Penerapan LEISA pada Usahatani Padi Sehat dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani di Gapoktan Harapan Maju dan Gapokan Silih Asih, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat
PENERAPAN LEISA PADA USAHATANI PADI SEHAT DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI DI
GAPOKTAN HARAPAN MAJU DAN GAPOKTAN SILIH ASIH,
KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR,
JAWA BARAT
DADANG WAHYU JUNIARWOKO
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA1
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan LEISA pada
Usahatani Padi Sehat dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Usahatani di
Gapoktan Harapan Maju dan Gapoktan Silih Asih, Kecamatan Cigombong,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Dadang Wahyu Juniarwoko
1
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait
iv
ABSTRAK
DADANG WAHYU JUNIARWOKO. Penerapan LEISA pada Usahtani Padi
Sehat dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani di Gapoktan Harapan
Maju dan Gapoktan Silih Asih, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI.
Usahatani Padi Sehat di Gapoktan Silih Asih dan Harapan Maju
merupakan usahatani low input dan konsep pertanian low input yang dikenal
secara umum adalah Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA).
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi penerapan prinsip-prinsip LEISA pada
usahatani Padi Sehat, mengukur tingkat penerapan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan LEISA, serta mendeskripsikan pengaruhnya terhadap
produktivitas dan pendapatan usahatani padi di Gapoktan Silih Asih dan Harapan
Maju, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan hasil
penelitian, usahatani Padi Sehat merupakan usahatani LEISA. Tingkat penerapan
LEISA petani Padi Sehat lebih tinggi dari petani non Padi Sehat. Penerapan
LEISA di Gapoktan Silih Asih dan Harapan Maju dipengaruhi oleh status
penguasaan lahan dan status keanggotaan kelompok tani . Peningkatan penerapan
LEISA pada usahatani, secara signifikan akan meningkatkan pendapatan petani,
pengembalian atas modal, dan efisiensi usahatani.
Kata kunci: LEISA, faktor-faktor, padi, pendapatan usahatani, penerapan
ABSTRACT
DADANG WAHYU JUNIARWOKO. LEISA Implementation on Padi Sehat
Farming and Its Effects on Farm Income in Gapoktan Harapan Maju and
Gapoktan Silih Asih, Cigombong, Bogor, West Java. Supervised by NUNUNG
KUSNADI.
Padi Sehat farming in Gapoktan Harapan Maju and Silih Asih is a low
input farming, and the low input concept that has been widely acknowleged is
Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA). This study was conducted
to identify the implementation of LEISA principles in Padi Sehat farming
practice, to measure the level and to seek the determinants of LEISA
implementation, and also to describe its effect on farm production and farmer
income in Gapoktan Harapan Maju and Silih Asih. The result of this research
indicated that Padi Sehat farming was a LEISA farming. Padi Sehat farmers’s
implementation level of LEISA was higher than that of non-Padi Sehat farmers’s.
LEISA Implementation in Gapoktan Harapan Maju and Silih Asih was affected
by land tenure, and membership of farmer group. The implementation of LEISA
on farming would significantly increase farmer income, return on capital, and
farm efficiency.
Key Words : LEISA, factors, implementation, income, rice
vi
PENERAPAN LEISA PADA USAHATANI PADI SEHAT DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI DI
GAPOKTAN HARAPAN MAJU DAN GAPOKTAN SILIH ASIH,
KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR,
JAWA BARAT
Dadang Wahyu Juniarwoko
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
viii
Judul Skripsi
Penerapan LEISA pada Usahatani Padi Sehat dan Pengaruhnya
terhadap Pendapatan Usahatani di Gapoktan Harapan Maju dan
Gapokan Silih Asih, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat
Nama
Dadang Wahyu Juniarwoko'
NIM
H34114m3
Disetujui oleh
Dr Ir Nunung Kusnadi. MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Tanggal Lulus
0 6, l4n,
2014
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai kaya akhir
dengan judul Penerapan LEISA Pada Padi Sehat dan Pengaruhnya terhadap
Pendapatan Petani di Gapoktan Harapan Maju dan Gapoktan Silih Asih,
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat sebagai salah satu syarat
kelulusan pada Program Alih Jenis Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Laporan
ini merupakan hasil penelitian penulis yang dilaksanakan di Desa Ciburuy dan
Desa Pasir Jaya, Kabupaten Bogor.
Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih secara tertulis
sebagai bentuk penghargaan kepada kedua orang tua tercinta yang telah
memberikan dukungan, doa, dan materi yang mengantarkan penulis menuju satu
titik menuju masa depan, Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi MS sebagai dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga berterimakasih
kepada Ibu Dr Ir Dwi Racmina, MSi sebagai dosen penguji utama dan Ibu Eva
Yolynda Aviny, Sp MM sebagai dosen penguji akademik yang telah banyak
memberikan saran, pengelola dan sekretariat Departemen Agribisnis yang telah
banyak membantu dalam perihal-perihal akademik, dan petani-petani Gapoktan
Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju yang telah memberikan kesempatan untuk
melaksanakan penelitian dan membantu dalam pengumpulan data, serta semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Bogor, Mei 2014
Dadang Wahyu Juniarwoko
i
i
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Penerapan Low External Input and Sustainable Agriculture (LEISA) pada
Usahatani Padi dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan LEISA dan Teknologi Baru
pada Usahatani Padi
Metode Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan Teknologi
pada Usahatani
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Pengambilan Sampel
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
GAMBARAN UMUM
Gapoktan Harapan Maju dan Gapoktan Silih Asih
Karakteristik Petani Responden
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penerapan LEISA di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju
Pandangan Petani Padi Terhadap Padi Sehat
Tingkat Penerapan LEISA di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan
Maju
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Penerapan LEISA oleh Petani
Padi
Pengaruh Penerapan LEISA Terhadap Produktivitas dan Pendapatan
Usahatani
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
ii
ii
iii
1
1
3
4
4
4
5
5
6
9
10
10
17
20
20
20
20
21
21
30
30
30
31
37
37
42
43
47
52
64
64
65
65
68
80
ii
DAFTAR GAMBAR
1
2
Pengaruh teknologi baru terhadap fungsi produksi
Kerangka Pemikiran Operasional
15
19
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Jenis Data dan Sumber data Penelitian
Perhitungan Keuntungan Usahatani
Uji d Durbin-Watson: Aturan Keputusan
Karakteristik responden berdasarkan status usahatani padi, di Gapoktan
Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Jumlah petani responden berdasarkan kelompok usia, di Gapoktan Silih
Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Jumlah petani responden berdasarkan tingkat pendidikan, di Gapoktan
Silih Asih dan Gapoktan harapan Maju tahun 2013
Statistik deskriptif data luasan lahan yang dikelola petani padi, di
Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Karakteristik petani berdasarkan status penguasaan lahan, di Gapoktan
Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Karakteristik responden berdasarkan ukuran keluarga, di Gapoktan Silih
Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Statistik deskriptif data pendapatan per bulan dari luar usahatani
keluarga petani padi, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan harapan
Maju tahun 2013
Motivasi responden menanam Padi Sehat, di Gapoktan Silih Asih dan
Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Persentase jumlah petani penerap setiap komponen LEISA, di Gapoktan
Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Statistik deskriptif tingkat penerapan LEISA, di Gapoktan Silih Asih
dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Tingkat penerapan LEISA petani responden, di gapoktan Silih Asih dan
Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Model regresi linier berganda faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
penerapan LEISA pada usahatani padi, di Gapoktan Silih Asih dan
Harapan Maju Tahun 2013
Statistik deskriptif data produtivitas usahatani padi petani responden, di
Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Statistik deskriptif data penerimaan usahatani padi responden, di
Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Biaya usahatani padi petani responden, di Gapoktan Silih Asih dan
Gapoktan Harapan Maju 2013
20
22
25
31
32
33
34
35
35
36
43
44
46
46
49
52
53
55
iii
19
20
21
22
23
24
25
Alokasi biaya tenaga kerja luar keluarga pada usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Statistik deskriptif data pendapatan tunai usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Statistik deskriptif data pendapatan total usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Analisis efisiensi usahatani padi petani responden, di Gapoktan Silih
Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Alokasi Tenaga Kerja Dalam Keluarga dalam Usahatani Padi, di
Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Analisis pengembalian atas modal opersional pada usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Analisis pengembalian atas tenaga kerja pada usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
58
59
60
60
62
63
64
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pertumbuhan Jumlah Penduduk dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun
2008-2012*
Laju Pertumbuhan Produksi Beras di Indonesia Tahun 2008-2012
Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Indonesia Tahun 1968,
1976, 1986, dan 1996
Data Input Regresi Sekaligus Karakteristik Responden
Data Tingkat Penerapan LEISA pada Usahatani Padi Responden
Hasil Analisis Regresi Linier Berganda
Data rata-rata analisis usahatani padi di Gapoktan Silih Asih dan
Gapoktan Harapan Maju
Output Uji-t Sampel Bebas
Output Korelasi Pearson
68
68
69
70
71
72
75
76
77
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring dengan pertumbuhan populasi, permintaan nasional terhadap beras
pun meningkat. Laju pertumbuhan populasi Indonesia tiap tahunnya mulai tahun
2010 mencapai 1,49 persen per tahun, dengan jumlah penduduk di tahun itu
mencapai 237.641.326 jiwa1. Artinya diperkirakan pada tahun 2013 jumlah
penduduk indonesia adalah 248.422.956 jiwa (Lampiran 1). Konsumsi beras per
kapita per tahun Indonesia adalah 139 kg per kapita pertahun maka kebutuhan
beras tiap tahunnya meningkat 490-506 ribu ton dan diperkirakan akan mencapai
34,53 juta ton beras pada tahun 2013. Bila pemerintah menargetkan surplus 10
juta ton sebagai cadangan beras maka total kebutuhan beras nasional pada 2013
mencapai 44,53 juta ton2.
Laju pertumbuhan konsumsi beras tersebut masih belum bisa diimbangi
oleh pertumbuhan produksi beras nasional. Produksi beras rata-rata dari tahun
2008 hingga 2012 tumbuh sekitar 3,47 persen (Lampiran 2). Bila diasumsikan
pada 2013 terjadi peningkatan yang sama dengan yang terjadi pada 2012 maka
produksi beras tahun 2013 diperkirakan sekitar 40,76 juta ton. Defisit 3,77 ton
dari kebutuhan nasional yang diperkirakan dan defisit tersebut oleh pemerintah
biasanya diatasi dengan impor beras.
Solusi yang pernah dicetuskan pemerintah dalam meningkatkan produksi
untuk memenuhi kebutuhan beras nasional adalah program-program intesifikasi
produksi padi yang dimulai sekitar tahun 1963. Program-program tersebut antara
lain program Pertanian Terapan pada tahun 1963, program Demonstrasi Masal
pada tahun 1964, dan pada tahun 1965 program Bimbingan Masal (Bimas) dan
Intensifikasi Masal (Inmas) yang berskala nasional. Serangkaian program
intensifikasi produksi padi tersebut mempunyai prinsip yang sama dan hanya
berbeda dalam implementasinya. Prinsip-prinsip tersebut adalah (a) penyuluhan
intensif agar petani menanam varietas unggul, menggunakan pestisida dan pupuk
sintetis lebih banyak, dan mempraktikan teknologi budidaya yang lebih baik dan
tata air yang teratur; (b) pengadaan sarana produksi yang dibutuhkan;(c)
pengaturan kredit bagi petani; dan (d) stabilisasi harga dan perbaikan pemasaran
(Oudejans, 2006).
Prinsip penggunan pupuk dan pestisida anorganik secara besar-besaran
yang dianut oleh program intensifikasi produksi padi saat itu, juga dikenal dengan
istilah High External Input Agriculture (HEIA). HEIA merupakan prinsip inti dari
revolusi hijau. Selain memiliki ketergantungan pada input kimia, HEIA juga
memiliki ketergantungan pada benih unggul dan sistem irigasi. Sistem pertanian
ini membutuhkan modal relatif besar ketimbang sistem pertanian tradisional,
karena sebagian besar input diperoleh dengan membeli (Reijntjes et al, 2006).
1
http://www.bps.go.id/tab_sub/excel.php?id_subyek=12%20¬ab=2
(diakses 14 Mei 2013)
2
http: // www.setneg.go.id/index.php? option= com_content&task= view&id=
5171& Itemid= 29 (diakses 13 Mei 2013 )
2
HEIA diakui mampu meningkatkan produktivitas padi selama periode
diterapkannya dan meningkatkan produksi nasional. Pertama kali dipublikasikan
oleh pemerintah pada tahun 1966, petani yang menerapkan HEIA di Indonesia
melalui program Bimas memperoleh hasil dua kali lebih banyak yaitu 4,9 ton per
hektar, dibandingkan rata-rata hasil petani yang tidak menerapkan HEIA. Mulai
saat itu produksi padi nasional terus meningkat hingga mencapai swasembada
beras pada tahun 1984. Titik pencapaian produksi tertinggi terjadi pada 1996 dan
menghasilkan 51,16 juta ton gabah dengan produktivitas rata-rata 4,51 ton per
hektar (Lampiran 3).
