ANALISIS SINKRONISASI PEMIDANAAN TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN ANAK BERDASARKAN PASAL 81 UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

(1)

ABSTRAK

ANALISIS SINKRONISASI PEMIDANAAN TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN ANAK BERDASARKAN PASAL 81

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK Oleh

Andika Pratama

Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pemerkosaan terhadap anak berupa 3 tahun kurungan penjara. Dibuatlah perubahan Undang-Undang tersebut pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Pelindungan Anak. Permasalahan pada penelitian berikut adalah Mengapa Pemidanaan Berdasarkan Pasal 81 Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Pada Pelaku tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Jauh Lebih Berat Dibandingkan Pasal 81 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Apakah Ancaman Pemidanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Telah Memenuhi Rasa Keadilan Baik Bagi Korban, Pelaku dan Masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber data dan jenis data yang dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap hakim Pengadilan Tinggi Tannjung Karang, Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR dan Kalangan Akademisi Fakultas Hukum Universita Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan.

Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Pemidanaan Berdasarkan Pasal 81 Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Pada Pelaku tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Jauh Lebih Berat Dibandingkan Pasal 81 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebabkan oleh pemberlakuan undang-undang yang lama belum memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidana penjatuhan sanksi pidana oleh hakim selama ini dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 efek jera, rasa takut kepada masyarakat dimana ancaman pidana minimal yang diberikan hanya 3 tahun kurungan penjara, dirasa kurang cukup, yang diperoleh mengenai pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana sejak tahun 2012 hingga tahun 2014 setiap tahunya semakin bertambah kasus pemerkosaan terhadap anak,Sehingga, berdasarkan hal tersebut maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun


(2)

2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini sudah berlaku kurang lebih 12 (duabelas) tahun akhirnya diubah dengan pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pemberian ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana pemerkosaan terhadap anak pada Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dirasa sudah memenuhi rasa keadilan bagi korban karena sudah mendukung hak-hak dan kewajiban anak yang harus dilindungi, yang mana hak tersebut merupakan Hak Asasi Manusia yang harus dijamin kesejahteraannya oleh Negara Republik Indonesia, hal ini terlihat dari konsideran Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan telah berlakunya undang-undang yang baru berarti undang-undang-undang-undang itulah yang di anggap telah sesuai dan digunakan dalam memutus suatu perkara pidana dalam persidangan.


(3)

ANALISIS SINKRONISASI PEMIDANAAN TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN ANAK BERDASARKAN PASAL 81

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

Oleh

ANDIKA PRATAMA Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

Penulis di lahirkan di Pekon Way Tuba, Kecamatan Gunung Labuhan, Kabupaten Way Kanan Pada Tanggal 30 Juli 1993, Merupakan Putra Pertama dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Johar Dan Ibu Nurmayuni.

Penulis menempuh Pendidikan Sekolah Dasar (SD) Parakan Waas diselesaikan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Al-Azhar 3 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2008, Sekolah Menengah Atas (SMA) Al-Azhar 3 Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2011, penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung Pada Tahun 2011 melalui jalur mandiri.


(7)

PERSEMBAHAN

Teriring Do’a dan rasa syukur atas kehadiran Allah SWT, atas rahmat dan hidayahmu serta junjungan tinggi Rasulullah Muhammad SAW.

Kupersembahkan Skripsi ini kepada :

Ayah dan Ibu

Sebagai orang tua tercinta penulis yang telah mendidik, membesarkan dan membimbing penulis menjadi sedemikian rupa, yang selalu memberi kasih sayang yang tulus dan doa yang tak pernah putus untuk setiap langkah yang penulis lewati, serta yang tidak pernah meninggalkan penulis dala keadaan apapun dan juga terima kasih atas kasih sayang dan dukungan yang tidak pernah bisa penulis balas.

Keluarga Besar Datuk Basarudin

Almamater Tercinta Universitas Lampung


(8)

Tuhan Melahirkanmu Menjadi Anak Pertama Berarti Tuhan Tahu

Kamu Sanggup Menopang Masalah Dan Situasi

Apapun Sebagai Anak Pertama

(Ayahanda Tercinta)

Tuhan Tidak Akan Memberikan Masalah Kepadamu Melaikan

Kamu Di Anggap Sanggup Melewatinya

(Al-Quran)

Masalah Adalah Proses Pendewasaan Dan Hanya Masalah Yang

Dapat Benar-Benar Mendewasakan Seseorang

(Toni Aprito)

Melangkahlah Menuju Puncak Hingga Kamu Benar-Benar Lelah,

Jangan Behenti Sampai Kamu Benar Benar Tidak Bisa Melangkah

(Mahusa)

Jangan Menggantungkan Diri Kepada Siapapun, Bahkan

Bayanganmu Sekalipun Meninggalkanmu Dalam Gelap


(9)

SANWANCANA

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ANALISIS SINKRONISASI PEMIDANAAN

TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN ANAK

BERDASARKAN PASAL 81 UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK”. Skripsi diajukan sebagai syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Peneliti menyadari pembuatan skripsi ini buah dari proses panjang, yang tidak luput dari dukungan dan bimbingan berbagai pihak, dengan segala kerendahan hati, peneliti mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin. Selaku Rektor Universitas Lampung. 2. Bapak Prof. Dr. Heriyandi, S.H,. M.S. Selaku Dekan Fakulta Hukum

Universitas Lampung. Sekaligus Dosen Pembimbing Akademik penulis atas saran, bantuan dan motivasinya.

3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H,. M.H. Selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

4. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing pertama yang telah memberikan saran, koreksi, dan arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan


(10)

5. Bapak Deni Achmad, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing kedua yang telah bersedia meluangkan waktunya dan memberikan saran, arahan, serta bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

6. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H. selaku dosen pembahas pertama yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama penyususnan skripsi ini. 7. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H. selaku dosen pembahas kedua atas segala

pengarahan saran, dan masukan yang telah diberikan dalam proses penyelesaian skripsi ini.

8. Seluruh Bapak/Ibu Pimpinan, Dosen, Staf/Karyawan dan Keluarga Besar Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan pemikiran dan ilmu yang bermanfaat bagi penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

9. Seluruh Abang-Abang, Mbak-Mbak, dan Rekan-Rekan Keluarga Besar Mahasiswa Fakultas Hukum Sayangi Alam (MAHUSA) Universitas Lampung yang telah memberikan masukan pemikiran, saran-saran dan nasihat-nasihat yang bermanfaat bagi penulis.

