PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN HIDROGEL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague Dawley

(1)

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN

HIDROGEL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague Dawley

(Skripsi)

Oleh

VINDITA MENTARI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN HIDROGEL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague

Dawley

Oleh

VINDITA MENTARI

Luka bakar merupakan masalah kesehatan yang sangat serius dan sering dihadapi para dokter. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa madu topikal efektif dalam penyembuhan luka bakar. Namun hidrogel sebagai obat standard luka bakar memberikan efek penyembuhan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara yang diolesi madu dan hidrogel pada tikus putih (Rattus norvegicus).

Penelitian eksperimental ini menggunakan post test only controlled group design terhadap 10 ekor tikus putih yang diberi masing-masing 3 perlakuan selama 14 hari. Perlakuan terdiri atas kelompok kontrol, kelompok madu nektar kopi dan kelompok hidrogel. Pada tikus putih dilakukan pengukuran gambaran klinis dan sampel kulit diambil untuk pemeriksaan histopatologi setelah 14 hari pengobatan.

Hasil penelitian menunjukkan pada pengamatan histopatologi didapatkan nilai yang tidak bermakna dengan p>0,05 (0,823) antara madu dan hidrogel. Pada gambaran klinis didapatkan nilai bermakna dengan p<0,05 (0,001) antara madu dan hidrogel. Pemberian hidrogel dapat mengurangi diameter luka bakar secara signifikan pada hari ke–14 dibandingkan madu topikal.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan madu dan hidrogel pada pengamatan histopatologi kulit tikus, (2) tingkat kesembuhan luka bakar derajat II dengan pemberian madu lebih rendah dibandingkan hidrogel pada gambaran klinis kulit tikus.


(3)

ABSTRACT

THE COMPARISON OF LEVEL WOUND HEALING IN SECOND DEGREE BURN INJURY BETWEEN GIVING TOPICAL NECTAR COFFEE HONEY AND HYDROGEL IN MALE SPRAGUE DAWLEY ALBINO RATS (Rattus

norvegicus)

By

VINDITA MENTARI

Burn is a kind of extremely serious health problem that is often faced by doctor. Various studies have shown that topical honey is effective in healing burns. However hydrogel as a standard cure for burn gives a great curative effect. The aim of this study is to find out the level of second degree in burn healing between giving topical nectar coffee and hydrogel in male Sprague Dawley albino rats (Rattus norvegicus). This experimental study uses post test only controlled group design for 10 albino rats given 3 treatments each for 14 days. Those treatments consist of control group, nectar coffee honey treatment group, and hydrogel treatment group. Rats measured a clinical wound and skin samples were taken for histopathological examination after 14 days of treatment.

The result of the histopathological observations are no significant values with p>0,05 (0,823) between honey and hydrogel. In the clinical features obtained significant values with p <0.05 (0.001) between honey and hydrogel. Hydrogel reduced the diameter burns significantly on 14 days as compared to topical honey.

The conclusion are (1) there is no significant difference between honey treatment group and hydrogel in the histopathological observations of rats skin, (2) level wound healing in second degree burn injury with honey treatment was lower than hydrogel treatment in the clinical features of rats skin.


(4)

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN

HIDROGEL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague Dawley

Oleh

VINDITA MENTARI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Jurusan Pendidikan Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(5)

Judul Skripsi : PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA

PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN HIDROGEL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague Dawley

Nama Mahasiswa : Vindita Mentari

Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011023

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

dr.Muhartono, M.Kes, Sp.PA dr.Syazili Mustofa

NIP 19701208200112100 NIP 198307132008121003

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Dr.Sutyarso, M.Biomed NIP 195704241987031001


(6)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : dr.Muhartono, M.Kes, Sp.PA

Sekretaris : dr.Syazili Mustofa

Penguji Bukan

Pembimbing : dr. Tri Umiana Soleha, M.Kes

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M.Biomed NIP 195704241987031001


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 19 Desember 1991, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari Bapak Suwandi dan Ibu Delfi.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Xaverius 3 Bandar Lampung pada tahun 2003, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Xaverius 4 pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 1 Bandar Lampung pada tahun 2009.

Tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB). Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada organisasi PMPATD PAKIS Rescue Team FK Unila Sebagai anggota TBM periode 2010-2011, GEN-C FK Unila sebagai anggota SCORA periode 2010-2011 dan STAFF PSDMO BEM FK Unila periode 2011-2012.


(8)

Alhamdulillaahiro

bbil’a

alamiin....

Dengan izin dan ridho Allah SWT, tiada henti rasa

syukur kuucapkan atas terselesainya skripsi ini...

Kupersembahkan setetes keberhasilan dan kebahagiaan

ini kepada orang-orang yang kucintai dan kusayangi,

Papa, Mama, Bulan, Bintang, Oma beserta keluarga

besar...

Bersyukur memberi makna Positif

terhadap masa lalu, membawa Ketenangan

untuk hari ini, dan menciptakan Visi


(9)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan dan nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarganya, para sahabatnya dan kita selaku umatnya sampai akhir zaman.

Skripsi berjudul ” Perbandingan Tingkat Kesembuhan Luka Bakar Derajat II antara Pemberian Madu Topikal Nektar Kopi dengan Hidrogel Pada Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Galur Sprague Dawley” ini disusun merupakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis haturkan kepada semua pihak yang telah berperan atas dorongan, bantuan, saran, kritik dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan antara lain kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Hi. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung;


(10)

2. Dr. Sutyarso, M. Biomed selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

3. dr. Muhartono, M. Kes., Sp.PA selaku Pembimbing Pertama atas semua saran, motivasi, bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini; 4. dr. Syazili Mustofa selaku Pembimbing Kedua atas semua bantuan,

bimbingan, saran, dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini;

5. dr. Tri Umiana Soleha, M. Kes selaku pembahas yang telah memberikan banyak masukan dan nasehat selama penyelesaian skripsi ini;

6. dr. Oktadoni Saputra dan dr. Risal Wintoko selaku pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan motivasi selama 3,5 tahun perkuliahan dan dalam penyusunan skripsi ini;

7. Terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ibunda (Delfi), atas kiriman doanya setiap waktu, kesabaran, keikhlasan, kasih sayang, dan atas segala sesuatu yang telah dan akan selalu diberikan kepada penulis. Ayahanda (Suwandi) yang selalu memberikan masukan, pelajaran hidup dan semangat berjuang kepadaku. Adik-adikku tercinta Vidianka Rembulan dan Vindicelia Bintang, yang selalu memberikan semangat, dukungan, doa bagi penulis selama menjalani perkuliahan. Serta keluarga besar yang selalu memberi semangat dan doa hingga skripsi ini selesai;

8. Terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Hj. Efrida Warganegara, M.Kes., Sp.MK atas segala bimbingan dan motivasi yang telah diberikan;

9. Seluruh staff Dosen FK Universitas Lampung, terima kasih telah banyak memberikan pemahaman dan tambahan wawasan ilmu pengetahuan serta pengalaman untuk mencapai cita-cita;


(11)

10.Bapak dan Ibu Staff Pegawai dan Karyawan FK Unila, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini;

11.Terima kasih kepada teman satu tim skripsi, Elis Sri Alawiyah, Galih Wicaksono, dan Angga Nugraha atas kesempatan berharga yang kalian berikan untuk menjadi sahabat sepenelitian, untuk semua kerjasama, bantuan dan masukannya;

12.Harli Feryadi dan Sulaiman terima kasih atas segala bantuan, semangat yang kalian berikan selama berjalannya penelitian kami dari pagi hingga sore tiap harinya;

13.Charla Gutri, Cyntia Amanda, Utari Gita, Hema Anggika, RA. Siti Marhani, Riska Tiarasari, Intan PP, Evi Febriani, Nirmala Astri, Nurul Hidayah atas keakraban, semangat, nasihat, dan doa yang telah kalian berikan;

14.M. Aprimond Sy., Prataganta, Achmad Fariz, Pasca Yogatama, Iqbal Tafwid, Hario Tri Hendroko atas keakraban, canda tawa, dukungan, kebersamaannya selama ini yang telah kalian berikan;

15.Teman-teman seperjuangan kelompok propti “DERMA” (Anggi, DM, Risti, Giska, Angga, Riska, Bian, Wayan, Afga, Utari, Hani) atas kekompakannya dari awal hingga saat ini;

16.Widi Astuti dan Arif Yudho P. yang telah memberikan ilmu, pengalaman dan pembelajaran berharga;

17.Saudara-saudara baru KKN Mercu Buana (Hilman Fachri, Handi, Anand, Agus, Vanny, Rika, Indah, Sumarji, Pakde Bukde dan keluarga besar) atas keakraban dan telah menjadikan keluarga baru yang luar biasa;


(12)

18.Sahabat-sahabat Alumni SMAN 1 Bandar Lampung, terima kasih atas cinta, persaudaraan, pengalaman dan dukungannya;

19.Teman-teman FK Unila angkatan 2009 yang tak bisa disebutkan satu per satu, yang secara langsung maupun tidak langsung telah membantu dan menyemangati selama proses perkuliahan. Terima kasih atas inspirasinya, kebersamaan yang terjalin, keakraban, dukungan dan memberi motivasi belajar. Mainkan peran yang diberikan, nikmati proses dan syukuri hasilnya.

20.Seluruh sejawat Kakak-kakak dan adik-adik tingkatku angkatan 2002-2012 FK Unila yang tidak dapat disebutkan satu–persatu atas kebersamaan dalam satu kedokteran.

Penulis berdoa semoga segala bantuan yang diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.

Demikianlah, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya.

