Hubungan asertivitas dengan perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran.

(1)

Pascha Dwi Nugraheny ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asertivitas dengan perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif dan signifikan antara asertivitas dan perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan metode korelasional. Subjek dalam penelitian ini adalah dewasa awal berjumlah 105, berusia 18-25 tahun, sedang menjalin hubungan pacaran dan merupakan korban kekerasan dalam pacaran. Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala Likert. Skala yang digunakan terdiri dari skala asertivitas dan skala perilaku pro-relasi. Koefisien reliabilitas skala asertivitas 0,925 sedangkan koefisien reliabilitas skala perilaku pro-relasi 0,911. Analisis data menggunakan metode korelasional Product Moment Pearson dengan program SPSS versi 16.0. Hasil analisis data menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara variabel asertivitas dengan perilaku pro-relasi, yaitu sebesar r = 0.507 (p = 0,000). Hasil tersebut membuktikan bahwa semakin tinggi asertivitas semakin tinggi perilaku pro-relasi yang dimiliki korban kekerasan dalam pacaran dan semakin rendah asertivitas semakin rendah perilaku pro-relasi yang dimiliki korban kekerasan dalam pacaran.


(2)

Pascha Dwi Nugraheny ABSTRACT

The research aimed to know the correlation of assertiveness and pro-relationship behaviors on victims of violence in a relationship. The suggested hypothesis says there is a positive and significant correlation between assertiveness and pro-relationship behaviors on victims of violence in relationship. The research was correlational study using quantitative method. The subject of the research involve 105, aged 18-25, are in dating relationship and they are victims of violence in relationship. The data instrument used Likert scale technique. The scale consisted of assertiveness scale and pro-relationship behaviors scale, which were composed by the researcher. The reliability coefficient of the assertiveness scale was signed 0,925 and the pro-relational behaviors scale is 0,911. The data were analyzed using Pearson Product Moment correlation coefficient and calculated using SPSS version 16.0. The result of the data analysis showed there were a positive and significant correlation between variables in the assertiveness and the pro-relationship behaviors, the number was r = 0,507 (p = 0,000). Thus, the hypothesis in this research was accepted which means the higher assertiveness, the higher pro-relationship behaviors on victims of violence in relationship, and the lower assertiveness, the lower pro-relationship behaviors on victims of violence in pro-relationship.


(3)

i

HUBUNGAN ASERTIVITAS DENGAN PERILAKU PRO-RELASI PADA KORBAN KEKERASAN DALAM PACARAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Pascha Dwi Nugraheny

119114153

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban

berat, Aku akan memberikan kelegaan kepadamu

”.

(Matius 11:28)

Ia membat segala sesuatu indah pada waktu-Nya

”.

(Pengkhotbah 3:11)

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga,

tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada

Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur

”.

(Filipi 4:6)


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur, skripsi ini kupersembahkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang sungguh teramat baik dalam kehidupan saya selama ini. Kedua Orang Tuaku yang terkasih, Papa Jumadi dan Mama Kristina Setyorini

yang selalu mendukung dalam doa dan dana selama kuliah.

Keluarga besar Wagiyo dan Ngadil yang selalu mendukung dalam doa dan dana. Mbakku Krismala Ghiovanny Seprianti, adikku Arnoldhy Tri Pamungkas dan

Sheryn Avisha yang selalu mendukung hingga perkuliahan ini selesai. Kalian semua adalah hal terindah yang pernah saya miliki di dunia ini.


(8)

(9)

vii

HUBUNGAN ASERTIVITAS DENGAN PERILAKU PRO-RELASI PADA KORBAN KEKERASAN DALAM PACARAN

Pascha Dwi Nugraheny ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asertivitas dengan perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang positif dan signifikan antara asertivitas dan perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif dengan metode korelasional. Subjek dalam penelitian ini adalah dewasa awal berjumlah 105, berusia 18-25 tahun, sedang menjalin hubungan pacaran dan merupakan korban kekerasan dalam pacaran. Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan skala Likert. Skala yang digunakan terdiri dari skala asertivitas dan skala perilaku pro-relasi. Koefisien reliabilitas skala asertivitas 0,925 sedangkan koefisien reliabilitas skala perilaku pro-relasi 0,911. Analisis data menggunakan metode korelasional Product Moment Pearson dengan program SPSS versi 16.0. Hasil analisis data menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara variabel asertivitas dengan perilaku pro-relasi, yaitu sebesar r = 0.507 (p = 0,000). Hasil tersebut membuktikan bahwa semakin tinggi asertivitas semakin tinggi perilaku pro-relasi yang dimiliki korban kekerasan dalam pacaran dan semakin rendah asertivitas semakin rendah perilaku pro-relasi yang dimiliki korban kekerasan dalam pacaran.


(10)

viii

THE CORRELATION OF ASSERTIVENESS WITH THE BEHAVIOR ASSERTIVENESS WITH PRO-RELATIONSHIP BEHAVIORS ON

VICTIMS OF VIOLENCE IN COUNTERSHIP Pascha Dwi Nugraheny

ABSTRACT

The research aimed to know the correlation of assertiveness and pro-relationship behaviors on victims of violence in a relationship. The suggested hypothesis says there is a positive and significant correlation between assertiveness and pro-relationship behaviors on victims of violence in pro-relationship. The research was correlational study using quantitative method. The subject of the research involve 105, aged 18-25, are in dating relationship and they are victims of violence in relationship. The data instrument used Likert scale technique. The scale consisted of assertiveness scale and pro-relationship behaviors scale, which were composed by the researcher. The reliability coefficient of the assertiveness scale was signed 0,925 and the pro-relational behaviors scale is 0,911. The data were analyzed using Pearson Product Moment correlation coefficient and calculated using SPSS version 16.0. The result of the data analysis showed there were a positive and significant correlation between variables in the assertiveness and the pro-relationship behaviors, the number was r = 0,507 (p = 0,000). Thus, the hypothesis in this research was accepted which means the higher assertiveness, the higher pro-relationship behaviors on victims of violence in relationship, and the lower assertiveness, the lower pro-relationship behaviors on victims of violence in relationship.

Keywords : assertiveness, pro-relation behaviors, victims of violence in relationship.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji Syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Skripsi dengan judul “Hubungan Asertivitas dengan Perilaku Pro-Relasi Pada Korban Kekerasan dalam Pacaran” dapat diselesaikan dengan baik.

Skripsi ini juga tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dan dukungan dari pihak-pihak lain. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tuaku terkasih Papa Jumadi dan Mama Kristina Setyorini yang tak pernah lelah mendukung, memberikan kasih sayang serta doa yang tulus buat penulis selama proses perkuliahan hingga penulisan skripsi ini selesai. Makasih banyak ma pa buat semua dukungan doa, usaha, semangat, nasihat, hiburan bahkan kerja keras yang sudah mama papa kasih buat Tata selama ini. Doa Tata buat mama dan papa supaya Tuhan Yesus senantiasa memberikan kesehatan, sukacita dan umur panjang hingga bisa melihat setiap kesuksesan kami. I LOVE U MOM, DAD. 2. Bapak Dr. T. Priyo Widyanto, M.Si., Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si, Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.


(13)

xi

4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., Dosen pembimbing skripsi yang senantiasa menyediakan waktu untuk mendampingi dan membimbing penulis dalam menulis dan menyelesaikan skripsi ini.

5. Ibu Titik Kristiyani, M.Psi., dan Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., selaku dosen penguji skripsi yang sudah menyediakan waktu untuk menguji penelitian ini.

6. Ibu Diana Permata Sari, M.Sc., terima kasih untuk waktu yang sudah ibu luangkan untuk membantu penulis selama pengerjaan skripsi ini.

7. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan banyak wawasan, ilmu pengetahuan, dan berbagi pengalaman selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

8. Seluruh staff Fakultas Psikologi Universitas Yogyakarta yang senantiasa membantu melancarkan proses pembelajaran selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

9. Tante dan om keluarga besar Wagiyo yang terkasih terima kasih untuk semua dukungan doa dan dana yang sudah kalian kassih untuk Tata selama

ini. Terima kasih juga buat nasihat dan semangat “kapan wisuda?” yang

sudah kalian kasih buat Tata. Tuhan Yesus memberkati kalian semua. 10.Mbak terkasihku Krismala Ghiovanny, terima kasih untuk setiap doa dan

dukungan yang sudah mbak kasih buat Tata. Terima kasih sudah menjaga dan mengingatkan Tata selama ini. Terima kasih juga sudah jadi tempat curhat Tata. Tetaplah jadi mbak yang terbaik untuk kami.


(14)

xii

11.Adek-adekku Arnoldhy Tri Pamungkas dan Sheryn Avisha, terima kasih karena sudah menjadi penyemangat, pemecah suasana ketika lagi stres. Terima kasih buat semua doa dan dukungan yang sudah kalian kasih selama ini.

12.Abang Dave Valentino Waas yang tidak pernah lelah memberikan semangat, doa dan menemani di setiap suasana. Terima kasih yah sayang. Cie akhirnya aku lulus juga hehehe.

13.Monic, Dian, Metha, Ema, Dwi, Neri, Debo, Ana terima kasih sudah mau mendengarkan keluh kesahku, gilaku, cerewetku. Kalian bahkan mau menghiburku dengan candaan gila kalian, menemani jalan-jalan. Terima kasih temans.

14.Teman lemburku Tuti Mariana Damanik, Weni terima kasih sudah menemaniku lembur di perpus, terima kasih sudah membuat aku ketawa dan terima kasih sudah mengingatkanku untuk gak menyerah. Terima kasih banyak Tut, Wen.

15.Siska, Evi, Sendy, terima kasih sudah berdinamika bersama selama awal kuliah hingga sekarang. Terima kasih untuk dukungan dan bantuan kalian selama ini.

16.Pembina G-Fellowship Bang Martin Tobing dan Kak Nur, terima kasih

karena tidak pernah bosan untuk menanyakan “sudah sampe mana dek?”,

terima kasih sudah menjadi orang tua kami selama di Jogja.

Yogyakarta, 22 Mei 2017 Penulis,


(15)

xiii

Pascha Dwi Nugraheny DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... Error! Bookmark not defined. PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... Error! Bookmark not defined.ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 8

C. TUJUAN PENELITIAN ... 8


(16)

xiv

1. Manfaat Teoretis ... 9

2. Manfaat Praktis ... 9

BAB II LANDASAN TEORI A. ASERTIVITAS ... 10

1. Definisi Asertivitas ... 10

2. Aspek-Aspek Asertivitas ... 11

3. Ciri-Ciri Asertivitas ... 15

4. Manfaat Asertivitas ... 19

B. PERILAKU PRO-RELASI ...20

1. Definisi Perilaku ... 20

2. Definisi Perilaku Pro-Relasi ... 21

3. Aspek Perilaku Pro-Relasi ... 22

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Pro-Relasi... 23

C. KORBAN KEKERASAN DALAM PACARAN ... 25

1. Definisi Pacaran ... 25

2. Definisi Kekerasan Dalam Pacaran ... 25

3. Definisi Korban Kekerasan Dalam Pacaran ... 27

4. Pola Kekerasan Dalam Relasi ... 28

5. Karakteristik Korban Kekerasan Secara Psikologis ... 31


(17)

xv

7. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Pacaran ... 35

8. Dampak Kekerasan Dalam Pacaran ... 36

D. DEWASA AWAL ... 38

1. Definisi Dewasa Awal ... 38

2. Ciri-Ciri Dewasa Awal ... 39

3. Tugas-Tugas Perkembangan Pada Masa Dewasa Awal ... 39

E. DINAMIKA ASERTIVITAS DAN PERILAKU PRO-RELASI ... 40

F. HIPOTESIS ... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 46

B. Variabel Penelitian ... 46

C. Definisi Operasional... 46

1. Asertivitas ... 47

2. Perilaku Pro-Relasi ... 48

D. Subjek Penelitian ... 48

E. Metode Pengumpulan Data ... 50

1. Skala Asertivitas ... 51

2. Skala Perilaku Pro-Relasi ... 53

F. Kredibilitas Alat Ukur ... 55


(18)

xvi

2. Seleksi Item ... 55

3. Estimasi Reliabilitas Alat Ukur ... 60

G. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA ... 61

H. Teknik Analisis Data ... 62

1. Uji Asumsi ... 62

2. Uji Hipotesis ... 63

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian ... 64

B. Hasil Penelitian ... 65

1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 65

2. Deskripsi Data Penelitian ... 66

3. Hasil Analisis Data Penelitian ... 67

C. Pembahasan ... 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 74

B. KETERBATASAN PENELITIAN ... 74

C. SARAN…... 74

DAFTAR PUSTAKA ...76


(19)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sebaran Item Asertivitas sebelum diuji coba ... 52

Tabel 2. Pemberian Skor Skala Asertivitas ... 52

Tabel 3. Sebaran Item Perilaku Pro-Relasi sebelum diuji coba ... 54

Tabel 4. Pemberian Skor Skala Perilaku Pro-Relasi ... 54

Tabel 5. Sebaran Item Asertivitas setelah diuji coba ... 57

Tabel 6. Sebaran Item Asertivitas setelah diuji coba ... 58

Tabel 7. Sebaran Item Perilaku Pro-Relasi sebelum diuji coba ... 59

Tabel 8. Sebaran Item Perilaku Pro-Relasi setelah diuji coba ... 60

Tabel 9. Reliabilitas Alpha Cronbach Skala Asertivitas …...61

Tabel 10. Reliabilitas Alpha Cronbach Skala Perilaku Pro-Relasi ...61

Tabel 11. Deskripsi Usia Subjek Penelitian ... 65

Tabel 12. Deskripsi Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 65

Tabel 13. Perhitungan Mean Teoritik Dan Mean Empirik ... 66

Tabel 14. Perhitungan Uji T ... 66


(20)

xviii

Tabel 16. Hasil Uji Linearitas ... 68 Tabel 17. Hasil Uji Hipotesis ... 69


(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Penelitian Sesudah Try Out ... 82

Lampiran 2. Analisis Reliabilitas Skala Asertivitas ... 107

Lampiran 3. Analisis Reliabilitas Skala Perilaku Pro-Relasi ...125

Lampiran 4. Uji Normalitas ... 133

Lampiran 5. Uji Linearitas ... 134


(22)

1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Masa dewasa awal atau yang sering disebut masa muda adalah masa peralihan dari masa remaja ke masa dewasa. Masa dewasa awal ini ditandai dengan peralihan dari ketergantungan menuju kemandirian baik itu ekonomi, kebebasan menentukan diri sendiri dan pandangan diri tentang masa depan sudah lebih realistis (Sumanto, 2014). Menurut Santrock (2002), tugas perkembangan pada masa dewasa awal adalah membangun relasi yang intim bersama orang lain, baik sesama jenis maupun berbeda jenis. Dalam memenuhi tugas perkembangan tersebut, individu mulai belajar untuk saling terbuka, responsif akan kebutuhan pasangan, saling menerima dan menghargai pasangan melalui tahap pacaran (Papalia et al., 2014).

