PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN SILVER SULFADIAZINE PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

(1)

ABSTRAK

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN

SILVER SULFADIAZINE PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

Oleh

ANGGA NUGRAHA

Silver sulfadiazine merupakan gold standard terapi luka bakar. Madu terbukti merupakan agen perawatan luka yang efektif. Efek penyembuhannya bergantung pada jenis, lokasi geografis, dan bunga produk akhir berasal. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara pemberian madu topikal nektar kopi dengan silver sulfadiazine pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.

Penelitian ini menggunakan rancangan post test only controlled group design terhadap 10 tikus yang dipilih secara random dengan variabel numerik berpasangan. Tikus diberi 3 luka bakar berdiameter 2cm dan diberi perawatan selama 14 hari. Sampel K1 dibersihkan dengan aquades 1x sehari, sampel K2 diberi silver sulfadiazine 2x sehari, dan sampel K3 diberi madu nektar kopi 2x sehari. Diameter luka bakar dihitung pada hari ke-1 dan ke-14 dan sampel kulit dibiopsi untuk pemeriksaan histopatologi.

Hasil uji statistik Repeated ANOVA menunjukkan terdapat perbedaaan signifikan pada ketiga kelompok (p<0,05). Tetapi pada uji pos-hoc paired wise comparison tidak terdapat perbedaan signifikan antara perlakuan K2 dengan K3. Meskipun demikian, pada gambaran klinis kulit tikus K3 tampak sembuh lebih cepat, sehingga madu nektar kopi memiliki tingkat kesembuhan yang lebih baik dibandingkan dengan silver sulfadiazine dalam penyembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih.


(2)

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN

SILVER SULFADIAZINE PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

JANTAN GALUR Sprague Dawley

Oleh

ANGGA NUGRAHA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(3)

Judul Skripsi : PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN SILVER SULFADIAZINE PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

Nama Mahasiswa : Angga Nugraha

Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011103

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

dr. Muhartono, M. Kes., Sp.PA dr. Tri Umiana Soleha, M.Kes NIP. 197012082001121001 NIP. 197609032005012001

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP. 195704241987031001


(4)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : dr. Muhartono, M. Kes., Sp.PA

Sekretaris : dr. Tri Umiana Soleha, M.Kes

Penguji

Bukan Pembimbing : dr. Evi Kurniawaty, M. Sc

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed

NIP. 195704241987031001


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kampung Dalam, Kerinci, Jambi pada tanggal 2 Februari 1992, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, dari Bapak Drs. H. Asrijal, MM dan Ibu Hj. Anita, S.Pd.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan pada tahun 1997, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SD Negeri 17/III koto beringin pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMP Negeri 4 Sungai Penuh pada tahun 2006, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 1 Sungai Penuh pada tahun 2009. Selama menjadi siswa SMP dan SMA, penulis pernah aktif pada Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) sebagai Ketua Umum dan Ketua I.

Tahun 2009, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur Ujian Masuk Universitas Lampung. Selama menjadi mahasiswa, penulis juga pernah aktif pada organisasi Forum Studi Islam Ibnu Sina (FSI Ibnu Sina) FK Unila sebagai anggota kaderisasi periode 2010/2011, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai anggota di bidang Pengabdian Masyarakat periode 2011/2012.


(6)

”....

Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang

bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan

bagi manusia. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat

tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berfikir

(QS. An Nahl: 69)

“N

iscaya Allah akan Meninggikan orang-orang yang beriman

diantara kamu dan orang-orang yang berilmu beberapa Derajat. Dan

Allah Maha Mengetahui apa yang kamu

kerjakan”

.

( QS. Al-Mujadalah:11)

....Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,

sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila

engkau telah selesai (dari suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk

urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.


(7)

Sebuah persembahan sederhana untuk

Papa, Mama, Abang, Adik, Kamu dan

Keluarga Besarku tercinta

Berangkat dengan penuh keyakinan

Berjalan dengan penuh keikhlasan


(8)

SANWACANA

Alhamdulillahi robbil’alamin, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala nikmat-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Skripsi dengan judul “Perbandingan Tingkat Kesembuhan Luka Bakar Derajat II antara Pemberian Madu Topikal Nektar Kopi dengan Silver Sulfadiazine pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Keluarga tercinta: Drs. H. Asrijal, MM., Hj. Anita, S.Pd, Yogi Sastra Dinata, S.E., serta Indah Iswara yang telah mengorbankan segalanya, selalu mendoakan, menguatkan, dan memberi motivasi agar penulis menjadi orang yang lebih baik lagi;

2. Bapak Dr. Sutyarso, M. Biomed., selaku dekan Fakultas Kedoketran Universitas Lampung beserta seluruh Dosen dan Karyawan di lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;


(9)

saran, kritik, dan dorongan moril dalam proses penyelesaian skripsi ini; 4. Ibu dr. Tri Umiana Soleha, M.Kes., selaku Dosen Pembimbing Kedua

yang telah meluangkan waktu, memberikan masukan dan dorongan yang sangat besar kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan;

5. Ibu dr. Evi Kurniawaty, M.Sc., selaku Dosen Penguji Utama pada Ujian Skripsi yang telah meluangkan waktu untuk membahas dan menguji serta memberikan saran-saran, ilmu, dan masukan kepada penulis;

6. Ibu dr.Hanna Mutiara dan dr. Agustyas Tjiptaningrum, Sp.PK., selaku Pembimbing Akademik penulis terima kasih atas bimbingan, pesan, dan nasehat yang telah diberikan selama ini;

7. Ranty Femilya Utami, yang senantiasa mendengarkan keluh-kesah, telah memberikan doa, dukungan, dan semangat yang tak henti-hentinya yang diberikan kepada penulis;

8. Seluruh Keluarga Besar penulis, terima kasih atas bantuan, doa, dan motivasi yang diberikan. Khususnya paman penulis, Jalwis Jamil, M.Ag. dan sejawat Ferdian Mei Sandra, yang senantiasa meluangkan waktu untuk bertukar pikiran, memberikan motivasi, dan doa kepada penulis;

9. Teman-teman sepenelitian “Honeymouse-Medicine” : Galih Wicaksono atas bantuan dan pengorbanan dari awal hingga kompre, Vindita Mentari, dan Elis Sri Alawiyah yang senantiasa memberikan motivasi dan semangat yang sangat berarti dalam penyelesaian skripsi ini. Serta saat-saat suka dan duka selama proses penelitian;


(10)

Maisuri, Arif Yudho Prabowo, Nanang Hidayatulloh, Fajar Al Habibi, Dyah Siahaan, terima kasih atas bantuan dan dukungannya;

11.Teman-teman DERMA, Apga, Toto, Wayan, Rizki DM, Bian, Memen, Uut, Risti, Anggi, Giska, Riska. Terima kasih atas kebersamaannya;

12.Teman-teman saat KKN, Septoni Permadi, Syahreza Nurdian, Jerry Pratama, Ahmada Basyara, I Kadek Adi, Nurul Aulia, Huda Nur Aini, Sari Pangastuti, Ni Putu Ratih, terimakasih atas kerjasama dan kebersamaannya;

13.Teman-teman angkatan 2009 yang tak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih telah memberikan makna atas kebersamaan yang terjalin dan memberi motivasi belajar;

14. Kakak-kakak dan adik-adik tingkatku (angkatan 20022012) yang sudah

memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin.

Bandar Lampung, 29 Januari 2013

Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I . PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Kerangka Teori ... 5

F. Kerangka Konsep ... 7

G. Hipotesis ... 8

II . TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan Histologi Kulit ... 9

1. Epidermis ... 10

2. Dermis ... ………... 10

3. Fascia superficialis ... 12

B. Luka Bakar ... 12

1. Definisi ... 12

2. Etiologi ... 13

3. Derajat dan luas luka bakar ... 13

4. Patofisiologi ... 16

5. Gambaran klinis ... 18

6. Pemeriksaan penunjang ... 18


(12)

8. Fase penyembuhan luka ... 22

C. Silver sulfadiazine ... 28

1. Indikasi dan dosis ... 29

2. Kontraindikasi ... 29

3. Efek samping obat ... 29

4. Mekanisme kerja obat ... 29

D. Madu ……….. ... 30

1. Gambaran umum madu ... 30

2. Jenis-jenis madu ... 31

3. Komposisi dan kandungan madu ... 31

4. Persyaratan madu ... 33

5. Penelitian manfaat madu terhadap penyembuhan luka . 33 E. Tikus Putih ... 35

1. Klasifikasi tikus putih ... 35

2. Jenis tikus putih ... 36

3. Biologi Tikus Putih ... 36

III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 39

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 40

C. Subyek Penelitian ... 41

1. Populasi ... 41

2. Sampel ... 41

D. Kriteria Inklusi dan Ekslusi ... 42

1. Inklusi ... 42

2. Eksklusi ... 42

E. Bahan dan Alat Penelitian ... 42

1. Bahan Penelitian ... 42

2. Alat Penelitian ... 43

F. Variabel Penelitian ... 43

1. Variabel Bebas ... 43

2. Variabel Terikat ... 43

G. Definisi Operasional ... 44

H. Prosedur Penelitian ... 45

1. Pembuatan Luka Bakar derajat II ... 45


(13)

3. Prosedur Operasional Pembuatan Slide ... 47

I. Cara Pengumpulan Data ... 50

1. Klinis ... 50

2. Histopatologi ... 51

J. Pengolahan dan Analisis Data ... 52

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 53

1. Histopatologi Kulit Tikus ... 54

2. Gambaran Klinis Kulit Tikus ... 61

B. Pembahasan ... 65

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 73

B. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Komposisi kimia madu per 100 gram ... 32

