al. (2013) menyatakan bahwa lignin pada sorgum memiliki titik pelunakan pada temperatur 112 ºC. Oleh karena itu, pembuatan biopelet pada penelitian ini akan menggunakan suhu pengempaan di atas 112 ºC. Suhu pengempaan yang diberikan di atas suhu transisi lignin diharapkan dapat menjadikan lignin semakin terdistribusi secara merata.Batang sorgum memiliki kandungan lignin klason sebesar 16.6% dan zat ekstraktif sebesar 6.8% (Yu et al. 2012). Penelitian kali ini akan menggunakan lignin pada batang sorgum sebagai bahan utama perekat alami biopelet.

Umam (2007) menyatakan bahwa penambahan limbah gliserol pada biopelet bungkil picung memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kalornya. Bungkil picung yang digunakan memiliki nilai kalor sebesar 4473 kkal/kg sedangkan limbah gliserol memilki nilai kalor sebesar 8711 kkal/kg. Penambahan limbah gliserol pada biopelet memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kalornya dengan tingkat signifikasi sebesar 86.11%. Stahl dan Barghel (2011) menyatakan dalam penelitianya bahwa kerapatan biopelet berbahan serbuk gergaji menurun seiring dengan penambahan ampas minyak lobak. Hal ini diduga karena ampas minyak lobak memiliki kerapatan yang lebih rendah dari serbuk gergaji yang digunakan.

Pohon mangium (Acacia mangium) termasuk jenis legum yang cepat tumbuh, tidak memiliki persyaratan tumbuh yang tinggi, dan tidak banyak terpengaruh oleh jenis tanahnya. Karena faktor-faktor tersebutlah pohon mangium ini banyak dikembangkan. Sampai saat ini pemanfaatan pohon mangium masih terbatas pada kayunya, antara lain untuk arang, kayu pancang, dan bahan baku pulp serta kertas. Kulitnya biasanya ditinggalkan di hutan atau di sekitar pabrik sebagai limbah (Santoso 2005). Kulit mangium memiliki kandungan lignin sebesar 25.03% (Wina et al. 2001) dan ekstraktif berkisar antara 14-18% (Lukmandaru 2012). Penambahan kulit mangium ini diharapkan dapat meningkatkan nilai kalor dan kerapatan. Lignin yang terkandung dalam kulit mangium diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap proses perekatan biopelet sehingga akan meningkatkan kekuatan biopelet. Kandungan zat ekstraktif pada kulit mangium yang lebih besar dibandingkan dengan batang sorgum diprediksi akan memberikan peningkatan terhadap nilai kalor biopelet. Maka dari itu, pembuatan biopelet pada penelitian ini akan menggunakan kulit mangium sebagai bahan fortifikasi.


(15)

3 Perumusan Masalah

Limbah yang dihasilkan oleh tanaman sorgum berupa batang dan daun dapat mencapai 85% dan masih belum dimanfaatkan secara optimal. Limbah tanaman sorgum ini biasanya hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Sementara itu, konversi bahan bakar fosil ke bahan bakar terbarukan semakin dibutuhkan mengingat ketersediannya yang sudah semakin berkurang. Tanaman sorgum merupakan tanaman yang banyak menghasilkan biomassa yang dapat dimanfaatkan menjadi energi. Tanaman ini dapat menjadi bahan baku energi terbarukan yang potensial karena ketersediannya yang melimpah, cepat tumbuh, dan murah. Pemanfaatan kulit mangium sebagai bahan fortifikasi diharapkan dapat meningkatkan nilai kalor pada biopelet.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan mutu serta menganalisis sifat termal biopelet limbah batang sorgum yang difortifikasi dengan kulit mangium dan dipeletisasi pada beragam tingkat suhu pengempaan .

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan biopelet sebagai bahan bakar alternatif yang murah dan sesuai dengan standar DIN EN 14961-2.

METODE

Proses Pembuatan Biopelet

Proses pembuatan pelet dari limbah batang sorgum dilakukan dengan menggunakan pellet mill. Dalam proses pembuatannya batang sorgum dicacah, dikeringkan, dan digiling dengan disc mill, kemudian disaring untuk mendapatkan ukuran serbuk 20-40 mesh. Serbuk kemudian dicetak menjadi pelet. Pembuatan pelet dilakukan pada suhu kempa 120, 150, dan 180ºC, mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Lee et al. (2013). Pengempaan dilakukan pada tekanan 1500 psi/40 lubang cetak biopelet. Pelet limbah batang sorgum dalam penelitian ini difortifikasi dengan serbuk kulit mangium berukuran 20-40 mesh pada kadar 0, 10, 20, dan 30% mengacu pada penelitian Stahl dan Barghel (2011).

Pengukuran Berat Jenis Bahan Baku Serbuk

Berat jenis bahan baku serbuk adalah nisbah antara berat kering tanur (BKT) estimate serbuk dengan volumenya. Penentuan BKT estimete diperkirakan dari kadar air bahan baku serbuk menggunakan rumus:

BKT estimate =


(16)

4

Keterangan : BB = Berat basah serbuk (g) KA = Kadar air serbuk (%)

Penentuan volume serbuk dilakukan dengan menimbang bahan baku serbuk ± 2 gram (BB) kemudian dimasukkan ke dalam picnometer. Serbuk tersebut kemudian direndam dengan air dalam picnometer selama 24-48 jam. Setelah itu,

picnometer diisi air sampai tanda tera kemudian ditimbang (PSA (g)). Setelah

ditimbang, picnometer dibersihkan kembali dari air dan serbuk. Kemudian

picnometer, diisi kembali dengan air sampai tanda tera lalu di timbang (PA (g)).

Volume serbuk dihitung menggunakan rumus berikut: Volume Serbuk = (PA – P) – (PSA – BB – P) Keterangan : P = Berat picnometer kosong (g)

BB = Berat serbuk sebelum dimasukkan picnometer (g) PA = Berat picnometer dan air (g)

PSA = Berat picnometer, serbuk dan air (g)

Setelah BKT estimate dan volume serbuk kayu diketahui, berat jenis bahan baku serbuk dapat dihitung menggunakan rumus:

Berat jenis serbuk = t at

Pengukuran Kadar Air

Penentuan kadar air dilakukan dengan memasukan satu gram sampel ke dalam cawan porselin. Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105-110 ºC selama 3 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 1 jam dan ditimbang. Kadar air dihitung dengan menggunakan persamaan:

-

Keterangan: KA = Kadar Air (%)

X1 = Bobot awal (g) X2 = Bobot akhir (g)

Berdasarkan standar DIN EN 14961-2 kadar air biopelet harus di bawah 10%.

Pengukuran Kerapatan (Density)

Kerapatan suatu bahan adalah jumlah massa suatu bahan setiap satuan volumenya. Massa dari biopelet ditimbang dengan menggunakan timbangan elektrik sedangkan volumenya diukur menggunakan jangka sorong. Kerapatan biopelet dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut:


(17)

5

Berdasarkan standar DIN EN 14961-2 kerapatan biopelet harus di atas 1000 kg/m3.