Menurut Setiawan dan Nurhidayah (2008), pacaran adalah proses yang dilalui individu untuk mencari teman akrab yang didalamnya terdapat hubungan dekat dalam berkomunikasi, membangun kedekatan emosi dan proses pendewasaan pribadi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pacaran adalah hubungan yang tetap berdasarkan cinta kasih dengan teman lawan jenis (KBBI, edisi keempat, 2011:994). Havighurst mengatakan bahwa pacaran adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang didalamnya terdapat perasaan cinta dan saling melengkapi kebutuhan dan kekurangan pasangan (Arifin dan Rahmawati, 2015). Cate dan Llyod (dalam Putri, 2012) berpendapat bahwa pacaran atau courtship tidak memiliki ikatan resmi seperti


(23)

halnya perkawinan sehingga kurangnya rasa tanggung jawab pelaku terhadap pasangannya menyebabkan pelaku cenderung meremehkan pasangan. Hal ini yang kemudian menjadi penyebab rentan terjadinya tindak kekerasan dalam pacaran.

Berdasarkan data dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sepanjang tahun 1994-2011 terdapat 385 kasus kekerasan dalam pacaran dari 1.683 kasus kekerasan yang ada (Kosrepro.info, dalam Wachid, 2013). Hal ini juga didukung dengan hasil survei yang dilakukan oleh KOMNAS Perempuan pada tahun 2011 terdapat 119.107 kekerasan dalam pacaran terhadap perempuan dan terjadi kenaikan sebesar 13,32% pada tahun 2012 (http://www.penaaksi.com, 2013).

Penelitian yang dilakukan Rohmah dan Legowo (2014) terkait motif kekerasan dalam relasi pacaran di kalangan remaja muslim menemukan bahwa kebanyakan individu yang menjalin hubungan pacaran mengalami tindakan kekerasan. Namun individu tersebut menganggap tindak kekerasan yang diterimanya sebagai suatu hal yang wajar dan menjadi konsekuensi dari hubungan tersebut sehingga individu itu tetap mempertahankan hubungannya bersama pasangan (Rohmah dan Legowo, 2014).

Motivasi yang menyebabkan terjadinya kekerasan dalam pacaran pada laki-laki berbeda dengan motivasi kekerasan pada perempuan. Menurut Hickman, dkk., dan Wolfe, dkk. (dalam Ragil dan Margaretha, 2012), bentuk pelampiasan emosi seperti marah, cemburu dan sakit hati merupakan alasan ketika seseorang melakukan tindakan kekerasan sehingga bentuk kekerasan


(24)

yang diterima korban pun berbeda-beda. Pada laki-laki, kekerasan dijadikan sebagai sebuah alat untuk mengontrol pasangan sedangkan pada perempuan, kekerasan dijadikan sebagai alat untuk melakukan self-defense atau pertahanan diri (Ragil dan Margaretha, 2012).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Sitorus (2015) terkait bentuk dan alasan kekerasan berpacaran pelaku premarital sex intercourse pada remaja ditemukan alasan terjadinya kekerasan pada subjek laki-laki berbeda dengan alasan kekerasan pada subjek perempuan. Pada subjek perempuan, alasan terjadinya kekerasan adalah rasa cemburu terhadap pasangan, kurang tegas mengambil keputusan untuk berpisah, terlalu mengagungkan pasangan, dan tidak terima dituduh selingkuh sehingga pasangan menjadi lebih berani melakukan tindakan kekerasan fisik maupun psikis. Sedangkan pada subjek laki-laki, alasan terjadinya kekerasan adalah ingin selalu bersama, adanya komunikasi dengan perempuan lain dan adanya sikap saling melarang.

Bentuk kekerasan yang diterima selama pacaran pun berbeda-beda antara laki-laki dan perempuan (Sitorus, 2015). Pada responden perempuan, kekerasan yang diterima merupakan kekerasan fisik berupa tamparan, pukulan, tinjuan, cekikkan, dorongan dan kekerasan psikis yang diterima berupa rasa takut terhadap pasangan. Sedangkan pada responden laki-laki kekerasan yang sering diterima adalah kekerasan psikis berupa rasa tertekan dan tidak bisa bergaul dengan teman-teman.

Penelitian Wachid (2013) tentang pengalaman korban perempuan menghadapi kekerasan dalam pacaran dilihat dari strategi koping yang


(25)

dimiliki menemukan hasil bahwa ketiga responden penelitian mengalami tindak kekerasan dalam pacaran baik itu kekerasan fisik, emosional, maupun kekerasan seksual dan masing-masing menggunakan strategi koping berbasis emosional dalam menghadapi kekerasan pacaran yang mereka alami. Berdasarkan penuturan 2 responden didapati bahwa bentuk tindak kekerasan yang dialami selama pacaran berupa kekerasan verbal, fisik dan seksual. Bagaimana seseorang bisa terus menerus mempertahankan hubungan ketika terdapat kekerasan selama menjalani masa pacaran?

Seseorang yang mampu bertahan meskipun tersakiti baik secara fisik, psikologis, seksual maupun keuangan adalah orang yang memiliki perilaku pro-relasi. Menurut Wieselquist et al. (1999) perilaku pro-relasi adalah sikap yang dilakukan oleh pasangan untuk mempertahankan kelangsungan sebuah relasi. Perilaku pro-relasi akan tampak jika individu lebih memilih untuk mendahulukan kebaikan pasangan daripada ketertarikan pribadinya (Wieselquist et al., 1999).

Penelitian sebelumnya yang dilakukan Wieselquist et al. (1999) terhadap satu pasangan menunjukkan bahwa perilaku pro-relasi yang dilakukan oleh individu dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan dan komitmen dari pasangan. Penelitian lain yang dilakukan Stevanus (2008) terkait korelasi antara tingkat ketergantungan dan perilaku pro-relasi dalam hubungan berpacaran didapatkan hasil bahwa tingkat ketergantungan individu terhadap pasangan akan mempengaruhi apakah individu akan melakukan perilaku pro-relasi atau tidak. Ketika individu memiliki tingkat ketergantungan


(26)

yang tinggi terhadap pasangannya maka ia akan memandang pasangannya berharga sehingga ia akan melakukan pro-relasi untuk mempertahankan hubungannya. Menurut Wieselquist et al. terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi perilaku pro-relasi, yaitu (a) forgiveness, (b) conciliation, dan (c) accommodation (1999).

Menurut Wieselquist et al. (1999) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perilaku pro-relasi, salah satunya adalah reciprocitas. Individu yang memiliki reciprocitas yang tinggi akan merasa lebih bahagia apabila ia terbuka terhadap pasangannya (Morissan, 2013). Oleh karena itu, individu korban kekerasan dalam pacaran yang melakukan perilaku pro-relasi perlu untuk bersikap terbuka terhadap pasangannya. Namun pada kenyataannya, individu korban kekerasan dalam pacaran akan sulit untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan kepada pasangannya (Diadiningrum dan Endrijati, 2014).

Berdasarkan penelitan yang dilakukan Roloff dan Cloven (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011) terhadap mahasiswa S-1 yang diminta membuat daftar hal-hal yang mengganggu dari pasangan menemukan hasil bahwa rata-rata mahasiswa menyembunyikan sekitar 40% dari seluruh daftar yang telah mereka buat terhadap pasangannya. Menurut Kleinschmidt (2014) pengungkapan pikiran dan perasaan kepada pasangan bertujuan untuk saling mengenal karakter satu sama lain. Hal ini didukung dengan pendapat Coser. Menurut Coser (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011), pengungkapan pikiran dan perasaan sangat diperlukan untuk menambah stabilitas sebuah hubungan.


