Analisis Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencabulan Anak Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak

ABSTRAK
ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK
PIDANA PENCABULAN ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN ANAK

Oleh
SULIS TRIANTO
Anak merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, yang mana dalam dirinya
melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, sebagaimana manusia
yang lainnya. Orang tua, kelompok masyarakat, aparat penegak hukum, serta
pemerintah yang menjalankan fungsinya sebagai regulator kebijakan dan
pengawasan kehidupan bernegara, khususnya dalam upaya melindungi hak-hak
hidup anak. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, diharapkan mampu mengakomodasikan semua hakhak anak yang secara mutlak harus diberikan padanya, terkhususnya dalam hal
perlindungan hukum. Masih terjadinya berbagai tindak pidana pencabulan
terhadap anak, secara jelas membuktikan bahwa anak masih rentan terhadap
berbagai tindak kekerasan. Seperti yang terjadi di daerah Bandar Lampung dan
telah di putus oleh hakim dengan putusan Nomor 267/Pid/B/2012/PNTK. Dengan
demikian, timbul pertanyaan sudah sesuaikah penerapan sanksi pidana terhadap
pelaku pencabulan anak pada perkara No.267/Pid/B/2012/PNTK dengan UndangUndang N0. 23 Tahun 2002. Dan apakah yang dijadikan dasar pertimbangan
hakim dalam memutus perkara tindak pidana pencabulan anak pada putusan No.

267/Pid/B/2012/PNTK.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan secara yuridis empiris dan yuridis
normatif , dengan jenis data primer berupa hasil wawancara dengan hakim dan
jaksa di Pengadilan Negeri Bandar Lampung. Sedangkan jenis data sekunder
berupa aturan perundang-undangan putusan No. 267/Pid/B/2012/PNTK dan
kepustakaan lainnya. Dari data-data ini, selanjutnya penulis melakukan analisis
data-data dengan menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian yang dilakukan penulis di Pengadilan Negeri Bandar Lampung,
menunjukan bahwa penerapan sanksi pidana yang terdapat dalam putusan hakim
No. 267/Pid/B/2012/PNTK sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang didakwakan kepada terdakwa walaupun lebih ringan di bandingkan tuntutan
jaksa dengan rincian: penjara selama 6 tahun, menjadi selama 4 tahun dikurangi
selama terdakwa berada dalam tahanan dan denda Rp. 100.000.000 (seratus juta
rupiah) subsidair 3 bulan, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak
dibayarkan diganti dengan pidana penjara selama 1 (satu) bulan. Dengan dasar
pertimbangan hakim berupa: a terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana, b
pembuktian di persidangan berdasarkan kesesuaian alat bukti yang sah yang

Sulis Trianto
diajukan dipersidangan, c. keyakinan hakim d. melihat dari hal-hal yang

memberatkan dan meringankan bagi terdakwa, dan e. akibat langsung bagi
korban. Adapun saran yang disampaikan antara lain: seorang tersangka tindak
pidana kesusilaan yang korbannya adalah anak-anak haruslah mendapatkan
pidana yang setimpal agar efek penjeraan dapat berjalan secara maksimal dan
diharapkan pelakunya tidak akan mengulangi kejahatan yang sama dikemudian
hari. Pemerintah perlu membentuk badan yang mengurusi rehabilitasi (crisis
center) terhadap anak yang menjadi korban perkosaan atau pencabulan untuk
meminimalisir akibat negatif yang mungkin timbul pada diri korban.
Kata Kunci : Penerapan Sanksi Pidana, Pencabulan, Pencabulan Anak.

ANALISIS PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP TINDAK
PIDANA PENCABULAN ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN ANAK

(Skripsi)

Oleh:
Sulis Trianto

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2014

DAFTAR ISI

Halaman
I. PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah ....................................................................

1

B.

Permasalahan dan Ruang Lingkup ....................................................

5


C.

Tujuan Penelitian dan Kegunaan ......................................................

6

D.

Kerangka Teoritis dan Konseptual ....................................................

7

E.

Sistematika Penulisan .......................................................................

12

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana ...................................


13

B. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Anak.................................... .

20

C. Pengertian Anak .................................................................................

22

D.

Pengertian Perlindungan Anak..........................................................

25

E.

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana..................


28

F.

Keadilan yang sesuai dengan Hukum ...............................................

30

III. METODE PENELITIAN
A.

Pendekatan Masalah ..........................................................................

32

B.

Sumber Data dan Jenis Data .............................................................


33

C.

Penentuan Populasi dan Sample........................................................

34

D.

Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data.....................................

35

E.

Analisis Data .....................................................................................

36


IV. METODE PENELITIAN
A.

Karakteristik Responden ...................................................................

38

B.

Gambaran Umum Perkara No 267/Pid/B/2012/PNTK .....................

39

C.

Kesesuaian Penerapan Sanksi Pidana terhadap Pelaku Pencabulan Anak
Perkara No 267/Pid/B/2012/PNTK dengan Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 Pasal 82 ..........................................................................

D.


42

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Tindak Pidana
Pencabulan Anak pada Putusan No. 267/Pid/B/2012/PNTK ............

48

V. PENUTUP
A.

Simpulan ...........................................................................................

54

B.

Saran ..................................................................................................