10. Teman-teman dan rekan-rekan terdekat Andi Mekar Sari, S.H., Devy Litasari, S.H., Ines Septia Gumay, S.H., Kresna, S.H, Andy Rachmad Dermawan, Beri Ikhlas Syani, S.H., Andriawan syahputra, S.H., Aris Subing, Jandrikardo Sitanggang, S.H., Dhaniko Syahputra Sitanggang, Iis Priyatun Budiono, S.H., Ika Ristia, S.H., Hera Destriana, S.H., Iskandar, Aulia Agristika, S.Ked., Bagus Hardiansyah, Konita Lutfiana, Irene Wardhani, S.Kep, Tiara Anggraini Bharta, S.Kep., Dery Ilyas, Muhammad Aulia, S.E., dan yang tidak dapat


(11)

penulis sebutkan satu persatu terima kasih atas kerjasama dan kebersamaannya selama ini.

11. Temen-teman KKN desa Bandar Negri Kecamatan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur terima kasih atas kerjasamanya.

12. Untuk Almamater Tercinta Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah menjadi pendukung dan saksi bisu dari perjalanan ini.

Semogga Allah SWT membalsa setiap kebaikan yang telah diberikan dengan pahala berlipat ganda semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Bandar Lampung, Desember 2015 Penulis


(12)

DAFTAR ISI

Halaman.. Abstrak ... Prakata ... I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 12

C. Tujuandan Kegunaan Penelitian ... 12

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 14

E. Sistematika Penulisan ... 21

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sinkronisasi Hukum ... 23

B. Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak ... 26

C. Pemidanaan ... 28

D. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Anak ... 31

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 35

B. Sumberdan Jenis Data ... 36

C. Penentuan Narasumber ... 38

D. Metode Pengumpulan Data danPengolahan Data ... 38

E. Analisi Data ... 39

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ... 40

B. Penyebab Pemidanaan Berdasarkan Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Pada Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Jauh Lebih Berat Dibandingkan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ... 42

C. Pemenuhan Rasa Keadilan Bagi Korban, Pelaku Dan Masyarakat Dalam Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak... 50

V. PENUTUP A. Simpulan ... 63

B. Saran ... 64 DAFTAR PUSTAKA


(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, yaitu generasi yang dipersiapkan sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu Negara, tidak terkecuali Indonesia. Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun Indonesia yang seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan pancasila dan UUD 1945.1

Upaya-upaya perlindungan anak harus telah dimulai sedini mungkin, agar kelak dapat berpartisipasi secara optimal bagi pembangunan bangsa dan negara. Dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, ditentukan bahwa: “Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan maupun sudah dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar”.Kedua ayat tersebut memberikan dasar pemikiran bahwa perlindungan

1

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, hlm. 1.


(14)

anak bermaksud untuk mengupayakan perlakuan yang benar dan adil, untuk mencapai kesejahteraan anak.2

Citra dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan merupakan faktor yang dominan dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan perlindungan terhadap anak yang merupakan permasalahan kehidupan manusia juga. Disini yang menjadi objek dan subjek pelayanan dan kegiatan perlindungan anak sama-sama mempunyai perlindungan hak-hak dan kewajiban, motivasi seseorang untuk ikut serta secara tekun dan gigih dalam setiap kegiatan perlindungan anak, pandangan bahwa setiap anak itu wajar dan berhak mendapatkan perlindungan mental, fisik dan sosial dari orang tua, anggota masyarakat dan negara.3

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) melalui ketetapannya No II/1993, tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, Bab IV PELITA VI, bagian Kesejahteraan Rakyat, Pendidikan dan Kebudayaan angka 7 huruf (a), Khusus Masalah Anak dan Remaja ditegaskan:

Pembinaan anak dan remaja dilaksanakan melalui peningkatan mutu gizi, pembinaan prilaku kehidupan beragama dan budi pekerti luhur, penumbuhan minat belajar, peningkatan daya cipta dan daya nalar serta kreatifitas, penumbuhan kesadaran akan hidup sehat, serta penumbuhan idealism dan patriotism dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila dan peningkatan kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakat.

Hal ini berarti bahwa anak atau remaja Indonesia sebagai pemegang amanat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, diharapkan mampu mengisi kemerdekaan Negara ini dengan semangat perjuangan yang tinggi yang mengabdi kepada kepentingan bangsannya, gemar menggali ilmu pengetahuan dan teknologi

2

Ibid.,hlm.2.

3


(15)

3

yang tinggi diimbangi dengan sikap dan moralitas yang baik, percaya kepada kemampuan diri sendiri, kreatif, jujur dan bertindak sesuai dengan norma-norma kemasyarakatan, norma agama dan norma hukum serta bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup bangsa yang selalu berkembang dan dinamis ini.4

Berdasarkan TAP MPR RI tersebut, perlu di kaitkan dengan tujuan pendidikan nasional seperti yang ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 (Lembaran Negara Tahun 1989, No. 6), tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) bahwa :

Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan pendirian yang kuat serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.5

Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (Fundamental Rights And Freedoms of Children), serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.Dengan demikian masalah perlindungan hukum bagi anak mencakup ruang lingkup yang sangat luas.Perhatian kepada anak dalam masyarakat internasional memang tidak sedikit dan dapat dilihat dari ditetapkanya sejumlah instrument internasional yang berkenaan dengan anak. Beberapa diantaranya yang ekslisit menyebut anak dapat di jumpai dalam:

1. 1924 Geneva Declaration of the Rights of the Child.

2. 1959 UN General Assembly Declaration on the Rights of the Child. 3. 1966 Internasional Convenant on civil on the Rights of the Child.

4

Bunandi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur,Bandung: Alumni,2010, hlm.2.


(16)

4. 1966 Internasional Convenant on Economic, Sosial and Cultural Rights. 5. 1989 UN Convention on the Right of the Child.6

Secara khusus, perhatian dunia terhadap perlindungan anak memang telah dimulai sejak munculnya Deklarasi Jenewa tentang Hak-Hak Anak pada tahun 1924.Deklarasi tersebut telah di akui pula dalam Deklarasi Hak Asasi Manusi(Universal Declaration of Human Right) tahun 1948. Berawal dari peristiwa tersebut, dalam perkembangan selanjutnya pada tanggal 20 November 1959 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan Deklarasi Hak-Hak Anak (Declaration of the Rights of the Child) yang memuat 10 perinsip hak-hak anak.7

Berdasarkan hukum positif Indonesia, perlindungan hukum terhadap hak-hak anak dapat di temui di berbagai peraturan perundang-undangan, seperti yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 15 Agustus 1990, yang merupakann ratifikasi dan konvensi PBB Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention of the Rights of the Child), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak. Beberapa Hak-Hak Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Secara rinci dapat dilihat pada yang berikut ini:

a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan diskriminasi[Pasal 4].

6

Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010, hlm.58.

7Ibid.


