Seleksi Bakteri Penghasil Indole-3-Acetic Acid (Iaa) Dan Pengujian Pada Bibit Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.).

SELEKSI BAKTERI PENGHASIL INDOLE-3-ACETIC ACID
(IAA) DAN PENGUJIAN PADA BIBIT KELAPA SAWIT
(Elaeis guineensis Jacq.)

MELI ASTRIANI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Seleksi Bakteri Penghasil
Indole-3-Acetic Acid (IAA) dan Pengujian pada Bibit Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Meli Astriani
NIM G351130201

RINGKASAN
MELI ASTRIANI. Seleksi Bakteri Penghasil Indole-3-Acetic Acid (IAA) dan
Pengujian pada Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Dibimbing oleh
NISA RACHMANIA MUBARIK dan ARIS TJAHJOLEKSONO.
Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan komoditi perkebunan
yang memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai penghasil minyak nabati di Indonesia.
Salah satu faktor yang mempengaruhi produktivitas tanaman yaitu kualitas bibit
yang unggul dan penyiapan pembibitan sawit yang merupakan langkah dasar yang
menentukan penanaman di lapangan. Penyiapan pemeliharaan tanaman
mempunyai kendala yaitu biaya yang tinggi untuk pengeluaran pupuk. Pemakaian
pupuk kimia dan pestisida jangka panjang dalam perkebunan kelapa sawit dapat
menyebabkan masalah lingkungan yang akan meninggalkan residu senyawa
sintetik di tanah. Salah satu solusinya yaitu dengan menghasilkan suatu senyawa
alami atau agen biologi yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Salah
satu fitohormon yang banyak terdapat di alam dan paling aktif adalah Indole-3acetic acid (IAA). Auksin eksogen yang berasal dari bakteri rhizosfer merupakan

fokus dari penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan bakteri
penghasil IAA dari Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) Jambi dan
diaplikasikan pada bibit kelapa sawit.
Metode penelitian ini meliputi peremajaan bakteri, uji hipersensitivitas,
penapisan isolat penghasil IAA, pengujian bakteri pelarut P dan K, penentuan
kurva pertumbuhan dan produksi IAA, pengukuran IAA dengan metode High
Performance Liquid Chromatography (HPLC), identifikasi molekuler gen 16S
rRNA, dan aplikasi bakteri pada bibit kelapa sawit. Hasil seleksi bakteri penghasil
IAA terdiri atas 9 bakteri kitinolitik dan 16 selulolitik. Uji hipersensitivitas pada
daun tembakau diperoleh 4 dari 9 isolat bakteri kitinolitik dan 9 dari 16 isolat
bakteri selulolitik tidak menyebabkan nekrotik (negatif hipersensitivitas) pada
daun tembakau. Sebanyak 13 Isolat yang tidak menyebabkan gejala nekrotik pada
daun selanjutnya diseleksi berdasarkan kemampuannya dalam menghasilkan IAA
pada media yang ditambah dengan triptofan dan tanpa triptofan. Hasil penapisan
menggunakan metode kolorimetri menunjukkan isolat SAHA 12.08 dan KAHN
15.12 menghasilkan IAA sebesar 3.99 dan 3.75 ppm. Pengukuran secara
kuantitatif menggunakan (HPLC) untuk kedua isolat menghasilkan IAA pada
puncak kromatogram yang sama dengan IAA standar pada waktu retensi 21
sampai 22 menit. KAHN 15.12 memiliki tingkat kemiripan 99% dengan Serratia
marcescens setelah diidentifikasi gen penyandi 16S rRNA. Aplikasi pada bibit

kelapa sawit dengan pemberian kultur S. marcescens KAHN 15.12 dan Bacillus
thuringiensis SAHA 12.08 berpengaruh secara nyata pada jumlah akar lateral
yaitu sebesar 60.7-65% dibandingkan kontrol negatif untuk 90 (HST) hari setelah
tanam. Isolat SAHA 12.08 dan KAHN 15.12 dengan setengah dosis pupuk Rock
Phosphate berpengaruh lebih baik pada jumlah akar lateral, diameter batang, dan
jumlah daun pada bibit sawit.
Kata kunci: pupuk hayati, bibit kelapa sawit, Serratia marcescens

SUMMARY
MELI ASTRIANI. Selection of IAA-Producing Bacteria and its Apllication on
Oil Palm Seedlings (Elaeis guineensis Jacq.). Supervised by NISA
RACHMANIA MUBARIK and ARIS TJAHJOLEKSONO.
Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq.) is a crop that has a high economic value
in the production of vegetable oil in Indonesia. The eminent seed quality and
seedlings preparation of oil palm are some factors that effect plant productivity
and a basic step which determinates the planting process in field. The high cost for
fertilizer expenses was a basic matter for plant maintenance preparation. The use
of chemical fertilizers and pesticides for long term in oil palm plantation can
cause environmental problems due to the residue of this synthetic compound on
the soil. One of the solutions for this problem is the use of a natural compound or

biological agent that can promote plant growth. Indole-3-acetic acid (IAA) is the
most active phytohormone which widely available in nature. Exogenous auxin
derived from rhizosphere bacteria is the focus of this study. The objectives of this
study was to obtain bacteria producing IAA from Taman Nasional Bukit Dua
Belas (TNBDB) Jambi and to apply the selected bacteria in oil palm seedlings.
Methods of this research were cultivation of isolates, hypersensitivity test,
screening of isolates which produced IAA, phosphate and potassium solubilizing
assay, bacterial growth and IAA production, measurement of IAA using High
Performance Liquid Chromatography (HPLC) method, molecular identification
using 16S rRNA gene, and application of bacteria on oil palm seedlings. The
result of IAA which produced by bacteria which selected in this research consists
of 9 chitinolytic and 16 cellulolytic bacteria. Hypersensitivity test on tobacco leaf
showed that 4 of 9 chitinolytic isolates and 9 of 16 cellulolytic isolates did not
cause necrotic (negative hypersensitivity) in tobacco leaves. A total of 13 isolates
that did not caused necrotic symptoms on leaves then selected based on their
ability to produce IAA on supplemented media with and without tryptophan.
Screening results based on colorimetric method showed isolates SAHA 12.08 and
KAHN 15.12 produced IAA up to 3.99 and 3.75 ppm. Quantitative measurement
of IAA producing using (HPLC) for both isolates had the peaks with the same as
IAA standards at a retention time in 21 to 22 minutes. KAHN 15.12 gene 99%

sequences similarity with Serratia marcescens which identified based on 16S
rRNA gene. The application of S. marcescens KAHN 15.12 and Bacillus
thuringiensis SAHA 12.08 on oil palm seedlings showed better effect the number
of lateral roots up to 60.7-65% compared to negative control for 90 DAP (days
after planting). Isolate SAHA 12.08 and KAHN 15.12 with a half dose of Rock
Phosphate fertilizer showed a better effect on oil palm seedlings such as number
of lateral roots, stem diameter, number of leaves.
Keywords: biological fertilizer, oil palm seedlings, Serratia marcescens

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

SELEKSI BAKTERI PENGHASIL INDOLE-3-ACETIC ACID

(IAA) DAN PENGUJIAN PADA BIBIT KELAPA SAWIT
(Elaeis guineensis Jacq.)