57


DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

MOTO

Janganlahkaujadikankemungkinankecewamusebagaipenghambatkerjamu.
Ketahuilahbahwakegelisahandalampenundaan
karena rasa takutakankekecewaan, adalahperasaan yang
lebihburukdaripadakekecewaan yang sebenarnya.
(Mario Teguh)

Tiga pilihan dalam hidup:
Pilihan, Perbedaan, dan Perubahan.
Kamu harus membuat suatu perbedaan untuk menentukan sebuah pilihan, jika
tidak hidupmu tidak akan mengalami perubahan.
(Penulis)

PERSEMBAHAN


Kupersembahkan Skripsi ini untuk:
Kedua Orang Tuaku
Dua Insan Manusia Yang Begitu Sangat Kusayangi Dan Kucintai, Berkat
Didikan, Bimbingan Dan Doa Mereka Dalam Membesarkanku Sehingga Aku
Bisa Menjadi Orang Yang Berhasil

Adik Kandungku Yang
Membuatku Semakin Yakin Bahwa Merekalah Yang Akan Membantuku Di Saat
Susah Maupun Senang

Seluruh Keluarga Besar
Selalu Memotivasi, Doa dan Perhatian Sehingga Aku Lebih Yakin Dalam
Menjalani Hidup Ini

Almamater Universitas Lampung
Tempat Aku Menimba Ilmu, Disinilah Aku Mendapatkan Ilmu Dan Pengetahuan
Dan Tentunya Proses Pencapaian Yang Sangat Menggembirakan

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gunung Madu pada tanggal 25 April
1989. Anak Pertama dari dua bersaudara buah cinta dari
pasangan Ayahanda Paryanto dan Ibunda Sulastri.

Pendidikan Formal ditempuh penulis yaitu di Taman KanakKanak Gunung Madu dan diselsaikan pada tahun 1996, Pendidikan Sekolah Dasar
Negeri 1 Terusan Nunyai dan diselesaikan tahun 2002. Penulis melanjutkan
jenjang pendidikannya di Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) di SLTP Satya
Dharma Sudjana Gunung Madu dan selesai tahun 2005 dan Sekolah Menengah
Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 1 Terbanggi Besar pada tahun 2008.

Pada tahun 2008 melalui proses seleksi Penelusuran Kemampuan Akademik dan
Bakat (PKAB) penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum
Reguler Universitas Lampung. Pada tahun 2011, Penulis mengikuti program
pengabdian kepada masyarakat yaitu Kuliah Kerja Nyata (KKN) tanggal 31 Juni
sampai 9 Agustus 2011 di desa Waspada, Kecamatan Sekincau Lampung Barat
selama 40 hari. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif dalam Himpunan
Mahasiwa Hukum Pidana (HIMAPIDANA).

SAN WACANA
Alhamdulillahirabbil ’alamin.
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab hanya
dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:
“Analisis Penerapan Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Pencabulan
Anak Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak” sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Lampung.

Segala kemampuan telah penulis curahkan guna menyelesaikan skripsi ini, namun
penulis menyadari masih terdapat kekurangan baik dari segi substansi maupun
penulisannya. Oleh karena itu, berbagai saran, koreksi, dan kritik yang
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan dan
kesempurnaan skripsi ini. Penulis menyadari ini bukanlah hasil jerih payah sendiri
akan tetapi berkat bimbingan

dan dukungan dari berbagai pihak baik moril

maupun materiil sehingga penulisan skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, di
dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan rasa terima
kasih yang tulus kepada:
1.

Bapak Dr. Heryandi, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung;

2.

Ibu DR. Erna Dewi, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas
Hukum Uiversitas Lampung sekaligus Pembimbing I (satu) yang telah
banyak membantu dalam perbaikan skripsi ini agar lebih baik. Terima kasih

atas kebaikan hati, kesabaran, dan waktu yang telah diberikan untuk
membimbing penulis;
3.

Bapak Tri Andrisman, S.H.,M.H., selaku Pembimbing II (dua) atas
ketersediaannya untuk membantu, mengarahkan, dan memberi masukan agar
terselesaikannya skripsi ini;

4.

Ibu Diah Gustiniati M, S.H.,M.H., selaku Pembahas I (satu) yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan saran, bimbingan dan bantuan yang
sangat berarti dalam penulisan skripsi ini;

5.

Ibu Maya Shafira, S.H.,M.H., selaku pembahas II (dua) yang telah
memberikan waktu, masukan, dan kritik dalam penulisan skripsi ini;

6.

Ibu Hj. Wati Rahmi Ria, S.H.,M.H., yang telah menjadi pembimbing
akademik penulis selama penulis menimba ilmu di fakultas hukum
universitas lampung;

7.

Seluruh Dosen Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu
dan pengetahuan kepada penulis, serta kepada seluruh staf administrasi
Fakultas Hukum Universitas Lampung;

8.

Ibu Ida Ratnawati, S.H.,M.H., dan Ibu Eka Septiana Sari, S.H, selaku jaksa di
Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yang telah memberikan sedikit waktunya
pada saat penulis melakukan penelitian;

9.

Ayahanda Paryanto dan Ibunda Sulastri tercinta, serta Adikku tersayang Dani
Setiawan terima kasih telah memberikan dukungan, perhatian, doa, dan
semangat serta pengorbanannya.

10. Rekan-rekan seperjuangan di Fakultas Hukum, Ferdy Ardiyansah, S.H,
Rendy Rega Saputra, S.H, Fery Ardiyansah, S.H, Adzwir ade putra, S.H,

Alvin Ananta, S.H, Cristianto Sitinjak, S.H, Ahadi Fajri Prastya, S.H, Eko
Wahyudi, S.H, Asrul Septian Malik, S.H, Jusya Hadi, S.H, Immanuel Tobing,
SH, Kamal Putra Tamrin, S.H, Bambang Wardoyo, S,H, Devi Santoso, S.H,
Aditya Ilham, S,H, Dandi, S.H, Herdi SDA, S.H, Abdi, S.H, Febri Andela,
S.H, Syendro S.H, Fyar Fahturomi, S.H, Agung Waluyo, S.H, Rangga
Canvarianda, S.H, Fajar Aprilianto, S.H, Gagan Ghautama, S.H, thanks
banget udah mau bantuin gw selama ini kalian memang the best friend.
11. Kepada Babe Narto, Mbak sri, Mbak Yanti, Kiyay Basir, terima kasih doanya
dan dukungannya serta bantuannya selama ini
12. Almamater tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman
berharga
13. Serta semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya
dan semua pihak yang berkepentingan pada umumnya untuk kehidupan yang
lebih baik dan bermanfaat bagi semua. Semoga Allah SWT meridhoi segala usaha
dan ketulusan yang diberikan kepada penulis, segala kritik dan saran yang bersifat
membangun penulis akan terima dengan senang hati. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi yang membaca. Amin