2. Standar mutu madu Indonesia ... 33

3. Data biologi tikus putih (Rattus norvegicus) ... 37

4. Jenis perlakuan penelitian ………..…………...…. 40

5. Definisi operasional...……… 44

6. Tabel penilaian mikroskopis... 52

7. Skor rerata 5 lapangan pandang... 58

8. Hasil uji Repeated ANOVA... 59

9. Hasil uji Pairwise Comparisons pada penilaian mikroskopis kulit tikus... 60

10. Persentase gambaran klinis kesembuhan luka bakar kulit tikus... 62

11. Persentase rata-rata penilaian gambaran klinis kulit tikus... 63

12. Hasil Uji Pairwise Comparisons terhadap persentase gambaran klinis kulit tikus... 64


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori ... 7

2. Kerangka konsep ... 8

3. Fotomikrograf sediaan kulit tebal ... 11

4. Struktur kulit dan jaringan subkutan ... 12

5. Derajat luka bakar ... 15

6. Luasnya luka bakar ... 16

7. Penanganan penderita luka bakar berat ... 20

8. Perawatan luka ... 21

9. Manifestasi lokal utama pada inflamasi akut ... 24

10.Inflamasi kronik pada paru, memperlihatkan tiga gambaran histologis khas... 25

11.Jaringan granulasi………... 27

12.Diagram alur penelitian... 49

13.Diameter luka bakar... 50

14.Gambaran pembentukan kolagen histopatologis kulit tikus K1 dengan pewarnaan H.E (perbesaran 40X)... 54

15.Gambaran histopatologis kulit tikus K1 dengan pewarnaan H.E (perbesaran 40X)... 55

16.Gambaran histopatologis kulit tikus K2 dengan pewarnaan H.E (perbesaran 40X)... 55


(16)

17.Jumlah sel inflamasi gambaran histopatologis kulit tikus K2 dengan pewarnaan H.E (perbesaran 40X)... 56 18.Gambaran kolagen dan epitelisasi sediaan histopatologis kulit

tikus K3 dengan pewarnaan H.E (perbesaran 40X)... 57 19.Gambaran pembentukan pembuluh darah baru dan jumlah sel

inflamasi pada sediaan histopatologis kulit tikus K3 dengan pewarnaan H.E (perbesaran 40X)... 57 20.Rata-rata penilaian mikroskopis kulit tikus... 60 21.Persentase rata-rata tingkat kesembuhan gambaran klinis kulit


(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi luka bakar tertinggi terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Riau sama-sama 3,8% sedangkan di Provinsi Lampung tercatat sebesar 1,7% dari keseluruhan kasus cedera. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganan luka bakar pun cukup tinggi. Penyebab luka bakar selain terbakar api langsung atau tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari api, misalnya tersiram air panas, banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga (Sjamsuhidajat, 2004; DEPKES RI, 2007).

Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap trauma suhu/termal. Luka bakar dengan ketebalan parsial merupakan luka bakar yang tidak merusak epitel kulit maupun hanya merusak sebagian dari epitel. Biasanya dapat pulih dengan penangan konservatif. Luka bakar dengan ketebalan penuh (full thickness) merusak semua sumber-sumber pertumbuhan


(18)

kembali epitel kulit dan bisa membutuhkan eksisi dan cangkok kulit jika luas (Grace, 2005).

Luka bakar merupakan tempat ideal bagi pertumbuhan mikroorganisme, serum dan debris menyediakan nutrien, dan cedera luka bakar itu sendiri menyebabkan gangguan aliran darah sehingga respon peradangan tidak efektif. Penyebab tersering adalah kuman oportunistik Pseudomonas aeruginosa, tetapi strain bakteri resisten antibiotik yang ditularkan di rumah sakit, seperti Staphylococcus aureus, serta jamur, terutama spesies Candida, juga mungkin terlibat (Kumar dkk., 2007).

Penggunaan silver sulfadiazine telah menjadi gold standard untuk terapi topikal pada luka bakar. Obat silver sulfadiazine sering dipakai dalam bentuk krim 1%. Krim ini sangat berguna karena bersifat bakteriostatik, mempunyai daya tembus yang cukup efektif terhadap semua kuman, tidak menimbulkan resistensi dan aman digunakan (Koller, 2004; Sjamsuhidajat, 2004).

Harga krim silver sulfadiazine 1% masih cukup mahal, sehingga tidak semua masyarakat Indonesia mampu membelinya. Penggunaan bahan-bahan alami yang memiliki khasiat pengobatan telah lama dikenal dan digunakan oleh masyarakat, dan beberapa diantaranya telah lulus uji farmakologi dan analisis zat aktif yang menunjang khasiatnya. Hal ini didukung oleh tingginya sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pengobatan, salah satunya adalah madu.


(19)

Madu telah terbukti merupakan agen perawatan luka yang efektif, namun belum digunakan secara luas dalam lingkup profesional. Penggunaan madu pada luka terbukti meningkatkan waktu penyembuhan luka 4 kali lebih cepat dibandingkan dengan agen perawatan luka yang lain. Literatur lain juga menunjukan bahwa madu dapat mengurangi tingkat infeksi. Sebagai tambahan, madu juga jarang mengakibatkan alergi, serta lebih efektif dari segi biaya. Efek penyembuhan luka dan sifat antimikroba yang dimiliki madu juga tergantung pada jenisnya, lokasi geografis, dan bunga dari mana produk akhir berasal (Kartini, 2009; Rio dkk., 2012).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diketahui bahwa luka bakar rentan untuk terjadi infeksi dan penggunaan obat topikal seperti silver sulfadiazine sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya infeksi, namun tingginya kandungan dan manfaat madu sebagai terapi luka bakar diharapkan dapat mengganti silver sulfadiazine yang harganya cukup mahal dan sulit dijangkau oleh masyarakat. Oleh sebab itu peneliti mencoba untuk meneliti lebih jauh tentang bagaimanakah perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara pemberian madu topikal nektar kopi yang banyak terdapat di Provinsi Lampung dengan silver sulfadiazine pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.


(20)

B. Rumusan Masalah

Bagaimana perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara pemberian madu topikal nektar kopi dengan silver sulfadiazine pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara pemberian madu topikal nektar kopi dengan silver sulfadiazine pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih yang dioles madu.

b. Mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih yang dioles silver sulfadiazine.

D. Manfaat Penelitian

1. Menambah wawasan peneliti tentang terapi madu yang dapat digunakan untuk pengobatan luka bakar.


(21)

2. Dapat memberikan informasi bagi masyarakat tentang pemanfaatan madu dalam penyembuhan luka bakar.

3. Memberikan alternatif pengobatan dengan menggunakan madu dalam penyembuhan luka bakar yang lebih ekonomis dan mudah dijangkau oleh masyarakat.

4. Memberikan informasi serta sebagai tambahan kepustakaan yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

E. Kerangka Teori

Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap trauma suhu/termal. Luka bakar dengan ketebalan parsial merupakan luka bakar yang tidak merusak epitel kulit maupun hanya merusak sebagian dari epitel. Proses penyembuhan luka bakar bergantung pada penyebab luka bakar, derajat dan luas luka bakar, lokasi serta ada atau tidaknya komplikasi, pada faktor host seperti usia penderita dan status gizi serta faktor lingkungan seperti metode perawatan dan sterilitas ruang perawatan juga bepengaruh pada penyembuhan luka untuk mencegah adanya infeksi sekunder oleh mikroorganisme atau penyebab infeksi lain. Pada penyembuhan luka terdapat 3 fase, yaitu inflamasi, proliferasi, dan penyudahan yang merupakan perupaan kembali (remodelling) jaringan. Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari ke-5, fase proliferasi berlangsung dari hari ke-5 sampai akhir


(22)

minggu ke-3, dan fase remodelling dapat berlangsung berbulan-bulan sampai semua tanda radang sudah lenyap (Sjamsuhidajat, 2004).

Penggunaan obat-obatan pada luka bakar seperti antibiotik sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah infeksi. Obat topikal yang dipakai dapat berbentuk larutan, salep, atau krim. Pemakaian silver sulfadiazine, dalam bentuk krim 1% sangat berguna karena bersifat bakteriostatik, mempunyai daya tembus yang cukup, efektif terhadap semua kuman (Sjamsuhidajat, 2004).

Madu memiliki 4 karakteristik yang efektif melawan pertumbuhan bakteri. Karakteristik-karakteristik itu adalah tinggi kandungan gula, kadar kelembaban rendah, asam glukonik (yang menciptakan suasana asam, pH 3,2−4,5) dan hidrogen peroksida. Kadar gula yang tinggi dan kadar kelembaban yang rendah akan membuat madu memiliki osmolaritas yang tinggi, yang akan menghambat pertumbuhan bakteri serta mempercepat proses penyembuhan luka bakar (Suranto, 2004; Khan dkk., 2007).


(23)

Inflamasi Proliferasi Remodelling

Gambar 1. Kerangka teori

F. Kerangka Konsep

Penelitian dilakukan dengan menggunakan 10 ekor tikus jantan dimana masing-masing tikus diberi 3 luka bakar berdiameter 2 cm serta jenis nutrisi dan kuantitas yang sama. Pada luka bakar terdiri dari sampel kontrol, sampel madu, dan sampel silver sulfadiazine. Pada hari pertama dan hari terakhir penelitian dilakukan pengukuran diamater luka kulit tikus.

Hari ke: 1 5 21

FAKTOR HOST

- Umur

- Berat badan

METODE ENVIRONMENT

- Metode perawatan

- Ruang perawatan FAKTOR LUKA

- Derajat

- Luas

- Lokasi

- Komplikasi

LUKA BAKAR LUKA SEMBUH


(24)

Gambar 2. Kerangka konsep

G. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah madu nektar kopi memiliki tingkat kesembuhan yang lebih baik dibandingkan dengan silver sulfadiazine dalam penyembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley.

Kontrol Silver

Sulfadiazine

Madu Tikus dengan luka bakar

derajat II berdiameter 2 cm

Gambaran histopatologi kulit tikus Gambaran klinis kulit tikus


(25)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Prevalensi cedera luka bakar di Indonesia sebesar 2,2% dimana prevalensi luka bakar tertinggi terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Riau sama-sama 3,8% sedangkan di Provinsi Lampung tercatat sebesar 1,7% dari keseluruhan kasus cedera. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganan luka bakar pun cukup tinggi. Penyebab luka bakar selain terbakar api langsung atau tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari api, misalnya tersiram air panas, banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga (Sjamsuhidajat, 2004; DEPKES RI, 2007).

Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap trauma suhu/termal. Luka bakar dengan ketebalan parsial merupakan luka bakar yang tidak merusak epitel kulit maupun hanya merusak sebagian dari epitel. Biasanya dapat pulih dengan penangan konservatif. Luka bakar dengan ketebalan penuh (full thickness) merusak semua sumber-sumber pertumbuhan


(26)

kembali epitel kulit dan bisa membutuhkan eksisi dan cangkok kulit jika luas (Grace, 2005).

Luka bakar merupakan tempat ideal bagi pertumbuhan mikroorganisme, serum dan debris menyediakan nutrien, dan cedera luka bakar itu sendiri menyebabkan gangguan aliran darah sehingga respon peradangan tidak efektif. Penyebab tersering adalah kuman oportunistik Pseudomonas aeruginosa, tetapi strain bakteri resisten antibiotik yang ditularkan di rumah sakit, seperti Staphylococcus aureus, serta jamur, terutama spesies Candida, juga mungkin terlibat (Kumar dkk., 2007).

Penggunaan silver sulfadiazine telah menjadi gold standard untuk terapi topikal pada luka bakar. Obat silver sulfadiazine sering dipakai dalam bentuk krim 1%. Krim ini sangat berguna karena bersifat bakteriostatik, mempunyai daya tembus yang cukup efektif terhadap semua kuman, tidak menimbulkan resistensi dan aman digunakan (Koller, 2004; Sjamsuhidajat, 2004).

Harga krim silver sulfadiazine 1% masih cukup mahal, sehingga tidak semua masyarakat Indonesia mampu membelinya. Penggunaan bahan-bahan alami yang memiliki khasiat pengobatan telah lama dikenal dan digunakan oleh masyarakat, dan beberapa diantaranya telah lulus uji farmakologi dan analisis zat aktif yang menunjang khasiatnya. Hal ini didukung oleh tingginya sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pengobatan, salah satunya adalah madu.


(27)

Madu telah terbukti merupakan agen perawatan luka yang efektif, namun belum digunakan secara luas dalam lingkup profesional. Penggunaan madu pada luka terbukti meningkatkan waktu penyembuhan luka 4 kali lebih cepat dibandingkan dengan agen perawatan luka yang lain. Literatur lain juga menunjukan bahwa madu dapat mengurangi tingkat infeksi. Sebagai tambahan, madu juga jarang mengakibatkan alergi, serta lebih efektif dari segi biaya. Efek penyembuhan luka dan sifat antimikroba yang dimiliki madu juga tergantung pada jenisnya, lokasi geografis, dan bunga dari mana produk akhir berasal (Kartini, 2009; Rio dkk., 2012).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diketahui bahwa luka bakar rentan untuk terjadi infeksi dan penggunaan obat topikal seperti silver sulfadiazine sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya infeksi, namun tingginya kandungan dan manfaat madu sebagai terapi luka bakar diharapkan dapat mengganti silver sulfadiazine yang harganya cukup mahal dan sulit dijangkau oleh masyarakat. Oleh sebab itu peneliti mencoba untuk meneliti lebih jauh tentang bagaimanakah perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara pemberian madu topikal nektar kopi yang banyak terdapat di Provinsi Lampung dengan silver sulfadiazine pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.


(28)

B. Rumusan Masalah

Bagaimana perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara pemberian madu topikal nektar kopi dengan silver sulfadiazine pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara pemberian madu topikal nektar kopi dengan silver sulfadiazine pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih yang dioles madu.

b. Mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih yang dioles silver sulfadiazine.

D. Manfaat Penelitian

1. Menambah wawasan peneliti tentang terapi madu yang dapat digunakan untuk pengobatan luka bakar.


(29)

2. Dapat memberikan informasi bagi masyarakat tentang pemanfaatan madu dalam penyembuhan luka bakar.

3. Memberikan alternatif pengobatan dengan menggunakan madu dalam penyembuhan luka bakar yang lebih ekonomis dan mudah dijangkau oleh masyarakat.

4. Memberikan informasi serta sebagai tambahan kepustakaan yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.

E. Kerangka Teori

Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap trauma suhu/termal. Luka bakar dengan ketebalan parsial merupakan luka bakar yang tidak merusak epitel kulit maupun hanya merusak sebagian dari epitel. Proses penyembuhan luka bakar bergantung pada penyebab luka bakar, derajat dan luas luka bakar, lokasi serta ada atau tidaknya komplikasi, pada faktor host seperti usia penderita dan status gizi serta faktor lingkungan seperti metode perawatan dan sterilitas ruang perawatan juga bepengaruh pada penyembuhan luka untuk mencegah adanya infeksi sekunder oleh mikroorganisme atau penyebab infeksi lain. Pada penyembuhan luka terdapat 3 fase, yaitu inflamasi, proliferasi, dan penyudahan yang merupakan perupaan kembali (remodelling) jaringan. Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai hari ke-5, fase proliferasi berlangsung dari hari ke-5 sampai akhir


(30)

minggu ke-3, dan fase remodelling dapat berlangsung berbulan-bulan sampai semua tanda radang sudah lenyap (Sjamsuhidajat, 2004).

Penggunaan obat-obatan pada luka bakar seperti antibiotik sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah infeksi. Obat topikal yang dipakai dapat berbentuk larutan, salep, atau krim. Pemakaian silver sulfadiazine, dalam bentuk krim 1% sangat berguna karena bersifat bakteriostatik, mempunyai daya tembus yang cukup, efektif terhadap semua kuman (Sjamsuhidajat, 2004).

Madu memiliki 4 karakteristik yang efektif melawan pertumbuhan bakteri. Karakteristik-karakteristik itu adalah tinggi kandungan gula, kadar kelembaban rendah, asam glukonik (yang menciptakan suasana asam, pH 3,2−4,5) dan hidrogen peroksida. Kadar gula yang tinggi dan kadar kelembaban yang rendah akan membuat madu memiliki osmolaritas yang tinggi, yang akan menghambat pertumbuhan bakteri serta mempercepat proses penyembuhan luka bakar (Suranto, 2004; Khan dkk., 2007).


(31)

Inflamasi Proliferasi Remodelling

Gambar 1. Kerangka teori

F. Kerangka Konsep

Penelitian dilakukan dengan menggunakan 10 ekor tikus jantan dimana masing-masing tikus diberi 3 luka bakar berdiameter 2 cm serta jenis nutrisi dan kuantitas yang sama. Pada luka bakar terdiri dari sampel kontrol, sampel madu, dan sampel silver sulfadiazine. Pada hari pertama dan hari terakhir penelitian dilakukan pengukuran diamater luka kulit tikus.

Hari ke: 1 5 21

FAKTOR HOST

- Umur

- Berat badan

METODE ENVIRONMENT

- Metode perawatan

- Ruang perawatan FAKTOR LUKA

- Derajat

- Luas

- Lokasi

- Komplikasi

LUKA BAKAR LUKA SEMBUH


(32)

Gambar 2. Kerangka konsep

G. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah madu nektar kopi memiliki tingkat kesembuhan yang lebih baik dibandingkan dengan silver sulfadiazine dalam penyembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley.

Kontrol Silver

Sulfadiazine

Madu Tikus dengan luka bakar

derajat II berdiameter 2 cm

Gambaran histopatologi kulit tikus Gambaran klinis kulit tikus


(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Histologi Kulit

Kulit merupakan organ terbesar tubuh, terdiri dari lapisan sel di permukaan yang disebut dengan epidermis, dan lapisan jaringan ikat yang lebih dalam, dikenal sebagai dermis. Kulit berguna untuk:

1. Perlindungan terhadap cedera dan kehilangan cairan, misalnya pada luka bakar ringan,

2. Pengaturan suhu tubuh melalui kelenjar keringat dan pembuluh darah, 3. Sensasi melalui saraf kulit dan ujung akhirnya yang bersifat sensoris,

misalnya untuk rasa sakit (Moore, 2002).

Fascia superficialis terdiri dari jaringan ikat jarang dan lemak. Fascia superficialis (hipodermis) ini terletak antara dermis dan fascia profunda di bawahnya, dan mengandung kelenjar keringat, pembuluh darah, limfe (getah bening) dan saraf kulit. Fascia profunda merupakan jaringan ikat padat yang susunannya lebih teratur dan berguna untuk menetapkan struktur dalam (misalnya otot) pada tempatnya (Moore, 2002).


(34)

Secara mikroskopis kulit terdiri dari 3 lapisan, yaitu epidermis, dermis dan lemak subkutan (Price, 2005).

1. Epidermis

Epidermis terdiri atas 5 lapisan sel penghasil keratin (keratinosit) yaitu: a. Stratum basal (stratum germinativum), terdiri atas selapis sel kuboid

atau silindris basofilik yang terletak di atas lamina basalis pada perbatasan epidermis-dermis,

b. Stratum spinosum, terdiri atas sel-sel kuboid, atau agak gepeng dengan inti ditengah dan sitoplasma dengan cabang-cabang yang terisi berkas filamen,

c. Stratum granulosum, terdiri atas 3−5 lapis sel poligonal gepeng yang sitoplasmanya berisikan granul basofilik kasar,

d. Stratum lusidum, tampak lebih jelas pada kulit tebal, lapisan ini bersifat translusens dan terdiri atas lapisan tipis sel epidermis eosinofilik yang sangat gepeng,

e. Stratum korneum, lapisan ini terdiri atas 15−20 lapis sel gepeng berkeratin tanpa inti dengan sitoplasma yang dipenuhi skleroprotein filamentosa birefringen, yakni keratin (Junqueira, 2007).

2. Dermis

Dermis terdiri atas 2 lapisan dengan batas yang tidak nyata, stratum papilare di sebelah luar dan stratum retikular yang lebih dalam.

a. Stratum papilar, terdiri atas jaringan ikat longgar, fibroblas dan sel jaringan ikat lainnya terdapat di stratum ini seperti sel mast dan


(35)

makrofag. Dari lapisan ini, serabut lapisan kolagen khusus menyelip ke dalam lamina basalis dan meluas ke dalam dermis. Serabut kolagen tersebut mengikat dermis pada epidermis dan disebut serabut penambat,

b. Stratum retikular, terdiri atas jaringan ikat padat tak teratur (terutama kolagen tipe I), dan oleh karena itu memiliki lebih banyak serat dan lebih sedikit sel daripada stratum papilar (Junqueira, 2007).