(17)

5

b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan [Pasal5].

c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua [Pasal 6].

d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuannya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tua sendiri [Pasal7 ayat (1) dan (2)].

e. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaaln terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku [Pasal 8].

f. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial [Pasal9 ayat (1) dan (2)].

g. Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

h. Khusus bagi anak yang menyandang cacat, juga berhak memperoleh pendidikan luarbiasa, sedangkan bagi anak yag memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus [Pasal 11].

i. Setap anak berhak menyatakan dan di dengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan


(18)

usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan [Pasal 12].

j. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebayanya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat bakat dan tingkat kecerdasanya demi pengembangan diri. k. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain

manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Setiap orang yang melakukan segala bentuk perlakuan itu dikenakan pemberatan hukum [Pasal13 ayat (1) dan (2)].

l. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tua sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan yang terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan yang terakhir [Pasal 14].

m. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan kegiatan dalam peperangan [Pasal 15].

n. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan penyiksaan atau menjatuhkan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. Penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila


(19)

7

sesuaidengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir [Pasal 16 ayat (1),(2) dan (3)].

o. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku dalam membela diri dan memperoleh keadilan didepan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan [Pasal17 ayat (1) dan (2)].

p. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).

q. Setiap anak berkewajiban untuk menghormati orang tua, wali dan guru, mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman, mencintai tanah air bangsa dan negara, menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya, dan melaksanakan etika dan akhlak yang mulia [Pasal 19].

Hubungan seksual antara orang dewasa dan anak walaupun dilakukan tidak dengan cara mengancam atau memaksa secara hukum tindakan tersebut masuk kedalam kategori tindak pidana “pemerkosaan terhadap anak”. Kontak seksual yang masuk dalam ruang lingkup kekerasan seksual terhadap anak harus tidak dibatasi, karena jika dibatasi secara kaku oleh ketentuan KUHP hal ini akan mengakibatkan perlindungan terhadap anak dari kekerasan seksual akan mengalami keterbatasan.


(20)

Tidak berhenti sampai disini, jika penegak hukum hanya membatasi diri pada ketentuan KUHP bahwa tindak pidana seksual pada anak baru terjadi setelah terjadi persetubuhan, maka konsekuensinya penegak hukum akan mengabaikan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainya yang secara de facto sering dialami oleh anak dalam kehidupan masyarakat.

Sangat penting untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak memiliki cangkupan yang luas, antaralain perkosaan, sodomi, sex oral, sexual gesture (serangan seksual secara visual termasuk eksibisionisme), sexual remark (serangan seksual secara verbal), pelecehan seksual, pelacuran anak, dan sunat klentit pada anak perempuan.

Atas dasar tersebut, maka perlunya sanksi pidana sebagai salah satu untuk melindungi hak-hak anak dan terlindungi dari setiap tindak pidana, termasuk tindak pidana pemerkosaan. Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum, disamping itu, karena tujuanya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum ini pun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.8

Sesuai dengan konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dari peraturan perundang-undangan, maka sesuai dengan rumusan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

8

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung, Nusa Media, 2011, hlm.20.


(21)

9

2002tentang Perlidungan Anak untuk melindungi anak dari setiap tindak pidana atau kejahatan khususnya tindak pidana pemerkosaan:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Menurut data yang dikumpulkan oleh Pusat Data dan Informasi Komisi Nasional Perlindungan AnakIndonesia dari tahun 2002 hingga tahun 2014 tercatat sebanyak 19.072 kasus pelanggaran hak anak, yang tersebar di 34 Provinsi, dan 179 Kabupatan dan Kota. Sebesar 42-58% dari pelanggaran hak anak itumerupakan kejahatan seksual terhadap anak.Selebihnya adalah kasus kekerasan fisik, dan penelantaran anak.

Data dan korban kejahatan seksual terhadap anak setiap tahun terjadi peningkatan. No Tahun Jenis Kasus Jumlah kasus 1 2002 Kekerasan seksual, kekerasan anak terhadap anak 239

2 2003 Kekerasan seksual, kekerasan anak terhadap

anak,trafiking 362

3 2004 Kekerasan seksual, kekerasan anak terhadap

anak,trafiking 576

4 2005 Kekerasan seksual, fisik, psikis dan penelantaran,

trafiking 763

5 2006 Kekerasan seksual, fisik, psikis dan penelantaran,

trafiking 1.124

6 2007 Kekerasan seksual, fisik, psikis dan penelantaran,

trafiking 1.337

7 2008 Kekerasan seksual, fisik, psikis dan penelantaran,

trafiking, kekerasan oleh orang tua 1.626 8 2009

Kekerasan seksual, fisik, psikis dan penelantaran, trafiking, kekerasan oleh orang tua, lingkungan


(22)

No Tahun Jenis Kasus Jumlah kasus 9 2010 Kekerasan seksual, fisik, psikis dan penelantaran,

trafiking, kekerasan oleh orang tua 2.046 10 2011 Kekerasan seksual, fisik, psikis dan penelantaran,

trafiking, kekerasan oleh orang tua 2.426 11 2012 Kekerasan seksual, fisik, psikis dan penelantaran,

trafiking, kekerasan oleh orang tua 2.637 12 2013 Kekerasan seksual, fisik, psikis dan penelantaran,

trafiking, kekerasan oleh orang tua 3.338 13 2014 Kekerasan seksual, fisik, psikis dan penelantaran,

trafiking, kekerasan oleh orang tua (Januari-April) 600 Sumber data: KPAI 2002-20149

Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum dapat berjalan secara efektif karena masih adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral terkait dengan definisi anak. Disisi lain, maraknya kejahatan terhadap anak dimasyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual, memerlukan peningkatan komitmendari pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat serta semua pemangku kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak khususnya pemerkosaan terhadap anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak korban dan/atau anak pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak korban dan/atau anak pelaku kejahatan dikemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Atas dasar tersebut, maka ancaman ketentuan pidana di dalam

9

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-2014-ada-622-kasus-kekerasan-anak/ di akses pada tanggal 5 mei 2014, pukul 11.30 WIB.


(23)

11

Undang-Undang 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak khususnya mengenai pemerkosaan terhadap anak, yang sebelumnya ancaman sanksi pidana penjara yang paling singkat hanya 3 (tiga) tahun lalu berdasarkan Undang-Undang yang baru dinaikkan menjadi paling singkat 5 (lima) tahun penjara. Sebagaimana bunyi Pasal 76D joPasal 81 ayat (1) Undang-Undang No 35 Tahun 2014 yakni sebagai berikut:

Pasal 76D

Setiap Orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 81

(1)Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana denganpidana penjara paling singkat 5(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2)Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetubuhan denganya atau dengan orang lain.

(3)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga pendidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancama pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Sinkronisasi Pemidanaan Terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak”.


(24)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang diatas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Mengapa Pemidanaan BerdasarkanPasal 81 Undang-Undang No 35 Tahun 2014 Pada Pelaku tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Jauh Lebih Berat Dibandingkan Pasal 81 Undang-Undang No 23 Tahun 2002tentang Perlindungan Anak?

b. Apakah Pemidanaan Pada Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Telah Memenuhi Rasa Keadilan Baik Bagi Korban, Pelaku dan Masyarakat ?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup ilmu penelitian adalah hukum pidana, dengan subkajian mengenai sinkronisasi pemidanaan terhadap tindak pidana pemerkosaan anak berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak.Penelitian dilaksanakan pada tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan di dalam penelitian ini, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk Mengetahui Sinkronisasi Pemidanaan Terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak.