Kenaikan produktivitas karena penerapan HEIA sayangnya tidak
berkelanjutan. Penggunaan bahan organik secara berkepanjangan menyebabkan
penurunan kandungan bahan organik di dalam tanah yang mengakibatkan
kesuburan tanah berkurang. Salah satu contoh diberikan oleh Sugito et al (1995),
produktivitas tebu pada periode 1990-an adalah sekitar 10 ton per hektar, berada
di bawah produktivitas tebu yang pernah dicapai sebelum 1940 yaitu 16 ton per
hektar. Padahal, pada saat itu varietas unggul yang ditanam mampu berproduksi
hingga 20 ton per hektar. Hal tersebut dikarenakan pemakaian pupuk anorganik
tanpa diiringi pengembalian bahan organik ke dalam tanah.
Pemanfaatan input anorganik dalam sistem HEIA selain menyebabkan
penurunan produktivitas juga memiliki dampak buruk terhadap ekologi dan
kesehatan manusia. Satu contoh, pestisida anorganik yang digunakan secara
berlebihan akan menyebabkan resistensi hama terhadap dosis pestisida yang
diaplikasikan. Oleh karena itu, dibutuhkan dosis yang lebih besar untuk
mematikan hama tersebut. Sementara kandungan bahan pestisida semisal
Dichloro Diphenyl Trichloretane (DDT) yang mencemari tanah, air, atau tanaman
lain akan termakan oleh hewan dan masuk ke dalam rantai makanan yang
puncaknya adalah manusia (Ekha, 1991). DDT yang tertimbun di dalam tubuh
dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian. Contoh lain, pada penerapan
pupuk anorganik, menurut Reijntjes et al (2006) pemakaian pupuk anorganik
menyebabkan peningkatan dekomposisi bahan organik dalam tanah yang
kemudian menyebabkan degradasi kesuburan tanah. Lebih lanjut dijelaskan,
aplikasi yang tidak seimbang dari pupuk nitrogen menyebabkan penurunan pH
tanah dan menyebabkan kekeringan pada tanaman.
Mengatasi kondisi ketidakberlanjutan sistem HEIA lahir konsep pertanian
ramah lingkungan yang meminimalkan input anorganik dan mengoptimalkan
sumber daya organik yang tersedia di lingkungan sekitar (FAO, 1996). Sistem
pertanian yang bernama umum Low External Input Sustainable Agriculture
(LEISA) ini merupakan konsep pertanian perintisan dari pertanian konvensional
ke pertanian organik. Mengenai seberapa rendah porsi penggunaan input
anorganik dalam sistem LEISA tidak dibakukan. Namun, karena merupakan
sistem “pertengahan” antara pertanian konvensional dan organik, maka semakin
rendah porsi penggunaan input kimia maka semakin baik.
Penerapan sistem LEISA akan mengembalikan kesuburan lahan dan
diduga mampu meningkatkan pendapatan petani. Pengembalian bahan organik ke
tanah akan meningkatkan porositas tanah, meningkatkan kemampuan tanah
menahan air, dan menambah unsur hara tanah. Penggunaan input organik buatan
yang bahan bakunya didapat dari lingkungan sekitar akan mengurangi biaya untuk
membeli pupuk dan pestisida anorganik. Sehingga pada produktivitas yang sama
3
dengan produktivitas pertanian konvensional, sistem LEISA akan menghasilkan
keuntungan yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi jika padi sistem LEISA dijual
dengan harga yang lebih tinggi.
Penerapan LEISA di Indonesia menurut FAO (1996) tercatat sejak awal
periode 1990-an. Pada saat itu penerapan LEISA dianggap sebagai solusi yang
menjanjikan untuk meningkatkan produktivitas petani padi berskala kecil. Namun,
penerapan LEISA masih kurang diminati oleh petani sebab kurangnya insentif
ekonomi untuk produk padi LEISA. Minat masyarakat kala itu untuk produk sehat
dan ramah lingkungan masih rendah. Maka di kalangan petani pun lebih memilih
untuk menerapkan sistem HEIA yang sudah dianggap memiliki kepastian harga
dan hasil (FAO, 1996).
Manfaat ekonomi dari penerapan LEISA pada usahatani, berdasarkan
penelitian terdahulu, adalah positif. LEISA yang diterapkan pada usahatani padi di
beberapa daerah di Indonesia semisal di Kecamata Tempura, Kabupaten karawang
dan di Desa Ponggang, Kabupaten Serang, terbukti menguntungkan. Bahkan,
pendapatan usahatani padi LEISA di dua daerah tersebut lebih tinggi daripada
pendapatan usahatani padi konvensional. Namun, penelitian-penelitian mengenai
manfaat ekonomi LEISA terhadap usahatani masih sedikit. Oleh karena itu,
penting untuk meneliti mengenai manfaat penerapan LEISA terhadap usahatani di
daerah-daerah yang mempunyai indikasi menerapkan LEISA.
Perumusan Masalah
Berdasarkan penelitian terdahulu, di Desa Ciburuy dan Desa Pasir Jaya
terdapat petani-petani padi yang menerapkan pertanian low input. Petani-petani
tersebut tergabung dalam Gapoktan Silih Asih di Desa Ciburuy dan Gapoktan
Harapan Maju di Desa Pasir Jaya. Pertanian low input tersebut dikenal dengan
sebutan “Padi Sehat” (Situmeang, 2012). Penerapan low input pada usahatani Padi
Sehat tergambar dari praktek pengurangan porsi penggunaan pupuk kimia yang
digunakan, digantikan dengan pupuk organik buatan petani, serta tidak lagi
digunakannya pestisida kimia dan digantikan oleh penggunaan pestisida nabati
yang juga dibuat sendiri oleh petani (Gultom, 2011). Karena konsep pertanian low
input yang dikenal luas adalah konsep Low External Input Sustainable Agriculture
(LEISA). Maka timbul pertanyaan yaitu apakah konsep low input Padi Sehat
dapat dideskripsikan dengan menggunakan prinsip-prinsip LEISA ? Bila terbukti
benar usahatani Padi Sehat menggunakan konsep LEISA, maka bagaimana tingkat
penerapan LEISA oleh setiap petani Padi Sehat ? Selain itu apakah petani-petani
non Padi Sehat juga menerapkan LEISA ? Bila petani-petani non Padi Sehat
terbukti menerapkan LEISA seberapa tinggi tingkat penerapannya ? Jika terdapat
variasi tingkat penerapan LEISA oleh setiap petani tersebut maka akan timbul
pertanyaan tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat penerapan
LEISA pada usahatani padi ?
Selain itu, menurut hasil penelitian terdahulu terdapat dua pola pengaruh
penerapan konsep low input Padi Sehat terhadap pendapatan di Desa Ciburuy dan
Desa Pasir Jaya. Pola pertama menunjukkan bahwa pendapatan usahatani Padi
Sehat, yang merupakan usahatani low input, bernilai positif bahkan lebih besar
daripada usahatani padi konvensional sedangkan pola kedua menunjukkan bahwa
pendapatan usahatani Padi Sehat bernilai negatif (Ubaydillah, 2008; dan
4
Situmeang 2012). Kedua pola pengaruh tersebut mengindikasikan adanya variasi
pengaruh tingkat penerapan low input terhadap keuntungan usahatani Padi Sehat
di Desa Ciburuy dan Desa Pasir Jaya. Indikasi tersebut menimbulkan pertanyaan
mengenai bagaimana pengaruh tingkat penerapan LEISA (bila terbukti konsep
low input Padi Sehat adalah LEISA) terhadap keuntungan usahatani Padi Sehat ?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan di
atas. Adapaun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Membuktikan sesuai tidaknya tujuan kegiatan-kegiatan dalam budidaya
Padi Sehat dengan prinsip-prinsip dasar LEISA.
2. Mengukur tingkat penerapan LEISA pada usahatani padi sawah di
Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju.
3. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan LEISA pada
padi sawah di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju.
4. Mengukur pengaruh tingkat penerapan LEISA terhadap keuntungan
usahatani di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi masukan bagi
berbagai pihak yang terkait dengan pengembangan usahatani padi dengan konsep
LEISA, antara lain:
1. Petani, sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan dalam
menentukan sistem pertanian yang digunakan dalam usahataninya.
2. Penulis, sebagai sarana mengaplikasikan ilmu-ilmu yang didapatkan dari
bangku kuliah dan mendapatkan tambahan wawasan dan pengalaman dari
kasus nyata di lapangan.
3. Akademisi dan peneliti, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumber
informasi dan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan dalam batasan wilayah Desa Ciburuy dan Desa Pasir
Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Komoditas yang
diteliti adalah padi sawah, Padi Sehat maupun non Padi Sehat, dan respondennya
adalah petani-petani padi di Desa Pasir Jaya dan Desa Ciburuy. Analisa
pendapatan usahatani Padi Sehat akan disertai dengan ukuran penampilan
usahatani lainnya yaitu imbalan kepada seluruh modal (return to total capital),
imbalan kepada modal petani (return to equity capital), dan imbalan kepada
tenaga kerja (return to labor). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
penerapan LEISA pada usahatani padi menggunakan variabel-variabel penduga
yaitu jumlah tanggungan keluarga, umur pendidikan, lama pendidikan formal
petani, pendapatan luar usahatani rumah tangga petani, luas lahan garapan
usahatani padi, status kepemilikan lahan, tujuan usahatani padi, dan status petani
padi sebagai petani Padi Sehat atau non Padi Sehat.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Penerapan Low External Input and Sustainable Agriculture (LEISA) pada
Usahatani Padi dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani
Penerapan sistem LEISA pada suatu daerah bisa berbeda dengan daerah
lain. FAO (1996)-pun tidak mempunyai prosedur baku penerapan sistem LEISA.
Seperti dari segi besarnya porsi input luar yang masih digunakan, teknik
budidaya, pola proteksi tanaman dan sebagainya. Asalkan prinsip sistem pertanian
yang diterapkan menganut prinsip sistem LEISA maka sistem pertanian tersebut
bisa disebut sistem LEISA walaupun bisa saja menggunakan terminologi lain.
Seperti halnya penerapan sistem LEISA untuk model pekarangan yang dilaporkan
oleh Cai (1995, dalam Mugnisjah et al, 2000) di China tidak menggunakan istilah
LEISA. Perbedaan tipe penerapan sistem LEISA antar daerah diduga akan
mengakibatkan perbedaan dampaknya terhadap perbaikan ekologi dan pendapatan
petani.
Petani Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, mengadopsi sistem
LEISA namun dengan intensitas penggunaan input eksternal yang beragam
(Wijaya, 2002). Petani-petani padi yang menerapkan LEISA menerima
pendapatan yang setara dengan padi konvensional, walaupun mendapatkan
penerimaan yang lebih kecil dari petani konvensional. Hal ini disebabkan
berkurangnya biaya tunai petani padi LEISA karena sebagian input eksternal
digantikan dengan input organik yang dibuat petani.
Penerapan sistem LEISA pada padi sawah tercatat juga dilakukan oleh
petani-petani di Desa Ponggang Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang,
Jawa Barat. Format pertanian yang diusahakan oleh kelompok tani di Desa
Ponggang tersebut diberi istilah Pertanian Ramah Lingkungan. Pola pertanian
ramah lingkungan menjadi alternatif untuk mengakomodasi permasalahan petani
kecil terkait pengadaan input produksi (Ubaydillah, 2008). Pertanian Ramah
Lingkungan dalam prakteknya menekan penggunaan input kimia dan
menggantikannya dengan input organik seperti pupuk kompos dan pestisida
nabati. Pupuk kimia daun masih diaplikasikan ke tanaman dalam pertanian ramah
lingkungan, tapi pupuk anorganik seperti urea, TSP, KCL, dan sejenisnya sama
sekali tidak digunakan tapi digantikan dengan pupuk bokashi dan pupuk kompos.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan teknik budidaya dan pestisida
nabati. Pestisida nabati terbuat dari bahan-bahan alami yang mudah didapat dari
lingkungan sekitar seperti gadung dan daun mimba.
Pendapatan petani padi ramah lingkungan di Desa Ponggang lebih tinggi
dari pendapatan petani padi konvensional. Hal tersebut dikarenakan output per
hektar yang dihasilkan oleh padi ramah lingkungan lebih tinggi dari output per
hektar yang dihasilkan oleh padi konvensional. Walaupun biaya yang dikeluarkan
oleh usahatani padi ramah lingkungan lebih tinggi dari usahatani padi
konvensional, yaitu dengan selisih sekitar Rp 2 juta per hektarnya. Namun dengan
tingkat penerimaan usahatani padi ramah lingkungan yang jauh lebih tinggi, yang
berselisih Rp 6,5 juta rupiah per hektarnya, membuat pendapatan yang diterima
petani padi ramah lingkungan lebih besar dibandingkan pendapatan petani
konvensional (Ubaydillah, 2008).
6
Pola perbedaan penerapan sistem LEISA di suatu daerah dengan daerah
yang lain terletak pada porsi penggunaan input kimia terhadap total seluruh input
yang digunakan untuk keperluan nutrisi tanaman serta pengendalian hama dan
penyakit. Ada petani LEISA seperti di Kecamatan Tempura yang masih
menggunakan pupuk kimia dalam porsi yang cukup besar yaitu sekitar 30-50%
(Wijaya, 2002). Namun, ada pula petani daerah lain seperti di Desa Ponggang
yang sudah meninggalkan penggunaan pupuk kimia padat sama sekali dan hanya
menggunakan pupuk kimia cair untuk daun yang porsinya sangat kecil
(Ubaydillah, 2008).