(27)

Kemampuan untuk menyampaikan pendapat, gagasan, perasaan, dan kepentingan secara langsung kepada siapapun merupakan pengertian dari asertivitas (Cawood, 1997). Menurut Rathus dan Nevid, asertivitas adalah tingkah laku yang menampilkan keberanian untuk secara jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan, perasaan, dan pikiran-pikiran apa adanya, mempertahankan hak-hak pribadi, serta menolak permintaan-permintaan yang tidak masuk akal dari figur otoritas dan standar-standar yang berlaku pada suatu kelompok (dalam Abidin, 2011).

Lloyd (1991) mengatakan bahwa asertivitas merupakan kemampuan seseorang untuk bersikap jelas, jujur, mengkomunikasikan suatu hal yang berkaitan dengan diri dan tetap menghormati orang lain. Asertivitas yang dimiliki seseorang juga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kebutuhan, keinginan, perasaan kepada orang lain dengan cara langsung, jujur, dan tanpa maksud menyakiti perasaan orang lain (Adams dan Lenz, 1995).

Berdasarkan wawancara awal yang dilakukan pada tanggal 1 April 2016, 3 dari 5 mahasiswi mengatakan bahwa hubungan pacaran yang sedang dijalani mengalami tindak kekerasan berupa tamparan dan cubitan dari pasangan. Selain itu, kekerasan yang diterima juga berupa hinaan terkait dengan kondisi fisik saat ini. Data wawancara awal terhadap satu responden menunjukkan bahwa selama berpacaran banyak laki-laki yang menunjukkan rasa sukanya kepada responden tetapi responden tetap bertahan kepada pasangannya meskipun responden sudah sering memergoki pasangannya berselingkuh. Peneliti mengajukan pertanyaan kepada ketiga responden terkait


(28)

alasan tetap mempertahankan hubungannya meskipun sudah mendapatkan kekerasan, ketiga responden memberikan alasan yang berbeda-beda. Responden 1 dari 3 mengatakan alasan ia tetap bertahan dikarenakan lamanya waktu berpacaran dan intensitas bertemu yang tinggi antara responden dan pasangan menyebabkan responden malas untuk mengakhiri hubungannya dan memulai hubungan dengan orang baru.

Berdasarkan data, responden pertama juga beranggapan jika ia memutuskan hubungannya, belum tentu ia akan mendapatkan pasangan yang lebih baik dari pasangannya saat ini. Berbeda dengan responden kedua yang mengatakan bahwa alasan ia tetap bertahan karena ia yakin suatu saat pasangannya akan berubah dan tidak melakukan kekerasan lagi. Hasil wawancara terdapat 2 dari 3 responden yang mengalami tindakan kekerasan selama pacaran lebih memilih untuk diam dan menganggap semua perlakuan kekerasan yang diterima pantas untuk didapatkannya sedangkan hanya 1 responden yang berani untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan kepada pasangan dengan tujuan agar pasangan dapat merubah perlakuannya terhadap responden.

Menurut Alberti dan Emmons (Marini dan Andriani, 2005), asertivitas digunakan untuk mengurangi atau menghilangkan kecemasan serta meningkatkan rasa harga diri. Selain itu, asertivitas juga sangat diperlukan bagi korban kekerasan dalam pacaran untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan kepada pasangan. Berdasarkan hasil wawancara awal, tindakan yang diambil 1 dari 3 responden korban kekerasan dalam pacaran merupakan


(29)

tindakan untuk mengurangi kecemasan yang dimilikinya. Korban kekerasan perlu untuk mengungkapkan apa yang dirasakan agar pasangan tidak berlaku semena-mena terhadap dirinya. Hal ini bertujuan agar korban kekerasan dapat menyeimbangkan perilaku pro-relasi terhadap pasangannya sehingga korban memiliki kesempatan terbebas dari tindak kekerasan selama menjalani pacaran dan mencegah terjadinya tindakan kekerasan dimasa yang akan datang.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Diadiningrum dan Endrijati (2014) terkait hubungan antara sikap asertivitas dengan kecenderungan menjadi korban kekerasan dalam pacaran pada remaja mendapatkan hasil bahwa semakin tinggi sikap asertivitas maka semakin rendah kecenderungan individu untuk menjadi korban kekerasan dalam pacaran. Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara asertivitas dengan perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan sebelumnya, maka permasalahan pokok yang dibahas dalam penelitian ini adalah apakah terdapat hubungan asertivitas dengan perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji hubungan asertivitas dengan perilaku pro-relasi pada yang mengalami kekerasan dalam pacaran.


(30)

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi baru mengenai informasi dan dapat memperluas wawasan dalam ranah Psikologi Perkembangan terkait dengan hubungan asertivitas dengan perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi korban kekerasan dalam pacaran, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran dan informasi tentang pentingnya memiliki asertivitas dalam menyeimbangkan perilaku pro-relasi terhadap pasangan sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini korban lebih mengetahui bagaimana cara untuk mencegah tindakan kekerasan dalam pacaran.

b) Bagi pihak yang terkait dan juga bagi keluarga dan teman-teman korban, penelitian ini dapat memberikan informasi tentang hubungan asertivitas dengan perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran sehingga dapat mengetahui cara pemecahan masalah untuk korban kekerasan dalam pacaran.


(31)

10 BAB II

LANDASAN TEORI

A. ASERTIVITAS

1. Definisi Asertivitas

Asertivitas didefinisikan sebagai perilaku yang berupa pernyataan pikiran, perasaan, kebutuhan dan hak pribadi yang bersifat langsung dan jujur tanpa ada kecemasan yang tidak beralasan (Cawood, 1997). Menurut Lloyd (1991), asertivitas merupakan kemampuan seseorang untuk bersikap jelas, jujur, mengkomunikasikan suatu hal yang berkaitan dengan diri dan tetap menghormati orang lain. Pendapat lain yang diungkapkan oleh Palmer dan Froehner menyebutkan bahwa asertivitas adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk menampilkan tingkah laku tegas yang dilakukan dengan sopan tanpa bersikap agresif dan defensif (dalam Anindyajati dan Karima, 2004).

Menurut Syukri dan Zulkarnain (2005) asertivitas merupakan sebuah proses menghilangkan hambatan personal yang dimiliki individu sehingga individu tersebut dapat mengembangkan kreativitasnya. Asertivitas juga dapat digunakan untuk mencapai kebebasan diri dan rasa percaya diri yang dimiliki seorang individu (Syukri dan Zulkarnain, 2005). Adams dan Lenz (1995) mengatakan asertivitas yang dilakukan dengan benar dapat membuat individu yakin dengan dirinya dan mampu


(32)

mengungkapkan rasa cemas dan khawatir tidak beralasan. Asertivitas yang dimiliki seseorang juga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kebutuhan, keinginan, perasaan kepada orang lain dengan cara langsung, jujur, dan tanpa maksud menyakiti perasaan orang lain (Adams dan Lenz, 1995).

Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa asertivitas merupakan perilaku mengungkapkan pikiran, perasaan dan kebutuhan pribadi kepada orang lain. Proses pengungkapan dapat dilakukan secara langsung, jujur, pada tempatnya, serta tetap memperhitungkan hak-hak pribadi dan orang lain. Jika asertivitas dilakukan dengan benar maka individu akan memiliki keyakinan terhadap dirinya dan mampu mengungkapkan rasa cemas dan kekhawatiran tak beralasan yang dirasakannya.

2. Aspek-Aspek Asertivitas

Menurut Cawood (1997), asertivitas memuat dua aspek utama yaitu keterampilan menerima dan keterampilan memberi. Keterampilan memberi terdiri dari enam indikator yaitu:

a. Keterampilan memberikan informasi

Individu mampu untuk memberikan pernyataan atau tanggapan yang berisi informasi kepada orang lain secara lugas, deskriptif, tanpa bias informasi dan tanpa menasehati.


