PERBANDINGANTINGKATKESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU DENGAN TUMBUKAN DAUN BINAHONG PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley

(1)

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU DENGAN TUMBUKAN DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

GALUR Sprague dawley Oleh

M NOVSANDRI SYUHAR

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

THE COMPARISON OF SECOND DEGREE BURNS HEALING RATE BETWEEN THE APPLICATION OF TOPICAL HONEY AND BINAHONG

LEAVES IN SPRAGUE DAWLEY RATS

By

M NOVSANDRY SYUHAR

Burns is a very serious health problem and frequently encountered by the doctor. Various studies have shown that honey is effective in healing burns. However there is a traditional medicine that binahong leaves can treat burns and gives a good healing effect too. This research aims to know the 2nd degree burns healing rate between the application of topical honey and binahong in Sprague Dawley rats.

This experimental research using the post test only controlled group design of 6 white rats which were given each of 3 treatments. The treatment consists of a control group, a group that was given topical honey and a group that was given binahong leaves. Rats performed clinical measurements and skin samples taken for microscopic examination after 14 days of treatment.

The results showed on the microscopic observations which is the values are not statistically significant between the application of the topical honey and binahong leaves. The macroscopic examination showed p value <0.05 (0.000) that means binahong leaves can reduce the diameter of the burns significantly compared to the topical honey.

In conclusion, the comparasion of second degree burns healing rate by topical of honey is better than binahong leaves on microscopic observation but it’s not statistically significant on macroscopic feature.


(3)

ABSTRAK

PERBANDINGANTINGKATKESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU DENGAN TUMBUKAN DAUN BINAHONG

PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley

Oleh

M NOVSANDRI SYUHAR

Luka bakar merupakan masalah kesehatan yang sangat serius dan sering dihadapi para dokter. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa madu efektif dalam penyembuhan luka bakar. Namun terdapat obat tradisional yaitu daun binahong yang dapat mengobati luka bakar dan memberikan efek penyembuhan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara yang diolesi madu dan tumbukan daun binahong pada tikus putih (Rattus norvegicus).

Penelitian eksperimental ini menggunakan post test only controlled group design terhadap 6 ekor tikus putih yang diberi masing-masing 3 perlakuan selama 14 hari. Perlakuan terdiri atas kelompok kontrol, kelompok madu dan kelompok tumbukan daun binahong. Pada tikus putih dilakukan pengukuran gambaran klinis dan sampel kulit diambil untuk pemeriksaan histopatologi setelah 14 hari pengobatan.

Hasil penelitian menunjukkan pada pengamatan histopatologi didapatkan nilai yang tidak bermakna dengan p>0,05 (0,009 ) antara madu dan tumbukan daun binahong. Pada gambaran klinis didapatkan nilai bermakna dengan p<0,05 (0,000) antara madu dan tumbukan daun binahong. Pemberian tumbukan daun binahong dapat mengurangi diameter luka bakar secara signifikan pada hari ke–14 dibandingkan madu .

Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan madu dan tumbukan daun binahong pada pengamatan histopatologi kulit tikus, (2) tingkat kesembuhan luka bakar derajat II dengan pemberian tumbukan daun binahong lebih rendah dibandingkan madu pada gambaran klinis kulit tikus.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I . PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian... 4

D. Manfaat Penelitian... 5

E. Kerangka Penelitian ... 6

1.Kerangka Teori ... 8

2. Kerangka Konsep ... 9

F. Hipotesis ... 10

II . TINJAUAN PUSTAKA A. Luka Bakar ... 7

1. Definisi ... 7

2. Patofisiologi ... 7

3. Etiologi ... 10

4. klasifikasi ... 12

5. Proses penyembuhan Luka ... 15

6.Faktor-faktor penyembuhan luka………..… ... 19

B. Madu ... 22

1. Deskripsi Madu………. . 22

2. Jenis- jenis Madu……….. ... 22

3. Kandungan Madu………. . ... 23


(7)

C. Binahong ... 21

1.Gambaran Umum ……….. . ... 21

2. Klasifikasi……… .. . .. 35

3. Kandungan Binahong……… . ... 35

4. Manfaat Binahong……….... .. ... 38

III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 44

B. Waktu danTempat Penilitian ... 44

C. Sampel Penelitian ... 45

D. Kritera Inklusi dan Eksklusi ... 48

1. Kriteria Inklusi... 48

2. Kriteria Eksklusi ... 48

E. Bahan dan Alat Penilitian ... 49

1. Bahan Penilitian ... 49

2. Alat Penilitian ... 49

F. Identifikasi Variabel ... 50

1. VariabelBebas ... 50

2. VariabelTerikat ... 50

G. Definisi Operasional ... 51

H. Prosedur Penelitian ... 52

I. 1. Persiapan……….. ... 52

2. Pembuatan Luka Bakar derajat II ... 52

3. Prosedur Penanganan Luka Bakar Derajat II ... 53

4. Prosedur Operasional Pembuatan Slide ... 54

J. prosedur penelitian ... 57

1. Makroskopis ... 57

2. Mikroskopis ... 57

K. Pengolahan dan Analisis Data ... 60

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil ... 62


(8)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Diagram kerangka teori ... 8

2. Bagan patofisiologi luka bakar... 13

3. Daun binahong ... 38

4. Diagram alur penelitian ... 57

5. Diameter Luka Bakar ... 58


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Tabel Komposisi Madu ... 26

2. Tabel Jenis Perlakuan ... 47

3. Tabel Definisi Operasional ... 50

4. Tabel Penilaian Mikroskopik ... 60

5. Reratapersentase secara makroskopis ... 63

6. Uji analisis statistik Mann-Whitney makroskopik ... 63

7. Rerata skor tingkat kesembuhan luka bakar secara mikroskopis.. ... 63


(11)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi di masyarakat khususnya rumah tangga dan ditemukan terbayak adalah luka bakar derajat II (Nurdiana dkk., 2008). Luka bakar merupakan cedera yang mengakibatkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibandingkan dengan cedera oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganan luka bakar pun ternyata cukup tinggi (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).

Kurang lebih 2,5 juta orang mengalami luka bakar di Amerika Serikat setiap tahunnya dari kelompok ini 200.000 pasien memerlukan penanganan rawat jalan dan 100.000 pasien dirawat di rumah sakit, sekitar 12.000 meniggal setiap tahunnya. Anak kecil dan orang tua merupakan populasi yang beresiko tinggi untuk mengalami luka bakar, kaum remaja laki-laki dan pria usia kerja juga lebih sering menderita luka bakar (Smeltzer, 2001 ).

Kulit merupakan organ kompleks yang memberikan pertahanan tubuh pertama terhadap kemungkinan yang dapat merugikan. Kulit melindungi tubuh terhadap infeksi, mencegah kehilangan cairan tubuh, membantu mengontrol suhu tubuh, berfungsi sebagai organ sensori, membantu dalam proses aktivasi vitamin D. Luka


(12)

bakar merupakan bentuk cedera kulit yang sebagian besar dapat dicegah (Home & Swearingen, 2000). Cedera mayor seperti luka bakar akan mengakibatkan kerusakan pada kulit yang memerlukan pengobatan langsung untuk membantu perbaikan dan regenerasi agar dapat mengembalikan fungsi kulit normal (Cuttle et al., 2006). Ada banyak obat untuk penatalaksanaan dari luka bakar tersebut diantaranya adalah hidrogel, silver sulfadiazine, MEBO dan lain-lain. Pengobatan gold standar untuk luka bakar memiliki harga yang relatif mahal, para peneliti banyak mengembangkan suatu eksperimen tentang obat herbal yang dapat menyembuhkan luka bakar tersebut, diantaranya adalah madu dan daun binahong (Rochmawati, 2007).

Madu adalah cairan kental manis yang dihasilkan oleh lebah. Bahan ini telah lama digunakan sebagai obat, dan penelitian yang dilakukan pada dekade terakhir telah menunjukkan manfaat yang besar dari madu, dimana dunia kedokteran modern saat ini telah banyak membuktikan madu sebagai obat yang unggul (Suranto, 2007). Sebuah laporan menunjukkan luka yang dibalut dengan madu menutup pada 90 % kasus. Pada luka bakar derajat ringan, penyembuhan dengan olesan madu berlangsung lebih cepat. Pasien yang luka bakar berat yang harus ditransplantasi kulit dipercepat penyembuhannya dengan madu (Subrahmanyam, 1991). Selain memiliki efek anti mikroba, madu juga memiliki efek anti inflamasi dan meningkatkan proses pembentukan fibroblas serta angioblas. Analisis mengenai kandungan madu menyebutkan bahwa unsur terbesar komponen madu adalah glukosa dengan kadar fruktosa paling besar (76,8%) disamping mineral dan vitamin. (Aljady et al., 2004).


(13)

3

Yapucu. (2007) menyatakan bahwa waktu penyembuhan luka yang dirawat dengan madu lebih cepat sekitar empat kali daripada waktu penyembuhan luka yang dirawat dengan obat lain. Selain itu harga madu sendiri masih terbilang cukup murah dibandingkan obat standar luka bakar. Namun penggunaan madu masih belum digunakan secara luas dalam lingkup professional.

Selain madu terdapat juga suatu obat herbal yang dapat menyembuhkan luka bakar, yaitu tumbukan daun binahong, pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rochmawati (2007), bahwa tumbukan daun binahong dapat menyembuhkan luka bakar. Binahong adalah tanaman obat dari dataran tiongkok yang dikenal dengan nama asli dheng san chi. Tumbuhan ini telah dikenal memiliki khasiat penyembuhan pada luka bakar (Rochmawati, 2007). Dimana kandungan yang terdapat dalam daun binahong antara lain adalah anti mikroba. Anti mikroba pada daun binahong sangat reaktif terhadap beberapa bakteri penyebab infeksi pada luka bakar maupun luka terkena benda tajam. selain terdapat anti mikroba daun binahong juga memiliki kandungan asama askorbat yang mampu meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi dan mempercepat penyembuhan.Selain anti mikroba dan asam askorbat daun binahong juga mengandung saponin, alkaloid dan polifenol (Rochmawati, 2007). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, jika diberikan pelarut etanol tujuh puluh persen saponin akan menjadi sebagai antibakteri yang lebih baik.

Saponin memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses penyembuhan luka (Suratman et al., 1996). Berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimana perbandingan tingkat


(14)

kesembuhan luka bakar derajat II antara pemberian madu dan tumbukan daun binahong pada tikus putih (Rattusnorvegicus).

B. Rumusan Masalah

Memperhatikan latar belakang masalah di atas maka peneliti ingin mengetahui bagaimana perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara yang diberi madu dan tumbukan daun binahong pada tikus putih (Rattus norvegicus) dewasa jantan galur Sprague Dawley.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara yang diolesi madu dan diberi tumbukan daun binahong pada tikus putih (Rattus norvegicus) dewasa jantan galur Sprague Dawley.