Bandar Lampung, 30 Januari 2013


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I . PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Kerangka Penelitian ... 7

1. Kerangka Teori... 7

2. Kerangka Konsep ... 9

F. Hipotesis ... 9

II . TINJAUAN PUSTAKA A. Luka Bakar ... 10

1. Definisi ... 10

2. Etiologi... 11

3. Derajat Luka Bakar ... 11

4. Luas Luka bakar ... 14

5. Klasifikasi Luka Bakar ... 15

B. Fase Penyembuhan Luka ... 17

C. Fase Luka Bakar ... 21


(14)

ii

1.Gambaran Umum ... 22

2.Kandungan Madu ... 24

E. Manfaat Madu Dan Berbagai Penelitian Terkait Madu ... 26

F. Berbagai Penelitian Terkait Hydrogel Untuk Penyembuhan Luka 31 III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 33

B. Waktu danTempat Penilitian ... 33

C. Subjek Penelitian ... 33

D. Kritera Inklusi dan Eksklusi ... 36

1. Kriteria Inklusi ... 36

2. Kriteria Eksklusi ... 36

E. Bahan dan Alat Penilitian ... 36

1. Bahan Penilitian ... 36

2. Alat Penilitian ... 37

F. Identifikasi Variabel ... 37

1. VariabelBebas ... 37

2. VariabelTerikat ... 37

G. Definisi Operasional ... 38

H. Prosedur Penelitian ... 39

1. Pembuatan Luka Bakar derajat II ... 39

2. Prosedur Penanganan Luka Bakar Derajat II ... 40

3. Prosedur Operasional Pembuatan Slide ... 41

I. Cara Pengumpulan Data ... 44

1. Klinis ... 44

2. Histopatologis ... 45

J. Pengolahan dan Analisis Data ... 46

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil ... 48


(15)

2. Analisis Mikroskopik Gambaran Histopatologi Kulit Tikus 52

3. Gambaran Klinis Kulit Tikus ... 56

B. Pembahasan ... 60

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72


(16)

iv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Tabel Komposisi Nutrisi Madu ... 26

2. Tabel Jenis Perlakuan Penelitian dan Dosis Yang Diberikan Pada Setiap Perlakuan ... 35

3. Tabel Definisi Operasional ... 38

4. Tabel Penilaian Mikroskopik ... 46

5. Tabel Skor Penilaian Mikroskopik Kulit Tikus ... 53

6. Hasil rata-rata skor penilaian histopatologis kulit pada kelompok uji ... 54

7. Analisis Shapiro-Wilk gambaran mikroskopis histopatologi kulit.. 55

8. Tabel Hasil uji Repeated ANOVA gambaran mikroskopik ……… 55

9. Hasil uji Pairwise Comparisons pada penilaian mikroskopis kulit tikus……… 56

10. Persentase gambaran klinis kesembuhan luka bakar kulit tikus….. 57

11. Analisis Shapiro-Wilk gambaran klinis kulit tikus……….. 58

12. Tabel Hasil uji Repeated ANOVA gambaran klinis …………... 58 13. Hasil uji Pairwise Comparisons pada penilaian klinis kulit tikus…. 59


(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori ... 8

2. Kerangka Konsep ... 9

3. Luka Bakar Derajat I ... 12

4. Luka Bakar Derajat II ... 13

5. Luka Bakar Derajat III ... 13

6. Derajat Luka Bakar ... 14

7. Penampang Kedalaman Luka Bakar ... 14

8. Luas Luka Bakar pada orang dewasa ... 15

9. Diagram Alur Penelitian ... 43

10.Diameter Luka Bakar ... 44

11.Histopatologi kulit tikus kelompok kontrol; Pewarnaan H-E; Ket : 1. Epitelisasi yang kurang; 2. Sel radang; 3. Epidermis .... 49

12.Histopatologi kulit tikus kelompok kontrol ... 50

13.Histopatologi kulit tikus kelompok perlakuan madu………….. 50

14.Histopatologi kulil tikus kelompok perlakuan madu; Ket 1. kolagen; 2. pembuluh darah; 3. Sel radang………. 51

15. Gambaran histopatologis kulit tikus, hydrogel………..………. 52

16. Histopatologi kulit tikus kelompok perlakuan hydrogel; Ket : 1. sel inflamasi; 2. Kolagen……….. 52

17. Rata-rata penilaian mikroskopis kulit tikus……… 54

18. Persentase rata-rata penilaian gambaran klinis kulit tikus……... 59


(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Luka bakar merupakan masalah kesehatan yang sangat serius dan sering dihadapi para dokter. Keparahan luka tergantung dari besarnya trauma yang diterima oleh jaringan (Pavletic, 1992). Pasien yang mengalami luka bakar pada umumnya mengalami penderitaan, kehilangan kepercayaan diri dan mengeluarkan biaya yang relatif banyak untuk penyembuhan (Syamsuhidjayat, 2005). Setiap tahun ada lebih dari 300.000 kematian akibat luka bakar elektrik (Kartini, 2009). Luka bakar yang parah akan menyebabkan kematian. Angka pasien penderita luka bakar setiap tahun di setiap negara relatif tinggi, misalnya pada tahun 1991 di Amerika Serikat angka kematian dari pasien luka bakar sebesar 5053 (Cyntia, 2005). Di Indonesia pasien dengan kasus luka bakar juga relatif banyak, khususnya pada penduduk yang tinggal di daerah kumuh dan padat (Erizal, 2008).

Cedera mayor seperti luka bakar akan mengakibatkan kerusakan pada kulit yang memerlukan pengobatan langsung untuk membantu perbaikan dan regenerasi agar dapat mengembalikan fungsi kulit normal (Cuttle et


(19)

al., 2006). Perkembangan teknologi dan strategi kemajuan di bidang biomedis telah banyak mengusulkan berbagai terapi pengobatan yang dapat memperbaiki kulit luka bakar (Branski et al., 2009). Telah terjadi kemajuan sangat pesat dalam penggunaan terapi alternatif di antara pengobatan modern pada masyarakat dikarenakan besarnya potensi untuk meningkatkan kesembuhan dan mengurangi beban keuangan untuk pengobatan (Salmah et al., 2005; Davis and Perez, 2009). Salah satu di antaranya adalah masalah penanganan luka.

Beberapa produk perawatan untuk luka bakar adalah silver sulfadiazine dan mafenide tetapi mafenide dapat menimbulkan sensasi nyeri setelah dioleskan dan kurang tahan lama menjaga kelembaban luka (Schwartz, 2005). Osmolaritas yang tinggi dari agen perawatan luka diyakini sebagai suatu hal yang dapat mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan. Madu mempunyai osmolaritas yang tinggi, dan juga memiliki sifat antibakterial, yakni hidrogen perioksida (Jull et al., 2008). Kandungan madu lainnya tersusun atas 17,1% air, 82,4% karbohidrat total dan 0,5% protein, asam amino, vitamin dan mineral (Khan et al., 2007).

Penggunaan madu sebagai obat telah dikenal sejak puluhan ribu tahun yang lalu, misalnya dalam pengobatan penyakit lambung, batuk, dan mata (Subrahmanyam et al., 2001). Selain itu madu juga dapat digunakan sebagai terapi topikal untuk luka bakar, infeksi, dan luka ulkus. Dunia kedokteran modern saat ini telah banyak membuktikan madu sebagai


(20)

3

obat yang unggul (Suranto, 2007). Sebuah laporan menunjukkan luka yang dibalut dengan madu menutup pada 90 % kasus. Pada luka bakar derajat ringan, penyembuhan dengan olesan madu berlangsung lebih cepat. Pasien yang luka bakar berat yang harus ditransplantasi kulit dipercepat penyembuhannya dengan madu (Subrahmanyam, 1991).

Ada beberapa hasil penelitian yang melaporkan bahwa madu sangat efektif digunakan sebagai terapi topikal pada luka melalui peningkatan jaringan granulasi dan kolagen serta periode epitelisasi secara signifikan (Suguna et al., 1992; Aljady et al., 2004). Menurut Lusby (2006) madu juga dapat meningkatkan waktu kontraksi pada luka. Madu efektif sebagai terapi topikal karena kandungan nutrisi yang terdapat di dalam madu dan hal ini sudah diketahui secara luas.

Yapucu et al. (2007) menyatakan bahwa waktu penyembuhan luka yang dirawat dengan madu lebih cepat sekitar empat kali daripada waktu penyembuhan luka yang dirawat dengan obat lain. Selain itu harga madu sendiri masih terbilang cukup murah dibandingkan obat standar luka bakar. Namun penggunaan madu masih belum digunakan secara luas dalam lingkup professional.

Penggunaan hidrogel yang kandungannya H20, gliserin dan carbomer 940 sangat efektif digunakan pada ulkus gangren dikarenakan prinsip kandungan hidrogel yang memberikan efek pendingin dan kelembaban pada luka saat proliferasi. Selain untuk ulkus gangren, hidrogel telah


(21)

memberikan efek penyembuhan untuk luka bakar derajat I dan II (Erizal, 2008).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, hidrogel efektif digunakan untuk luka bakar derajat I dan II serta pada pasien ulkus gangren. Dari 10 pasien ulkus, 8 pasien mengalami proliferasi cepat dibandingkan NaCl. Dari data tersebut didapatkan 80% hidrogel efektif. Erizal (2008) menyatakan bahwa prinsip kandungan hidrogel yang memberikan efek pendingin dan kelembaban pada luka saat fase proliferasi. Jaringan luka yang kehilangan protein akan digantikan oleh kandungan hidrogel yang akan menyuplai protein. Penggunaan hidrogel yang digunakan sebagai obat standard luka bakar hanya digunakan pada beberapa rumah sakit, namun belum sampai terjangkau luas pada masyarakat, selain itu harga hidrogel masih terbilang cukup mahal.

Berdasarkan fenomena tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara pemberian madu dan hidrogel pada tikus putih (Rattusnorvegicus).

B. Rumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas maka peneliti ingin mengetahui bagaimana perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara yang diberi madu topikal nektar kopi dan hidrogel


(22)

5

pada tikus putih (Rattus norvegicus) dewasa jantan galur Sprague Dawley.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara yang diolesi madu dan hidrogel pada tikus putih (Rattus norvegicus) dewasa jantan galur Sprague Dawley.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih (Rattus norvegicus) dewasa jantan galur Sprague Dawley yang dioles madu.

b. Mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih (Rattus norvegicus) dewasa jantan galur Sprague Dawley yang dioles Hidrogel.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: a. Peneliti

Menambah wawasan tentang terapi madu yang dapat digunakan untuk pengobatan luka bakar.


(23)

b. Masyarakat/pasien

Memberikan informasi tentang manfaat penggunaan madu dalam perawatan luka bakar dan sebagai salah satu pengobatan alternatif manajemen perawatan luka bakar.

c. Rumah sakit

Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dan pertimbangan dalam manajemen perawatan luka.

d. Peneliti lain

Menjadi bahan referensi atau pustaka untuk dapat dikembangkan dalam penelitian selanjutnya.


(24)

7

E. Kerangka Penelitian

1. Kerangka Teori

Luka akan sembuh sesuai dengan tahapan yang spesifik dimana bisa terjadi tumpang tindih. Proses penyembuhan luka tergantung pada jenis jaringan yang rusak, keadaan host, penyebab luka tersebut, dan metode perawatan luka. Adapun proses penyembuhan luka dibagi menjadi 3, fase inflamasi yang berlanjut sampai 4 hari, fase proliferasi yang berlangsung dari hari ke 5 sampai dengan 3 minggu, dan fase maturasi yang berlangsung mulai pada hari ke–21 dan dapat berlangsung sampai berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang (Syamsuhidjayat, 2005).