(25)

13

b. Untuk Mengetahui Pemidanaan Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Berdasarkan Undang Nomor 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penelitian ini adalah untuk menambah pengetahuan dalam pengkajian ilmu hukum mengenai sinkronisasi pemidanaan serta mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah, daya nalar, dan acuan yang sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki oleh penulis.

b. Kegunaan Praktis

Kegunaan secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan ilmu hukum pidana dan khususnya analisis pemidanaan serta bermanfaat bagi penegak hukum dan rekan-rekan mahasiswa selama mengikuti program perkuliahan Hukum Pidana khususnya pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dan masyarakat umum mengenai sinkronisasi pemidanaan tindak pidana pemerkosaan anak berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak. Penelitian dilaksanakan pada tahun 2015.


(26)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil penelitian atau kerangka acuan yang pada dasarnya untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi yang di anggap relevan oleh peneliti. Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi kerangka acuan yang bertujuan untuk mengidentifikasi terhadap dimensi social yang dianggap relevan oleh peneliti.10

a. Sinkronisasi Hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinkron berarti pada waktu yang sama, serentak, sejalan, sejajar, sesuai, selaras. Sinkronisasi yaitu perihal menyinkronkan, penyerentakan. Dan sama juga dengan kata harmonisasi yaitu upaya mencari keselarasan.11

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan adalah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi

10

Soerjono Soekanto, pengantar Penelitian Hukum, UI Press: Jakarta.1986.hlm.125.

11


(27)

15

penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif.Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :

1)Sinkronisasi Vertikal

Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1) menetapkan bahwa jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah;

Di samping harus memperhatikan hirarkhi peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dalam sinkronisasi vertikal, harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Sinkronisasi secara vertikal bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan lainnya apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada.

2)Sinkronisasi Horisontal

Sinkronisasi Horisontal dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait.


(28)

Sinkronisasi horisontal juga harus dilakukan secara kronologis, yaitu sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.Sinkronisasi secara horizontal bertujuan untuk menggungkap kenyataan sampai sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara horizontal, yaitu mempunyai keserasian antara perundang-undangan yang sederajat mengenai bidang yang sama.

Harmonisasi hukum ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), sub-program pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa “sasaran program ini adalah terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan”. Sinkronisasi vertikal dan horisontal menelaah sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang berlaku bagi suatu bidang yang sama itu sinkron.

Selain itu dalam konteks harmonisasi hukum, dapat diketahui pula dalam Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998, Pasal 2 yang berbunyi sebagaiberikut : “Dalam rangka pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi tersebut dengan ideologi negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, UUD 1945, GBHN, undang-undang yang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang akan diatur dalam rancangan undang-undang tersebut. Sasaran program pembentukan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan. Dalam Undang-undang


(29)

17

Nomor 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 18 ayat (2) menyebutkan “Pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”. Prinsip keseimbangan, keserasian dan keselarasan, antara kepentinganindividu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara, merupakan salah satu asas materi muatan setiap peraturan perundang-undangan.12

Sinkronisasi kultural merupakan keserempakan dan keselarasa di tuntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana the administration of justice dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum.Sedangkan menyangkut sinkronisasi substansial, maka keserempakan itu mengandung makna baik vertical maupun horizontal dalam kaitanya dengan hukum positif yang berlaku.Sementara menyangkut sinkronisasi kultural mengandung makna untuk selalu serempak dalam menghayati padangan-pandangan, sifat-sifat dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalanya system peradilan pidana.13

b. Teori Tujuan Pemidanaan

Tujuan dari pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana yang tidak terlepas dari tujuan politik kriminal.Dalam arti luasnya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan, serta menciptakan keadilan.Berdasarkan hal tersebut maka untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, tidakakan terlepas dari teori-teori tentang pemidanaan yang ada.Sebagaimana diketahui

12

http://rianbagussaputro.blogspot.co.id/2011/06/tinjauan-umum-tentang-sinkronisasi.html?m=1Di akses pada tanggal 29 November 2015 Pukul 16.53 WIB.

13


(30)

dalam hukum pidana dikenal teori-teori yang berusaha mencari dasar hukum dari pemidanaan dan apa tujuannya. Ada tiga golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana, yaitu:

1) Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien) 2) Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien)

3) Teori Gabungan (verenigingstheorien)14

1. Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)

Dijatuhkannya pidana pada orang yang melakukan kejahatan adalah sebagai konsekuensi logis dari dilakukannya kejahatan. Jadi siapa yang melakukan kejahatan harus dibalas pula dengan penjatuhan penderitaan pada orang itu.Dengan demikian adanya pidana itu didasarkan pada alam pikiran untuk pembalasan. Oleh karena itu teori ini dikenal pula dengan teori pembalasan.15

2. Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien)

Menurut teori kedua (teori relatif) yaitu, tujuan dari pidana itu terletak pada tujuan pidana itu sendiri. Tujuan dari pidana itu untuk perlindungan masyarakat atau memberantas kejahatan. Teori tujuan ini mempunyai beberapa paham/teori, diantaranya:

a) Teori Prevensi Umum

Menurut teori ini tujuan pidana itu adalah untuk pencegahan yang ditunjukan pada masyarakat umum, agar tidak melakukan kejahatan, yaitu dengan ditentukan pidana pada perbuatan-perbuatan tertentu yang dilarang.

14

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 2010, hlm.31.

15


(31)

19

b) Teori Prevensi Khusus

Menurut teori ini tujuan pidana adalah untuk mencegah penjahat mengulangi lagi kejahatan.16

3. Teori Gabungan

Ide dasar teori gabungan ini pada jalan pikiran bahwa pidana itu hendaknya merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyarakat yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan dan keadaan pembuatnya. Jadi untuk perbuatan jahat keinginan masyarakat untuk membalas dendam direspon dengan dijatuhi pidana penajara pada pelakunya, sedangkan juga penjahat atau narapidana itu dilakukan pembinaan agar tidak mengulanginya kembali selepas dari menjalani pidana penjara tersebut.17

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam melaksanakan penelitian.Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang mempunyai arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang diteliti atau diketahui.18Berdasarkan definisi tersebut, maka konseptualisasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

16

Ibid., hlm.31-32.