Bandar Lampung, Oktober 2014
Penulis,

Sulis Trianto

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Laju kehidupan dalam bermasyarakat mengakibatkan setiap orang tidak dapat
melepaskan diri dari berbagai hubungan timbal balik dan kepentingan yang saling
terkait antara yang satu dengan yang lainya yang dapat di tinjau dari berbagai
segi, misalya segi agama, etika, sosial budaya, politik, dan termasuk pula segi
hukum. Ditinjau dari kemajemukan kepentingan seringkali menimbulkan konflik
kepentingan, yang pada akhirya melahirkan apa yang di namakan tindak pidana.
Tindak pidana merupakan suatu fenomena yang menghambat pelaksanaan
pembangunan, sehingga penanggulangan dan pemberantasannya harus benarbenar diprioritaskan. Sumber tindak pidana banyak dijumpai dalam masyarakat
modern dewasa ini, sehingga tindak pidana justru berkembang dengan cepat baik
kualitas maupun kuantitasnya.
Untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang ada tersebut, maka di buat suatu
aturan dan atau norma hukum yang wajib di taati. Terhadap orang yang
melenggar aturan hukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain akan di
ambil tindakan berupa ganti kerugian atau denda, sedang bagi seorang yang telah
melakukan tindak pidana akan di jatuhi sanksi pidana berupa hukuman badan baik
penjara, kurungan dan atau denda.

2

Salah satu bentuk tindak pidana yang begitu marak terjadi belakangan ini adalah
tindak tindak pidana kesusilaan yang mengarah pada tindak tindak pidanaseksual
(sexual offense) dan lebih khususnya lagi yaitu tindak pidana pencabulan yang
terjadi

pada anak-anak. Pencabulan merupakan pengalaman yang paling

menyakitkan bagi seorang anak, karena selain mengalami kekerasan fisik, ia juga
mengalami kekerasan emosional.
Tindak pidana pencabulan anak menjadi sangat istimewa dari tindak pidana
pencabulan biasa karena korbannya adalah anak-anak. Pengertian anak senditri
tertera dalam penjelasan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
tentang perlindungan anak menyebutkan bahwa:
“Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat dan
martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak
masih memerlukan bimbingan orang tua/ keluarga serta masih harus
belajar banyak baik melalui pendidikan orang tua maupun menimba
pengalaman-pengalaman dalam kehidupan bermasyarakat.”

Para pelaku dari tindak pidana pencabulan terhadap anak-anak seringkali adalah
orang-orang yang dikenal oleh korban bahkan ada juga yang masih mempunyai
hubungan keluarga. Tidak menutup kemungkinan sang pelaku adalah orang luar
dan tidak dikenal oleh korban. Reaksi yang timbul, masyarakat memandang
bahwa kasus tindak pidana terhadap anak harus diproses dan diadili seadiladilnya. Para pelaku harus dipidana seberat-beratnya karena telah merusak masa
depan anak bahkan dapat menimbulkan akibat buruk secara psikologis terhadap
perkembangan anak.

3

Pengertian pencabulan sendiri menurut kamus hukum mengandung makna
suatuproses atau perbuatan keji dan kotor, tidak senonoh karena melanggar
kesopanan dan kesusilaan.1. Ini secara umum diatur didalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Pasal 281 serta Pasal 282.
Pencabulan terhadap anak sendiri telah diatur dalam Pasal 81 dan 82 UndangUndang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menjelaskan
bahwa:
1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain dipidana dengan pidana paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
2. Ketentuan pidana sebagaina dimaksud dalam ayat 1 berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkai
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain
Ketentuan dalam Pasal 82 Undang-Undang Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menjelaskan bahwa,
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
paling singkat (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.00 (enam
puluh juta rupiah)”.

Salah satu kasus pencabulan anak dibawah umur telah terjadi di daerah Bandar
Lampung

1

dan

telah

di

putus

oleh

hakim

dengan

putusan

Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: PT Rineka Citra, Jakarta),hlm 64.

hakim

4

Nomor267/Pid/B/2012/PNTK. Adapun kronologis singkat dalam perkara tersebut
terjadi di daerah Tanjung Karang Bandar Lampung yaitupada saat terdakwa
menjemput saksi korban pulang dari sekolah dan menaikkan kesepedah motor
milik terdakwa dengan posisi saksi korban duduk di depan terdakwa, ketika
sampai di perkebuanan singkong terdakwa menghentikan sepedah motornya di
pinggir jalan dan saat itulah jari telunjuk terdakwa dimasukkan kedalam kemaluan
korban agak lama lalu korban menepuk tangan terdakwa dan berkata “ngapain
kek”, lalu terdakwa menjawab “diem deh ini lagi di pijitin” lalu jari telunjuk
dikeluarkan kemudian membawa sepedah motor pulang, sesampainya di rumah,
saksi korban menceritakan hal tersebut kepada orang tunya, mendengar cerita
korban orang tua saksi korban melaporkan kejadiaan tersebut kepada pihak yang
berwajib.
Perbuatan terdakwa melanggar Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak,
yang diancam pidana paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)
tahun. Majelis hakim sepakat menjatuhkan pidana penjara selama 4 (empat) tahun
dan denda 100 juta rupiah subsider kurungan 1 (satu) bulan, dikurangi oleh masa
tahanan yang telah di jalani oleh terdakwa.
Penjatuhan pidana terhadap tindak pidana pencabulan terhadap anak seharusnya
memperhatikan akibat-akibat yang timbul dari adanya suatu perbuatan tersebut
baik aspek psikis maupun aspek psikologis dari korban, sehingga dalam
putusannya dapat memuaskan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.