Ada fakta unik tentang penggunaan madu yang diperoleh melalui beberapa penelitian tentang efek osmosis anti-bakteri yang dihasilkan oleh madu. Ketika madu digunakan secara topikal, madu mengalami proses pengenceran (dilusi) oleh cairan nanah (eksudat), hal ini mereduksi tingkat osmolaritasnya sehingga mencapai pada tingkat yang lebih rendah, namun ternyata tetap efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri. Madu mengandung beberapa enzim seperti diastase, invertase, glukosa oksidase, beberapa vitamin dan katalase. Kandungan yang terdapat dalam madu dapat bersifat antibakteri, antiseptik menjaga luka dan mempercepat proses penyembuhan luka bakar. Sifat antibakteri madu membantu mengatasi infeksi pada perlukaan dan anti inflamasinya sehingga


(25)

dapat mengurangi rasa nyeri serta sirkulasi yang merangsang pertumbuhan jaringan baru dan mengurangi jaringan parut atau bekas luka pada kulit (Suranto et al., 2003).

Hidrogel dilihat sebagai komponen penting dalam berbagai jenis perawatan luka. Hal ini karena penggunaan hidrogel dirancang untuk menahan kelembaban di permukaan luka, menyediakan lingkungan yang ideal untuk membersihkan luka dan memungkinkan tubuh untuk membersihkan diri dari jaringan nekrotik.

Gambar 1. Diagram kerangka teori faktor penyembuhan luka, penggunaan madu dan hidrogel. FAKTOR HOST

-Umur

-Jenis Kelamin

-Berat badan

FAKTOR AGENT

- Mikroorganisme

- Penyebab infeksi

FAKTOR AGENT

- Mikroorganisme

- Penyebab infeksi

LUKA BAKAR

METODE

ENVIRONMENT

- Metode perawatan

- Ruang perawatan

MADU HIDROGEL

PENYEMBUHAN FAKTOR LUKA

- Derajat - Luas - Kausa - Lokasi

- Komplikasi

Inflamasi Proliferasi Maturasi

Hari 1 - 4 Hari 5 - 21 >21 hari

FAKTOR HOST

-Umur

-Jenis Kelamin

-Berat badan

FAKTOR AGENT

- Mikroorganisme


(26)

9

2. Kerangka Konsep

Berikut ini adalah diagram kerangka konsep antibiotik topikal madu, hidrogel dan penyembuhan jaringan pada luka bakar.

Gambar 2. Diagram kerangka konsep antibiotik topikal madu, hidrogel dan penyembuhan jaringan pada luka bakar.

F. Hipotesis

Tingkat kesembuhan luka bakar derajat II dengan pemberian madu topikal nektar kopi lebih tinggi dibandingkan pemberian hidrogel pada tikus putih (Rattus norvegicus) dewasa jantan galur Sprague Dawley.

Perlakuan 1 kontrolluka

bakar

Perlakuan 2 Dioleskan madu

topikal

Perlakuan 3 Dioleskan salep

hidrogel Tikus dengan luka

bakar derajat II berdiameter 2 cm

Gambaran histopatologi dan


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Luka Bakar 1. Definisi

Secara definisi suatu luka adalah keadaan hilangnya atau terputusnya kontinuitas jaringan (Mansjoer, 2001). Luka adalah terganggunya intregitas normal dari kulit dan jaringan dibawahnya (Kozier, 1992). Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis normal akibat proses patologis yang berasal dari internal maupun eksternal dan mengenai organ tertentu (Potter and Parry, 2005).

Luka bakar atau Vulnus combutio pada dasarnya merupakan fenomena pemindahan panas, meskipun sumber panasnya dapat bervariasi. Akibat akhir yang ditimbulkan berupa kerusakan jaringan kulit, bahkan pada keadaan cedera multisistemik dapat menyebabkan gangguan yang serius pada paru-paru, ginjal dan hati. Efek sistemik dan mortalitas yang disebabkan karena luka bakar sangat ditentukan oleh luas dan dalamnya kulit yang terkena luka (Ollstein, 1996).

Luka bakar adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka


(28)

11

yang tidak beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa (Mansjoer, 2001). Luka bakar dapat hanya mengenai lapisan terluar kulit. Luka bakar dengan ketebalan parsial mengenai lapisan kulit epidermal dan dermal, sedangkan luka bakar penuh meliputi seluruh lapisan kulit dan stuktur dibawahnya.

Luka bakar pada dasarnya merupakan fenomena pemindahan panas, meskipun sumber panasnya dapat bervariasi. Akibat akhir yang ditimbulkan berupa kerusakan jaringan kulit, bahkan pada keadaan cedera multisistemik dapat menyebabkan gangguan yang serius pada paru-paru, ginjal dan hati. Efek sistemik dan mortalitas yang disebabkan karena luka bakar sangat ditentukan oleh luas dan dalamnya kulit yang terkena luka (Suwiti, 2010).

2. Etiologi

Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal, diantaranya adalah a. Luka Bakar Suhu Tinggi (Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat b. Luka Bakar Bahan Kimia (Chemical Burn)

c. Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn) d. Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)

3. Derajat Luka Bakar


(29)

Luka derajat satu hanya mengenai epidermis luar, kulit kering dan secara klinis tampak sebagai daerah hiperemia dan eritema. Biasanya sembuh dalam 3–7 hari dan tidak ada jaringan parut.

Gambar 3. Luka bakar derajat I (Burns et al, 2006)

Luka derajat dua mengenai lapisan epidermis yang lebih dalam dan mencapai kedalaman dermis tetapi masih ada elemen epitel yang tersisa, seperti sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan folikel rambut. Luka dapat sembuh 10–21 hari. Luka derajat ini tampak lebih pucat, terdapat vesikel, edema dan lebih nyeri dibandingkan luka bakar superfisial, karena adanya kerusakan kapiler dan ujung syaraf di dermis. Juga timbul berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh karena permeabilitas dindingnya meninggi. Derajat dua ini dibedakan menjadi:

Derajat 2 dangkal, dimana kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis dan penyembuhan terjadi secara spontan dalam 10–14 hari.


(30)

13

Derajat 2 dalam, dimana kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis, terdapat bula. Bila kerusakan lebih dalam mengenai dermis, subyektif dirasakan nyeri. Penyembuhan terjadi lebih lama dengan waktu lebih dari 1 bulan (Hettiaratchy, 2004).

Gambar 4. Luka bakar derajat II (Burns et al, 2006)

Luka derajat tiga mengenai semua lapisan epidermis dan dermis serta biasanya secara klinis tampak sebagai luka kering, luka merah keputih-putihan, dan hitam keabu-abuan, tidak ada bula, lapisan yang rusak tidak sembuh sendiri maka perlu Skin graff. Seringkali vena mengalami koagulasi dan dapat terlihat dari permukaan kulit (Sabiston, 1987).


(31)

Gambar 6. Derajat luka bakar (Burns et al, 2006)

Gambar 7. Penampang kedalaman luka bakar (Hettiaratchy, 2004).

4. Luas Luka Bakar

Luas luka bakar dinyatakan sebagai presentase terhadap luas permukaan tubuh. Untuk menghitung secara cepat dipakai Rule of


(32)

15

Nine dari Wallace. Perhitungan cara ini hanya dapat diterapkan pada orang dewasa, karena anak-anak mempunyai proporsi tubuh yang berbeda. Untuk keperluan pencatatan medis, dapat digunakan kartu luka bakar dengan cara Lund and Browder (Baxter, 1993). Rule of nines membagi tubuh manusia dewasa dalam beberapa bagian dan setiap bagian dihitung 9%. Hanya luka bakar derajat dua dan tigalah yang dihitung menggunakan rule of nine, sementara luka bakar derajat satu tidak dimasukan sebab permukaan kulit relatif bagus sehingga fungsi kulit sebagai regulasi cairan dan suhu masih baik.

Gambar 8. Luas luka bakar pada orang dewasa (Hettiaratchy, 2004). 5. Klasifikasi Luka Bakar

Karena luka bakar sangat bervariasi baik mengenai luas permukan tubuh maupun dalamnya jaringan yang terbakar, maka perlu


(33)

ditetapkan keadaan-keadaan yang memerlukan perawatan dan pengobatan di Rumah Sakit. Dalam hal ini dapat dipakai patokan sebagai berikut:

1). Luka bakar berat (perlu dirawat di RS dan mendapat pengobatan intensif)

a. Derajat II (dewasa >30 %, anak >20 %). b. Derajat III >10%

c. Luka bakar dengan komplikasi pada saluran nafas, fraktur, trauma jaringan lunak yang hebat.

d. Luka bakar akibat sengatan listrik

e. Derajat III yang mengenai bagian tubuh yang kritis seperti muka, tangan, kaki, mata, telinga, dan anogenital.

2). Luka bakar sedang (perlu dirawat di RS untuk mendapat pengobatan yang baik, biasanya tak seintensif luka bakar berat) a. Derajat II dangkal >15% (dewasa), 10% (anak)

b. Derajat II dalam antara 15–30% (dewasa), 10–20% (anak) c. Derajat III <10% yang tidak mengenai muka, tangan, kaki,

mata, telinga, dan anogenital. 3). Luka bakar ringan

a. Derajat I

b. Derajat II <15% (dewasa), <10% (anak-anak) c. Derajat III <2%


(34)

17

B. Fase Penyembuhan Luka

Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua yaitu: akut dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi dalam jangka waktu 2–3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis luka yang tidak tanda-tanda untuk sembuh dalam jangka lebih dari 4–6 minggu.

Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tipa cedera jaringan luka baik luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan ulkus tungkai, luka traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka akibat tindakan bedah. Luka dikatakan mengalami proses penyembuhan jika mengalami proses fase respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi (Morison, 2004). Kemudian disertai dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah eksudat berkurang, jaringan luka semakin membaik.

Tubuh secara normal akan merespon terhadap luka melalui proses peradangan yang dikarakteristikan dengan lima tanda utama yaitu bengkak, kemerahan, panas, nyeri dan kerusakan fungi. Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase (Potter and Perry, 2005) yaitu:


(35)

a. Fase Inflamatori

Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat fase konstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka. Scab membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel berpindah dari luka ke tepi. Epitelial sel membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan.

Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daera interstitial. Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhirpembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan.


(36)

19

Respon segera setelah terjadi injuri akan terjadi pembekuan darah untuk mencegah kehilangan darah. Karakteristik fase ini adalah tumor, rubor, dolor, color, functio laesa. Lama fase ini bisa singkat jika tidak terjadi infeksi.

b. Fase Proliferatif

Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke–21. Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi, pembuluh darah yang baru, fibronectin and hyularonic acid.

Fibroblas (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah kedaerah luka mulai 24 jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Kapilarisasi dan epitelisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.

c. Fase Maturasi

Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas terus mensintesis kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalkan garis putih. Dalam fase ini terdapat


(37)

remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka. Terbentuknya kolagen yang baru yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan. Terbentuk jaringan parut 50– 80% sama kuatnya dengan jaringan sebelumnya. Kemudian terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas selular and vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan (Syamsulhidjayat, 2005).

Berdasarkan proses penyembuhan, dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu:

a. Healing by primary intention

Tepi luka bisa menyatu kembali, permukan bersih, biasanya terjadi karena suatu insisi, tidak ada jaringan yang hilang. Penyembuhan luka berlangsung dari bagian internal ke ekseternal.

b. Healing by secondary intention

Terdapat sebagian jaringan yang hilang, proses penyembuhan akan berlangsung mulai dari pembentukan jaringan granulasi pada dasar luka dan sekitarnya.

c. Delayed primary healing (tertiary healing)

Penyembuhan luka berlangsung lambat, biasanya sering disertai dengan infeksi, diperlukan penutupan luka secara manual.


(38)

21

C. Fase Luka Bakar

Dalam perjalanan penyakitnya, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar, yaitu:

a. Fase akut

Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas) hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di dada atau trauma multipel di rongga toraks, breathing (mekanisme bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gangguan jalan nafas tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48–72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderiat pada fase akut. Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal yang berdampak sistemik.

b. Fase sub akut

Berlangsung setelah fase syok teratasi yang berlangsung sampai 21 hari. Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan dampak atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan akibat kontak dengan sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan proses inflamasi dan infeksi, masalah penutupan luka dengan titik perhatian pada luka terbuka atau


(39)

tidak dilapisi epitel luas dan atau pada struktur atau organ–organ fungsional.

c. Fase lanjut.

Fase lanjut akan berlangsung sekitar 8–12 bulan hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan fungsi organ-organ fungsional. Masalah yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur (Moenadjat, 2005).

Dewasa ini proses penyembuhan luka pada kulit sudah semakin cepat dan mudah. Hal ini tidak terlepas dari dukungan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menyembuhkan luka, masyarakat dapat sangat mudah mengakses obat-obatan kimia yang telah beredar luas. Masyarakat kurang mengerti bahwa sebenarnya banyak peneliti yang telah meneliti bahan-bahan ilmiah yang telah teruji hasilnya untuk penyembuhan luka, termasuk luka bakar. Salah satunya adalah madu.

D. Madu

1. Gambaran Umum

Madu adalah cairan alami yang umumnya mempunyai rasa manis, yang dihasilkan oleh lebah madu dari sari bunga tanaman atau bagian lain dari tanaman atau ekskresi serangga (Badan Standardisasi Nasional, 2000). Berdasarkan jenis bunga, madu memiliki banyak


(40)

23

ragam dan jenis sesuai dengan bunga yang menjadi sumbernya. Contoh madu ini adalah madu bunga kopi, madu bunga durian, madu bunga rambutan, dan sebagainya (Aden, 2010).

Madu adalah nektar dan eksudasi sakarin dari tumbuhan, diubah dan disimpan oleh lebah madu (Molan, 2000). Madu menjadi salah satu pengobatan tradisional yang paling lama bertahan untuk digunakan dalam pengobatan luka (Molan, 1998). Dalam pengobatannya, madu dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan zat lain (Salmah dan Sidik, 2005) dan diberikan secara topikal dan sistemik (Suguna et al., 1992). Sebagian besar efektivitas madu dalam pengobatan dikaitkan dengan aktivitas antibakteri dan antioksidan (Molan, 1999).

Fakta ilmiah ini telah dibenarkan oleh para ilmuwan yang bertemu pada Konferensi Apikultur Sedunia (World Apiculture Conference) yang diselenggarakan pada tanggal 20–26 September 1993 di Cina. Konferensi tersebut membahas pengobatan dengan menggunakan ramuan yang berasal dari madu. Para ilmuwan Amerika mengatakan bahwa madu, royal jelly, serbuk sari, dan propolis dapat mengobati berbagai penyakit. Seorang dokter Rumania mengatakan bahwa ia mengujikan madu untuk pengobatan pasien katarak, dan 2002 dari 2094 pasiennya sembuh total. Para dokter Polandia juga menyatakan dalam konferensi tersebut bahwa resin lebah dapat membantu


(41)

penyembuhan banyak penyakit seperti wasir, masalah kulit, penyakit ginekologis, dan berbagai penyakit lainnya.

Madu memang bahan alami yang secara sepintas efeknya kalah dengan obat-obatan kimia, akan tetapi menggunakan madu sebagai obat luka pada kulit memiliki efek lebih menguntungkan daripada menggunakan obat-obatan kimia.

Madu berasal dari nektar bunga yang disimpan oleh lebah dari kantung madu. Oleh lebah nektar tersebut diolah sebelum akhirnya menghasilkan madu dalam sarangnya. Madu dihasilkan oleh serangga lebah madu (Apis mellifera) termasuk dalam superfamili apoidea. Madu adalah obat alami karena tidak pelru diolah di laboratorium. Madu sudah ada di alam dan tinggal diolah dari sarangnya (Susan, 2008).

2. Kandungan Madu

Kandungan dan sifat madu dapat berbeda tergantung dari sumber madu (Gheldof et al., 2002; Gheldof and Engeseth, 2002). Madu lebih efektif digunakan sebagai terapi topikal karena kandungan nutrisi dan sifat madu. Madu mengandung senyawa radikal hidrogen peroksida yang bersifat dapat membunuh mikroorganisme patogen dan terdapat adanya senyawa organik yang bersifat antibakteri antara lain seperti polypenol, dan glikosida.


(42)

25

Selain itu dalam madu terdapat banyak sekali kandungan vitamin, asam mineral, dan enzim yang sangat berguna bagi tubuh sebagai pengobatan secara tradisional, antibodi, dan penghambat pertumbuhan sel kanker, atau tumor. Madu adalah sumber alami karbohidrat yang memberikan kalori sebanyak 64 kal/sendok makan. Madu mengandung sejumlah asam, yaitu asam amino sebesar 0,05–0,1% dan asam organik sebesar 0,17–1,17%. pH rata-rata madu adalah 3,9 dengan rata-rata pH sebesar 3,4–6,1 (National Honey Board, 2007).

Madu terutama terdiri dari gula sebanyak 79,6% dan air sebanyak 17,2%. Gula yang paling banyak terdapat pada madu adalah fruktosa sekitar 38,5% dan glukosa sekitar 31,0%. Fruktosa dan glukosa merupakan monosakarida. Madu juga mengandung gula jenis disakarida, yaitu sukrosa sekitar 1,3%, maltosa sekitar 7,3%, turanosa, isomaltosa, dan maltulosa. Selain monosakarida dan disakarida, madu juga mengandung oligosakarida (Riddle, 2001; National Honey Board, 2007).

Madu mengandung sejumlah vitamin dan mineral (Standifer, 2007). Persentase komposisi minor madu adalah asam sekitar 0,57%, protein sekitar 0,266%, nitrogen sekitar 0,043%, asam amino sekitar 0,1%, mineral sekitar 0,17%, dan beberapa komponen lain, seperti fenol, koloid, dan vitamin, yang semuanya membentuk sekitar 2,1% dari seluruh komposisi madu (National Honey Board, 2007; Yao et al.,


(43)

2004; Michalkiewicz et al., 2008). Daftar komposisi madu secara umum tercantum dalam tabel 1.

Tabel 1. Komposisi madu (Suranto, 2007). KANDUNGAN

RATA-RATA KISARAN

DEVIASI STANDAR

Fruktosa/Glukosa 1,23 0,76–1,86 0,126

Fruktosa % 38,38 30,91–44,26 1,77

Glukosa % 30,31 22,89–44,26 3,04

Maltosa % 7,3 2,7–16,0 2,1

Sukrosa % 1,31 0,25–7,57 0,87

Gula % 83,72 - -

Mineral % 0,169 0,020–1,028 0,15

Asam bebas 0,43 0,13–0,92 0,16

Nitrogen 0,041 0,000–0,133 0,026

Air % 17,2 13,4–22,9 1,5

pH 3,91 3,42–6,01 -

Total keasaman meq/kg

29,12 8,68–59,49 10,33

Protein mg/100 gr

168,6 57,7–56,7 70,9

Madu alami juga banyak mengandung enzim, yaitu molekul protein yang sangat komplek yang dihasilkan oleh sel hidup dan berfungsi sebagai katalisator, yakni zat pengubah kecepatan reaksi dalam proses kimia yang terjadi di dalam tubuh setiap makhluk hidup (Purbajaya, 2007). Enzim yang paling dominan adalah diastase (amilase), invertase, dan glukosa oksidase. Enzim-enzim lain, seperti katalase dan asam fosfatase, terdapat dalam jumlah yang lebih kecil (National Honey Board, 2007).

E. Manfaat Madu Dan Berbagai Penelitian Terkait Madu

Penelitian tentang pemanfaatan produk lebah madu dimulai sejak tahun 1922 oleh Prof. R. Chauvin dari Universitas Sorbone, Perancis (Apiari


(44)

27

Pramuka, 2003 dalam Peri, 2004). Penelitian-penelitian selanjutnya mengenai manfaat madu banyak dilakukan dan berhasil menguraikan berbagai manfaat madu, salah satunya di bidang kesehatan. Madu telah dilaporkan mempunyai efek inhibitor sekitar 60 spesies bakteri meliputi bakteri aerob dan anaerob, gram positif dan gram negatif. Efek antifungal juga telah diobservasi pada beberapa jamur serta spesies aspergillus dan penicillium (Molan, 1992).