Pengujian Ketahanan (Durability)

Ketahanan biopelet diuji dengan memasukan ± 100 gram pelet ke dalam boks berputar dengan kecepatan 50 rpm selama 10 menit. Setelah itu pelet disaring dengan saringan 2 mm. Pengukuran ketahanan pelet dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Ketahanan (%) =

Keterangan: a = Rata-rata berat yang tidak lolos saringan 2 mm dari tiga kali ulangan

b = Rata-rata berat sebelum diuji dari tiga kali ulangan

Berdasarkan standar DIN EN 14961-2 ketahanan biopelet harus di atas 96.5%.

Pengujian Nilai Kalor (Heating Value)

Nilai kalor dihitung berdasarkan banyaknya kalor yang dilepaskan sama dengan kalor yang akan diserap oleh air dalam alat bom kalorimeter dan dinyatakan dalam kilo kalori per kilogram. Nilai kalor dihitung dengan rumus:

Nilai kalor (kkal/kg) = - – B

Keterangan : W = Nilai air dari alat bom kalorimeter t1 = Suhu mula-mula (ºC)

t2 = Suhu setelah pembakaran (ºC)

A = Bobot contoh (gram)

B = Koreksi panas pada kawat besi (kkal/kg)

Berdasarkan standar DIN EN 14961-2 nilai kalor biopelet sebesar 3821.5-4538 Kkal/kg.

Pengukuran Kadar Zat Terbang

Kadar zat terbang diperoleh dengan mengoven sampel pada suhu 950 °C ± 20 °C selama 7 menit. Pengukuran kadar zat terbang dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

Kadar Zat Terbang = Pengukuran Kadar Abu

Kadar abu adalah persentase berat abu dalam bobot sampel kering biopelet dinyatakan dalam persen. Berat abu didapatkan dengan mengoven sampel biopelet


(18)

6

dengan suhu 700 °C selama sekitar 4 jam. Pengukuran kadar abu dilakukan dengan menggunakan rumus:

Kadar Abu (%) =

x 100%

Berdasarkan standar DIN EN 14961-2 kadar abu dari biopelet kurang dari 3%.

Analisis Termogravimetri

Analisis menggunakan Termogravimetri adalah teknik yang digunakan untuk menganalisa peristiwa termal yang dinyatakan dengan perubahan berat dari suatu senyawa sebagai fungsi dari suhu ataupun waktu. Pengujian TGA

non-isothermal menggunakan alat Exstar TGDTA 7300 Analyser buatan Jepang.

Sampel yang digunakan adalah sebanyak 3-5 gram. Analisis dilakukan dengan

heating rate 10 ºC per menit dan pada rentang suhu50-1000 ºC.

Analisis Data

Pengolahan data dilakukan menggunakan Microsoft Excel 2010 dan SAS

9.1.3. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan faktorial acak

lengkap dua faktor dengan menggunakan tiga ulangan. Faktor-faktor yang dianalisis yaitu:

1. Faktor suhu kempa dengan tiga taraf perlakuan yaitu 120, 150, dan 180 ºC. 2. Faktor fortifikasi oleh kulit mangium dengan empat taraf yaitu 0%, 10%,

20%, dan 30%.

Model linier dari rancangan penelitian ini adalah: Yij = µ + αi βj αβ ij + ∑ij; i = 1,2,3

j = 1,2,3,4

yang mana:

Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan suhu kempa ke-i (120, 150,

dan 180 ºC) dan fortifikasi kulit mangium ke-j (0%, 10%, 20%, dan 30%)

µ = Rataan nilai pengamatan αi = Pengaruh suhu ke-i

βj = Pengaruh suhu ke-j

αβ ij = Pengaruh interaksi pengaruh suhu ke-i dan fortifikasi kulit

mangium ke-j

∑ij = Pengaruh galat percobaan pada suhu ke-i dan fortifikasi kulit


(19)

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Air

Kadar air adalah nisbah antara kandungan air dalam biopelet dengan berat kering tanurnya. Kadar air biopelet yang diperoleh disajikan pada Gambar 1. Kadar air biopelet dalam penelitian ini berkisar antara 0.81-5.37%. Kadar air yang diperoleh dari semua sempel uji telah memenuhi standar DIN EN 14961-2 yaitu dibawah 10%. Berdasarkan analisis ragam yang dilakukan, perlakuan suhu kempa dan penambahan kulit mangium sebagai bahan fortifikasi memberikan pengaruh yang sangat nyata pada kadar air pelet α . . Adapun interaksi dari kedua perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Gambar 1 Kadar air biopelet pada beragam tingkat fortifikasi. ( ) suhu 120 ºC, ( ) suhu 150 ºC, dan ( ) suhu 180 ºC.

Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan suhu 150 ºC memiliki pengaruh yang tidak berbeda dengan suhu 180 ºC, namun berbeda terhadap perlakuan suhu kempa 120 ºC. Fortifikasi kulit mangium 20% dan 30% tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar air, namun fortifikasi 0% dan 10% berpengaruh nyata.

Tabel 1 Hasil uji Duncan kadar air biopelet

Perlakuan Nilai rata-rata

Suhu (ºC)

120 4.5150A

150 1.7075B

180 1.8500B

Kadar kulit (%)

30 3.3111A

20 3.3444A

10 2.1744B

0 1.9333B

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00

0 10 20 30

Ka

da

r

Air (

%

)


(20)

8

Kadar air pada biopelet menurun bersamaan dengan meningkatnya suhu kempa. Namun, perlakuan fortifikasi yang semakin tinggi justru diikuti dengan peningkatan kadar air. Hal ini dikarenakan bahan baku kulit mangium yang digunakan memiliki kadar air yang lebih tinggi dibandingkan batang sorgum. Pengujian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa serbuk batang sorgum memiliki kadar air sebesar 10.13% sedangkan serbuk batang kulit mangium sebesar 15.67%. Hasil ini sesuai dengan penelitian Kaliyan dan Morey (2009a) yang menunjukkan bahwa kadar air biopelet dipengaruhi oleh kadar air bahan bakunya dan semakin tinggi suhu kempa akan menghasilkan kadar air yang semakin rendah.

Kerapatan

Kerapatan yang dimiliki dari biopelet yang dihasilkan adalah berkisar antara 700-840 kg/m3. Kerapatan biopelet yang diperoleh disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan analisis ragam yang telah dilakukan, perlakuan fortifikasi dan suhu kempa memberikan pengaruh yang nyata terhadap kerapatan biopelet. Namun, interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan kerapatan biopelet. Semua kerapatan sampel biopelet yang dihasilkan pada penelitian ini belum memenuhi standar DIN EN 14961-2 yaitu 1000 kg/m3.

Gambar 2 Kerapatan biopelet pada beragam tingkat fortifikasi. ( ) suhu 120 ºC, ( ) suhu 150 ºC, dan ( ) suhu 180 ºC.

Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan suhu kempa 180 ºC dan 150 ºC tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap kerapatan biopelet. Namun, kedua perlakuan tersebut memiliki respon yang berbeda nyata terhadap perlakuan suhu kempa 120 ºC. Perlakuan fortifikasi 30, 20, dan 10% tidak memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kerapatan biopelet. Begitupun perlakuan fortifikasi 20, 10, dan 0% tidak memiliki pengaruh yang berbeda nyata. Namun, perlakuan fortifikasi 30% dengan 0% memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kerapatan biopelet.

