Hubungan asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran pada perempuan dewasa awal.

(1)

Christi Indriya

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal. Subjek penelitian ini adalah 66 perempuan dewasa awal dengan menggunakan teknik purposive sampling.Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala asertivitas dan skala kekerasan dalam berpacaran. Koefisien reliabilitas pada skala asertivitas sebesar 0,741 dan skala kekerasan dalam berpacaran sebesar 0,895. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Carl Pearson, hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara asertivitas dan kekerasan dalam berpacaran pada perempuan dewasa awal dengan koefisien korelasi yang bernilai -0,412 (p>0,01). Nilai koefisien korelasi yang negatif mempunyai arti adanya hubungan yang negatif dan signifikan antara asertivitas dan kekerasan dalam berpacaran. Selain itu, hasil tersebut juga menunjukkan bahwa hipotesis awal penelitian ini diterima yaitu ada hubungan negatif antara asertivitas dan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal.


(2)

Christi Indriya

ABSTRACT

This objective of this reserach was to find out the correlation between assertiveness and dating violence of young women. The hypothesis proposed in this reserach is there is a negative correlation between assertiveness and dating violence of young women. The subject of this research are 66 young women that acquired by purposive sampling technique. The method of data collection in this research are assertiveness scale and dating violence scale. The reliability coefficient of assertiveness scale is 0,741 and reliability coefficient dating violence scale is 0, 895. The data was analyzed by using correlational Product Moment technique, and the result showed that there was a negative correlation between assertiveness and dating violence of young women can be seen from in the amount of -0,412 (p<0,01). This indicates that there is a negative and significant relationship between assertiveness and dating violence. In addition, this result also indicate that the initial hypothesis of this study accepted that there is a negative relationship between assertiveness and dating violence of young women.


(3)

HUBUNGAN ASERTIVITAS DENGAN KEKERASAN DALAM

BERPACARAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Christi Indriya

099114047

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

ii

Karya ini aku persembahkan untuk :

Tuhan Yesus Kristus, yang selalu menjadi sumber kekuatan dan harapan ❤Papa, Mama, mbak Wita, dan dek Nanda yang selalu mendoakan dan

mendukung setiap langkahku

❤Mas Bayu Ugro yang selalu setia menemani dan menjadi penyemangat dan penghiburku

❤Yanti, Keket, Deta, Stenny, Dita, dan teman-teman yang selalu memberikan masukan dan membantuku dalam menyelesaikan proses skripsi ini


(5)

(6)

iv

Karya ini aku persembahkan untuk :

Tuhan Yesus Kristus, yang selalu menjadi sumber kekuatan dan harapan ❤ Papa, Mama, mbak Wita, dan dek Nanda yang selalu mendoakan dan

mendukung setiap langkahku

Mas Bayu Ugro yang selalu setia menemani dan menjadi penyemangat dan

penghiburku

❤ Yanti, Keket, Deta, Stenny, Dita, dan teman-teman yang selalu memberikan masukan dan membantuku dalam menyelesaikan proses skripsi ini


(7)

v

HALAMAN MOTTO

“SETIAP MASALAH PASTI ADA SOLUSINYA” (BAYU UGRO)

Tuhan mengulurkan tangan-Nya untuk menolong mereka yang telah berusaha keras.

(Aeschylus)

Terkadang, pelajaran terbaik tentang kehidupan datang saat

kondisi terburuk dalam hidupmu..

(Anonim)

Bagian kita adalah melakukan kehendak Allah, dan bagian Allah dalah

mengurus kita. Karenanya kita seharusnya tidak pernah takut pada apa

pun.

(MacDonald)

Pengharapan itu tidak pasif, tetapi merupakan suatu sikap yang aktif

(Ziglar)

Tuhan memberikan makanan kepada setiap burung, tetapi Dia tidak

melemparkan makanan itu kedalam sarangnya


(8)

vi

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 24 Januari 2014 Penulis,


(9)

vii

HUBUNGAN ASERTIVITAS DENGAN KEKERASAN DALAM BERPACARAN PADA PEREMPUAN DEWASA AWAL

Christi Indriya

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal. Subjek penelitian ini adalah 66 perempuan dewasa awal dengan menggunakan teknik purposive sampling.Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala asertivitas dan skala kekerasan dalam berpacaran. Koefisien reliabilitas pada skala asertivitas sebesar 0,741 dan skala kekerasan dalam berpacaran sebesar 0,895. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi Product Moment dari Carl Pearson, hasilnya menunjukkan bahwa ada hubungan negatif antara asertivitas dan kekerasan dalam berpacaran pada perempuan dewasa awal dengan koefisien korelasi yang bernilai -0,412 (p>0,01). Nilai koefisien korelasi yang negatif mempunyai arti adanya hubungan yang negatif dan signifikan antara asertivitas dan kekerasan dalam berpacaran. Selain itu, hasil tersebut juga menunjukkan bahwa hipotesis awal penelitian ini diterima yaitu ada hubungan negatif antara asertivitas dan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal.


(10)

viii

THE RELATION BETWEEN ASSERTIVENESS AND DATING VIOLENCE OF EARLY ADULT WOMEN

Christi Indriya

ABSTRACT

This objective of this reserach was to find out the correlation between assertiveness and dating violence of young women. The hypothesis proposed in this reserach is there is a negative correlation between assertiveness and dating violence of young women. The subject of this research are 66 young women that acquired by purposive sampling technique. The method of data collection in this research are assertiveness scale and dating violence scale. The reliability coefficient of assertiveness scale is 0,741 and reliability coefficient dating violence scale is 0, 895. The data was analyzed by using correlational Product Moment technique, and the result showed that there was a negative correlation between assertiveness and dating violence of young women can be seen from in the amount of -0,412 (p<0,01). This indicates that there is a negative and significant relationship between assertiveness and dating violence. In addition, this result also indicate that the initial hypothesis of this study accepted that there is a negative relationship between assertiveness and dating violence of young women.


(11)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Christi Indriya

Nomor Mahasiswa : 099114047

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Hubungan Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran yang Dialami Perempuan Dewasa Awal

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royaliti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 24 Januari 2014 Yang menyatakan,


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji Syukur bagi Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus, yang selalu memberi kekuatan serta pengaharapan saat semua terasa berat.

2. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi dan Kaprodi Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Ibu MM. Nimas Eki S., M.Si., Psi dan Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi., M.Si selaku dosen penguji skripsi.

5. Ibu Dr. Tjipto Susana, selaku dosen pembimbing akademik.

6. Rifka Annisa Women Crisis Center yang telah membantu dalam menyediakan subjek penelitian serta berbagi info yang membantu proses pengerjaan skripsi.

7. Segenap staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan segala bekal ilmu pengetahuan mengenai dunia psikologi. 8. Segenap karyawan Fakultas Psikologi : Mbak Nanik, Mas Gandung & Pak


(13)

xi

9. Keluargaku tersayang, Papa, Mama, mbak Wita, dan dek Nanda yang selalu mendoakan serta memberi dukungan.

10. Bayu Ugro, terima kasih sudah setia menemaniku dalam proses skripsi ini, sudah mendukung, menguatkanku, mendoakan, serta bantuan yang sangat berharga untukku.

11. Sahabat-sahabatku, Keket, Deta, Yanty, Stenny, dan Dita, terima kasih untuk dukungan, bantuan, doa kalian. Kehadiran kalian meringankan langkahku untuk terus maju.

12. Lusy, Silvi, Chelia, Anggel, Asti, Anggit, dan teman-teman Psikologi angkatan 2009, terima kasih atas segala bantuan dan semangat yang kalian berikan.

13. Teman-teman yang telah bersedia mengisi angket penelitian. Terima kasih atas partisipasi dan kerja sama yang baik sehingga pengambilan data penelitian ini dapat berjalan lancar.

14. Semua pihak yang tanpa sengaja belum penulis sebut di sini, terima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena itu, penulis sangat berterimakasih atas semua masukan baik berupa saran maupun kritis yang dapat membangun.Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak.

Yogyakarta, 24 Januari 2014 Penulis,


(14)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian... 12

1. Manfaat Teoritis ... 12


(15)

xiii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Kekerasan dalam Berpacaran ... 14

1. Pengertian ... 14

2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Berpacaran ... 15

3. Dampak Kekerasan dalam Berpacaran ... 18

4. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Berpacaran ... 19

B. Asertivitas ... 23

1. Pengertian ... 23

2. Ciri-ciri Orang Asertif ... 25

3. Manfaat Asertivitas ... 29

C. Dewasa Awal ... 31

1. Pengertian dan Batasan Usia Dewasa Awal ... 31

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal ... 32

D. Hubungan antara Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran yang Dialami Perempuan Dewasa Awal ... 33

E. Hipotesis ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37

A. Jenis Penelitian ... 37

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 37

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 37

D. Subjek Penelitian ... 38

E. Metode Pengumpulan Data ... 39


(16)

xiv

2. Skala Kekerasan dalam Berpacaran ... 41

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 43

1. Validitas ... 43

2. Seleksi Item ... 44

3. Reliabilitas ... 49

G. Metode Analisis Data ... 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 51

A. Pelaksanaan Penelitian ... 51

1. Persiapan ... 51

2. Pengambilan Data ... 52

B. Deskripsi Subjek ... 52

C. Uji Asumsi ... 53

1. Uji Normalitas ... 53

2. Uji Linearitas ... 54

D. Hasil Penelitian ... 55

1. Uji Hipotesis... 55

2. Kategorisasi Tingkat Asertivitas dan Kekerasan dalam Berpacaran yang Dialami Perempuan Dewasa Awal ... 57

3. Gambaran Proporsi Bentuk Kekerasan dalam Berpacaran ... 59

4. Gambaran Hubungan antara Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran dilihat dari bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran ... 59


(17)

xv

BAB V PENUTUP... 65

A. Kesimpulan ... 65

B. Saran ... 65

1. Bagi Perempuan Dewasa Awal ... 65

2. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 67


(18)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Data Kasus Rifka Annisa 2009-2012 ... 3

Tabel 2.1 Sebaran Nomor Item Skala Asertivitas (sebelum Uji Coba) ... 40

Tabel 2.2 Sebaran Nomor Item Skala Kekerasan dalam Berpacaran (sebelum Uji Coba) ... 43

Tabel 3.1 Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Asertivitas ... 45