(33)

Individu mampu untuk mempertahankan hak-hak pribadi, mengungkapkan pendapat pribadi yang disertai pengakuan tanpa merasa bersalah dan merasa terintimidasi oleh orang lain. Individu juga sadar bahwa orang lain memiliki hak untuk mengungkapkan pendapatnya berdasarkan pengenalan dan pengetahuannya.

c. Keterampilan menyatakan kebutuhan atau harapan

Individu mampu untuk mengungkapkan kebutuhan dan harapannya yang didasari pemahaman akan kebutuhan tersebut yang disampaikan secara jelas dan terbuka. Selain itu, individu juga memberikan kesempatan orang lain untuk memberikan tanggapan terhadap kebutuhan dan harapan yang sudah disampaikan.

d. Keterampilan berbagi perasaan

Individu mampu mengenali dan mengakui perasaan yang dimiliki, mengungkapkannya kepada orang lain dan mengelola perasaan yang dimiliki serta mengungkapkan secara terbuka. e. Keterampilan memberikan keputusan

Individu mampu membuat keputusan dengan sikap tegas, dan tidak bertele-tele dan bertahan pada keputusan pribadi. Selain itu, individu juga tidak boleh terlalu sering menolak pendapat orang lain serta mampu untuk menyampaikan alasan pengambilan keputusan.


(34)

Individu mampu untuk menyampaikan kritikan dan pujian sesuai dengan kenyataan dan memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan bagi diri sendiri dan orang lain. Dalam penyampaiannya, individu harus jujur tanpa menyembunyikan maksud tertentu dan pada waktu yang tepat.

Keterampilan menerima terdiri dari beberapa komponen (Cawood, 1997), yaitu:

a. Keterampilan mencari informasi

Individu mampu untuk mendengarkan dan menanggapi pernyataan orang lain yang disertai dengan pertimbangan dan pengajuan pertanyaan yang tepat untuk menggali informasi lebih lanjut.

b. Keterampilan merefleksikan isi pesan

Individu mampu untuk mendengarkan, menafsirkan isi pesan dan memparafrasekan isi pesan yang diungkapkan oleh orang lain tanpa bersikap kritis.

c. Keterampilan merefleksikan kembali perasaan yang terlibat, Individu mampu mengakui perasaannya dan mampu menafsirkan emosi orang lain. Selain itu, individu juga mampu untuk memberikan tanggapan yang tepat sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi.


(35)

d. Keterampilan menerima kritik

Individu mampu untuk menerima kritik dari orang lain. Bila kritik tersebut benar, individu mau untuk mengakui kesalahan yang sudah dilakukannya dan meminta saran untuk memperbaiki kesalahannya.

e. Keterampilan menerima pujian

Individu mampu untuk menerima pujian dan menganggapi pujian tersebut dengan bijak tanpa tergesa-gesa untuk membalas pujian tersebut.

f. Keterampilan bersikap luwes

Individu mampu untuk menyesuaikan perilaku terhadap pandangan pribadi dan mampu untuk berbagi kemenangan dengan orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek yang mempengaruhi asertivitas, yaitu: keterampilan menerima informasi dan keterampilan memberi informasi. Keterampilan menerima informasi meliputi keterampilan mencari informasi, keterampilan merefleksikan isi pesan, keterampilan merefleksikan perasaan, keterampilan menerima kritik dan pujian dan keterampilan untuk bersikap luwes. Sedangkan keterampilan memberi informasi meliputi keterampilan memberikan informasi, keterampilan memberikan opini, keterampilan menyatakan


(36)

kebutuhan, keterampilan berbagi perasaan, keterampilan memberikan keputusan dan keterampilan menyampaikan kritik atau pujian.

3. Ciri-Ciri Asertivitas

Menurut Adams dan Lenz (1995) menyatakan bahwa asertivitas memiliki ciri- ciri sebagai berikut:

a. Adanya kemampuan untuk bergaul secara jujur dan langsung. Individu yang memiliki asertivitas akan mengemukakan pikiran, perasaan, kebutuhan dan haknya namun tidak melanggar atau menyakiti pihak lain.

b. Adanya perilaku yang otentik, apa adanya, terbuka dan langsung. c. Adanya kemampuan bertindak demi kepentingan diri sendiri.

Individu yang memiliki asertivitas mampu mengambil tindakan inisiatif untuk memenuhi kebutuhannya.

d. Kemampuan untuk meminta informasi dan bantuan kepada orang lain.

e. Bersedia mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak jika terjadi konflik.

Pendapat lain yang diungkapkan Cawood (1997) terkait ciri-ciri asertivitas, yaitu:

a. Memandang keinginan, kebutuhan dan hak pribadi sama dengan hak orang lain.


(37)

b. Memiliki kemauan untuk berkomunikasi baik untuk menyatakan ide, pemikiran dan perasaan yang dimiliki kepada orang lain. c. Bertanggung jawab terhadap segala ide dan perasaan yang muncul

serta mau mengakui secara jujur tentang ide dan perasaan yang dimilikinya.

d. Mampu berkomunikasi sesuai norma dan budaya.

e. Mampu menyampaikan ide, pemikiran, dan perasaan tanpa menyerang atau melukai lawan bicara.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, ciri-ciri asertivitas yang dikemukakan oleh Adams dan Lenz (1995) melengkapi ciri-ciri asertivitas yang diungkapkan Cawood (1997) sehingga dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri asertivitas adalah sebagai berikut:

a. Adanya kemampuan untuk bergaul secara jujur dan langsung. Individu yang memiliki asertivitas akan mengemukakan pikiran, perasaan, kebutuhan dan haknya namun tidak melanggar atau menyakiti pihak lain.

b. Adanya perilaku yang otentik, apa adanya, terbuka dan langsung. Individu mampu untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan secara terbuka, tidak bertele-tele dan apa adanya tanpa merasa cemas. c. Adanya kemampuan bertindak demi kepentingan diri sendiri.

Individu yang memiliki asertivitas mampu mengambil tindakan inisiatif untuk memenuhi kebutuhannya.


(38)

d. Kemampuan untuk meminta informasi dan bantuan kepada orang lain. Individu mampu bersikap terbuka, jujur, tanpa basa-basi ketika membutuhkan bantuan orang lain.

e. Bersedia mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak jika terjadi konflik. Individu mampu untuk membuat keputusan dan mampu untuk menyelesaikan masalah yang ada tanpa merugikan atau membebani satu pihak.

Berdasarkan uraian yang diungkapkan Cawood (1997) dan Adams dan Lenz (1997) terkait aspek dan ciri-ciri asertivitas, sehingga dapat disimpulkan bahwa keputusan individu untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan kebutuhannya dapat dibedakan dalam tiga kelompok yaitu:

a. Asertivitas

Individu dikatakan memiliki asertivitas apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Menerima perasaan dan pikiran orang lain tetapi tetap menjadi hakim bagi tanggapan dan tindakan diri sendiri. 2. Berani untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan

kebutuhan diri sendiri secara jujur tanpa menyakiti perasaan orang lain.

3. Mampu mengantisipasi reaksi orang lain dan tidak mengkhawatirkan respon orang lain.


(39)

4. Mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan pribadi dengan menunjukkan sikap hormat timbal-balik bagi pandangan dan perasaan orang lain.

b. Non-asertivitas

Individu dikatakan non-asertivitas apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Menerima pandangan, pikiran dan harapan orang lain tanpa menyatakan pikiran, pendapat, dan kebutuhan diri sendiri. 2. Memiliki ketakutan untuk menyatakan pikiran, kebutuhan,

keinginan, pendapat kepada orang lain.