2. Tujuan khusus

a. Mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih (Rattus norvegicus) dewasa jantan galur Sprague Dawley yang dioles madu.


(15)

5

b. Mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih (Rattus norvegicus) dewasa jantan galur Sprague Dawley yang diberi tumbukan daun binahong

c. Membandingkan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II dengan pemberian madu murni dan tumbukan daun binahong

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: a. Peneliti

Menambah wawasan tentang terapi madu dan pemberian tumbukan daun binahong yang dapat digunakan untuk pengobatan luka bakar.

b. Masyarakat/pasien

Memberikan informasi tentang manfaat penggunaan madu dan tumbukan daun binahong dalam perawatan luka bakar dan sebagai salah satu pengobatan alternatif manajemen perawatan luka bakar.

c. Peneliti lain

Menjadi bahan referensi atau pustaka untuk dapat dikembangkan dalam penelitian selanjutnya.


(16)

E. Kerangka Penelitian

1. Kerangka Teori

Pada luka bakar memiliki beberapa komponen yang mempengaruhi proses penyembuhan luka yang dipengaruhi oleh jaringan yang rusak, keadaan host, penyebab luka, metode perawatan luka. Proses penyembuhan luka dibagi menjadi 3, fase inflamasi, fase proliferasi, dan fase maturasi. Dimana pada fase inflamasi akan berlanjut sampai 4 hari, sedangkan pada fase proliferasi yang berlangsung dari hari ke-5 sampai dengan 3 minggu, dan fase maturasi berlangsung sampai hari ke-21. Sel-sel yang mati karena trauma (luka bakar) akan melindungi sel-sel yang masih hidup yang berada lebih dalam dari epitel. Lapisan-lapisan pernbaikan luka terbentuk dengan adanya integrasi antara kolagen yang disintesis oleh fibroblast dengan substansi dasar. Selama pemulihan luka, sel-sel pada tepian luka akan menggepeng menjadi lembaran tipis yang menyebar menutupi celah dalam epitel. Sedangkan pada tepi luka, pembelahan sel dimulai agak kebelakang untuk menyediakan sel yang diperlukan untuk pemulihan epitel sampai tebalnya normal (Syamsuhidjayat, 2005).

Pengelolaan luka yang baik akan menentukan hasil akhir proses penyembuhan luka. Pemberian madu pada luka bakar sangat efektif dikarenakan kandungan yang terdapat dalam madu dapat bersifat antibakteri, antiseptik menjaga luka dan mempercepat proses penyembuhan luka bakar. Sifat antibakteri madu membantu mengatasi infeksi pada


(17)

7

perlukaan dan anti inflamasinya sehingga dapat mengurangi rasa nyeri serta sirkulasi yang merangsang pertumbuhan jaringan baru dan mengurangi jaringan parut atau bekas luka pada kulit (Suranto et al., 2003).

Penggunaan binahong pada luka bakar juga sangat efektif dikarenakan kandungan dari daun binahong terdapat anti mikroba, asam askorbat, saponin, alkaloid dan polifenol. Dimana semuanya dapat meningkatkan percepatan dalam pnyembuhan luka bakar.


(18)

3-4 hari 5-21 hari >21 hari

Gambar 1. Diagram kerangka teori faktor penyembuhan luka, penggunaan madu dan tumbukan daun binahong

FAKTOR LUKA :  Derajat  Luas  Lokasi  Komplikasi

FAKTOR HOST:  Umur  DM  Perokok  Nutrisi Proses Penyembuhan MADU : -As.Askorbat - Fruktosa - Flavonoid LUKA BAKAR SEMBUH BINAHONG : -Saponin -As. Askorbat -Flavanoid


(19)

9

2. Kerangka Konsep

Berikut ini adalah diagram kerangka konsep antibiotik topikal madu, tumbukan daun binahong dan penyembuhan jaringan pada luka bakar.

Keterangan :

= Derajat kesembuhan luka

= Tidak diteliti

= Diteliti

Luka Bakar derajat

Derajat II + daun binahong Derajat II + Madu

Derajat II +

1. Sudah terjadi reepitelisasi

2. Sel PMN berkurang 3. Tidak terlihat pus, dan

diameter luka mengecil

Luka tidak

1.Tidak terjadi epitelisasi

2.Masih banyak sel PMN.

3. Terdapat pus

1. Sudah terjadi reepitelisasi 2. Sel PMN

berkurang 3. Diameter luka


(20)

F. Hipotesis

Tingkat kesembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih yang diberikan binahong lebih baik dibandingkan dengan madu


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Luka bakar 1. Definisi

Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti kobaran api di tubuh (flame), jilatan api ketubuh (flash), terkena air panas (scald), tersentuh benda panas (kontak panas), akibat sengatan listrik, akibat bahan-bahan kimia, serta sengatan matahari (sunburn) (Moenajat, 2001).

2. Patofisiologi Luka Bakar

Luka bakar suhu pada tubuh terjadi baik karena kondisi panas langsung atau radiasi elektromagnetik. Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 440C tanpa kerusakan bermakna, kecepatan kerusakan jaringan berlipat

ganda untuk tiap drajat kenaikan temperatur. Saraf dan pembuluh darah merupakan struktur yang kurang tahan dengan konduksi panas. Kerusakan pembuluh darah ini mengakibatkan cairan intravaskuler keluar dari lumen pembuluh darah, dalam hal ini bukan hanya cairan tetapi


(22)

protein plasma dan elektrolit. Pada luka bakar ekstensif dengan perubahan permeabilitas yang hampir menyelutruh, penimbunan jaringan masif di

intersitial menyebabakan kondisi hipovolemik. Volume cairan

iuntravaskuler mengalami defisit, timbul ketidak mampuan

menyelenggarakan proses transportasi ke jaringan, kondisi ini dikenal dengan syok (Moenajat, 2001).

Luka bakar juga dapat menyebabkan kematian yang disebabkan oleh kegagalan organ multi sistem. Awal mula terjadi kegagalan organ multi sistem yaitu terjadinya kerusakan kulit yang mengakibatkan peningkatan pembuluh darah kapiler, peningkatan ekstrafasasi cairan (H2O, elektrolit dan protein), sehingga mengakibatkan tekanan onkotik dan tekanan cairan intraseluler menurun, apabila hal ini terjadi terus menerus dapat mengakibatkan hipopolemik dan hemokonsentrasi yang mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi jaringan. Apabila sudah terjadi gangguan perkusi jaringan maka akan mengakibatkan gangguan sirkulasi makro yang menyuplai sirkulasi orang organ organ penting seperti : otak, kardiovaskuler, hepar, traktus gastrointestinal dan neurologi yang dapat mengakibatkan kegagalan organ multi sistem. Proses kegagalan organ multi sistem ini terangkum dalam bagan berikut


(23)

13

Bahan Kimia Suhu Radiasi

Listrik

Luka bakar Pada Wajah Diruang tertutup Kerusakan kulit Kerusakan mukosa Keracunan

Edema laring Penguapan meningkat Masalah perawatan

Obstruksi CO mengikat Hb Resiko tinggi terhadap infeksi

Jalan napas Hb tdk mengikat O2 Gangguan aktivitas

Gagal napas Hipoksia otak Kerusakan integritas kulit

Peningkatan PD kapiler Ekstravasasi cairan Tekanan Osmotik menurun Hipovolemikdan hemokonsentrasi

Gangguan makrosirkulasi

Gangguan perfusi organ Gangguan sirkulasi perifer

Otak –Hipoksia-Sel otak mati-gang.fungsi sentral Gangguan perfusi

Kardiovaskuler - Kebocoran Kapiler – Gagal jantung Laju metabolism

Ginjal – hipoksi – fungsi ginjal menurun – Gagal ginjal Glukonegenesis

Hepar – Plepasan ketokolamin– Gagal hepar Glukogenesis

Gastro Intestinal – dilatasi lambung Perubahan nutrisi

Imunitas – daya tahan tubuh menurun


(24)

3. Etiologi

Luka bakar banyak disebabkan karena suatu hal, diantaranya adalah

a. Luka bakar suhu tinggi(Thermal Burn): gas, cairan, bahan padat

Luka bakar thermal burn biasanya disebabkan oleh air panas (scald) ,jilatan api ketubuh (flash), kobaran api di tubuh (flam), dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek panas lainnya(logam panas, dan lain-lain) (Moenadjat, 2005).

b. Luka bakar bahan kimia (Chemical Burn)

Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa digunakan dalam bidang industri militer ataupu bahan pembersih yang sering digunakan untuk keperluan rumah tangga (Moenadjat, 2005).

c. Luka bakar sengatan listrik (Electrical Burn)

Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan ledakan. Aliran listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah. Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khusunya tunika intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Sering kali kerusakan berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus maupun grown (Moenadjat, 2001).


(25)

15

d. Luka bakar radiasi (Radiasi Injury)

Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radio aktif. Tipe injury ini sering disebabkan oleh penggunaan radio aktif untuk keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi (Moenadjat, 2001).


(26)

4

.

Klasifikasi Luka Bakar

Klasifikasi luka bakar menurut kedalaman a. Luka bakar derajat I

Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis superfisial, kulit kering hiperemik, berupa eritema, tidak dijumpai pula nyeri karena ujung –ujung syaraf sensorik teriritasi, penyembuhannya terjadi secara spontan dalam waktu 5 -10 hari (Brunicardi et al., 2005).

b. Luka bakar derajat II

Kerusakan terjadi pada seluruh lapisan epidermis dan sebagai lapisan dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses eksudasi. Dijumpai pula, pembentukan scar, dan nyeri karena ujung –ujung syaraf sensorik teriritasi. Dasar luka berwarna merah atau pucat. Sering terletak lebih tinggi diatas kulit normal (Moenadjat, 2001).

I. Derajat II Dangkal (Superficial)

 Kerusakan mengenai bagian superficial dari dermis.

 Organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh.

 Bula mungkin tidak terbentuk beberapa jam setelah cedera, dan luka bakar pada mulanya tampak seperti luka bakar derajat I dan


(27)

17

mungkin terdiagnosa sebagai derajat II superficial setelah 12-24 jam

 Ketika bula dihilangkan, luka tampak berwarna merah muda dan basah.

 Jarang menyebabkan hypertrophic scar.

 Jika infeksi dicegah maka penyembuhan akan terjadi secara spontan kurang dari 3 minggu (Brunicardi et al., 2005).

II. Derajat II dalam (Deep)

 Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis

 Organ-organ kulit seperti folikel-folikel rambut, kelenjar keringat,kelenjar sebasea sebagian besar masih utuh.

 Penyembuhan terjadi lebih lama tergantung biji epitel yang tersisa.