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00

0 10 20 30

Ke ra pa tan (g /cm 3)


(21)

9 Tabel 2 Hasil uji Duncan kerapatan biopelet

Perlakuan Nilai rata-rata

Suhu (°C)

180 0.82083A

150 0.79417A

120 0.72583B

Kadar kulit (%)

30 0.80667A

20 0.79556AB

10 0.76778AB

0 0.75111B

Perlakuan fortifikasi memberikan korelasi yang positif terhadap nilai kerapatan biopelet. Hal ini diduga karena perbedaan kerapatan antara serbuk kulit mangium dengan serbuk batang sorgum sebagai bahan baku biopelet. Kerapatan biopelet dari serbuk gergaji dapat menurun seiring dengan penambahan ampas minyak lobak karena bahan adisi tersebut memiliki kerapatan yang lebih rendah (Stahl dan Barghel 2011). Serbuk kulit mangium memiliki kerapatan yang lebih tinggi dari kerapatan batang sorgum. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, serbuk kulit mangium memiliki kerapatan 830 kg/m3 sedangkan serbuk batang sorgum memiliki kerapatan sebesar 670 kg/m3. Hal inilah yang menyebabkan kerapatan biopelet meningkat bersamaan dengan meningkatnya fortifikasi kulit mangium.

Perlakuan suhu kempa berpengaruh terhadap kerapatan biopelet. Hal ini karena lignin merupakan bahan yang bersifat termoplastik. Temperatur peletisasi memiliki peran yang penting dalam peningkatan kerapatan biopelet. Temperatur yang diberikan di atas titik pelunakan lignin (112 ºC) pada batang sorgum (Xiao et al. 2013) memungkinkan lignin lebih mudah terdistribusi secara merata. Pada kondisi demikian, lignin akan membentuk ikatan inter-partikel sehingga kerapatan biopelet akan meningkat (Biswas et al. 2014).

Kadar Abu

Nilai kadar abu biopelet hasil penelitian ini berkisar antara 4.62-6.6%. Kadar abu biopelet yang diperoleh disajikan pada Gambar 3. Kadar abu yang diperoleh oleh bahan baku serbuk batang sorgum dan serbuk kulit mangium masing-masing adalah 5.08% dan 1.07%. Perlakuan suhu kempa dan fortifikasi biopelet memberi pengaruh yang nyata terhadap nilai kadar abu biopelet. Adapun interaksi antara kedua perlakuan tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata. Namun, nilai kadar abu dari semua biopelet belum memenuhi standar DIN EN 14961-2. Standar DIN EN 14961-2 mensyaratkan kadar abu yang diterima haruslah di bawah 3%. Komponen utama abu adalah kalium, kalsium, magnesium, dan silika (Fengel dan Wegener 1989).


(22)

10

Gambar 3 Kadar abu biopelet pada beragam tingkat fortifikasi. ( ) suhu 120 ºC, ( ) suhu 150 ºC, dan ( ) suhu 180 ºC.

Penurunan kadar abu dan kadar air mengisyaratkan bahwa efisiensi termal yang tinggi dapat dicapai selama pembakaran biopelet (Liu et al. 2014). Poddar et al. (2014) juga menyatakan bahwa kadar abu yang tinggi dapat menyebabkan kerak pada boiler yang menjadikannya mudah korosi. Peningkatan jumlah fortifikasi pada biopelet menurunkan kadar abu biopelet. Hal ini dikarenakan kadar abu pada kulit mangium lebih rendah dibandingkan dengan kadar abu batang sorgum. Pengujian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kadar abu kulit mangium sebesar 1.07% dan batang sorgum sebesar 5.08%.

Tabel 3 Hasil uji Duncan kadar abu biopelet Perlakuan

Nilai rata-rata

Suhu (°C) 180 5.8925

A

150 5.6742AB

120 5.4917B

Kadar kulit (%)

0 6.3111A

10

6.0600A

20 5.4056B

30 4.9678C

Perlakuan suhu kempa berpengaruh nyata terhadap nilai kadar abu. Semakin tinggi suhu kempa nilai kadar abu yang diperoleh semakin tinggi pula. Hal ini diduga karena semakin tinggi suhu pengempaan berat kering tanur biopelet akan semakin rendah sehingga nisbah antara berat abu dengan berat kering tanurnya akan semakin besar. Jeguirim et al. (2010) menyatakan bahwa pada awal tahap pembakaran kehilangan berat terjadi karena menguapnya zat-zat bermolekul rendah. Peristiwa inilah yang menyebabkan berat kering tanur biopelet semakin

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00

0 10 20 30

Ka da r abu (% )


(23)

11 rendah seiring dengan peningkatan suhu kempanya. Adapun berat abu biopelet tidak berpengaruh terhadap suhu kempa yang diberikan karena abu merupakan komponen yang tidak dapat terdekomposisi oleh panas. Nilai kadar abu pada semua biopelet yang dihasilkan tidak ada yang memenuhi standar DIN EN 14961-2.

Kadar Zat Terbang

Kadar zat terbang yang dimiliki oleh biopelet yang dihasilkan berkisar antara 70.44-75.85%. Kadar zat terbang biopelet yang diperoleh disajikan pada Gambar 4. Kadar zat terbang yang diperoleh dari bahan baku serbuk sorgum dan serbuk kulit mangium adalah 77.44% dan 67.59%. Perlakuan suhu kempa dan fortifikasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar zat terbang biopelet yang dihasilkan. Namun, interaksi antara kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata pada kadar zat terbang biopelet. Bahan bakar yang berasal dari biomassa memiliki kadar zat terbang yang tinggi yang besarnya bervariasi antara 76-86% (Telmo et al. 2010). Demirbas (2004) menjelaskan bahwa zat terbang terbagi lagi ke dalam gas-gas seperti karbon monoksida, karbon dioksida, hidrogen, dan air. Zat terbang akan memengaruhi proses dekomposisi termal. Semakin tinggi kadar zat tebang maka akan semakin mudah tahap penyalaan bahan bakar pada temperatur yang rendah (Gracia et al. 2014).

Gambar 4 Kadar zat terbang biopelet pada beragam tingkat fortifikasi. ( ) suhu 120 ºC, ( ) suhu 150 ºC, dan ( ) suhu 180 ºC.

Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan suhu 150 ºC dan 180 ºC tidak memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar zat terbang biopelet. Namun kedua perlakuan tersebut memiliki pengaruh yang berbeda pada perlakuan suhu 120 ºC. Perlakuan fortifikasi 0, 10, 20, dan 30% masing-masing memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar zat terbang biopelet. Peningkatan kadar kulit mangium pada biopelet diikuti dengan penurunan kadar zat terbangnya. Hal ini dikarenakan kadar zat terbang kulit mangium yang lebih rendah dibandingkan dengan batang sorgum.

67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77

0 10 20 30

Z at ter ba ng (% )


(24)

12

Tabel 4 Hasil uji Duncan kadar zat terbang biopelet

Perlakuan Nilai rata-rata

Suhu (°C)

120 74.3425A

150 72.9292B

180 72.6058B

Kadar kulit (%)

0 74.9567A

10 73.7533B

20 72.8333C

30 71.6267D

Ketahanan

Biopelet yang dihasilkan memiliki ketahanan berkisar antara 83.09-92.1%. Ketahanan biopelet yang diperoleh disajikan pada Gambar 5. Perlakuan suhu kempa dan fortifikasi dengan kulit mangium tidak ada yang memberikan pengaruh yang nyata pada ketahanan biopelet. Ketahan biopelet yang diperoleh oleh semua sampel relatif seragam. Ketahan tertinggi dimiliki oleh biopelet dengan perlakuan suhu 180 ºC dan fortifikasi 0% sedangkan ketahanan yang terendah dimiliki oleh biopelet dengan perlakuan suhu 120 ºC dan fortifikasi kulit mangium 30%.