Usahatani padi yang menerapkan sistem LEISA umumnya memiliki
tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibanding tingkat keuntungan usahatani padi
konvensional. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal seperti:
1. Output usahatani padi sistem LEISA mempunyai harga jual yang lebih tinggi
daripada harga output usahatani padi konvensional. Dalam tingkat output dan
biaya yang sama pendapatan petani padi sistem LEISA akan lebih besar (Sari,
2011).
2. Biaya yang dikeluarakan petani padi sistem LEISA, terutama untuk input
kimia, lebih kecil dibandingkan petani padi konvensional. Dengan
pengurangan biaya ini maka dalam tingkat penerimaan yang sama pendapatan
petani sistem LEISA akan lebih besar ketimbang petani padi konvensional
(Wijaya, 2002) .
3. Tingkat output yang dihasilkan usahatani padi sistem LEISA lebih tinggi dari
yang dihasilkan oleh usahatani padi konvensional. Sehingga penerimaan
usahatani padi sistem LEISA otomatis lebih besar dari usahatani padi
konvensional. Pada selisih tingkat biaya yang tidak jauh lebih besar
dibandingkan selisih penerimaan, maka pendapatan petani padi sistem LEISA
jauh lebih tinggi dibanding pendapatan petani padi konvensional (Ubaydillah,
2008).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan LEISA dan Teknologi Baru
pada Usahatani Padi
LEISA secara umum merupakan teknologi dan cara pandang baru bagi
petani. Karenanya, menurut definisi Soekartawi (1988) tentang inovasi, LEISA
dapat digolongkan sebagai inovasi. Penelitian-penelitian terdahulu pun dalam
menentukan faktor-faktor penduga yang mempengaruhi penerapan LEISA
maupun teknologi baru lain menggunakan dasar teori penerapan inovasi. Faktorfaktor penduga tersebut antara lain terdiri dari faktor sosial, faktor situasional,
faktor kultural dan faktor personal (Lionberger, 1968).
Jumri dan Effendi (2007) meneliti faktor sosial yang mempengaruhi
penerapan LEISA usahatani padi. Faktor-faktor penduganya antara lain
pendidikan petani, umur petani dan profesi keturunan. Hasil penelitiannya
menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh hanya faktor pendidikan dan faktor
profesi keturunan. Jumri dan Effendi (2007) menjelaskan bahwa profesi keturunan
berpengaruh terhadap penerapan LEISA mempunyai arti petani yang meneruskan
profesi orang tuanya sebagai petani, telah akrab dengan lingkungan pertanian
sejak kecil dan mengenali kebutuhan untuk mengembangkan pertaniannya.
Sedangkan variabel pendidikan baik formal maupun non formal berpengaruh
positif terhadap kemungkinan penerapan LEISA.
7
Filho et al (1998) menjelaskan faktor-faktor ekonomi dan non ekonomi
yang meningkatkan kemungkinan penerapan LEISA pada usahatani adalah
keikutsertaan petani pada organisasi petani, kontak petani dengan lembaga
pertanian swadaya, kesadaran akan efek negatif dari bahan kimia terhadap
kesehatan dan lingkungan, keandalan tenaga kerja keluarga, dan lahan yang subur.
Sedangkan faktor-faktor yang dapat menurunkan kemungkinan penerapan LEISA
pada usahatani adalah peningkatan skala usahatani. Ditambahkan oleh Filho et al
(1998) penurunan tingkat harga output pertanian meningkatkan kecenderungan
penerapan LEISA pada usahatani.
Bila dibandingkan, faktor-faktor penduga yang mempengaruhi penerapan
LEISA dan faktor-faktor penduga yang mempengaruhi penerapan teknologi
pertanian lain pada usahatani padi tidak akan jauh berbeda. Karenanya faktorfaktor penduga yang mempengaruhi teknologi pertanian selain LEISA diduga bisa
menjadi faktor-faktor penduga yang mempengaruhi penerapan LEISA pada
usahatani. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan teknologi pada usahatani
antara lain:
a. Faktor personal: umur, lama pendidikan formal, dan lama pendidikan non
formal non formal (Basuki, 2008; Rosa, 2002; dan Novarianto, 1999).
b. Faktor sosial: kekosmopolitanan (Rosa, 2002)
c. Faktor situasional: luas lahan, status penguasaan lahan, rasio pendapatan
dari usahatani padi terhadap total pendapatan rumah tangga, tingkat
keuntungan usahatani, tingkat produktivitas usahatani, harga gabah,
tingkat pengalaman usahatani, dan biaya tenaga kerja (Basuki, 2008,
Novarianto, 1999; Yuliarmi, 2006; Rosa, 2002; dan Surya, 2002).
d. Faktor kultural: pandangan petani mengenai utang usahatani, pandangan
petani mengenai pentingnya pendidikan, pandangan petani mengenai
kebebasan menentukan pilihan (Pedersen, 1951; dalam Lionberger 1968).
Faktor personal yang mempengaruhi adopsi inovasi menurut hasil
penelitian Basuki (2008), Rosa (2002), dan Novarianto (1999), adalah umur, lama
pendidikan formal, dan lama pendidikan non formal. Dijelaskan bahwa umur
mempunyai pengaruh negatif terhadap adopsi inovasi pada usahatani padi, artinya
semakin tua petani maka kemungkinan petani tersebut untuk mengadopsi inovasi
akan semakin kecil. Sedangkan lama pendidikan baik formal maupun non formal
mempunyai pengaruh positif terhadap adopsi inovasi pada usahatani padi, berarti
semakin tinggi tingkat pendidikan fomal atau non formal semakin tinggi pula
kemungkinan petani tersebut untuk mengadopsi inovasi. Menurut Rosa (2002)
dan Novarianto (1999) pendidikan non formal yang digunakan dalam pengukuran
adalah adalah lama pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh individu yang
berhubungan dengan pertanian, seperti penyuluhan pertanian, seminar pertanian,
kursus pertanian, dan latihan pertanian. Akan tetapi, lebih lanjut Novarianto
(1999) menjelaskan untuk petani dengan lama pendidikan 1-6 tahun tingkat
kemungkinan petani untuk mengadopsi inovasi adalah tidak berbeda. Karena
kemampuan untuk menerima teknologi antara lama pendidikan 1-6 tahun
biasanya tidak berbeda jauh.
Menurut Rosa (2002) variabel dari faktor sosial yang mempengaruhi
adopsi inovasi adalah kekosmopolitanan. Variabel kekosmopolitanan yang
dimaksud oleh Rosa (2002) adalah tingkat keterbukaan petani terhadap informasi
yang berkaitan dengan pertanian, indikatornya adalah frekuensi bertemu dengan
8
penyuluh pertanian, frekuensi diskusi pertanian dengan petani luar desa, dan
frekuensi memperoleh informasi dari majalah pertanian, radio, dan televisi.
Variabel pendidikan, menariknya, digolongkan Jumri dan Effendi (2007) sebagai
faktor sosial sementara sebagian peneliti lain seperti Rosa (2002), Novarianto
(1999), Yuliarmi (2006) dan Surya (2002), menggolongkannya sebagai faktor
personal. Penggololongan variabel pendidikan sebagi faktor sosial mengikuti teori
yang dikemukakan oleh Lionberger (1968), bahwa pendidikan bisa merupakan
suatu ukuran status sosial bagi masyarakat tertentu (status factor). Semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pula kedudukannya dalam tingkatan
prestise di masyarakatnya. Menjadikannya seorang panutan dalam pengambilan
risiko dan cara memandang hal baru di masyarakat. Sementara itu peneliti lainnya
menggolongkan variabel pendidikan sebagai faktor personal mengikuti asumsi
bahwa pendidikan yang lebih tinggi akan membawa pada sikap menerima inovasi
yang lebih baik.
Faktor situasional yang mempengaruhi adopsi inovasi adalah luas lahan,
status penguasaan lahan, rasio pendapatan dari usahatani padi terhadap total
pendapatan rumah tangga, tingkat keuntungan usahatani, tingkat produktivitas
usahatani, harga gabah, dan biaya tenaga kerja (Basuki (2008), Novarianto (1999),
Yuliarmi (2006), Rosa (2002), dan Surya (2002)). Variabel-variabel selain biaya
tenaga kerja dan status penguasaan lahan berpengaruh positif terhadap
kemungkinan adopsi inovasi. Sedangkan variabel biaya tenaga kerja yang
menyertai inovasi tersebut berpengaruh negatif terhadap kemungkinan adopsi
inovasi. Variabel tingkat keuntungan inovasi yang dijelaskan oleh Novarianto
(1999) bisa juga digolongkan sebagai sifat atau atribut inovasi mengacu pada
Roger (1971). Roger (1971) menjelskan bahwa tingkat adopsi inovasi bisa
dipengaruhi oleh tingkat keuntungan relatif yang akan diterima oleh calon
pengadopsi bila mengadopsi suatu inovasi. Pada variabel status penguasaan lahan
yang dipaparkan oleh Basuki (2008) terdiri atas petani pemilik lahan dan bukan
pemilik lahan. Petani bukan pemilik lahan terbukti memiliki kemungkinan untuk
mengadopsi inovasi lebih tinggi ketimbang petani pemilik lahan. Menurut Basuki
(2008) petani bukan pemilik lahan mempunyai kewajiban atas biaya lahan dan
sebagian atau seluruh biaya produksi lainnya. Sehingga petani bukan pemilik
lahan mempunyai harapan lebih besar untuk bisa meningkatkan pendapatannya
melalui adopsi inovasi.
Faktor kultural atau kebudayaan merupakan faktor yang diamati melalui
tata nilai dan sikap yang dianut oleh individu atau masyarakat (Soekartawi, 1988).
Kebudayaan yang dianut oleh individu atau masyarakat berbeda antara satu dan
lainnya. Pedersen (1951, dalam Lionberger 1968) mengemukakan dua perbedaan
kebudayaan masyarakat petani dari dua negara yaitu Polandia dan Denmark yang
mempengaruhi perbedaan tingkat penerapan teknologi pertanian di kedua negara
itu. Petani Denmark diketahui lebih terbuka dan lebih banyak mengadopsi inovasi
dalam ustahatani sapi perah daripada petani Polandia. Hal tersebut dikarenakan
perbedaan sikap petani kedua negara tersebut terhadap inovasi. Petani Denmark
sangat menghargai pendidikan dan kebebasan individu dalam memilih. Di lain
pihak, petani Polandia sering menghadapi berbagai pembatasan dan perampasan
ekonomi di dalam negerinya. Anak-anak petani polandia sangat diharapkan
mengikuti jejak orangtuanya sebagai petani dan tidak dibebaskan untuk memilih
pekerjaan lain. Mempunyai usahatani yang bebas utang merupakan sebuah simbol
9
keterjaminan dan keamanan yang diidolakan baik orang tua maupun pemuda di
Polandia. Singkatnya masyarakat petani Polandia sangat terpaku pada kebiasaan,
tradisi, dan skeptis terhadap alternatif. Membuat inovasi pertanian menjadi lebih
mudah diterima di Denmark daripada di Polandia.
Metode Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan Teknologi
pada Usahatani
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan
teknologi pada usahatani menggunakan alat-alat analisis statistik Spearman Rank
Correlation, regresi logistik, dan chi square. Uji korelasi Rank Spearman dan Chi
Square digunakan oleh Jumri dan Effendi (2007), Effendi (2001), Riyadi (2003),
Kartono (2009), Novarianto (1999), dan Rosa (2002). Uji Chi Square digunakan
untuk menganalisa signifikansi korelasi dari tingkat penerapan teknologi dengan
masing-masing faktor sosial dan karektiristik petani, dengan taraf nyata sebesar
lima persen. Sedangkan, uji Rank Spearman digunakan untuk mengetahui tingkat
hubungan antara tingkat penerapan atau adopsi teknologi dengan masing-masing
variabel dari faktor sosial dan karakteristik petani. Menurut Firdaus et al (2011)
variabel-variabel yang digunakan dalam uji korelasi Rank Spearman harus
minimal mencapai tingkat pengukuran ordinal. Jumri dan Effendi (2007)
menggolongkan tingkat penerapan teknologi ke dalam 3 tingkatan yaitu rendah,
sedang, dan tinggi, sedangkan variabel faktor sosial yaitu pendidikan, umur, dan
profesi keturunan juga diurutkan dengan urutan rendah, sedang, dan tinggi.
Sedangkan Effendi (2001) membagi lagi variabel penerapan teknologi ke dalam
variabel-variabel yaitu penggunaan bibit unggul, pengolahan tanah, pemupukan,
pengairan, pengendalian hama dan penyakit, dan pasca panen. Masing-masing
variabel tersebut diurutkan berdasarkan tingkatan penerapan yang terdiri dari
tingkat rendah, sedang, dan tinggi.