3. Cenderung memenangkan harapan orang lain dan menjunjung tinggi pandangan serta kebutuhan orang lain sementara kurang bertindak untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri.

4. Selalu berusaha untuk menghindari konflik

5. Menggunakan lebih banyak waktu dan energi untuk menanggapi perkataan orang lain daripada memiliki inisiatif untuk berkomunikasi dan bertindak berdasarkan keinginan pribadi.

6. Merasa bertanggung jawab terhadap perasaan orang lain. c. Agresi

Individu dikatakan memiliki agresi apabila memiliki ciri-ciri sebagai berikut:


(40)

1. Memenuhi kebutuhan diri sendiri tetapi mengorbankan orang lain.

2. Bersikap terbuka untuk menyatakan pikiran, perasaan, kebutuhan dan harapan pribadi tetapi tidak memperhitungkan pikiran, perasaan dan hak orang lain.

3. Penyampaian pikiran, perasaan dan kebutuhan diri sendiri melalui hinaan, pengabaian dan menyakiti orang lain.

4. Manfaat Asertivitas

Cawood (1997) mengatakan bahwa asertivitas memberikan manfaat bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Manfaat yang diperoleh adalah sebagai berikut:

a) Dapat menjalin kehidupan yang realistik. Ketika individu memiliki asertivitas maka ia akan menggunakan pikiran, perasaan dan kebutuhan yang nyata untuk menyelesaikan masalah yang ada dengan memusatkan perhatian pada masa kini dan tidak terkekang pada kecemasan masa lalu atau masa depan.

b) Dapat meningkatkan kepercayaan diri. Hasil yang akan didapatkan bila seseorang menegaskan pikiran dan perasaannya yaitu meningkatkan penghargaan diri dan kepercayaan diri, menjadi lebih kreatif dan terbuka terhadap usaha untuk mengambil resiko. c) Hubungan yang diperkaya. Ketika individu memiliki asertivitas, ia


(41)

dengan orang lain dan kemampuan mengelola konflik sehingga individu mempunyai kompetisi dan keberanian untuk mengawali kegiatan dan mengatasi kesulitan bersama orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa manfaat yang diterima individu yang memiliki asertivitas yaitu individu dapat menjalin kehidupan yang realistik, dapat meningkatkan kepercayaan diri dan

hubungan diperkaya.

B. PERILAKU PRO-RELASI PADA KORBAN KEKERASAN DALAM PACARAN

1. Definisi Perilaku

Perilaku yang ada pada individu bukan terjadi dengan sendirinya tetapi merupakan suatu bentuk respon dari stimulus yang mengenai individu tersebut (Walgito, 2004: KBBI, edisi keempat, 2011:1057). Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Azwar (2005) yang mengatakan bahwa perilaku merupakan suatu keadaan seseorang untuk memberikan respon terhadap suatu stimulus yang berada di luar subjek. Menurut King (2010), perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh individu yang dapat diamati oleh orang lain. Perilaku manusia merupakan sesuatu yang bisa dibentuk dan dikendalikan sehingga dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu (Walgito, 2004).


(42)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku merupakan respon yang diberikan oleh individu terhadap stimulus tertentu yang dapat diamati dan berubah-ubah dari waktu ke waktu.

2. Definisi Perilaku Pro-Relasi

Wieselquist et al. (1999) mendefinisikan perilaku pro-relasi sebagai tindakan yang dilakukan oleh individu untuk menjaga kelangsungan sebuah hubungan atau relasi yang sedang dijalaninya. Perilaku pro-relasi juga membawa dampak positif bagi kelangsungan sebuah hubungan (Kumashiro et al., 2002). Hal ini dikarenakan individu bersedia untuk berkorban dan menyesuaikan diri terhadap pasangan untuk memelihara sebuah hubungan romantik (Wieselquist et al., 1999). Wieselquist et al. (1999) mengatakan bahwa individu yang berperilaku pro-relasi memiliki komitmen terhadap hubungan sehingga ia mampu untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya.

Berdasarkan uraian yang diungkapkan oleh Wieselquist et al. (1999) dan Kumashiro et al. (2002) dapat disimpulkan bahwa perilaku pro-relasi adalah tindakan yang dilakukan individu kepada pasangan untuk menjaga kelangsungan hubungannya. Perilaku ini dapat membawa dampak positif bagi kelangsungan hubungan karena individu memiliki komitmen dan bersedia untuk berkorban serta menyesuaikan diri dengan pasangannya.


(43)

3. Aspek Perilaku Pro-Relasi

Terdapat beberapa aspek perilaku pro-relasi (Wieselquist et al., 1999; Kumashiro et al., 2002), yaitu:

a. Forgiveness

Kecenderungan individu untuk memaafkan pasangan meskipun pasangan sudah menghianatinya, melakukan kekerasan dan melanggar batasan-batasan yang sudah ditetapkan diawal hubungan.

b. Conciliation

Kecenderungan individu untuk berkorban dengan mendahulukan aktivitas yang membawa dampak positif bagi hubungan dan pasangan dibandingkan mendahulukan aktivitas yang disukai secara pribadi. Individu juga mampu mengambil keputusan apabila pasangannya melakukan penghianatan terhadap dirinya.

c. Accommodation

Perilaku akomodatif merupakan perilaku individu yang menyesuaikan diri dan bersabar terhadap pasangan meskipun pasangan memberikan perlakuan yang buruk.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa aspek dari perilaku pro-relasi yaitu forgiveness, conciliation dan accommodation.


(44)

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Pro-Relasi

Wieselquist et al. (1999) mengatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi perilaku pro-relasi, yaitu :

a. Komitmen

Komitmen adalah perjanjian atau keterikatan untuk melakukan sesuatu (KBBI, 1989). Komitmen yang dimiliki individu dalam sebuah hubungan pacaran adalah suatu ikatan yang menyebabkan individu memiliki niat untuk menjaga hubungan yang telah terjalin (Arif, 2013). Penelitian sebelumnya yang dilakukan Rusbult et al. (1994) dan Wieselquist et al. (1999) didapatkan hasil bahwa tingkat komitmen yang dimiliki individu mempengaruhi orientasi jangka panjang sebuah relasi. Komitmen yang dimiliki individu dapat menimbulkan perasaan lebih nyaman terhadap pihak lain sehingga individu berani untuk mengungkapkan ungkapan dan perilaku yang lebih bersifat personal (Morissan, 2013).

b. Kepercayaan

Kepercayaan adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai benar atau nyata (KBBI, 1989). Kepercayaan juga merupakan harapan yang dimiliki individu bahwa pasangannya dapat bersikap baik dan responsif serta dapat dijadikan tempat bergantung terhadap kebutuhannya. Individu


(45)

yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi akan melakukan perilaku pro-relasi untuk mempertahankan pasangannya karena ia percaya bahwa pasangannya akan berlaku baik dan responsif dalam memenuhi seluruh kebutuhannya (Wieselquist et al., 1999). Selain itu, individu juga berani untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat pribadi ketika ia sudah percaya kepada pasangannya. c. Reciprocitas

Reciprocitas adalah proses untuk saling membuka informasi pribadi kepada pasangan (Morissan, 2013). Individu yang memiliki prinsip reciprocitas akan merasa lebih bahagia ketika mereka saling membuka diri. Reciprocitas juga memungkinkan individu untuk melakukan perilaku pro-relasi. Hal ini dikarenakan individu memiliki harapan bahwa pasangannya akan melakukan perilaku pro-relasi dalam tingkat yang sama. Berdasarkan uraian yang diungkapkan Wieselquist et al. (1999), dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku pro-relasi yaitu komitmen, kepercayaan dan reciprocitas.