Gambar 5 Ketahanan biopelet pada beragam tingkat fortifikasi. ( ) suhu 120 ºC, ( ) suhu 150 ºC, dan ( ) suhu 180 ºC.

Kaliyan dan Morey (2009b) mengatakan beberapa studi telah menunjukkan bahwa kekuatan dan ketahanan biopelet meningkat seiring dengan meningkatnya kadar air sampai kadar tertentu. Kadar air bahan baku pada serbuk batang sorgum dan serbuk kulit mangium masing-masing adalah 10.13% dan 15.67%. Penelititan yang dilakukan oleh Theerarattananoon et al. (2011) menunjukkan bahwa kadar air optimum pada limbah batang sorgum untuk dijadikan pelet adalah sebesar 14-16%. Ikatan antar partikel di dalam biopelet akan diperkuat dengan keberadaan air dalam bahan baku sehingga ketahanan biopelet dapat meningkat (Fasina 2008).

0 20 40 60 80 100 120

0 10 20 30

Ke

taha

na

n

(%

)


(25)

13 Kaliyan dan Morey (2009a) menyatakan bahwa air dapat memperkuat gaya van

der walls dengan cara meningkatkan bidang kontak antara partikel. Biopelet yang

dihasilkan tidak ada yang memenuhi standar DIN EN 14961-2 yaitu di atas 96.5%. Nilai Kalor

Nilai kalor yang diperoleh dari perlakuan penambahan kulit kayu mangium berkisar antara 3782-4730 kkal/kg. Nilai kalor biopelet yang diperoleh disajikan pada Gambar 6. Nilai kalor sampel yang diukur adalah pada sampel dengan suhu kempa 180 ºC karena memiliki kadar air yang paling rendah. Hal ini dilakukan untuk dapat mengetahui pengaruh fortifikasi kulit mangium terhadap nilai kalor. Nilai kalor terbesar diperoleh pada perlakuan fortifikasi kulit kayu mangium pada taraf 30%. Sedangkan nilai kalor yang terendah diperoleh pada pelet sorgum yang tidak diberikan fortifikasi kulit kayu mangium. Namun, perlakuan fortifikasi pada biopelet sorgum tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kalor biopelet berdasarkan analisis ragam yang telah dilakukan.

Menurut Telmo dan Lousada (2011) nilai kalor memiliki korelasi yang sangat tinggi dengan keberadaan lignin klason dan zat ekstraktif. Namun, keberadaan lignin klason lebih tinggi proporsinya dalam mempengaruhi nilai kalor dibandingkan dengan zat ekstraktif. Hal ini dikarenakan lignin memiliki lebih banyak kandungan karbon dan hidrogen yang merupakan elemen utama penghasil panas. Kandungan lignin pada batang sorgum adalah sebesar 16.6% sedangkan zat ekstraktifnya sebesar 6.8% (Yu et al. 2012). Adapun kandungan lignin kulit mangium adalah sebesar 25.03% (Wina et al. 2001) dan zat ekstraktifnya berkisar antara 14-18% (Lukmandaru 2012).

Gambar 6 Nilai kalor biopelet pada suhu kempa 180 ºC

Penambahan kadar fortifikasi kulit mangium pada biopelet diikuti dengan penigkatan nilai kalornya. Namun, Perlakuan fortifikasi tidak memberikan pengaruh yang nyata pada nilai kalor biopelet secara statistik. Umam (2007) menyatakan bahwa nilai kalor suatu bahan dapat ditingkatkan dengan menambahkan bahan lain yang memilki nilai kalor yang lebih tinggi. Hasil analisis proksimat pada kedua bahan baku dapat dilihat di tabel 5.

0.00 1000.00 2000.00 3000.00 4000.00 5000.00 6000.00

0 10 20 30

Nilai ka

lor (

Kka

l/

kg

)


(26)

14

Tabel 5 Analisis prokimat bahan baku biopelet

Kadar air (%)

Kadar abu (%)

Kadar zat terbang (%)

Karbon terikat (%)

Batang sorgum 10.13 5.08 77.44 17.48

Kulit mangium 15.67 1.07 67.59 31.34

Hasil analisis proksimat menunjukkan kadar abu kulit mangium lebih rendah dari kadar abu batang sorgum. Gracia et al. (2014) menyatakan bahwa nilai kalor biopelet berbanding terbalik dengan nilai kadar abunya. Karbon terikat merupakan proporsi karbon yang dapat terbakar setelah semua kadar zat tebang menguap dari biopelet. Liu et al. (2014) menyatakan tingginya karbon terikat akan meningkatkan nilai kalor pada suatu bahan. Karbon terikat pada kulit mangium memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan batang sorgum. Nilai kalor kulit mangium diprediksi lebih tinggi dibandingkan dengan batang sorgum berdasarkan analisis proksimat yang telah dilakukan. Perlakuan fortifikasi kulit mangium meningkatkan nilai kalor pada biopelet diduga karena kandungan lignin pada kulit mangium lebih tinggi dibandingkan dengan batang sorgum. Namun, peningkatannya sangat kecil sehingga tidak memberikan pengaruh yang nyata.

Nilai kalor yang dihasilkan dari semua perlakuan fortifikasi kulit aksia yang telah memenuhi standar DIN EN 14961-2 adalah pada taraf 10, 20, dan 30%. Nilai kalor yang dikehendaki standar DIN EN 14961-2 adalah berkisar 3821.5-4538 Kkal/kg.

Termogravimetric Analysis (TGA) dan Deferential Termal Analysis (DTA) Analisis termogravimetri adalah teknik untuk mengukur perubahan berat dari suatu senyawa sebagai fungsi dari suhu ataupun waktu. Sedangkan analisis deferensial termal adalah teknik untuk mengukur perbedaan suhu antara sampel dengan material referen yang inert. Suhu pada sampel dan material pembanding pada awalnya sama hingga terjadi pelelehan ataupun degradasi. Sampel yang dianalisis adalah bahan baku biopelet yang berupa serbuk batang sorgum, serbuk kulit mangium dan campuran serbuk batang sorgum dan serbuk kulit mangium dengan rasio 7 : 3.

Hasil analisis termogravimetri pada serbuk batang sorgum dapat dilihat pada Gambar 7. Grafik TGA menunjukkan bahwa serbuk batang sorgum terdegradasi sebanyak 62.2% pada rentang suhu antara 50-338 ºC. Serbuk batang sorgum kemudian terdegrasi kembali sebanyak 27.4% pada rentang suhu 350-465 ºC. Penurunan berat sampel setelah di atas 465 ºC berlangsung secara konstan.


(27)

15

Gambar 7 Hasil analisisis TGA dan DTA serbuk batang sorgum

Hasil analisis termogravimetri serbuk kulit mangium dapat dilihat pada Gambar 8. Grafik TGA menunjukkan bahwa sampel terdegradasi sebanyak 51.48% pada rentang suhu 50-330 ºC. Degradasi pada sampel terjadi kembali pada rentang suhu 350-470 ºC sebanyak 32.14%. peningkatan suhu di atas 470 ºC tidak menunjukkan adanya degradasi pada sampel.