MELI ASTRIANI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Mikrobiologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Happy Widiastuti, MSi

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 sampai Mei
2015 ini ialah Seleksi Bakteri Penghasil Indole-3-Acetic Acid (IAA) dan
Pengujian pada Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Nisa Rachmania Mubarik, MSi
sebagai ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr Aris Tjahjoleksono, DEA
sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah membimbing dan mengarahkan
penulis dengan penuh kesabaran, ikhlas telah meluangkan waktu, ilmu, nasehat,
saran, motivasi yang membangun, serta solusi dari permasalahan yang dihadapi
penulis selama melaksanakan penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Selain
itu penulis ucapkan terima kasih kepada penguji luar komisi Dr Happy Widiastuti,
MSi atas saran dan diskusi yang diberikan dan Prof Dr Anja Meryandini, MS
selaku Ketua Program Studi Mikrobiologi IPB, yang telah memberikan motivasi
selama studi dan masukan pada ujian sidang tesis. Terima kasih kepada Bapak
Mashuri Waite, Ph.D untuk memeriksa penulisan artikel dalam bahasa Inggris
yang dikirim ke Malaysian Journal of Microbiology. Kepada DIKTI Kementerian
Riset dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia melalui Beasiswa BPPDN
2013/2014 terima kasih atas kepercayaannya untuk memberikan beasiswa kuliah
selama menempuh pendidikan pascasarjana di IPB dan terima kasih atas
dukungan dana dari Penelitian Unggulan IPB tahun 2015 a.n. Dr Nisa Rachmania

Mubarik, MSi sehingga penelitian yang penulis lakukan dapat terlaksana dengan
baik.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada kedua orang tua tercinta
ayahanda Iskandar, ibu Elia, dan saudari-saudariku (Weni Iskafitri, Wika Perwasi,
Pepi Indah Sari, Amd, Helin Maharani, dan Siska Oktalia) serta seluruh keluarga
untuk dukungannya, kasih sayang dan doa yang senantiasa mengiringi setiap
langkahku. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Heni dan Bapak
Jaka selaku teknisi Laboratorium Mikrobiologi, teman-teman seperjuangan di
laboratorium penelitian Mikrobiologi IPB angkatan 2013 serta seluruh pihak yang
telah memberikan doa dan dukungannya, penulis ucapkan terima kasih.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015
Meli Astriani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi


DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
2
2

3

2 TINJAUAN PUSTAKA
IAA pada Tanaman dan Bakteri
Rhizobakteria Penghasil IAA
Biosintesis IAA
Peran Rhizobakteria pada Bibit Kelapa Sawit
Aplikasi Pupuk Kimia dan Pupuk Hayati pada Bibit Kelapa Sawit

4
4
4
5
6
7

3 METODE
Bahan
Kerangka Penelitian
Waktu dan Tempat

Peremajaan Isolat
Uji Hipersensitivitas
Penapisan Isolat Penghasil IAA
Uji Bakteri Pelarut P dan K
Penentuan Kurva Pertumbuhan dan Produksi IAA
Pengukuran IAA dengan HPLC
Identifikasi Molekuler Gen 16S rRNA
Aplikasi Bakteri pada Bibit Kelapa Sawit

8
8
8
8
9
9
9
9
10
10
10
11

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Hipersensitivitas
Penapisan Isolat Penghasil IAA
Pengujian Kemampuan Bakteri dalam Melarutkan P dan K
Pengukuran IAA dengan HPLC
Kurva Pertumbuhan Bakteri dan Produksi IAA
Identifikasi Molekuler
Aplikasi Bakteri pada Bibit Kelapa Sawit
Pembahasan

13
13
13
14
14
15
15
16
19

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

23
23
23

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

28

RIWAYAT HIDUP

38

DAFTAR TABEL
1 Konsentrasi IAA pada media yang ditambah triptofan dan tanpa
triptofan
2 Hasil pengukuran IAA menggunakan HPLC
3 Pengaruh perlakuan bakteri pada bagian atas bibit sawit umur 90 HST
4 Pengaruh perlakuan bakteri pada perakaran bibit sawit umur 90 HST
5 Pengaruh perlakuan bakteri pada bobot kering bibit sawit umur 90 HST

13
15
17
17
18

DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alur penelitian
2 Hasil uji hipersensitivitas pada daun tembakau
3 Koloni isolat KAHN 15.12 pada medium Pikovskaya dan medium
Aleksandrov
4 Kromatogram IAA standar, kromatogram isolat KAHN 15.12,
kromatogram isolat SAHA 12.08
5 Kurva pertumbuhan bakteri dan produksi IAA
6 Visualisasi hasil amplifikasi gen 16S rRNA dengan elektroforesis gel
agarosa 1%.
7 Pohon filogenetik isolat KAHN 15.12
8 Akar bibit sawit umur 90 HST
9 Jumlah sel bakteri pada media tanam bibit kelapa sawit umur 45 HST
dan 90 HST

8
13
14
14
15
16
16
18
19

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Kurva standar IAA
Kurva standar isolat SAHA 12.08 dan KAHN 15.12
Kalibrasi standar IAA dengan HPLC
Homologi sekuen gen 16S rRNA isolat KAHN 15.12 menggunakan
program BLAST-N
Sekuens Isolat KAHN 15.12
Hasil analisis BLAST-N sekuen isolat KAHN 15.12 pada sekuen NCBI
Karakteristik kimia tanah Darmaga IPB
Model Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Penampilan vegetatif bibit kelapa sawit umur 90 HST
Hasil analisis data dengan ANOVA menggunakan SPSS v.21

28
28
29
29
30
31
32
32
33
34

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan salah satu komoditi
perkebunan yang memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai penghasil minyak nabati.
Menurut Badan Pusat Statistik (2013), produksi olahan minyak kelapa sawit
Crude Palm Oil (CPO) mengalami peningkatan mulai tahun 2008 produksi
sebesar 19.40 juta ton meningkat menjadi 26.02 juta ton pada tahun 2012. Pada
tahun 2013 produksi minyak sawit menjadi sebesar 26.90 juta ton dan di tahun
2014 meningkat 4.19 persen menjadi 28.02 juta ton. Perkembangan produksi
minyak kelapa sawit (CPO) meningkat sejalan dengan luas areal. Total areal
perkebunan kelapa sawit di Indonesia cenderung menunjukkan peningkatan,
sekitar 2.49 sampai 11.33% per tahun. Pada tahun 2008 lahan perkebunan kelapa
sawit Indonesia tercatat seluas 7.33 juta ha meningkat menjadi 10.13 juta ha pada
tahun 2012. Pada tahun 2013 luas areal perkebunan kelapa sawit menjadi 10.59
juta ha dan tahun 2014 meningkat menjadi 10.85 juta ha. Provinsi Riau dan
Sumatera Utara merupakan sentral produksi terbesar yang berkontribusi masingmasing sebesar 28.52% dan 17.77% kemudian disusul oleh Provinsi di pulau
Sumatera, Kalimantan, Jawa Barat, Banten, Sulawesi Tengah, dan Papua.
Kelapa sawit sebagai sumber penghasil minyak nabati memegang peranan
penting bagi perekonomian negara. Perkembangan industri kelapa sawit di negara
beriklim tropis telah didorong oleh potensi produktivitas yang sangat tinggi.
Produktivitas dan mutu minyak sawit sangat ditentukan oleh kualitas bibit yang
unggul dan penyiapan pembibitan kelapa sawit. Penyiapan pembibitan merupakan
langkah dasar yang sangat menentukan penanaman di lapangan. Sekitar 60%
biaya pemeliharaan tanaman dikeluarkan untuk biaya pemupukan. Pupuk kimia
dan pestisida dapat terakumulasi di dalam tanah yang dapat menurunkan kualitas
tanah. Aryantha et al. (2004) melaporkan salah satu alternatif dalam mengatasi
masalah penggunaan pupuk kimia dan pestisida, yaitu menggunakan senyawa
alami yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman (fitohormon).
IAA merupakan salah satu fitohormon auksin yang banyak terdapat di
alam dan paling aktif (Tsavkelova et al. 2005). IAA eksogen yang diproduksi oleh
bakteri dapat mempercepat pertumbuhan tanaman dengan memacu proses
differensiasi pada akar dalam membentuk rambut akar. Konsentrasi IAA rendah
dapat menstimulasi pemanjangan akar utama, sedangkan konsentrasi tinggi dapat
menstimulasi pembentukan akar lateral dan akar adventif. Pertumbuhan akar
lateral dan akar adventif berperan pada tanaman yang masih muda dalam hal
menyerap unsur hara (Patten dan Glick 2002).
Pembentukan rambut akar distimulasi oleh adanya bakteri yang
memproduksi IAA. Keberadaan bakteri rhizosfer tanaman bergantung pada
eksudat akar. Eksudat akar menjadi penentu keragaman dan jumlah populasi
mikroorganisme (Patil 2011). Komposisi eksudat akar yang dikeluarkan oleh
masing-masing tanaman berbeda-beda dapat meliputi komponen gula, asam
amino, dan asam organik (Alexander 1977). Jalur biosintesis IAA sangat
bergantung pada komponen asam amino yang dikeluarkan yaitu triptofan sebagai
prekursor sintesis IAA (Spaepen et al. 2007).