 Juga dijumpai bula, akan tetapi permukaan luka biasanya tanpak berwarna merah muda dan putih segera setelah terjadi cedera karena variasi suplay darah dermis (daerah yang berwarna putih mengindikasikan aliran darah yang sedikit atau tidak ada sama sekali, daerah yg berwarna merah muda mengindikasikan masih ada beberapa aliran darah ) (Moenadjat, 2001)

 Jika infeksi dicegah, luka bakar akan sembuh dalam 3 -9 minggu (Brunicardi et al., 2005)


(28)

c. Luka bakar derajat III (Full Thickness burn)

Kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dermis dan lapisan lebih dalam, tidak dijumpai bula, apendises kulit rusak, kulit yang terbakar berwarna putih dan pucat. Karena kering, letak nya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar. Terjadi koagulasi protein pada epidermis yang dikenal sebagai scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung –ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan atau kematian. Penyembuhanterjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari dasar luka (Moenadjat, 2001).

d. Luka bakar derajat IV

Luka full thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan ltulang dengan adanya kerusakan yang luas. Kerusakan meliputi seluruh dermis, organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar keringat mengalami kerusakan, tidak dijumpai bula, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat, terletak lebih rendah dibandingkan kulit sekitar, terjadi koagulasi protein pada epidemis dan dermis yang dikenal scar, tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensori karena ujung-ujung syaraf sensorik mengalami kerusakan dan kematian. penyembuhannya terjadi lebih lama karena ada proses epitelisasi spontan dan rasa luka (Moenadjat, 2001).


(29)

19

5

. Proses Penyembuhan Luka

Berdasarkan klasifikasi lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi dua yaitu: akut dan kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan yang terjadi dalam jangka waktu 2–3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis luka yang tidak tanda-tanda untuk sembuh dalam jangka lebih dari 4–6 minggu.

Pada dasarnya proses penyembuhan luka sama untuk setiap cedera jaringan lunak. Begitu juga halnya dengan kriteria sembuhnya luka pada tipa cedera jaringan luka baik luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan ulkus tungkai, luka traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar, atau luka akibat tindakan bedah. Luka dikatakan mengalami proses penyembuhan jika mengalami proses fase respon inflamasi akut terhadap cedera, fase destruktif, fase proliferatif, dan fase maturasi. Kemudian disertai dengan berkurangnya luasnya luka, jumlah eksudat berkurang, jaringan luka semakin membaik.

Tubuh secara normal akan merespon terhadap luka melalui proses peradangan yang dikarakteristikan dengan lima tanda utama yaitu bengkak, kemerahan, panas, nyeri dan kerusakan fungi. Proses penyembuhannya mencakup beberapa fase (Potter & Perry, 2005) yaitu:


(30)

a. Fase Inflamatori

Fase ini terjadi segera setelah luka dan berakhir 3–4 hari. Dua proses utama terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis. Hemostasis (penghentian perdarahan) akibat vasokonstriksi pembuluh darah besar di daerah luka, retraksi pembuluh darah, endapan fibrin (menghubungkan jaringan) dan pembentukan bekuan darah di daerah luka. Scab (keropeng) juga dibentuk dipermukaan luka. Scab membantu hemostasis dan mencegah kontaminasi luka oleh mikroorganisme. Dibawah scab epithelial sel berpindah dari luka ke tepi. Sel epitel membantu sebagai barier antara tubuh dengan lingkungan dan mencegah masuknya mikroorganisme. Suplai darah yang meningkat ke jaringan membawa bahan-bahan dan nutrisi yang diperlukan pada proses penyembuhan.

Pada akhirnya daerah luka tampak merah dan sedikit bengkak. Selama sel berpindah lekosit (terutama neutropil) berpindah ke daerah interstitial. Tempat ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama lebih kurang 24 jam setelah cidera/luka. Makrofag ini menelan mikroorganisme dan sel debris melalui proses yang disebut fagositosis. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis (AGF) yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah. Makrofag dan AGF bersama-sama mempercepat proses penyembuhan. Respon inflamatori ini sangat penting bagi proses penyembuhan.


(31)

21

Respon segera setelah terjadi injuri akan terjadi pembekuan darah untuk mencegah kehilangan darah. Karakteristik fase ini adalah tumor, rubor, dolor, calor, functio laesa. Lama fase ini bisa singkat jika tidak terjadi infeksi.

b. Fase Proliferatif

Fase kedua ini berlangsung dari hari ke–4 atau 5 sampai hari ke–21. Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi fibroblas, sel inflamasi, pembuluh darah yang baru, fibronectin and hyularonic acid.

Fibroblas (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah terjadi luka. Diawali dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar yang disebut proteoglikan kira-kira 5 hari setelah terjadi luka. Kolagen adalah substansi protein yang menambah tegangan permukaan dari luka. Jumlah kolagen yang meningkat menambah kekuatan permukaan luka sehingga kecil kemungkinan luka terbuka. Kapilarisasi dan epitelisasi tumbuh melintasi luka, meningkatkan aliran darah yang memberikan oksigen dan nutrisi yang diperlukan bagi penyembuhan.


(32)

c. Fase Maturasi

Fase maturasi dimulai hari ke–21 dan berakhir 1–2 tahun. Fibroblas terus mensintesis kolagen. Kolagen menyalin dirinya, menyatukan dalam struktur yang lebih kuat. Bekas luka menjadi kecil, kehilangan elastisitas dan meninggalkan garis putih. Dalam fase ini terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka. Terbentuknya kolagen yang baru yang mengubah bentuk luka serta peningkatan kekuatan jaringan. Terbentuk jaringan parut 50–80% sama kuatnya dengan jaringan sebelumnya. Kemudian terdapat pengurangan secara bertahap pada aktivitas selular dan vaskularisasi jaringan yang mengalami perbaikan (Syamsulhidjayat, 2005).


(33)

23

6. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka a. Usia

Sirkulasi darah dan pengiriman oksigen pada luka, pembekuan, respon inflamasi,dan fagositosis mudah rusak pada orang terlalu muda dan orang tua, sehingga risiko infeksi lebih besar. Kecepatan pertuumbuhan sel dan epitelisasi pada luka terbuka lebih lambat pada usia lanjut sehingga penyembuhan luka juga terjadi lebih lambat (DeLauna & Ladner, 2002).

b. Nutrisi

Diet yang seimbang antara jumlah protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin yang adekuat diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap patogen dan menurunkan risiko infeksi. Pembedahan, infeksi luka yang parah, luka bakar dan trauma, dan kondisi defisit nutrisi meningkatkan kebutuhan akan nutrisi. Kurang nutrisi dapat meningkatkan resiko infeksi dan mengganggu proses penyembuhan luka. Sedangkan obesitas dapat menyebabkan penurunan suplay pembuluh darah, yang merusak pengiriman nutrisi dan elemen-elemen yang lainnya yang diperlukan pada proses penyembuhan. Selain itu pada obesitas penyatuan jaringan lemak lebih sulit, komplikasi seperti dehisens dan episerasi yang diikuti infeksi bisa terjadi (DeLaune & Ladner, 2002).


(34)

c. Oksigenasi

Penurunan oksigen arteri pada mengganggu sintesa kolagen dan pembentukan epitel, memperlambat penyembuhan luka. Mengurangi kadar hemoglobin (anemia), menurunkan pengiriman oksigen ke jaringan dan mempengaruhi perbaikan jaringan (Delaune & Ladner, 2002).

d. Infeksi

Bakteri merupakan sumber paling umum yang menyebabkan terjadinya infeksi. Infeksi menghematkan penyembuhan dengan memperpanjang fase inflamasi, dan memproduksi zat kimia serta enzim yang dapat merusak jaringan (Delaune & Ladner, 2002). Resiko infeksi lebih besar jika luka mengandung jaringan nekrotik, terdapat benda asing dan suplai darah serta pertahanan jaringan berkurang (Perry & Potter, 2005).

e. Merokok

Merokok dapat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin dan kerusakan oksigenasi jaringan. Sehingga merokok menjadi penyulit dalam proses penyembuhan luka (DeLaune & Ladner, 2002).

f. Diabetes Melitus

Menyempitnya pembuluh darah (perubahan mikrovaskuler) dapat merusak perkusi jaringan dan pengiriman oksiken ke jaringan. Peningkatan kadar glukosa darah dapat merusak fungsi luekosit dan fagosit. Lingkungan yang tinggi akan kandungan glukosa adalah media


(35)

25

yang bagus untuk perkembangan bakteri dan jamur (DeLaune & Ladner, 2002).

g. Sirkulasi

Aliran darah yang tidak adekuat dapat mempengaruhi penyembuhan luka hal ini biasa disebabkan karena arteriosklerosis atau abnormalitas pada vena (DeLaune & Ladner, 2002).

h. Faktor Mekanik

Pergerakan dini pada daerah yang luka dapat menghambat penyembuhan (DeLaune & Ladner, 2002).

i. Steroid

Steroid dapat menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera dan menghambat sintesa kolagen. Obat obat antiinflamasi dapat menekan sintesa protein, kontraksi luka, epitelisasi dan inflamasi (DeLaune & Ladner, 2002).

j. Antibiotik

Penggunaan antibiotik jangka panjang dengan disertai perkembangan bakteri yang resisten, dapat menigkatkan resiko infeksi (Delaune & Ladner, 2002).


(36)

B. Madu

1. Deskripsi Madu

Madu merupakan bahanmakanan sumber energi yang mengandung gula-gula sederhana sehingga dapat segera dimanfaatkan oleh tubuh. Madu adalah cairan alami yang umumnya memiliki rasa manis, yang dihasilkan oleh lebah madu dari sari bunga tanaman (Floral nectar) atau bagian lain dari tanaman (extra floral nectar) atau ekskresi serangga. Madu dihasilkan oleh lebah dari sari bunga yang berbeda beda sehingga komposisi yang ada disatu madu bisa berbeda dengan madu lainnya. Namun secara umum zat- zat penyembuhan teradapat diseluruh madu sejauh madu tersebut benar-benar asli. Keaslian madu dapat dianalisis melalui kandungan zat yang terdapat pada madu (Putriwindani, 2011).

2. Jenis –jenis Madu

Hammad (2009) menyatakan bahwa madu terdiri dari beberapa jenis yang tergantung pada sumber bunganya. Madu yang sumber bunganya bahwa satu jenis sari bunga disebut monofloral, sedangkan madu yang sumbernya berasal dari berbagai sari bunga disebut madu multifloral. Madu dapat diklasifikasikan kedalam berbagai jenis berdasarkan spesifikasi tertentu,


(37)

27

meliputi warna, kekentalan, dan aroma. Berikut ini adalah penjelasan karakteristik beberapa jenis madu menurut Hammad (2009).