Tabel 3.2 Sebaran Nomor Item Baru Skala Asertivitas ... 47

Tabel 3.3 Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Kekerasan dalam Berpacaran ... 47

Tabel 3.4 Sebaran Nomor Item Baru Skala Kekerasan dalam Berpacaran. 49

Tabel 4.1 Deskripsi Usia Subjek Penelitian ... 53

Tabel 5.1 Deskripsi Status Subjek Penelitian ... 53

Tabel 6.1 Hasil Uji Normalitas ... 54

Tabel 6.2 Hasil Uji Linearitas ... 55

Tabel 6.3 Hasil Uji Korelasi ... 56

Tabel 6.4 Norma Kategorisasi ... 57

Tabel 6.5 Hasil Analisis Kategorisasi ... 57

Tabel 6.6 Hasil Kategorisasi Item Asertivitas ... 58

Tabel 6.7 Hasil Kategorisasi Item Kekerasan dalam Berpacaran ... 58

Tabel 6.8 Hasil Proporsi Bentuk Kekerasan dalam Berpacaran... 59

Tabel 6.9 Hubungan Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran Dilihat dari Bentuk-Bentuk Kekerasan dalam Berpacaran ... 59


(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Asertivitas (Uji Coba)... 70

Lampiran 2. Skala Kekerasan dalam Berpacaran (Uji Coba) ... 77

Lampiran 3. Uji Reliabilitas Asertivitas (Uji Coba) ... 82

Lampiran 4. Uji Reliabilitas Kekerasan dalam Berpacaran (Uji Coba) ... 87

Lampiran 5. Skala Asertivitas ... 93

Lampiran 6. Skala Kekerasan dalam Berpacaran ... 100

Lampiran 7. Uji Reliabilitas Asertivitas ... 104

Lampiran 8. Uji Reliabilitas Kekerasan dalam Berpacaran ... 107

Lampiran 9. Uji Normalitas dan Uji Linearitas ... 110

Lampiran 10. Uji Korelasi Asertivitas dan Kekerasan dalam Berpacaran ... 113

Lampiran 11. Analisis Kategori Tingkat Asertivitas ... 115

Lampiran 12. Analisis Kategori Tingkat Kekerasan dalam Berpacaran ... 117

Lampiran 13. Hasil Korelasi antara Asertivitas dengan Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Berpacaran ... 119


(20)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sepanjang kehidupan manusia, setiap individu akan melalui suatu tahap perkembangan dan dihadapkan pada tugas perkembangan yang berbeda. Pada masa dewasa awal, selain kondisi fisik yang berada pada masa puncaknya, individu dewasa muda juga dianggap telah memiliki kematangan psikologis (Mappiare, 1983). Dengan kematangan psikologis ini, individu dianggap siap untuk menjalani tugas perkembangan berikutnya, yaitu menjalin hubungan intim-akrab dengan orang lain, serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen. Nilai cinta muncul selama tahap perkembangan keintiman (Hall & Lindzey, 1993). Pemenuhan tugas perkembangan ini diwujudkan oleh sebagian besar individu melalui pernikahan dan pengalaman menjadi orang tua. Sebelum melakukan pernikahan, individu akan melalui hubungan pacaran. Hubungan ini juga dapat dikatakan sebagai masa persiapan individu sebelum memilih dan menetapkan calon pasangan hidupnya.

Knight (2004) mendefinisikan pacaran merupakan suatu hubungan yang dijalani antara seorang pria dengan seorang wanita. Pada dasarnya, berpacaran merupakan pengaturan atau perencanan khusus antara dua orang yang berlawanan jenis, yang saling tertarik satu sama lain dalam


(21)

berbagai tingkat tertentu. Masa berpacaran umumnya hanyalah masapendahuluan sebelum pemilihan akhir teman hidup.Pada masa ini, individu memperoleh pengalaman dalam berbagai aspek kehidupan. Mereka akan saling mengerti, saling memperlihatkan watak masing-masing, menunjukkan tipe kepribadian, dan mulai mengerti tipe-tipe tabiat dasar. Menurut Wisnuwardani dan Mashoedi (2012) individu menilai bahwa masa pacaran merupakan sarana dimana terdapat hubungan persahabatan, mendapatkan dukungan emosional, kasih sayang, kesenangan, dan eksplorasi seksual.

Pada masa berpacaran sering muncul berbagai masalah. Dua individu dengan dua kebiasaan dan gaya hidup yang berbeda, akan menimbulkan berbagai permasalahan dalam hubungan mereka. Setiap individu memiliki cara yang berbeda dan unik dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah yang terjadi dalam masa pacaran. Ada individu yang memilih cara kekerasan untuk menyelesaikan masalahnya. Pada masa pacaran, hal ini dinamakan kekerasan dalam pacaran (Kekerasan dalam Pacaran / KDP atau Dating Violance).

Kekerasan dalam Berpacaran bukan merupakan sesuatu yang baru dalam dunia berpacaran. Data PKBI Yogyakarta mulai bulan Januari hingga Juni 2001, terdapat 47 kasus kekerasan dalam pacaran, 57% di antaranya adalah kekerasan emosional, 20% mengaku mengalami kekerasan seksual, 15% mengalami kekerasan fisik, dan 8% lainnya merupakan kasus kekerasan ekonomi.


(22)

Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan pada 2010 seperti yang diberitakan pada harian Jogja (Kamis, 18 Agustus 2011), setidaknya ada 105.103 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh 384 lembaga pengada layanan. Dari tiga ranah kasus, jumlah terbanyak ada di ranah personal, yaitu 96 persen kasus atau 101.128 kasus, publik 3.530 kasus dan ranah negara 445 kasus. Secara detil, di ranah personal, persoalan terbanyak ialah kekerasan dalam rumah tangga atau sekitar 98.577 kasus, selebihnya 1.299 kasus adalah kekerasan dalam berpacaran dan 600 kasus kekerasan terhadap anak perempuan.

Hal ini serupa dengan penelitian dari Rifka Annisa Women Crisis Center yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.1 Data Kasus Rifka Annisa 2009 – 2012

Kategori Tahun Jumlah

2009 2010 2011 2012

KTI (Wife

Abuse) 203 226 219 226

874 KDP (Dating

Violence) 28 43 40 28 139

PERKOSAAN

(Rape) 28 31 43 29 131

PEL-SEKS (Sexual Harassment)

17 10 35 9 71

KDK (Family

Violence) 6 10 9 11 36

Trafficking 1 1 1 0 3

LAIN-LAIN*** 2 - - - 2

TOTAL

KASUS 285 321 347 303 1.256


(23)

Berdasarkan tabel dapat dilihat bahwa kekerasan dalam berpacaran menempati urutan kedua setelah kekerasan dalam rumah tangga.Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam berpacaran merupakan hal yang cenderung banyak terjadi di dalam relasi berpacaran.

Beberapa kejadian kekerasan dalam berpacaran yang diungkap Lembaga Pratista Indonesia Bogor (dalam Alvita, 2007) yang bergerak di bidang perlindungan terhadap anak dan perempuan dari tindak kekerasan menemukan beberapa kasus tindak kekerasan dalam berpacaran yang terjadi di kota Bogor yang masuk melalui hot line service yaitu pada usia 17 sampai 25 tahun, kasus-kasus kekerasan yang terjadi adalah seks pra nikah sampai hamil, pacar meninggalkannya, kekerasan seksual dengan bujukan (janji akan menikahi), kekerasan fisik (pemukulan), kekerasan psikis (dimarah-marahi, dilecehkan, dibanding-bandingkan dengan pelacur, pembatasan ruang gerak bergaul, dimarah-marahi, diancam, tidak boleh putus), dan kekerasan ekonomi (dimintai uang untuk kebutuhan pelaku). Berdasarkan data-data yang telah disebutkan, hal ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam berpacaran merupakan hal yang cukup mengkhawatirkan dan merugikan bagi para perempuan.

Menurut Ferlita (2008), kekerasan dalam berpacaran adalah perilaku atau tindakan seseorang dalam percintaan (pacaran) bila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung, dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan pasangannya. Asumsi tersebut didukung oleh Offenhauer dan Buchalter (2011) yang menggambarkan kekerasan dalam berpacaran


(24)

sebagai pola perilaku yang kasar dan kejam oleh pasangan yang digunakan untuk mengontrol orang lain.

Kekerasan dalam berpacaran meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional atau kekerasan verbal, dan kekerasan seksual. Contoh kekerasan fisik dalam berpacaran adalah mencakar, menampar, mendorong, membanting atau menahan seseorang di dinding, menggigit, mencekik, membakar, memukul seseorang, dan penganiayaan dengan kekerasan. Kekerasan psikologis/ emosional/ verbal, mencakup menghina, mengkritik, memalukan di depan teman-teman, atau memaki-maki pasangan, mengancam bunuh diri, mengabaikan pasangan, atau mengancam putus. Bentuk umum lainnya adalah perilaku yang merusak harga diri dan kemandirian pasangan, misalnya mencoba untuk mengisolasi pasangan dari keluarga, teman, atau dukungan sosial, menguntit dan memantau pasangan secara berlebihan. Ketiga adalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual antara pasangan dapat melibatkan pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, dan bentuk-bentuk pemaksaan seksual termasuk menggagalkan kehamilan. Tekanan untuk melakukan hubungan seksual juga merupakan bentuk pelecehan seksual.(Offenhauer dan Buchalter, 2011).

Menurut Rennision dan Welchans (2000)dalam U.S. Department of Justice, kekerasan dalam berpacaran banyak dialami perempuan pada rentang usia 16-24 tahun. Seperti diberitakan pada Harian Joglosemar (Rabu 20 September 2006), Legal Resources Center untuk Keadilan Jender


(25)

dan HAM (LRC KJHAM) Semarang menerima empat laporan kasus kekerasan dalam berpacaran selama Januari-September 2006 dengan korban berjenis kelamin perempuan yang melapor berusia 16-27 tahun dengan tingkat pendidikan SMA hingga sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa dan pelajar menduduki peringkat tertinggi sebagai pelaku dan/atau korban kekerasan dalam berpacaran.