2
Bakteri panambat nitrogen yang diisolasi dari tanah perkebunan kelapa
sawit mampu menghasilkan IAA setelah diinduksi triptofan 1 mM. Bakteri
tersebut antara lain Beijerinckia fluminensis, Ensifer adhaerens, Microbacterium,
Caulobacter segnis, dan Rhizobium grahamii (Harca et al. 2014). Rhizobakteria
Herbaspirillum sorepedicae galur Z78 dan Microbacterium sp galur E7 yang
berasal dari jaringan akar kelapa sawit memberikan pengaruh positif pada
pertumbuhan kelapa sawit (Ai’shah et al. 2013). Azosprillum dan Bacillus spp.
merupakan rhizobacteria yang dilaporkan meningkatkan pertumbuhan dan fiksasi
N2 beberapa tanaman nonleguminosae dan bibit kelapa sawit (Amir et al. 2005).
Hutan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBDB) Jambi merupakan
daerah deforestasi yang mengalami pembukaan hutan menjadi lahan perkebunan
kelapa sawit dan karet. Haryanto (2013) dan Purnamasari (2013) telah berhasil
mengisolasi bakteri selulolitik dan kitinolitik dari tanah TNBDB Jambi. Salah satu
isolatnya ialah Bacillus thuringiensis SAHA 12.08 yang memiliki kemampuan
menghasilkan kitinase dan memiliki aktivitas antagonis terhadap Culvularia
affinis dan Colletotrichum gleosporoides (Asril et al. 2014). Namun demikian,
belum ada laporan bakteri selulolitik dan kitinolitik ini sebagai bakteri penghasil
IAA, serta mengenai aplikasi bakteri penghasil IAA yang dapat digunakan sebagai
pemacu pertumbuhan kelapa sawit masih sedikit. Oleh karena itu, penelitian ini
perlu dilakukan untuk mencari bakteri penghasil IAA yang dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk hayati dalam pembibitan kelapa sawit.

Perumusan Masalah
Pembibitan sawit merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
produktivitas tanaman dan langkah dasar yang menentukan penanaman di
lapangan. Penyiapan, penanaman, pemeliharaan tanaman di lapangan
membutuhkan biaya yang tinggi terutama untuk pupuk kimia. Pemakaian pupuk
kimia juga meninggalkan residu di tanah, tercuci dan mengubah kondisi tanah.
Pupuk hayati yang berasal dari agen biologi sangat dibutuhkan karena bersifat
ramah lingkungan dan diharapkan dapat diformulasi dan diaplikasikan untuk
mereduksi penggunaan pupuk kimia dalam pembibitan sampai dengan
pemeliharaan tanaman di lapangan.

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan bakteri penghasil IAA yang
dapat digunakan sebagai pemacu pertumbuhan bibit kelapa sawit.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan informasi tentang keberadaan isolat
bakteri dari tanah kawasan TNBDB Jambi yang mampu menghasilkan IAA dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman. Isolat-isolat unggul yang didapatkan dari
penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan pada proses pembibitan kelapa sawit

3
sehingga dapat menghasilkan bibit yang baik dan mereduksi penggunaan pupuk
kimia.

Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini meliputi pengujian awal hipersensitivitas
pada daun tembakau untuk mengetahui apakah bakteri bersifat patogen atau tidak.
Bakteri yang tidak patogen diseleksi menggunakan metode kolorimetri sebagai
pendugaan awal terhadap kemampuan bakteri dalam menghasilkan IAA. Tahapan
analisis IAA secara kuantitatif dikonfirmasi dengan HPLC untuk isolat terpilih.
Isolat kemudian diidentifikasi secara molekuler gen 16S rRNA. Potensi bakteri
penghasil IAA diaplikasikan pada bibit kelapa sawit.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
IAA pada Tanaman dan Bakteri
Hormon auksin (IAA) dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu IAA
endogen dan eksogen. IAA endogen berasal dari tanaman yang merupakan salah
satu hormon tanaman paling penting yang mengatur banyak aspek di antaranya
pertumbuhan dan perkembangan tanaman sepanjang siklus sel tumbuhan,
pembelahan sel, pemanjangan sel, dan diferensiasi untuk inisiasi akar, dominasi
apikal, tropisme, dan pembungaan (Baca dan Elmerich 2003). IAA
mengendalikan banyak proses fisiologis termasuk pembesaran sel, diferensiasi
jaringan, serta respon tanaman terhadap cahaya (Spaepen et al. 2007).
IAA eksogen merupakan salah satu fitohormon paling aktif secara fisologi,
dihasilkan oleh beberapa mikrob yang mempunyai jalur metabolisme antara lain
melalui sintesis L-triptofan. Bakteri rizosfer dapat mensintesis auksin sebagai
metabolit sekunder karena persediaan substrat yang berasal dari eksudat akar lebih
banyak dibandingkan dengan tanah nonrhizosfer (Patil 2011).

Rhizobakteria Penghasil IAA
Rhizosfer adalah tanah di sekitar akar tanaman yang secara langsung
dipengaruhi oleh mikrob tanah dan eksudasi perakaran tanaman. Penyediaan
nutrisi pada tanaman sangat dipengaruhi oleh komposisi mikrob di daerah
rhizosfer (Sukmadi 2013). Tanaman menarik mikrob menguntungkan di daerah
rhizosfer dengan cara mengeluarkan eksudat akar yang berperan sebagai sumber
nutrisi bagi mikrob, sedangkan mikrob akan mengeluarkan metabolit berupa zat
pemacu pertumbuhan tanaman yang digunakan untuk pertumbuhan dan
perkembangannya. Adanya eksudat akar tersebut menyebabkan populasi mikrob
di daerah rhizosfer jauh lebih tinggi dari pada di bagian tanah yang lain (Akbari et
al. 2007). Mikrob yang menghuni rhizosfer mampu memproduksi dan
menghasilkan auksin sebagai hasil metabolit sekunder karena ketersediaan
substrat pada daerah ini dibandingkan dengan area nonrhizosfer (Ahmad et al.
2005). Sekitar 80% bakteri rhizosfer dapat menghasilkan hormon IAA (Zakharova
et al. 1999).
Peningkatan pertumbuhan akar menjadi suatu penanda utama yang
memberikan efek menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman dan bakteri.
Pembentukan akar yang baik dengan adanya pemanjangan akar primer atau
proliferasi akar lateral dan akar adventif menguntungkan bagi bibit tanaman muda
dalam meningkatkan kemampuan menyerap air dan hara. Kebanyakan bakteri
rhizosfer mensintesis IAA sebagai hormon eksogen tanaman yang akan memacu
akar primer dan munculnya akar lateral. Akar lateral dan akar adventif diinduksi
oleh IAA sebagai hormon eksogen dalam konsentrasi tinggi dan pertumbuhan
akar primer dirangsang oleh konsentrasi IAA yang rendah (Patten dan Glick 2002).
Beberapa peneliti melaporkan bahwa bakteri rhizosfer memacu
pertumbuhan tanaman. Kultur Streptomyces galur CMU H009 yang diisolasi dari
rhizosfer tanaman mampu memproduksi IAA dan dapat meningkatkan