1. Madu bunga akasia yaitu madu yang berwarna kuning susu dan mempunyai aroma yang lembut. Madu ini mempunyai kandungan fruktosa yang tinggi. Oleh sebab itu, jenis madu ini selalu dalam keadaan cair.

2. Madu bunga Limau merupakan madu yang termaksud madu yang

paling laris dipasaran, karena memiliki aroma yang lezat dan rasanya yang istimewa. Warnanya kuning kehijau hijauan.

3. Madu Heather berwarna kuning gelap atau merah kecoklatan. Madu ini memiliki keunikan tersendiri yaitu ia akan membeku dan keadaanya diam, namun akan cair ketika akan diguncangkan.

4. Madu Lobak yaitu jenis madu yang mengandung glukosa yang tinggi sehingga lebih cepat mengkristal. Warnanya putih pucat karena kandungan glukosanya yang tinggi sehingga rasanya manis menyengat.

5. Madu alfalfa berwarna kuning muda, aromanya wangi, rasanya lembut, dan cepat mengkristal. Oleh karena itu madu ini sering dijual bersama sarangnya.

6. Madu Willow berasal dari pohon willow yang memiliki daun berwarna ungu. Madu ini termaksud madu yang rasanya paling enak dan aromanya sangat wangi. Warnanya terang kehijau-hijauan dan tidak mudah mengkristal.


(38)

7. Madu Eucalyptus berwarna kungin muda dan memiliki cita rasa yang kuat. Madu jenis ini terkenal akan khasiatnya untuk mengobati penyakit dada.

8. Madu Citrus umumnya dijual dengan nama “madu jeruk”, meski sebenarnya berasal dari pohon lemon. Madu ini berwarna terang dan rasanya lezat.

9. Madu sikomore memiliki ciri khas yaitu tidak cepat masak. Madu jenis ini sebaiknya dikonsumsi beberapa bulan setelah disaring.

10. Madu Dandelion memiliki ciri khas berwarna kuning tua keemas-emasan. Madu ini memiliki rasa yang lezat dengan aroma yang tajam .

3. Kandungan Madu

Kandungan dan sifat madu dapat berbeda tergantung dari sumber madu. Madu lebih efektif digunakan sebagai terapi topikal karenakandungan nutrisi dan sifat madu. Madu mengandung senyawa radikal hidrogen peroksida yang bersifat dapat membunuh mikroorganisme patogen dan terdapat adanya senyawa organik yang bersifat antibakteri antara lain seperti polypenol, dan glikosida (Gheldof et al., 2002).

Selain itu dalam madu terdapat banyak sekali kandungan vitamin, asam mineral, dan enzim yang sangat berguna bagi tubuh sebagai pengobatan secara tradisional, antibodi, dan penghambat pertumbuhan sel kanker, atau


(39)

29

tumor. Madu adalah sumber alami karbohidrat yang memberikan kalori sebanyak 64 kal/sendok makan. Madu mengandung sejumlah asam, yaitu asam amino sebesar 0,05–0,1% dan asam organik sebesar 0,17–1,17%. pH rata-rata madu adalah 3,9 dengan rata-rata pH sebesar 3,4–6,1 (National Honey Board, 2007).

Madu terutama terdiri dari gula sebanyak 79,6% dan air sebanyak 17,2%. Gula yang paling banyak terdapat pada madu adalah fruktosa sekitar 38,5% dan glukosa sekitar 31,0%. Fruktosa dan glukosa merupakan monosakarida. Madu juga mengandung gula jenis disakarida, yaitu sukrosa sekitar 1,3%, maltosa sekitar 7,3%, turanosa, isomaltosa, dan maltulosa. Selain monosakarida dan disakarida, madu juga mengandung oligosakarida (Riddle, 2001; National Honey Board, 2007).


(40)

Tabel 1. Komposisi madu (Suranto, 2007).

KANDUNGAN RATA-RATA KISARAN DEVIASI STANDAR Fruktosa/Glukosa 1,23 0,76–1,86 0,126

Fruktosa % 38,38 30,91–44,26 1,77 Glukosa % 30,31 22,89–44,26 3,04

Maltosa % 7,3 2,7–16,0 2,1

Sukrosa % 1,31 0,25–7,57 0,87

Gula % 83,72 - -

Mineral % 0,169 0,020–1,028 0,15

Asam bebas 0,43 0,13–0,92 0,16

Nitrogen 0,041 0,000–0,133 0,026

Air % 17,2 13,4–22,9 1,5

pH 3,91 3,42–6,01 -

Total keasaman meq/kg

29,12 8,68–59,49 10,33


(41)

31

Persentase komposisi minor madu adalah asam sekitar 0,57%, protein sekitar 0,266%, nitrogen sekitar 0,043%, asam amino sekitar 0,1%, mineral sekitar 0,17%, dan beberapa komponen lain, seperti fenol, koloid, dan vitamin, yang semuanya membentuk sekitar 2,1% dari seluruh komposisi madu (National Honey Board, 2007). Daftar komposisi madu secara umum tercantum dalam tabel 1.

Madu alami juga banyak mengandung enzim, yaitu molekul protein yang sangat komplek yang dihasilkan oleh sel hidup dan berfungsi sebagai katalisator, yaknizat pengubah kecepatan reaksi dalam proses kimia yang terjadi di dalam tubuh setiap makhluk hidup (Purbajaya, 2007). Enzim yang paling dominan adalah diastase (amilase), invertase, dan glukosa oksidase. Enzim-enzim lain, seperti katalase dan asam fosfatase, terdapat dalam jumlah yang lebih kecil (National Honey Board, 2007).

4. Manfaat Madu Dan Berbagai Penelitian Terkait Madu

Penelitian tentang pemanfaatan produk lebah madu dimulai sejak tahun 1922 oleh Prof. R. Chauvin dari Universitas Sorbone, Perancis. Penelitian-penelitian selanjutnya mengenai manfaat madu banyak dilakukan dan berhasil menguraikan berbagai manfaat madu, salah satunya di bidang kesehatan. Madu telah dilaporkan mempunyai efek inhibitor sekitar 60 spesies bakteri meliputi bakteri aerob dan anaerob, gram positif dan gram


(42)

negatif. Efek antifungal juga telah diobservasi pada beberapa jamur serta spesies aspergillus dan penicillium (Molan, 1992).

Madu merupakan larutan yang mengalami supersaturasi dengan kandungan gula yang tinggi danmempunyai interaksi kuat dengan molekul air sehingga akan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan mengurangi aroma pada luka. Salah satunya adalah pada luka infeksi yangdisebabkan oleh bakteri gram positif Staphylococcus aureus yang paling banyak dijumpai pada infeksi di permukaan kulit. Seperti yang dilaporkan Cooper et al., (1999), hasil studi laboratorium menunjukkan madu memiliki efek anti bakteri pada beberapa jenis luka infeksi,misalnya bakteri Staphylococcus aureus.

Hasil penelitian lain melaporkan madu alam dapatmembunuh bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Clostritidium. Luka dapatmenjadi steril terhadap kuman apabila menggunakan madu sebagai dressing untuk terapi topikal. Selain itu pH yang rendah (3,6–3), dari madu dapat mencegah terjadinya penetrasi dan kolonisasikuman. Apabila terjadi kontak dengan cairan luka khususnya luka kronis, cairan lukaakan terlarut akibat kandungan gula yang tinggi pada madu, sehingga luka menjadi lembab dan hal ini dianggap baik untuk proses penyembuhan.

Salah satu tujuan terapi luka adalah untuk mengurangi respon inflamasi berlebihan (Cho et al., 2003). Madu telah dilaporkan dapat mengurangi inflamasi pada proses luka (Subrahmanyam, 1998). Berhubungan dengan


(43)

33

sifat madu yang antioksidan sehingga bertanggung jawab pada radikal bebas yang terlibat dalam berbagai aspek peradangan. Aljadi A M, et al., (2004) melaporkan bahwa madu memiliki antioksidan dan pemulungan radikal properti, yang terutama karena flavonoid dan fenolik.

Madu juga merangsang pertumbuhan jaringan baru sehinga selain mempercepat penyembuhan juga mengurangi timbulnya parut atau bekas luka pada kulit. Madu memiliki efek osmotik dengan tinginya kadar gula dalam madu terutama fruktosa, dan kadar air yang sangat sedikit menyebabkan madu memiliki efek osmotik yang tinggi. Dengan adanya efek tersebut memungkinkan mikroorganisme yang ada dalam tubuh sukar tumbuh dan berkembang.

Selain itu kandungan air yang terdapat dalam madu akan memberikan kelembaban pada luka. Hal ini sesuai dengan prinsip perawatanluka modern yaitu "Moisture Balance". Madudapat menurunkan pH dan mengurangi ukuran luka kronis seperti ulkus vena/arteri dan luka decubitusdalam waktu dua minggu secara signifikan. Hal ini akan memudahkan terjadinya proses granulasi dan epitelisasi pada luka.

Madu mampu mengabsorbsi pus atau nanah atau luka, sehingga secara tidak langsung madu akan membersihkan luka tersebut. Madu menimbulkan efek analgetik (penghilang nyeri), mengurangi iritasi, dan


(44)

dapat mengeliminasi bau yang menyengat pada luka. Madu juga berfungsi sebagai antioksidan karena adanya vitamin C yang banyak terkandung pada madu. Secara tidak langsung madu mengeliminasi zat radikal bebas yang ada pada tubuh kita. Pada luka bakar, dimana madu telah dimanfaatkan untuk manahan luka-luka bakar yang terjadi pada kulit. Jika diusapkan pada daerah yang terbakar, madu akan mengurangi rasa sakit yang menyengat dan mencegah pembentukan lepuhan (Purbaya, 2002).

Dari beberapa penelitian yang dilakukan salah satunya di Universitas Iskandariyah Mesir pada tahun 1991 menyebutkan madu sangat efektif untuk pengobatan luka dan telah dilakukan eksperimen pengobatan terhadap luka bakar dengan mengunakan madu dan setelah dilakukan perbandingan dengan pengobatan modern yaitu SS, hasilnya setelah 7 hari, kelompok yang diobati dengan madu 91% bebas dari infeksi sedangkan yang diobati dengan SS hanya 7% yang bebas infeksi. Setelah pengobatan berjalan 15 hari, 87% pasien yang diobati madu sembuh sedangkan yang diobati dengan SS hanya 10%yang sembuh. Penelitian pada tahun 1992 dan 1993 juga membuktikan bahwa pasien luka bakar yang diobati dengan madu, hanya 20% yang menyisakan luka luka ditubuhnya, sedangkan pengobatanmodern dengan obat farmakologis menyisakan sekitar 65% pasien meninggalkan bekas luka (Purbaya, 2002).