Gambar 8 Hasil analisis TGA dan DTA serbuk kulit mangium

Hasil analisis termogravimetri campuran serbuk batang sorgum dan serbuk kulit mangium dapat dilihat pada Gambar 9. Grafik TGA menunjukkan bahwa serbuk kulit mangium terdegradasi sebanyak 43.43% pada rentang suhu antara 50-363 ºC. Serbuk kulit mangium kemudian terdegrasi kembali sebanyak 28.27% pada rentang suhu 390-460 ºC. Penurunan berat sampel setelah di atas 460 ºC tidak terjadi. Temp Cel 900.0 800.0 700.0 600.0 500.0 400.0 300.0 200.0 100.0 20.00 10.00 0.00 -10.00 -20.00 -30.00 TG % 0.0 -10.0 -20.0 -30.0 -40.0 -50.0 -60.0 -70.0 -80.0 -90.0 -100.0 308.7Cel 7.51uV/mg 436.9Cel 9.75uV/mg 62.2% 27.4% 950.5Cel -95.2% Temp Cel 900.0 800.0 700.0 600.0 500.0 400.0 300.0 200.0 100.0 15.00 10.00 5.00 0.00 -5.00 -10.00 -15.00 -20.00 -25.00 -30.00 TG % 0.00 -10.00 -20.00 -30.00 -40.00 -50.00 -60.00 -70.00 -80.00 -90.00 308.5Cel 8.63uV/mg 450.8Cel 11.93uV/mg 948.5Cel -91.79% 51.48% 32.14%


(28)

16

Gambar 9 Hasil analisis TGA dan DTA campuran serbuk batang sorgum dan serbuk kulit mangium

Jeguirim et al. (2010) mengatakan bahwa kehilangan berat biomassa pada saat pembakaran terbagi menjadi tiga tahapan. Tahap pertama adalah tahap penguapan air dan devolatilisasi zat-zat bermolekul rendah. Tahap kedua adalah tahap degradasi yang terjadi terutama pada hemiselulosa dan selulosa. Tahap terakhir adalah tahap pembakaran komponen-komponen sisa pada biomassa. Tahap ketiga ini dibagi lagi menjadi dua tahapan. Pertama adalah tahapan pembakaran bahan sisa yang dapat terbakar seperti lignin. Kemudian, tahap selanjutnya adalah tahap oksidasi dari bahan-bahan yang tidak dapat terbakar. Karakteristik degradasi termal pada ketiga bahan yang diuji dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Karakteristik degradasi termal bahan baku Devolatilisasi Pembakaran

Oksidasi dari fraksi abu

Batang sorgum

Rentang suhu (ºC ) 193.8-362.42 362.42-471.82 >471.82 Kehilangan berat (%) 8.62-67.89 67.89-95.88 >95.88

Suhu maksimum (ºC ) 307.82 436.2 -

Kulit aksia

Rentang suhu (ºC ) 211.4-363.5 363.5-605.5 >605.5 Kehilangan berat (%) 8.95-60.29 60.29-92.606 >92.606

Suhu maksimum (ºC ) 309.4 450.8 -

Campuran batang sorgum dan kulit mangium (7:3)

Rentang suhu (ºC ) 202.3-383.59 383.59-650.15 >650.15 Kehilangan berat (%) 10.8-48.29 48.29-93.47 >93.47

Suhu maksimum (ºC ) 340.8 444.1 -

Temp Cel 900.0 800.0 700.0 600.0 500.0 400.0 300.0 200.0 100.0 15.00 10.00 5.00 0.00 -5.00 -10.00 -15.00 -20.00 -25.00 TG % 0.00 -10.00 -20.00 -30.00 -40.00 -50.00 -60.00 -70.00 -80.00 -90.00 444.1Cel 14.66uV/mg 340.8Cel 7.49uV/mg 950.5Cel -92.86% 43.43% 28.27%


(29)

17 Kandungan lignoselulosa yang berbeda antar biomassa satu dengan yang lainnya akan memengaruhi degradasi termal biomassa tersebut (Jeguirim et al. 2010). Chochene et al. (2010) menyatakan bahwa komponen kimia dari matrial berlignoselulosa yang akan terdegradasi akibat kondisi termal yang pertama adalah hemiselulosa, kemudian diikuti oleh selulosa, dan yang terakhir adalah lignin.

Tabel 6 menunjukkan bahwa adanya perbedaan tahap degradasi termal antara ketiga bahan yang dianalisis. Suhu awal bahan baku mulai terdegradasi dapat dijadikan acuan dalam pembuatan biopelet. Suhu kempa pada pembuatan biopelet masih bisa ditingkatkan sampai pada titik bahan baku mulai terdegradasi, yaitu 193.8 ºC. Rentang suhu pada devolatilisasi menunjukkan jumlah zat terbang pada bahan baku. Suhu maksimum saat tahap devolatilisasi batang sorgum, kulit mangium, dan campuran keduanya berturut-turut adalah 307.82, 309.4, dan 340.8 ºC. Kulit mangium memiliki rentang suhu yang lebih kecil dibandingkan dengan sorgum karena kadar zat terbang pada kulit mangium lebih sedikit dibandingkan dengan sorgum, sebagaimana yang tertera pada tabel 6. Persentase kehilangan berat pada tahap pembakaran menunjukkan jumlah komponen kimia dalam biomassa yang dapat terbakar seperti hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Suhu maksimum saat tahap devolatilisasi batang sorgum, kulit mangium, dan campuran keduanya berturut-turut adalah 436.2, 450.8, dan 441.1 ºC. Kadar abu yang lebih tinggi pada batang sorgum dibandingkan dengan kulit mangium menyebabkan persentase degradasi termal pada tahap pembakarannya lebih rendah.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Biopelet yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 0.81-5.37%, kerapatan sebesar 700-840 kg/m3, kadar zat terbang sebesar 70.44-75.85%, kadar abu sebesar 4.62-6.6%, ketahanan sebesar 83.09-92.1%, dan nilai kalor sebesar 3782-4730 Kkal/kg. Kualitas biopelet yang dihasilkan belum memenuhi standar DIN EN 14961-2. Fortifikasi dengan kulit mangium tidak berpengaruh terhadap nilai kalor biopelet. Namun, pada taraf forifikasi sebesar 10% pun nilai kalor biopelet dapat memenuhi standar DIN EN 14961-2. Pada suhu peletisasi 150 ºC biopelet memiliki kerapatan tertinggi dan kadar air terendah. Peletisasi pada suhu 180 ºC tidak menghasilkan kerapatan dan kadar air biopelet yang berbeda dari peletisasi pada suhu 150 ºC. Meskipun tidak efisien, kulit kayu mangiummangium efektif digunakan sebagai bahan fortifikasi biopelet batang sorgum.

Saran

Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan mencari bahan fortifikasi yang lebih efisien dalam meningkatkan nilai kalor biopelet dari batang sorgum.