5
pertumbuhan akar dari benih jagung sebesar 185.3 mm (Khamna et al. 2010).
Pseudomonas syringae dapat memperpanjang akar tanaman gula dengan
memproduksi IAA (Loper dan Schroth 1986). Lwin et al. (2012) berhasil
mengisolasi bakteri dari berbagai tanah di antaranya rhizobacteria, Bacillus spp.
dan Serratia spp. Rhizobacteria galur R1 mempunyai kemampuan dalam
menghasilkan IAA tertinggi sebesar 121.1 ppm pada hari ke-6 dengan
meningkatkan jumlah akar adventif pada Zea mays L. sebesar 14.4±1.476.
Bacillus spp. memproduksi IAA mulai dari 53.1 ppm sampai optimal 71.1 ppm
dan Serratia spp. menghasilkan IAA terendah mulai dari 3.14 ppm dan optimum
pada hari ke-8 sebesar 20.05 ppm.
Produksi IAA oleh bakteri yang berasal dari rhizosfer diinduksi oleh
berbagai konsentrasi triptofan. Ahmad et al. (2005) melaporkan bahwa beberapa
bakteri yang memproduksi IAA dengan penambahan triptofan antara lain ialah
Azotobacter memproduksi IAA sebesar 1.47-11.88 mg/ml, 5.99-24.8 mg/ml dan
7.3-32.8 mg/ml setelah penambahan triptofan 1, 2, dan 5 mg/ml. Pseudomonas
fluorescence dengan konsentrasi triptofan 1 sampai 5 mg/ml menghasilkan IAA
sebesar 41.0-53.2 mg/ml, sedangkan 6 isolat lainnya dihasilkan IAA 23.4-36.2
mg/ml. Pseudomonas putida galur GR12-2 dengan penambahan triptofan 0.5 mM
menghasilkan IAA sebesar 68.3 ± 2.2 µM (Patten dan Glick 2002)
Konsentrasi IAA pada kultur bakteri yang ditumbuhkan pada media dengan
penambahan triptofan umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan kultur yang
ditumbuhkan pada media tanpa triptofan. Bacilus sp. galur TG-1 menghasilkan
IAA tertinggi yaitu 67.2 ppm yang diberi triptofan 0.5 mM, sedangkan tanpa
triptofan hanya menghasilkan IAA sebesar 38.9 ppm. Isolat HI-2 menghasilkan
IAA sebesar 67.2 ppm sedangkan tanpa penambahan triptofan hanya 47.6 ppm
(Widayanti 2007).

Biosintesis IAA
Spaepen et al. (2007) melaporkan bahwa triptofan telah diidentifikasi
sebagai prekursor utama bagi jalur biosintesis IAA pada bakteri. Identifikasi
intermediet menyebabkan terdapat jalur yang berbeda cara menggunakan triptofan
sebagai prekursor untuk biosintesis IAA. Jalur biosintesis IAA di antaranya ialah
Indole-3-asetamida (IAM) yang merupakan jalur khusus pada bakteri. Triptofan
diubah menjadi IAM oleh enzim triptofan monooxygenase (IaaM). Pada langkah
kedua IAM akan dikonversi menjadi IAA oleh enzim IAM hidrolase (IaaH).
Lintasan IAM ini terjadi pada Agrobacterium tumefaciens, Pseudomonas syringae,
Pantoea agglomerans, Rhizobium, dan Bradyrhizobium. Jalur Indole-3-piruvat
(IPyA) dianggap sebagai jalur utama untuk biosintesis IAA pada tanaman. Enzim
yang terlibat dalam biosintesis IAA pada tanaman belum teridentifikasi secara
jelas berbeda dengan bakteri. Bakteri mensintesis IAA melalui jalur IPyA dengan
enzim aminotransferase pada proses transaminasi seperti Bradyrhizobium,
Azospirillum, Rhizobium, Enterobacter cloacae, dan Cyanobacteria. IPyA
didekarboksilasi menjadi indole-3-asetaldehida (IAAld) oleh enzim
dekarboksilase indole-3-piruvat (IPDC) kemudian IAAld dioksidasi diubah
menjadi IAA.

6
Lintasan triptamin (TAM) telah diidentifikasi pada bakteri Bacillus cereus.
Pada tumbuhan, triptamin diidentifikasi sebagai senyawa endogen untuk
dekarboksilasi triptofan. Sebagian besar lintasan TAM pada bakteri berbeda
dengan tanaman, karena lintasan TAM dapat langsung dikonversi ke IAAld oleh
amina oksidase (Hartmann et al. 1983).
Biosintesis IAA melalui indole-3-asetonitril (IAN), IAN dikonversi
menjadi IAA oleh nitrilase diidentifikasi oleh (Bartling et al. 1992). IAN
terbentuk melalui glucosinolates indolic (glucobrassicin) dan indole-3
acetaldoxime. Alcaligenes faecalis merupakan bakteri yang menggunakan
lintasan ini. Nitrilase telah dideteksi spesifik untuk IAN. Beberapa bakteri seperti
Agrobacterium tumefaciens dan Rhizobium spp. mengkonversi IAN menjadi IAA
melalui IAM (Kobayashi et al. 1995).

Peran Rhizobakteria pada Bibit Kelapa Sawit
Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang bernilai ekonomi
tinggi. Perkembangan perkebunan kelapa sawit yang cukup pesat di Indonesia
telah membuat alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan pada ekosistem
rawa gambut (Nurbaiti et al. 2012). Semakin cepat pembukaan lahan maka
permintaan bibit kelapa sawit semakin tinggi. Produktivitas tanaman sangat
ditentukan oleh kualitas pemupukan yang baik dari aspek dosis, waktu, metode
aplikasi dan jenis pupuk. Penggunaan pupuk kimia yang semakin meningkat akan
berdampak negatif terhadap lingkungan. Alternatif ramah lingkungan dengan
menghasilkan zat yang dapat meningkatkan pertumbuhan kelapa sawit.
Rhizobakteria menghasilkan senyawa alami yang dapat memacu pertumbuhan
kelapa sawit. Bakteri diazotrof penghasil IAA akan memacu pertumbuhan tunas
kelapa sawit secara in vitro dengan cara mengkolonisasi dan menginduksi sekitar
akar. Bakteri diazotrof Microbacterium sp. galur E7 dan E14 dilaporkan mampu
menginisiasi akar sekunder, kadar protein, dan peningkatan berat basah tertinggi
ternyata dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan in vitro tunas
kelapa sawit dan dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi biofertilizer yang
potensial (Ai’shah et al. 2013).
Azosprillum dan Bacillus spp. merupakan rizobacteria yang mampu
meningkatkan pertumbuhan dan fiksasi N2 beberapa tanaman nonleguminosae
dan dapat diaplikasikan pada bibit kelapa sawit untuk mengurangi penggunaan
pupuk nitrogen (Amir et al. 2005). Tanaman yang diinokulasikan dengan
Acetobacter diazotrophicus (R12) dan Azospirillum brasilense (Sp7) memberikan
pengaruh lebih baik dibandingkan kontrol, namun Pemberian A. diazotrophicus
(R12) memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan A. brasilense (Sp7)
dalam meningkatkan berat kering akar, dan kandungan klorofil daun kelapa sawit.
Bakteri diazotrof yang mampu memacu pertumbuhan kelapa sawit dapat
digunakan untuk mengurangi industri pupuk nitrogen bagi perkebunan kelapa
sawit (Om et al. 2009).