Madu merupakan larutan yang mengalami supersaturasi dengan kandungan gula yang tinggi dan mempunyai interaksi kuat dengan molekul air sehingga akan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan mengurangi aroma pada luka. Salah satunya adalah pada luka infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif Staphylococcus aureus yang paling banyak dijumpai pada infeksi di permukaan kulit. Seperti yang dilaporkan Cooper et al (1999), hasil studi laboratorium menunjukkan madu memiliki efek anti bakteri pada beberapa jenis luka infeksi, misalnya bakteri Staphylococcus aureus.

Hasil penelitian lain melaporkan madu alam dapat membunuh bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Clostritidium (Efem dan Iwara, 1992). Luka dapat menjadi steril terhadap kuman apabila menggunakan madu sebagai dressing untuk terapi topikal. Selain itu pH yang rendah {3,6– 3,7} dari madu dapat mencegah terjadinya penetrasi dan kolonisasi kuman (Efem, 1998). Apabila terjadi kontak dengan cairan luka


(45)

khususnya luka kronis, cairan luka akan terlarut akibat kandungan gula yang tinggi pada madu, sehingga luka menjadi lembab dan hal ini dianggap baik untuk proses penyembuhan.

Salah satu tujuan terapi luka adalah untuk mengurangi respon inflamasi berlebihan (Cho et al., 2003). Madu telah dilaporkan dapat mengurangi inflamasi pada proses luka (Subrahmanyam, 1998). Berhubungan dengan sifat madu yang antioksidan sehingga bertanggung jawab pada radikal bebas yang terlibat dalam berbagai aspek peradangan. Aljadi dan Kamaruddin (2004) melaporkan bahwa madu memiliki antioksidan dan pemulungan radikal properti, yang terutama karena flavonoid dan fenolik.

Madu juga merangsang pertumbuhan jaringan baru sehinga selain mempercepat penyembuhan juga mengurangi timbulnya parut atau bekas luka pada kulit. Madu memiliki efek osmotik dengan tinginya kadar gula dalam madu terutama fruktosa, dan kadar air yang sangat sedikit menyebabkan madu memiliki efek osmotik yang tinggi. Dengan adanya efek tersebut memungkinkan mikroorganisme yang ada dalam tubuh sukar tumbuh dan berkembang.

Selain itu kandungan air yang terdapat dalam madu akan memberikan kelembaban pada luka. Hal ini sesuai dengan prinsip perawatan luka modern yaitu "Moisture Balance". Hasil penelitian Gethin et al. (2008) melaporkan madu dapat menurunkan pH dan mengurangi ukuran luka


(46)

29

kronis seperti ulkus vena/arteri dan luka dekubitus dalam waktu dua minggu secara signifikan. Hal ini akan memudahkan terjadinya proses granulasi dan epitelisasi pada luka.

Madu mampu mengabsorbsi pus atau nanah atau luka, sehingga secara tidak langsung madu akan membersihkan luka tersebut. Madu menimbulkan efek analgetik (penghilang nyeri), mengurangi iritasi, dan dapat mengeliminasi bau yang menyengat pada luka. Madu juga berfungsi sebagai antioksidan karena adanya vitamin C yang banyak terkandung pada madu. Secara tidak langsung madu mengeliminasi zat radikal bebas yang ada pada tubuh kita. Pada luka bakar, dimana madu telah dimanfaatkan untuk manahan luka-luka bakar yang terjadi pada kulit. Jika diusapkan pada daerah yang terbakar, madu akan mengurangi rasa sakit yang menyengat dan mencegah pembentukan lepuhan (Purbaya, 2002).

Dari beberapa penelitian yang dilakukan salah satunya oleh Dr. Jamal Burhan dari Universitas Iskandariyah Mesir pada tahun 1991 menyebutkan madu sangat efektif untuk pengobatan luka dan telah dilakukan eksperimen pengobatan terhadap luka bakar dengan mengunakan madu dan setelah dilakukan perbandingan dengan pengobatan modern yaitu SS, hasilnya setelah 7 hari, kelompok yang diobati dengan madu 91% bebas dari infeksi sedangkan yang diobati dengan SS hanya 7% yang bebas infeksi. Setelah pengobatan berjalan 15


(47)

hari, 87% pasien yang diobati madu sembuh sedangkan yang diobati dengan SS hanya 10%yang sembuh. Penelitian pada tahun 1992 dan 1993 juga membuktikan bahwa pasien luka bakar yang diobati dengan madu, hanya 20% yang menyisakan luka luka ditubuhnya, sedangkan pengobatan modern dengan obat farmakologis menyisakan sekitar 65% pasien meninggalkan bekas luka (Suryadhine, 2007).

Madu selama berabad-abad telah digunakan untuk perawatan luka dan borok. Madu berisi glukosa dan enzim yang disebut oksidase glukosa. Pada kondisi yang tepat, oksidase glukosa dapat memecah glukosa madu menjadi hidrogen peroksida, zat yang bersifat antiseptik kuat. Madu dalam kemasan tidak dapat melakukan reaksi ini. Untuk menjadi aktif dan mengurai glukosa madu, oksidase glukosa memerlukan lingkungan dengan pH 5,5–8,0 dan natrium. PH madu murni yang berkisar antara 3,2 dan 4,5 terlalu rendah untuk mengaktifkan enzim. Kulit dan cairan tubuh misalnya darah memiliki pH relatif tinggi dan mengandung natrium sehingga memberikan kondisi yang tepat untuk pembentukan hidrogen peroksida.

Sebuah penelitian terhadap bakteri Escherichia coli yang secara konstan terpapar H2O2 yang dihasilkan oleh madu, menunjukkan bahwa

pertumbuhan bakteri tersebut dihambat pada konsentrasi 0,02–0,05 mmol/l. Tingkat konsentrasi H2O2 yang kecil ini tidak menimbulkan kerusakan jaringan maupun reaksi inflamasi. Kecepatan penyembuhan


(48)

31

luka yang lebih singkat dengan menggunakan madu sudah banyak berbagai rangkaian penelitian yang dilakukan, namun penggunaan madu dalam ruang lingkup klinis masih rendah (Moore et al., 2001).

Namun kekurangan madu adalah tidak bisa digunakan untuk bayi yang berusia 3 minggu hingga 363 hari. Spora pada madu dan dikonsumsi oleh bayi akan mengakibatkan penyakit Botulisme pada bayi. Botulisme ini disebabkan karena bayi menelan bakteri C. botulinum, bukan racunnya. Botulisme pada bayi ini disebabkan kolonisasi baktei C. botulinum pada saluran pencernaan bayi. Spora yang masuk ke saluran pencernaan dan tumbuh di sana membentuk sel vegetatif yang mampu mrnghasilkan neurotoksin. Gejala-gejala botulisme ini adalah bayi–bayi pada bulan pertama awal kehidupannya menjadi tidak mau makan, lemah, dan ada tanda–tanda paralisis (Chan, 2006).

F. Berbagai Penelitian Terkait Hidrogel Untuk Penyembuhan Luka Hidrogel adalah obat standard yang sudah dipatenkan untuk pengobatan luka. Penggunaan hidrogel yang kandungannya hidrogen peroksida, air, dan gliserin sangat efektif digunakan pada luka ulkus gangren dikarenakan prinsip kandungan hidrogel yang memberikan efek pendingin dan kelembaban pada luka saat fase proliferasi. Selain untuk luka ulkus gangren, hidrogel telah memberikan efek penyembuhan untuk luka bakar derajat I dan II. Jaringan luka yang kehilangan protein akan digantikan oleh kandungan hidrogel (Erizal, 2008).


(49)

Beberapa penelitian telah menunjukkan kemajuan terbaru dalam radiasi telah mengakibatkan kemampuan untuk menggabungkan madu ke matriks hidrogel untuk penanganan luka bakar lebih baik. Penelitian Rozaini et al. (2012) menunjukkan bahwa aplikasi topikal Hidrogel Madu mempercepat laju penyembuhan luka bakar seperti yang ditunjukkan oleh tingkat peningkatan luka penutupan dan penampilan kosmetik yang lebih baik. Sementara itu, evaluasi hasil histopatologis dari lokasi luka juga memberikan bukti bahwa Hidrogel Madu merangsang proses penyembuhan dengan mengurangi respon inflamasi dan meningkatkan re–epitelisasi.

Pada penelitian Erizal (2008) terlihat bahwa laju reduksi diameter luka bakar pada pemakaian hidrogel dalam penyembuhan luka relatif lebih cepat dibanding pengaruh kasa steril. Pemakaian hidrogel memberikan efek pengecilan ukuran diameter hingga diameter 0 mm yang berarti luka sembuh, terjadi pada hari ke–18 sedang pada saat yang sama kasa steril belum memberikan efek penyembuhan sempurna. Thomas (2007) melaporkan bahwa lingkungan lembab pada luka akan mempercepat proses epitelisasi dari luka. Penutupan luka bakar dengan pembalut hidrogel pada 48 jam pertama dapat menjaga kestabilan kelembaban jaringan dan mengoptimalkan proses epitilisasi. Hal ini mungkin yang menyebabkan pemakaian pembalut hidrogel yang bersifat sebagai pembasah dan pendingin menyebabkan terjadinya reduksi ukuran diameter luka lebih cepat dibanding pengaruh kasa steril.


(50)

III. METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan metode post test only controlled group design.

B. Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung sebagai tempat adaptasi dan perlakuan pada hewan percobaan, sedangkan pembuatan preparat dan pengamatannya dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan pada bulan Oktober–Desember 2012.

C. Subjek penelitian 1. Populasi

Populasi target meliputi tikus putih jantan galur Sprague Dawley. Populasi terjangkau meliputi tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang berusia 3 bulan yang diperoleh dari laboratorium Balai Penelitian Veteriner Bogor.


(51)

2. Sampel

Pemilihan sampel digunakan dengan cara simple random sampling, pada penelitian ini diperlukan 3 kali perlakuan dan variabel yang di uji adalah numerik berpasangan sehingga perhitungan sampel dihitung dengan rumus (Dahlan, 2011):

Dengan nilai α = 5 % (zα = 1,96), β = 20 % (zβ = 0,84), simpangan baku = S dan perbedaan selisih rerata skor histopatologi yang diharapkan sebagai

( ).

S = 1,5

Maka jumlah minimal sampel adalah 18 ekor tikus. Jadi tiap perlakuan dibutuhkan minimal 6 sampel ( ≥6) untuk masing-masing perlakuan dan jumlah perlakuan sebanyak 3 kali, sehingga total sampel minimal yang dibutuhkan adalah sebanyak 18 sampel yang didapatkan pada 6 ekor tikus


(52)

35

putih dari populasi yang ada. Namun pada penelitian ini digunakan 10 sampel ekor tikus putih.