5

Melihat kenyataan tersebut maka sudah seharusnya hukum pidana memberikan
sanksi yang setimpal bagi pelaku tindak pidana tersebut sehingga supremasi
hukum benar-benar ditegakkan dan tercipta ketertiban dalam masyarakat.
Disamping itu, sanksi tersebut diharapkan memberikan efek jera bagi pelaku
tindak pidana sehingga tidak akan mengulangi perbuatannya dimasa mendatang
serta mencegah orang lain agar tidak melakukan tindak pidana tersebut karena
suatu ancaman sanksi yang cukup berat.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut penulis berkeinginan untuk
mengangkat permasalahantersebut dalam sebuah skripsi dengan judul :“Analisis
Penerapan Sanksi Pidana terhadap Tindak Pidana Pencabulan Anak Berdasarkan
UUPerlindungan Anak”.
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan latarbelakang diatas, maka permasalahan yang timbul adalah sebagai
berikut :
a. Sudah sesuaikah penerapan sanksi pidana terhadap pelaku pencabulan anak
pada perkara No 267/Pid/B/2012/Pntkdengan Undang-Undang No.23 Tahun
2002 Pasal 82?
b.Apakah yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara
tindak pidana pencabulan anak pada putusan N0. 267/Pid/B/2012/PNTK?
2. Ruang Lingkup

6

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah kajian ilmu hukum pidana, khususnya
yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
pencabulan anak dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap pelaku sebagaimana terdapat pada putusan Pengadilan Negeri Tanjung
Karang N0. 267/Pid/B/2012/PN.TK. ruang lingkup waktu penelitian adalah tahun
2013 dan ruang lingkup lokasi penelitian adalah pada Pengadilan Negeri Tanjung
Karang, Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dan Fakultas Hukum Universitas
Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahuidan menganalisissecara jelas tentang kesekuaian penerapan sanksi
pidana

terhadap

pelaku

pencabulan

anak

pada

perkara

No.267/Pid/B/2012/PNTKdengan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Pasal
82;
b. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tindak pidana
pencabulan anak pada putusan N0. 267/Pid/B/2012/PN.TK.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah mencakup kegunaan teoritis dan
kegunaan praktis:

7

a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini dapat memperluas cakrawala
berpikir dan menambah ilmu pengetahuan hukum khususnya mengenai tindak
pidana pencabulan anak.
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
atau masukan informasi yang lebih konkrit serta sebagai sarana pengembangan
untuk menambaha wawasan pribadi dalam bidang ilmu hukumkhususnya
mengenai tindak pidana pencabulan anak
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka Teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi
dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk
mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan
oleh peneliti.2
Setiap penelitian selalu disertaidengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini
karena adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegitan
pengumpulan, pengolahan, analisis, dan konstruksi data.

2

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, (Jakarta: UI Press, 1986),

hlm124

8

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang tercela dalam masyarakat dan harus di
pertanggungjawabkan oleh si pembuat pidananya atas perbuatan yang telah
dilakukannya.3
Pertanggungjawaban pidana berakibat pada penerapan sanksi pidana yang harus
bercermin pada asas legalitas (Principle Of Legality), asa yang menentukan
bahwa tidak ada perbuatan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan. Biasanya dikenal dalam bahasa latin sebagai nullum
delictum nulla poena sine praevie lege, (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
peraturan terlenbih dahulu), dengan demikian maka penerapan sanksi pidana
harus seiring sejalan denagn perturan perundang-undangan yang mengaturnya.
Walaupun telah ada peraturan perundang-undangan dalam penerapan sanksi
pidana, aspek pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan
merupakan konteks penting dalam penerapan sanksi pidana. Karena pertimbangan
yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu tindak pidana apakah
perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan sesuai dengan tindak pidana
yang di dakwakan oleh jaksa atau penuntut umum, dapat dikatakan lebih jauh
bahwa pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh
terhadap amar/dictum putusan hakim sebagai tolak ukur kesesuaian penerapan
sanksi pidana dengan undang-undang yang mengaturnya.
Pertimbangan-pertimbangan yuridis tersebut merupakan kewajiban hakim dalam
pemutus perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat(1) Undang- Undang
3

Roeslan salaeh, perbuatan dan Pertanggung jawaban pidana.(Jakarta: Aksara Bara,
1981), hlm 80

9

No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, juga harus di tafsirkan secara
sistematis dengan Pasal No 28 Ayat (1) dan Pasal (2) Undang-Undang No. 4
Tahun 2004 yang menyatakan sebagai berikut:
a. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan dalam masyarakat;
b. Dalam menerapkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula
sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Dengan demikian maka hakim akan terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta
dalam persidangan yang timbul dan merupakan konklusi komulatif dari
keterangan para saksi, keterangan terdakwa, dan barang bukti yang diajukan dan
diperiksa dipersidangan.
Walaupun telah ada fakta-fakta yang terungkap di tingkat penyidikan hanyalah
berlaku sebagai hasil pemeriksaan sementara (voor onderzoek), sedangkan faktafakta yang terungkap dalam pemeriksaan sidang (gerechtelijk onderzoek) yang
menjadi dasar-dasar pertimbangan bagi keputusan pengadilan.4 Selanjutnya
setelah fakta-fakta dalam persidangan tersebut diungkapkan, pada putusan hakim
kemudian akan di pertimbangkan terhadap unsur-unsur (bestandeelen) dari tindak
pidana yang telah didakwakan oleh jaksa/penuntut umum dan pledoi dari
terdakwa dan atau penasehat hukumnya. Setelah melalui proses tersebut maka
penerapan sanksi pidana baru dapat dijalankan.