C. KORBAN KEKERASAN DALAM PACARAN

1. Definisi Pacaran

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, edisi keempat, 2011:994), pacar merupakan kekasih atau teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih. Sedangkan pacaran


(46)

adalah hubungan yang tetap berdasarkan cinta kasih dengan teman lawan jenis (KBBI, edisi ketiga, 2002:807). Menurut Reputrawati (1999), pacaran merupakan proses pengenalan antara laki-laki dan perempuan yang dilandasi rasa senang, cinta, perhatian dengan melibatkan perasaan untuk menemukan cara berelasi dan pertemanan yang lebih akrab.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pacaran merupakan hubungan yang terjalin antara dua individu yang berbeda jenis berdasarkan cinta kasih. Hubungan ini melibatkan perasaan yang dilandasi rasa senang, cinta dan perhatian untuk menuju pertemanan yang lebih akrab.

2. Definisi Kekerasan Dalam Pacaran

Kekerasan merupakan suatu perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik milik orang lain dan menyebabkan cedera atau matinya orang lain (KBBI, edisi keempat, 2011:677). Menurut Miron dan Miron (2006) kekerasan merupakan suatu tindakan menggunakan kekuatan fisik terhadap pasangan mulai dari memukul, menampar hingga penggunaan senjata. Sedangkan menurut

Mas’oed, dkk. (2000) kekerasan merupakan segala bentuk tindakan yang

menghalangi orang lain untuk megaktualisasikan diri.

Ferlita (2008) mengatakan bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan perilaku dalam percintaan bila salah satu pihak merasa terpaksa, tersinggung, dan disakiti oleh pasangannya. Kekerasan dalam


(47)

pacaran meliputi segala bentuk tindak paksaan, tekanan, perusakan dan pelecehan baik fisik maupun psikologis (Ferlita, 2008). Wolfe dan Feiring mendefinisikan kekerasan dalam pacaran merupakan segala usaha yang dilakukan individu untuk menguasai dan mengontrol pasangan baik secara fisik, seksual maupun psikologis yang mengakibatkan luka ataupun kerugian (dalam Ragil dan Margaretha, 2012).

Kekerasan dalam pacaran muncul karena adanya perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan. Menurut McCormick dan Jessor (dalam Santrock, 2002; Herdiansyah, 2016), perbedaan peran gender antara laki-laki dan perempuan memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada laki-laki daripada perempuan. Hal ini yang kemudian menyebabkan laki-laki menganggap perempuan sebagai pribadi yang inferior dan objek kesenangan untuk mendapatkan kesenangannya sendiri (Santrock, 2002).

Berdasarkan uraian beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam pacaran merupakan segala tindakan yang dilakukan terhadap pasangan selama menjalani hubungan pacaran yang melibatkan unsur pemaksaan, tekanan, pengerusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis sehingga mengakibatkan kerugian pada pasangan, baik secara fisik maupun psikis, dan kesakitan hingga menyebabkan kematian pasangan.


(48)

Menurut Arifin dan Rahmawati (2015) individu dapat dikatakan sebagai korban kekerasan dalam pacaran apabila ia mendapatkan perlakuan sebagai berikut:

a. Secara psikologis: individu tidak berani untuk mengungkapkan pendapat, menjadi penurut terhadap pasangan, dan menjadi sangat bergantung kepada pasangan.

b. Secara fisik: individu mendapatkan penyiksaan fisik berupa pukulan, tamparan, tendangan, dorongan, cengkraman yang kuat dari pasangan dan beberapa tindakan kekerasan yang menggunakan anggota tubuh pelaku.

c. Secara seksual: individu mendapatkan pelecehan seksual dari pasangan berupa tekanan atau paksaan dari pasangan yang berhubungan dengan alat kelamin atau kegiatan seksual.

d. Secara ekonomi: individu sering meminjamkan uang atau barang-barang kepada pasangan tanpa pernah dikembalikan oleh pasangan, dan pasangan selalu minta ditraktir oleh individu.

Menurut Miron dan Miron (2006) individu dapat dikatakan sebagai objek atau korban kekerasan ketika ia mendapatkan salah satu atau beberapa perlakuan diatas.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, didapati bahwa individu yang menjadi korban kekerasan dalam pacaran akan menjadi tidak berani untuk mengungkapkan pendapat, menjadi penurut terhadap pasangan, dan menjadi sangat bergantung kepada pasangan, mendapatkan penyiksaan


(49)

fisik dengan menggunakan anggota tubuh pelaku, mendapatkan pelecehan seksual dari pasangan, individu sering meminjamkan uang atau barang-barang kepada pasangan tanpa pernah dikembalikan oleh pasangan, dan pasangan selalu minta ditraktir oleh individu.

4. Pola Kekerasan Dalam Relasi

Siklus kekerasan dalam relasi pertama kali dikemukakan oleh Walker (1979). Siklus kekerasan dalam relasi meliputi :

a. The Build-Up Phase

Fase ini dimulai dengan hubungan yang normal namun terdapat peningkatan ketegangan yang ditandai dengan kekerasan verbal, emosi atau keuangan yang dilakukan individu terhadap pasangannya. Bentuk kekerasan yang muncul pada tahap ini merupakan kekerasan ringan.

b. The Stand-Over Phase

Fase ini merupakan fase yang menakutkan bagi korban kekerasan karena pada fase ini terjadi peningkatan kekerasan baik kekerasan verbal, fisik, maupun psikis menuju ke tahap yang lebih berat.

c. Explosion

Fase ini ditandai dengan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban kekerasan. Pelaku kekerasan akan mengontrol dan merasa memegang kendali atas diri


(50)

pasangan. Individu yang berada pada fase ini akan kesulitan untuk melepaskan emosi sehingga ia kembali akan berada pada fase ini untuk melepaskan emosi yang dimilikinya.

d. The Remorse Phase

Pada fase ini, pelaku kekerasan merasa malu dan menarik diri dari hubungan serta mencoba mencari pembenaran dari tindakan kekerasan yang dilakukannya.

e. The Persuit Phase

Fase ini ditandai dengan perubahan perilaku secara tiba-tiba. Pelaku kekerasan akan melakukan hal-hal yang baik, seperti membeli hadiah dan perhatian kepada pasangan untuk menebus kesalahan yang telah dilakukannya. Selain itu, pelaku kekerasan akan mencari kambing hitam atas tindakan kekerasan yang ia lakukan.

f. The Honeymoon Phase

Fase ini ditandai dengan adanya upaya pelaku untuk meminta maaf dan meyakinkan pasangannya bahwa ia akan berubah dan tidak melakukan kekerasan lagi.


(51)

Menurut Rohmah dan Legowo (2014) kekerasan dalam pacaran merupakan suatu hal yang berpola dan mempunyai siklus. Hal ini dikarenakan individu yang terbiasa bersikap kasar terhadap pasangannya akan cenderung untuk mengulangi hal yang sama dan sudah menjadi bagian dari kepribadiannya. Selain itu, individu tersebut juga menggunakan kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi terhadap pasangannya.

Berdasarkan uraian yang diungkapkan Walker (1979) dan Rohmah dan Legowo (2014) terkait siklus kekerasan dalam relasi, dapat disimpulkan bahwa kekerasan yang terjadi dalam relasi memiliki siklus yang terus berulang. Siklus kekerasan dalam relasi meliputi the build-up phase, the stand-over phase, explosion, the remorse phase, the persuit phase, dan the honeymoon phase.


