Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam proses integrasi masyarakat negeri Haria dan Siri Sori Islam pasca konflik, Louleha
berperan sebagai etika kehidupan bersama dan kekuatan pemersatu.
IV.2.1 Louleha sebagai Etika Kehidupan Bersama
Pasca konflik di Maluku, agama-agama Islam dan Kristen ditantang untuk menemukan akar moral yang dapat dipakai untuk
mengatasi masalah-masalah kemanusiaan, menuju Maluku yang lebih baik. Dan Louleha yang didasarkan pada hubungan Pela Gandong kembali
hadir dan menunjukan bahwa ia mampu membingkai hubungan komunitas Islam dan Kristen dengan damai. Louleha berperan dalam kelangsungan
kesatuan masyarakat dan mampu menembusi sekat-sekat agama. Louleha
mengandung spirit dan nilai-nilai kehidupan bersama. Louleha
yang lahir sebagai hasil perjanjian antara negeri Haria dan Siri Sori Islam telah meletakkan nilai-nilai dasar kehidupan seperti kerja sama,
tolong-menolong, saling menghargai, dll. Nilai-nilai dasar terdapat di dalam Louleha tidak dapat dipisahkan dari sosialitas, historitas dan
keagamaan manusia-manusia Maluku di dua negeri tersebut. Durkheim menyebutkan, moralitas adalah sebuah fenomena sosial dan fakta-fakta
moral dapat dijelaskan seperti setiap jenis faktas sosial lainnya dengan acuan pada sebab-sebab historis dan pertimbangan-pertimbangan
fungsional. Adat Istiadat yang mengikat komunitas Pela Gandong di negeri Haria dan Siri Sori Islam, kembali ditata dan difungsikan sebagai
landasan pijak dan memberi arah serta makna dalam kehidupan kedua komunitas. Bahkan lebih dari itu, Louleha menjadi penopang hukum dan
moralitas bersama. Gagasan Pela Gandong dan “katong samua basudara” yang
terkandung dalam ikatan Louleha merupakan sebuah gagasan etika yang fundamental, yakni nilai kesetaraan manusia. Masyarakat negeri Haria dan
Siri Sori Islam memandang sesamanya sebagai individu yang setara dengan dirinya. Tindakan yang ditunjukkan kepada sesama anggota dalam
ikatan Louleha menyiratkan pesan bahwa mereka saling memandang sebagai manusia yang utuh, yang memiliki harkat, martabat dan kualifikasi
kemanusiaan yang sama dengan yang lain. Setiap anggota dihargai, dihormati sebagai manusia yang bermartabat. Ini adalah wujud etika hidup
bersama. Etika yang meletakan nilai kemanusiaan. Selain itu, Louleha juga mengandung nilai solidaritas. Solidaritas
dalam Louleha bukan hanya ditunjukkan ketika mereka berkumpul bersama tetapi juga ketika mereka solider dengan sesama mereka yang
membutuhkan bantuan. Ketika salah satu di antara kedua negeri mengalami kemalangan atau membutuhkan bantuan, mereka turun tangan
untuk membantu. Hal tersebut ditemukan dalam penelitian lapagan ketika masyarakat negeri Haria membangun Gereja, masyarakat negeri Siri Sori
Islam turut membantu. Solidaritas ini muncul karena ikatan yang mereka miliki, kepercayaan mengenai asal usul mereka. Seperti yang Durkheim
kemukakan mengenai solidaritas sebagai hubungan antara individu dan
atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
Pengalaman emosional ini membuat mereka berempati satu dengan yang lain. Bahkan mereka dapat merasakan tanda-tanda bahaya jika salah satu
di antara mereka akan menghadapi musibah. Louleha
telah meletakan dasar etika dalam kehidupan bersama. Seperti yang telah dijelaskan di atas, maka Louleha mengadung prinsip-
prinsip etika yang mempengaruhi proses integrasi kedua negeri pasca konflik, yakni tradisi, kesepakatan dan penghargaan terhadap kodrat
manusia. Prinsip-prinsip tersebut mempengaruhi cara masyarakat di negeri Haria dan Siri Sori Islam dalam bertindak dan memperlakukan sesamanya.
Dan hal itu jelas nampak dalam sikap saling percaya, saling menghargai, dan kesederajatan.
Etika yang ditemukan di dalam Louleha telah menjadi semacam landasan moral dan telah teruji mampu membantu masyarakat negeri
Haria dan Siri Sori Islam untuk hidup berdamai hingga kini.
IV.2.2 Louleha sebagai Kekuatan Pemersatu