7
Aplikasi Pupuk Kimia dan Pupuk Hayati pada Bibit Kelapa Sawit
Pupuk kimia yang sering digunakan untuk pemupukan bibit kelapa sawit
pada tahap main-Nursery seperti pupuk majemuk NPKMg, pupuk kieserite (PPKS
2005), pupuk tunggal yang banyak beredar di pasaran berisi hara utama nitrogen
(N) seperti urea, ZA, K, ZN, KCl (Lingga 1998). Pupuk anorganik yang
digunakan antara lain rock phosphate, MOP, TSP dan SP36, sedangkan pupuk
organik memberikan hara bagi tanaman, memperbaiki struktur tanah dan sangat
bermanfaat bagi tanaman karena secara komparatif memberikan unsur hara yang
murah tanpa adanya resiko keracunan bagi tanaman serta mempengaruhi
pertumbuhan dan mutu produk yang dihasilkan. Perkebunan kelapa sawit
menggunakan pupuk organik yang berasal dari limbah perkebunan proses
pengolahan kelapa sawit, inokulan tanah meliputi bakteri legume pengikat N,
bakteri nonlegum pengikat N dan cendawan pelarut P (Pahan 2006). Pupuk hayati
yang digunakan bibit kelapa sawit seperti pupuk Greenfeed yang ramah
lingkungan (Pardamean 2011). Endopalma ialah salah satu produk pupuk hayati
yang berasal dari berbagai bakteri endofit yang mampu menekan serangan
Ganoderma boninense di lapangan serta meningkatkan kesuburan tanah dan
produktivitas tanaman kelapa sawit (PPKS 2012).
Biaya yang dikeluarkan untuk pupuk anorganik sangat mahal yaitu
25-30% dari total biaya produksi. Kebijakan perkebunan mensubstitusikan
sebagian pupuk anorganik dengan pupuk organik untuk mengurangi biaya
pemupukan, mempertahankan produksi dan mengurangi polusi lingkungan (Pahan
2006). Menurut BioPlanmate (2011), penggunaan pupuk kimia meninggalkan
residu bagi tanah sehingga tidak ramah lingkungan. Akumulasi pupuk kimia yang
tidak terurai, terserap tanah seperti pupuk P yang akan terjerap dalam tanah
melalui ikatan dengan unsur Al dan F, atau bahan organik yang menyebabkan
unsur P tidak tersedia untuk tanaman atau hilang terbawa aliran air. Pemberian
pupuk kimia jangka panjang memperburuk kondisi tanah dan menurunkan pH, di
samping itu unsur P memerlukan proses asimilasi oleh mikrob sebelum bisa
diserap tanaman sehingga memerlukan waktu yang lebih lama. Oleh karena itu
pemberian pupuk organik tinggi kandungan P lebih baik dari pupuk P kimia.

8

3 METODE
Bahan
Bahan yang digunakan ialah 16 bakteri selulolitik dan 9 bakteri kitinolitik
asal tanah perkebunan kelapa sawit dan karet dari sekitar Taman Nasional Bukit
Dua Belas (TNBDB) Jambi dikoleksi di IPBCC. Kecambah kelapa sawit yang
digunakan yaitu varietas hasil persilangan Dura x Pisifera dari Pusat Penelitian
Kelapa Sawit (PPKS) Medan. Tanaman tembakau (Nicotiana tabaccum L.) dari
diperoleh Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber daya Genetik Pertanian.

Kerangka Penelitian
Kerangka penelitian ini meliputi seleksi bakteri penghasil IAA serta
pengujian pada bibit kelapa sawit (Gambar 1).

Peremajaan Isolat Uji

Uji Hipersensitivitas

Penapisan Isolat Penghasil IAA

Pembuatan Kurva
Tumbuh dan Produksi
IAA

Pengujian Isolat
Terpilih pada Bibit
Kelapa Sawit

Identifikasi
Molekuler

Gambar 1 Diagram alur penelitian

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni 2014 sampai Mei 2015 di
Laboratorium dan Rumah Kaca Mikrobiologi, Departemen Biologi, Institut
Pertanian Bogor.

9
Peremajaan Isolat
Peremajaan isolat bakteri dengan menumbuhkan sebanyak 25 isolat antara
lain 16 isolat bakteri selulolitik dan 9 bakteri kitinolitik pada media agar-agar
miring Nutrient Agar (NA) sebagai biakan kerja.

Uji Hipersensitivitas
Seluruh isolat bakteri diuji reaksi hipersensitivitas (HR) pada daun
tembakau (Nicotiana tabacum L.) yang berumur 2 sampai 3 bulan. Masingmasing suspensi bakteri dengan kerapatan 108 CFU/ml diinokulasikan
(disuntikkan) menggunakan syringe 1 ml pada bagian mesofil antara tulang daun
tembakau pada permukaan bawah daun. Kontrol negatif digunakan akuades steril
sedangkan pada kontrol positif digunakan Pseudomonas syringae sebagai
inokulan. Pengamatan HR dilakukan 24 dan 48 jam setelah inokulasi. Reaksi
positif ditunjukkan dengan timbulnya gejala nekrotik pada daun tembakau
(Klement dan Godman 1967). Isolat bakteri yang tidak menyebabkan gejala
nekrotik (reaksi negatif) pada daun tembakau kemudian digunakan pada uji
selanjutnya.

Penapisan Isolat Penghasil IAA
Pengukuran kandungan IAA dilakukan dengan metode kolorimetri
menggunakan reagen Salkowski dengan komposisi 150 ml H2SO4 pekat, 7.5 ml
FeCl3.6H2O 0.5 M, dan 250 ml aquades steril (Gordon dan Weber 1951).
Pengujian aktivitas IAA dilakukan dengan mengambil 1 ml kultur bakteri
kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 4600 g selama 15 menit. Sebanyak
1 ml supernatan kemudian direaksikan dengan reagen Salkowski sebanyak 4 ml.
Uji ini dilakukan duplo. Suspensi kemudian diinkubasi selama 15 menit, tanpa
paparan cahaya kemudian dilakukan pengukuran absorbansi dengan menggunakan
spektrofotometer Genesys pada panjang gelombang 520 nm. Warna merah muda
yang terbentuk menunjukkan dihasilkan IAA (Patil 2011). Konsentrasi IAA yang
dihasilkan oleh setiap isolat diketahui melalui persamaan pada kurva standar IAA
(Lampiran 1). Dua isolat terbaik menghasilkan konsentrasi IAA tertinggi
digunakan untuk analisis selanjutnya.