Dermis kaya dengan jaring-jaring pembuluh darah dan limfa. Di daerah kulit tertentu, darah dapat langsung mengalir dari arteri ke dalam vena melaui anastomosis atau pirau arteriovenosa. Pirau ini berperan sangat penting pada pengaturan suhu. Selain komponen tersebut, dermis mengandung beberapa turunan epidermis, yaitu folikel rambut kelenjar keringat dan kelenjar sebasea (Junqueira, 2007).


(36)

3. Fascia superficialis

Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar yang mengikat kulit secara longgar pada organ-organ di bawahnya, yang memungkinkan kulit bergeser di atasnya. Hipodermis sering mengandung sel-sel lemak yang jumlahnya bervariasi sesuai daerah tubuh dan ukuran yang bervariasi sesuai dengan status gizi yang bersangkutan. Lapisan ini juga disebut sebagai jaringan subkutan dan jika cukup tebal disebut panikulus adiposus (Junqueira, 2007).

Gambar 4. Struktur kulit dan jaringan subkutan (Moore, 2002)

B. Luka Bakar

1. Definisi

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan (Sjamsuhidajat, 2004).


(37)

Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutan terhadap trauma suhu. Luka bakar dengan ketebalan parsial merupakan luka bakar yang tidak merusak epitel kulit maupun hanya merusak sebagian dari epitel. Luka bakar dengan ketebalan penuh merusak semua sumber-sumber pertumbuhan kembali epitel kulit dan bisa membutuhkan eksisi dan cangkok kulit jika luas (Grace, 2006).

2. Etiologi

Penyebab tersering menurut Grace (2006) adalah:

a. Trauma suhu yang berasal dari sumber panas yang kering atau sumber panas yang lembab.

b. Listrik. c. Kimia. d. Radiasi.

3. Derajat dan luas luka bakar

Luka bakar biasanya dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka bakar. Walaupun demikian, beratnya luka bergantung pada dalam, luas dan letak luka. Umur dan keadaan kesehatan penderita sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu dan lamanya pajanan suhu tinggi (Sjamsuhidajat, 2004).

a. Luka bakar derajat I

Luka bakar derajat I hanya mengenai epidermis dan biasanya sembuh dalam 5−7 hari; misalnya tersengat matahari. Luka tampak sebagai


(38)

eritema dengan keluhan rasa nyeri atau hipersensitivitas setempat (Sjamsuhidajat, 2004).

b. Luka bakar derajat II

Luka bakar derajat II mencapai kedalaman dermis, tetapi masih ada elemen epitel sehat yang tersisa. Elemen epitel tersebut, misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya sisa sel epitel ini, luka dapat sembuh sendiri dalam 2 sampai 3 minggu. Gejala yang timbul adalah nyeri, gelembung, atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh darah karena permeabilitas dindingnya meninggi (Sjamsuhidajat, 2004).

c. Luka bakar derajat III

Luka bakar derajat III meliputi seluruh kedalaman kulit dan mungkin subkutis, atau organ yang lebih dalam. Tidak ada lagi elemen epitel hidup yang tersisa yang memungkinkan penyembuhan dari dasar luka. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kesembuhan harus dilakukan cangkok kulit. Kulit tampak pucat, abu-abu, gelap atau hitam, dengan permukaan lebih rendah dari jaringan sekeliling yang masih sehat tidak ada bula dan tidak terasa nyeri (Sjamsuhidajat, 2004).


(39)

Gambar 5. Derajat luka bakar (Burn Injury Recovery Center, 2012).

Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Pada orang dewasa digunakan rumus 9, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung, perut, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%, sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa. Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas permukaan relatif kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi dan rumus 10−15−20 untuk anak. Untuk anak, kepala dan leher 15%, badan depan dan belakang masing 20%, esktremitas atas kanan dan kiri masing-masing 10%, ekstremitas bawah kanan dan kiri masing-masing-masing-masing 15% (Sjamsuhidajat, 2004).


(40)

Gambar 6. Luasnya luka bakar (Sjamsuhidajat, 2004).

Wallace membagi tubuh atas bagian-bagian 9% atau kelipatan dari 9, terkenal dengan nama Rule of Nine atau Rule of Wallace (Sjamsuhidajat, 2004).

1. Kepala dan leher : 9 %

2. Lengan : 18 %

3. Badan Depan : 18 % 4. Badan Belakang : 18 %

5. Tungkai : 36 %

6. Genitalia/perineum : 1 %

Jadi, total nilai untuk keseluruhan bagian tubuh bila dijumlahkan menjadi 100%.

4. Patofisiologi

Dampak pertama pertama yang ditimbulkan luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan. Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi


(41)

mengalami kerusakan dan peningkatan permeabilitas. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit, hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskular. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan dikarenakan oleh adanya penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III. Setelah 12−24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah, hal ini ditandai dengan meningkatnya diuresis (Sjamsuhidajat, 2004).

Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik jelek. Luka


(42)

bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang (Sjamsuhidajat, 2004).

5. Gambaran klinis

Menurut Grace (2006), gambaran klinis dapat dilihat dari keadaaan umum dan khusus berupa:

a. Umum:

- Nyeri.

- Pembengkakan dan lepuhan

b. Khusus:

- Bukti adanya inhalasi asap seperti jelaga pada hidung atau sputum,

luka bakar dalam mulut, dan suara serak.

- Luka bakar pada mata atau alis mata. - Luka bakar sirkumferensial.

6. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaaan penunjang menurut Grace (2006) yang dilakukan adalah : a. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)

b. Ureum dan elektrolit

c. Jika curiga trauma inhalasi: rontgen toraks, gas darah arteri, perkiraan CO.

d. Golongan darah dan cross match.


(43)

f. Pada anak-anak lakukan cek gula darah secara berkala untuk menghindari hipoglikemi.

7. Penatalaksanaan luka bakar

Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh, misalnya dengan menyelimuti dan menutup bagian yang terbakar untuk menghentikan pasokan oksigen pada api yang menyala. Korban dapat mengusahakannya dengan cepat menjatuhkan diri dan berguling agar bagian pakaian yang terbakar tidak meluas. Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat diakhiri misalnya dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menceburkan diri ke air dingin, atau melepaskan baju yang tersiram air panas (Sjamsuhidajat, 2004).

Pertolongan pertama setelah sumber panas dihilangkan adalah merendam daerah luka bakar dalam air atau menyiraminya dengan air mengalir selama sekurang-kurangnya 15 menit. Proses koagulasi protein sel di jaringan yang terpajan suhu tinggi berlangsung terus setelah api dipadamkan sehingga destruksi tetap meluas. Proses ini dapat dihentikan dengan mendinginkan daerah yang terbakar dan mempertahankan suhu dingin ini pada jam pertama. Pada luka bakar ringan, prinsip penanganan utama adalah mendinginkan daerah yang terbakar dengan air, mencegah infeksi dan memberi kesempatan sisa-sisa sel epitel untuk berpoliferasi, dan menutup permukaan luka. Luka dapat dirawat secara tertutup atau terbuka (Sjamsuhidajat, 2004).


(44)

Pada luka bakar berat, selain penanganan umum seperti pada luka bakar ringan, jika perlu dilakukan resusitasi segera bila penderita menunjukan gejala syok. Bila penderita menunjukan gejala terbakarnya jalan napas, diberikan campuran udara lembab dan oksigen. Kalau terjadi udem laring, dipasang pipa endotrakea atau dibuat trakeostomi. Trakeostomi berfungsi untuk membebaskan jalan napas, mengurangi ruang mati, dan memudahkan pembersihan jalan napas dari lendir atau kotoran. Bila ada dugaan keracunan CO, diberikan oksigen murni (Sjamsuhidajat, 2004).

Gambar 7. Penangan penderita luka bakar berat. Ket: 1. Pemasangan infus untuk restorasi keseimbangan cairan dan elektrolit; 2. Pemasangan kateter buli-buli untuk pemantauan diuresis; 3. Pipa lambung untuk mengosongkan lambung selama ada ileus paralitik; 4. Pemasangan CVP untuk pemantauan sirkulasi darah; 5. Intubasi atau trakeostomi jika perlu; 6. Imunisasi tetanus; 7. Pemasangan bidai kalau perlu; 8. Debridemen/nekrotomi (Sjamsuhidajat, 2004).

Sebelum infus diberikan, luas dan dalamnya luka bakar harus ditentukan secara teliti. Kemudian, dihitung jumlah cairan infus yang akan diberikan. Antibiotik sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah infeksi. Yang banyak dipakai adalah golongan aminoglikosida yang efektif terhadap


(45)

pseudomonas. Bila ada infeksi, antibiotik diberikan berdasarkan hasil biakan dan uji kepekaan kuman. Obat suportif diberikan secara rutin. Antasida diberikan untuk pencegahan tukak beban dan antipiretik diberikan bila suhu tinggi (Sjamsuhidajat, 2004).

Untuk pengobatan lokal, luka bakar derajat I dan II yang menyisakan elemen epitel berupa kelenjar sebasea, kelenjar keringat, atau pangkal rambut, dapat diharapkan sembuh sendiri asal dijaga supaya elemen epitel tersebut tidak hancur atau rusak karena infeksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan infeksi. Pada luka bakar lebih dalam perlu diusahakan secepat mungkin membuang jaringan kulit yang mati dan memberikan obat topikal yang daya tembusnya tinggi sampai mencapai dasar jaringan mati. Perawatan setempat dapat dilakukan secara terbuka dan tertutup (Sjamsuhidajat, 2004).

Gambar 8. Perawatan luka. Ket: A. Balut tekan cocok untuk ekstremitas; tebal sekurang-kurangnya 2cm, jari kelihatan; B. Cara terbuka; bila teradapat banyak serangga dapat dipakai kelambu (Sjamsuhidajat, 2004).