Adapun perlakuan yang diberikan pada masing-masing tikus adalah

1). Sampel kontrol yaitu bagian tubuh tikus di daerah punggung bawah kanan yang diberi luka bakar derajat II dengan diameter 2 cm yang akan dibiarkan sembuh secara normal tanpa pemberian zat aktif. 2). Sampel perlakuan madu yaitu bagian tubuh tikus di daerah punggung

kiri yang diberi luka bakar derajat II dengan diameter 2 cm, selama proses penyembuhan akan diberikan preparat madu nektar kopi dengan nama dagang Madu Asli yang dipasarkan oleh Kedai Pramuka Kwarda Lampung dengan izin DEPKES RI. SP. No.: 074/08.01/92 diberikan secara topikal 2–3 kali sehari dan ditutup dengan kassa steril.

3). Sampel perlakuan obat salep hydrogel yaitu bagian tubuh tikus di daerah punggung kanan atas yang diberi luka bakar derajat II dengan diameter 2 cm, selama proses penyembuhan luka diberikan salep hidrogel yang masih tersegel dan tertutup dengan baik secara topikal 2–3 kali sehari dan ditutup dengan kassa steril.

Tabel 2. Jenis perlakuan penelitian dan dosis yang diberikan pada setiap perlakuan.

Hewan Percobaan Jenis Perlakuan Dosis

Tikus dengan Luka bakar derajat II

Kontrol (tanpa pemberian zat aktif)

-

Madu Nektar Kopi SNI 100%


(53)

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Inklusi:

a. Sehat (tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, atau botak, dan bergerak aktif)

b. Memiliki berat badan sekitar 150–250 gram c. Berjenis kelamin jantan

d. Berusia sekitar 3–4 bulan Eksklusi:

a. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboratorium

b. Sakit (penampakan rambut kusam, rontok atau botak dan aktivitas kurang atau tidak aktif, keluarnya eksudat yang tidak normal dari mata, mulut, anus, genital).

E. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan yaitu: madu murni nektar kopi, alkohol 96%, salep hidrogel, plaster, kassa steril, aquades, alkohol, arloji, obat anestesi lidokain, tikus putih jantan dewasa galur Sprague Dawley, pakan dan minum tikus.


(54)

37

2. Bahan Kimia

Bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi dengan metode paraffin meliputi: larutan formalin 10% untuk fiksasi, alkohol 70%, alkohol 96%, alkohol absolut, xylol, pewarna Hematoksilin dan Eosin, dan entelan (FK Unila, 2012).

3. Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan adalah neraca analitik Metler Toledo dengan tingkat ketelitian 0,01g untuk menimbang berat mencit, pisau cukur dan gagangnya, gunting untuk mencukur rambut/bulu tikus, penggaris, sarung tangan steril, bengkok, kom, solder listrik (electro cauter) yang ujungnya dimodifikasi dengan logam aluminium berdiameter 2cm, jas lab, kipas angin, gunting plester, pinset anatomis, spuit 1cc dan jarum, kassa steril, arloji, kandang serta botol minum tikus, mikroskop cahaya, object glas, cover glass, deck glass, tissue cassette, rotary microtome, oven, water bath, platening table, autotechnicom processor, staining jar, staining rak, kertas saring, histoplast, dan parafin dispenser.

F. Identifikasi Variabel

1. Variabel Bebas (Independent variable) Pemberian zat aktif pada tikus putih yaitu :

a. Madu b. Hidrogel


(55)

Penilaian kesembuhan kulit tikus dengan luka bakar derajat II yaitu : a. Gambaran histopatologi kulit tikus

b. Gambaran klinis kulit tikus

G. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional pada penelitian ini adalah sebagai berikut Tabel 3. Definisi Operasional

Variabel Definisi Skala

Ukur Madu nektar kopi

100%

Madu murni yang diperoleh dari petani lebah yang berasal dari sari bunga kopi dan dipasarkan oleh Kedai Pramukua Kwarda Lampung dengan izin DEPKES RI. SP. No.: 074/08.01/92. Dioleskan 2x sehari

Katagorik

Hidrogel Obat hidrogel dengan merek dagang Cutimed Gel

yang diproduksi oleh BSN medical GmbH, PT BSN medical Indonesia yang masih tersegel dan tertutup dengan baik. Dioleskan 2x sehari

Katagorik

Luka Bakar Derajat II Luka bakar yang mencapai dermis, tetapi masih

ada elemen epitel sehat yang tersisa Gejala yang timbul adalah nyeri, gelembung, atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh darah karena permeabilitas dindingnya meninggi

Ordinal

Gambaran

histopatologi kulit tikus

Sediaan histopatologi dilihat pada pembesaran 40x pada lapangan pandang acak disetiap

spesimen menggunakan hasil pemeriksaan

patologi anatomi dari biopsi insisi luka yang mencakup tingkat pembentukan kolagen, tingkat pembentukan epitelisasi, sel radang dan jumlah pembentukan pembuluh darah baru.

Numerik

Gambaran klinis kulit tikus

Gambaran klinis didapat dengan menghitung rata-rata diameter penyembuhan luka yang dihitung pada hari ke 14 kemudian dihitung persentase dengan rumus:

dengan hari pertama sebagai acuan.


(56)

39

H. Prosedur Penelitian

Sebelum dilakukan perlakuan kepada semua tikus laboratorium, 10 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) galur Spargue dawley dilakukan adaptasi di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan diberi pakan standar secukupnya selama 14 hari. Sesudah masa adaptasi, tikus dipisahkan menjadi satu kandang berisi satu ekor tikus. Sebelum dilakukan pembuatan luka bakar pada punggung tikus dilakukan pembiusan lokal dengan lidokain. Dosis lidokain yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 0,2 cc dalam 2 cc aquadest secara subkutan (Farmakologi dan Terapi Universitas Indonesia, 2009).

1. Pembuatan Luka Bakar derajat II

Cara pembuatan luka bakar derajat II (Handian, 2006) :

a. Tentukan terlebih dahulu daerah yang akan dibuat luka bakar

b. Hilangkan bulu dengan mencukur sesuai dengan luas area luka bakar yang diinginkan

c. Pasang perlak dan alasnya di bawah tikus yang akan dibuat luka bakar

d. Cuci tangan dan pakai sarung tangan

e. Lakukan anestesi pada area kulit yang akan dibuat luka bakar dengan dosis 0,2 cc lidokain dalam 2 cc aquades

f. Panaskan solder listrik (electro cauter) yang ujungnya dimodifikasi dengan logam aluminium berdiameter 2 cm yang telah disiapkan selama 30 menit.


(57)

g. Tempelkan solder listrik (electro cauter) yang ujungnya dimodifikasi dengan logam aluminium berdiameter 2cm pada kulit tikus yang telah disiapkan selama 2 detik.

2. Prosedur Penanganan Luka Bakar Derajat II

Pada 10 sampel dengan masing-masing sampel dilakukan 3 perlakuan, penanganan luka bakar derajat II dilakukan 2–3 kali perhari (Dewi, 2008), sebelum diberikan preparat madu nektar kopi pada luka atau pemberian preparat hidrogel, luka dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan air aquadest. Berikut prosedur penanganan luka bakar yang akan dilakukan pada tikus percobaan:

a. Cuci tangan

b. Tempatkan perlak yang dilapisi kain di bawah luka yang akan dirawat. c. Pakai sarung tangan steril dan siapkan kasa.

d. Atur posisi tikus untuk mempermudah tindakan

e. Olesi bagian luka dengan kasa yang telah dibasahi dengan Madu Nektar Kopi setebal 2 mm hingga menutup seluruh permukaan luka untuk kelompok perlakuan Madu Nektar Flora .

f. Olesi bagian luka yang telah terinfeksi dengan menggunakan Hidrogel setebal 2 mm hingga menutup seluruh permukaan luka untuk kelompok perlakuan Hidrogel (Data Obat di Indonesia, 2008).

g. Tutup luka dengan kasa steril

h. Untuk kelompok kontrol tanpa balutan dan tidak diberikan zat aktif apapun.


(58)

41

3. Prosedur Operasional Pembuatan Slide

Metode pembuatan preparat histopatologi Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

a. Prosedur pembuatan slide :

1) Organ telah dipotong secara melintang dan telah difiksasi menggunakan formalin 10% selama 3 jam.

2) Bilas dengan air mengalir sebanyak 3–5 kali. 3) Dehidrasi dengan :

a) Alkohol 70% selama 0,5 jam b) Alkohol 96% selama 0,5 jam c) Alkohol 96% selama 0,5 jam d) Alkohol 96% selama 0,5 jam e) Alkohol absolut selama 1 jam f) Alkohol absolut selama 1 jam g) Alkohol absolut selama 1 jam h) Alkohol xylol 1:1 selama 0,5 jam 4) Clearing dengan menggunakan:

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xilol I dan II masing-masing selama 1 jam.

5) Impregnansi dengan parafin selama 1 jam dalam oven suhu 65oC. 6) Pembuatan blok parafin:

Sebelum dilakukan pemotongan blok parafin, parafin didinginkan dalam lemari es. Pemotongan menggunakan rotary microtome dengan menggunakan disposable knife. Pita parafin dimekarkan


(59)

pada water bath dengan suhu 60oC. Dilanjutkan dengan pewarnaan hematoksilin eosin.

b. Prosedur pulasan HE:

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, memilih slide yang terbaik selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut.

1) Dilakukan deparafinisasi dalam: a) Larutan xylol I selama 5 menit b) Larutan xylol II selama 5 menit c) Ethanol absolut selama 1 jam 2) Hydrasi dalam:

a) Alkohol 96% selama 2 menit b) Alkohol 70% selama 2 menit c) Air selama 10 menit

3) Pulasan inti dibuat dengan menggunakan: a) Haris hematoksilin selama 15 menit b) Air mengalir

c) Eosin selama maksimal 1 menit

4) Lanjutkan dehidrasi dengan menggunakan: a) Alkohol 70% selama 2 menit

b)Alkohol 96% selama 2 menit c) Alkohol absolut 2 menit 5) Penjernihan:


(60)

43

b)Xylol II selama 2 menit

6) Mounting dengan entelan lalu tutup dengan deck glass.