Korban pada kasus di atas termasuk masa dewasa awal. Valliant (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) mengatakan bahwa masa dewasa awal ini merupakan masa adaptasi dengan kehidupan, sekitar usia 20 sampai 30 tahun. Erikson (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) menyebut tahap ini sebagai tahap Intimacy vs Isolation. Pada tahap ini, individu menjalin hubungan yang intim dengan orang lain. Hal ini serupa dengan yang dijelaskan oleh Santrock (1995) dimana tugas perkembangan dewasa awal menurut Erikson adalah membentuk relasi yang intim dengan orang lain. Aspek yang penting dari hubungan ini adalah komitmen individu satu sama lain. Penelitian ini memilih kategori usia dewasa awal karena pada tahap ini individu dihadapkan pada tugas perkembangan yaitu membangun relasi intim. Individu dewasa awal mendambakan hubungan-hubungan yang intim-akrab serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen meskipun memerlukan suatu pengorbanan (Hall & Lindzey, 1993).

Kekerasan dalam berpacaran dapat dicegah dengan dimulai dari kesadaran bahwa bentuk ekspresi cinta tidak dengan cara menyakiti. Hal


(26)

ini harus dipahami oleh perempuan yang sedang dimabuk cinta ketika masih pacaran. Saling menyepakati untuk membina hubungan yang sehat sejak awal pacaran dan mengutarakan harapan akan masa depan masing. Saling terbuka membicarakan risiko yang ditanggung masing-masing pihak, apabila batasan-batasan tersebut dilanggar. Selanjutnya, memahami bahwa mereka berhak atas badan mereka, tidak ada yang boleh menyakiti tak terkecuali pasangan. Berani berkata tidak jika pasangan memaksakan berbagai bentuk tindak kekerasan dengan disertai argumen yang dapat diterima oleh pasangan. Tidak memaksakan diri sendiri untuk menyenangkan pasangan apabila hal tersebut tidak kita kehendaki (Annisa, 2012).

Faktor-faktor ini berkaitan erat dengan kemampuan individu dalam mengungkapkan perasaan, pikiran, kebutuhan yang dimiliki secara jujur tanpa merugikan orang lain dan diri sendiri (asertif). Hal ini didukung oleh pernyataan Nelson-Jones (dalam Uyun, 2004) yang menyatakan bahwa asertivitas dapat membuat pasangan menjadi saling terbuka, sehingga dapat mengungkapkan apa yang dipikirkan dan dirasakannya tanpa rasa bersalah. Keterbukaan dapat meningkatkan kemampuan individu untuk mengatasi masalah, serta terhindar dari prasangka yang sering menyebabkan konflik.

Menurut Stein dan Book (2004), sikap asertif berarti kemampuan untuk berkomunikasi dengan jelas, spesifik, dan tidak berbelit-belit, sekaligus tetap dapat memberikan respon sesuai kebutuhan orang lain dan


(27)

sesuai dengan situasi yang ada. Sikap asertif meliputi tiga komponen dasar yaitu kemampuan untuk dapat mengungkapkan perasaan secara tepat, kemampuan untuk mengungkapkan keyakinan dan pemikiran secara terbuka, dan kemampuan untuk dapat mempertahankan hak-hak pribadi.Dengan demikian, orang yang asertif bukan pemalu melainkan mereka dapat mengungkapkan perasaannya (biasanya secara langsung) tanpa bertindak agresif ataupun melecehkan.

Menurut Kanfer dan Goldstain (Santosa, 1999) orang yang asertif akan menguasai atau dapat mengendalikan diri sesuai dengan situasi yang ada, dapat memberikan respon dengan wajar pada hal-hal yang disukai, dan dapat menyatakan kasih sayang dan cintanya. Dengan demikian perempuan yang asertif akan dapat mengungkapkan kebutuhan dan perasaannya jika ia merasa tertekan secara wajar sesuai situasi dengan tetap mempertahankan dan mengakomodasikan kepentingan pasangannya. Sebaliknya, perempuan yang tidak asertif tidak memiliki keterampilan komunikasi yang membuatnya mampu menegosiasikan kepentingannya, maka tanpa disadari ia telah menjadi korban kekerasan karena kegagalannya menyatakan pikiran dan kebutuhannya secara terus terang dan telah memberi peluang pada orang lain untuk tidak menghargainya. Hal tersebut sama halnya dengan membiarkan diri mereka disakiti secara fisik, emosi, maupun sosial.

Penelitian yang dilakukan oleh Ekawati (2008) dengan Diskusi Kelompok Terarah kepada enam orang siswi, hasilnya ditemukan bahwa


(28)

seringkali terdapat kebingungan pada siswi dalam menghadapi kondisi hubungan dengan lawan jenisnya.Para siswi ini seringkali merasa kesulitan jika pasangannya meminta maupun mengajak mereka pacaran di tempat yang sepi sehingga hanya ada mereka berdua, memegang tangan maupun memeluk ketika sedang berdua. Di satu sisi, mereka merasa hal tersebut wajar dilakukan orang yang sedang pacaran namun di sisi lain sebenarnya mereka juga takut dan terkadang merasa tidak nyaman, tetapi mereka tidak berani menolak karena takut hubungan mereka akan bermasalah, putus, dan takut kehilangan orang yang dicintai. Salah satu siswi mengungkapkan bahwa ia bahkan tidak pernah berani menolak apapun yang diinginkan pasangannya karena memang sudah lama ia menyukai pasangannya tersebut dan ia bersedia melakukan apa saja asal pasangannya selalu mencintainya dan tidak berpaling pada orang lain.

Contoh kasus lain yaitu berdasarkan wawancara terhadap salah satu mahasiswi korban KDP yang berusia 21 tahun yang dilakukan Jessica (2007), menemukan bahwa subjek memiliki harga diri yang rendah. Subjek merasa tidak berharga, minder ketika melihat teman-temannya bahagia bersama pacar mereka, dan merasa dirinya dianggap seperti barang atau seperti sampah oleh pacarnya. Subjek merasa tidak dapat membuat orang lain bahagia. Selain itu, subjek juga merasa tertekan karena mendapat banyak larangan dari pacarnya.Salah satu larangan dari pacarnya adalah subjek dilarang pergi bersama teman-teman subjek. Padahal teman-teman subjek semuanya wanita dan sama-sama tahu bahwa


(29)

mereka mempunyai pacar, dan mereka tidak pergi ke tempat-tempat yang jauh, hanya sebatas dalam kota.

Pada kategori usia yang berbeda, contoh kasus lain yaitu berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Samsi (2012) kepada siswa SMK N 1 Depok yaitu Aya (nama samaran), merasa sungkan untuk mengungkapkan penolakan ajakan pacar ketika Aya sedang sibuk mengerjakan tugas dari sekolah. Sehingga Aya lebih memilih untuk menuruti keinginan pacar dan tugas sekolah sering terabaikan. Begitu juga dengan Ani (nama samaran), mengungkapkan bahwa ia merasa kesulitan untuk mengungkapkan hak-haknya untuk dapat bersosialisasi dengan lawan jenisnya, karena larangan pacarnya. Ani merasa terkekang dengan sikap pacarnya yang posesif.Ani ingin mengungkapkan pikiran-pikirannya tersebut tanpa harus kehilangan pacar.

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Arsitasari, dkk (2006) yang mengatakan bahwa superioritas kaum laki-laki menjadikan kaum perempuan selalu dalam posisi yang lemah dan tidak berdaya.Ketidakberdayaan dalam diri kaum perempuan ini dapat memicu berbagai perasaan negatif, seperti inferior, tergantung, pasrah, tidak kreatif, kurang inisiatif, dan mengalami ketakutan.Sedikitnya jumlah laporan ke pihak yang berwenang (polisi) bahwa telah terjadi tindakan kriminal yang telah dilakukan suami atau pacar karena melakukan kekerasan, merupakan salah satu bukti kuat bahwa kaum perempuan masih terbelenggu oleh perasaan inferior. Terdapat bukti lain yaitu kaum perempuan yang kurang


(30)

mampu untuk berkata dan bertindak secara asertif, yakni menolak diperlakukan keras dan kasar karena terdapat perasaan takut akan ditinggal atau diceraikan oleh pasangannya.

Kekerasan dalam berpacaran masih belum begitu mendapat perhatian jika dibandingkan dengan kekerasan dalam rumah tangga sehingga terkadang masih diabaikan oleh korban dan pelakunya (Annisa, 2012). Selain itu, seperti pada kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga, korban kekerasan dalam berpacaran masih beranggapan jika melapor pada orang lain seperti keluarga atau polisi maka akan membuat aib dan mereka beranggapan bahwa ini adalah urusan intern dalam hubungan mereka sehingga mereka cenderung untuk menutup-nutupi (Prastyowati, 2003).

Penelitian lain yang pernah menghubungkan kekerasan dalam berpacaran dan asertivitas sebagian besarhanya melihat hubungan antara asertvitas dengan kekerasan dalam berpacaran secara umum seperti yang dilakukan oleh Prihatantrista (2010) tetapi tidak melihat bagaimana hubungan asertivitas terhadap bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran secara spesifik. Penelitian ini bermaksud untuk melihat hubungan tersebut.

Berdasarkan bukti dan penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam tentang “Hubungan Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran pada Perempuan Dewasa Awal”. Penelitian ini merupakan suatu tahapan proses yang dilakukan untuk menyelidiki suatu fenomena hubungan antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran yang dialami oleh perempuan dewasa awal.


(31)

B. Rumusan Masalah

Apakah ada hubungan antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran pada perempuan dewasa awal

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran pada perempuan dewasa awal.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berguna bagi Psikologi Perkembangan khususnya mengenai manfaat asertivitas dalam hubungan berpacaran guna mencegah terjadinya kekerasan baik secara fisik, psikologis, maupun seksual yang dialami perempuan dewasa awal.

2. Manfaat Praktis.

a. Bagi Kaum Perempuan Dewasa Awal

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perempuan dewasa awal agar dapat menyadari pentingnya perilaku asertif dalam berbagai bidang termasuk dalam hubungan relasi-intim dengan pasangan sehingga perempuan dapat lebih menghargai diri sendiri serta dapat bersikap tegas menolak berbagai bentuk kekerasan termasuk kekerasan dalam berpacaran


(32)

b. Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi masyarakat umum agar dapat lebih peduli dalam hubungan pacaran yang rentan akan terjadinya kekerasan sehingga masalah ini dapat dicegah dan tidak membudaya di kalangan masyarakat.