Obat topikal yang dipakai dapat berbentuk larutan, salep, atau krim. Antibiotik yang dapat diberikan dalam bentuk sediaan kasa. Antiseptik


(46)

yang dipakai adalah yodium povidon atau nitras argenti 0,5%. Kompres nitras-argenti yang selalu dibasahi tiap 2 jam efektif sebagai bakteriostatik untuk semua kuman. Obat ini mengendap sebagai garam sulfida atau klorida yang memberi warna hitam sehingga mengotori semua kain. Obat lain yang banyak diapakai adalah silver sulfadiazine, dalam bentuk krim 1%. Krim ini sangat berguna karena bersifat bakteriostatik, mempunyai daya tembus yang cukup, efektif terhadap semua kuman, tidak menimbulkan resistensi dan aman. Krim ini dioleskan tanpa pembalut dan dapat dibersihkan dan diganti setiap hari (Sjamsuhidajat, 2004).

8. Fase penyembuhan luka

Proses yang terjadi pada jaringan rusak ialah penyembuhan luka yang dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu inflamasi, proliferasi, dan penyudahan yang merupakan perupaan kembali (remodelling) jaringan (Sjamsuhidajat, 2004).

a. Fase inflamasi

Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari ke-5. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan berusaha menghentikannya dengan vasokontriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi) dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melengket, dan bersama jala fibrin yang terbentuk, membekukan darah yang keluar dari pembuluh darah dan sementara itu terjadi reaksi inflamasi (Sjamsuhidajat, 2004).


(47)

Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi, penyerbukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan edema dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinis reaksi radang menjadi jelas yang berupa warna kemerahan kapiler melebar (rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor). Aktivitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen baru sedikit dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang amat lemah (Sjamsuhidajat, 2004).

Inflamasi terbagi menjadi 2 pola dasar, yaitu: 1. Inflamasi akut

Inflamasi akut berlangsung relatif singkat, dari beberapa menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan eksudasi cairan dan protein plasma serta akumulasi leukosit netrofilik yang menonjol. Inflamasi akut merupakan respon segera dan dini terhadap jejas yang dirancang untuk mengirimkan leukosit ke tempat jejas. Sesampainya ditempat jejas, leukosit membersihkan setiap mikroba yang menginvasi dan memulai proses penguraian jaringan nekrotik (Sjamsuhidajat, 2004).


(48)

Proses ini memiliki 2 komponen utama:

1. Perubahan vaskular: perubahan dalam kaliber pembuluh darah (vasodilatasi) dan perubahan struktural yang memungkinkan protein plasma untuk meninggalkan sirkulasi (peningkatan permeabilitas vaskular),

2. Berbagai kejadian yang terjadi pada sel: emigrasi leukosit dari mikrosirkulasi dan akumulasinya di fokus jejas (rekrutmen dan aktivasi selular) (Sjamsuhidajat, 2004).

Gambar 9. Manifestasi lokal utama pada inflamasi akut. Ket: 1.Dilatasi

pembuluh darah (menyebabkan eritema dan hangat);

2.Ekstavasasi cairan plasma dan protein (edema); dan 3.Emigrasi dan akumulasi leukosit di tempat jejas (Kumar dkk., 2007).

2. Inflamasi kronik

Inflamasi kronik dapat diaanggap sebagai inflamasi memanjang, pada inflamasi kronik terjadi inflamasi aktif, jejas jaringan dan penyembuhan secara serentak. Perbedaan inflamasi kronik dengan inflamasi akut, dilihat dari perubahan vaskular, edema, dan infiltrat


(49)

neutrofilik yang meningkat, inflamasi kronik ditandai dengan hal-hal berikut:

1. Inflamasi sel mononuklear (radang kronik), yang mencakup makrofag, limfosit, dan sel plasma.

2. Destruksi jaringan, sebagian besar diatur oleh sel radang.

3. Repair (perbaikan), melibatkan proliferasi pembuluh darah baru (angiogenesis) dan fibrosis (Sjamsuhidajat, 2004).

Gambar 10. Inflamasi kronik pada paru, memperlihatkan 3 gambaran histologis khas. Ket: 1.Pengumpulan sel radang(*); 2.Perusakan parenkim (alveoli normal digantikan oleh ruang yang dilapisi oleh epitel kuboid [anak panah ke atas]); dan 3.Penggantian oleh jaringan ikat (fibrosis) (anak panah) (Kumar, 2007).

b. Fase proliferasi

Fase proliferasi disebut juga fase fibriplasia karena yang menonjol adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ke-3. Fibroblast berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan mukopolisakarida, asam aminoglisin, dan prolin yang merupakan bahan


(50)

dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka (Sjamsuhidajat, 2004).

Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblast, dan kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan yang berbenjol halus disebut jaringan granulasi. Epitel tepi luka yang terdiri atas sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya terjadi ke arah yang lebih rendah atau datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam fase penyudahan (Sjamsuhidajat, 2004).

Pemulihan dimulai dalam waktu 24 jam setelah jejas melalui emigrasi fibroblas dan induksi proliferasi fibroblas dan sel endotel. Dalam 3 sampai 5 hari, muncul jenis jaringan khusus yang mencirikan terjadinya penyembuhan, yang disebut jaringan granulasi. Istilah jaringan granulasi berasal dari gambaran makroskopisnya yang berwarna merah muda, lembut, dan bergranula. Gambaran histologisnya ditandai dengan proliferasi fibroblas dan kapiler baru yang halus dan berdinding tipis di dalam ECM (extracelullar matrix) yang longgar. Jaringan granulasi kemudian mengumpulkan matriks jaringan ikat secara progresif, yang


(51)

akhirnya menghasilkan fibrosis padat (pembentukan jaringan parut) yang dapat melakukan remodeling lebih lanjut sesuai perjalanan waktu (Sjamsuhidajat, 2004; Kumar dkk., 2007).

Gambar 11. Jaringan granulasi. Ket: A.Jaringan granulasi yang menunjukan banyak pembuluh darah, edema, dan suatu ECM longgar yang kadang mengandung sel-sel radang; B.Pewarnaan trikrom jaringan parut matur, yang menunjukan kolagen padat, hanya disertai saluran vaskular yang tersebar (Kumar dkk., 2007).

c. Fase penyudahan

Pada fase remodelling ini terjadi proses pematangan terdiri atas penyerapan kembali jaringan yang berlebih, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir ketika semua tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Edema dan sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada (Sjamsuhidajat, 2004).


(52)

Selama proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas, serta mudah digerakkan dari dasar, dan terlihat pengerutan maksimal pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira 80% kemampuan kulit normal, hal ini tercapai kira-kira 3−6 bulan setelah penyembuhan. (Sjamsuhidajat, 2004).

C. Silver Sulfadiazine

Silver sulfadiazine merupakan gold standard untuk terapi topikal pada luka bakar (Koller, 2004). Obat ini menghambat pertumbuhan in vitro hampir semua bakteri, jamur patogen, termasuk beberapa spesies yang resisten terhadap sulfonamida. Senyawa ini digunakan secara topikal untuk mengurangi kolonisasi mikroba dan insiden infeksi pada luka bakar (Goodman dan Gilman, 2007).

Silver sulfadiazine sebaiknya tidak digunakan untuk mengobati infeksi dalam yang menetap. Perak dilepaskan perlahan-lahan dari sedian dalam konsentrasi yang secara selektif toksik terhadap mikroorganisme tersebut, namun bakteri dapat mejadi resisten terhadap perak sulfadiazine. Meskipun perak di absorbsi dalam jumlah kecil, konsentrasi sulfadiazine plasma dapat mendekati kadar terapeutik jika luas permukaan yang terlibat cukup besar. Efek samping jarang terjadi diantaranya rasa terbakar, ruam, dan gatal. Oleh sebagian besar


(53)

ahli, perak sulfadiazin diaggap sebagai salah satu senyawa pilihan untuk pencegahan infeksi pada luka bakar (Goodman dan Gilman, 2007).

1. Indikasi dan dosis

a. Digunakan secara topikal atau cutaneus,

b. Untuk pengobatan dan pencegahan infeksi pada luka bakar yang berat, c. Oleskan krim silver sulfadiazine sebanyak 1 kali hingga 2 kali perhari

(MIMS, 2012).

2. Kontraindikasi

a. Hipersensitifitas terhadap sulfonamid, b. Prophyria,

c. Bayi prematur dan bayi berusia kurang dari 2 bulan, d. Hamil atau sedang menyusui (MIMS, 2012).

3. Efek samping obat

Efek samping yang bisa ditimbulkan oleh silver sulfadiazine berupa nausea, vomiting, diarrhoea, hipersensitifitas, hematuria, kritaluria, trombositopenia, leukopenia, dan eosinophilia. Efek paling fatal dapat berupa Stevens Johnson Syndrome, agranulositosis, jaundice, dan hepatitis (MIMS, 2012).

4. Mekanisme kerja obat

Silver sulfadiazine memiliki aktifitas antimikroba yang luas, obat ini aktif terhadap bakteri gram negatif dan gram positif serta beberapa ragi dan jamur. Garam perak bekerja terutama pada dinding sel dan membran untuk


(54)

mengganggu integritasnya sehingga memungkinkan merusak enzim-enzim penting pada bakteri hingga menyebabkan kematian sel. Penyerapanya secara perlahan, ia melepaskan sulfadiazine ketika kontak dengan eksudat luka. Dapat diserap sampai 10% dari sulfadiazine (MIMS, 2012).

D. Madu

1. Gambaran umum Madu

Madu adalah cairan manis alami berasal dari nektar tumbuhan yang diproduksi oleh lebah madu. Pada umumnya mempunyai rasa manis yang dihasilkan oleh lebah madu dari sari bunga tanaman (floral nektar) atau bagian lain dari tanaman (ekstra floral nektar) atau ekskresi serangga (BSN, 2004). Lebah madu mengumpulkan nektar madu dari bunga mekar, cairan tumbuhan yang mengalir di dedaunan dan kulit pohon, atau kadang-kadang dari madu embun (Suranto, 2007).