17

Ibid., hlm.33

18


(32)

a. Sinkronisasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sinkronisasi yaitu perihal menyinkronkan, penyerentakan. Sama juga dengan kata harmonisasi yaitu upaya mencari keselarasan.19

b. Tujuan Pemidanaan

Tujuan pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana yang tidak terlepas dari tujuan politik kriminal.20

c. Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak

Tindak pidana pemerkosaan terhadap anak yaitu setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan mengancam anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidanan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).21

d. Anak

Yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan.22

19

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

20

Andi Hamzah, Loc.Cit

21

Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

22


(33)

21

E. Sistematika Penulisan

Agar mempermudah memahami terhadap isi skripsi ini secara keseluruhan, maka diperlukan penjelasan mengenai sistematika penulisan yang bertujuan untuk mendapat suatu gambaran jelas tentang pembahasan skripsi yang dapat dilihat dari hubungan antara satu bagian dengan satu bagian lainnya secara keseluruhan. Sistematikanya sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Pada bagian ini memuat latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah sebagai latar belakang pembuktian masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil penelitian yang terdiri antara lain perbandingan hukum pidana, tindak pidana pemerkosaaan terhadap anak, pemidanaan, perlindungan hukum terhadap korban anak,

III. METODE PENELITIAN

Pada bagian ini menjelaskan langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, sumber dan jenis data, cara pengumpulan data dan serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bagian ini berisi tentang pembahasan berdasarkan hasil penelitian terhadap permasalahan yang ada dalam penulisan skripsi ini dengan studi kepustakaan dan studi lapangan.


(34)

V. PENUTUP

Pada bagian ini berisikan kesimpulan yang merupakan hasil akhir dari penelitian dan pembahasan serta berisikan saran-saran penulis yang diberikan berdasarkan penelitian dan pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian skripsi ini.


(35)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sinkronisasi Hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sinkron berarti pada waktu yang sama, serentak, sejalan, sejajar, sesuai, selaras. Sinkronisasi yaitu perihal menyinkronkan, penyerentakan. Dan sama juga dengan kata harmonisasi yaitu upaya mencari keselarasan.

Sinkronisasi peraturan perundang-undangan adalah penyelarasan dan penyerasian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur suatu bidang tertentu. Maksud dari kegiatan sinkronisasi adalah agar substansi yang diatur dalam produk perundang-undangan tidak tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait, dan semakin rendah jenis pengaturannya maka semakin detail dan operasional materi muatannya. Adapun tujuan dari kegiatan sinkronisasi adalah untuk mewujudkan landasan pengaturan suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut secara efisien dan efektif. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :


(36)

1)Sinkronisasi Vertikal

Dilakukan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu bidang tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Menurut Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1) menetapkan bahwa jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah;

Di samping harus memperhatikan hirarkhi peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dalam sinkronisasi vertikal, harus juga diperhatikan kronologis tahun dan nomor penetapan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.Sinkronisasi secara vertikal bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan lainnya apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada.

2) Sinkronisasi Horisontal

Sinkronisasi Horisontal dilakukan dengan melihat pada berbagai peraturan perundang-undangan yang sederajat dan mengatur bidang yang sama atau terkait. Sinkronisasi horisontal juga harus dilakukan secara kronologis, yaitu sesuai dengan urutan waktu ditetapkannya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.Sinkronisasi secara horizontal bertujuan untuk menggungkap


(37)

25

kenyataan sampai sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara horizontal, yaitu mempunyai keserasian antara perundang-undangan yang sederajat mengenai bidang yang sama.

Harmonisasi hukum ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), sub-program pembentukan peraturan perundang-undangan, bahwa “sasaran program ini adalah terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan”. Sinkronisasi vertikal dan horisontal menelaah sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang berlaku bagi suatu bidang yang sama itu sinkron.

Selain itu dalam konteks harmonisasi hukum, dapat diketahui pula dalam Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998, Pasal 2 yang berbunyi sebagaiberikut : “Dalam rangka pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi tersebut dengan ideologi negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, UUD 1945, GBHN, undang-undang yang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang akan diatur dalam rancangan undang-undang tersebut. Sasaran program pembentukan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 18 ayat (2) menyebutkan “Pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan


(38)

oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan”. Prinsip keseimbangan, keserasian dan keselarasan, antara kepentinganindividu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara, merupakan salah satu asas materi muatan setiap peraturan perundang-undangan.23

Sinkronisasi kultural merupakan keserempakan dan keselarasa di tuntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana the administration of justice dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum.Sedangkan menyangkut sinkronisasi substansial, maka keserempakan itu mengandung makna baik vertical maupun horizontal dalam kaitanya dengan hukum positif yang berlaku.Sementara menyangkut sinkronisasi kultural mengandung makna untuk selalu serempak dalam menghayati padangan-pandangan, sifat-sifat dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalanya system peradilan pidana.24

B. Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak

Tindak pidana sebelumnya pemerkosaan telah di atur didalam KUHP Pasal 285 dimana tindak pidana pemerkosaan itu dapat dijatuhi hukuman pidana penjara sebagaimana yang telah diatur dalam KUHP Pasal 285 yang berbunyi:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”

23

http://rianbagussaputro.blogspot.co.id/2011/06/tinjauan-umum-tentang-sinkronisasi.html?m=1Di akses pada tanggal 29 November 2015 Pukul 16.53 WIB.

24


(39)

27

Pengertian anak dalam kontek ini didasarkan pada Pasal 1 ayat (1), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.Yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan.Pengertian ini mengandung makna bahwa anak adalah amanah Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasaharus dijaga karena didalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus di junjung tinggi.Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UUD 1945 dan konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Tindak pidana pemerkosaan terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 81, yaitu sebagai berikut:

Pasal 81

(1) Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan atau membujuk anak melakukan persetebuhan dengannya atau dengan orang lain.


(40)

Sehingga yang dimaksudkan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau geweld ialah elke uitoefening van lichamelijk kracht van niet al te geringe betekenis. Artinya, setiap penggunaaan tenaga badan yang tidak terlalu berarti atau het aanwenden van lichamelijke kracht van niet al te geringe intensitiet. Artinya setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan.25

Kekerasan tidak hanya dapat dilakukan dengan memakai tenaga badan yang sifatnya tidak terlalu ringan, melainkan juga dapat dilakukan dengan memakai sebuah alat, sehingga tidak diperlukan adanya pemaikan tenaga badan yang kuat, misalnya menembak dengan sepucuk senjata api, menjerat leher dengan seutas tali, menusuk dengan sebilah pisau dan lain-lainnya, maka mengancam akan memakai kekerasan itu harus diartikan sebagai suatu ancaman, yang apabila diancam tidak bersedia memenuhi keinginan pelaku untuk mengadakan hubungan kelamin dengan pelaku, maka ia akan melakukan sesuatu yang dapat berakibat merugikan bagi kebebasan, kesehatan atau keselamatan nyawa orang yang diancam.26Suatu perbuatan mengadakan hubungan kelamin itu tidak disyaratkan telah terjadinya suatu ejaculation seminis, melainkan cukup jika orang telah memasukan penisnya kedalam vagina seorang wanita.27

C. Pemidanaan

Kata pemidanaan berasal dari kata pidana. Penggunaan istilah pidana, orang awam telah memahami makna tersebut sebagai hukuman. Istilah pemidanaan disamakan dengan penghukuman yang di dalamnya juga meliputi makna

25

P.A.F Lamintang, Delik-Delik Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan, Jakarta, Sinar Grafika, 2012. hlm. 98.