Uji Bakteri Pelarut P dan K
Kemampuan bakteri dalam melarutkan fosfat diuji dengan menumbuhkan
kedua isolat terpilih (KAHN 15.12 dan SAHA 12.08) pada media Pikovskaya
(Paul dan Rao 1971), sedangkan kemampuannya dalam melarutkan kalium diuji
dengan menumbuhkannya pada media Aleksandrov (Parmar dan Sindhu 2013).
Bakteri ditumbuhkan pada masing-masing media dengan cara dititikan pada
media dan diinkubasi selama 7 hari. Pengamatan dilakukan dengan melihat
terbentuknya zona bening di sekitar koloni. Koloni dan zona bening diukur

10
diameternya (Ø), kemudian indeks pelarutan (IP) fosfat dan kalium dihitung
dengan rumus IP= (Ø zona bening – Ø koloni) ÷ Ø koloni.
Penentuan Kurva Pertumbuhan dan Produksi IAA
Kurva standar dibuat untuk mengetahui jumlah sel berdasarkan
absorbansinya (Lampiran 2). Satu lup isolat bakteri terpilih yang berumur 24 jam
diinokulasikan ke dalam 50 ml medium NB ditambahkan 1.0 mM L-triptofan dan
diinkubasi pada inkubator goyang hingga kepadatan sel mencapai 108 sel/ml.
Kultur bakteri diambil sebanyak 1 ml dan ditumbuhkan dalam media NB 100 ml,
lalu diinkubasi dengan inkubator goyang kecepatan agitasi 100 rpm. Pengukuran
densitas sel pada panjang gelombang 620 nm dan pengukuran IAA dilakukan
dengan mengambil 1 ml supernatan ditambahkan dengan 4 ml reagen Salkowski
dan diinkubasi pada ruangan gelap selama 15 menit. Pengukuran produksi IAA
dilakukan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 520 nm. Data
masing-masing bakteri pada setiap waktu pengamatan selanjutnya digunakan
untuk membuat grafik sehingga diketahui fase pertumbuhannya dan produksi IAA.

Pengukuran IAA dengan HPLC
Analisis IAA secara kuantitatif dilakukan menggunakan HPLC Shimadzu
LC 20 A tipe Prominance kolom C18, metode analisis fase terbalik (reversed
phase). Tahap yang pertama adalah melakukan pemekatan supernatan bakteri
dengan melarutkan 100 ml supernatan masing-masing isolat menggunakan etil
asetat sebanyak 3 kali dengan perbandingan volume 1:1. Ekstraksi hasil
pemekatan dievaporasi (dikeringkan) menggunakan rotary evaporator agar
didapatkan ekstrak kasar sampel yang diperlukan untuk HPLC. Hasil ekstraksi
berupa ekstrak kasar kemudian diresuspensikan ke dalam 1 ml metanol. Sampel
dianalisis dengan HPLC dan fase gerak ialah methanol: asam asetat: akuabides
(30: 1: 70 v/v/v), kecepatan alir 1.2 ml/menit, menggunakan detektor UV-VIS
pada panjang gelombang 254 nm. Konsentrasi IAA dari sampel ditentukan
berdasarkan konsentrasi larutan IAA murni yang diukur pada keadaaan dan
kondisi yang sama (Mehnaz dan Lazarovits 2006).

Identifikasi Molekuler Gen 16S rRNA
Ekstraksi DNA
Isolat bakteri KAHN 15.12 ditumbuhkan pada media Nutrient Broth (NB)
selama 24 jam selanjutnya sel bakteri disentrifugasi pada kecepatan 14.000 rpm
dan diperoleh pelet untuk ekstraksi DNA. DNA genom bakteri diekstraksi
menggunakan protokol dari PrestoTM Mini gDNA Bacteria Kit (Geneaid). Hasil
ekstraksi diukur kualitas dan kuantitas DNA genom menggunakan
spektrofotometer NanoDrop 2000 (Thermo Scientific, Wilmington, DE, USA).

11
Amplifikasi Gen 16S rRNA
DNA hasil ekstraksi digunakan dalam PCR (Polymerase Chain Reaction)
untuk mengamplifikasi gen 16S rRNA. Reaksi mix PCR dibuat sebanyak 50 µl
dengan komposisi antara lain: 25 µl GoTaq Green Master Mix 2x (Promega,
Madison, W1, USA), 0.5 µl primer 63F (5’-CAG GCC TAA CAC ATG CAA
GTC-3’) dan 1387R (5’-GGG CGG CGT GTA CAA GGC-3’) (Marchesi et al.
1998), 2 µl template DNA, 22 µl Nuclease Free Water. Kondisi PCR yang
digunakan yaitu pre-denaturation (95 oC selama 5 menit), annealing (55 oC
selama 1 menit), elongation (72 oC selama 1.5 menit), dan extension (72 oC
selama 10 menit) sebanyak 30 siklus. Produk hasil PCR divisualisasi
menggunakan elektroforesis gel agarosa 1% dengan voltase 75 volt selama 45
menit dan divisualisasi di bawah sinar UV.
Sekuensing DNA dan Analisis Filogenetik
Produk hasil PCR (gen 16S rRNA) yang diperoleh selanjutnya disekuen
dan dikirim ke perusahan jasa sekuensing. Sekuen gen 16S rRNA dari isolat
KAHN 15.12 (Lampiran 5) kemudian disejajarkan dengan data sekuen yang
terdapat pada GenBank menggunakan program BLASTN (Lampiran 6).
Konstruksi pohon filogenetik dilakukan menggunakan program MEGA 6.0
dengan metode Neighbour Joining dan nilai bootstrap 1000x.

Aplikasi Bakteri pada Bibit Kelapa Sawit
Pembuatan Media Tanam
Komposisi media tanam terdiri atas tanah, kompos, dan sekam. Tanah
diperoleh dari kebun Darmaga IPB dengan pH 4.9 (Lampiran 7). Masing-masing
komponen media tanam disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 oC tekanan 1
atm. Media tanam dengan komposisi yaitu tanah: kompos: sekam (1:1)
dihomogenkan dan dimasukkan ke dalam polibag berukuran 30 cm x 30 cm.
Persiapan Tanaman
Kecambah kelapa sawit diseleksi terlebih dahulu dengan memisahkan
kecambah normal dan abnormal. Kecambah yang normal selanjutnya diberi
perlakuan fungisida Dithane M-45 selama 2 menit lalu dibilas dengan akuades
steril. Kecambah ditanam pada kedalaman 2 cm di dalam polibag dan
diaklimatisasi selama 2 minggu.
Rancangan Percobaan
Percobaan disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu
faktor perlakuan yang terdiri atas 8 taraf yaitu: (1) tanpa inokulasi bakteri sebagai
kontrol negatif, (2) pupuk 100% dosis Rock phosphate (RP) sebanyak 5 g sebagai
kontrol positif, (3) kultur isolat KAHN 15.12, (4) kultur isolat SAHA 12.08, (5)
1/2 dosis pupuk RP + isolat KAHN 15.12, (6) 1/2 dosis pupuk RP + isolat SAHA
12.08, (7) 100% dosis RP + isolat KAHN 15.12, (8) 100% dosis RP + kultur
isolat SAHA 12.08 (Lampiran 8). Unit percobaan diulang sebanyak 4 kali
sehingga terdapat 32 unit percobaan. Pupuk RP diberikan ke dalam polibag 2
minggu setelah tanam. Kultur bakteri diberikan 3 kali pada minggu ke-2, 3, dan 4