(30)

18

DAFTAR PUSTAKA

Biswas AK, Rudolfsson M, Brostrom M, Umeki K. 2014. Effect of pelletizing condition on combustion behaviour of single wood pellet. doi:10.1016/j.apenergy.2013.12.070. Appl. Energy 119: 79-84

Chouchene, A., Jeguirim, M., Khiari, B., Trouvé, G., Zagrouba, F., 2009. Thermal degradation behavior of olive solid waste: influence of the particle size and oxygen atmosphere. doi:10.1016/j.resconrec.2009.04.010. Res. Cons.

Recycl. 54: 271-277

Demirbas A. 2004. Combustion characteristics of diffeerent biomass fuels. doi:10.1016/j.pecs.2003.10.004. Prog. Energy Combust. Sci. 30: 219-230 [DIN EN] Deutsches Institut fur Normung European standards 14961-2. 2012.

Solid biofuels – Fuel specification and classes – Part 2: Wood pellets for

non-industrial use. Jerman (DE): Deutsches Institut fur Normung.

Fengel D, Wegener G. 1989. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Berlin: Walter de Gruyter.

Fasina OO. 2008. Phsycal properties of peanut hull pellet. doi:10.1016/j.biortech.2007.02.041.Bioresour. Technol. 99: 1259-1266 Gracia R, Pizzaro C, Lavin AL, Bueno JL. 2014. Spanish biofuels heating value

estimation. doi:10.1016/j.fuel.2013.08.049. Part II: Proximate analysis data. Fuel 117: 1139-1147

Hermiati E, Mangunwidjaja D, Sunarti TC, Suparno O, Prasetya B. 2010. Pemanfaatan biomasa lignoselulosa ampas tebu untuk produksi bioetanol.

Jurnal Litbang Pertanian 29(4): 121-130

Jeguirim M, Dorge S Trouve G. 2010. Thermogravimetric analysis and emision charactreistic of two energy corps in air athmosphere: Arundo donax and

Mischantus giganthus. doi:10.1016/j.biortech.2009.05.063. Bioresour.

Technol 101: 788-793

Kaliyan N, Morey RV. 2009a. Densificaton and characteristic of corn stover and switchgrass. ASABE 52(3): 907-920

Kaliyan N, Morey RV. 2009b. Factor affecting strenght and durability of densified biomass products. doi:10.1016/j.biombioe.2008.08.005. Biomass

Bioenergy 33: 337-359

Lee SM, Ahn BJ, Choi DH, Han GS, Jeong HS, Ahn SH, Yang I. 2013. Effect of densification variables on the durabillity of wood pellet fabricated with

Larix kaempfery C. and Liriodendron tulipifera L. sawdust.

doi:10.1016/j.biombioe.2012.10.015. Biomass Bioenergy 48: 1-9

Lehmann B, Schroder HW, Wollenberg R, Repke JU. 2012. Effect of miscanthus addition and different grinding processes on the quality of wood pellets. doi:10.1016/j.biombioe.2012.05.009. Biomass Energy 44: 150-159

Liu Z, Quek A, Balasubramanian R. 2014. Preparation and characterization of fuel pellets from woody biomass, agra-residues and their corresponding hydrochars. doi:10.1016/j.apenergy.2013.08.087. Appl. Energy 112: 1215-1222

Lukmandaru G. 2012. Komposisi ekstraktif pada kayu mangium (Acacia


(31)

19 Poddar S, Kamruzzaman M, Sujan SMA, Hossain M, Jamal MS, Khanam M. 2014. Effect of compression pressure on lignocellulosic biomass pellet to improve fuel properties: Higher heating value. doi:10.1016/j.fuel.2014.04.061. Fuel 131: 43-48

Purnomohadi M. 2006. Potensi penggunaan beberapa varietas sorgum manis

(Sorgum bicolor L.) sebagai tanaman pakan. Hayati 12: 41-44

Santoso A. 2005. Pemanfaatan lignin dan tanin sebagai alternatif substitusi bahan perekat kayu komposit. Di dalam: Sudirman, Dewi EL, Hendrana S, Sudaryanto, Riswoko A, Karo AK, Haryono A, Saptoraharjo AW, editor.

Simposium Nasional Polimer V; 2005 November 22; Bandung, Indonesia.

Bandung (ID): LIPI. hlm 157

Sirappa MP. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komuditas pangan, pakan, dan industri. Jurnal Litbang Pertanian 22(4): 133-140

Stahl M, Barghel J. 2011. Energy efficient pilot-scale production of wood fuel pellet made from a raw material mix including sawdust and rapeseed cake. doi:10.1016/j.biombioe.2011.10.003. Biomass Bioenergy 35: 4849-4854 Subagio H, Suryawati. 2014. Wilayah penghasil ragam penggunaan sorgum di

Indonesia. [diunduh tanggal 28 Januari 2015]. Tersedia pada: http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_conten t&view=article&id=552:apaksa-2&catid=52:buku-sorgum&Itemid=155 Telmo C, Lousida J, Moreira N. 2010. Proximate analysis, backward stepwise

regression between a gross calorific value, ultimate and chemical analysis of wood. doi:10.1016/j.biortech.2010.01.021. Bioresour. Technol. 101: 3808-3815

Telmo C, Lousada J. 2011. The explained variation by lignin and extractive

contents on higher heating value of wood.

doi:10.1016/j.biombioe.2010.12.038. Biomass Bioenergy 35:1663-1667. Theerarattananoon K, Xu F, Wilson J, Ballard R, Mckinney L, Staggenborg S,

Vadlani P, Pei Z J, Wang D. 2011. Physical properties of pellets made from sorghum stalk, corn stover, wheat straw and big bluestem. doi:10.1016/j.indcrop.2010.11.014. Ind. Corps Prod. 33: 325-332

Yu Q, Zhuang X, Wang Q, Qi W, Tan X, Yuan Z. 2012. Hydrolysis of sweet sorghum bagasse and eucalyptus wood chips with liquid hot water. doi:10.1016/j.biortech.2012.04.031. Bioresourch Technology 116: 220-225 Umam MC. 2007. Optimasi penemabahan limbah gliserol hasil samping transesterifikasi minyak jarak pagar dan perekat tapioka pada pembuatan biomass pellets bungkil jarak pagar (Jatropa curcas L.) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Wina E, Toharmat T, Astuti W. 2001. Peningkatan nilai kecernaan kulit kayu

Acacia mangium yang diberi perlakuan alkali. Jurnal Ilmu Ternak dan

Veteriner 6(3): 202-209

Xiao Z, Li Y, Wu X, Qi G, Li N, Zhang K, Wang D, Sun XS. 2013. Utilization of sorghum lignin to improve adhesion strength of soy adhesive on wood veneer. doi:10.1016/j.indcrop.2013.07.057 . Ind. Corps Prod. 50: 501-509


(32)

20

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Maret 1993 dari ayah Baharudin dan Ibu Sudarmi. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Muhammadiyah 09 Bekasi dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN) dan diterima di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan, penulis telah mengikuti beberapa kegiatan praktek lapang, yaitu Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Indramayu dan Gunung Ciremai, Jawa Barat tahun 2012, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), KPH Cianjur, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan PGT Sindangwangi tahun 2013, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Toba Pulp Lestari pada tahun 2014.