(33)

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kekerasan dalam Berpacaran 1. Pengertian

Kekerasan dalam berpacaran adalah perilaku atau tindakan seseorang dalam percintaan (pacaran) bila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung, dan disakiti dengan apa yang telah dilakukan pasangannya Ferlita (2008). Asumsi tersebut didukung oleh Offenhauer dan Buchalter (2011) menggambarkan kekerasan dalam berpacaran sebagai pola perilaku yang kasar dan kejam oleh pasangan yang digunakan untuk mengontrol orang lain. Peneliti tidak menemukan adanya perbedaan teori Kekerasan dalam berpacaran antara remaja dan dewasa awal baik berupa definisi, bentuk, dampak, maupun manfaat.

Sedangkan menurut Abbot (dalam Ferlita, 2008), kekerasan dalam berpacaran merupakan segala bentuk tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis yang terjadi dalam hubungan pacaran. Hal ini dapat dilakukan oleh pria maupun wanita, bahkan pada pasangan sejenis seperti gay atau lesbi

Mengacu pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam berpacaran merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh


(34)

pasangan yang belum menikah dan mempunyai unsur perilaku yang kasar dan kejam yang digunakan untuk mengontrol.

2. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Berpacaran

Menurut Andari (2005), kekerasan dalam berpacaran dapat berbentuk :

a. Kekerasan emosional : diancam, dipermalukan, dicaci maki, difitnah, dicemburui, diintimidasi, diingkari janji, dibohongi. b. Kekerasan fisik : diancam dengan benda tajam, dipukul, diancam

melakukan pemerasan, disekap di kamar kost, dirantai, disundut dengan rokok, ditendang.

c. Kekerasan ekonomi : barang dipinjam tidak dikembalikan, diekpoitasi ekonomi, dimanfaatkan, dimintai uang secara paksa, diperas.

d. Kekerasan sosial : diisolasi dari teman-teman lainnya, dilarang bergaul dengan laki-laki selain dirinya.

e. Kekerasan seksual : diajak berhubungan sex, dilecehkan, dipaksa aborsi, diperkosa.

Menurut Offenhauer dan Buchalter (2011), kekerasan dalam berpacaran meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional atau kekerasan verbal, dan kekerasan seksual, contohnya :

a. Kekerasan fisik adalah mencakar, menampar, mendorong, membanting atau menahan seseorang di dinding, menggigit,


(35)

mencekik, membakar, memukul seseorang, dan penganiayaan dengan kekerasan. Kekerasan secara fisik ini dapat terbagi menjadi bentuk ringan, sedang, dan berat berdasarkan cedera yang didapatkan oleh korban.

b. Kekerasan psikologis/ emosional/ verbal, mencakup menghina, mengkritik, memalukan di depan teman-teman, atau memaki-maki pasangan. Selanjutnya, pelecehan psikologis meliputi manipulasi emosional, misalnya mengancam bunuh diri, mengabaikan pasangan, atau mengancam putus. Bentuk umum lainnya adalah perilaku yang merusak harga diri dan kemandirian pasangan, misalnya mencoba untuk mengisolasi pasangan dari keluarga, teman, atau dukungan sosial, dan mencoba untuk membuat pasangan merasa “gila” dengan terus mempertanyakan keputusan pasangan. Agresi dalam hubungan berpacaran seperti berusaha merusak hubungan pasangan dengan teman-teman dengan menyebarkan desas-desus palsu atau dengan mengungkapkan informasi atau gambar yang bersifat pribadi. Pelecehan psikologis mencakup menguntit dan memantau pasangan secara berlebihan, serta memata-matai interaksi pasangan dengan orang lain atau bersikeras bahwa pasangan harus selalu memperhatikan keberadaannya.

c. Pelecehan seksual antara pasangan dapat melibatkan pemerkosaan, percobaan pemerkosaan, dan bentuk-bentuk pemaksaan seksual


(36)

termasuk mengagalkan kehamilan. Tekanan untuk melakukan hubungan seksual juga merupakan bentuk pelecehan seksual. Selanjutnya, tindakan-tindakan lain yang juga dapat termasuk dalam definisi pelecehan seksual, sejauh "setiap tindakan yang mengarah ke hubungan seksual dapat diklasifikasikan sebagai pelecehan seksual jika tanpa izin, sakit, atau tidak dilindungi dilakukan dengan cara merendahkan.”

Menurut Annisa (2012) kekerasan yang terjadi dalam relasi personal perempuan ini biasanya terdiri dari beberapa jenis, misalnya serangan terhadap fisik, mental/psikis, ekonomi dan seksual.

a. Segi fisik, yang dilakukan seperti memukul, menampar, menendang, mendorong, mencekram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik lain.

b. Kekerasan terhadap mental seseorang biasanya seperti mengancam, memanggil dengan sebutan yang memalukan psangan, menjelek-jelekan, dan lainnya.

c. Kekerasan ekonomi seperti pasangan meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya (memanfaatkan pasangan). d. Kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga

memaksakan tindakan hubungan seksual dibawah paksaan dan ancaman.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan dalam


(37)

berpacaran meliputi kekerasan fisik, psikologis, seksual, sosial, dan kekerasan ekonomi.Di dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada bentuk-bentuk kekerasan yang diungkapkan oleh Andari karena bentuk kekerasan tersebut lebih spesifik pada konteks kekerasan dalam berpacaran.

3. Dampak Kekerasan dalam Berpacaran

Andari (2005) mengemukakan dampak kekerasan yang diterima perempuan dalam masa pacaran, yaitu:

a. Dampak fisik : cedera, memar, patah tangan, telinga berdenging, bengkak, dan sering pusing.

b. Dampak psikis : cemas dan gelisah, depresi, insomia, malu/tertekan, merasa terancam, minder, putus asa, ingin bunuh diri, stress, dan takut.

Offenhauer dan Buchalter (2011) mengatakan korban kekerasan dalam berpacaran dapat mengalami penurunan kesehatan mental post-traumatic stress, harga diri yang rendah, prestasi belajar menurun, dan menaikkan gangguan makan, dan penggunaan obat-obatan.Selain itu dapat menyebabkan depresi dan perilaku beresiko yang lebih luas.

Dapat disimpulkan bahwa dampak berdampak secara fisik maupun psikologis yang dapat mengganggu tugas kehidupan dan fungsi sosialnya apabila tidak mendapat penanganan yang baik.


(38)

4. Faktor yang Mempengaruhi Kekerasan dalam Berpacaran

Offenhauer dan Buchalter (2011) berpendapat terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam berpacaran, diantaranya :

a. Faktor sosioekonomi dan demografi

Beberapa penelitian menemukan keadaan sosioekonomi yang merugikan seperti apakah keluarga, sekolah, atau lingkungan yang dapat menjadi faktor yang dapat meningkatkan kekerasan dalam masa pacaran. Lingkungan yang banyak pengangguran, permukiman yang miskin, keluarga yang single-parent, dan sebagainya. Selain itu, anak yang berasal dari desa dapat meningkatkan resiko dalam kekerasan berpacaran dibandingkan dengan daerah perkotaan.

b. Faktor kekerasan keluarga dan faktor lain dari keluarga

Faktor dari keluarga yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam berpacaran adalah adanya perlakuan orang tua dengan hukuman fisik, bentuk disiplin dengan cara keras, atau perlawanan dengan kekerasan terhadap anak dengan interaksi yang membahayakan, dan anak menyaksikan kekerasan dalam keluarga diantara orang tua. Hal ini didukung oleh pernyataan Lemme (1995) yang menyatakan bahwa dengan memiliki pengalaman atau menyaksikan kekerasan di dalam keluarga dapat mempengaruhi


(39)

perilaku agresif.Selain itu, hal ini serupa dikatakan oleh Dinastuti (2008) dimana penyebab individu mengalami kekerasan dalam berpacaran karena memiliki riwayat yang pernah mengalami kekerasan semasa kecil. Mereka kurang memiliki keterampilan untuk memulai dan mempertahankan hubungan yang sehat dengan orang lain, termasuk dengan pasangan.

c. Faktor teman sebaya dan lingkungan

Pengaruh teman sebaya yang dapat menyebabkan terjadinya kekerasan dalam berpacaran seperti perkelahian teman sebaya atau keterlibatan teman sebaya dalam kekerasan berpacaran. Penelitian menunjukkan bahwa memiliki teman dalam hubungan kekerasan dapat menaikkan kemungkinan keterlibatan dalam agresi berpacaran baik sebagai pelaku dan korban.

d. Faktor kepercayaan dan norma

Banyak bukti yang mengindikasikan bahwa memegang kepercayaan tradisional mengenai peran jender dalam hubungan pria dan perempuan merupakan faktor resiko dalam kekerasan dalam berpacaran. Lebih khusus dalam budaya patriarkhi. Menurut Arsitasari, dkk (2006) sistem budaya patriakhi yang sering memperlakukan wanita dengan cara-cara kasar dan keras. Perlakuan kurang manusiawi ini dimungkinkan dan dapat dipahami karena kedudukan dan peran kaum wanita yang relatif lemah dibandingkan dengan kedudukan dan peran laki-laki. Kaum wanita


(40)

diposisikan sebagai pelengkap atau subordinasi kaum laki-laki.Oleh karena itu, wajib hukumnya bagi kaum wanita untuk tunduk dan patuh terhadap kaum laki-laki

Patriarki secara harafiah berarti kekuasaan bapak atau „patriakh (patriach)‟. Istilah patriarki ini digunakan secara lebih umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki, hubungan kuasa dengan apa laki-laki menguasai perempuan, dan untuk menyebut sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui bermacam-macam cara (Bhasin dalam Hermawati, 1996). Budaya pada masyarakat secara umum tidak memberikan ruang pada laki-laki yang menjadi korban. Hal ini menjadikan perempuan mengabaikan dampak dari tindakan kekerasan untuk mengecilkan kebutuhan mereka sendiri.