Pada uji Chi Square analisa signifikansi hubungan dilakukan antara dua
variabel dengan taraf nyata sebesar lima persen. Bila variabel tersebut terbukti
berhubungan nyata, analisa dilanjutkan dengan uji korelasi Rank Spearman untuk
tingkat keeratan dan arah korelasi antara dua variabel tersebut. Tanda positif pada
koefisien korelasi Rank Spearman menunjukkan kedua variabel berkorelasi searah
sedangkan tanda negatif diartikan kedua variabel berkorelasi berlawanan arah.
Besaran mutlak koefisen korelasi Rank Spearman menyatakan kekuatan korelasi
dari dua variabel. Secara umum, bila koefisien korelasi dibawah 0,4 dapat
diartikan sebagai korelasi lemah, koefisien korelasi bernilai lebih dari 0,6
diartikan korelasi kuat, dan nilai koefisien korelasi diantara kedua nilai standar
tersebut dikategorikan sebagai korelasi sedang Firdaus et al (2011). Uji Rank
Spearman bisa saja dilakukan tanpa didahului oleh uji Chi Square seperti dalam
penelitian Riyadi (2003), uji signifikansi dilakukan dengan menggunakan P-value
yang dibandingkan dengan nilai taraf nyata yang diinginkan. Bila nilai P-value
berada di bawah nilai taraf nyata yang diinginkan maka korelasi antara dua
variabel yang diuji adalah nyata, sebaliknya bila P-value berada di atas nilai taraf
nyata yang diinginkan maka korelasi antara dua variabel yang diuji adalah tidak
nyata.
Berbeda dengan uji Chi Square dan Rank Spearman yang menguji satu per
satu variabel-variabel yang diduga saling berpengaruh, analisis regresi logistik
menguji pengaruh dari banyak variabel penjelas terhadap variabel yang dijelaskan
10
secara serentak atau secara simultan. Variabel yang dijelaskan atau variabel tak
bebas dalam regresi logistik merupakan peubah dengan skala numerik Firdaus et
al (2011). Regresi logistik yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan atau adopsi teknologi pada usahatani adalah regresi
logistik biner (Surya, 2002; Basuki, 2008; Prayitno, 2012; dan Yuliarmi, 2006).
Disebut regresi logistik biner karena peubah tak bebasnya hanya terdiri dari dua
nilai diskontinyu yaitu 0 dan 1. Dua nilai tersebut dalam kasus adopsi teknologi
pada usaha pertanian melambangkan keputusan petani untuk menerapkan (1) dan
keputusan petani untuk tidak menerapkan (0). Variabel penjelas atau variabel
bebas yang digunakan dalam penelitian tentang adopsi inovasi pada usahatani
adalah faktor personal atau karakteristik petani, faktor sosial, faktor situasional,
dan sifat dari inovasi (Surya, 2002; Basuki, 2008; Prayitno, 2012; dan Yuliarmi,
2006).
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
LEISA merupakan alternatif untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang
dimiliki oleh sistem pertanian konvensional. Kelemahan tersebut mulai dari
ketidakefisensian penggunaan input kimia, penurunan produktivitas pada jangka
panjang, sampai ke dampak buruk yang ditimbulkannya bagi ekosistem. Namun
agar LEISA ini dapat diterapkan secara luas, konsep LEISA membutuhkan daya
tarik dari aspek ekonomi. Potensi peningkatan pendapatan merupakan salah satu
insentif ekonomi yang dapat menarik minat petani untuk mau menerapkan sistem
LEISA pada usahataninya. Selain itu terdapat faktor-faktor non ekonomi lain yang
mempengaruhi petani untuk menerapkan atau tidak menerapkan konsep LEISA.
Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA)
LEISA didefinisikan sebagai pengembangan pertanian dengan
mengoptimalkan penggunaan input internal dan menggunakan input eksternal
sebagai input pelengkap dan digunakan secara efisien (FAO, 1996). Input internal
yang dioptimalkan penggunaannya dalam sistem LEISA didefinisikan sebagai
input yang diambil dari usahatani itu sendiri, misalnya energi matahari, air hujan,
sedimen, nitrogen yang diikat dari udara; atau input yang dihasilkan sendiri oleh
petani misalnya tenaga hewan, papan kayu, pupuk kandang, sisa tanaman, pupuk
hijau, pakan ternak, tenaga kerja keluarga, dan pengalaman-pengalaman belajar.
Sedangkan input eksternal adalah input yang didapatkan dari luar usahatani,
seperti pupuk kimia, pestisida kimia, tenaga kerja luar keluarga, bahan bakar
minyak, benih atau bibit unggul, air irigasi, alat dan mesin pertanian, serta
informasi pertanian. Input eksternal didapatkan dengan cara membeli atau
menukarkannya langsung dengan hasil pertanian (Reijntjes et al 2006). Kedua
jenis input ini dalam sistem LEISA dikombinasikan untuk mengkonservasi dan
memperkuat sumber daya alam, meningkatkan dan menstabilkan produktivitas
serta menghindari dampak buruk terhadap lingkungan.
LEISA tidak bertujuan untuk meningkatkan produksi dalam jangka
pendek, namun mencapai tingkat produksi yang optimal dan stabil dalam jangka
11
panjang. LEISA berupaya untuk mempertahankan, bila mungkin meningkatkan
sumber daya alam, serta memanfaatkan proses-proses alami secara maksimal.
Juga dicari cara-cara untuk memperoleh kembali nutrisi yang diambil dari
usahatani ke pasar. Nutrisi tersebut biasanya diperoleh kembali dengan cara
mendaur ulang biomasa yang dihasilkan dari usahatani (Mugnisjah et al 2000).
Penggunaan input eksternal yang ditekan dalam sistem LEISA mengurangi risiko
ekologis. Diharapkan karakteristik ekosistem yang tercipta dari penerapan LEISA
akan produktif dan berkelanjutan. Karena sistem yang tercipta memiliki fungsi
ekologik yang baik akibat adanya peran komplementer dan sinergik dari aneka
spesies tanaman, hewan, dan mikroorganisme yang menghasilkan masukan
internal dan menciptakan fungsi protektif.
Menurut Reijntjes et al (2006) terdapat lima prinsip ekologi dasar yang
dapat dijadikan panduan dalam menerapkan LEISA, yaitu:
1. Menjamin kondisi tanah yang mendukung bagi pertumbuhan tanaman,
terutama dengan mengelola bahan-bahan organik dan meningkatkan
kehidupan agen hayati dalam tanah.
2. Mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur
hara, terutama dengan menanam tanaman pengikat nitrogen, mendaur ulang
unsur hara, dan menggunakan pupuk kimia sebagai pelengkap.
3. Meminimalkan kehilangan akibat radiasi matahari, udara, dan air (misalnya
terjadi penguapan berlebihan, kebanjiran, rebah, dan kekeringan) dengan
cara pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air, dan pengendalian erosi.
4. Meminimalkan serangan hama dan penyakit terhadap tanaman dan hewan
melalui pencegahan dan perlakuan yang aman dari ekologis maupun
kesehatan manusia.
5. Penggunaan sumber daya genetik secara komplementer dan sinergis dengan
mempertahanan tingkat biodiversitas yang tinggi.
Penerapan LEISA di setiap antara satu daerah dengan daerah lain dapat
berbeda dan bisa jadi memakai terminologi yang berbeda pula. Penerapan prinsipprinsip LEISA tergantung oleh keterbatasan-keterbatasan sumber daya dan
keadaan sosioekonomis yang dimiliki oleh daerah setempat. FAO (1996) tidak
membakukan seberapa rendah porsi input eksternal yang digunakan dalam
LEISA. FAO juga tidak membakukan LEISA sebagai istilah untuk sistem
pertanian ini. Istilah lain yang biasa digunakan untuk menyebut sistem pertanian
ini seperti pertanian ekologis, sistem pertanian terpadu intensif, pengembangan
berkelanjutan dari sistem usahatani rumah tangga, pendekatan terintegrasi untuk
pengembangan pedesaan, pertanian berkelanjutan untuk pengembangan,
pengembangan berkelanjutan untuk pertanian, dan pertanian ramah lingkungan.
Bila dilihat dari aspek ekonomi konsep pertanian LEISA mempunyai
potensi untuk dikembangkan. Pertama, karena menurut hasil program perintisan
LEISA di beberapa negara, sistem pertanian LEISA mampu meningkatkan
produktivitas tanaman (FAO, 1996). Kedua, meningkatnya kesadaran masyarakat
akan pentingnya pangan sehat akan meningkatkan permintaan terhadap produk
pangan organik atau produk pangan yang menggunakan input kimia rendah.
Kesadaran tersebut juga meningkatkan nilai jual dari produk usahatani sistem
LEISA. Peningkatan produktivitas usahatani LEISA dan nilai jual dari produknya
akan meningkatkan pendapatan petani.
12
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan LEISA
LEISA secara umum merupakan teknologi dan cara pandang baru bagi
petani. Karena teknologi dan cara pandang baru merupakan inovasi (Soekartawi,
1988) maka LEISA juga dapat digolongkan sebagai inovasi. Teori-teori yang
dijadikan pendekatan untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi
penerapan LEISA adalah teori menganai faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi
inovasi.
Keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi merupakan proses mental
individu yang terjadi melalui serangkaian tahapan dari pengetahuan awal sampai
ke keputusan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi dan memantapkan
keputusannya tersebut (Rogers dan Shoemaker, 1971). Keputusan pengadopsian
inovasi berbeda dengan jenis proses pengambilan keputusan lainnya. Individu
selalu dihadapkan pada alternatif yang bersifat baru yaitu inovasi selain alternatifalternatif lainnya yang sudah ada. Maka sifat kebaruan dari inovasi itulah yang
menjadi pembeda pengambilan keputusan pengadopsian inovasi dengan jenis
pengambilan keputusan lainnya.
Rogers dan Shoemakers (1971) mengajukan model keputusan inovasi yang
terdiri dari empat tahap. Model ini menggantikan model keputusan inovasi
sebelumnya yang dirasa terlalu sederhana. Model keputusan inovasi tradisional
diberi nama proses adopsi yang terdiri dari lima tahap yaitu tahap kesadaran,
tahap ketertarikan, tahap evaluasi, tahap percobaan, dan tahap adopsi. Sedangkan
empat tahapan yang diajukan Rogers dan Shoemakers (1971) adalah tahap
pengetahuan (knowledge), tahap persuasi (persuasion), tahap keputusan
(decision), dan tahap konfirmasi (confirmation). Kemudian Rogers (1971)
mengajukan kembali model keputusan inovasi yang terdiri dari lima tahapan
yaitu:
1. Tahap pengetahuan (knowledge), terjadi pada saat individu atau unit
pengambilan keputusan lainnya terpapar oleh keberadaan inovasi dan
mendapat sejumlah pemahaman mengenai inovasi tersebut.
2. Tahap persuasi (persuasion), terjadi saat individu atau unit pengambilan
keputusan lainnya membentuk sikap setuju atau tidak setuju terhadap
inovasi.
3. Tahap keputusan (decision), terjadi saat individu melakukan kegiatankegiatan yang mengarahkannya kepada keputusan untuk mengadopsi atau
menolak inovasi.
4. Tahap penerapan (implementation), terjadi saat individu atau unit
pengambilan keputusan lainnya menerapkan inovasi tersebut.
5. Tahap konfirmasi (confirmation), terjadi saat individu atau unit
pengambilan keputusan lainnya mencari dukungan atas keputusan adopsi
yang telah dibuat namun bisa jadi malah merubah keputusannya bila
terpapar oleh pesan yang bertentangan tentang inovasi.
Banyak faktor yang mempengaruhi keputusan individu yaitu faktor atributatribut yang dimiliki oleh inovasi itu sendiri, faktor sosial, faktor kultural, faktor
personal, dan faktor situasional (Rogers dan Shoemaker, 1971; dan Lionberger,
1968). Atribut-atribut inovasi merupakan “nilai” inovasi di mata calon
pengadopsinya. Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan lima atribut
inovasi yaitu:
13
1. Keuntungan relatif (relative advantage), adalah sebuah ukuran untuk
menunjukkan sejauh mana suatu inovasi lebih baik dari pada ide-ide yang
sudah ada. Ukuran dari keuntungan relatif sering kali ditunjukkan dengan
tingkat keuntungan ekonomi, tapi mungkin saja diukur dari dimensi selain
ekonomi.
2. Kompatibilitas (compatibility) adalah ukuran dari inovasi dari segi
kesesuaiannya terhadap nilai-nilai yang ada, pengalaman, dan kebutuhan
dari calon pengadopsi. Sebuah ide yang sesuai dengan karakteristik utama
dari sebuah sistem sosial tentunya akan lebih mudah diadopsi dibanding ide
yang tidak sesuai dengan karakteristik sistem sosial tersebut.
3. Kompleksitas (complexity) adal
PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI DI
GAPOKTAN HARAPAN MAJU DAN GAPOKTAN SILIH ASIH,
KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR,
JAWA BARAT
DADANG WAHYU JUNIARWOKO
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA1
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan LEISA pada
Usahatani Padi Sehat dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Usahatani di
Gapoktan Harapan Maju dan Gapoktan Silih Asih, Kecamatan Cigombong,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Dadang Wahyu Juniarwoko
1
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait
iv
ABSTRAK
DADANG WAHYU JUNIARWOKO. Penerapan LEISA pada Usahtani Padi
Sehat dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani di Gapoktan Harapan
Maju dan Gapoktan Silih Asih, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI.