(1)

15

Gambar 7 Hasil analisisis TGA dan DTA serbuk batang sorgum

Hasil analisis termogravimetri serbuk kulit mangium dapat dilihat pada Gambar 8. Grafik TGA menunjukkan bahwa sampel terdegradasi sebanyak 51.48% pada rentang suhu 50-330 ºC. Degradasi pada sampel terjadi kembali pada rentang suhu 350-470 ºC sebanyak 32.14%. peningkatan suhu di atas 470 ºC tidak menunjukkan adanya degradasi pada sampel.

Gambar 8 Hasil analisis TGA dan DTA serbuk kulit mangium

Hasil analisis termogravimetri campuran serbuk batang sorgum dan serbuk kulit mangium dapat dilihat pada Gambar 9. Grafik TGA menunjukkan bahwa serbuk kulit mangium terdegradasi sebanyak 43.43% pada rentang suhu antara 50-363 ºC. Serbuk kulit mangium kemudian terdegrasi kembali sebanyak 28.27% pada rentang suhu 390-460 ºC. Penurunan berat sampel setelah di atas 460 ºC tidak terjadi. Temp Cel 900.0 800.0 700.0 600.0 500.0 400.0 300.0 200.0 100.0 20.00 10.00 0.00 -10.00 -20.00 -30.00 TG % 0.0 -10.0 -20.0 -30.0 -40.0 -50.0 -60.0 -70.0 -80.0 -90.0 -100.0 308.7Cel 7.51uV/mg 436.9Cel 9.75uV/mg 62.2% 27.4% 950.5Cel -95.2% Temp Cel 900.0 800.0 700.0 600.0 500.0 400.0 300.0 200.0 100.0 15.00 10.00 5.00 0.00 -5.00 -10.00 -15.00 -20.00 -25.00 -30.00 TG % 0.00 -10.00 -20.00 -30.00 -40.00 -50.00 -60.00 -70.00 -80.00 -90.00 308.5Cel 8.63uV/mg 450.8Cel 11.93uV/mg 948.5Cel -91.79% 51.48% 32.14%


(2)

16

Gambar 9 Hasil analisis TGA dan DTA campuran serbuk batang sorgum dan serbuk kulit mangium

Jeguirim et al. (2010) mengatakan bahwa kehilangan berat biomassa pada saat pembakaran terbagi menjadi tiga tahapan. Tahap pertama adalah tahap penguapan air dan devolatilisasi zat-zat bermolekul rendah. Tahap kedua adalah tahap degradasi yang terjadi terutama pada hemiselulosa dan selulosa. Tahap terakhir adalah tahap pembakaran komponen-komponen sisa pada biomassa. Tahap ketiga ini dibagi lagi menjadi dua tahapan. Pertama adalah tahapan pembakaran bahan sisa yang dapat terbakar seperti lignin. Kemudian, tahap selanjutnya adalah tahap oksidasi dari bahan-bahan yang tidak dapat terbakar. Karakteristik degradasi termal pada ketiga bahan yang diuji dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Karakteristik degradasi termal bahan baku

Devolatilisasi Pembakaran

Oksidasi dari fraksi abu

Batang sorgum

Rentang suhu (ºC ) 193.8-362.42 362.42-471.82 >471.82 Kehilangan berat (%) 8.62-67.89 67.89-95.88 >95.88

Suhu maksimum (ºC ) 307.82 436.2 -

Kulit aksia

Rentang suhu (ºC ) 211.4-363.5 363.5-605.5 >605.5 Kehilangan berat (%) 8.95-60.29 60.29-92.606 >92.606

Suhu maksimum (ºC ) 309.4 450.8 -

Campuran batang sorgum dan kulit mangium (7:3)

Rentang suhu (ºC ) 202.3-383.59 383.59-650.15 >650.15 Kehilangan berat (%) 10.8-48.29 48.29-93.47 >93.47

Suhu maksimum (ºC ) 340.8 444.1 -

Temp Cel

900.0 800.0 700.0 600.0 500.0 400.0 300.0 200.0 100.0 15.00

10.00

5.00

0.00

-5.00

-10.00

-15.00

-20.00

-25.00

TG

%

0.00

-10.00

-20.00

-30.00

-40.00

-50.00

-60.00

-70.00

-80.00

-90.00 444.1Cel

14.66uV/mg

340.8Cel 7.49uV/mg

950.5Cel -92.86% 43.43%


(3)

17 Kandungan lignoselulosa yang berbeda antar biomassa satu dengan yang lainnya akan memengaruhi degradasi termal biomassa tersebut (Jeguirim et al. 2010). Chochene et al. (2010) menyatakan bahwa komponen kimia dari matrial berlignoselulosa yang akan terdegradasi akibat kondisi termal yang pertama adalah hemiselulosa, kemudian diikuti oleh selulosa, dan yang terakhir adalah lignin.

Tabel 6 menunjukkan bahwa adanya perbedaan tahap degradasi termal antara ketiga bahan yang dianalisis. Suhu awal bahan baku mulai terdegradasi dapat dijadikan acuan dalam pembuatan biopelet. Suhu kempa pada pembuatan biopelet masih bisa ditingkatkan sampai pada titik bahan baku mulai terdegradasi, yaitu 193.8 ºC. Rentang suhu pada devolatilisasi menunjukkan jumlah zat terbang pada bahan baku. Suhu maksimum saat tahap devolatilisasi batang sorgum, kulit mangium, dan campuran keduanya berturut-turut adalah 307.82, 309.4, dan 340.8 ºC. Kulit mangium memiliki rentang suhu yang lebih kecil dibandingkan dengan sorgum karena kadar zat terbang pada kulit mangium lebih sedikit dibandingkan dengan sorgum, sebagaimana yang tertera pada tabel 6. Persentase kehilangan berat pada tahap pembakaran menunjukkan jumlah komponen kimia dalam biomassa yang dapat terbakar seperti hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Suhu maksimum saat tahap devolatilisasi batang sorgum, kulit mangium, dan campuran keduanya berturut-turut adalah 436.2, 450.8, dan 441.1 ºC. Kadar abu yang lebih tinggi pada batang sorgum dibandingkan dengan kulit mangium menyebabkan persentase degradasi termal pada tahap pembakarannya lebih rendah.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Biopelet yang dihasilkan memiliki kadar air sebesar 0.81-5.37%, kerapatan sebesar 700-840 kg/m3, kadar zat terbang sebesar 70.44-75.85%, kadar abu sebesar 4.62-6.6%, ketahanan sebesar 83.09-92.1%, dan nilai kalor sebesar 3782-4730 Kkal/kg. Kualitas biopelet yang dihasilkan belum memenuhi standar DIN EN 14961-2. Fortifikasi dengan kulit mangium tidak berpengaruh terhadap nilai kalor biopelet. Namun, pada taraf forifikasi sebesar 10% pun nilai kalor biopelet dapat memenuhi standar DIN EN 14961-2. Pada suhu peletisasi 150 ºC biopelet memiliki kerapatan tertinggi dan kadar air terendah. Peletisasi pada suhu 180 ºC tidak menghasilkan kerapatan dan kadar air biopelet yang berbeda dari peletisasi pada suhu 150 ºC. Meskipun tidak efisien, kulit kayu mangiummangium efektif digunakan sebagai bahan fortifikasi biopelet batang sorgum.

Saran

Penelitian lanjutan perlu dilakukan dengan mencari bahan fortifikasi yang lebih efisien dalam meningkatkan nilai kalor biopelet dari batang sorgum.