Adanya pengaruh konsep-konsep tradisional yang membuat pria menghindari cap sebagai “pria lemah” membuat pria menunjukkan bahwa dirinya maskulin. Untuk itu mungkin sekali mereka selalu berusaha membuktikan diri sebagai yang berkuasa atau kuat (Mappiare, 1983)

e. Faktor individu

Faktor penyebab individu menjadi pelaku kekerasan dalam berpacaran merupakan individu yang memiliki masalah kesehatan mental (seperti rendahnya harga diri, kecemasan, dan kemarahan atau depresi).Individu yang maladaptif atau perilaku antisosial


(41)

(seperti menggunakan obat-obatan, sex yang beresiko), rendahnya prestasi akademik, kemampuan komunikasi yang buruk dan menangani konflik dengan sikap agresif, serta kecenderungan untuk membantu diri yang rendah. Hal ini didukung oleh Tolman & Bennet (dalam Lemme, 1995) yang menyatakan karakteristik pelaku kekerasan adalah memiliki harga diri yang rendah, pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan pada saat masih anak-anak, memiliki kebutuhan yang tinggi untuk dominasi dan kontrol, memiliki keterampilan untuk menipu, memiliki masalah dengan alkohol, terisolasi secara sosial, berkepribadian ekstarvert, bergantung pada korban untuk melakukan dominasi dan lainnya, dan memiliki sejarah luka di kepala.

Sedangkan dari sisi perempuan sebagai korban, faktor penyebabnya adalah sikap perempuan yang cenderung menerima perilaku kekerasan. Ada kecenderungan kaum wanita masih menilai negatif atau rendah kemampuan diri sehingga kepercayaan dan kebanggaan diripun menjadi rendah. Ini berakibat kaum wanita cenderung suka menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup pada kaum laki-laki. Ketergantungan yang berlebihan dan menilai rendah kemampuan diri pada gilirannya akan mengakibatkan kaum wanita mudah diperlakukan sebagai objek oleh kaum laki-laki Arsitasari, dkk (2006). Selain itu, menurut Tolman & Bennet (dalam Lemme, 1995), karakteristik korban kekerasan adalah


(42)

rendahnya harga diri, pasif dan selalu mengalah, pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan pada saat masih anak-anak, menggunakan pemikiran yang keliru untuk meminimalkan kekerasan, berkepribadian introvert, dan terisolasi secara sosial.

Selain itu, hasil penelitian Greene dan Navaro (dalam Uyun, 2003) menemukan bahwa keterampilan asertif dapat membantu perempuan untuk terhindar dari korban kekerasan. Semakin asertif seorang perempuan maka akan semakin terhindar dari kekerasan. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa asertivitas pada perempuan dapat menjadi faktor yang mempengaruhi kekerasan yang dialami perempuan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan terhadap perempuan adalah faktor sosioekonomi dan demografi, faktor kekerasan keluarga dan faktor lain dari keluarga, faktor teman sebaya dan lingkungan, faktor kepercayaan dan norma dalam hal ini adalah kepercayaan akan budaya patriarkhi, faktor individu baik dari pelaku maupun korban.

B. Asertivitas 1. Pengertian

Asertivitas berasal dari kata assert, mengandung satu atau lebih hal seperti (a) hak asasi manusia, (b) kejujuran, (c) ekspresi emosi


(43)

yang tepat (Santosa, 1999). Asertivitas merupakan ekpresi yang jujur dari hak pribadi seseorang, perasaan, keyakinan, ketertarikan tanpa melanggar atau menolak hak orang lain (Delamanter dalam Zarnaghash & Porjali, 2010).

Menurut Lloyd (1991) perilaku asertif adalah perilaku bersifat jujur, langsung, dan menghormati ketika berinteraksi dengan orang lain. Perilaku ini mampu mengkomunikasikan kesan respek kepada diri sendiri dan orang lain sehingga dapat memandang keinginan, kebutuhan, dan hak kita sama dengan keinginan, kebutuhan dan hak orang lain atau bisa diartikan juga sebagai gaya wajar yang tidak lebih dari sikap langsung, jujur, dan penuh dengan hormat saat berinteraksi dengan orang lain.

Lenz dan Adams (1995) mendefinisikan perilaku asertif sebagai perilaku dimana mengerti apa yang dilakukan dan diinginkan serta mampu menjelaskan hal tersebut kepada orang lain. Perilaku asertif juga merupakan perilaku dimana kita bekerja dengan cara sendiri untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan tetap menunjukkan hormat kepada orang lain.

Menurut Alberti dan Emmons (1987), perilaku asertif mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia, memungkinkan kita untuk bertindak sesuai dengan kepentingan kita sendiri, untuk membela diri kita sendiri tanpa kecemasan yang tidak semestinya, untuk mengekspresikan perasaan dengan jujur dan


(44)

nyaman, dan untuk melaksanakan hak-hak pribadi tanpa menyangkal hak orang lain.

Pengertian lain menurut Stein dan Book (2004), sikap asertif berarti kemampuan untuk berkomunikasi dengan jelas, spesifik, dan tidak berbelit-belit, sekaligus tetap dapat memberikan respon sesuai kebutuhan orang lain, dan sesuai situasi yang ada.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku asertif adalah kemampuan seseorang untuk bersikap tegas dan berani dalam mempertahankan hak-haknya, mengekspresikan perasaan, pikiran, serta kepercayaannya secara langsung, jujur, dan tanpa menganggu hak orang lain.

2. Ciri-ciri Orang Asertif

Menurut Stein dan Book (2004), sikap asertif meliputi tiga komponen dasar yaitu kemampuan untuk dapat mengungkapkan perasaan secara tepat, kemampuan untuk mengungkapkan keyakinan dan pemikiran secara terbuka, dan kemampuan untuk dapat mempertahankan hak-hak pribadi. Dengan demikian, orang yang asertif bukan pemalu melainkan mereka dapat mengungkapkan perasaannya (biasanya secara langsung) tanpa bertindak agresif ataupun melecehkan.


(45)

Lenz dan Adams (1995) menyatakan bahwa orang yang berperilaku asertif merupakan :

a. Terbuka terhadap diri sendiri secara jujur

b. Mampu menyatakan perasaan, kebutuhan-kebutuhan, dan ide c. Mampu mempertahankan hak mereka dengan cara yang

sedemikian rupa sehingga tidak melanggar hak dan kebutuhan orang lain.

d. Otentik, apa adanya, terbuka, dan langsung e. Mampu bertindak demi kepentingan sendiri

f. Mampu mengambil inisiatif demi memenuhi kebutuhannya g. Mampu meminta informasi dan bantuan dari orang lain bilamana

mereka membutuhkan

h. Bila sedang berkonflik dengan orang lain, mereka mampu mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak

Perilaku asertif menurut Alberti dan Emmons (1987) memiliki ciri-ciri, yaitu :

a. Mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia

Untuk mempromosikan kesetaraan dalam hubungan manusia berarti menempatkan kedua belah pihak pada pijakan yang sama, mengembalikan keseimbangan kekuasaan dengan memberikan kekuatan pribadi kepada "yang tertindas" dan memungkinkan bagi setiap orang untuk memperoleh dan tidak ada yang menang maupun kalah.


(46)

b. Bertindak dalam kepentingan sendiri

Mengacu pada kemampuan untuk membuat keputusan sendiri mengenai jadwal karir, hubungan, gaya hidup, dan jadwal waktu, memiliki inisiatif memulai percakapan dan mengorganisir kegiatan, mempercayai penilaian sendiri, menetapkan tujuan dan bekerja untuk mencapainya, meminta bantuan dari orang lain, dan berpartisipasi secara sosial.

c. Membela diri

Termasuk perilaku seperti mengatakan tidak, menetapkan batas waktu dan energi, menanggapi kritik atau ejekan atau kemarahan, mengekspresikan atau mendukung atau membela pendapat.

d. Mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman

Berarti kemampuan untuk tidak setuju, menunjukkan kemarahan, menunjukkan kasih sayang atau persahabatan, mengakui ketakutan atau kecemasan, mengekspresikan persetujuan atau dukungan, dan menjadi spontan - semua tanpa kecemasan yang menyakitkan.

e. Melaksanakan hak-hak pribadi

Berkaitan dengan kompetensi sebagai warga negara, sebagai konsumen, sebagai anggota sebuah organisasi atau sekolah atau kelompok kerja, sebagai peserta dalam acara-acara publik untuk mengekspresikan pendapat, bekerja untuk perubahan,


(47)

untuk menanggapi pelanggaran hak yang dimiliki seseorang atau orang lain.

f. Tidak mengingkari hak orang lain

Adalah mencapai ekspresi di atas kepentingan pribadi tanpa kritik yang tidak adil dari orang lain, tanpa perilaku menyakitkan terhadap orang lain, tanpa manipulasi, dan tanpa mengontrol orang lain.

Berdasarkan beberapa ciri-ciri yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa orang yang asertif adalah yang dapat mengendalikan diri, mampu mengekspresikan perasaan baik positif maupun negatif, mampu berkomunikasi dengan baik, mempertahankan hak-hak pribadi tanpa merugikan orang lain, serta dapat mengendalikan diri sesuai situasi yang ada.

Pada penelitian ini ciri-ciri asertivitas yang akan digunakan sebagai dasar penyusunan alat ukur adalah ciri-ciri asertivitas yang diungkapkan oleh Alberti dan Emmons (1987) yaitu mempromosikan kesetaraan hubungan manusia, bertindak dalam kepentingan sendiri, membela diri, mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, melaksanakan hak-hak pribadi, dan tidak mengingkari hak orang lain, karena ciri-ciri tersebut lebih lengkap dibandingkan dengan ciri-ciri asertivitas dari tokoh lain.


(48)

3. Manfaat Asertivitas

Menurut Stein dan Book (2004), manfaat yang dapat diperoleh jika berperilaku asertif adalah memungkinkan kita memperoleh banyak teman dan dapat mempengaruhi orang lain sehingga kita bisa membina hubungan yang lebih akrab dan lebih jujur dengan orang lain. Saat kita bersikap asertif, bahkan dalam situasi yang sulit dan tidak menyenangkan, orang lain akan merasa dihargai dan diterima, bukan merasa diremehkan. Selain itu, menurut Storm & Lowe (1986) asertivitas dapat menghilangkan kecemasan dalam hubungan interpersonal dan dapat membantu individu untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan lebih efektif.