Berat badan tikus ditimbang

Tikus 1 Tikus 2 Tikus 3 Tikus 4 Tikus 5 Tikus 6 Tikus 7 Tikus 8 Tikus 9 Tikus10

Diadaptasi selama 7 hari

Masing-masing tikus diberi luka bakar pada 3 lokasi perlakuan dengan logam panas berdiameter 2 cm

Terdapat 30 sampel luka bakar Diberi perawatan selama 14 hari Hari ke 1

Hitung Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3

Dibersihkan dengan dibersihkan dengan dibersihkan dengan diameter aquades 1 x sehari aquades dan dressing aquades dan dressing hari 2 dan 14 madu nektar kopi 100% Hidrogel tebal

tebal 2mm 2 x sehari 2mm 2 x sehari

Hari ke 14

Tikus dinarkosis dengan klorofom Diambil sampel biopsi pada daerah luka bakar

Sampel dikirim ke laboratorium Histologi dan Patologi Fakultas Kedoteran Unila untuk pembuatan sediaan preparat

Pengamatan sediaan histopatologi dilakukan menggunakan mikroskop cahaya Interpretasi hasil


(61)

I. Cara Pengumpulan Data 1. Klinis

Gambaran klinis penyembuhan luka dinilai dengan dilakukannya 2 kali pengukuran pada hari pertama dan hari terakhir penyembuhan dengan batas waktu penelitian selama 14 hari untuk melihat perbedaannya. Selama penelitian digunakan teknik observasi eksperimen dimana 3 perlakuan pada masing-masing tikus dilakukan pengamatan pada hari ke–2 dan 14 untuk melihat penyembuhan luka secara makroskopis. Diameter luka bakar rata-rata dihitung dengan cara seperti dibawah ini (Suratman et al., 1996).

Gambar 10. Diameter Luka Bakar.

Luka yang terjadi diukur diameternya seperti gambar 10. Kemudian dihitung diameter rata-ratanya dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan : = Diameter luka hari ke x dx (4) dx (2)

dx (1)

dx (3) dx (3)


(62)

45

Untuk mengukur persentase kesembuhan dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan :

= Persentase penyembuhan hari ke = diameter luka hari pertama

= diameter luka hari ke

2. Histopatologi

Penilaian mikroskopis penyembuhan luka dilihat pada pembesaran 40x pada lapangan pandang acak disetiap spesimen menggunakan hasil pemeriksaan patologi anatomi dari biopsi insisi luka yang mencakup tingkat pembentukan kolagen, tingkat pembentukan epitelisasi, sel radang, dan jumlah pembentukan pembuluh darah baru dengan kriteria modifikasi Nagaoka (2000). Sampel biopsi diambil satu kali dan dilakukan bersamaan pada hari ke–21 (Manjas et al., 2010).


(63)

Tabel 4. Tabel penilaian mikroskopis.

Parameter dan Deskripsi Skor

Derajat pembentukan kolagen

Kepadatan kolagen lebih dari jaringan normal/lapang pandang kecil mikroskop

Kepadatan kolagen sama dengan jaringan normal/ lapang

pandang kecil mikroskop

Kepadatan kolagen kurang dari jaringan normal/lapang pandang kecil mikroskop

3 2 1

Derajat terjadinya epitelisasi

Epitelisasi normal/lapang pandang kecil mikroskop Epitelisasi sedikit/lapang pandang kecil mikroskop Tidak ada epitelisasi/lapang pandang kecil mikroskop

3 2 1

Jumlah pembentukan pembuluh darah baru

Lebih 2 pembuluh darah baru/lapang pandang kecil 3 mikroskop

1-2 pembuluh darah baru/lapang pandang kecil 2 mikroskop Tidak ada pembuluh darah baru/lapang pandang kecil 1 mikroskop

3 2 1

Jumlah sel inflamasi per lapangan pandang

Terdapat 1-5 sel inflamasi per lapangan pandang Terdapat 6-10 sel inflamasi per lapangan pandang Terdapat 11-15 sel inflamasi per lapangan pandang

3 2 1

J. Pengolahan dan Analisis Data

Hasil penelitian lalu akan dianalisis apakah memiliki distribusi normal (p>0,05) atau tidak secara statistik dengan uji normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah sampel ≤50. Kemudian dilakukan uji Levene untuk mengetahui apakah dua atau lebih kelompok data memiliki varians yang sama (p>0,05) atau tidak. Jika varians data berdistribusi normal dan homogen, akan dilanjutkan dengan metode uji parametrik repeated ANOVA (Analize of


(64)

47

Varian). Apabila tidak memenuhi syarat uji parametrik, akan dilakukan transformasi. Jika pada uji ANOVA menghasilkan nilai p<0,05 maka akan dilanjutkan dengan melakukan analisis post hoc LSD untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan. Apabila hasil transformasi tidak memenuhi syarat digunakan uji Friedman dan dilanjutkan dengan uji Wilcoxon (Dahlan, 2011). Pengolahan data menggunakan perangkat lunak komputer.


(65)

DAFTAR PUSTAKA

Aden, R. 2010. Manfaat dan Khasiat Madu. Hanggar Kreator. Yogyakarta. 128 hlm.

Aljady A.M., M.Y. Kamarudin, A.M. Jamal, and Yassim, Mohd. 2004. Biochemical study on the efficacy of Malaysian honey on inflicted wounds: an animal model. Medical Journal of Islamic Academiy Sciences. 13(3): 125-132.

Animal Care Program. Animal Specific Training: Rats. University of Wisconsin-Milwaukee. 2011. 8 Oktober 2012.

www4.uwm.edu/usa/acp/training/manual/manual_rats.cfm.

Anonim. 2006. Honey Dressings in Wound Care.

http://apitherapy.blogspot.com/2006/12/uk-nursing-magazine-outlines-evidence.html

Baxter, C.R. 1993. Management of Burn Wound. Dermatol Clin. 11: 709-714.

Berg, A.J., V.D. Worm, S.B. Halkes, M.J. Hoekstra, and C.J. Beukelman. 2008. An in Vitro Examination of The Antioxidant and Anti-Inflammatory Properties of Buckwheat Honey. Wound Care Journal. 22 September 2012. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18494436.

Bisono, P. 1997. Luka, Trauma, Syok dan Bencana. Hlm 81-91. Pada: Buku Ajar Ilmu Bedah. Syamsuhidajat R. and W.D. Jong. Jakarta: EGC.

Branski, L.K., G.C. Gauglit, D. Herndon, and G. Jeschke. 2009. A Review of Gene and Stem Cell Therapy in Cutaneous Wound Healing. Burns. 35: 171-180.


(66)

73

Broadhurst, C.L. 2000. Health and Healing with Bee Products. 2 Oktober 2012. http://www.livestrong.com/article/447463-difference-between-royal-jelly-propolis-honey/#ixzz2BMmHfwGf.

Burns J., L. Phillips, McCarthy J, Galiano R, Boutros S,editors. 2006. Current Therapy in Plastic Surgery. Philadelphia: Saunders Elsevier. Burns. 71-76.

CNE Series. 2006. Surgical Wound Dehiscence. MEDSURG Nursing. 15(5). Chan, K.M. 2006. Botulism. 12 Desember 2012.

http://www.emedicine.com/MED/topic238. htm,

Cho, M.K., M.A. Sung, D.S. Kin, H.G. Park, S.S. Jew, and Kim. 2003. 2- Oxo-3,23 isopropylidene-asiatate (AS2006A), a wound-healing - asiatate derivative, exerts anti-inflammatory effect by apoptosis of macrophages International Immunopharmacology. 3: 1429-1437. Cuttle, L., M. Kempf, G. Philips, J. Mill, M.T. Hayes, J.F. Fraser, X.Q. Wang,

and R.M. Kimble. 2006. A Porcine Deep Dermal Partial Thickness Burn Model with Hypertrophic Scarring. Burns. 32: 806-820.

Cynthia, A.W. 2005. Dermal.Nurs. 17(3): 204-206.

Dahlan, S. 2011. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi Lima. Jakarta: Salemba Medika.

Davis, S.C. and R. Perez. 2009. Cosmeceuticals and natural products: wound healing. Clin Dermatol. 27(5): 502-506.

Dealey, C. 2004. Epithelization- the care of wounds. Blackwell Science. Oxford. Dewi, D., Sanarto, and B. Taqiyah. 2008. Pengaruh frekuensi perawatan luka

bakar derajat II dengan madu nectar flora terhadap lama penyembuhan luka. (Skripsi). Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Brawijaya.

Doughty, D. 2005. Preventing and managing surgical wound dehiscence. Advances in Skin and Wound Care. 18(6): 319-322.


(1)

Broadhurst, C.L. 2000. Health and Healing with Bee Products. 2 Oktober 2012. http://www.livestrong.com/article/447463-difference-between-royal-jelly-propolis-honey/#ixzz2BMmHfwGf.

Burns J., L. Phillips, McCarthy J, Galiano R, Boutros S,editors. 2006. Current Therapy in Plastic Surgery. Philadelphia: Saunders Elsevier. Burns. 71-76.

CNE Series. 2006. Surgical Wound Dehiscence. MEDSURG Nursing. 15(5). Chan, K.M. 2006. Botulism. 12 Desember 2012.

http://www.emedicine.com/MED/topic238. htm,

Cho, M.K., M.A. Sung, D.S. Kin, H.G. Park, S.S. Jew, and Kim. 2003. 2- Oxo-3,23 isopropylidene-asiatate (AS2006A), a wound-healing - asiatate derivative, exerts anti-inflammatory effect by apoptosis of macrophages International Immunopharmacology. 3: 1429-1437. Cuttle, L., M. Kempf, G. Philips, J. Mill, M.T. Hayes, J.F. Fraser, X.Q. Wang,

and R.M. Kimble. 2006. A Porcine Deep Dermal Partial Thickness Burn Model with Hypertrophic Scarring. Burns. 32: 806-820.

Cynthia, A.W. 2005. Dermal.Nurs. 17(3): 204-206.

Dahlan, S. 2011. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi Lima. Jakarta: Salemba Medika.

Davis, S.C. and R. Perez. 2009. Cosmeceuticals and natural products: wound healing. Clin Dermatol. 27(5): 502-506.

Dealey, C. 2004. Epithelization- the care of wounds. Blackwell Science. Oxford. Dewi, D., Sanarto, and B. Taqiyah. 2008. Pengaruh frekuensi perawatan luka

bakar derajat II dengan madu nectar flora terhadap lama penyembuhan luka. (Skripsi). Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Brawijaya.

Doughty, D. 2005. Preventing and managing surgical wound dehiscence. Advances in Skin and Wound Care. 18(6): 319-322.