Nektar adalah senyawa kompleks yang dihasilkan kelenjar necteriffier dalam bunga, bentuknya berupa cairan, rasa manis alami dengan aroma lembut. Nektar mengandung air (50−90%), glukosa, fruktosa, sukrosa, protein, asam amino, karoten, vitamin, dan minyak serta mineral esensial (Suranto, 2007).


(55)

2. Jenis-jenis Madu

Ada banyak jenis madu menurut karakteristiknya. Yang paling penting adalah membedakan karakteristik madu berdasarkan sumber nektar, letak geografi dan teknologi pemrosesannya. Karakteristik madu disesuaikan dengan sumber nektarnya yaitu flora, ekstra flora, dan madu embun (Suranto, 2007).

a. Madu flora, yaitu madu yang berasal dari nektar bunga. Jika madu berasal dari nektar 1 jenis tanaman/bunga, madu tersebut dinamakan madu monoflora; jika berasal dari bermacam-macam bunga, madu tersebut dinamakan madu poliflora,

b. Madu ekstra flora, yaitu madu yang berasal dari nektar di luar bunga, yaitu dari bagian tanaman yang lain, seperti daun, batang, atau cabang, c. Madu embun, yaitu madu yang berasal dari cairan ekskresi serangga

yang kemudian dihisap dan dikumpulkan lebah madu. Madu ini berwarna gelap dan lengket seperti tetesan embun dengan aroma yang merangsang (Sarwono, 2003).

3. Komposisi dan Kandungan Madu

Khan (2007) mendeskripsikan fakta nutrisional dari madu. Rata-rata madu tersusun atas 17,1% air, 82,4% karbohidrat total, dan 0,5 protein, asam amino, vitamin dan mineral.


(56)

Madu mengandung banyak mineral seperti natrium, kalsium, magnesium, aluminium, besi, fosfor dan kalium. Vitamin-vitamin yang terdapat dalam madu adalah thiamin (B1), riboflavin (B2), asam askorbat (C), piridoksin (B6), niasin, asam pantotenat, biotin, asam folat, dan vitamin K. Sedangkan enzim yang penting dalam madu adalah enzim diastase, invertase, glukosa oksidase, peroksidase dan lipase. Semua zat tersebut berguna untuk proses metabolisme tubuh (Suranto, 2004).

Nilai kalori madu sangat besar 3.280 kal/kg. Nilai kalori 1 kg madu setara dengan 50 butir telur ayam, 5,7 liter susu, 25 buah pisang, 40 buah jeruk, 4 kg kentang, dan 1,68 kg daging. Madu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi dan rendah lemak. Kandungan gula dalam madu mencapai 80% dan dari gula tersebut 85% berupa fruktosa dan glukosa (Suranto, 2004).

Tabel 1. Komposisi kimia madu per 100 gram.

Komposisi Jumlah

Kalori 328 kal

Kadar air 17,2 g

Protein 0,5 g

Karbohidrat 82,4 g

Abu 0,2 g

Tembaga 4,4 – 9,2 mg

Fosfor 1,9 – 6,3 mg

Besi 0,06 – 1,5 mg

Mangan 0,02 – 0,4 mg

Magnesium 1,2 – 3,5 mg

Thiamin 0,1 mg

Riboflavin 0,02 mg

Niasin 0,20 mg

Lemak 0,1 g

pH 3,9

Asam total (mek/kg) 43, 1mg


(57)

4. Persyaratan Madu

Berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) tahun 2004 nomor 01-3545-2004, tujuan penyusunan standar adalah sebagai acuan sehingga madu yang beredar di pasaran dapat terjamin mutu dan keamanannya dan ditetapkan oleh BSN (Badan Standardisasi Nasional) dengan persyaratan mutu madu seperti tabel di bawah ini:

Tabel 2. Standar mutu madu Indonesia.

Jenis Uji Satuan Persyaratan

Aktifitas enzim diastase, min. DN (Diastase

Number)

3

Hidroksimetilfurfural, maks. mg/kg 50

Air, maks. % b/b 22

4 gula pereduksi (dihitung sebagai glukosa), min.

% b/b 65

Sukrosa, maks. % b/b 5

Keasaman, maks. ml NaOH1N/kg 50

Padatan tak larut air, maks. % b/b 0,5

Abu, maks. % b/b 0,5

Cemaran logam: Pb, maks. Cu, maks. mg/kg mg/kg 1,0 5,0

Cemaran arsen, maks. mg/kg 0,5

Sumber: BSN (2004).

5. Penelitian Manfaat Madu Terhadap Penyembuhan Luka

Madu sangat efektif dalam mengurangi kadar reactive oxygen species (ROS) yang dipilih untuk digunakan pada produk penyembuhan luka. Sifat utama antioksidan dalam madu berasal dari konstituen fenolik, yang jumlahnya relatif besar. Senyawa fenolik juga dapat berfungsi sebagai antibakteri, sedangkan pH yang rendah dan kandungaan asam bebas yang tinggi dapat membantu penyembuhan luka (Berg dkk., 2008).


(58)

Pada penelitian yang dilakukan oleh Mahmoud dkk. pada tahun 2005 menunjukkan bahwa madu memiliki sifat yang baik pada pembentukan jaringan granulasi. Madu dapat mengurangi kontaminasi pada luka hal ini terlihat pada hari ke-14 hanya 5% organisme Pseudomonas yang terdapat pada luka, dan mempercepat tingkat kontraksi luka sehingga juga mempercepat proses penyembuhan luka.

Sebagai agen penyembuh luka, madu memiliki 4 karakteristik yang efektif melawan pertumbuhan bakteri. Karakteristik-karakteristik itu adalah 1. Tinggi kandungan gula,

2. Kadar kelembaban rendah,

3. Asam glukonik (yang menciptakan lingkungan asam, pH 3,2−4,5), 4. Hidrogen peroksida (Khan, 2007).

Kadar gula yang tinggi dan kadar kelembaban yang rendah akan membuat madu memiliki osmolaritas yang tinggi, yang akan menghambat pertumbuhan bakteri (Khan, 2007).

Kejadian alergi terhadap madu sangat jarang, meskipun mungkin ada respon alergi terhadap polen atau protein lebah yang terkandung dalam madu. Madu juga efektif dalam segi biaya. Hal ini bukan hanya karena harga madu yang lebih murah, namun juga karena madu mempercepat penyembuhan dan mempersingkat lama tinggal di rumah sakit. Sebuah review sistematik yang ditulis di Bandolier menyatakan bahwa tidak ada efek negatif dalam penggunaan madu topikal pada luka (Kartini, 2009).


(59)

Pemberian madu secara topikal menunjukan jaringan parut pada luka dan luka bakar lebih sedikit (The National Honey Board, 2002). Hal serupa juga telah dicatat oleh Subrahmanyam pada tahun 1991 yang menunjukan bahwa penggunaan madu secara topikal menghasilkan jaringan parut yang lebih sedikit pada luka dalam dan luka bakar derajat II dan III.

Penelitian efek antibakteri madu secara in vitro menunjukkan terdapat efek antibakteri yang baik pada bakteri gram negatif dan gram positif, zona hambat yang signifikan ditunjukkan pada madu dengan konsentrasi 40% keatas, sedangkan madu dengan konsentrasi kurang dari 40% tidak menunjukan efek antibakteri yang signifikan (Anyanwu, 2011).

E. Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley

1. Klasifikasi Tikus Putih

Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Armitage (2004). Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Sciurognathi Famili : Muridae Genus : Rattus


(60)

2. Jenis Tikus Putih

Tikus laboratorium yang umum digunakan dikembangkan dari tikus coklat liar Norwegia. Tikus galur outbred lebih sering digunakan dibandingkan dengan galur inbred. Beberapa contoh jenis tikus putih galur outbred adalah Wistar (tikus albino), Sprague Dawley (tikus albino yang lebih cepat tumbuh dibandingkan tikus Wistar), dan Long Evans, yang lebih kecil dibandingkan tikus Wistar atau Sprague Dawley. Galur Fisher 344 dan Lewis adalah tikus putih galur inbred yang paling banyak digunakan dalam penelitian. Tikus dapat berkembang secara alami mengalami penyakit seperti diabetes dan hipertensi yang membuat mereka berharga dalam penelitian penyakit tersebut dan memungkinkan untuk diterapkan pada manusia (Animal Care Program, 2011).

3. Biologi Tikus Putih

Di Indonesia, hewan percobaan ini sering disebut tikus besar. Dibandingkan dengan tikus liar, tikus putih lebih cepat menjadi dewasa dan lebih mudah berkembang biak. Berat badan tikus putih lebih ringan dibandingkan berat badan tikus liar. Biasanya pada umur 4 minggu berat tikus putih mencapai 35−40 gram dan berat dewasa rata-rata 200−250 gram (FKH UGM, 2006). Tabel 3 menyajikan data biologi tikus putih.


(61)

Tabel 3. Data biologi tikus putih (Rattus norvegicus).

DATA BIOLOGI KETERANGAN

Lama hidup 2,5 – 3,5 tahun

Berat badan

Newborn 5−6 gr

Pubertas 150−200 gr

Dewasa jantan 300−800 gr

Dewasa betina 200−400 gr

Reproduksi

Kematangan seksual 65−110 hari

Siklus estrus 4−5 hari

Gestasi 20−22 hari

Penyapihan 21 hari

Fisiologi

Suhu tubuh 35,90–37,50 C

Denyut jantung 250−600 kali/menit

Laju nafas 66−144 kali/menit

Tekanan darah diastol 60−90 mmHg

Tekanan darah sistol 75−120 mmHg

Feses Padat, berwarna coklat tua, bentuk

memanjang dengan ujung

membulat

Urine Jernih dan berwarna kuning

Konsumsi makan dan air

Konsumsi makan 15–30 gr/hari atau 5–6 gr/100

grBB

Konsumsi air 24–60 ml/hari atau 10−12 ml/100

grBB Sumber: Isroi (2010); Animal Care Program (2011).