Sedangkan menurut Lenz dan Adams (1995), manfaat seseorang yang mampu berperilaku asertif dalam hubungan dengan orang lain adalah memungkinkan kita untuk lebih mengenal diri sendiri. Selain itu dengan terbuka menyatakan pikiran, perasaan, dan kebutuhan kita pada orang lain, maka orang lain akan mengetahui apa yang kita butuhkan dan inginkan dan hal ini mampu membuat orang lain untuk bersedia bekerja sama dengan kita serta membantu memenuhi kebutuhan kita.

Perilaku asertif juga dapat membuka jalan bagi orang lain untuk lebih terbuka dalam berhubungan dengan kita. Hal ini dapat menjadikan hubungan yang terjalin dapat semakin dalam dan kaya.Dengan berperilaku asertif, banyak kesalahpahaman dapat


(49)

dijernihkan dan kesalahpahaman di kemudian hari dapat dicegah sehingga rasa frustasi dan kebencian pun dapat berkurang. Hal ini pun dapat terjadi di dalam hubungan berpacaran karena dengan mengungkapkan secara jujur apa yang kita butuhkan, inginkan, rasakan, dan pikiran kita kepada pasangan kita, pasangan dapat lebih mengerti diri kita serta membuat pasangan untuk belajar asertif juga dan bermanfaat untuk mencegah keretakan hubungan. Dalam suatu hubungan intim termasuk dalam masa pacaran, keterbukaan komunikasi merupakan hal yang penting

Nelson-Jones (dalam Uyun, 2004) menyatakan bahwa jika individu mampu bersikap asertif, maka akan lebih mampu menghargai diri sendiri, serta menghargai pasangannya. Penghargaan tersebut menyebabkan masing-masing individu mampu menerima pasangannya secara utuh, tidak akan menuntut sesuatu di luar kemampuannya. Nelson-Jones (dalam Uyun, 2004) juga menyatakan bahwa berperilaku asertif adalah menunjukkan komitmen dalam berhubungan dengan pasangan, tidak hanya mencoba untuk menjadi orang yang selalu berbuat menguntungkan kepada pasangan tetapi juga membantu pasangan untuk lebih berbuat menguntungkan kepada dirinya.

Berdasar pendapat-pendapat di atas, manfaat yang dapat diperoleh jika berperilaku asertif terutama dalam hubungan pacaran adalah dapat membina hubungan yang lebih akrab dan jujur sehingga dapat mengurangi kecemasan dalam hubungan interpersonal, dapat


(50)

lebih menghargai diri sendiri dan pasangan, dan dapat menunjukkan komitmen dalam berhubungan dengan pasangan.

C. Dewasa Awal

1. Pengertian dan Batasan Usia Dewasa Awal

Santrock (1995) mendefinisikan dewasa awal sebagai masa kemandirian secara ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan. Mendapat kemandirian ekonomi dari orang tua berlangsung bertahap dan bukan proses yang tiba-tiba. Kemandirian dalam membuat keputusan berkaitan dengan karir, nilai-nilai, keluarga, dan hubungan, serta mengenai gaya hidup.

Menurut Mappiare (1983) seseorang dikatakan dewasa jika memiliki kekuatan tubuh secara maksimal dan siap untuk bereproduksi serta telah dapat diharapkan memiliki kesiapan kognitif, afektif, dan psikomotor.Selain itu, individu dewasa juga diharapkan memainkan perannya bersama dengan individu-individu lain dalam masyarakat. Mappiare (1983) membagi dewasa awal adalah individu yang berusia dua puluh-an sampai akhir tiga puluh-an. Lemme (1995) juga mengungkapkan pendapat yang sama yaitu dewasa merupakan karakteristik periode hubungan yang mandiri, finansial, dan kebijaksanaan dari orang tua, serta menerima tanggungjawab dari perbuatannya.


(51)

Sedangkan Valliant (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) mengatakan bahwa masa dewasa awal ini merupakan masa adaptasi dengan kehidupan, sekitar usia 20 sampai 30 tahun. Individu dewasa awal mulai membangun apa yang ada pada dirinya, mencapai kemandirian, menikah, mempunyai anak, dan membangun persahabatan yang erat. Orang dewasa menurut Levinson (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) membentuk struktur hidup yang tumpang tindih antara usia 20 hingga 25 tahun. Levinson menyatakan bahwa usia dewasa awal berada pada rentan 17 sampai 33 tahun.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa usia dewasa awal berada pada rentan umur 18 sampai 30 tahun dengan ciri memiliki kematangan secara fisik maupun psikologis.

2. Tugas Perkembangan Dewasa Awal

Erikson (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) menyebut tahap ini sebagai tahap Intimacy vs Isolation. Pada tahap ini, individu menjalin hubungan yang intim dengan orang lain. Hal ini serupa dengan yang dijelaskan oleh Santrock (1995) dimana tugas perkembangan dewasa awal menurut Erikson adalah membentuk relasi yang intim dengan orang lain. Erikson menggambarkan keintiman sebagai penemuan diri sendiri sekaligus kehilangan diri sendiri dalam diri orang lain. Aspek yang penting dari hubungan ini adalah komitmen individu satu sama lain.


(52)

Tugas perkembangan dewasa awal yaitu membangun relasi intim.Individu dewasa awal mendambakan hubungan-hubungan yang intim-akrab serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen-komitmen meskipun memerlukan suatu pengorbanan (Hall &Lindzey, 1993).

Dapat disimpulkan bahwa salah satu tugas perkembangan pada masa dewasa awal adalah membangun hubungan yang intim dengan pasangan hidup yang sudah dipilih sesuai kriteria untuk dijadikan sebagai pasangan dalam pernikahan.

D. Hubungan antara Asertivitas dengan Kekerasan dalam Berpacaran yang Dialami Perempuan Dewasa Awal

Salah satu tugas perkembangan pada dewasa awal yang paling menonjol adalah membentuk relasi yang intim dengan orang yang sepaham dengan dirinya. Oleh karena itu, individu dewasa awal akan memilih individu yang paling dicintai dan dipercayai untuk dijadikan pasangan. Hubungan ini dikenal dengan istilah pacaran.

Hubungan dalam pacaran tidak lepas dari masalah. Ketika terjadi konflik, tidak sedikit terjadi tindakan kekerasan dalam berpacaran dimana sebagian besar perempuan yang menjadi korban. Hal ini dapat terjadi karena adanya budaya patriarkhi dimana menempatkan laki-laki pada posisi superior dan berkuasa sedangkan perempuan sebagai kaum yang


(53)

lemah. Budaya seperti ini dapat menjadikan laki-laki sebagai kaum yang agresif dan perempuan sebagai posisi yang bergantung pada laki-laki.

Selain adanya pengaruh budaya patriarkhi, perempuan yang memiliki karakteristik sebagai korban kekerasan yaitu rendahnya harga diri, pasif dan selalu mengalah, pernah mengalami atau menyaksikan kekerasan pada saat masih anak-anak, menggunakan pemikiran yang keliru untuk meminimalkan kekerasan, berkepribadian introvert, dan terisolasi secara sosial juga dapat menjadikan perempuan tidak dapat bersikap asertif, yaitu menolak jika diperlakukan kasar serta keras oleh laki-laki. Hal ini dapat menjadikan perempuan bergantung pada pasangannya sehingga memiliki ketakutan akan ditinggal atau diceraikan oleh pasangan.

Berdasarkan pada pendapat mengenai asertivitas di atas, maka dapat diperoleh gambaran bahwa perempuan yang memiliki asertivitas dapat menolak atau mengatakan ketidaksetujuan terhadap kekerasan yang dilakukan oleh pacar. Hal ini dapat diwujudkan dengan kemampuan membuat keputusan sendiri dan memiliki keyakinan atas keputusan tersebut. Perempuan yang asetif ketika memiliki pasangan dengan agresivitas tinggi, dapat membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan dan memiliki keyakinan bahwa keputusan yang sudah dibuat adalah tepat, sehingga hal ini dapat membuat seorang perempuan tidak lagi mengalami tindakan kekerasan dalam berpacaran. Sementara itu, bila perempuan yang tidak asertif, ia tidak berani untuk menolak dan mengungkapkan secara


(54)

jujur apa yang dirasakan dan dipikirkannya. Perempuan yang tidak asetif ketika memiliki pasangan dengan agresivitas tinggi, tidak memiliki kemampuan untuk membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan karena bergantung pada pasangan dan memiliki pemikiran yang keliru bahwa dirinya pantas diperlakukan kasar, sehingga hal ini membuat perempuan rentan menjadi korban kekerasan dalam berpacaran. Alur penjabaran tentang hubungan tingkat asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran dapat dilihat pada bagan dibawah ini:

Pacaran Terjadi Kekerasan Dalam Berpacaran Budaya Patriarkhi Tugas perkembangan (relasi intim) Menolak Tidak berani menolak Asertif Tidak asertif Pasangan dengan agresivitas tinggi Pasangan dengan agresivitas tinggi Tidak terjadi Kekerasan Dalam Berpacaran

 Harga diri rendah  Pasif

 Selalu mengalah  Introvert

 Pernah

mengalami atau menyaksikan kekerasan  Terisolasi secara

sosial Berani membuat keputusan Tidak berani membuat keputusan


(55)

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian teori yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disusun hipotesis penelitian yaitu : Ada hubungan negatif antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal. Semakin tinggi asertivitas yang dimiliki maka kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal semakin jarang, demikian juga sebaliknya semakin rendah asertivitas yang dimiliki maka kekerasan dalam berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal akan semakin sering.


(56)

37

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah jenis penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menguji hipotesis yang telah dibuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asertivitas dengan kekerasan dalam berpacaran pada perempuan dewasa awal.

B. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel Terikat (dependent variabel/Y) : Kekerasan dalam Berpacaran pada Perempuan Dewasa Awal.

2. Variabel Bebas (independent variabel/X) : Asertivitas.

C. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Kekerasan dalam Berpacaran adalah suatu tindakan yang mempunyai unsur pemaksaan, menghancurkan, mendominasi, mengendalikan, baik secara fisik, psikologis, ataupun gabungan-gabungannya. Kekerasan dalam berpacaran diungkap melalui skala kekerasan dalam berpacaran. Skala tersebut terdiri dari bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran berupa kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan ekonomi, kekerasan seksual, dan kekerasan sosial. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin sering kekerasan dalam berpacaran,


(57)

demikian juga sebaliknya.