Usahatani Padi Sehat di Gapoktan Silih Asih dan Harapan Maju
merupakan usahatani low input dan konsep pertanian low input yang dikenal
secara umum adalah Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA).
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi penerapan prinsip-prinsip LEISA pada
usahatani Padi Sehat, mengukur tingkat penerapan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan LEISA, serta mendeskripsikan pengaruhnya terhadap
produktivitas dan pendapatan usahatani padi di Gapoktan Silih Asih dan Harapan
Maju, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan hasil
penelitian, usahatani Padi Sehat merupakan usahatani LEISA. Tingkat penerapan
LEISA petani Padi Sehat lebih tinggi dari petani non Padi Sehat. Penerapan
LEISA di Gapoktan Silih Asih dan Harapan Maju dipengaruhi oleh status
penguasaan lahan dan status keanggotaan kelompok tani . Peningkatan penerapan
LEISA pada usahatani, secara signifikan akan meningkatkan pendapatan petani,
pengembalian atas modal, dan efisiensi usahatani.
Kata kunci: LEISA, faktor-faktor, padi, pendapatan usahatani, penerapan
ABSTRACT
DADANG WAHYU JUNIARWOKO. LEISA Implementation on Padi Sehat
Farming and Its Effects on Farm Income in Gapoktan Harapan Maju and
Gapoktan Silih Asih, Cigombong, Bogor, West Java. Supervised by NUNUNG
KUSNADI.
Padi Sehat farming in Gapoktan Harapan Maju and Silih Asih is a low
input farming, and the low input concept that has been widely acknowleged is
Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA). This study was conducted
to identify the implementation of LEISA principles in Padi Sehat farming
practice, to measure the level and to seek the determinants of LEISA
implementation, and also to describe its effect on farm production and farmer
income in Gapoktan Harapan Maju and Silih Asih. The result of this research
indicated that Padi Sehat farming was a LEISA farming. Padi Sehat farmers’s
implementation level of LEISA was higher than that of non-Padi Sehat farmers’s.
LEISA Implementation in Gapoktan Harapan Maju and Silih Asih was affected
by land tenure, and membership of farmer group. The implementation of LEISA
on farming would significantly increase farmer income, return on capital, and
farm efficiency.
Key Words : LEISA, factors, implementation, income, rice
vi
PENERAPAN LEISA PADA USAHATANI PADI SEHAT DAN
PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI DI
GAPOKTAN HARAPAN MAJU DAN GAPOKTAN SILIH ASIH,
KECAMATAN CIGOMBONG, KABUPATEN BOGOR,
JAWA BARAT
Dadang Wahyu Juniarwoko
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
viii
Judul Skripsi
Penerapan LEISA pada Usahatani Padi Sehat dan Pengaruhnya
terhadap Pendapatan Usahatani di Gapoktan Harapan Maju dan
Gapokan Silih Asih, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat
Nama
Dadang Wahyu Juniarwoko'
NIM
H34114m3
Disetujui oleh
Dr Ir Nunung Kusnadi. MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Tanggal Lulus
0 6, l4n,
2014
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai kaya akhir
dengan judul Penerapan LEISA Pada Padi Sehat dan Pengaruhnya terhadap
Pendapatan Petani di Gapoktan Harapan Maju dan Gapoktan Silih Asih,
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat sebagai salah satu syarat
kelulusan pada Program Alih Jenis Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Laporan
ini merupakan hasil penelitian penulis yang dilaksanakan di Desa Ciburuy dan
Desa Pasir Jaya, Kabupaten Bogor.
Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih secara tertulis
sebagai bentuk penghargaan kepada kedua orang tua tercinta yang telah
memberikan dukungan, doa, dan materi yang mengantarkan penulis menuju satu
titik menuju masa depan, Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi MS sebagai dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga berterimakasih
kepada Ibu Dr Ir Dwi Racmina, MSi sebagai dosen penguji utama dan Ibu Eva
Yolynda Aviny, Sp MM sebagai dosen penguji akademik yang telah banyak
memberikan saran, pengelola dan sekretariat Departemen Agribisnis yang telah
banyak membantu dalam perihal-perihal akademik, dan petani-petani Gapoktan
Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju yang telah memberikan kesempatan untuk
melaksanakan penelitian dan membantu dalam pengumpulan data, serta semua
pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Bogor, Mei 2014
Dadang Wahyu Juniarwoko
i
i
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Penerapan Low External Input and Sustainable Agriculture (LEISA) pada
Usahatani Padi dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan LEISA dan Teknologi Baru
pada Usahatani Padi
Metode Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan Teknologi
pada Usahatani
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Pengambilan Sampel
Jenis dan Sumber Data
Metode Pengumpulan Data
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Definisi Operasional
GAMBARAN UMUM
Gapoktan Harapan Maju dan Gapoktan Silih Asih
Karakteristik Petani Responden
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penerapan LEISA di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju
Pandangan Petani Padi Terhadap Padi Sehat
Tingkat Penerapan LEISA di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan
Maju
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Penerapan LEISA oleh Petani
Padi
Pengaruh Penerapan LEISA Terhadap Produktivitas dan Pendapatan
Usahatani
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
ii
ii
iii
1
1
3
4
4
4
5
5
6
9
10
10
17
20
20
20
20
21
21
30
30
30
31
37
37
42
43
47
52
64
64
65
65
68
80
ii
DAFTAR GAMBAR
1
2
Pengaruh teknologi baru terhadap fungsi produksi
Kerangka Pemikiran Operasional
15
19
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Jenis Data dan Sumber data Penelitian
Perhitungan Keuntungan Usahatani
Uji d Durbin-Watson: Aturan Keputusan
Karakteristik responden berdasarkan status usahatani padi, di Gapoktan
Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Jumlah petani responden berdasarkan kelompok usia, di Gapoktan Silih
Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Jumlah petani responden berdasarkan tingkat pendidikan, di Gapoktan
Silih Asih dan Gapoktan harapan Maju tahun 2013
Statistik deskriptif data luasan lahan yang dikelola petani padi, di
Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Karakteristik petani berdasarkan status penguasaan lahan, di Gapoktan
Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Karakteristik responden berdasarkan ukuran keluarga, di Gapoktan Silih
Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Statistik deskriptif data pendapatan per bulan dari luar usahatani
keluarga petani padi, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan harapan
Maju tahun 2013
Motivasi responden menanam Padi Sehat, di Gapoktan Silih Asih dan
Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Persentase jumlah petani penerap setiap komponen LEISA, di Gapoktan
Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Statistik deskriptif tingkat penerapan LEISA, di Gapoktan Silih Asih
dan Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Tingkat penerapan LEISA petani responden, di gapoktan Silih Asih dan
Gapoktan Harapan Maju tahun 2013
Model regresi linier berganda faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
penerapan LEISA pada usahatani padi, di Gapoktan Silih Asih dan
Harapan Maju Tahun 2013
Statistik deskriptif data produtivitas usahatani padi petani responden, di
Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Statistik deskriptif data penerimaan usahatani padi responden, di
Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Biaya usahatani padi petani responden, di Gapoktan Silih Asih dan
Gapoktan Harapan Maju 2013
20
22
25
31
32
33
34
35
35
36
43
44
46
46
49
52
53
55
iii
19
20
21
22
23
24
25
Alokasi biaya tenaga kerja luar keluarga pada usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Statistik deskriptif data pendapatan tunai usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Statistik deskriptif data pendapatan total usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Analisis efisiensi usahatani padi petani responden, di Gapoktan Silih
Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Alokasi Tenaga Kerja Dalam Keluarga dalam Usahatani Padi, di
Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Analisis pengembalian atas modal opersional pada usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
Analisis pengembalian atas tenaga kerja pada usahatani padi petani
responden, di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju 2013
58
59
60
60
62
63
64
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Pertumbuhan Jumlah Penduduk dan Konsumsi Beras di Indonesia Tahun
2008-2012*
Laju Pertumbuhan Produksi Beras di Indonesia Tahun 2008-2012
Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi Indonesia Tahun 1968,
1976, 1986, dan 1996
Data Input Regresi Sekaligus Karakteristik Responden
Data Tingkat Penerapan LEISA pada Usahatani Padi Responden
Hasil Analisis Regresi Linier Berganda
Data rata-rata analisis usahatani padi di Gapoktan Silih Asih dan
Gapoktan Harapan Maju
Output Uji-t Sampel Bebas
Output Korelasi Pearson
68
68
69
70
71
72
75
76
77
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Seiring dengan pertumbuhan populasi, permintaan nasional terhadap beras
pun meningkat. Laju pertumbuhan populasi Indonesia tiap tahunnya mulai tahun
2010 mencapai 1,49 persen per tahun, dengan jumlah penduduk di tahun itu
mencapai 237.641.326 jiwa1. Artinya diperkirakan pada tahun 2013 jumlah
penduduk indonesia adalah 248.422.956 jiwa (Lampiran 1). Konsumsi beras per
kapita per tahun Indonesia adalah 139 kg per kapita pertahun maka kebutuhan
beras tiap tahunnya meningkat 490-506 ribu ton dan diperkirakan akan mencapai
34,53 juta ton beras pada tahun 2013. Bila pemerintah menargetkan surplus 10
juta ton sebagai cadangan beras maka total kebutuhan beras nasional pada 2013
mencapai 44,53 juta ton2.
Laju pertumbuhan konsumsi beras tersebut masih belum bisa diimbangi
oleh pertumbuhan produksi beras nasional. Produksi beras rata-rata dari tahun
2008 hingga 2012 tumbuh sekitar 3,47 persen (Lampiran 2). Bila diasumsikan
pada 2013 terjadi peningkatan yang sama dengan yang terjadi pada 2012 maka
produksi beras tahun 2013 diperkirakan sekitar 40,76 juta ton. Defisit 3,77 ton
dari kebutuhan nasional yang diperkirakan dan defisit tersebut oleh pemerintah
biasanya diatasi dengan impor beras.
Solusi yang pernah dicetuskan pemerintah dalam meningkatkan produksi
untuk memenuhi kebutuhan beras nasional adalah program-program intesifikasi
produksi padi yang dimulai sekitar tahun 1963. Program-program tersebut antara
lain program Pertanian Terapan pada tahun 1963, program Demonstrasi Masal
pada tahun 1964, dan pada tahun 1965 program Bimbingan Masal (Bimas) dan
Intensifikasi Masal (Inmas) yang berskala nasional. Serangkaian program
intensifikasi produksi padi tersebut mempunyai prinsip yang sama dan hanya
berbeda dalam implementasinya. Prinsip-prinsip tersebut adalah (a) penyuluhan
intensif agar petani menanam varietas unggul, menggunakan pestisida dan pupuk
sintetis lebih banyak, dan mempraktikan teknologi budidaya yang lebih baik dan
tata air yang teratur; (b) pengadaan sarana produksi yang dibutuhkan;(c)
pengaturan kredit bagi petani; dan (d) stabilisasi harga dan perbaikan pemasaran
(Oudejans, 2006).
Prinsip penggunan pupuk dan pestisida anorganik secara besar-besaran
yang dianut oleh program intensifikasi produksi padi saat itu, juga dikenal dengan
istilah High External Input Agriculture (HEIA). HEIA merupakan prinsip inti dari
revolusi hijau. Selain memiliki ketergantungan pada input kimia, HEIA juga
memiliki ketergantungan pada benih unggul dan sistem irigasi. Sistem pertanian
ini membutuhkan modal relatif besar ketimbang sistem pertanian tradisional,
karena sebagian besar input diperoleh dengan membeli (Reijntjes et al, 2006).
1
http://www.bps.go.id/tab_sub/excel.php?id_subyek=12%20¬ab=2
(diakses 14 Mei 2013)
2
http: // www.setneg.go.id/index.php? option= com_content&task= view&id=
5171& Itemid= 29 (diakses 13 Mei 2013 )
2
HEIA diakui mampu meningkatkan produktivitas padi selama periode
diterapkannya dan meningkatkan produksi nasional. Pertama kali dipublikasikan
oleh pemerintah pada tahun 1966, petani yang menerapkan HEIA di Indonesia
melalui program Bimas memperoleh hasil dua kali lebih banyak yaitu 4,9 ton per
hektar, dibandingkan rata-rata hasil petani yang tidak menerapkan HEIA. Mulai
saat itu produksi padi nasional terus meningkat hingga mencapai swasembada
beras pada tahun 1984. Titik pencapaian produksi tertinggi terjadi pada 1996 dan
menghasilkan 51,16 juta ton gabah dengan produktivitas rata-rata 4,51 ton per
hektar (Lampiran 3).