Tikus putih (Rattus norvegicus) sering digunakan sebagai hewan percobaan karena tikus merupakan hewan yang mewakili kelas mamalia sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimia, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah, serta ekskresinya menyerupai manusia (Sinar Harapan, 2002). Tikus juga dapat secara alami menderita suatu penyakit, seperti hipertensi dan diabetes, dan juga sering dipakai dalam studi nutrisi, tingkah laku, kerja obat, dan toksikologi (Animal Care Program, 2011).


(62)

Tikus putih (Rattus norvegicus) memiliki beberapa sifat yang menguntungkan, seperti cepat berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, lebih tenang, dan ukurannya lebih besar daripada mencit. Tikus putih juga memiliki ciri-ciri yaitu albino, kepala kecil, ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat, temperamennya baik, kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap perlakuan. Keuntungan utama tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya (Isroi, 2010).


(63)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental untuk mengetahui perbedaan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II yang diberi madu topikal nektar kopi dan silver sulfadiazine pada tikus putih. Rancangan penelitian menggunakan metode post test only controlled group design dengan sampel sebanyak 10 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague Dawley berumur 3−4 bulan yang dipilih secara random dan variabel yang di uji adalah numerik berpasangan. Pemilihan tikus jantan bertujuan untuk menghindari adanya pengaruh hormonal yang dapat mempengaruhi respon reaksi imunologis.

Adapun perlakuan yang diberikan pada masing-masing tikus adalah:

1. Sampel kontrol yaitu bagian tubuh tikus yang diberi luka bakar derajat II dengan diameter 2 cm yang akan dibiarkan sembuh secara normal tanpa pemberian zat aktif.

2. Sampel perlakuan madu yaitu bagian tubuh tikus yang diberi luka bakar derajat II dengan diameter 2 cm, selama proses penyembuhan akan


(64)

diberikan madu topikal nektar kopi dengan nama dagang Madu Asli yang dipasarkan oleh Kedai Pramuka Kwarda Lampung dengan izin DEPKES RI. SP. No. : 074/08.01/92 diberikan secara topikal 2−3 kali sehari dan ditutup dengan kassa steril.

3. Sampel perlakuan obat silver sulfadiazine yaitu bagian tubuh tikus yang diberi luka bakar derajat II dengan diameter 2 cm, selama proses penyembuhan luka diberikan obat silver sulfadiazine dengan merek dagang Burnazin yang masih tersegel dan tertutup dengan baik secara topikal 2−3 kali sehari dan ditutup dengan kassa steril.

Tabel 4. Jenis perlakuan penelitian dan dosis yang diberikan pada setiap perlakuan.

Hewan Percobaan Jenis Perlakuan Dosis

Tikus dengan Luka bakar derajat II

Kontrol (tanpa pemberian zat aktif) -

Madu nektar kopi 100%

Silver sulfadiazine

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama 2 bulan pada bulan Oktober−November 2012. Tempat penelitian dilaksanakan di 2 tempat yaitu selama adaptasi sampai perlakuan pada hewan percobaan dilakukan di Pet House Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, sedangkan pembuatan preparat dan pengamatannya dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.


(65)

C. Subyek Penelitian

1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan obyek penelitian atau obyek yang diteliti. Dalam penelitian ini populasi yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur Sprague Dawley berumur 3−4 bulan yang diperoleh dari Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.

2. Sampel

Menurut Frederer (1967), rumus penentuan sampel untuk uji eksperimental adalah

(t−1)(n−1)≥15

Dimana t merupakan jumlah kelompok perlakuan dan merupakan jumlah hewan coba tiap kelompok perlakuan (sampel). Penelitian ini diperlukan 3 kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel menjadi :

(3−1)(n−1)≥15 2(n−1)≥15

2n−2≥15 2n≥17

n≥8,5

n≥9

Jadi dibutuhkan minimal 9 sampel ( ≥9) untuk masing-masing kelompok perlakuan. Dalam penelitian ini digunakan 10 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley.


(66)

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Inklusi :

1. Sehat (tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, dan aktif). 2. Memiliki berat badan sekitar 150−250 gram.

3. Berjenis kelamin jantan. 4. Berusia sekitar 3−4 bulan.

5. Luas luka bakar sama, yaitu dengan diameter 2 cm. 6. Nutrisi sama, yaitu jenis dan kuantitas yang sama.

Ekslusi :

1. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboratorium.

2. Sakit (penampakan rambut kusam, rontok dan aktifitas kurang atau tidak aktif, keluarnya eksudat yang tidak normal dari mata, mulut, anus, genital).

E. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan yaitu: madu murni nektar kopi, krim silver sulfadiazine, plaster, kassa steril, aquades, alkohol, obat anestesi lidokain, tikus putih jantan dewasa galur Sprague Dawley, pakan dan minum tikus, larutan formalin 10% untuk fiksasi preparat histopatologis, alkohol, etanol, xylol, pewarna hematoksilin dan eosin, dan entelan.


(67)

2. Alat penelitian a. Alat Penelitian

Alat yang digunakan adalah neraca analitik Metler Toledo dengan tingkat ketelitian 0,01g untuk menimbang berat tikus, solder listrik (electro cauter) yang ujungnya dimodifikasi dengan logam aluminium berdiameter 2cm, pisau cukur dan gagangnya, gunting untuk mencukur rambut/bulu tikus, penggaris, sarung tangan steril, jas lab, kipas angin, gunting plester, spuit dan jarum, kassa steril, arloji, kandang serta botol minum tikus, dan kamera digital untuk dokumentasi.

b. Alat pembuat preparat histopatologi

Alat pembuat preparat histopatologi yang digunakan adalah object glass, deck glass, tissue cassette, rotary microtome, oven, water bath, platening table, autotechnicom processor, staining jar, staining rak, kertas saring, histoplast, dan dispenser parafin.

F. Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas (Independent variable) a. Madu

b. Silver sulfadiazine

2.Variabel Terikat (Dependent variable) a. Gambaran histopatologi kulit tikus b. Gambaran klinis kulit tikus


(68)

G. Definisi Operasional

Tabel 5. Definisi operasional.

Variabel Definisi Skala

Madu nektar kopi Madu murni yang diperoleh dari petani lebah yang berasal dari sari bunga kopi dan dipasarkan oleh Kedai Pramuka Kwarda Lampung dengan izin DEPKES RI. SP. No. : 074/08.01/92 yang dioles 2 kali sehari.

Kategorik

Silver Sulfadiazine Obat silver sulfadiazine dengan merek dagang

Burnazine yang diproduksi oleh Darya-Varia

Laboratoria, Gunung Putri, Bogor-Indonesia yang masih tersegel dan tertutup dengan baik dan dipakai secara topikal 2 kali sehari.

Kategorik

Luka Bakar Derajat II

Luka bakar yang mencapai dermis, tetapi masih ada elemen epitel sehat yang tersisa Gejala yang timbul adalah nyeri, gelembung, atau bula berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh darah karena permeabilitas dindingnya meninggi.

Ordinal

Gambaran histopatologi kulit tikus

Sediaan histopatologi dilihat dengan menggunakan

mikroskop dengan perbesaran 40X dalam 5 lapang

pandang dan diamati pembentukan kolagen,

reepitelisasi, jumlah pembentukan pembuluh darah baru, dan jumlah sel radang.

Numerik

Gambaran klinis kulit tikus

Gambaran klinis didapat dengan menghitung rata-rata diameter penyembuhan luka yang dihitung pada hari pertama dan terakhir penelitian kemudian dihitung persentase dengan rumus:

dengan hari pertama sebagai acuan.


(69)

H. Prosedur Penelitian

Sebelum diberikan perlakuan kepada semua tikus laboratorium, 10 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley dilakukan adaptasi di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan diberi pakan standar secukupnya selama 7 hari. Sesudah masa adaptasi, tikus dipisahkan menjadi 1 kandang berisi 1 ekor tikus.

1. Pembuatan Luka Bakar derajat II

Cara pembuatan luka bakar derajat II (Handian, 2006) :

a. Tentukan terlebih dahulu daerah yang akan dibuat luka bakar.

b. Hilangkan bulu dengan mencukur sesuai dengan luas area luka bakar yang diinginkan.

c. Cuci tangan.

d. Pakai sarung tangan.

e. Lakukan anestesi pada area kulit yang akan dibuat luka bakar dengan dosis 0,2 cc lidokain dalam 2 cc aquades.

f. Panaskan solder listrik (electro cauter) yang ujungnya dimodifikasi dengan logam aluminium berdiameter 2cm yang telah disiapkan selama 30 menit.

g. Tempelkan solder listrik (electro cauter) yang ujungnya dimodifikasi dengan logam aluminium berdiameter 2cm pada kulit tikus yang telah disiapkan selama 2 detik.


(70)

2. Prosedur perawatan Luka Bakar Derajat II

Perawatan luka bakar derajat II dilakukan 2−3 kali perhari (Dewi, 2008), sebelum dilakukan intervensi luka dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan air aquades. Prosedur perawatan luka bakar yang akan dilakukan pada tikus percobaan adalah sebagai berikut:

a. Cuci tangan.

b. Pakai sarung tangan steril. c. Siapkan kassa.

d. Atur posisi tikus untuk mempermudah tindakan.

e. Olesi bagian luka dengan kasa yang telah dibasahi dengan madu nektar kopi setebal 2mm hingga menutup seluruh permukaan luka untuk kelompok perlakuan madu nektar kopi.

f. Olesi bagian luka dengan menggunakan silver sulfadiazine untuk kelompok perlakuan dengan silver sulfadiazine setebal 2mm hingga menutup seluruh permukaan luka untuk kelompok perlakuan silver sulfadiazine.

g. Untuk kelompok kontrol tidak diberikan zat aktif apapun. h. Tutup luka dengan kasa steril.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Madu nektar kopi memiliki tingkat kesembuhan yang lebih baik dibandingkan dengan silver sulfadiazine dalam penyembuhan luka bakar

derajat II pada tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Sprague Dawley.

B. Saran

1. Bagi Masyarakat

Hendaknya dapat menggunakan madu dalam penyembuhan luka bakar yang lebih ekonomis dan mudah dijangkau oleh masyarakat.