4

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta Rineka Cipta,1993), hlm 218

10

Seberapa jauh kebebasan hakim dalam mengadili dan memutus suatu perkara
didasarkan pada dua hal:
a. Dalam mengadili dan memutus perkara pidana, hakim tetap terikat sepenuhnya
pada undang-undang, digolongkan kebebasan hakim yang bersifat formalistik
kon (konservatif);
b. Kebebasan realistik (progresif), yaitu kebebasan hakim yang bertujuan untuk
merespon kebutuhan atau kepentingan masyarakat dalam masa pembangunan
ini, artinya hakim di beri kebebasan menerapkan kaidah teks UU dalam
perspektif nilai-nilai keadilan masyarakat pada saat ini.5
2. Konseptual
Demi memperoleh penjelasan yang relevan bagi pemahaman pengkajian
ilmiah di dalam penulisan skripsi ini, maka ada beberapa definisi hukum
yang sesuai dengan judul skripsi ini yaitu adalah:
a. Tindak Pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu
yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana;6
b. Pencabulan adalah perbuatan melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan
yang keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi, misalnya: ciuman,

5

J.Pajar widodo, Menjadi Hakim Progresif. (Bandar Lampung: Indepth Publishing 2013),

hlm 46
6

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi,
Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002, hlm. 207.

11

meraba-raba bagian kemaluan, meraba-raba buah dada, dan termasuk pula
bersetubuh.7
c. Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungan terhadap pemidanaan
petindak yang telah melakukan tindak pidana dan memenuhi unsurunsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang.8
d. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.9
E. Sistematika Penulisan
I.

Pendahuluan:
Bab ini berisi latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan
penelitian dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual dan sistematika
penulisan.

II. Tinjauan pustaka:
Bab ini berisi pengertian tindak pidana dan sanksi pidana, pengertian tindak
pidana pencabulan anak,pengertian anak, dan pengertian perlindungan anak.
III. Metode penelitian:
Bab ini berisi pendekatan masalah, sumber data dan jenis data, penentuan
populasi dan sample, metode pengumpulan dan pengolahan data dan analisis
data.
7

R.Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentarkomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,( Bogor: Politeia, 1996), hlm. 25.
8
E.Y. Kanter dan S.R. SianturiOp.cit, hlm. 249.
9
Tim Penyusun Kamus Pusat, Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa,Kamus Besar
Bahas Indonesia , Cet II-IV,(Jakarta: Balai Pustaka, 2004), hlm. 374.

12

IV. Hasil penelitian dan pembahasan:
Bab

ini

berisi

karakteristik

responden,

gambaran

umum

perkara

No267/Pid/B/2012/PNTK, kesesuaian penerapan sanksi pidana terhadap
pelaku pencabulan anak perkara No 267/Pid/B/2012/PN.TKdengan UndangUndang No.23 Tahun 2002 Pasal 82 dan dasar pertimbangan hakim dalam
memutus perkara tindak pidana pencabulan anak pada putusan No.
267/pid/b/2012/PN.TK.
V. Penutup:
Bab ini berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan
pembahasan

penelitian

serta

berbagai

saran

sesuai

dengan

pokok

permasalahan yang diajukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan
penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Tindak Pidana dan Sanksi Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Pengertian dari tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan
oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak
pidana, jadi dalam arti luas hal ini berhubungan dengan pembahasan
masalah deliquensi, deviasi,

kualitas tindak pidana berubah-ubah, proses

kriminisasi dan deskriminasi suatu tindakan atau tindak pidana mengingat
tempat, waktu, kepentingan dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan
pandangan hidup orang (berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan
kebudayaan pada masa dan di tempat tertentu).10
Istilah tindak pidana dalam bahasa Indonesia merupakan perbuatan yang dapat
atau boleh dihukum, perbuatan pidana, sedangkan dalam bahasa Belanda
disebut “strafbaarfeit” atau “delik”. Para sarjana Indonesia mengistilahkan
strafbaarfeit itu dalam arti yang berbeda, diantaranya Moeljatno menggunakan
istilah perbuatan pidana, yaitu: “perbuatan

yang

dilarang oleh suatu aturan

hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi
barang siapa larangan tersebut”.11

10

11

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op.cit, hlm. 204.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2004), hlm. 77.

14

Perbuatan

yang

oleh

aturan

hukum

pidana

yang

dinyatakan

sebagai

perbuatan yang dilarang dinamakan tindak pidana, yang disebut juga delik.
Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang
melawan hukum. Perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat dalam
bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat
yang dianggap adil.12
Namun demikian tidak semua perbuatan yang merugikan masyarakat dapat
disebut sebagai tindak pidana atau semua perbuatan yang merugikan
masyarakat diberikan sanksi pidana. Di dalam tindak pidana disamping alat sifat
tercelanya perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa
melakukannya.
Pokok pikiran dalam tindak pidana adalah diletakkan pada sifatnya orang yang
melakukan tindak pidana. Hal ini perlu dijelaskan karena beberapa penulis
Belanda dalam pengertian strafbaar feit mencakup juga strafbaarhied orang yang
melakukan feit tersebut.
Dalam bagian ini akan dibahas mengenai pengertian tindak pidana. Secara umum
dijelaskan bahwa pengertian tindak pidana menurut Moeljatno merupakan suatu
perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang melanggar peraturan-peraturan
pidana,

yang

diancam

dengan

hukuman

oleh

undang-undang. Dalam

kehidupan sehari-hari, masyarakat seringkali melihat tindak tindak pidana, akan

12

Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana,
(Jakarta: Bina Aksara, 2001), hlm. 19.