12
setelah tanam. Pada setiap inokulasi, 10 ml kultur bakteri diteteskan di sekitar
perakaran tanaman.
Pengamatan
Tanaman kelapa sawit berusia 90 HST dipindahkan dari polibag untuk
dibersihkan akarnya dari media tanam dan diamati (Lampiran 9). Parameter yang
diamati pada penelitian ini meliputi:
1. Tinggi tanaman: diukur dari permukaan tanah hingga ujung daun
tertinggi dengan meluruskan daun
2. Panjang batang: diukur dari permukaan tanah sampai pelepah pertama
muncul
3. Diameter batang: diukur pada posisi 1 cm di atas permukaan media
tanam dengan menggunakan jangka sorong
4. Jumlah akar lateral: jumlah akar cabang yang muncul dari akar utama
5. Diameter akar: diukur pada posisi 5 cm di bawah pangkal akar utama
menggunakan jangka sorong
6. Panjang akar primer: diukur dari pangkal akar sampai ujung akar
tunggangnya
7. Jumlah daun: jumlah daun yang sudah terbuka sempurna
8. Bobot kering: tajuk dan akar bibit sawit dikeringkan menggunakan oven
pada suhu 60 oC selama 2 hari kemudian ditimbang dengan
menggunakan timbangan analitik
Perhitungan Jumlah Bakteri
Perhitungan jumlah bakteri dilakukan pada semua perlakuan. Sampel tanah
diambil di dekat perakaran tanaman pada lapisan permukaan antara 0-5 cm.
Jumlah sel bakteri dihitung dengan metode total plate count (TPC) yaitu dengan
menimbang tanah sebanyak 1 g kemudian dilarutkan dalam 9 ml aquades steril
diperoleh larutan dengan pengenceran 10-1 lalu dilakukan pengenceran sampai
10-6. Dari pengenceran 10-4, 10-5 dan 10-6 diambil 100 μl kemudian diinokulasikan
secara cawan sebar pada medium NA. Jumlah sel bakteri dihitung dengan cara
mengalikan jumlah koloni yang terhitung dengan faktor pengenceran terhadap
semua perlakuan, dengan rumus:
Jumlah sel/gram= Jumlah koloni X

1
faktor pengenceran

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan ANOVA menggunakan software
SPSS v.21 dan uji lanjutan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf
α=5% (Lampiran 10).

13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Hipersensitivitas
Dari 25 isolat yang digunakan dalam uji hipersensitivitas diperoleh 13 isolat
yang terdiri atas empat dari 9 isolat bakteri kitinolitik dan 9 dari 16 isolat bakteri
selulolitik tidak menginduksi reaksi positif hipersensitif pada daun tembakau
(Nicotiana tabacum L.) dengan ditandai tidak terjadi perubahan warna daun pada
tempat injeksi kultur. Reaksi positif ditunjukkan oleh gejala daun nekrosis berupa
bercak kecoklatan di sekitar daerah yang disuntik dengan suspensi bakteri setelah
48 jam pengujian (Gambar 2).

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 2 Hasil uji hipersensitivitas pada daun tembakau. Gejala positif nekrosis
(a), dan gejala negatif (b), kontrol positif Pseudomonas syringae (c),
kontrol negatif (d).

Penapisan Isolat Penghasil IAA
IAA yang dihasilkan oleh 13 isolat nonekrotik diukur dari kultur yang
berumur 24 jam. Seluruh isolat nonnekrotik (13 isolat) mampu menghasilkan IAA
dengan penambahan triptofan 1 mM dan tanpa penambahan triptofan (Tabel 1).
Penambahan triptofan menunjukkan konsentrasi IAA yang dihasilkan lebih tinggi
dibandingkan tanpa pemberian triptofan. Dari 13 isolat yang diuji hanya dipilih 2
isolat yang memproduksi IAA tertinggi ialah SAHA 12.08 dan KAHN 15.12
untuk diuji lebih lanjut.
Tabel 1 Konsentrasi IAA pada media yang ditambah triptofan dan tanpa triptofan
Kode Isolat

SAHA 2.2
SAHA 3.4
SAHA 3.6
SAHA 32.6
SAHA 12.08
SAHA 12.07
KAHN 10.10

S
S
S
S
K
K
S

Konsentrasi IAA
(ppm)
dengan
tanpa
trp 1mM
trp
2.43
0.00
2.88
1.16
0.00
0.00
0.01
0.00
3.99
0.35
1.11
0.00
2.20
0.00

Kode Isolat

KAHN 10.11
KAHN 10.13
KAHN 10.14
KAHN 10.15
KAHN 15.38
KAHN15.12

S
S
S
S
K
K

Konsentrasi IAA
(ppm)
dengan
tanpa
trp 1mM
trp
3.23
0.00
1.76
0.00
2.81
0.00
1.34
0.00
2.91
0.00
3.75
0.038

Keterangan: SAHA: dari kelapa sawit, KAHN: dari kebun karet, S: selulolitik, K: kitinolitik

14
Pengujian Kemampuan Bakteri Terpilih dalam melarutkan P dan K
Bakteri pelarut fosfat atau kalium membentuk zona bening di sekeliling
koloni (Gambar 3). Kemampuan bakteri dalam melarutkan fosfat (P) atau kalium
(K) dinyatakan dalam bentuk indeks pelarutan (IP). Isolat KAHN 15.12 mampu
melarutkan P dan K dengan indeks pelarutan P sebesar 0.35 dan indeks pelarutan
K sebesar 1, sedangkan SAHA 12.08 tidak dapat melarutkan P dan K. Hal ini
ditunjukkan dengan tidak terbentuknya zona bening di sekitar koloni SAHA 12.08.

(a)

(b)

Gambar 3 Koloni isolat KAHN 15.12 pada medium Pikovskaya (a) dan medium
Aleksandrov (b)

Pengukuran IAA dengan HPLC
Konsentrasi IAA pada sampel (KAHN 15.12 dan SAHA 12.08) ditentukan
berdasarkan hasil pengukuran berbagai konsentrasi IAA standar (sintetik murni)
dengan konsentrasi 40 sampai 100 ppm (Lampiran 3). Puncak kromatogram pada
sampel KAHN 15.12 dan SAHA 12.08 diperoleh pada waktu retensi 20.167 dan
20.912 menit. Hasil kromatogram sampel sama dengan IAA standar (IAA
sintetik). Waktu retensi IAA standar berkisar antara 21 sampai 22.5 menit
(Gambar 4).
uV

10000

9000

8000

7000

6000

5000

4000

3000

2000

1000

0

0.0

2.5

5.0

7.5

10.0

12.5

15.0

17.5

20.0

22.5

25.0

min

(a)

(b)
(c)
Gambar 4 Kromatogram IAA standar (a), kromatogram isolat KAHN 15.12 (b),
kromatogram isolat SAHA 12.08 (c)

15
Konsentrasi IAA yang dihasilkan oleh isolat terpilih SAHA 12.08 dan
KAHN 15.12 diukur secara kuantitatif menggunakan HPLC. Hasil pengukuran
konsentrasi IAA dari sampel KAHN 15.12 dan SAHA 12.08 masing-masing
sebesar 94.05 ppm dan 91.00 ppm (Tabel 2).
Tabel 2 Hasil pengukuran IAA menggunakan HPLC
Isolat

Sampel

KAHN 15.12
SAHA 12.08

Waktu
Retensi
20.167
20.912

IAA
IAA

Area
1650138
1607267

Konsentrasi
(ppm)
94.015
91.568

Kurva Pertumbuhan Bakteri dan Produksi IAA

0

6

12 18 24 30 36
Waktu (jam)

Log Sel/ml

20.0
16.0
12.0
8.0
4.0
0.0

(b)
10.0
9.5
9.0
8.5
8.0
7.5
7.0
6.5

20.0
16.0
12.0
8.0
4.0
0.0
0

6

12 18 24 30 36
Waktu (jam)

Kandungan IAA (ppm)

(a)

10.0
9.5
9.0
8.5
8.0
7.5
7.0
6.5

Kandungan IAA (ppm)

Log Sel/ml

Berdasarkan hasil uji hipersensitifitas dan seleksi bakteri penghasil IAA
dipilih isolat SAHA 12.08 dan KAHN 15.12 untuk dilakukan pembuatan kurva
pertumbuhan dan kurva produksi IAA pada medium NB yang ditambah dengan
triptofan 1 mM (Gambar 5). Isolat SAHA 12.08 optimum mensintesis IAA pada
jam ke-30 sebesar 2.34 ppm (Gambar 5a). Isolat KAHN 15.12 tertinggi
mensintesis IAA sebesar 22.37 ppm pada saat memasuki fase stasioner pada jam
ke-18 (Gambar 5b).