Kenaikan produktivitas karena penerapan HEIA sayangnya tidak
berkelanjutan. Penggunaan bahan organik secara berkepanjangan menyebabkan
penurunan kandungan bahan organik di dalam tanah yang mengakibatkan
kesuburan tanah berkurang. Salah satu contoh diberikan oleh Sugito et al (1995),
produktivitas tebu pada periode 1990-an adalah sekitar 10 ton per hektar, berada
di bawah produktivitas tebu yang pernah dicapai sebelum 1940 yaitu 16 ton per
hektar. Padahal, pada saat itu varietas unggul yang ditanam mampu berproduksi
hingga 20 ton per hektar. Hal tersebut dikarenakan pemakaian pupuk anorganik
tanpa diiringi pengembalian bahan organik ke dalam tanah.
Pemanfaatan input anorganik dalam sistem HEIA selain menyebabkan
penurunan produktivitas juga memiliki dampak buruk terhadap ekologi dan
kesehatan manusia. Satu contoh, pestisida anorganik yang digunakan secara
berlebihan akan menyebabkan resistensi hama terhadap dosis pestisida yang
diaplikasikan. Oleh karena itu, dibutuhkan dosis yang lebih besar untuk
mematikan hama tersebut. Sementara kandungan bahan pestisida semisal
Dichloro Diphenyl Trichloretane (DDT) yang mencemari tanah, air, atau tanaman
lain akan termakan oleh hewan dan masuk ke dalam rantai makanan yang
puncaknya adalah manusia (Ekha, 1991). DDT yang tertimbun di dalam tubuh
dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian. Contoh lain, pada penerapan
pupuk anorganik, menurut Reijntjes et al (2006) pemakaian pupuk anorganik
menyebabkan peningkatan dekomposisi bahan organik dalam tanah yang
kemudian menyebabkan degradasi kesuburan tanah. Lebih lanjut dijelaskan,
aplikasi yang tidak seimbang dari pupuk nitrogen menyebabkan penurunan pH
tanah dan menyebabkan kekeringan pada tanaman.
Mengatasi kondisi ketidakberlanjutan sistem HEIA lahir konsep pertanian
ramah lingkungan yang meminimalkan input anorganik dan mengoptimalkan
sumber daya organik yang tersedia di lingkungan sekitar (FAO, 1996). Sistem
pertanian yang bernama umum Low External Input Sustainable Agriculture
(LEISA) ini merupakan konsep pertanian perintisan dari pertanian konvensional
ke pertanian organik. Mengenai seberapa rendah porsi penggunaan input
anorganik dalam sistem LEISA tidak dibakukan. Namun, karena merupakan
sistem “pertengahan” antara pertanian konvensional dan organik, maka semakin
rendah porsi penggunaan input kimia maka semakin baik.
Penerapan sistem LEISA akan mengembalikan kesuburan lahan dan
diduga mampu meningkatkan pendapatan petani. Pengembalian bahan organik ke
tanah akan meningkatkan porositas tanah, meningkatkan kemampuan tanah
menahan air, dan menambah unsur hara tanah. Penggunaan input organik buatan
yang bahan bakunya didapat dari lingkungan sekitar akan mengurangi biaya untuk
membeli pupuk dan pestisida anorganik. Sehingga pada produktivitas yang sama
3
dengan produktivitas pertanian konvensional, sistem LEISA akan menghasilkan
keuntungan yang lebih tinggi dan lebih tinggi lagi jika padi sistem LEISA dijual
dengan harga yang lebih tinggi.
Penerapan LEISA di Indonesia menurut FAO (1996) tercatat sejak awal
periode 1990-an. Pada saat itu penerapan LEISA dianggap sebagai solusi yang
menjanjikan untuk meningkatkan produktivitas petani padi berskala kecil. Namun,
penerapan LEISA masih kurang diminati oleh petani sebab kurangnya insentif
ekonomi untuk produk padi LEISA. Minat masyarakat kala itu untuk produk sehat
dan ramah lingkungan masih rendah. Maka di kalangan petani pun lebih memilih
untuk menerapkan sistem HEIA yang sudah dianggap memiliki kepastian harga
dan hasil (FAO, 1996).
Manfaat ekonomi dari penerapan LEISA pada usahatani, berdasarkan
penelitian terdahulu, adalah positif. LEISA yang diterapkan pada usahatani padi di
beberapa daerah di Indonesia semisal di Kecamata Tempura, Kabupaten karawang
dan di Desa Ponggang, Kabupaten Serang, terbukti menguntungkan. Bahkan,
pendapatan usahatani padi LEISA di dua daerah tersebut lebih tinggi daripada
pendapatan usahatani padi konvensional. Namun, penelitian-penelitian mengenai
manfaat ekonomi LEISA terhadap usahatani masih sedikit. Oleh karena itu,
penting untuk meneliti mengenai manfaat penerapan LEISA terhadap usahatani di
daerah-daerah yang mempunyai indikasi menerapkan LEISA.
Perumusan Masalah
Berdasarkan penelitian terdahulu, di Desa Ciburuy dan Desa Pasir Jaya
terdapat petani-petani padi yang menerapkan pertanian low input. Petani-petani
tersebut tergabung dalam Gapoktan Silih Asih di Desa Ciburuy dan Gapoktan
Harapan Maju di Desa Pasir Jaya. Pertanian low input tersebut dikenal dengan
sebutan “Padi Sehat” (Situmeang, 2012). Penerapan low input pada usahatani Padi
Sehat tergambar dari praktek pengurangan porsi penggunaan pupuk kimia yang
digunakan, digantikan dengan pupuk organik buatan petani, serta tidak lagi
digunakannya pestisida kimia dan digantikan oleh penggunaan pestisida nabati
yang juga dibuat sendiri oleh petani (Gultom, 2011). Karena konsep pertanian low
input yang dikenal luas adalah konsep Low External Input Sustainable Agriculture
(LEISA). Maka timbul pertanyaan yaitu apakah konsep low input Padi Sehat
dapat dideskripsikan dengan menggunakan prinsip-prinsip LEISA ? Bila terbukti
benar usahatani Padi Sehat menggunakan konsep LEISA, maka bagaimana tingkat
penerapan LEISA oleh setiap petani Padi Sehat ? Selain itu apakah petani-petani
non Padi Sehat juga menerapkan LEISA ? Bila petani-petani non Padi Sehat
terbukti menerapkan LEISA seberapa tinggi tingkat penerapannya ? Jika terdapat
variasi tingkat penerapan LEISA oleh setiap petani tersebut maka akan timbul
pertanyaan tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat penerapan
LEISA pada usahatani padi ?
Selain itu, menurut hasil penelitian terdahulu terdapat dua pola pengaruh
penerapan konsep low input Padi Sehat terhadap pendapatan di Desa Ciburuy dan
Desa Pasir Jaya. Pola pertama menunjukkan bahwa pendapatan usahatani Padi
Sehat, yang merupakan usahatani low input, bernilai positif bahkan lebih besar
daripada usahatani padi konvensional sedangkan pola kedua menunjukkan bahwa
pendapatan usahatani Padi Sehat bernilai negatif (Ubaydillah, 2008; dan
4
Situmeang 2012). Kedua pola pengaruh tersebut mengindikasikan adanya variasi
pengaruh tingkat penerapan low input terhadap keuntungan usahatani Padi Sehat
di Desa Ciburuy dan Desa Pasir Jaya. Indikasi tersebut menimbulkan pertanyaan
mengenai bagaimana pengaruh tingkat penerapan LEISA (bila terbukti konsep
low input Padi Sehat adalah LEISA) terhadap keuntungan usahatani Padi Sehat ?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini diharapkan dapat menjawab permasalahan di
atas. Adapaun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Membuktikan sesuai tidaknya tujuan kegiatan-kegiatan dalam budidaya
Padi Sehat dengan prinsip-prinsip dasar LEISA.
2. Mengukur tingkat penerapan LEISA pada usahatani padi sawah di
Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju.
3. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan LEISA pada
padi sawah di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju.
4. Mengukur pengaruh tingkat penerapan LEISA terhadap keuntungan
usahatani di Gapoktan Silih Asih dan Gapoktan Harapan Maju.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi masukan bagi
berbagai pihak yang terkait dengan pengembangan usahatani padi dengan konsep
LEISA, antara lain:
1. Petani, sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan dalam
menentukan sistem pertanian yang digunakan dalam usahataninya.
2. Penulis, sebagai sarana mengaplikasikan ilmu-ilmu yang didapatkan dari
bangku kuliah dan mendapatkan tambahan wawasan dan pengalaman dari
kasus nyata di lapangan.
3. Akademisi dan peneliti, hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumber
informasi dan referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian dilakukan dalam batasan wilayah Desa Ciburuy dan Desa Pasir
Jaya, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Komoditas yang
diteliti adalah padi sawah, Padi Sehat maupun non Padi Sehat, dan respondennya
adalah petani-petani padi di Desa Pasir Jaya dan Desa Ciburuy. Analisa
pendapatan usahatani Padi Sehat akan disertai dengan ukuran penampilan
usahatani lainnya yaitu imbalan kepada seluruh modal (return to total capital),
imbalan kepada modal petani (return to equity capital), dan imbalan kepada
tenaga kerja (return to labor). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
penerapan LEISA pada usahatani padi menggunakan variabel-variabel penduga
yaitu jumlah tanggungan keluarga, umur pendidikan, lama pendidikan formal
petani, pendapatan luar usahatani rumah tangga petani, luas lahan garapan
usahatani padi, status kepemilikan lahan, tujuan usahatani padi, dan status petani
padi sebagai petani Padi Sehat atau non Padi Sehat.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Penerapan Low External Input and Sustainable Agriculture (LEISA) pada
Usahatani Padi dan Pengaruhnya terhadap Pendapatan Usahatani
Penerapan sistem LEISA pada suatu daerah bisa berbeda dengan daerah
lain. FAO (1996)-pun tidak mempunyai prosedur baku penerapan sistem LEISA.
Seperti dari segi besarnya porsi input luar yang masih digunakan, teknik
budidaya, pola proteksi tanaman dan sebagainya. Asalkan prinsip sistem pertanian
yang diterapkan menganut prinsip sistem LEISA maka sistem pertanian tersebut
bisa disebut sistem LEISA walaupun bisa saja menggunakan terminologi lain.
Seperti halnya penerapan sistem LEISA untuk model pekarangan yang dilaporkan
oleh Cai (1995, dalam Mugnisjah et al, 2000) di China tidak menggunakan istilah
LEISA. Perbedaan tipe penerapan sistem LEISA antar daerah diduga akan
mengakibatkan perbedaan dampaknya terhadap perbaikan ekologi dan pendapatan
petani.
Petani Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, mengadopsi sistem
LEISA namun dengan intensitas penggunaan input eksternal yang beragam
(Wijaya, 2002). Petani-petani padi yang menerapkan LEISA menerima
pendapatan yang setara dengan padi konvensional, walaupun mendapatkan
penerimaan yang lebih kecil dari petani konvensional. Hal ini disebabkan
berkurangnya biaya tunai petani padi LEISA karena sebagian input eksternal
digantikan dengan input organik yang dibuat petani.
Penerapan sistem LEISA pada padi sawah tercatat juga dilakukan oleh
petani-petani di Desa Ponggang Kecamatan Sagalaherang Kabupaten Subang,
Jawa Barat. Format pertanian yang diusahakan oleh kelompok tani di Desa
Ponggang tersebut diberi istilah Pertanian Ramah Lingkungan. Pola pertanian
ramah lingkungan menjadi alternatif untuk mengakomodasi permasalahan petani
kecil terkait pengadaan input produksi (Ubaydillah, 2008). Pertanian Ramah
Lingkungan dalam prakteknya menekan penggunaan input kimia dan
menggantikannya dengan input organik seperti pupuk kompos dan pestisida
nabati. Pupuk kimia daun masih diaplikasikan ke tanaman dalam pertanian ramah
lingkungan, tapi pupuk anorganik seperti urea, TSP, KCL, dan sejenisnya sama
sekali tidak digunakan tapi digantikan dengan pupuk bokashi dan pupuk kompos.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan teknik budidaya dan pestisida
nabati. Pestisida nabati terbuat dari bahan-bahan alami yang mudah didapat dari
lingkungan sekitar seperti gadung dan daun mimba.
Pendapatan petani padi ramah lingkungan di Desa Ponggang lebih tinggi
dari pendapatan petani padi konvensional. Hal tersebut dikarenakan output per
hektar yang dihasilkan oleh padi ramah lingkungan lebih tinggi dari output per
hektar yang dihasilkan oleh padi konvensional. Walaupun biaya yang dikeluarkan
oleh usahatani padi ramah lingkungan lebih tinggi dari usahatani padi
konvensional, yaitu dengan selisih sekitar Rp 2 juta per hektarnya. Namun dengan
tingkat penerimaan usahatani padi ramah lingkungan yang jauh lebih tinggi, yang
berselisih Rp 6,5 juta rupiah per hektarnya, membuat pendapatan yang diterima
petani padi ramah lingkungan lebih besar dibandingkan pendapatan petani
konvensional (Ubaydillah, 2008).