15

tetapi ada sebagian masyarakat yang belum mengetahui arti yang sebenarnya
tentang pengertian tindak pidana.13
Walaupun para pembentuk Undang-Undang telah menterjemahkan kata
“strafbaarfeit” dengan istilah tindak pidana antara lain dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) tetapi di dalamnya tidak memberikan
rincian tindak pidana tersebut. Ketidakjelasan pengertian strafbaarfeit dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, memunculkan berbagai

pendapat

tentang arti istilah strafbaarfeit yang dirumuskan oleh berbagai kalangan ahli
hukum pidana, antara lain:
a. Menurut Wirjono Prodjodikoro, strafbaarfeit merupakan suatu perilaku
yang sifatnya bertentangan dengan hukum, serta tidak ada suatu tindak
pidana tanpa melanggar hukum.14
b. Menurut P.A.F Lamintang, strafbaarfeit merupakan sebagian dari suatu
kenyataan yang dapat dihukum dan akan terbukti bahwa yang dihukum
itubukan perbuatannya, melainkan pelaku perbuatannya atau manusia selaku
persoon.15
c. Menurut

Mr.

W.P.J.

Pompe

merumuskan

secara

teoritis

tentang

strafbaarfeit sebagai suatu pelanggaran norma atau suatu gangguan

13

Soerjono Soekamto dan Purnadi Purbacaraka, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata
Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 85.
14
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Jakarta:
PT. Eresco, 2004), hlm. 1.
15
P.A. F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 2000),
hlm. 172.

16

terhadap ketertiban umum, baik yang dilakukan dengan sengaja atau tidak
sengaja oleh seorang

pelaku, dalam mana penjatuhan sanksi pidana

tersebut dimaksudkan untuk tetap terpeliharanya ketertiban hukum dan
terjaminnya kepentingan umum. 16
d. Menurut Simon, pengertian “Tindak Pidana” yaitu sejumlah aturan-aturan dan
keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang
berwenang untuk menentukan peraturan-peraturan pidana, yang berupa
larangan, keharusan dan disertai ancaman pidana, dan apabila hal ini dilanggar
timbullah hak dari negara untuk melakukan tuntutan.17
e. Sedangkan menurut Satochid Kartanegara pengertian tindak pidana adalah
setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan
hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi
hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat baik yang langsung atau
tidak langsung terkena tindakan itu disebut tindak pidana.
Demi menjamin keamanan, ketertiban dan kesejahteraan dalam masyarakat perlu
ditentukan mengenai tindakan

yang dilarang dan diharuskan, sedangkan

pelanggaran terhadap ketentuan tersebut diancam dengan pidana.18 Adapun unsur
yang terdapat dalam tindak pidana tersebut antara lan:
1). Perbuatan manusia baik aktif atau pasif;
16

Bambang Poernomo, Dalam Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2002), hlm. 91.
17
P.A. F. Lamintang, op.cit, hlm. 172.
18
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Pertama, ( Jakarta: Balai Lektur
Mahasiswa, 2001), hlm. 4.

17

2). Dilarang dan diancam oleh undang-undang;
3). Melawan hukum;
4). Orang yang berbuat dapat dipersalahkan;
5). Orang yang berbuat dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Badan Pembinaan Hukum Nasional atau dikenal BPHN, tindak pidana
adalah yang mempunyai unsur sebagai berikut:
1). Perbuatan Manusia;
2). Dilarang dan diancam oleh undang-undang;
3). Melawan Hukum.
Apabila tidak terpenuhi

salah satu

unsur di

atas maka dibebaskan,

sebaliknya apabila terpenuhi maka akan terkena pertanggungjawaban pidana
yang unsurnya adalah:
1). Orang yang berbuat mampu bertanggung jawab;
2). Orang yang berbuat dapat dipersalahkan.
Apabila

tidak

terpenuhi

salah

satu

dari

unsur

tersebut

maka

yang

bersangkutan dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan apabila terpenuhi maka
dapat dipidana.
Tindak pidana menghasilkan sanksi pidana pengertian adalah suatu nestapa atau
penderitaan yang ditimpakan kepada seseorang yang bersalah melakukan

18

perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana, dengan adanya sanksi tersebut
diharapkan orang tidak akan melakukan tindak pidana.19
2. Pengertian Sanksi Pidana
Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana. Untuk
pengertian yang sama, sering juga digunakan istilah lain yaitu hukuman,
penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana, dan
hukuman pidana.
Moeljatno mengatakan, istilah hukuman yang berasal dari "straf" dan istilah
"dihukum" yang berasal dari "wordt gestraf" merupakan istilah yang
konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan
istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk menggantikan kata "straf" dan
diancam dengan pidana untuk menggantikan kata "wordt gestraf". Menurut
Moeljatno , kalau "straf" diartikan "hukuman" maka "strafrecht" seharusnya
diartikan sebagai "hukum hukuman".
Istilah "hukuman" yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat
mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi
dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan
dalam bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan,
moral, agama dan sebagainya. Oleh karena "pidana" merupakan istilah yang lebih
khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat
menunjukkan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khas.
19

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, , 2011), hlm 64

19

Dalam kamus "Black`s Law Dictionary" dinyatakan bahwa pidana atau istilah
bahasa inggrisnya punishment adalah: "any fine, or penalty or confinement upon a
person by authority of the law and the judgement and sentence of a court, for
some crime of offence committed by him, or for his omission of a duty enjoined by
law"20 (setiap denda atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang melalui
sebuah kekuasaan suatu hukum dan vonis serta putusan sebuah pengadilan bagi
tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan olehnya, atau karena kelalaiannya
terhadap suatu kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum). dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri sebagai
berikut :
a. Pidana itu pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau
nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang);
c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah mekakukan tindak pidana
menurut undang-undang;
d. Pidana itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang
karena telah melanggar hukum.
Berdasarkan ciri-ciri diatas maka dapat diartikan bahwa pengertian sanksi pidana
adalah pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah
melakukan suatu tindak pidana atau perbuatan pidana melalui suatu rangkaian
proses peradilan oleh kekuasaan atau hukum yang secara khusus diberikan untuk
20

Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary 8th, (US Gov, 2004), hlm 2345

20

hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak
melakukan tindak pidana lagi.
B. Pengertian Tindak Pidana Pencabulan Anak
Pencabulan merupakan kecenderungan untuk melakukan aktifitas seksual dengan
orang yang tidak berdaya seperti anak baik pria maupun wanita baik dengan
kekerasan maupun tanpa kekerasan. Pengertian pencabulan atau kata cabul
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dapat diartikan sebagai berikut:
”Pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji
sifatnya, tidak sesuai dengan adap sopan santun (tidak sonoh), tidak
susila, ber-cabul: berzina, melakukan tindak pidana asusila,
mencabuli: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan,
film cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar
kesusilaan, kesopanan)21”.
Sedangkan definisi pencabulan yang diberikan oleh R. Sugandhi adalah
segala

perbuatan

yang

melanggar

susila

atau

perbuatan

keji

yang

berhubungan dengan nafsu kekelaminannya.22 Definisi yang diungkapkan R.
Sugandhi lebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilakukan oleh orang
yang berdasarkan nafsu kelaminnya, dimana langsung atau tidak langsung
merupakan perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana.
Di dalam Kamus Hukum juga menjelaskan mengenai arti kata pencabulan, dan
dapat diartikan sebagai berikut:

21
22

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, opcit, hlm. 142.
R. Sugandhi, opcit, hlm. 305.

21

”Pencabulan berasal dari kata cabul yang diartikan; keji dan kotor;
tidak senonoh karena melanggar kesopanan, kesusilaan, hal ini secara
umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 281
dan 282, yaitu: diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah”.23
Seperti yang diuraikan di atas, pencabulan adalah tindak pidana seksual yang
dilakukan seorang pria atau perempuan terhadap anak di bawah umur baik pria
maupun perempuan dengan kekerasan atau tanpa kekerasan. Pencabulan memiliki
pengertian sebagai suatu gangguan psikoseksual di mana orang dewasa
memperoleh kepuasan seksual bersama seorang anak pra-remaja. Ciri utamanya
adalah berbuat atau berfantasi tentang kegiatan seksual dengan cara yang paling
sesuai untuk memperoleh kepuasan seksual.24 Mengenai

tindak

pidana

pencabulan, harus ada orang sebagai subjeknya dan orang itu melakukannya
dengan kesalahan, dengan perkataan lain jika dikatakan telah terjadi suatu
tindak pidana pencabulan, berarti ada orang sebagai subjeknya dan pada orang itu
terdapat kesalahan. Adapun mengenai unsur-unsur dalam tindak pidana
pencabulan

menurut

Undang-Undang

Nomor

23

Tahun

2002

tentang

Perlindungan Anak Pasal 82, adalah:25
a. Setiap orang;

23

Sudarsono, Opcit, hlm. 64.
http://www.freewebs.com/pencabulan_pada_anak/identifikasipedofilia.htm>. Diakses
tanggal 28 january 2013.
25
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Anak, UU No.
23 L.N No. 109 Tahun 2002, TLN Nomor 4235. Pasal 82.
24

22

b. Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Kemudian dari situ hakim bisa memutuskan sanksi pidana apa yang akan
dikenakan bagi Terdakwa yang melakukan tindak pidana pencabulan.
C. Pengertian Anak
Anak dan generasi muda adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena
anak merupakan bagian dari generasi muda. Selain anak di dalam generasi muda
ada yang disebut juga remaja dan dewasa. Generasi muda , dibatasi sampai
seorang anak berumur 25 tahun. Generasi muda terdiri dari atas masa anakanak umur 0-12 tahun, masa remaja 13-20 tahun dan masa dewasa muda umur 2125 tahun.
Masa kanak–kanak dibagi menjadi 3 tahap, yaitu masa bayi umur 0menjelang 2 tahun, masa kanak-kanak pertama umur 2-5 tahun dan masa kanakkanak terakhir 5-12. pada masa bayi keadaan fisik anak sangat lemah dan
kehidupannya masih sangat tergantung pada pemeliharaan orang tuanya, terutama
dari ibunya.
Kemudian pada masa kanak-kanak pertama, sifat anak suka meniru apa yang
dilakukan orang lain dan emosinya sangat tajam, anak mulai mencari teman
sebaya, ia mulai berhubungan dengan orang-orang dalan lingkungannya,
mulai terbentuk pemikiran tentang dirinya. Selanjutnya padamasa kanak kanak

23

terakhir, pada tahap ini terjadi tahap pertumbuhan kecerdasan yang cepat,
suka bekerja, lebih suka bermain bersama dan berkumpul tanpa aturan, suka
menolong, suka menyayangi, menguasai dan memerintah.
Menurut Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Kriminalisasi anak” yang berjudul
“Tawaran

Gagasan

Radikal

Peradilan

Anak

Tanpa

Pemidanaan”,

mendefinisikan anak sebagai setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun
kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa
usia dewasa dicapai lebih awal26. Pada masa remaja merupakan masa anak
mengalami perubahan cepat dalam segala bidang, perubahan tubuh, perasaan,
kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Masa remaja adalah masa goncang
karena banyaknya perubahan yang

terjadi dan tidak stabilnya emosi yang

kadang-kadang menyebabkan timbulnya sikap dan perbuatan yang oleh orang
tua dinilai sebagai perbuatan yang nakal, sehingga kenakalan tersebut dapat
membuat emosi orang tua sehingga dapat menyebabkan kekerasan terhadap anak.
Selain kenakalan yang bisa mengakibatkan kekerasan orang tua terhadap anak,
belum siapnya orang tua untuk mempunyai anak bisa juga menyebabkan
kekerasan terhadap anak. Untuk itu perlu diberikan pelindungan hukum bagi anak
untuk mencegah adanya kekerasan yang menimbulkan kekerasan fisik bagi anak.
Untuk memberikan pelindungan yang baik terhadap anak-anak di Indonesia
maka diperlukan peraturan-peraturan yang memberikan jaminan pelindungan
hukum bagi anak-anak yang ada di negara Republik Indonesia. Pengertian anak
26