Gambar 5 Kurva pertumbuhan bakteri dan produksi IAA. Isolat SAHA 12.08 (a),
KAHN 15.12 (b). ◊ log sel, ■ : konsentrasi IAA (ppm).
Identifikasi Molekuler
Amplifikasi gen 16S rRNA menghasilkan pita DNA berukuran sekitar 1300
pb pada gel agarosa 1% (Gambar 6). Hasil analisis sekuen gen penyandi 16S
rRNA pada GenBank menggunakan program BLASTN menunjukkan bahwa
isolat KAHN 15.12 memiliki tingkat kemiripan 99% dengan Serratia marcescens
(Lampiran 4). Konstruksi pohon filogenetik menunjukkan bahwa isolat KAHN
15.12 memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Serratia marcescens
(Gambar 7). Isolat SAHA 12.08 telah diidentifikasi sebelumnya oleh (Asril et al.
2014) sebagai Bacillus thuringiensis.

16

M

1

1500 pb
1000 pb
750 pb
500 pb
250 pb

~ 1300 pb

Gambar 6 Visualisasi hasil amplifikasi gen 16S rRNA dengan elektroforesis gel
agarosa 1%. (M) marker 1 kb, (1) KAHN 15.12.

Gambar 7 Pohon filogenetik isolat KAHN 15.12

Aplikasi Bakteri pada Bibit Kelapa Sawit
Kemampuan isolat SAHA 12.08 dan KAHN 15.12 sebagai agen pemacu
pertumbuhan bibit sawit diamati pada umur 90 hari setelah tanam (HST).
Perlakuan P6 dan P7 berbeda nyata pada tinggi tanaman jika dibandingkan dengan
kontrol negatif, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain. Pemberian
isolat tanpa pupuk RP (P3 dan P4) atau dikombinasikan dengan pupuk RP dosis
setengah (P5 dan P6) berbeda nyata dalam hal panjang batang bila dibandingkan
dengan kontrol negatif. Hanya 2 perlakuan yaitu KAHN 15.12 yang
dikombinasikan dengan pupuk RP dosis setengah (P5) dan pupuk RP dosis penuh
(P7) yang berbeda nyata dalam hal diameter batang bila dibandingkan dengan
kontrol negatif. Jumlah daun dipengaruhi secara nyata oleh pupuk RP dosis
setengah atau RP dosis penuh yang dikombinasikan dengan kultur bakteri.
Perlakuan kultur bakteri tanpa pupuk RP tidak berbeda nyata terhadap jumlah
daun. Dibandingkan dengan perlakuan lainnya, isolat SAHA 12.08 tidak
menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman, panjang batang, dan
diameter batang bila dikombinasikan dengan 100% dosis pupuk RP (Tabel 3).

17

Tabel 3 Pengaruh perlakuan bakteri pada bagian atas bibit sawit umur 90 HST
Perlakuan

K- (P1)
K+ (P2)
KAHN 15.12 (P3)
SAHA 12.08 (P4)
1/2RP+KAHN 15.12 (P5)
1/2RP+SAHA 12.08 (P6)
RP+KAHN 15.12 (P7)
RP+SAHA 12.08 (P8)

Tinggi
tanaman

Panjang
batang

Diameter
batang

(cm)
18.17b
22.72ab
20.97ab
20.22ab
20.92ab
23.82a
23.87a
20.17ab

(cm)
2.82c
3.45ab
3.87a
3.45ab
3.57a
3.30ab
3.60a
2.90bc

(mm)
0.400c
0.44bc
0.48abc
0.51abc
0.54ab
0.52abc
0.61a
0.44bc

Jumlah
daun
3b
3b
3b
3b
4a
4a
4a
4a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom menunjukkan hasil yang berbeda
nyata berdasarkan uji Duncan pada α=0.05. (K-) tanpa inokulasi bakteri sebagai
kontrol negatif, (K+) pupuk Rock Phosphate (RP) sebagai kontrol positif.

Pemberian kultur bakteri dapat meningkatkan jumlah akar lateral sebesar
25-27%. Kombinasi isolat dengan 1/2 dosis pupuk RP memberikan pengaruh
makin baik dalam hal peningkatan jumlah akar lateral sebesar 60-65% (Tabel 4).
Semakin tinggi dosis pupuk RP dikombinasikan dengan perlakuan bakteri KAHN
15.12, semakin banyak jumlah akar lateral yang terbentuk. Sebaliknya, jumlah
akar lateral menjadi lebih sedikit bila isolat SAHA 12.08 dikombinasikan dengan
pupuk RP dosis penuh.
Tabel 4 Pengaruh perlakuan bakteri pada perakaran bibit sawit umur 90 HST
Perlakuan

K- (P1)
K+ (P2)
KAHN 15.12 (P3)
SAHA 12.08 (P4)
1/2RP+KAHN 15.12 (P5)
1/2RP+SAHA 12.08 (P6)
RP+KAHN 15.12 (P7)
RP+SAHA 12.08 (P8)

Jumlah akar
lateral
d

141
322c
359bc
403ab
408ab
411ab
437a
340c

Diameter akar

Panjang akar
primer

(mm)
0.18a
0.16a
0.17a
0.22a
0.20a
0.16a
0.19a
0.15a

(cm)
16.02b
20.70ab
22.92ab
21.45ab
21.10ab
21.32ab
23.97a
20.25ab

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom menunjukkan hasil yang berbeda
nyata berdasarkan uji Duncan pada α=0.05. (K-) tanpa inokulasi bakteri sebagai
kontrol negatif, (K+) pupuk Rock Phosphate (RP) sebagai kontrol positif.

Isolat KAHN 15.12 memberikan pengaruh terbaik terhadap berat kering
akar dan tajuk bila dikombinasikan dengan pupuk RP dosis penuh (P7),
sedangkan SAHA 12.08 memberikan pengaruh terbaik pada berat kering akar dan
tajuk bila dikombinasikan dengan 1/2 dosis dosis pupuk RP (P6). Isolat SAHA
12.08 tidak berpengaruh pada berat kering akar dan tajuk bila dikombinasikan

18
dengan pupuk RP dosis penuh yang menghasilkan bobot kering yang lebih rendah
dibandingkan dengan kontrol positif (pupuk dosis penuh) (Tabel 5).
Tabel 5 Pengaruh perlakuan bakteri pada bobot kering bibit sawit umur 90 HST
Perlakuan

K- (P1)
K+ (P2)
KAHN 15.12 (P3)
SAHA 12.08 (P4)
1/2RP+KAHN 15.12 (P5)
1/2RP+SAHA 12.08 (P6)
RP+KAHN 15.12 (P7)
RP+SAHA 12.08 (P8)

Bobot Kering
Tajuk

Bobot kering
Akar

(g)
0.33c
0.53ab
0.54ab
0.47bc
0.61ab
0.69a
0.71a
0.45bc

(g)
0.054c
0.091abc
0.1