6
Pola perbedaan penerapan sistem LEISA di suatu daerah dengan daerah
yang lain terletak pada porsi penggunaan input kimia terhadap total seluruh input
yang digunakan untuk keperluan nutrisi tanaman serta pengendalian hama dan
penyakit. Ada petani LEISA seperti di Kecamatan Tempura yang masih
menggunakan pupuk kimia dalam porsi yang cukup besar yaitu sekitar 30-50%
(Wijaya, 2002). Namun, ada pula petani daerah lain seperti di Desa Ponggang
yang sudah meninggalkan penggunaan pupuk kimia padat sama sekali dan hanya
menggunakan pupuk kimia cair untuk daun yang porsinya sangat kecil
(Ubaydillah, 2008).
Usahatani padi yang menerapkan sistem LEISA umumnya memiliki
tingkat keuntungan yang lebih tinggi dibanding tingkat keuntungan usahatani padi
konvensional. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal seperti:
1. Output usahatani padi sistem LEISA mempunyai harga jual yang lebih tinggi
daripada harga output usahatani padi konvensional. Dalam tingkat output dan
biaya yang sama pendapatan petani padi sistem LEISA akan lebih besar (Sari,
2011).
2. Biaya yang dikeluarakan petani padi sistem LEISA, terutama untuk input
kimia, lebih kecil dibandingkan petani padi konvensional. Dengan
pengurangan biaya ini maka dalam tingkat penerimaan yang sama pendapatan
petani sistem LEISA akan lebih besar ketimbang petani padi konvensional
(Wijaya, 2002) .
3. Tingkat output yang dihasilkan usahatani padi sistem LEISA lebih tinggi dari
yang dihasilkan oleh usahatani padi konvensional. Sehingga penerimaan
usahatani padi sistem LEISA otomatis lebih besar dari usahatani padi
konvensional. Pada selisih tingkat biaya yang tidak jauh lebih besar
dibandingkan selisih penerimaan, maka pendapatan petani padi sistem LEISA
jauh lebih tinggi dibanding pendapatan petani padi konvensional (Ubaydillah,
2008).
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan LEISA dan Teknologi Baru
pada Usahatani Padi
LEISA secara umum merupakan teknologi dan cara pandang baru bagi
petani. Karenanya, menurut definisi Soekartawi (1988) tentang inovasi, LEISA
dapat digolongkan sebagai inovasi. Penelitian-penelitian terdahulu pun dalam
menentukan faktor-faktor penduga yang mempengaruhi penerapan LEISA
maupun teknologi baru lain menggunakan dasar teori penerapan inovasi. Faktorfaktor penduga tersebut antara lain terdiri dari faktor sosial, faktor situasional,
faktor kultural dan faktor personal (Lionberger, 1968).
Jumri dan Effendi (2007) meneliti faktor sosial yang mempengaruhi
penerapan LEISA usahatani padi. Faktor-faktor penduganya antara lain
pendidikan petani, umur petani dan profesi keturunan. Hasil penelitiannya
menunjukkan faktor-faktor yang berpengaruh hanya faktor pendidikan dan faktor
profesi keturunan. Jumri dan Effendi (2007) menjelaskan bahwa profesi keturunan
berpengaruh terhadap penerapan LEISA mempunyai arti petani yang meneruskan
profesi orang tuanya sebagai petani, telah akrab dengan lingkungan pertanian
sejak kecil dan mengenali kebutuhan untuk mengembangkan pertaniannya.
Sedangkan variabel pendidikan baik formal maupun non formal berpengaruh
positif terhadap kemungkinan penerapan LEISA.
7
Filho et al (1998) menjelaskan faktor-faktor ekonomi dan non ekonomi
yang meningkatkan kemungkinan penerapan LEISA pada usahatani adalah
keikutsertaan petani pada organisasi petani, kontak petani dengan lembaga
pertanian swadaya, kesadaran akan efek negatif dari bahan kimia terhadap
kesehatan dan lingkungan, keandalan tenaga kerja keluarga, dan lahan yang subur.
Sedangkan faktor-faktor yang dapat menurunkan kemungkinan penerapan LEISA
pada usahatani adalah peningkatan skala usahatani. Ditambahkan oleh Filho et al
(1998) penurunan tingkat harga output pertanian meningkatkan kecenderungan
penerapan LEISA pada usahatani.
Bila dibandingkan, faktor-faktor penduga yang mempengaruhi penerapan
LEISA dan faktor-faktor penduga yang mempengaruhi penerapan teknologi
pertanian lain pada usahatani padi tidak akan jauh berbeda. Karenanya faktorfaktor penduga yang mempengaruhi teknologi pertanian selain LEISA diduga bisa
menjadi faktor-faktor penduga yang mempengaruhi penerapan LEISA pada
usahatani. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan teknologi pada usahatani
antara lain:
a. Faktor personal: umur, lama pendidikan formal, dan lama pendidikan non
formal non formal (Basuki, 2008; Rosa, 2002; dan Novarianto, 1999).
b. Faktor sosial: kekosmopolitanan (Rosa, 2002)
c. Faktor situasional: luas lahan, status penguasaan lahan, rasio pendapatan
dari usahatani padi terhadap total pendapatan rumah tangga, tingkat
keuntungan usahatani, tingkat produktivitas usahatani, harga gabah,
tingkat pengalaman usahatani, dan biaya tenaga kerja (Basuki, 2008,
Novarianto, 1999; Yuliarmi, 2006; Rosa, 2002; dan Surya, 2002).
d. Faktor kultural: pandangan petani mengenai utang usahatani, pandangan
petani mengenai pentingnya pendidikan, pandangan petani mengenai
kebebasan menentukan pilihan (Pedersen, 1951; dalam Lionberger 1968).
Faktor personal yang mempengaruhi adopsi inovasi menurut hasil
penelitian Basuki (2008), Rosa (2002), dan Novarianto (1999), adalah umur, lama
pendidikan formal, dan lama pendidikan non formal. Dijelaskan bahwa umur
mempunyai pengaruh negatif terhadap adopsi inovasi pada usahatani padi, artinya
semakin tua petani maka kemungkinan petani tersebut untuk mengadopsi inovasi
akan semakin kecil. Sedangkan lama pendidikan baik formal maupun non formal
mempunyai pengaruh positif terhadap adopsi inovasi pada usahatani padi, berarti
semakin tinggi tingkat pendidikan fomal atau non formal semakin tinggi pula
kemungkinan petani tersebut untuk mengadopsi inovasi. Menurut Rosa (2002)
dan Novarianto (1999) pendidikan non formal yang digunakan dalam pengukuran
adalah adalah lama pendidikan non formal yang pernah diikuti oleh individu yang
berhubungan dengan pertanian, seperti penyuluhan pertanian, seminar pertanian,
kursus pertanian, dan latihan pertanian. Akan tetapi, lebih lanjut Novarianto
(1999) menjelaskan untuk petani dengan lama pendidikan 1-6 tahun tingkat
kemungkinan petani untuk mengadopsi inovasi adalah tidak berbeda. Karena
kemampuan untuk menerima teknologi antara lama pendidikan 1-6 tahun
biasanya tidak berbeda jauh.
Menurut Rosa (2002) variabel dari faktor sosial yang mempengaruhi
adopsi inovasi adalah kekosmopolitanan. Variabel kekosmopolitanan yang
dimaksud oleh Rosa (2002) adalah tingkat keterbukaan petani terhadap informasi
yang berkaitan dengan pertanian, indikatornya adalah frekuensi bertemu dengan
8
penyuluh pertanian, frekuensi diskusi pertanian dengan petani luar desa, dan
frekuensi memperoleh informasi dari majalah pertanian, radio, dan televisi.
Variabel pendidikan, menariknya, digolongkan Jumri dan Effendi (2007) sebagai
faktor sosial sementara sebagian peneliti lain seperti Rosa (2002), Novarianto
(1999), Yuliarmi (2006) dan Surya (2002), menggolongkannya sebagai faktor
personal. Penggololongan variabel pendidikan sebagi faktor sosial mengikuti teori
yang dikemukakan oleh Lionberger (1968), bahwa pendidikan bisa merupakan
suatu ukuran status sosial bagi masyarakat tertentu (status factor). Semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang semakin tinggi pula kedudukannya dalam tingkatan
prestise di masyarakatnya. Menjadikannya seorang panutan dalam pengambilan
risiko dan cara memandang hal baru di masyarakat. Sementara itu peneliti lainnya
menggolongkan variabel pendidikan sebagai faktor personal mengikuti asumsi
bahwa pendidikan yang lebih tinggi akan membawa pada sikap menerima inovasi
yang lebih baik.
Faktor situasional yang mempengaruhi adopsi inovasi adalah luas lahan,
status penguasaan lahan, rasio pendapatan dari usahatani padi terhadap total
pendapatan rumah tangga, tingkat keuntungan usahatani, tingkat produktivitas
usahatani, harga gabah, dan biaya tenaga kerja (Basuki (2008), Novarianto (1999),
Yuliarmi (2006), Rosa (2002), dan Surya (2002)). Variabel-variabel selain biaya
tenaga kerja dan status penguasaan lahan berpengaruh positif terhadap
kemungkinan adopsi inovasi. Sedangkan variabel biaya tenaga kerja yang
menyertai inovasi tersebut berpengaruh negatif terhadap kemungkinan adopsi
inovasi. Variabel tingkat keuntungan inovasi yang dijelaskan oleh Novarianto
(1999) bisa juga digolongkan sebagai sifat atau atribut inovasi mengacu pada
Roger (1971). Roger (1971) menjelskan bahwa tingkat adopsi inovasi bisa
dipengaruhi oleh tingkat keuntungan relatif yang akan diterima oleh calon
pengadopsi bila mengadopsi suatu inovasi. Pada variabel status penguasaan lahan
yang dipaparkan oleh Basuki (2008) terdiri atas petani pemilik lahan dan bukan
pemilik lahan. Petani bukan pemilik lahan terbukti memiliki kemungkinan untuk
mengadopsi inovasi lebih tinggi ketimbang petani pemilik lahan. Menurut Basuki
(2008) petani bukan pemilik lahan mempunyai kewajiban atas biaya lahan dan
sebagian atau seluruh biaya produksi lainnya. Sehingga petani bukan pemilik
lahan mempunyai harapan lebih besar untuk bisa meningkatkan pendapatannya
melalui adopsi inovasi.
Faktor kultural atau kebudayaan merupakan faktor yang diamati melalui
tata nilai dan sikap yang dianut oleh individu atau masyarakat (Soekartawi, 1988).
Kebudayaan yang dianut oleh individu atau masyarakat berbeda antara satu dan
lainnya. Pedersen (1951, dalam Lionberger 1968) mengemukakan dua perbedaan
kebudayaan masyarakat petani dari dua negara yaitu Polandia dan Denmark yang
mempengaruhi perbedaan tingkat penerapan teknologi pertanian di kedua negara
itu. Petani Denmark diketahui lebih terbuka dan lebih banyak mengadopsi inovasi
dalam ustahatani sapi perah daripada petani Polandia. Hal tersebut dikarenakan
perbedaan sikap petani kedua negara tersebut terhadap inovasi. Petani Denmark
sangat menghargai pendidikan dan kebebasan individu dalam memilih. Di lain
pihak, petani Polandia sering menghadapi berbagai pembatasan dan perampasan
ekonomi di dalam negerinya. Anak-anak petani polandia sangat diharapkan
mengikuti jejak orangtuanya sebagai petani dan tidak dibebaskan untuk memilih
pekerjaan lain. Mempunyai usahatani yang bebas utang merupakan sebuah simbol
9
keterjaminan dan keamanan yang diidolakan baik orang tua maupun pemuda di
Polandia. Singkatnya masyarakat petani Polandia sangat terpaku pada kebiasaan,
tradisi, dan skeptis terhadap alternatif. Membuat inovasi pertanian menjadi lebih
mudah diterima di Denmark daripada di Polandia.
Metode Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan Teknologi
pada Usahatani
Penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan
teknologi pada usahatani menggunakan alat-alat analisis statistik Spearman Rank
Correlation, regresi logistik, dan chi square. Uji korelasi Rank Spearman dan Chi
Square digunakan oleh Jumri dan Effendi (2007), Effendi (2001), Riyadi (2003),
Kartono (2009), Novarianto (1999), dan Rosa (2002). Uji Chi Square digunakan
untuk menganalisa signifikansi korelasi dari tingkat penerapan teknologi dengan
masing-masing faktor sosial dan karektiristik petani, dengan taraf nyata sebesar
lima persen. Sedangkan, uji Rank Spearman digunakan untuk mengetahui tingkat
hubungan antara tingkat penerapan atau adopsi teknologi dengan masing-masing
variabel dari faktor sosial dan karakteristik petani. Menurut Firdaus et al (2011)
variabel-variabel yang digunakan dalam uji korelasi Rank Spearman harus
minimal mencapai tingkat pengukuran ordinal. Jumri dan Effendi (2007)
menggolongkan tingkat penerapan teknologi ke dalam 3 tingkatan yaitu rendah,
sedang, dan tinggi, sedangkan variabel faktor sosial yaitu pendidikan, umur, dan
profesi keturunan juga diurutkan dengan urutan rendah, sedang, dan tinggi.
Sedangkan Effendi (2001) membagi lagi variabel penerapan teknologi ke dalam
variabel-variabel yaitu penggunaan bibit unggul, pengolahan tanah, pemupukan,
pengairan, pengendalian hama dan penyakit, dan pasca panen. Masing-masing
variabel tersebut diurutkan berdasarkan tingkatan penerapan yang terdiri dari
tingkat rendah, sedang, dan tinggi.