26

Ibid.,hlm. 99.

27Ibid.,


(41)

29

penjatuhan hukuman, pemberian pidana, dan hukuman pidana. Dalam RUU KUHP, istilah pidana dan pemidanaan tidak dijelaskan perbedaannya, namun dapat dirasakan adanya perbedaan antara keduanya. Penggunaan istilah pemidanaan digunakan terkait dengan proses.28 Dalam Pasal 55 dan Pasal 56 RUU KUHP, istilah pemidanaan digunakan untuk menjelaskan makna yang berkaitan dengan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan.

Dalam Pasal 66, 67, dan 68 RUU KUHP, istilah pidana digunakan untuk penentuan jenis-jenis pidana yang meliputi jenis pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial, serta pidana mati (sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif), termasuk pidana tambahan. Pemidanaan mempunyai makna yang lebih umum atau luas dibandingkan dengan makna pidana yang hanya berkisar pada jenis hukuman. Menurut Sudarto, pemidanaan itu sendiri adalah sinonim dengan istilah penghukuman. Lebih lengkapnya sebagai berikut:29

Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana sana, akan tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada hukum pidana, maka istilah tersebut harus disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali sinonim dengan

28 Dalam Penjelasan Pasal 55 RKUHP (2015) disebutkan bahwa “pemidanaan merupakan

suatu proses”. Lebih lanjut dikatakan bahwa “Sebelum proses berjalan, peranan hakim penting sekali. Ia mengkonkritkan sanksi pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan menjatuhkan pidana terhadap tertuduh dalam kasus tertentu”.

29


(42)

pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.

Tujuan dari pemidanaan yaitu menetapkan suatu pidana yang tidak terlepas dari tujuan politik kriminal.Dalam arti luasnya yaitu perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan, serta menciptakan keadilan.Berdasarkan hal tersebut maka untuk menjawab dan mengetahui tujuan serta fungsi pemidanaan, tidak akan terlepas dari teori-teori tentang pemidanaan yang ada. Sebagaimana diketahui dalam hukum pidana dikenal teori-teori yang berusaha mencari dasar hukum dari pemidanaan dan apa tujuannya.

Mengenai teori pemidanaan dibagi menjadi 3 bagian yaitu: 1. Teori Absolut

Teori ini bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri ataupun pihak yang dirugikan dan menjadi korban.Teori ini bersifat primitif, tetapi kadang kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern.Pendekatan teori absolut meletakkan gagasannya tentang hak untuk menjatuhkan pidana yang keras, dengan alasan karena seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya, sudah seharusnya dia menerima hukuman yang dijatuhkan kepadanya.Dari sini terlihat bahwa dasar utama pendekatan absolut adalah balas dendam terhadap pelaku, atau dengan kata lain, dasar pembenaran dari tindak pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.30

30


(43)

31

2. Teori Relatif

Secara prinsip teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaanya setidaknya harus berorientasi kepada upaya mencegah terpidana (special prevention) dari kemungkinan mengulangi kehajatan lagi di masa mendatang, serta mencegah masyarakat luas pada umumnya (general prevention) dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun lainnya.Semua orientasi pemidanaan tersebut adalah dalam rangka menciptakan dan mempertahankan tata tertib hukum dalam kehidupan masyarakat.31

3. Teori Gabungan

Secara teoritis, teori gabungan berusaha untuk menggabungkan pemikiran yang terdapat di dalam teori absolut dan teori relatif.Disamping mengakui bahwa penjatuhan sanksi pidana diadakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa kembali ke masyarakat.

D. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Anak

Hukum perlindungan anak merupkan hukum yang menjamin hak-hak dan kewajiban anak, hukum perlindungan anak berupa: hukum adat, hukum perdata, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum acara pidana, peraturan lain yang menyangkut anak. Perlindungan anak menyangkut berbagai aspek kehidupan dan penghidupan agar anak dapat benar-benar tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak asasinya.32

31

Ibid.,hlm. 191.

32

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung, Refika Aditama, 2014, hlm. 52.


(44)

Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia.Masalahnya tidak semata-mata bisa didekati secara yuridis, tetapi perlu pendekatan yang lebih luas, yaitu ekonomi, sosian dan budaya.33

Beberapa rumusan tentang hukum perlindungan anak sebagai berikut:

a. Hukum perlindungan anak adalah suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Apabila dilihat dari proporsi yang sebenarnya secara dimensional. Hukum perlindungan anak itu beraspek mental, fisik dan sosial (hukum). Hal ini berarti, pemahaman dan penerapan secara integrative.

b. Hukum perlindungan anak adalah suatu hasil interaksi antar pihak-pihak tertentu, akibat ada suatu interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi perlu diteliti, difahami, dan dihayati yang terlibat pada eksistensi Hukum Perlindungan Anak tersebut antara lainindividu dan lembaga lembaga sosial. Hukum perlindungan anak merupakan suatu permasalahan yang sulit dan rumit.

c. Hukum perlindungan anak merupakan suatu tindakan individu yang dipengaruhi unsur-unsur sosial tertentu atau masyarakat tertentu, seperti: kepentingan (kepentingan dapat menjadi motifasi), lembaga-lembaga sosial, (keluarga, sekolah, pesantren, pemerintah, dan sebagainya), nilai-nilai sosial norma (hukum, status, peran dan sebagainya). Memahami dan menghayati secara tepat sebab-sebab orang membuat hukum perlindungan anak sebagai

33


(45)

33

suatu tindakan individu (sendiri-sendiri atau bersama-sama), dipahami unsur-unsur sosial tersebut.

d. Hukum perlindungan anak dapat menimbulkan permasalahan hukum (yuridis) yang mempunyai akibat hukum yang harus diselesaikan dengan berpedoman dan berdasarkan hukum.

e. Hukum perlindungan anak tidak dapat melindungi anak, karena hukum hanya merupakan alat atau sarana yang digunakan sebagai dasar atau pedoman orang yang melindungi anak. Jadi yang penting disini adalah para pembuat undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan anak. Sering diajarkan atau ditafsirkan salah bahwa hukum itu dapat melindungi orang. Pemikiran itu yang membuat orang salah harap pada hukum dan mengangap hukum itu selalu benar, tidak boleh dikoreksi, diperbaharui dan sebagainya.

f. Hukum perlindungan anak ada dalam berbagai bidang hukum, karena kepentingan anak ada dalam berbagai bidang kehidupan keluaga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.34

Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dilaksanakan melalui upaya rehabilitas, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga, upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi, pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial dan pemberian aksesibilitas untuk

34


(46)

mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara (Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002).35

35


(47)