(4)

18

DAFTAR PUSTAKA

Biswas AK, Rudolfsson M, Brostrom M, Umeki K. 2014. Effect of pelletizing condition on combustion behaviour of single wood pellet. doi:10.1016/j.apenergy.2013.12.070. Appl. Energy 119: 79-84

Chouchene, A., Jeguirim, M., Khiari, B., Trouvé, G., Zagrouba, F., 2009. Thermal degradation behavior of olive solid waste: influence of the particle size and oxygen atmosphere. doi:10.1016/j.resconrec.2009.04.010. Res. Cons.

Recycl. 54: 271-277

Demirbas A. 2004. Combustion characteristics of diffeerent biomass fuels. doi:10.1016/j.pecs.2003.10.004.Prog. Energy Combust. Sci. 30: 219-230 [DIN EN] Deutsches Institut fur Normung European standards 14961-2. 2012.

Solid biofuels – Fuel specification and classes – Part 2: Wood pellets for

non-industrial use. Jerman (DE): Deutsches Institut fur Normung.

Fengel D, Wegener G. 1989. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Berlin: Walter de Gruyter.

Fasina OO. 2008. Phsycal properties of peanut hull pellet. doi:10.1016/j.biortech.2007.02.041. Bioresour. Technol. 99: 1259-1266 Gracia R, Pizzaro C, Lavin AL, Bueno JL. 2014. Spanish biofuels heating value

estimation. doi:10.1016/j.fuel.2013.08.049. Part II: Proximate analysis data. Fuel 117: 1139-1147

Hermiati E, Mangunwidjaja D, Sunarti TC, Suparno O, Prasetya B. 2010. Pemanfaatan biomasa lignoselulosa ampas tebu untuk produksi bioetanol.

Jurnal Litbang Pertanian 29(4): 121-130

Jeguirim M, Dorge S Trouve G. 2010. Thermogravimetric analysis and emision charactreistic of two energy corps in air athmosphere: Arundo donax and

Mischantus giganthus. doi:10.1016/j.biortech.2009.05.063. Bioresour.

Technol 101: 788-793

Kaliyan N, Morey RV. 2009a. Densificaton and characteristic of corn stover and switchgrass. ASABE 52(3): 907-920

Kaliyan N, Morey RV. 2009b. Factor affecting strenght and durability of densified biomass products. doi:10.1016/j.biombioe.2008.08.005. Biomass

Bioenergy 33: 337-359

Lee SM, Ahn BJ, Choi DH, Han GS, Jeong HS, Ahn SH, Yang I. 2013. Effect of densification variables on the durabillity of wood pellet fabricated with

Larix kaempfery C. and Liriodendron tulipifera L. sawdust.

doi:10.1016/j.biombioe.2012.10.015. Biomass Bioenergy 48: 1-9

Lehmann B, Schroder HW, Wollenberg R, Repke JU. 2012. Effect of miscanthus addition and different grinding processes on the quality of wood pellets. doi:10.1016/j.biombioe.2012.05.009. Biomass Energy 44: 150-159

Liu Z, Quek A, Balasubramanian R. 2014. Preparation and characterization of fuel pellets from woody biomass, agra-residues and their corresponding hydrochars. doi:10.1016/j.apenergy.2013.08.087. Appl. Energy 112: 1215-1222

Lukmandaru G. 2012. Komposisi ekstraktif pada kayu mangium (Acacia


(5)

19 Poddar S, Kamruzzaman M, Sujan SMA, Hossain M, Jamal MS, Khanam M. 2014. Effect of compression pressure on lignocellulosic biomass pellet to improve fuel properties: Higher heating value. doi:10.1016/j.fuel.2014.04.061. Fuel 131: 43-48

Purnomohadi M. 2006. Potensi penggunaan beberapa varietas sorgum manis

(Sorgum bicolor L.) sebagai tanaman pakan. Hayati 12: 41-44

Santoso A. 2005. Pemanfaatan lignin dan tanin sebagai alternatif substitusi bahan perekat kayu komposit. Di dalam: Sudirman, Dewi EL, Hendrana S, Sudaryanto, Riswoko A, Karo AK, Haryono A, Saptoraharjo AW, editor.

Simposium Nasional Polimer V; 2005 November 22; Bandung, Indonesia.

Bandung (ID): LIPI. hlm 157

Sirappa MP. 2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komuditas pangan, pakan, dan industri. Jurnal Litbang Pertanian 22(4): 133-140

Stahl M, Barghel J. 2011. Energy efficient pilot-scale production of wood fuel pellet made from a raw material mix including sawdust and rapeseed cake. doi:10.1016/j.biombioe.2011.10.003. Biomass Bioenergy 35: 4849-4854 Subagio H, Suryawati. 2014. Wilayah penghasil ragam penggunaan sorgum di

Indonesia. [diunduh tanggal 28 Januari 2015]. Tersedia pada: http://balitsereal.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php?option=com_conten t&view=article&id=552:apaksa-2&catid=52:buku-sorgum&Itemid=155 Telmo C, Lousida J, Moreira N. 2010. Proximate analysis, backward stepwise

regression between a gross calorific value, ultimate and chemical analysis of wood. doi:10.1016/j.biortech.2010.01.021. Bioresour. Technol. 101: 3808-3815

Telmo C, Lousada J. 2011. The explained variation by lignin and extractive

contents on higher heating value of wood.

doi:10.1016/j.biombioe.2010.12.038. Biomass Bioenergy 35:1663-1667. Theerarattananoon K, Xu F, Wilson J, Ballard R, Mckinney L, Staggenborg S,

Vadlani P, Pei Z J, Wang D. 2011. Physical properties of pellets made from sorghum stalk, corn stover, wheat straw and big bluestem. doi:10.1016/j.indcrop.2010.11.014. Ind. Corps Prod. 33: 325-332

Yu Q, Zhuang X, Wang Q, Qi W, Tan X, Yuan Z. 2012. Hydrolysis of sweet sorghum bagasse and eucalyptus wood chips with liquid hot water. doi:10.1016/j.biortech.2012.04.031. Bioresourch Technology 116: 220-225 Umam MC. 2007. Optimasi penemabahan limbah gliserol hasil samping transesterifikasi minyak jarak pagar dan perekat tapioka pada pembuatan biomass pellets bungkil jarak pagar (Jatropa curcas L.) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Wina E, Toharmat T, Astuti W. 2001. Peningkatan nilai kecernaan kulit kayu

Acacia mangium yang diberi perlakuan alkali. Jurnal Ilmu Ternak dan

Veteriner 6(3): 202-209

Xiao Z, Li Y, Wu X, Qi G, Li N, Zhang K, Wang D, Sun XS. 2013. Utilization of sorghum lignin to improve adhesion strength of soy adhesive on wood veneer. doi:10.1016/j.indcrop.2013.07.057 . Ind. Corps Prod. 50: 501-509


(6)

20

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Maret 1993 dari ayah Baharudin dan Ibu Sudarmi. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2010 penulis lulus dari SMA Muhammadiyah 09 Bekasi dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri (SNMPTN) dan diterima di Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan.

Selama menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan, penulis telah mengikuti beberapa kegiatan praktek lapang, yaitu Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Indramayu dan Gunung Ciremai, Jawa Barat tahun 2012, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), KPH Cianjur, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan PGT Sindangwangi tahun 2013, dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Toba Pulp Lestari pada tahun 2014.