Pada uji Chi Square analisa signifikansi hubungan dilakukan antara dua
variabel dengan taraf nyata sebesar lima persen. Bila variabel tersebut terbukti
berhubungan nyata, analisa dilanjutkan dengan uji korelasi Rank Spearman untuk
tingkat keeratan dan arah korelasi antara dua variabel tersebut. Tanda positif pada
koefisien korelasi Rank Spearman menunjukkan kedua variabel berkorelasi searah
sedangkan tanda negatif diartikan kedua variabel berkorelasi berlawanan arah.
Besaran mutlak koefisen korelasi Rank Spearman menyatakan kekuatan korelasi
dari dua variabel. Secara umum, bila koefisien korelasi dibawah 0,4 dapat
diartikan sebagai korelasi lemah, koefisien korelasi bernilai lebih dari 0,6
diartikan korelasi kuat, dan nilai koefisien korelasi diantara kedua nilai standar
tersebut dikategorikan sebagai korelasi sedang Firdaus et al (2011). Uji Rank
Spearman bisa saja dilakukan tanpa didahului oleh uji Chi Square seperti dalam
penelitian Riyadi (2003), uji signifikansi dilakukan dengan menggunakan P-value
yang dibandingkan dengan nilai taraf nyata yang diinginkan. Bila nilai P-value
berada di bawah nilai taraf nyata yang diinginkan maka korelasi antara dua
variabel yang diuji adalah nyata, sebaliknya bila P-value berada di atas nilai taraf
nyata yang diinginkan maka korelasi antara dua variabel yang diuji adalah tidak
nyata.
Berbeda dengan uji Chi Square dan Rank Spearman yang menguji satu per
satu variabel-variabel yang diduga saling berpengaruh, analisis regresi logistik
menguji pengaruh dari banyak variabel penjelas terhadap variabel yang dijelaskan
10
secara serentak atau secara simultan. Variabel yang dijelaskan atau variabel tak
bebas dalam regresi logistik merupakan peubah dengan skala numerik Firdaus et
al (2011). Regresi logistik yang digunakan untuk menduga faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan atau adopsi teknologi pada usahatani adalah regresi
logistik biner (Surya, 2002; Basuki, 2008; Prayitno, 2012; dan Yuliarmi, 2006).
Disebut regresi logistik biner karena peubah tak bebasnya hanya terdiri dari dua
nilai diskontinyu yaitu 0 dan 1. Dua nilai tersebut dalam kasus adopsi teknologi
pada usaha pertanian melambangkan keputusan petani untuk menerapkan (1) dan
keputusan petani untuk tidak menerapkan (0). Variabel penjelas atau variabel
bebas yang digunakan dalam penelitian tentang adopsi inovasi pada usahatani
adalah faktor personal atau karakteristik petani, faktor sosial, faktor situasional,
dan sifat dari inovasi (Surya, 2002; Basuki, 2008; Prayitno, 2012; dan Yuliarmi,
2006).
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
LEISA merupakan alternatif untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang
dimiliki oleh sistem pertanian konvensional. Kelemahan tersebut mulai dari
ketidakefisensian penggunaan input kimia, penurunan produktivitas pada jangka
panjang, sampai ke dampak buruk yang ditimbulkannya bagi ekosistem. Namun
agar LEISA ini dapat diterapkan secara luas, konsep LEISA membutuhkan daya
tarik dari aspek ekonomi. Potensi peningkatan pendapatan merupakan salah satu
insentif ekonomi yang dapat menarik minat petani untuk mau menerapkan sistem
LEISA pada usahataninya. Selain itu terdapat faktor-faktor non ekonomi lain yang
mempengaruhi petani untuk menerapkan atau tidak menerapkan konsep LEISA.
Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA)
LEISA didefinisikan sebagai pengembangan pertanian dengan
mengoptimalkan penggunaan input internal dan menggunakan input eksternal
sebagai input pelengkap dan digunakan secara efisien (FAO, 1996). Input internal
yang dioptimalkan penggunaannya dalam sistem LEISA didefinisikan sebagai
input yang diambil dari usahatani itu sendiri, misalnya energi matahari, air hujan,
sedimen, nitrogen yang diikat dari udara; atau input yang dihasilkan sendiri oleh
petani misalnya tenaga hewan, papan kayu, pupuk kandang, sisa tanaman, pupuk
hijau, pakan ternak, tenaga kerja keluarga, dan pengalaman-pengalaman belajar.
Sedangkan input eksternal adalah input yang didapatkan dari luar usahatani,
seperti pupuk kimia, pestisida kimia, tenaga kerja luar keluarga, bahan bakar
minyak, benih atau bibit unggul, air irigasi, alat dan mesin pertanian, serta
informasi pertanian. Input eksternal didapatkan dengan cara membeli atau
menukarkannya langsung dengan hasil pertanian (Reijntjes et al 2006). Kedua
jenis input ini dalam sistem LEISA dikombinasikan untuk mengkonservasi dan
memperkuat sumber daya alam, meningkatkan dan menstabilkan produktivitas
serta menghindari dampak buruk terhadap lingkungan.
LEISA tidak bertujuan untuk meningkatkan produksi dalam jangka
pendek, namun mencapai tingkat produksi yang optimal dan stabil dalam jangka
11
panjang. LEISA berupaya untuk mempertahankan, bila mungkin meningkatkan
sumber daya alam, serta memanfaatkan proses-proses alami secara maksimal.
Juga dicari cara-cara untuk memperoleh kembali nutrisi yang diambil dari
usahatani ke pasar. Nutrisi tersebut biasanya diperoleh kembali dengan cara
mendaur ulang biomasa yang dihasilkan dari usahatani (Mugnisjah et al 2000).
Penggunaan input eksternal yang ditekan dalam sistem LEISA mengurangi risiko
ekologis. Diharapkan karakteristik ekosistem yang tercipta dari penerapan LEISA
akan produktif dan berkelanjutan. Karena sistem yang tercipta memiliki fungsi
ekologik yang baik akibat adanya peran komplementer dan sinergik dari aneka
spesies tanaman, hewan, dan mikroorganisme yang menghasilkan masukan
internal dan menciptakan fungsi protektif.
Menurut Reijntjes et al (2006) terdapat lima prinsip ekologi dasar yang
dapat dijadikan panduan dalam menerapkan LEISA, yaitu:
1. Menjamin kondisi tanah yang mendukung bagi pertumbuhan tanaman,
terutama dengan mengelola bahan-bahan organik dan meningkatkan
kehidupan agen hayati dalam tanah.
2. Mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur
hara, terutama dengan menanam tanaman pengikat nitrogen, mendaur ulang
unsur hara, dan menggunakan pupuk kimia sebagai pelengkap.
3. Meminimalkan kehilangan akibat radiasi matahari, udara, dan air (misalnya
terjadi penguapan berlebihan, kebanjiran, rebah, dan kekeringan) dengan
cara pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air, dan pengendalian erosi.
4. Meminimalkan serangan hama dan penyakit terhadap tanaman dan hewan
melalui pencegahan dan perlakuan yang aman dari ekologis maupun
kesehatan manusia.
5. Penggunaan sumber daya genetik secara komplementer dan sinergis dengan
mempertahanan tingkat biodiversitas yang tinggi.
Penerapan LEISA di setiap antara satu daerah dengan daerah lain dapat
berbeda dan bisa jadi memakai terminologi yang berbeda pula. Penerapan prinsipprinsip LEISA tergantung oleh keterbatasan-keterbatasan sumber daya dan
keadaan sosioekonomis yang dimiliki oleh daerah setempat. FAO (1996) tidak
membakukan seberapa rendah porsi input eksternal yang digunakan dalam
LEISA. FAO juga tidak membakukan LEISA sebagai istilah untuk sistem
pertanian ini. Istilah lain yang biasa digunakan untuk menyebut sistem pertanian
ini seperti pertanian ekologis, sistem pertanian terpadu intensif, pengembangan
berkelanjutan dari sistem usahatani rumah tangga, pendekatan terintegrasi untuk
pengembangan pedesaan, pertanian berkelanjutan untuk pengembangan,
pengembangan berkelanjutan untuk pertanian, dan pertanian ramah lingkungan.
Bila dilihat dari aspek ekonomi konsep pertanian LEISA mempunyai
potensi untuk dikembangkan. Pertama, karena menurut hasil program perintisan
LEISA di beberapa negara, sistem pertanian LEISA mampu meningkatkan
produktivitas tanaman (FAO, 1996). Kedua, meningkatnya kesadaran masyarakat
akan pentingnya pangan sehat akan meningkatkan permintaan terhadap produk
pangan organik atau produk pangan yang menggunakan input kimia rendah.
Kesadaran tersebut juga meningkatkan nilai jual dari produk usahatani sistem
LEISA. Peningkatan produktivitas usahatani LEISA dan nilai jual dari produknya
akan meningkatkan pendapatan petani.
12
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerapan LEISA
LEISA secara umum merupakan teknologi dan cara pandang baru bagi
petani. Karena teknologi dan cara pandang baru merupakan inovasi (Soekartawi,
1988) maka LEISA juga dapat digolongkan sebagai inovasi. Teori-teori yang
dijadikan pendekatan untuk menduga faktor-faktor yang mempengaruhi
penerapan LEISA adalah teori menganai faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi
inovasi.
Keputusan untuk mengadopsi suatu inovasi merupakan proses mental
individu yang terjadi melalui serangkaian tahapan dari pengetahuan awal sampai
ke keputusan untuk mengadopsi atau menolak suatu inovasi dan memantapkan
keputusannya tersebut (Rogers dan Shoemaker, 1971). Keputusan pengadopsian
inovasi berbeda dengan jenis proses pengambilan keputusan lainnya. Individu
selalu dihadapkan pada alternatif yang bersifat baru yaitu inovasi selain alternatifalternatif lainnya yang sudah ada. Maka sifat kebaruan dari inovasi itulah yang
menjadi pembeda pengambilan keputusan pengadopsian inovasi dengan jenis
pengambilan keputusan lainnya.
Rogers dan Shoemakers (1971) mengajukan model keputusan inovasi yang
terdiri dari empat tahap. Model ini menggantikan model keputusan inovasi
sebelumnya yang dirasa terlalu sederhana. Model keputusan inovasi tradisional
diberi nama proses adopsi yang terdiri dari lima tahap yaitu tahap kesadaran,
tahap ketertarikan, tahap evaluasi, tahap percobaan, dan tahap adopsi. Sedangkan
empat tahapan yang diajukan Rogers dan Shoemakers (1971) adalah tahap
pengetahuan (knowledge), tahap persuasi (persuasion), tahap keputusan
(decision), dan tahap konfirmasi (confirmation). Kemudian Rogers (1971)
mengajukan kembali model keputusan inovasi yang terdiri dari lima tahapan
yaitu:
1. Tahap pengetahuan (knowledge), terjadi pada saat individu atau unit
pengambilan keputusan lainnya terpapar oleh keberadaan inovasi dan
mendapat sejumlah pemahaman mengenai inovasi tersebut.
2. Tahap persuasi (persuasion), terjadi saat individu atau unit pengambilan
keputusan lainnya membentuk sikap setuju atau tidak setuju terhadap
inovasi.
3. Tahap keputusan (decision), terjadi saat individu melakukan kegiatankegiatan yang mengarahkannya kepada keputusan untuk mengadopsi atau
menolak inovasi.
4. Tahap penerapan (implementation), terjadi saat individu atau unit
pengambilan keputusan lainnya menerapkan inovasi tersebut.
5. Tahap konfirmasi (confirmation), terjadi saat individu atau unit
pengambilan keputusan lainnya mencari dukungan atas keputusan adopsi
yang telah dibuat namun bisa jadi malah merubah keputusannya bila
terpapar oleh pesan yang bertentangan tentang inovasi.
Banyak faktor yang mempengaruhi keputusan individu yaitu faktor atributatribut yang dimiliki oleh inovasi itu sendiri, faktor sosial, faktor kultural, faktor
personal, dan faktor situasional (Rogers dan Shoemaker, 1971; dan Lionberger,
1968). Atribut-atribut inovasi merupakan “nilai” inovasi di mata calon
pengadopsinya. Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan lima atribut
inovasi yaitu:
13
1. Keuntungan relatif (relative advantage), adalah sebuah ukuran untuk
menunjukkan sejauh mana suatu inovasi lebih baik dari pada ide-ide yang
sudah ada. Ukuran dari keuntungan relatif sering kali ditunjukkan dengan
tingkat keuntungan ekonomi, tapi mungkin saja diukur dari dimensi selain
ekonomi.
2. Kompatibilitas (compatibility) adalah ukuran dari inovasi dari segi
kesesuaiannya terhadap nilai-nilai yang ada, pengalaman, dan kebutuhan
dari calon pengadopsi. Sebuah ide yang sesuai dengan karakteristik utama
dari sebuah sistem sosial tentunya akan lebih mudah diadopsi dibanding ide
yang tidak sesuai dengan karakteristik sistem sosial tersebut.
3. Kompleksitas (complexity) adal