III.METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan Yuridis Normatif

Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan oleh penulis dalam bentuk usaha mencari kebenaran dengan melihat dan memperhatikan asas-asas, seperti kepastian dan keadilan yang ada dalam berbagai peraturan perundang-undangan terutama Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah denganUndang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Perlindungan Anak yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti yaitu dalam halperbandingan terhadap pemidanaan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak berdasarkan Undang-Undang No 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan agar mendapat gambaran dan pemahaman yang jelas dan benar terhadap permasalahan yang akan dibahas.36

36


(48)

2. Pendekatan Yuridis Empiris

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menggali informasi dan melakukan penelitian lapangan guna mengetahui secara lebih jauh mengenai permasalahan-permasalahan yang diteliti. Peneliti melakukan wawancara dengan aparat penegak hukum yakni, Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Lembaga Swadaya Masyarakat serta akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung untuk mendapat gambaran tentang bagaimana perbandingan terhadap pemidanaan tindak pidana pemerkosaan terhadap anak berdasarkan Undang-Undang No 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.37

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan. Jenis data yang diperlukan dalam melakukan penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden.38Sedangkan data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang didapat atau diperoleh penulis berdasarkan pengamatan pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang.Data primer ini diambil berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang yang menangani dan memutus perkara anak, lembaga swadaya

37

Ibid. Hlm.10.

38Ibid.


(49)

37

masyarakat, dosen pada bagian hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka, terdiri dari: a. Bahan hukum primer, antara lain:

1) Undang-Undang Dasar 1945

2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak.

3) Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

4) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

5) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan yang memberikan penjelasan-penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer seperti literatur-literatur ilmu hukum, makalah-makalah, putusan pengadilan, dan tulisan hukum lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang bersumber dari kamus-kamus, kamus besar bahasa Indonesia, serta bersumber dari bahan-bahan yang didapat melalui internet.

C. Penentuan Narasumber 1. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah orang yang menjadi sumber informasi. Adapun yang menjadi narasumber yang akan diwawancarai adalah:


(50)

1. Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang : 1 Orang 2. Pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat

Advokasi Anak Lampung : 2 Orang

3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung : 2 Orang +

Total Jumlah Responden : 5 Orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan: a. Studi Kepustakaan (library research)

Untuk memperoleh sumber-sumber data sekunder digunakanlah studi kepustakaan, yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mencatat atau mengutip dari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan putusan tersebut.

b. Studi Lapangan (field research)

Untuk memperoleh data primer, studi lapangan dilakukan dengan cara wawancara untuk mengumpulkandan mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang penulis kaji.Wawancara ditunjukan kepada Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung.

2. Metode Pengolahan Data

Berdasarkan data yang telah terkumpul baik dari studi kepustakaan maupun dari lapangan, maka data diproses pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:


(51)

39

a. Seleksi Data

Seleksi data dilakukan agar mengetahui apakah data yang diperlukan telah mencakup atau belum dan adat tersebut berhubungan atau tidak berhubungan dengan pokok permaslaahan yang dibahas.

b. Klasifikasi Data

Mengelompokan data yang telah diseleksi dengan mempertimbangkan jenis dan hubungannya agar mengetahui tempat masing-masing data.

c. Sistematisasi Data

Menyusun dan menempatkan data pada pokok bahasan atau permasalahan dengan susunan kalimat yang sistematis sesuai dengan tujuan penelitian.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data dalam bentuk kalimat yang disusun secara sistematik kemudian diinterpretasikan dengan melandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti sehingga akan mendapatkan gambaran yang jelas dan terang dalam pokok bahasan. Sehingga akhirnya akan menuju pada suatu kesimpulan. Kesimpulan akan ditarik dengan menggunakan metode induktif yaitu suatu cara penarikan kesimpulan dari hal yang khusus ke hal yang umum.


(52)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Sinkronisasi Pemidanaan Terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anakmaka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Penyebab terjadinya perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang diubah menjadi undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perindungan Anak disebabkan olehpemberlakuan undang-undang yang lama belum memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidanapenjatuhan sanksi pidana oleh hakim selama ini dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 efek jera, rasa takut kepada masyarakat dimana ancaman pidana minimal yang diberikan hanya 3 tahun kurungan penjara, dirasa kurang cukup, hal ini dibuktikan melalui hasil data yang diperoleh mengenai Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana sejak tahun 2012 hingga tahun 2014 setiap tahunya semakin bertambah kasus pemerkosaan terhadap anak.Sehingga, berdasarkan paradigma tersebut maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini sudah berlaku kurang lebih 12 (duabelas) tahun akhirnya diubah denganPasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.


(53)

64

2. Pemberlakuan Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang perlindungan Anak telah memenuhi rasa keadilan, karena sudah mendukung hak-hak dan kewajiban anak yang harus dilindungi, yang mana hak tersebut merupakan Hak Asasi Manusia yang harus dijamin kesejahteraannya oleh Negara Republik Indonesia, hal ini terlihat dari konsideran Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan telah berlakunya undang-undang yang baru berarti undang-undang-undang-undang itulah yang di anggap telah sesuai dan digunakan dalam memutus suatu perkara pidana dalam persidangan

B. Saran

Pelaksanaan kewajiban undang-undang perlindungan anak disetiap aparat penegak hukum harus dipahami benar dan dilaksanakan dengan baik. Guna menerapkan keadilan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Ali, Mahrus. 2011. Dasar Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Andrisman, Tri. 2011. Hukum Pidana. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Budiono dan Rudy. 2014. Konstitusi dan HAM, Bandar Lampung:FH Unila. Delliyana, Shanti. 1988. Wanita dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta: Liberty. Efendy, Marwan.2014. Teori Hukum,Jakarta:Referensi Group.

Gultom, Maidin. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung: Refika Aditama.

Hamzah, Andi. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Hidayat, Bunandi. 2010. PemidanaanAnak di BawahUmur. Bandung: Alumni. Lamintang, P.A.F. 2012. Delik-Delik Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan

Kesehatan. Jakarta: Sinar Grafika.

Muchsin. 2005. Ikhtisar Ilmu Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Iblam.

Nashriana, 2011. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Indonesia. Jakarta: Rajawalipers.

Prasetyo, Teguh. 2011. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana. Bandung: Nusa Media.

Sambas, Nandang. 2010. PembaharuanSistemPemidanaanAnak. Yogyakarta: GrahaIlmu.

Santoso, H.M. Agus. 2012. Hukum, Moral, dan Keadilan, Jakarta: Kencana. Siregar, Bismar.1986.Hukum dan Hak-Hak Anak, Jakarta:Rajawali.


(55)

Sudarto. 1984. Himpunan Kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 74 tahun 78 Jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlidungan Anak.

C. Penelusuran Internet

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-2014-ada-622-kasus-kekerasan-anak/diaksespadatanggal 5 mei 2014, pukul11.30 Wib.

http://rianbagussaputro.blogspot.co.id/2011/06/tinjauan-umum-tentang-sinkronisasi.html?m=1Diaksespadatanggal 29 November 2015 Pukul 16.53 WIB.

http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-keadilan-macam-macam-keadila.html?m=1diaksespada tanggal 28 November 2015 Pukul 20:29 WIB.


