a. Memilih pasangan hidup
b. Mulai bekerja
c. Menemukan kelompok sosial yang menyenangkan
Pendapat yang diungkapkan Havighurst dalam Lemme, 1995 terkait tugas perkembangan dewasa awal melengkapi pendapat yang
diungkapkan Santrock 2002 sehingga dapat disimpulkan bahwa tugas perkembangan pada masa dewasa awal adalah:
a. Menemukan kelompok sosial yang menyenangkan.
b. Membangun relasi yang intim bersama orang lain, baik laki-laki
maupun perempuan guna mempersiapkan pernikahan. c.
Mulai bekerja.
E. DINAMIKA ASERTIVITAS DAN PERILAKU PRO-RELASI PADA
KORBAN KEKERASAN DALAM PACARAN
Korban kekerasan dalam pacaran adalah individu yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari pasangan selama menjalani hubungan
pacaran. Kekerasan dalam pacaran yang diterima korban dapat membawa dampak negatif bagi kelangsungan hidupnya. Namun, kebanyakan korban
kekerasan dalam pacaran tidak menyadari bahwa ia sudah menjadi korban kekerasan dalam pacaran dan menganggap perlakuan buruk yang
didapatkannya sebagai konsekuensi dari hubungan tersebut sehingga ia tetap mempertahankan hubungannya Rohmah dan Legowo, 2014.
Korban kekerasan rentan mendapatkan kekerasan berulang. Hal ini dikarenakan korban menempatkan diri sebagai
sub-ordinat
dan kurangnya kemampuan korban melakukan asertivitas. Asertivitas merupakan proses
pengungkapan pikiran, perasaan dan kebutuhan kepada orang lain. Individu yang sedang menjalin hubungan pacaran memerlukan asertivitas untuk
mengenal satu sama lain. Asertivitas juga diperlukan untuk membantu individu mengenali diri sepenuhnya Adams dan Lenz, 1995.
Berdasarkan penelitan yang dilakukan Roloff dan Cloven dalam Budyatna dan Ganiem, 2011 menemukan hasil bahwa rata-rata mahasiswa
menyembunyikan sekitar 40 dari seluruh daftar yang telah mereka buat terhadap pasangannya. Keputusan individu untuk menyembunyikan atau
menyatakan keluhan yang sedang dirasakannya kepada pasangan didasari oleh beberapa pertimbangan. Coser dalam Budyatna dan Ganiem, 2011
mengatakan bahwa individu menyembunyikan keluhan yang sedang dirasakannya kepada pasangan dikarenakan mereka takut hubungan yang
sedang terjalin akan berakhir jika mereka mengungkapkan keluhan-keluhan yang sedang dirasakannya. Namun, ketika individu menyatakan keluhan yang
sedang dirasakannya kepada pasangan, konflik yang dihasilkan dapat menambah stabilitas dalam hubungan. Hal ini dikarenakan pengeluaran
keluhan dan amarah yang berujung pada perselisihan dapat meningkatkan stabilitas hubungan, sebaliknya menyembunyikan konflik kepada pasangan
dapat mengakibatkan permusuhan pasangan yang berujung pada konfrontasi yang hebat dalam hubungan dalam Budyatna dan Ganiem, 2011.
Individu yang memiliki asertivitas mampu untuk berkomunikasi secara spontan tanpa menyakiti orang lain, dan mampu meminta bantuan kepada
orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Individu juga memiliki harga diri yang tinggi sehingga ia memaknai perlakuan kasar yang diterima
melanggar hak-hak pribadinya. Selain itu, individu juga mampu untuk membuat keputusan sendiri dan memiliki keyakinan atas keputusan tersebut
sehingga ketika pasangan memberikan perlakuan kasar, individu mampu membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan dan meyakini bahwa
keputusan yang sudah diambil merupakan keputusan yang tepat. Individu yang memiliki hubungan pacaran yang sehat akan mudah
untuk melakukan asertivitas kepada pasangannya. Hal ini dikarenakan individu memiliki memiliki prinsip
reciprocitas
yang tinggi.
Reciprocitas
yang tinggi akan memampukan individu untuk terbuka terhadap pasangannya.
Reciprocitas
yang tinggi juga membuat individu memiliki harapan bahwa pasangan juga akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya.
Individu yang memiliki hubungan pacaran yang sehat juga mampu menjaga stabilitas hubungan dan memiliki perilaku pro-relasi Coser, dalam Budyatna
Ganiem, 2011. Berbeda dengan individu yang memiliki hubungan pacaran yang sehat,
korban kekerasan dalam pacaran sulit untuk melakukan asertivitas. Hal ini dikarenakan korban kekerasan memiliki prinsip
reciprocitas
yang rendah.
Reciprocitas
yang rendah membuat korban sulit untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan kepada pasangannya. Korban juga takut kehilangan pasangan
apabila ia mengungkapkan apa yang ia rasakan kepada pasangan. Selain itu, korban kekerasan juga memiliki harga diri yang rendah sehingga ia memaknai
kekerasan yang didapatkannya sebagai akibat dari kurangnya kemampuan diri Kernis dkk., dalam Byron dan Byrne, 1991. Korban juga memiliki tingkat
ketergantungan yang tinggi kepada pasangan. Hal inilah yang menyebabkan korban tidak menolak perlakuan kasar dari pasangan dan rentan mendapatkan
kekerasan berulang. Korban kekerasan juga tidak mampu membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan dan memilih untuk tetap mempertahankan
hubungannya atau memiliki perilaku pro-relasi. Oleh karena itu, individu korban kekerasan yang memiliki asertivitas yang rendah memiliki perilaku
pro-relasi yang tinggi. Dari uraian diatas, terdapat hubungan antara asertivitas dengan
perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran. Asertivitas menjadi salah satu penyebab terjadinya perilaku pro-relasi dalam hubungan pacaran.
Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk mencari hubungan asertivitas dengan perilaku pro-relasi, dalam hal ini hubungan yang berlawanan. Semakin
tinggi tingkat asertivitas maka semakin rendah perilaku pro-relasi yang dimiliki korban kekerasan dalam pacaran.
F. HIPOTESIS