(45)

35

Madu selama berabad-abad telah digunakan untuk perawatan luka dan borok. Madu berisi glukosa dan enzim yang disebut oksidase glukosa. Pada kondisi yang tepat, oksidase glukosa dapat memecah glukosa madu menjadi hidrogen peroksida, zat yang bersifat antiseptik kuat. Madu dalam kemasan tidak dapat melakukan reaksi ini. Untuk menjadi aktif dan mengurai glukosa madu, oksidase glukosa memerlukan lingkungan dengan pH 5,5– 8,0 dan natrium. PH madu murni yang berkisar antara 3,2 dan 4,5 terlalu rendah untuk mengaktifkan enzim. Kulit dan cairan tubuh misalnya darah memiliki pH relatif tinggi dan mengandung natrium sehingga memberikan kondisi yang tepat untuk pembentukan hidrogen peroksida.


(46)

C. Daun Binahong 1. Gambaran Umum

Tanaman binahong adalah tanaman asli yang berasal dari Amerika Selatan yang disebut juga Anredera cordifolia (Ten) Steenis. Binahong adalah tanaman yang berasal dari daratan Tiongkok (Cina) dan dikenal dengan nama asli Dheng Shan Chi. Tanaman inimerupakan tumbuhan merambat yang memiliki banyak manfaatwalaupun belum terbukti secara empiris. Khasiat dan kemanjurannyatelah diakui oleh bangsa Eropa, Amerika Serikat, Korea, Taiwan, dan Tiongkok. Kegunaan utamanya adalah untuk penyembuh luka, baik luka dalam maupun luka luar dan memulihkan kondisi lemah setelah sakit. Binahong sangat baik untuk penambah stamina serta mencegah stroke dan asam urat. Pola hidup yang tidak sehat akan menimbulkan banyak penyakit baik penyakit ringan maupun penyakit yang berat. Untuk itu kita harus mewaspadai dan mencegah pola hidup tidak sehat seperti memakan makanan instan, terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung minyak/lemak jenuh, dsb. Seluruh bagian tanaman Binahong dapat dimanfaatkan mulai dari akar (umbi), batang, dan daunnya.

Binahong berupa tumbuhan menjalar, berumur panjang (perenial), bisa mencapai panjang 5 m, berbatang lunak, silindris, saling membelit, berwarna merah, bagian dalam solid, permukaan halus,


(47)

37

kadang membentuk semacam umbi yang melekat di ketiak daun dengan bentuk tak beraturan dan bertekstur kasar. Daun dari binahong berjenis tunggal, bertangkai sangat 5 pendek (subsessile), tersusun berseling, berwarna hijau, bentuk jantung (cordata), panjang 5 - 10 cm, lebar 3 - 7 cm, helaian daun tipis lemas, ujung runcing, pangkal berlekuk (emerginatus), tepi rata, permukaan licin, bisa dimakan. Binahong mempunyai jenis bunga majemuk berbentuk tandan, bertangkai panjang, muncul di ketiak daun, mahkota berwarna krem keputihputihan berjumlah lima helai tidak berlekatan, panjang helai mahkota 0,5-1cm, berbau harum. Akarnya berbentuk rimpang, berdaging lunak (Pink, 2004).

Tanaman binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) adalah tanaman obat potensial yang dapat mengatasi berbagai jenis penyakit. Tanaman ini berasal dari dataran Cina dengan nama asalnya adalah Dheng shan chi. Di Indonesia tanaman ini belum banyak dikenal, sedangkan di Vietnam tanaman ini merupakan suatu makanan wajib bagi masyarakat di sana. Binahong tumbuh menjalar dan panjangnya dapat mencapai 5 meter, berbatang lunak berbentuk silindris dan pada ketiak daunterdapat seperti umbi yang bertekstur kasar. Daunnya tunggal dan mempunyai tangkai pendek, bersusun berselang-seling dan berbentuk jantung. Panjang daun antara 5-10 cm


(48)

dan mempunyai lebar antara 3-7 cm. Seluruh bagian tanaman binahong dapat dimanfaatkan, mulai dari akar,batang, daun, umbi dan bunganya.

Tanaman binahong (Anredera cordifolia (Tenore) Steenis) termasuk dalam famili Basellaceae merupakan salah satu tanaman obat yang mempunyai potensi besar ke depan untuk diteliti, karena dari tanaman ini masih banyak yang perlu digali sebagai bahan fitofarmaka. Tanaman ini sebenarnya berasal dari Cina dan menyebar ke Asia Tenggara. Di negara Eropa maupun Amerika, tanaman ini cukup dikenal, tetapi para ahli di sana belum tertarik untuk meneliti serius dan mendalam, padahal beragam khasiat sebagai obat telah diakui (Manoi F, 2009).

Gambar 3. Daun Binahong (Anonim, 2010)

Tanaman binahong berdaun tunggal, bertangkai sangat pendek (subsessile), pertulangan menyirip, tersusun berseling, berwarna hijau


(49)

39

muda, berbentuk jantung (cordata), memiliki panjang sekitar 5-10 cm dan lebar sekitar 3-7 cm, helaian daun tipis lemas, ujung runcing, pangkal berbelah, tepi rata atau bergelombang, dan permukaan halus dan licin (Pink, 2004)

2. Klasifikasi

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh) Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisio : Magnoliophyta (berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub-kelas : Hamamelidae

Ordo : Caryophyllales Familia : Basellaceae Genus : Anredera

Spesies : Anredera cordifolia (Ten.) Steenis (Pink, 2004).

3. Kandungan Binahong

Berdasarkan hasil penelitian, daun binahong mengandung saponin, alkaloid dan polifenol (Rochmawati, 2007). Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun. Penyarian senyawa saponin akan memberikan hasil yang lebih baik sebagai antibakteri jika


(50)

menggunakanpelarut polar seperti etanol 70%. Saponin memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang berperan dalam proses penyembuhan luka (Suratman dkk., 1996).

Metode skrining fitokimia digunakan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder, makromolekul serta penggunaan data yang diperoleh untuk menggolongkan tumbuhan. Metode ini juga penting untuk menentukan ciri atau sifat kimia dari fitotoksin dan fitoaleksin. Pendekatan skrining fitokimia meliputi analisis kualitatif kandungan kimia dalam tumbuhan atau bagian tumbuhan (akar, 19 batang, bunga, buah, dan biji), terutama kandungan metabolit sekunder, yaitu alkaloid, antrakinon, flavonoid, kumarin, saponin (steroid dan triterpenoid), tannin (polifenolat), minyak atsiri (trepenoid), dan sebagainya. Uraian beberapa metabolit sekunder tersebut adalah sebagai berikut :

a. Flavonoid

Aktivitas flavanoid adalah sebagai antioksidan, anti atherosklerotik, anti agregasi trombosit, antiinflamasi dan antidiare, Serta memiliki efek antimikroba dengan target spektrum luas (Manoi, 2009)

b. Polifenol

Polifenol mudah larut dalam air karena berikatan dengan gula sebagai glikosida dan biasanya terdapat dalam vakuola sel. Untuk mendeteksi senyawa fenol sederhana ialah dengan menambahkan larutan besi (III) klorida 1% dalam air atau etanol ke dalam larutan


(51)

41

cuplikan yang menimbulkan warna hijau, merah, ungu, biru atau hitam yang kuat.

c. Saponin

Saponin tidak larut dalam pelarut non polar, paling cocok diekstraksi dengan etanol atau metanol panas 70-96%, kemudian lipid dan pigmen disingkirkan dari ekstrak dengan benzen. Saponin juga potensial dalam proses pembentukan kolagen, protein yang berperan dalam pemulihan luka (Isnaini, 2009)

d. Alkaloid

Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom N, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, kebanyakan berbentuk kristal, hanya sedikit yang 20 berupa cairan. Senyawa alkaloid dapat dideteksi dengan pereaksi Dragendorf (Rochani, 2009). Alkaloid juga memiliki aktivitas antitumor, anti piretik, antihiperlikemik serta digunakan untuk mengobati oedem, asites dan hordeolum (Fattorusso & Taglialatela, 2008).

e. Asam Askorbat (Vitamin C)

Asam askorbat adalah vitamin yang dapat larut dalam air dan sangat penting untuk biosintesis kolagen, karnitin, dan berbagai neurotransmitter. Kebanyakan tumbuh-tumbuhan dan hewan dapat mensintesis asam askorbat untuk kebutuhannya sendiri. Akan tetapi manusia dan golongan primata lainnya tidak dapat mensintesa asam


(52)

askorbat disebabkan karena tidak memiliki enzim gulunolactone oxidase, begitu juga dengan marmut dan kelelawar pemakan buah. Oleh sebab itu asam askorbat harus disuplai dari luar tubuh terutama dari buah, sayuran, atau tablet suplemen Vitamin C. Banyak keuntungan di bidang kesehatan yang didapat dari fungsi askorbat,

seperti fungsinya sebagai antioksidan, anti atherogenik,

immunomodulator dan mencegah flu. Akan tetapi untuk dapat berfungsi dengan baik sebagai antioksidan, maka kadar asam askorbat ini harus terjaga agar tetap dalam kadar yang relatif tinggi di dalam tubuh (Yi li, 2007 dalam Siregar, 2009)

A. Manfaat Binahong Dan Berbagai Penelitian Terkait Binahong

Tanaman binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) berkhasiat sebagai obat batuk atau muntah darah, radang paru-paru, kencing manis, sesak nafas, borok akut yang menahun, darah rendah, radang ginjal, gejala liver, disentri, hidung mimisan, habis bedah operasi, luka bakar, luka akibat benda tajam, jerawat, usus bengkak, gusi berdarah, kurang nafsu makan, melancarkan haid, haid habis bersalin (melahirkan), menjaga stamina tubuh agar tetap sehat, penghangat badan, dan lemah syahwat, juga antibakteri (Rochmawati, 2007).

Berdasarkan literatur dan pengalaman yang berkembang di masyarakat, daun binahong digunakan untuk menyembuhkan luka bakar. Cara


(53)

43

penggunaan masih sangat sederhana yaitu daun binahong ditumbuk sampai halus kemudian dibalurkan pada tubuh yang terkena luka bakar. Penggunaan tanaman binahong ini masih dalam batas berdasarkan pengalaman, belum ada dasar bukti penelitian ilmiah.

Asam askorbat dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, berfungsi dalam pemeliharaan membran mukosa, mempercepat penyembuhan (Rochmawati, 2007) dan sebagai antioksidan, asam askorbat penting untuk mengaktifkan enzim prolil hidroksilase yang menunjang tahap hidroksilasi dalam pembentukan kolagen. Dengan adanya asam askorbat ini, maka serat kolagen yang terbentuk akan lebih kokoh dan mempercepat penyembuhan luka (Guyton et al., 1997).