(1)

1. Hakim pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang : 1 Orang 2. Pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat

Advokasi Anak Lampung : 2 Orang

3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung : 2 Orang +

Total Jumlah Responden : 5 Orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan: a. Studi Kepustakaan (library research)

Untuk memperoleh sumber-sumber data sekunder digunakanlah studi kepustakaan, yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari, mencatat atau mengutip dari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan putusan tersebut.

b. Studi Lapangan (field research)

Untuk memperoleh data primer, studi lapangan dilakukan dengan cara wawancara untuk mengumpulkandan mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang penulis kaji.Wawancara ditunjukan kepada Hakim Pengadilan Tinggi Tanjung Karang, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung.

2. Metode Pengolahan Data

Berdasarkan data yang telah terkumpul baik dari studi kepustakaan maupun dari lapangan, maka data diproses pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:


(2)

39

a. Seleksi Data

Seleksi data dilakukan agar mengetahui apakah data yang diperlukan telah mencakup atau belum dan adat tersebut berhubungan atau tidak berhubungan dengan pokok permaslaahan yang dibahas.

b. Klasifikasi Data

Mengelompokan data yang telah diseleksi dengan mempertimbangkan jenis dan hubungannya agar mengetahui tempat masing-masing data.

c. Sistematisasi Data

Menyusun dan menempatkan data pada pokok bahasan atau permasalahan dengan susunan kalimat yang sistematis sesuai dengan tujuan penelitian.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data dalam bentuk kalimat yang disusun secara sistematik kemudian diinterpretasikan dengan melandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti sehingga akan mendapatkan gambaran yang jelas dan terang dalam pokok bahasan. Sehingga akhirnya akan menuju pada suatu kesimpulan. Kesimpulan akan ditarik dengan menggunakan metode induktif yaitu suatu cara penarikan kesimpulan dari hal yang khusus ke hal yang umum.


(3)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Sinkronisasi Pemidanaan Terhadap Tindak Pidana Pemerkosaan Anak Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anakmaka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Penyebab terjadinya perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang diubah menjadi undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perindungan Anak disebabkan olehpemberlakuan undang-undang yang lama belum memberikan efek jera terhadap pelaku tindak pidanapenjatuhan sanksi pidana oleh hakim selama ini dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 efek jera, rasa takut kepada masyarakat dimana ancaman pidana minimal yang diberikan hanya 3 tahun kurungan penjara, dirasa kurang cukup, hal ini dibuktikan melalui hasil data yang diperoleh mengenai Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana sejak tahun 2012 hingga tahun 2014 setiap tahunya semakin bertambah kasus pemerkosaan terhadap anak.Sehingga, berdasarkan paradigma tersebut maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang saat ini sudah berlaku kurang lebih 12 (duabelas) tahun akhirnya diubah denganPasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.


(4)

64

2. Pemberlakuan Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang perlindungan Anak telah memenuhi rasa keadilan, karena sudah mendukung hak-hak dan kewajiban anak yang harus dilindungi, yang mana hak tersebut merupakan Hak Asasi Manusia yang harus dijamin kesejahteraannya oleh Negara Republik Indonesia, hal ini terlihat dari konsideran Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan telah berlakunya undang-undang yang baru berarti undang-undang-undang-undang itulah yang di anggap telah sesuai dan digunakan dalam memutus suatu perkara pidana dalam persidangan B. Saran

Pelaksanaan kewajiban undang-undang perlindungan anak disetiap aparat penegak hukum harus dipahami benar dan dilaksanakan dengan baik. Guna menerapkan keadilan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur

Ali, Mahrus. 2011. Dasar Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Andrisman, Tri. 2011. Hukum Pidana. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Budiono dan Rudy. 2014. Konstitusi dan HAM, Bandar Lampung:FH Unila. Delliyana, Shanti. 1988. Wanita dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta: Liberty. Efendy, Marwan.2014. Teori Hukum,Jakarta:Referensi Group.

Gultom, Maidin. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap Anak, Bandung: Refika Aditama.

Hamzah, Andi. 2010. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Hidayat, Bunandi. 2010. PemidanaanAnak di BawahUmur. Bandung: Alumni. Lamintang, P.A.F. 2012. Delik-Delik Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan

Kesehatan. Jakarta: Sinar Grafika.

Muchsin. 2005. Ikhtisar Ilmu Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Iblam.

Nashriana, 2011. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak Indonesia. Jakarta: Rajawalipers.

Prasetyo, Teguh. 2011. Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana. Bandung: Nusa Media.

Sambas, Nandang. 2010. PembaharuanSistemPemidanaanAnak. Yogyakarta: GrahaIlmu.

Santoso, H.M. Agus. 2012. Hukum, Moral, dan Keadilan, Jakarta: Kencana. Siregar, Bismar.1986.Hukum dan Hak-Hak Anak, Jakarta:Rajawali.


(6)

Sudarto. 1984. Himpunan Kuliah Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

B. Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 74 tahun 78 Jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlidungan Anak. C. Penelusuran Internet

http://www.kpai.go.id/berita/kpai-2014-ada-622-kasus-kekerasan-anak/diaksespadatanggal 5 mei 2014, pukul11.30 Wib.

http://rianbagussaputro.blogspot.co.id/2011/06/tinjauan-umum-tentang-sinkronisasi.html?m=1Diaksespadatanggal 29 November 2015 Pukul 16.53 WIB.

http://www.artikelsiana.com/2015/01/pengertian-keadilan-macam-macam-keadila.html?m=1diaksespada tanggal 28 November 2015 Pukul 20:29 WIB.


Dokumen yang terkait

Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

1 56 13

ANALISIS IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK NOMOR 23 TAHUN 2002 PASAL 64 AYAT 2 HURUF G TENTANG PUBLIKASI MEDIA MASSA TERHADAP ANAK PELAKU TINDAK PIDANA

1 23 57

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERITAAN ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PENGADILAN ANAK

4 35 56

ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

0 8 49

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

1 20 55

Analisis Perlindungan Hukum Bagi Anak Korban Tindak Pidana Perkosaan Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak (Studi Kasus Wilayah Hukum Lampung Utara)

1 17 51

Analisis Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencabulan Anak Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak

1 15 58

ANALISIS SINKRONISASI PEMIDANAAN TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN ANAK BERDASARKAN PASAL 81 UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

0 8 48

DISPARITAS PEMIDANAAN DALAM PASAL 81 UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (STUDI DI PENGADILAN NEGERI SUKOHARJO DAN PENGADILAN NEGERI BOYOLALI).

0 1 10

BAB I PENDAHULUAN - Disparitas Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Perbuatan Cabul Berdasarkan Pasal 76E Juncto Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 - Ubharajaya Repository

0 0 15