2. Bagi Penelitian Lain

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan sampel lebih besar, pemeriksaan histopatologi dengan lapangan pandang lebih banyak, dan waktu penelitian yang lebih lama serta variasi dan komposisi dosis madu dalam mempercepat penyembuhan luka bakar derajat II.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Animal Care Program. 2011. Animal Specific Training: Rats. University of

Wisconsin-Milwaukee. 8 september 2012.

www.uwm.edu/usa/acp/training/manual/manual_rats.cfm.

Anonym. 2012. Silver sulfadiazine. MIMS Indonesia. 12 September 2012.

http://www.mims.com/Indonesia/drug/info/silver%20sulfadiazine/?type =full&mtype=generic#Actions.

Anyanwu, C. 2011. Assessment of The in Vitro Antibacterial Activity of Honey

on Some Common Human Pathogens. Journal of research in Biology 2:

116-121.

Armitage, D. 2004. Rattus norvegicus Animal Diversity Web. 10 Desember 2012.

http://animaldiversity.ummz.umich.edu/accounts/Rattus_norvegicus/

Badan Standarisasi Nasional. 2004. Madu. Standar Nasional Indonesia. Jakarta.

Brychta, P., A. Magnette. 2011. European Practice Guidelines for Burn Care.

European Burns Association (EBA). Netherlands.

Brett, D. 2008. A Review of Collagen and Collagen-based Wound Dressings.

Wound Management Division Smith & Nephew. 30 Desember 2012. http://www.woundsresearch.com

Cooper, R.A., E. Halas., P.C. Molan. 2002. The Efficacy of Honey in Inhibiting

Strains of Pseudomonas auroginosa from Infected Burns. J. Burn. Care.

Rehabil. 23: 366-370.

Departemen Kesehatan RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007:


(3)

Dewi, D., Sanarto, dan B. Taqiyah. 2008. Pengaruh Frekuensi Perawatan Luka Bakar Derajat II Dengan Madu Nektar Flora Terhadap Lama

Penyembuhan Luka. (Skripsi). Program Studi Ilmu Keperawatan

Fakultas Kedokteran Brawijaya.

Dodds, S., S. Hayes. 2004. The Wound Edge, Epithelialization and Monitoring

Wound Healing. British Journal of Community Nursing, Vol. 9, Iss. 9.

Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM. 2006. Tikus Laboratorium. Universitas

Gadjah Mada. Yogyakarta.

Fisher, N.M., E. Marsh., R. Lazova. 2003. Scar-Localized Argyria Secondary to

Silver Sulfadiazine Cream. Journal of the American Academy of

Dermatology 49(4):730-2.

Goodman dan Gilman. 2007. Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta. EGC.

Grace, P.A., R.B. Neil. 2005. At a Glance: Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta. Erlangga.

Handian, F.I. 2006. Efektivitas Perawatan Menggunakan Madu Nektar Flora Dibandingkan Dengan Silver Sulfadiazine Terhadap Penyembuhan

Luka Bakar Derajat II Terinfeksi Pada Marmut. (Skripsi). Program

Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

Hazrati, M., D. Mehrabani., A. Japoni., dkk. 2010. Effect of Honey on Healing of

Pseudomonas aeruginosa Infected Bunr Wounds in Rat. J. Applied Anim. Res. 37: 161-165

Homann, H.H., O. Rosbach., W. Moll., dkk. 2007. A Liposome Hydrogel With Polyvinyl-pyrolidone Iodine in the Local Treatment of

Partial-Thickness Burn Wounds. Ann. Plast. Surg. 59: 423-427

Hosseini, S.V., H. Niknahad., N. Fakhar., A. Rezaianzadeh., D. Mehrabani. 2011. The Healing Effect of Mixture of Honey, Putty, Vitriol and Olive oil in Pseudomonas aeroginosa Infected Burns in Experimental Rat Model.


(4)

Isroi. 2010. Biology Rat (Rattus norvegicus). 8 oktober 2012 http://www.isroi.wordpress.com

Junqueira, L.C. dan J. Carneiro. 2007. Histologi Dasar Teks & Atlas. 10th ed.

Jakarta: EGC.

Kartini, M. 2009. Efek Penggunaan Madu Dalam Manajemen Luka Bakar.Jurnal

kesehatan Vol.2 No.2.

Khan, F.R., U. Abadin., N. Rauf. 2007. Review Article: Honey: Nutritional and

Medicinal Value. International Journal of Clinical Practice 61(10).

Kleinman, H.K., M.K. Malinda. 2000. Role of Angiogenesis in Wound Healing.

30 Desember 2012. http://www.landesbioscience.com

Koller, J. 2004. Topical Treatment of Partial Thickness Burns by Silver Sulfadiazine Plus Hyaluronic Acid Compared to Silver Sulfadiazine

Alone: A Double-Blind, Clinical Study. Drugs Exp Clin

Res.30(5-6):183-90.

Kumar, V., S.C. Ramzi., L.R Stanley. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7.

Vol(1). Jakarta: EGC.

Mahmoud, R.M., H. Hami., S. Shahram. 2005. Utilisation of Topical Honey in Burns Wounds Contaminated With Pseudomonas Aeroginosa

Compared With Silversulfadiazine and Acetatmafenid. Nigerian

journal of surgical research. 7(3-4):293-295.

Manjas, M., J. Henky., S. Agus. 2010. Penggunaan Krim Amnion Pada

Penyembuhan Luka Sayatan Tikus Wistar. Majalah Kedokteran

Indonesia 60(6): 268-272.

Moore, K.L. dan AMR. Agur. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta.

505 hlm.

Nagaoka, T., Y. Kaburagi, Y., Hamaguchi., M. Hasegawa., K. Takehara. 2000. Delayed Wound Healing in The Absence of Intercellular Adhesion


(5)

Nejabat, M., A.R. Astaneh., M. Eghtedari., M. Mosallesi., M.J Ashraf., D. Mehrabani. 2009. Effect of Honey in Pseudomonas aeruginosa induce

Stromal Keratitis in Rabbits. J. Applied Anim. Res. 35: 33-36

Nurhidayah., L. Gandini., Parellengi. 2009. Hubungan Perawatan Luka Bakar Secara Tertutup Dengan Proses Penyembuhan Luka Pada Pasien Luka Bakar Derajat II Di Instlalasi Bedah Sentral (IBS) RSUD DR.Kanujoso

Datiwibowo Balikpapan Tahun 2009. Jurnal Mahakam 2(1)

Poon, .K.M., A. Burd. 2004. In Vitro Cytotoxity of Silver: Implication for Clinical

Wound Care. Burns, 30: 140-147

Price, S.A., L. Wilson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Edisi 6. Jakarta. EGC. 1416 hlm.

Rio ,Y., D. Aziz. 2012. Perbandingan Efek Antibakteri Madu Asli Sikabu dengan

Madu Lubuk Minturun terhadap Escherichia Coli dan Staphylococcus

Aureus secara In Vitro. Jurnal Kesehatan Andalas. 2012; 1(2)

Sinar Harapan. 2002. Tikus Putih. 3 Oktober 2012.

http://www.digilib.umm.ac.id/download.php?id=66110.

Sjamsuhidajat, R., W.D. Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Penerbit Buku

Kedokteran. Jakarta. EGC.

Subrahmanyam, M. 1991. Topical Application of Honey in Treatment Of Burns.

Br. J. Surg. 78: 497-498.

Suranto, A. 2004. Khasiat dan Manfaat Madu Herbal. Jakarta. Penebar Plus.

Suranto, A. 2007. Terapi Madu. Jakarta. Penebar Plus.

Suratman, S.A., D. Gozali. 1996. Pengaruh Ekstrak Antanan Dalam Bentuk Salep,

Krim dan Jelly Terhadap Penyembuhan Luka Bakar. Cermin Dunia


(6)

The National Honey Board. 2002. Honey–Health and Therapeutic Qualities. 22 September 2012. www.honey.com.

Triyono, B. 2005. Perbedaan Tampilan Kolagen di Sekitar Luka Insisi pada Tikus Wistar yang Diberi Infiltrasi Penghilang Nyeri Levobupivakain dan

yang Tidak Diberi Levobupivakain. (Tesis). Program Magiester

Biomedik dan PPDS I Universitas Diponegoro.

Berg, V.D.A.J., V.D. Worm., H.C. Ufford., S.B. Halkes., M.J. Hoekstra., C.J. Beukelman. 2008. An In Vitro Examination of The Antioxidant and

Anti-Inflammatory Properties of Buckwheat Honey. Journal of Wound

Care, 17(4).

Plas, V.D.S., R.A. Yukna., E.T. Mayer., B.L. Atkinson. 2005. Differential Cell

Death Programmes Induced by Silver Dressings In Vitro. Eur. J.

Dermatol. 18: 416-421

Wasiak, J., H. Cleland., F. Campbell. 2008. Dressings for Superficial and Partial


Dokumen yang terkait

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DIBANDINGKAN DENGAN PEMBERIAN MUPIROSIN PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

4 38 62

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR ANTARA PEMBERIAN MADU DAN KLINDAMISIN SECARA TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

2 16 60

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU BUNGA AKASIA TOPIKAL, OXOFERIN, DAN OKSITETRASIKLIN PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN DEWASA GALUR Sprague Dawley

1 13 78

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA YANG DIBERI MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN MOIST EXPOSED BURN OINTMENT (MEBO) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) DEWASA JANTAN GALUR Sprague dawley

8 45 78

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA SAYAT TERBUKA ANTARA PEMBERIAN ETAKRIDIN LAKTAT DAN PEMBERIAN PROPOLIS SECARA TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

4 42 59

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DAN PEMBERIAN GENTAMISIN TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus)

1 17 71

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN HIDROGEL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague Dawley

1 14 71

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN TOPIKAL DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) TUMBUK DAN HIDROGEL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague Dawley

3 24 41

PERBANDINGANTINGKATKESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU DENGAN TUMBUKAN DAUN BINAHONG PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley

3 27 79

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA SAYAT TERBUKA ANTARA PEMBERIAN ETAKRIDIN LAKTAT DAN PEMBERIAN PROPOLIS SECARA TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

0 0 7