(54)

III. METODE PENELITIAN

A.Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan eksperimental laboratorik untuk mengetahui perbedaan tingkat kesembuhan antara luka bakar yang diberikan madu murni dan diberikan tumbukan daun pada tikus putih (rattus norvegicus ) jantan dewasa galur Sprague Dawley. Menggunakan post test only controlled group design.

B.Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Pet House Fakultas Kedokteran Universitas Lampung sebagai tempat adaptasi dan perlakuan pada hewan percobaan, sedangkan pembuatan preparat dan pengamatannya dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Penelitian dilaksanakan November 2013.


(55)

45

C. Sampel Penelitian

Sampel pada penelitian ini berjumlah 6 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa galur sprague Dawley berumur 3-4 bulan yang dipilih secara random.

Pemilihan sampel digunakan dengan cara simple random sampling. Pada uji eksperimental ini, variabel yang diuji adalah numerik berpasangan sehingga perhitungan sampel dihitung dengan rumus (Dahlan, 2009).

Dengan nilai α = 5 % (zα = 1,96), β = 20 % (zβ = 0,84), simpangan baku = S dan perbedaan selisih rerata skor histopatologi yang diharapkan sebagai

( ).

S = 1,5


(56)

Maka jumlah minimal sampel adalah 18 ekor tikus. Jadi tiap perlakuan dibutuhkan minimal 6 sampel ( ≥6) untuk masing-masing perlakuan dan jumlah perlakuan sebanyak 3 kali, sehingga total sampel minimal yang dibutuhkan adalah sebanyak 18 sampel yang didapatkan pada 6 ekor tikus putih dari populasi yang ada. Namun pada penelitian ini digunakan 8 ekor tikus putih, sehingga didapatkan 18 sample dan 6 sampel sebagai cadangan.

Adapun perlakuan yang diberikan pada masing-masing tikus adalah

1). Sampel kontrol yaitu bagian tubuh tikus di daerah punggung bawah kanan yang diberi luka bakar derajat II dengan diameter 2 cm yang akan dibiarkan sembuh secara normal tanpa pemberian zat aktif.

2). Sampel perlakuan madu yaitu bagian tubuh tikus di daerah punggung kiri yang diberi luka bakar derajat II dengan diameter 2 cm, selama proses penyembuhan akan diberikan preparat madu diberikan secara topikal 2–3 kali sehari dan ditutup dengan kassa steril.

3). Sampel perlakuan tumbukan daun binahong yaitu bagian tubuh tikus di daerah punggung kanan atas yang diberi luka bakar derajat II dengan diameter 2 cm, selama proses penyembuhan luka diberikan tumbukan daun binahong secara topikal 2–3 kali sehari dan ditutup dengan kassa steril. 2–3 kali sehari dan ditutup dengan kassa steril.


(57)

47

Tabel 2. Jenis perlakuan penelitian dan dosis yang diberikan pada setiap perlakuan.

Hewan Percobaan Jenis Perlakuan Dosis

Tikus dengan Luka bakar derajat II

Kontrol (tanpa pemberian zat

aktif Aquades 2x/ hari

Madu Topikal 2x/ hari Tumbukan daun binahong Topikal 2x/ hari


(58)

D. Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Inklusi:

a. Sehat (tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, atau botak, dan bergerak aktif)

b. Berjenis kelamin jantan c. Berusia sekitar 3–4 bulan

Ekslusi:

a. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboratorium

b. Sakit (penampakan rambut kusam, rontok atau botak dan aktivitas kurang atau tidak aktif, keluarnya eksudat yang tidak normal dari mata, mulut, anus, genital).


(59)

49

E. Bahan dan Alat Penelitian

1.Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan yaitu: madu murni ,tumbukan daun binahong, plester, kassa steril, aquadest, alkohol, obat anastesi lidokain, tikus putih (Rattus norwegicus) jantan dewasa galur Sprague dawley, pakan dan minum tikus ,larutan formalin 10% untuk fiksasi preparat histopatologi, alkohol, etanol, xylol, pewarna hematoksilin dan eosin, entelan dan kamera digital untuk dokumentasi.

2.Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan adalah pisau cukur dan gagangnya, gunting untuk mencukur rambut/bulu tikus, penggaris, sarung tangan steril, bengkok, kom, solder listrik (electro cauter) yang ujungnya dimodifikasi dengan logam aluminium berdiameter 2cm, kipas angin, gunting plester, pinset anatomis, spuit 1cc dan jarum, kassa steril, kandang serta botol minum tikus, mikroskop cahaya, object glas, cover glass, deck glass, tissue cassette, rotary microtome, oven, water bath, platening table, autotechnicom processor, staining jar, staining rak, kertas saring, histoplast, dan parafin dispenser.


(60)

F.Variabel Penelitian

1.Variabel bebas (independent variabel)

Pemberian zak aktif pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa, yaitu madu murni dan tumbukan daun binahong

2.Variabel Terikat (Dependent variabel)


(61)

51

G.Definisi Operasional Tabel 3. Definisi Operasional

Variabel Definisi Skala

Ukur Madu

Murni

Madu yang berasal dari petani, tanpa adanya campuran gula maupun air. Yang diberikan pada permukaan luka bakar.

Katagorik

Tumbukan daun binahong

Daun binahong yang telah dehaluskan secara normal dengan cara ditumbuk. Yang diberikan pada permukaan luka bakar

Katagorik

Luka Bakar Derajat II

Luka bakar yang mencapai dermis, dan terbentuk, gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat

Ordinal

Gambaran mikroskopik kulit tikus

1.Sediaan dilihat pada pembesaran 40x secara acak di setiap spesimen dari biopsi insisi luka yaitu: pembentukan kolagen, tingkat pembentukan epitelisasi, sel radang dan jumlah pembentukan pembuluh darah baru.

2. Diameter luka bakar

Numerik


(62)

H.Prosedur Penelitian 1.Persiapan

Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dewasa Sprague dawley yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor .Penelitian ini menggunakan 8 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley, sebelumnya dilakukan adaptasi di laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan diberi pakan standar secukupnya selama 7 hari. Setelah masa adaptasi, tikus dipisahkan dan masing masing di masukan kedalam kandang.

2.Pembuatan Luka Bakar Derajat II

Cara pembuatan luka bakar derajat II (Handian, 2006) :

a. Tentukan terlebih dahulu daerah yang akan dibuat luka bakar

b. Hilangkan bulu dengan mencukur sesuai dengan luas area luka bakar yang diinginkan

c. Pasang perlak dan alasnya di bawah tikus yang akan dibuat luka bakar

d. Cuci tangan dan pakai sarung tangan

e. Lakukan anestesi pada area kulit yang akan dibuat luka bakar dengan dosis 0,2 cc lidokain

f. Gunakan solder listrik (electro cauter) yang ujungnya dimodifikasi dengan logam aluminium berdiameter 2 cm yang telah dipanaskan


(63)

53

selama 30 menit dan tempelkan pada kulit tikus yang telah diberika anastesi.

3.Prosedur Penanganan Luka Bakar Derajat II

Pada 8 tikus yang masing masing mendapatkan 3 luka bakar akan dilakukan 3 perlakuan yaitu, aquades (kontrol), tumbukan daun binahong, dan madu murni. Sebelum diberikan preparat madu murni pada luka atau pemberian tumbukan daun binahong, luka dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan air aquadest. Berikut prosedur penanganan luka bakar yang akan dilakukan pada tikus percobaan:

a. Cuci tangan

b. Tempatkan perlak yang dilapisi kain di bawah luka yang akan dirawat. c. Pakai sarung tangan steril dan siapkan kasa.

d. Atur posisi tikus untuk mempermudah tindakan

e. Olesi bagian luka dengan kasa yang telah dibasahi dengan madu setebal 2 mm hingga menutup seluruh permukaan luka untuk kelompok perlakuan madu murni .

f. Olesi bagian luka dengan tumbukan daun binahong setebal 2mm sampai menutup luka tersebut

g. Tutup luka dengan kasa steril

h. Untuk kelompok kontrol tidak diberikan zat aktif apapun, namun dibersihkan dengan aquades.


(64)

4.Prosedur Operasional Pembuatan Slide

Metode pembuatan preparat Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

a. Prosedur pembuatan blok parafin :

1) Organ telah dipotong secara melintang dan telah difiksasi menggunakan formalin 10% selama 3 jam.

2) Bilas dengan air mengalir sebanyak 3–5 kali. 3) Dehidrasi dengan :

a) Alkohol 70% selama 0,5 jam

b) Alkohol 96% selama 0,5 jam

c) Alkohol 96% selama 0,5 jam

d) Alkohol 96% selama 0,5 jam

e) Alkohol absolut selama 1 jam f) Alkohol absolut selama 1 jam g) Alkohol absolut selama 1 jam h) Alkohol xylol 1:1 selama 0,5 jam 4) Clearing dengan menggunakan:

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xylol I dan II masing-masing selama 1 jam.

5) Impregnansi dengan parafin selama 1 jam dalam oven suhu 65oC.

6) Pembuatan blok parafin:

Sebelum dilakukan pemotongan blok parafin, parafin didinginkan dalam lemari es. Pemotongan menggunakan rotary microtome dengan


(65)

55

menggunakan disposable knife. Pita parafin dimekarkan pada water bath dengan suhu 60oC. Dilanjutkan dengan pewarnaan hematoksilin eosin.

b. Prosedur pulasan Hematoxylin – Eosin :

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, memilih slide yang terbaik selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut.

1) Dilakukan deparafinisasi dalam: a) Larutan xylol I selama 5 menit b) Larutan xylol II selama 5 menit

c) Ethanol absolut selama 1 jam

2) Hydrasi dalam:

a) Alkohol 96% selama 2 menit

b) Alkohol 70% selama 2 menit

c) Air selama 10 menit

3) Pulasan inti dibuat dengan menggunakan:

a) Haris hematoksilin selama 15 menit

b) Air mengalir

c) Eosin selama maksimal 1 menit

4) Lanjutkan dehidrasi dengan menggunakan:

a) Alkohol 70% selama 2 menit

b) Alkohol 96% selama 2 menit


(66)

5) Penjernihan:

a) Xylol I selama 2 menit b) Xylol II selama 2 menit


(67)

57

Tikus 1 Tikus 2 Tikus 3 Tikus 4 Tikus 5 Tikus 6 Tikus 7 Tikus 8

Diadaptasi selama 7 hari

Masing-masing tikus diberi luka bakar pada 3 lokasi perlakuan dengan logam panas berdiameter 2 cm

Terdapat 24 sampel luka bakar Diberi perawatan selama 14 hari

Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan 3

Dibersihkan dengan dibersihkan dengan dibersihkan dengan aquades 1 x sehari aquades dan dressing aquades dan dressing

tumbukan daun binahong madu 100% 2mm 2 x sehari tebal 2mm 2 x sehari

Tikus dinarkosis

Dilihat klinis luka bakar

Diambil sampel biopsi pada daerah luka bakar pada hari ke-14

Sampel dikirim ke laboratorium Histologi dan Patologi Fakultas Kedoteran Unila untuk pembuatan blok parafin

Pengamatan sediaan mikroskopik Interpretasi hasil


(68)

I. Prosedur penelitian makroskopik & mikroskopik 1. Makroskopik

Penyembuhan luka dinilai dengan melakukan pengukuran pada hari pertama dan hari terakhir, untuk melihat penyembuhan luka secara makroskopis. Diameter luka bakar rata-rata dihitung dengan cara seperti dibawah ini (Suratman et al., 1996).