2. Asertivitas adalah kemampuan seseorang untuk bersikap tegas dan berani dalam mempertahankan hak-haknya, mengekspresikan perasaan, pikiran, serta kepercayaannya secara langsung, jujur, dan tanpa menganggu hak orang lain. Asertivitas ini diukur melalui skala asertivitas yang terdiri dari ciri-ciri asertivitas yang meliputi mempromosikan kesetaraan hubungan manusia, bertindak dalam kepentingan sendiri, membela diri, mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, melaksanakan hak-hak pribadi, dan tidak mengingkari hak orang lain. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka semakin tinggi asertivitas, demikian juga sebaliknya.

D. Subjek Penelitian

Subjek pada penelitian ini dibatasi pada subjek yang memiliki karakteristik yang sama dengan rancangan penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel purposive sampling karena pengambilan sampel berdasarkan keperluan penelitian (Purwanto, 2007).Teknik ini sengaja memilih populasi berdasarkan pertimbangan tertentu.

Pada penelitian ini, subjek penelitian adalah perempuan yang berada pada masa dewasa awal yaitu memiliki usia sekitar 18 tahun sampai 30 tahun yang sedang menjalin relasi berpacaran.


(58)

E. Metode Pengumpulan Data 1. Skala Asertivitas

Skala asertivitas disusun berdasarkan ciri-ciri asertivitas yaitu mempromosikan kesetaraan hubungan manusia, bertindak dalam kepentingan sendiri, membela diri, mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman, melaksanakan hak-hak pribadi, dan tidak mengingkari hak orang lain. Skala ini menggunakan model skala Likert yang terdiri dari item yang mencakup item favourable dan item unfavourable, serta disusun secara acak. Item favourable yaitu item yang mempunyai nilai positif atau sesuai dengan pernyataan, sedangkan item yang unfavourable yaitu item yang bertentangan dengan pernyataan yang sebenarnya.

Alternatif pilihan jawaban dalam Skala Asertivitas yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi empat yaitu :

a. SS : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “sangat sesuai” dengan pernyataan yang diajukan.

b. S : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “sesuai” dengan pernyataan yang diajukan.

c. TS : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “tidak sesuai” dengan pernyataan yang diajukan.

d. STS : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “sangat tidak sesuai” dengan pernyataan yang diajukan.


(59)

Sistem penilaian Skala Asertivitas bergerak dari satu sampai empat. Pernyataan yang tergolong favourable atau positif, subjek akan memperoleh skor 4 jika menjawab sangat sesuai (SS), nilai 3 jika menjawab sesuai (S), nilai 2 jika menjawab tidak sesuai (TS), dan nilai 1 jika menjawab sangat tidak sesuai (STS). Pernyatan yang tergolong unfavourable atau negatif, subjek akan memperoleh skor 4 jika menjawab sangat tidak sesuai (STS), nilai 3 jika menjawab tidak sesuai (TS), nilai 2 jika menjawab sesuai (S), dan nilai 1 jika menjawab sangat sesuai (SS). Sebaran item skala asertivitas dapat dilihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Sebaran Nomor Item Skala Asertivitas (sebelum Uji Coba)

Ciri-ciri Asertivitas

Favorable Unfavorable Total Mempromosikan

kesetaraan hubungan manusia

1, 16 9, 19 4 (10,5 %)

Bertindak dalam kepentingan sendiri

17, 18, 23, 27

2, 3, 20, 32 8 (21,1 %)

Membela diri 6, 22 5, 33 4 (10,5 %)

Mengekspresi-kan perasaan dengan jujur dan nyaman

4, 21, 36, 37 8, 25, 30, 38 8 (21,1 %)

Melaksanakan hak-hak pribadi

7, 24, 28, 34 10, 11, 14, 29 8 (21,1 %) Tidak

mengingkari hak orang lain

13, 31, 35 12, 15, 26 6 (15,8 %)


(60)

2. Skala Kekerasan dalam Berpacaran

Skala kekerasan dalam berpacaran disusun berdasarkan bentuk-bentuk kekerasan dalam berpacaran yang meliputi :

a. Kekerasan fisik, seperti diancam dengan benda tajam, dipukul, diancam melakukan pemerasan, disekap di kamar kost, dirantai, disundut dengan rokok, ditendang.

b. Kekerasan psikologis, seperti diancam, dipermalukan, dicaci maki, difitnah, dicemburui, diintimidasi, diingkari janji, dibohongi c. Kekerasan ekonomi, seperti barang dipinjam tidak dikembalikan,

diekpoitasi ekonomi, dimanfaatkan, dimintai uang secara paksa, diperas.

d. Kekerasan seksual, seperti diajak berhubungan sex, dilecehkan, dipaksa aborsi, diperkosa.

e. Kekerasan sosial, seperti diisolasi dari teman-teman lainnya, dilarang bergaul dengan laki-laki selain dirinya.

Skala ini menggunakan model skala Likert yang akan disajikan menjadi dua kelompok item (pernyataan), yaitu item favourable dan item unfavourable, serta disusun secara acak. Item favourable yaitu item yang mempunyai nilai positif atau sesuai dengan pernyataan, sedangkan item yang unfavourable yaitu item yang bertentangan dengan pernyataan yang sebenarnya.


(61)

Alternatif pilihan jawaban dalam skala kekerasan dalam berpacaran yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi empat yaitu :

1) SS : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “sangat sering” dengan pernyataan yang diajukan.

2) S : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “sering” dengan pernyataan yang diajukan.

3) J : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “jarang” dengan pernyataan yang diajukan.

4) TP : Jawaban yang menyatakan bahwa subjek “tidak pernah” dengan pernyataan yang diajukan.

Sistem penilaian skala kekerasan dalam berpacaran bergerak dari satu sampai empat. Pernyataan yang tergolong favourable atau positif, subjek akan memperoleh skor 4 jika menjawab sangat sering (SS), nilai 3 jika menjawab sering (S), nilai 2 jika menjawab jarang (J), dan nilai 1 jika menjawab tidak pernah (TP). Pernyatan yang tergolong unfavourable atau negatif, subjek akan memperoleh skor 4 jika menjawab tidak pernah (TP), nilai 3 jika menjawab jarang (J), nilai 2 jika menjawab sering (S), dan nilai 1 jika menjawab sangat tidak sering (SS). Sebaran item skala kekerasan dalam berpacaran dapat dilihat pada tabel 2.2


(62)

Tabel 2.2 Sebaran Nomor Item Skala Kekerasan dalam Berpacaran (sebelum Uji Coba)

Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Berpacaran

Favorable Unfavorable Total

Fisik 1, 10, 19 2, 15, 22 6 (14,3 %) Psikologis 3, 4, 11, 17,

20, 27, 29, 36, 39

6, 12, 13, 14, 16, 21, 23, 25, 28

18 (42,9 %)

Seksual 5, 9, 24, 30 7, 8, 18, 26 8 (19,1 %)

Ekonomi 31, 34 37, 40 4 (9,5 %)

Sosial 32, 38, 41 33, 35, 42 6 (14,3 %)

Total 21 21 42 100 %)

Nomor aitem pada aspek kekerasan psikologi berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan nomor aitem pada bentuk kekerasan jenis lain dikarenakan kekerasan psikologi paling banyak dialami oleh perempuan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rifka Annisa yang menemukan bahwa 100% korban KDP mengalami kekerasan psikologi (Annisa, 2009)

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 1. Validitas

Validitas alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas isi.Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau dengan lewat professional judgment. Validitas isi dari skala ini diselidiki menggunakan analisis rasional terhadap isi tes atau melalui professional judgement (dosen pembimbing), yaitu dengan cara


(63)

melihat apakah aitem-aitem yang telah disusun mewakili komponen-komponen dalam keseluruhan isi objek yang hendak diukur (aspek representasi) dan apakah aitem-aitem tes mencerminkan ciri perilaku yang hendak diukur (aspek relevansi). Untuk memperoleh koefisien korelasi anatar skor aitem dengan skor totalnya pada skala asertivitas dan skala kekerasan dalam berpacaran digunakan teknik korelasi Product Moment dari Pearson dengan menggunakan alat bantu computer melalui program Statistical Packages for Social Sciences (SPSS) Release 16.0.

2. Seleksi Aitem

Kriteria pemilihan aitem didasarkan pada korelasi aitem-total.Hal ini dimaksudkan koefisien korelasi aitem-total dapat memperlihatkan kesesuain antara fungsi aitem dengan fungsi skala dalam mengungkapkan perbedaan individual. Sebagai kriteria pemilihan aitem yang berdasarkan korelasi aitem-total, standar pada umumnya sebagai digunakan batasan rix ≥ 0,30. Daya pembeda aitem yang

dianggap memuaskan jika mencapai koefisien korelasi minimal 0,30, sebaliknya aitem yang memiliki harga atau kurang dari 0,30 dapat diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah. Batasan ini merupakan suatu konvensi sehingga penyusun tes dapat menentukan sendiri batasan daya diskriminasi aitemnya dengan mempertimbangkan isi dan tujuan skala yang sedang disusun. Oleh


(64)

karena jumlah aitem yang lolos ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, maka penyusun menurunkan batasan criteria dari 0,30 menjadi 0,25. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Azwar (2006) yang mengatakan bahwa apabila jumlah aitem yang lolos ternyata masih tidak mencukupi jumlah yang diinginkan, maka dapat mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit batas kriteria 0,30 menjadi 0,25.