(2)

Erizal. 2008. Pengaruh Pembalut Hidrogel Kopolimer Polivinilpirrolidon (PVP)-κ -Karaginan Hasil Iradiasi dan Waktu Penyembuhan pada Reduksi Diameter Luka Bakar Tikus Putih Wistar. Indo. Journal Chem. 8(2): 271 – 278.

Gethin, G.T., C. Seamus, and M.C. Ronan. 2008. The impact of manuka honey dressing on the surface pH of chronic wounds. International Wound Journal. 5: 185-194.

Gheldof, N. and N.J. Engeseth. 2002. Antioxidant capacity of honeys from various floral sources based on the determination of oxygen radical absorbance capacity and inhibition of in vitro lipoprotein oxidation in humanserum samples. J Agric Food Chem. 50: 3050-3055.

Hamad, S. 2007. Terapi Madu. Jakarta : Pustaka Iman. 30 hlm.

Handian, F.I. 2006. Efektivitas perawatan menggunakan madu nektar flora dibandingkan dengan silver sulfadiazine terhadap penyembuhan luka bakar derajat II terinfeksi pada marmut. (Skripsi). Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

Hettiaratchy, S. and R. Papini. 2004. ABC of burns; initial management of major burn: II-assesment and resuscitation. BMJ. 329: 101-103.

Hess, C. 2002. Dressings in wound care. J Kowalak. 140- 442.

Indonesia Enterostomal Therapy Nurse Association (InETNA) dan Tim Perawatan Luka dan Stoma Rumah Sakit Dharmais. 2004. Perawatan Luka. Makalah Mandiri. Jakarta.

Intanwidya, Y. 2008. Analisa Madu dari Segi Kandungannya Berikut

Khasiatnya Masing-masing. 29 Januari 2010. www.mail-archive.com/forum@alumni/msg01046.html.

Isroi. 2010. Biology rat (Rattus norvegicus). 10 Oktober 2012. http://www.isroi.wordpress.com.

Jull, A.B., A. Rodger , and N. Walker. 2008. Honey as topikal treatment for wounds. Cochrane Database Syst Rev (4).


(3)

Junqueira, L.C. and J. Carneiro. 2007. Histologi Dasar Teks & Atlas. 10th ed. Jakarta: EGC.

Kartini, M. 2009. Efek Penggunaan Madu dalam Manajemen Luka Bakar. Jurnal kesehatan, 2(2): 17-19.

Khan, F.R., U. Abadin, and N. Rauf. 2007. Review Article : Honey: Nutritional and Medicinal value. International Journal of Clinical Practise, 61(10).

Lotfi, A. 2008. Use of Honey as a Medical Product in Wound Dressing (Human and Animal Studies): A Review. Res J Biol Sci. 3(1): 136-140.

Mansjoer, A. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.

Manjas, M., J. Henky, S. Agus. 2010. Penggunaan Krim Amnion pada Penyembuhan Luka Sayatan Tikus Wistar. Majalah kedokteran Indonesia. 60(6): 268-272.

Moenadjat Y. 2005. Resusitasi: Dasar-dasar manajemen luka bakar fase akut. Jakarta: Komite medik asosiasi luka bakar Indonesia. hal.5-20, 54-60. Moenadjat, Y. 2009. Luka Bakar Masalah dan Tata Laksana, edisi 4. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI.

Molan, P.C. 1998. The evidence for honey promoting wound healing. Primary Intention (The Australian Journal of wound management). 6: 148-158.

Molan, P.C. 1999. The role of honey in the management of wounds. Journal of Wound Care. 8: 423-426.

Molan, P.C. 2000. Establishing honey as a recognized medicine. The Journal of the American Apitherapy Society. 7: 7-9.

Molan, P.C. 2002. Re-introducing honey in the management of wounds and ulcers-theory and practice. Ostomy/Wound Management. 48(11): 28-40.


(4)

Molan, P.C. 2006. Using Honey in Wound Care. International Journal of Clinical Aromatheraphy France. 3(3): 21-24.

Moore, K.L. and AMR. Agur. 2001. Systematic Review of he Use of Honey as Wound Dressing. BMC Comlementary and Alternative Medicine. 1(2). Moore, K.L. and AMR. Agur. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta.

505 hlm.

Nagaoka, T., Y. Kaburagi, Y. Hamaguchi, M. Hasegawa, K. Takehara, and Steeber. 2000. Delayed wound healing in the absence of intercellular adhesion molecule-1 or L-selectin expression. Am. J. Pathol. 157: 237-47.

Natawidjaya, P.S. 1983. Mengenal Beberapa Binatang di Alam Sekitarnya. Jakarta: Pustaka Dian.

National Honey Board. Honey, a Reference Guide to Nature’s Sweetener. 2007.

NHB. 10 September 2011.

http://www.honey.com/images/downloads/refguide.pdf.

Novriansyah, R. 2008. Perbedaan kepadatan kolagen di sekitar luka insisi tikus wistar yang dibalut kassa konvensional dan penutup oklusif hidrokoloid selama 2 dan 14 hari. (Tesis). Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah Universitas Diponegoro.

Ollstein, R.N. 1996. Luka Bakar. Dalam Keterampilan Pokok Ilmu Bedah. Edisi Keempat. T.F. Nealon dan W.H. Nealon. Jakarta: EGC.

Pavletic, M.M. 1992. Veterynary Emergency and Critical Care Medicine. Editor Robert J. Murtaugh and Paul M. Kaplan. Mosby Year Book. New York. Potter and Parry. 2005. Fundamental Keperawatan; Konsep, Proses, dan

Praktik. Jakarta: EGC

Purbaya, J.R. 2002. Mengenal dan Memanfaatkan Khasiat Madu Alami. Pionir Jaya. Bandung.


(5)

Price, S.A. and L. Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC. Hlm 1416.

Riddle, J.A. 2001. NOSB Apiculture Task Force Report Draft Organic Apiculture Standards, Addendum I: Definition of Honey and Honey Products.

Rozaini, M.Z., Zuki, A.B.Z., Noordin, M.M., Norimah, Y., and Nazrul Hakim. 2005. Macroscopic evaluation of burn wounds healing progress treated with different types of honey. Pakistan Journal of Biological science. 8(5): 672-678.

Rozaini, M.Z., M.Z.A. Bakar, N. Yusof, N.M. Mustapha, M.N. Hakim, and A. Hasan. 2012. Honey Hydrogel Dressing to Treat Burn Wound in Rats - A Preliminary Report. Pertanika Journal Trop Agric Sci. 35: 67 – 74. Salmah, I., A.A. Mahmood, and K. Sidik. 2005. Synergistic effects of alcoholic

extract of sweet basil (Ocimum basilicum L.) leaves and honey on cutaneous wound healing in rats. International Journal of Molecular Medicine and Advance Sciences. 1: 220-224.

Sarwono. 2003. Lebah Madu. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Subrahmanyam, M., H. Archan and S.G. Pawar. 2001. Antibacterial Activity of Honey on Bacteria Isolated From Wounds. Annal of Burns and Fire Disasters. 14: 1-22.

Subrahmanyam, M. 1991. Topical Application of Honey in Treatment of Burns. Br. Journal Surg. 78: 497-498.

Suguna, L., G. Chandrakasan, and T. Joseph. 1992. Influence of honey on collagen metabolism during wound healing in rats. Journal of Clinical Biochemical Nutrition. 13: 7-12.

Suranto, A. 2007. Terapi Madu. Jakarta: Penebar Plus.

Suratman, S.A. Sumiwi, dan D. Gozali. 1996. Pengaruh Ekstrak Antanan dalam Bentuk Salep, Krim dan Jelly terhadap Penyembuhan Luka Bakar. Cermin Dunia Kedokteran. 108: 31-36.


(6)

Susan, Y. 2008. Hand Out Ekologi Tumbuhan. Universitas Islam Madura Pamekasan.

Schwartz, K. 2005. Burn Wound Infections. 15 Oktober 2012. www.emedicine.com/med/topic258.htm.

Standifer, L.N. 2007. Honey Bee Nutrition and Supplemental Feeding Excerpted from Beekeping in United States. USA.

Syamsulhidajat, R. and D.J. Wim. 2005. Buku –Ajar Ilmu Bedah. EGC. Hlm 72-101.

Tan, M.K., S.H.A. Durriyyah, M.A. Tumiran, M.A. Abdulla, and M.Y. Kamaruddin. 2012. The Efficacy of Gelam Honey Dressing towards Excisional Wound Healing. Medical Journal of University of Malaya. Thomas, R. 2007. Wound Healing. 20 Oktober 2012.

http://emedicene.com/ent/TOPIC13 HTM. Vincent, F. 2007. Wound Healing. 19 Desember 2012.

http://www.aad.org./professionals/residents/medStud.

Walton, R.L. 1990. Perawatan Luka dan Penderita Perlukaan Ganda, Alih bahasa. Sonny Samsudin, Cetakan I. Jakarta: EGC.

Yapucu. 2007. Effectiveness of a Honey Dressing for Healing Preassure Ulcers. Journal of Wound. 34(2). The Cochrane database.

Zhao, L., H. Mitomo, N. Nagasawa, F. Yoshii, and T. Kume. 2003. Radiation synthesis and characteristic of the hydrogels based on

carboxymethylated chitin derivatives. Carbohydrate Polymers. 51: 169-175.


Dokumen yang terkait

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DIBANDINGKAN DENGAN PEMBERIAN MUPIROSIN PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

4 38 62

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR ANTARA PEMBERIAN MADU DAN KLINDAMISIN SECARA TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

2 16 60

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU BUNGA AKASIA TOPIKAL, OXOFERIN, DAN OKSITETRASIKLIN PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN DEWASA GALUR Sprague Dawley

1 13 78

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA YANG DIBERI MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN MOIST EXPOSED BURN OINTMENT (MEBO) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) DEWASA JANTAN GALUR Sprague dawley

8 45 78

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA SAYAT TERBUKA ANTARA PEMBERIAN ETAKRIDIN LAKTAT DAN PEMBERIAN PROPOLIS SECARA TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

4 42 59

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN SILVER SULFADIAZINE PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 7 82

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DAN PEMBERIAN GENTAMISIN TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus)

1 17 71

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN TOPIKAL DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) TUMBUK DAN HIDROGEL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague Dawley

3 24 41

PERBANDINGANTINGKATKESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU DENGAN TUMBUKAN DAUN BINAHONG PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley

3 27 79

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA SAYAT TERBUKA ANTARA PEMBERIAN ETAKRIDIN LAKTAT DAN PEMBERIAN PROPOLIS SECARA TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

0 0 7