2. Mikroskopik

Penilaian mikroskopis penyembuhan luka dilihat pada pembesaran 10x & 40x pada 5 lapang pandang acak setiap spesimen menggunakan hasil pemeriksaan patologi anatomi dari biopsi insisi luka dengan menghitung tingkat pembentukan kolagen, tingkat pembentukan epitelisasi dan jumlah pembentukan pembuluh darah baru dengan kriteria yang terdapat pada tabel 3.


(69)

59

Gambar 5. Diameter Luka Bakar.

Luka yang terjadi diukur diameternya seperti gambar 6.Kemudian dihitung diameter rata-ratanya dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan : = Diameter luka hari ke x

Untuk mengukur persentase kesembuhan dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Keterangan :

= Persentase penyembuhan hari ke = diameter luka hari pertama

= diameter luka hari ke

dx (4) dx (2)

dx (1)

dx (3) dx (3)


(70)

Tabel 4. Penilaian mikroskopis.

Parameter dan Deskripsi Skor Jumlah sel polimor fonuklear per lapangan pandang

 Terdapat 1-5 sel polimorfonuklear per lapang pandang  Terdapat 6-10 sel polimorfonuklear per lapang pandang  Terdapat 11-15 sel polimorfonuklear per lapang pandang

3 2 1 Derajat terjadinya epitelisasi

 Epitelisasi normal  Epitelisasi sedikit  Tidak ada epitelisasi

3 2 1 Jumlah pembentukan pembuluh darah baru

 Lebih dari 2 pembuluh darah baru  1-2 pembuluh darah baru

 Tidak ada pembuluh darah baru

1 2 3

Derajat pembentukan kolagen

 Kepadatan kolagen lebih dari jaringan normal  Kepadatan kolagen sama dengan jaringan normal  Kepadatan kolagen kurang dari jaringan normal

3 2 1


(71)

61

J.Pengolahan dan Analisis Data

Hasil penelitian lalu akan dianalisis apakah memiliki distribusi normal (p>0,05) atau tidak secara statistik dengan uji normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah sampel ≤50. Kemudian dilakukan uji Levene untuk mengetahui apakah dua atau lebih kelompok data memiliki varians yang sama (p>0,05) atau tidak. Jika varians data berdistribusi normal dan homogen, akan dilanjutkan dengan metode uji parametrik Analize of Varian (ANOVA). Apabila tidak memenuhi syarat uji parametrik, akan dilakukan transformasi. Jika pada uji ANOVA menghasilkan nilai p<0,05 maka akan dilanjutkan dengan melakukan analisis post hoc LSD untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan. Apabila hasil transformasi tidak memenuhi syarat digunakan uji Friedman dan dilanjutkan dengan uji Wilcoxon (Dahlan, 2011). Pengolahan data menggunakan perangkat lunak komputer.


(72)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil simpulan sebagai berikut: 1. Tingkat kesembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan

galur Sprague dawley yang dioles madu adalah (64,24 ± 1,47)% secara makroskopik dan 9,83 ± 2,79 secara mikroskopik.

2. Tingkat kesembuhan luka bakar derajat II pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley yang diberikan binahong adalah (69,96 ± 1,84)% secara makroskopik dan 5,67 ± 0,82 secara mikroskopik.

3. Tingkat kesembuhan luka bakar derajat II pemberian madu murni lebih baik dibandingkan tumbukan daun binahong secara mikroskpoik namun tidak menunjukan perbedaan bermakna secara makroskopik.


(73)

74 B. Saran

Saran bagi peneliti lain antara lain:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tingkat kesembuhan luka bakar dengan daun binahong yang diolah dengan cara selain ditumbuk.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut agar madu dapat diaplikasikan sebagai obat klinis untuk terapi luka bakar mengingat banyaknya literatur yang menyatakan madu lebih efektif dibandingkan gold standard silver sulfadiazine.


(74)

Aljady A M, Kamarudin M Y and Yassim M. 2004. Biochemical study on the efficacy of malaysian honey on inflicted wounds: an animal model. Medical Journal of Islamic Academiy Sciences. 13(3): 125-132.

Al-Waili N S, Salom K, Al-Ghamdi A. 2011. Honey for wound healing, ulcers, and burns; data supporting its use in clinical practice. The Scientific World Journal. (11; 766–78

Argamula G. 2008. Aktivitas sediaan salep ekstrak batang pohon pisang ambon (musa paradisiaca var sapientum) dalam proses persembuhan luka pada mencit (mus musculus albinus). Bogor: Institut Pertanian Bogor

Berg V D A J, Worm H C, Ufford S B, Halkes, et al., 2008. An in vitro examination of the antioxidant and anti- inflammatory properties of buckwheat honey.Journal of Wound Care,17(4). Hlm. 304

Brunicardi F C, Anderson D, Dunn DL. 2005. Schwartz’s Principles of surgery. 8 edition. New York: McGraw-Hill Medical Publishing.

Chan K M. 2006. Botulism. 12 Desember 2012. Cordifolia(tenore) steen) terhadap candida albicans serta skrining fitokimianya”.Skripsi.Yogyakarta: hlm. 30-67.

Cho M K, Sung M A, Kin D S, Park H G, Jew S S, et al., 2003. 2- Oxo-3,23 isopropylidene-asiatate (AS2006A), a wound-healing - asiatate derivative, exerts anti-inflammatory effect by apoptosis of macrophages International Immunopharmacology. 3: 1429-1437.

Cuttle L M, Kempf G, Philips J, Mill MT, Hayes J F Fraser X Q,et al., 2006. A porcine deep dermal partial thickness burn model with hypertrophic scarring. burns. 32: 806-820.


(75)

76

Cooper R A, Halas, P C Molan. 2002. The efficacy of honey in inhibiting strains of pseudomonas auroginosa from infected burns.J Burn Care Rehabil.; 23:366-70. Delaune and Ladner. 2002. Fundamental of nursing standarts & practice second edition.

USA: Delmar.

Dahlan S. 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan edisi lima. Jakarta: Salemba Medika. Hlm. 30

Fattorusso E and Taglialatela S O. 2008. Modern Alkaloids: Structure, Isolation, Synthesis and Biology. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co.

Gethin G T. Seamus C, and Ronan M C. 2008. The impact of manuka honey dressing on the surface pH of chronic wounds.International Wound Journal. 5: 185-194.

Gheldof N and Engeseth N J. 2002. Antioxidant capacity of honeys from various floral sources based on the determination of oxygen radical absorbance capacity and inhibition of in vitro lipoprotein oxidation in human serum samples.J Agric Food Chem. 50: 3050-3055

Grzanna, Reinhard, Linmark L, dan Frondoza C G. 2005. Review: Ginger an herbal medicinal product with broad anti-inflammatory actions. Journal of Medicinal Food, 8 (2), 125-132.

Guyton dan Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku

Kedoketran EGC.Jakarta

Hamad S. 2009. Terapi madu. Jakarta : Pustaka Iman. hlm 30

Handian F I. 2006. Efektivitas perawatan menggunakan madu nektar flora dibandingkan dengan silver sulfadiazine terhadap penyembuhan luka bakar derajat II terinfeksi pada marmut. (Skripsi). Malang: FK Unibraw

Homann H H, Rosbach O, Moll O,Vogt P M, G et al., 2007. A liposome hydrogel with polyvinylpyrolidone iodine in the local treatment of partial-thickness burn wounds.Ann Plast Surg.59:423-27.


(76)

Hosseini s v, niknahad h, fakhar n, rezaianzadeh a, mehrabani a. 2011. The healing effect of mixture of honey, putty, vitriol and olive oil in pseudomonas aeroginosa infected burns in experimental rat model. Asian Journal Of Animal And Veterinary Advances.6(5):572-79.

Isnaini H. 2009. Uji aktivitas salep extract daun binahong (anredera cordifolia (ten) steenis) sebagai penyembuhan luka bakar pada kulit punggung kelinci. (Skripsi). Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Kaufman T, Levin M, Hurwitz D J. 1984. The effect of topical hyperalimentation on wound healing rate and granulation tissue formation of experimental deep second degree burns in guinea-pigs.Burns. 10 (4): 252-6.

Kartini M. 2009. Efek penggunaan madu dalam manajemen luka bakar. Jurnal Kesehatan, 2(2): 17-19.

Kumar V, Ramzi S C, Stanley L R. 2007.Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7. Vol(1). Jakarta: EGC.

Liu J. 1995. Pharmacology of Oleanolic Acid and Ursolic Acid. Journal of Ethnopharmacology. 49;57-68

Manoi F. 2009. Binahong (anredera cordifolia)sebagai obat. Warta Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Industri. 15 (1):3-5

Moenadjat Y. 2005. Resusitasi: dasar-dasar manajemen luka bakar fase akut. Jakarta: Komite Medik Asosiasi Luka Bakar Indonesia. hlm.60

Moenadjat Y. 2009. Luka bakar masalah dan tata laksana.Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hlm 90-110

Moore K L and Agur A M R. 2001. Systematic review of he use of honey as wound dressing. BMC Complementary and Alternative Medicine. 1(2). Hlm.67


(77)

78 Molan P C. 1998. The evidence for honey promoting wound healing. Primary intention

The Australian Journal of Wound Management. 6: 148-158.

Molan P C. 1999. The role of honey in the management of wounds.Journal of Wound Care. 8: 423-426

Molan P C. 2000. Establishing honey as a recognized medicine. The Journal of The American Apitherapy Society.7: 7-9.

Molan P C. 2002. Re-introducing honey in the management of wounds and ulcers-theory and practice.Ostomy/Wound Management. 48(11): 28-40.

Molan P C. 2006. Using honey in wound care. International Journal of Clinical Aromatheraphy France.3(3): 21-24.

Narayana K R, Reddy M S, Chaluvadi M R, Krishna D R., 2000. Bioflavonoids classification, pharmacological, biochemical effects and therapeutic potential. Indian Journal of Pharmacology. 33: 2-16.