Jumlah aitem skala asertivitas pada saat try out berjumlah 38 aitem yang terdiri dari 19 aitem favorable dan 19 aitem unfavorable. Jumlah aitem yang lolos berjumlah 24 aitem dan 14 aitem gugur dari 38 aitem yang ada. Sebaran aitem valid dan gugur dapat dilihat di tabel 3.1 Tabel 3.1 Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Asertivitas

Ciri-ciri Asertivitas

Favorable Unfavorable Total

Mempromosi-kan kesetaraan hubungan manusia

1, 16 9, 19 4

Bertindak dalam kepentingan sendiri

17, 18, 23, 27 2, 3, 20, 32 8

Membela diri 6, 22 5, 33 4

Mengekspresi-kan perasaan dengan jujur dan nyaman

4, 21, 36, 37 8, 25, 30, 38 8

Melaksanakan hak-hak pribadi

7, 24, 28, 34 10, 11, 14, 29 8 Tidak

mengingkari hak orang lain

13, 31, 35 12, 15, 26 6


(65)

Keterangan : aitem yang di bold adalah aitem yang gugur

Koefisien korelasi dari 24 item tersebut antara 0,246 sampai 0,710, sedangkan untuk uji reliabilitas ditemukan Alpha Cronbach sebesar 0,850 yang berarti skala tersebut sangat reliabel dalam mengukur asertivitas. Aitem pada aspek mempromosikan kesetaraan hubungan manusia lolos seleksi semua yang terdiri dari nomor 1, 9, 16, dan 19. Aitem yang lolos seleksi pada aspek bertindak dalam kepentingan sendiri berjumlah 5 nomor dari 8 nomor yang terdiri dari nomor 2, 3, 17, 23, dan 32. Sedangkan aitem yang lolos seleksi pada aspek membela diri berjumlah 2 nomor dari 4 nomor yang terdiri dari nomor 6 dan 22 yang keduanya tergolong favorable. Aspek mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman memiliki 5 aitem yang lolos seleksi dari 8 nomor yaitu nomor 4, 8, 25, 30, dan 38. Aitem yang lolos seleksi pada aspek melaksanakan hak-hak pribadi berjumlah 5 nomor dari 8 nomor yang terdiri dari nomor 7, 11, 24, 28, dan 29. Terakhir, aspek tidak mengingkari hak orang lain yang lolos selesi berjumlah 3 nomor dari 6 nomor yang terdiri dari nomor 26, 31, dan 35.

Selanjutnya, setelah diketahui aitem yang valid dan gugur maka peneliti menyusun ulang skala yang didasarkan atas aitem valid. Hasil dari penyusunan ulang ini adalah skala yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Susunan skala baru dapat dilihat pada tabel 3.2


(66)

Tabel 3.2 Sebaran Nomor Item Baru Skala Asertivitas

Ciri-ciri Asertivitas Favorable Unfavorable Total Mempromosikan

kesetaraan

hubungan manusia

1, 16 9, 19 4

Bertindak dalam kepentingan sendiri

17, 23 2, 3, 32(5) 5

Membela diri 6, 22 2

Mengekspresikan perasaan dengan jujur dan nyaman

4 8, 25, 30(12),

38(13)

5

Melaksanakan hak-hak pribadi

7, 24, 28(14) 11, 29(15) 5 Tidak mengingkari

hak orang lain

31(18), 35(20) 26(21) 3

Total 12 12 24

Keterangan : nomor dengan tanda ( ) adalah nomor item yang baru Jumlah aitem skala kekerasan dalam berpacaran pada saat Try Out berjumlah 42 aitem yang terdiri dari 21 aitem favorable dan 21 aitem unfavorable. Jumlah aitem yang lolos berjumlah 26 aitem dan 16 aitem gugur dari 42 aitem yang ada. Sebaran aitem valid dan gugur dapat dilihat di tabel 3.3

Tabel 3.3 Sebaran Nomor Item Valid dan Gugur Skala Kekerasan dalam Berpacaran

Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Berpacaran

Favorable Unfavorable Total

Fisik 1, 10, 19 2, 15, 22 6

Psikologis 3, 4, 11, 17, 20, 27, 29, 36, 39

6, 12, 13, 14, 16, 21, 23, 25, 28

18 Seksual 5, 9, 24, 30 7, 8, 18, 26 8

Ekonomi 31, 34 37, 40 4

Sosial 32, 38, 41 33, 35, 42 6

Total 21 21 42


(67)

Koefisien korelasi dari 26 item tersebut antara 0,266 sampai 0,720, sedangkan untuk uji reliabilitas ditemukan Alpha Cronbach sebesar 0,871 yang berarti skala tersebut sangat reliabel dalam mengukur kekerasan dalam berpacaran. Aitem yang lolos seleksi pada aspek kekerasan secara fisik berjumlah 4 nomor dari 6 nomor yang terdiri dari nomor 1, 2, 15, dan 22. Aitem yang lolos seleksi pada aspek kekerasan secara psikologis berjumlah 13 nomor dari 18 nomor yang terdiri dari nomor 3, 4, 6, 12, 13, 14, 17, 20. 21. 23. 25. 27, dan 28. Sedangkan aitem yang lolos seleksi pada aspek kekerasan secara seksual berjumlah 5 nomor dari 8 nomor yang terdiri dari nomor 7, 8, 18. 26, dan 30. Aspek kekerasan secara ekonomi memiliki 2 aitem yang lolos seleksi dari 4 nomor yaitu nomor 34 dan 40. Terakhir, aspek kekerasan secara sosial yang lolos selesi berjumlah 2 nomor dari 6 nomor yang terdiri dari nomor 33 dan 42 yang keduanya tergolong unfavorable. Selanjutnya, setelah diketahui aitem yang valid dan gugur maka peneliti menyusun ulang skala yang didasarkan atas aitem valid.Hasil dari penyususnan ulang ini adalah skala yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian. Susunan skala baru dapat dilihat pada tabel 3.4


(68)

Tabel 3.4 Sebaran Nomor Item Baru Skala Kekerasan dalam Berpacaran

Bentuk-bentuk

Kekerasan dalam Berpacaran

Favorable Unfavorable Total

Fisik 1 2, 15, 22 4

Psikologis 3, 4, 17, 20, 27(5)

6, 12, 13, 14, 21, 23, 25, 28(9)

13

Seksual 30(10) 7, 8, 18, 26 5

Ekonomi 34(11) 40(16) 2

Sosial 33(19), 42(24) 2

Total 8 18 26

Keterangan : nomor dengan tanda ( ) adalah nomor aitem yang baru

3. Reliabiltas

Reliabilitas dinyatakan oleh koerfisien reliabilitas (rxx) yang berada

dalam rentang dari 0 sampai 1,00. Semakin mendekati angka 1,00 maka semaki tinggi koefisien reliabilitasnya, begitu sebaliknya (Azwar, 2006). Reliabilitas dari skala asertivitas sebesar 0,741 dan skala kekerasan dalam berpacaran sebesar 0,895 yang berarti reliabel. Untuk mengetahui reliabilitas skala asertivitas dan skala kekerasan dalam berpacaran menggunakan teknik Koefisien Alpha dari Cronbach, dengan menggunakan alat bantu komputer dengan program Statistical Packages for Social Sciences (SPSS) Release 16.0.

G. Metode Analisis Data

Analisis data pada penelitian ini dilakukan uji kuantitatif dengan menggunakan metode analisis statistik teknik korelasi Product Moment untuk mencari hubungan antara tingkat asertivitas dengan kekerasan dalam


(69)

berpacaran yang dialami perempuan dewasa awal. Perhitungan ini menggunakan alat bantu komputer dengan program Statistical Packages for Social Sciences (SPSS) Release 16.0.


(70)

51

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan penelitian 1. Persiapan

Peneliti melakukan pengambilan data dalam rangka uji coba skala yang sudah disusun pada sampel yang terkait. Tujuan dari uji coba adalah untuk melihat kualitas dari aitem-aitem dalam skala yang akan digunakan dalam penelitian. Penyebaran uji coba skala dilaksanakan pada bulan Juli 2013 di Yogyakarta. Alat ukur ini diujicobakan pada subjek yang mempunyai karakteristik yang sama dengan subjek penelitian yang sesungguhnya. Subjek pada uji coba alat ukur ini berjumlah 50 orang.

Uji coba dilakukan pada subjek di rumah, kos, maupun kampus subjek, dan melalui email. Prosedurnya adalah peneliti membagikan satu eksemplar yang terdiri dari dua skala, yaitu skala asertivitas dan skala kekerasan dalam berpacaran.Selanjutnya, subjek diminta untuk membaca petunjuk pengisian skala dan mengisi identitas mereka.Subjek lalu diminta untuk mengisi skala tersebut dengan sejujurnya sesuai dengan petunjuk pengisian.Dalam pengisian skala tidak ada batas waktu. Peneliti menyebar 50 eksemplar skala pada uji coba akan tetapi terdapat 10 eksemplar skala yang gugur sehingga hanya 40 eksemplar skala yang dianalisis.


(1)

117

LAMPIRAN 12

Analisis Kategori

Tingkat Kekerasan


(2)

118

58 65.00 1 .

60 63.00 1 .

61 54.50 2 20.506

63 52.00 1 .

64 49.00 2 4.243

65 47.00 3 9.644

67 38.50 2 6.364

68 52.00 4 7.528

69 41.38 8 7.671

70 36.50 6 9.397

71 45.20 5 20.861

72 37.20 5 3.962

73 44.83 6 10.458

74 32.50 4 2.082

75 41.00 2 8.485

76 43.67 3 4.041

77 48.00 1 .

78 38.00 2 4.243

79 38.00 2 8.485

80 34.67 3 2.517

81 29.00 1 .

86 43.00 1 .

92 37.00 1 .


(3)

119

LAMPIRAN 13

Hasil Korelasi

antara Asertivitas

dengan

Bentuk-bentuk Kekerasan

dalam Berpacaran


(4)

120

Correlations

asertivitas y4

asertivitas Pearson Correlation 1 -.406**

Sig. (2-tailed) .001

N 66 66

y4 Pearson Correlation -.406** 1

Sig. (2-tailed) .001

N 66 66

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

2. Hubungan Asertivitas dengan Kekerasan Seksual

Correlations

asertivitas y5

asertivitas Pearson Correlation 1 -.375**

Sig. (2-tailed) .002

N 66 66

y5 Pearson Correlation -.375** 1

Sig. (2-tailed) .002

N 66 66


(5)

121

3. Hubungan Asertivitas dengan Kekerasan Fisik

Correlations

asertivitas y3

asertivitas Pearson Correlation 1 -.268*

Sig. (2-tailed) .029

N 66 66

y3 Pearson Correlation -.268* 1

Sig. (2-tailed) .029

N 66 66

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

4. Hubungan Asertivitas dengan Kekerasan Sosial

Correlations

asertivitas y1

asertivitas Pearson Correlation 1 -.224

Sig. (2-tailed) .070

N 66 66

y1 Pearson Correlation -.224 1

Sig. (2-tailed) .070


(6)

122

Correlations

asertivitas y2

asertivitas Pearson Correlation 1 -.135

Sig. (2-tailed) .280

N 66 66

y2 Pearson Correlation -.135 1

Sig. (2-tailed) .280