Satjipto Rahardjo, Perspektif peradilan anak, (Jakarta: Sinar Grafika, , 2009), hlm 4

24

menurut hukum yang berlaku di Indonesia terdapat dalam beberapa peraturan
yaitu:
1. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 1 ayat (1) tentang
Peradilan Anak Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi: “Anak adalah orang yang
dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”. Penetapan
usia anak pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ini memang
tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain. Hal ini menunjukan
bahwa

pembentuk

undang-undang

menganggap

pada

usia demikian

seseorang telah dapat dipertanggunjawabkan secera emosional, mental dan
intelektual walaupun tidak seperti orang dewasa;
2. Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (5) tentang Hak
Asasi Manusia Pengertian anak dalam Pasal 1 ayat (5) yang berbunyi:“Anak
adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan
belum menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal
tersebut demi kepentingannya”27
3. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat (1) tentang
Perlindungan Anak“Anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun
(delapan belas) Tahun, termasuk anak masih dalam kandungan”;28

27

Indonesia (b), Undang-Undang Republik Indonesia tentang Hak Asasi Manusia,
UU No. 39 Tahun 1999, Pasal 1 angka 5.
28
Indonesia (c), Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Anak,
UU No. 23 Tahun 2002, Pasal 1 angka 1

25

4. Menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1979 Pasal 1 ayat (2) tentang
Kesejahteraan dalam Pasal 1 ayat (2) pengertian anak adalah: “Anak adalah
seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”.29
Selain itu juga dalam pengertian Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 anak
bukanlah seorang manusia mini/kecil. Memang antara orang dewasa dan anak
ada persamaannya, tetapi juga ada perbedaannya (mental, fisik, sosial).
Selain

dalam

ketentuan

peraturan

perundang-undangan

di

atas

dalam

Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 53k/SIP/ 1952 tanggal 1
Juni

1955

juga mengatur

tentang

pengertian

anak.

Dalam

amarnya

menentukan bahwa “15 (lima belas) tahun adalah suatu umur yang umum di
Indonesia menurut hukum adat dianggap sudah dewasa”.
D. Pengertian Perlindungan Anak
Perlindungan anak mempunyai spektrum yang cukup luas. Dalam berbagai
dokumen dan pertemuan internasional terlihat bahwa perlunya perlindungan bagi
anak dapat meliputi berbagai aspek, yaitu:
1. Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak;
2. Perlindungan anak dalam proses peradilan;
3. Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan dan
lingkungan sosial);
4. Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan;

29

Indonesia (d), Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pokok Kesejahteraan Anak,
UU No. 4 Tahun 1979, Pasal 1 angka 1

26

5. Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan, perdagangan
anak,

pelacuran,

pornografi,

perdagangan/penyalahgunaan

obat-obatan,

memperalat anak dalam melakukan tindak pidana dan sebagainya);
6. Perlindungan terhadap anak-anak jalanan;
7. Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata;
8. Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan.30
Beberapa produk perundang-undangan sebenarnya telah dibuat guna menjamin
terlaksananya perlindungan hukum bagi anak. misalnya, Undang-undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan anak dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan anak.
Menurut Pasal 1 Butir 2 , Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan anak disebutkan bahwa:
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”.
Sedangkan ditinjau dari sifat perlindungannya, perlindungan anak juga dapat
dibedakan dari menjadi:

30

Arief, Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan
Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), Hlm 155

27

1. Perlindungan yang bersifat yuridis
Perlindungan yang bersifat yuridis atau yang lebih dikenal dengan perlindungan
hukum. Menurut Barda Nawawi Arief adalah upaya perlindungan hukum terhadap
berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of
children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan
anak.31
Dalam hukum pidana, perlindungan anak selain diatur dalam pasal 45, 46, dan 47
KUHP (telah dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang Peradilan Anak). Kemudian, terdapat juga beberapa pasal yang
secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perlindungan anak, yaitu
antara lain Pasal 278, Pasal 283, Pasal 287, Pasal 290, Pasal 297, Pasal 301, Pasal
305, Pasal 308, Pasal 341 dan Pasal 356 KUHP.
Selanjutnya, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
anak yang pada prinsipnya mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak.
Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1979, tentang Kesejahteraan Anak, pada
prinsipnya diatur mengenai upaya-upaya untuk mencapai kesejahteraan anak.
Dan, yang terakhir Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak,
yang pada prinspnya mengatur mengenai perlindungan terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana dalam konteks peradilan anak.

31

Ibid Hlm 156

28

2. Perlindungan yang bersifat non-yuridis
Perlindungan anak yang bersifat non-yuridis dapat berupa, pengadaan kondisi
sosial dan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan anak, kemudian upaya
peningkatan kesehatan dan gizi anak-anak, serta peningkatan kualitas pendidikan
melalui berbagai program bea siswa dan pengadaan fasilitas pendidikan yang
lebih lengkap dan canggih.
E. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
Dalam mengambil pertimbangan penjatuhan putusan pidana, hakim harus
memiliki dasar pengambilan keputusan yang berasal dari teori-teori tertentu
yaitu:32
a. Teori keseimbangan
Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang
ditentukan

oleh

undang-undang

dan

kepentingan

pihak-pihak

yang

bersangkutan atau berkaitan dengan perkara, yaitu kepentingan antara
terdakwa, korban dan masyarakat;
b. Teori pendekatan seni dan intuisi
Pendekatan seni di pergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan
agar sesuai dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak
pidana, hakim akan melihat kedalian bagi pihak terdakwa dan keadilan bagi

32

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif.
(Jakarta: Sinar Gra