Nurdiana dkk., 2008. Perbedaan kecepatan penyembuhan luka bakar derajat ii antara perawatan luka menggunakan virgin coconut oil (cocos nucifera) dan normal salin pada tikus putih (rattus norvegicus) strain wistar. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Putriwindani R M. 2011. Analisis proses keputusan pembelian dan kepuasan madu pramuka di PT. madu pramuka serta implikasinya terhadap bauran pemasaran. Repository Institut Pertanian Bogor.

Pink A. 2004. Gardening for the million.Project Gutenberg Literary Archive.

Potter dan Perry. 2005. Fundamental keperawatan; konsep, proses, dan praktik. Jakarta: EGC

Purbaya J R. 2002. Mengenal dan memanfaatkan khasiat madu alami. Bandung. Pionir Jaya. Hlm 47


(1)

Aljady A M, Kamarudin M Y and Yassim M. 2004. Biochemical study on the efficacy of malaysian honey on inflicted wounds: an animal model. Medical Journal of Islamic Academiy Sciences. 13(3): 125-132.

Al-Waili N S, Salom K, Al-Ghamdi A. 2011. Honey for wound healing, ulcers, and burns; data supporting its use in clinical practice. The Scientific World Journal. (11; 766–78

Argamula G. 2008. Aktivitas sediaan salep ekstrak batang pohon pisang ambon (musa paradisiaca var sapientum) dalam proses persembuhan luka pada mencit (mus musculus albinus). Bogor: Institut Pertanian Bogor

Berg V D A J, Worm H C, Ufford S B, Halkes, et al., 2008. An in vitro examination of the antioxidant and anti- inflammatory properties of buckwheat honey.Journal of Wound Care,17(4). Hlm. 304

Brunicardi F C, Anderson D, Dunn DL. 2005. Schwartz’s Principles of surgery. 8 edition. New York: McGraw-Hill Medical Publishing.

Chan K M. 2006. Botulism. 12 Desember 2012. Cordifolia(tenore) steen) terhadap candida albicans serta skrining fitokimianya”.Skripsi.Yogyakarta: hlm. 30-67.

Cho M K, Sung M A, Kin D S, Park H G, Jew S S, et al., 2003. 2- Oxo-3,23 isopropylidene-asiatate (AS2006A), a wound-healing - asiatate derivative, exerts anti-inflammatory effect by apoptosis of macrophages International Immunopharmacology. 3: 1429-1437.

Cuttle L M, Kempf G, Philips J, Mill MT, Hayes J F Fraser X Q,et al., 2006. A porcine deep dermal partial thickness burn model with hypertrophic scarring. burns. 32: 806-820.


(2)

Cooper R A, Halas, P C Molan. 2002. The efficacy of honey in inhibiting strains of pseudomonas auroginosa from infected burns.J Burn Care Rehabil.; 23:366-70.

Delaune and Ladner. 2002. Fundamental of nursing standarts & practice second edition. USA: Delmar.

Dahlan S. 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan edisi lima. Jakarta: Salemba Medika. Hlm. 30

Fattorusso E and Taglialatela S O. 2008. Modern Alkaloids: Structure, Isolation, Synthesis and Biology. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co.

Gethin G T. Seamus C, and Ronan M C. 2008. The impact of manuka honey dressing on the surface pH of chronic wounds.International Wound Journal. 5: 185-194.

Gheldof N and Engeseth N J. 2002. Antioxidant capacity of honeys from various floral sources based on the determination of oxygen radical absorbance capacity and inhibition of in vitro lipoprotein oxidation in human serum samples.J Agric Food Chem. 50: 3050-3055

Grzanna, Reinhard, Linmark L, dan Frondoza C G. 2005. Review: Ginger an herbal medicinal product with broad anti-inflammatory actions. Journal of Medicinal Food, 8 (2), 125-132.

Guyton dan Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku Kedoketran EGC.Jakarta

Hamad S. 2009. Terapi madu. Jakarta : Pustaka Iman. hlm 30

Handian F I. 2006. Efektivitas perawatan menggunakan madu nektar flora dibandingkan dengan silver sulfadiazine terhadap penyembuhan luka bakar derajat II terinfeksi pada marmut. (Skripsi). Malang: FK Unibraw

Homann H H, Rosbach O, Moll O,Vogt P M, G et al., 2007. A liposome hydrogel with polyvinylpyrolidone iodine in the local treatment of partial-thickness burn wounds.Ann Plast Surg.59:423-27.


(3)

Hosseini s v, niknahad h, fakhar n, rezaianzadeh a, mehrabani a. 2011. The healing effect of mixture of honey, putty, vitriol and olive oil in pseudomonas aeroginosa infected burns in experimental rat model. Asian Journal Of Animal And Veterinary Advances.6(5):572-79.

Isnaini H. 2009. Uji aktivitas salep extract daun binahong (anredera cordifolia (ten) steenis) sebagai penyembuhan luka bakar pada kulit punggung kelinci. (Skripsi). Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Kaufman T, Levin M, Hurwitz D J. 1984. The effect of topical hyperalimentation on wound healing rate and granulation tissue formation of experimental deep second degree burns in guinea-pigs.Burns. 10 (4): 252-6.

Kartini M. 2009. Efek penggunaan madu dalam manajemen luka bakar. Jurnal Kesehatan, 2(2): 17-19.

Kumar V, Ramzi S C, Stanley L R. 2007.Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 7. Vol(1). Jakarta: EGC.

Liu J. 1995. Pharmacology of Oleanolic Acid and Ursolic Acid. Journal of Ethnopharmacology. 49;57-68

Manoi F. 2009. Binahong (anredera cordifolia)sebagai obat. Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. 15 (1):3-5

Moenadjat Y. 2005. Resusitasi: dasar-dasar manajemen luka bakar fase akut. Jakarta: Komite Medik Asosiasi Luka Bakar Indonesia. hlm.60

Moenadjat Y. 2009. Luka bakar masalah dan tata laksana.Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hlm 90-110

Moore K L and Agur A M R. 2001. Systematic review of he use of honey as wound dressing. BMC Complementary and Alternative Medicine. 1(2). Hlm.67


(4)

Molan P C. 1998. The evidence for honey promoting wound healing. Primary intention The Australian Journal of Wound Management. 6: 148-158.

Molan P C. 1999. The role of honey in the management of wounds.Journal of Wound Care. 8: 423-426

Molan P C. 2000. Establishing honey as a recognized medicine. The Journal of The American Apitherapy Society.7: 7-9.

Molan P C. 2002. Re-introducing honey in the management of wounds and ulcers-theory and practice.Ostomy/Wound Management. 48(11): 28-40.

Molan P C. 2006. Using honey in wound care. International Journal of Clinical Aromatheraphy France.3(3): 21-24.

Narayana K R, Reddy M S, Chaluvadi M R, Krishna D R., 2000. Bioflavonoids classification, pharmacological, biochemical effects and therapeutic potential. Indian Journal of Pharmacology. 33: 2-16.

Nurdiana dkk., 2008. Perbedaan kecepatan penyembuhan luka bakar derajat ii antara perawatan luka menggunakan virgin coconut oil (cocos nucifera) dan normal salin pada tikus putih (rattus norvegicus) strain wistar. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Putriwindani R M. 2011. Analisis proses keputusan pembelian dan kepuasan madu pramuka di PT. madu pramuka serta implikasinya terhadap bauran pemasaran. Repository Institut Pertanian Bogor.

Pink A. 2004. Gardening for the million.Project Gutenberg Literary Archive.

Potter dan Perry. 2005. Fundamental keperawatan; konsep, proses, dan praktik. Jakarta: EGC

Purbaya J R. 2002. Mengenal dan memanfaatkan khasiat madu alami. Bandung. Pionir Jaya. Hlm 47


(5)

Rio Y dan Aziz D. 2012. Perbandingan efek antibakteri madu asli sikabu denganmadu lubuk minturun terhadap escherichia coli dan staphylococcus aureus secara in vitro.Jurnal Kesehatan Andalas.1(2)

Rochani N. 2009. Uji aktivitas antijamur ekstrak daun binahong (anredera). Surakarta: fakultas farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Rochmawati A. 2007.Pengaruh pemberian topikal daun binahong (anredera cordifolia (ten.) steenis) tumbuk terhadap penyembuhan luka bakar pada mencit. Solo: UNS

Silvander M, Ringstad L, Skold T. 2006. A new water-based topical carrier with polar skin-lipids.Journal Lipids in Health and Disease, 5 (12): 1-7.

Smeltzer 2002 . Keperawatan Medikal Bedah . ECG : Jakarta. Hlm 60-75

Subbaramaiah, K., Michaluart, P., Sporn, M.B. et al., 2000. Ursolic acid inhibits cyclooxygenase-2 transcription in human mammary epithelial cells. Cancer Res ;60: 2399-2404.

Suranto A. 2007. Terapi madu.Jakarta: Penebar Plus. Hlm 45

Suguna L, Chandrakasan G, T. Joseph. 1992. Influence of home on collage metabolisme uring wound wheeling ni ras.Journal Of Clinical Biochemical Nutrition. 13: 7-12

Subrahmanyam, M. 1991. Topical application of honey in treatment of burns.Br Journal Surg.78: 497-498.

Subrahmanyam M, Archan H, Pawar S G. 2001. Antibacterial activity of honey on bacteria isolated from wounds. Annalof Burns and Fire Disasters. 14: 1-22.

Suratman S A, Sumiwi, Gozali D. 1996. Pengaruh ekstrak antanan dalam bentuk salep, krim dan jelly terhadap penyembuhan luka bakar. Cermin Dunia Kedokteran. 108: 31-36.


(6)

Yapucu 2007. Effectiveness of a honey dressing for healing preassure ulcers. Journal of Wound.34(2).Hlm. 145


Dokumen yang terkait

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DIBANDINGKAN DENGAN PEMBERIAN MUPIROSIN PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

4 38 62

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR ANTARA PEMBERIAN MADU DAN KLINDAMISIN SECARA TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)

2 16 60

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU BUNGA AKASIA TOPIKAL, OXOFERIN, DAN OKSITETRASIKLIN PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN DEWASA GALUR Sprague Dawley

1 13 78

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA YANG DIBERI MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN MOIST EXPOSED BURN OINTMENT (MEBO) PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) DEWASA JANTAN GALUR Sprague dawley

8 45 78

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN SILVER SULFADIAZINE PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 7 82

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DENGAN PEMBERIAN MADU DAN PEMBERIAN GENTAMISIN TOPIKAL PADA TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus)

1 17 71

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU TOPIKAL NEKTAR KOPI DENGAN HIDROGEL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague Dawley

1 14 71

PERBANDINGAN TINGKAT KESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN TOPIKAL DAUN BINAHONG (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) TUMBUK DAN HIDROGEL PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague Dawley

3 24 41

PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA PARAQUAT DIKLORIDA PER−ORAL TERHADAP DERAJAT KERUSAKAN ESOFAGUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

6 31 68

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI MIOKARDIUM TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 4 65