(52)

5. Karakteristik Korban Kekerasan Secara Psikologis

Secara psikologis korban kekerasan akan mengalami dampak sebagai berikut (Arifin dan Rahmawati, 2015) :

a. Menurunkan rasa percaya diri

Korban kekerasan dalam pacaran yang merasa telah kehilangan sesuatu yang berharga dari dirinya akan merasa minder untuk menjalin hubungan kembali.

b. Meningkatkan rasa cemas

Perlakuan kasar yang diterima korban kekerasan dalam pacaran menyebabkan korban merasa tertekan dan cemas. Hal ini yang menyebabkan korban takut untuk melakukan kesalahan terhadap pasangan sehingga korban kekerasan sulit untuk melakukan asertivitas.

c. Sulit berkonsentrasi

Menurut National Institute Of Mental Health, individu korban kekerasan dalam pacaran akan mengalami stress jangka

panjang pasca terjadinya kekerasan dalam pacaran (dalam Fu’ady,

2011). Selain itu, korban kekerasan menganggap masalah yang sedang dihadapi dalam hubungan sebagai masalah yang berat. d. Menurunkan produktivitas kerja

Kekerasan dalam pacaran akan menyebabkan menurunnya produktivitas kerja individu. Hal ini dikarenakan menurunnya rasa percaya diri terhadap diri sendiri.


(53)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara psikologis korban kekerasan akan mengalami dampak seperti menurunkan rasa percaya diri, meningkatkan rasa cemas, sulit berkonsentrasi dan menurunkan produktivitas kerja.

6. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Pacaran

Menurut Rahmawati (2007), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan individu korban kekerasan dalam pacaran rentan untuk mendapatkan kekerasan yang berulang yaitu :

1. Faktor internal

Faktor internal yang menyebabkan korban kekerasan dalam pacaran rentan untuk mendapatkan kekerasan yang berulang yaitu : a. Harga diri rendah

Korban kekerasan dalam pacaran cenderung memiliki harga diri rendah yang menyebabkannya mengalami kesulitan dalam bergaul dengan lingkungan yang baru. Selain itu, korban kekerasan juga lebih memilih untuk tetap mempertahankan hubungannya dengan pasangan. Hal ini dikarenakan korban memaknai kekerasan yang didapatkannya sebagai akibat dari kurangnya kemampuan diri (Kernis dkk., dalam Byron dan Byrne, 1991).


(54)

Individu korban kekerasan dalam pacaran yang memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap pasangan mengharapkan hubungan yang dibangun bersama pasangannya tetap berjalan mulus. Selain itu, korban kekerasan juga tetap mempertahankan hubungannya karena ia memiliki harapan bahwa pasangannnya akan berubah ketika mereka telah menikah dan telah mempunyai anak. Ketergantungan yang dimiliki individu dengan pasangannya

c. Menempatkan diri sub-ordinat

Korban kekerasan dalam pacaran akan merasa bahwa perlakuan negatif yang diberikan pasangannya merupakan perlakuan yang pantas didapatkannya. Selain itu, korban kekerasan juga bersedia untuk mendapatkan perlakuan kekerasan yang berulang.

2. Faktor eksternal

Faktor internal yang menyebabkan korban kekerasan dalam pacaran rentan untuk mendapatkan kekerasan yang berulang yaitu : a. Keluarga

Gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua dalam mendidik anak akan menentukan keputusan anak untuk berlaku terbuka tentang hubungan pacaran yang sedang dijalaninya.


(55)

b. Lingkungan

Lingkungan menjadi tempat yang berpotensi terjadi tindak kekerasan. Hal ini dikarenakan kelompok yang berada di posisi atas dalam masyarakat sangat potensial untuk menindas kelompok yang ada dibawahnya.

c. Karakteristik pelaku

Kekerasan dalam pacaran terjadi ketika pelaku kekerasan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mengontrol dan menguasai pihak lain.

Berdasarkan uraian yang diungkapkan oleh Rahmawati (2007) dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan korban kekerasan dalam pacaran rentan untuk mendapatkan kekerasan berulang yaitu harga diri rendah, tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap pasangan, lingkungan, keluarga, dan karakteristik pelaku.

7. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Pacaran

Reputrawati (1999) mengemukakan bentuk-bentuk kekerasan dalam pacaran, yaitu :

a. Kekerasan Fisik

Kekerasan fisik merupakan kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan anggota tubuh pelaku seperti tagan atau kaki. Contohnya: memukul, menampar, menendang, mendorong,


(56)

mencengkram tubuh pasangan dengan keras dan tindakan fisik lainnya yang menyebabkan timbulnya luka di tubuh pasangan. b. Kekerasan Psikologis

Kekerasan psikologis merupakan bentuk kekerasan yang tidak terlalu nyata namun mengakibatkan perasaan sakit hati, tertekan, marah, tertekan dan kurangnya rasa percaya diri. Contohnya: mengancam, memanggil pasangan dengan sebutan yang buruk, mencaci, berteriak, menjelek-jelekkan dan mempermalukan pasangan.

c. Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual merupakan kekerasan yang bersifat seksual atau penyerangan seksual, agresifitas seksual, dan pemberian perhatian yang berkonotasi seksual. Contohnya: memaksa pasangan untuk melakukan perilaku seksual seperti meraba, memeluk, mencium hingga melakukan hubungan seksual padahal pasangan tidak bersedia melakukannya.

d. Kekerasan Ekonomi

Kekerasan ekonomi merupakan kekerasan yang berhubungan dengan uang dan barang. Akibat dari kekerasan ini berhubungan dengan kehilangan uang atau barang.


(57)

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk tindakan kekerasan yang dilakukan dalam pacaran merupakan bentuk kekerasan fisik, psikologis, kekerasan seksual maupun kekerasan ekonomi.

8. Dampak Kekerasan Dalam Pacaran

Menurut Safitri (2013), dampak negatif dari tindak kekerasan dalam pacaran, yaitu:

a) Dampak Psikologis

Perempuan korban kekerasan menjadi trauma atau benci kepada laki-laki yang menyebabkan ia takut menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Akibat lain yang ditimbulkan adalah depresi, stres dan kecemasan, sulit berkonsentrasi, menunjukkan perilaku bunuh diri, memiliki masalah tidur dan merasa harga dirinya rendah.

b) Dampak Seksual

Pelecehan seksual yang dihadapi individu mulai dari komentar yang berkonotasi seksual dan kontak fisik seperti memegang, sentuhan kebagian tubuh tertentu. Dampak dari kekerasan seksual dirasakan yaitu individu mengalami traumatik, mengeluarkan kata-kata dan tangisan untuk menunjukkan penderitaan yang dialaminya.


(58)

c) Dampak Fisik

Kekerasan yang dialami selama pacaran mengakibatkan lebam, memar, luka, lecet, ginekologi hingga patah tulang dapat terjadi. Penyebab kekerasan fisik yang terjadi diantaranya adalah kecemburuan, sifat posesif, dan tempramen dari pasangan.

d) Dampak Sosial

Posisi perempuan menjadi lemah dalam hubungannya dengan laki-laki yang lain. Apabila perempuan yang merasa telah menyerahkan keperawanannya pada pacarnya, biasanya merasa minder untuk menjalin hubungan lagi.

Berdasarkan uraian di atas, kekerasan yang dilakukan dalam pacaran akan membawa dampak negatif bagi pasangan. Dampak yang ditimbulkan dari kekerasan yaitu dampak psikologis, dampak fisik, dampak sosial, dan dampak seksual. Dampak psikologis yang diterima berupa rasa trauma terhadap laki-laki, depresi, stress, kecemasan, sulit berkonsentrasi, memiliki gangguan tidur, harga diri rendah hingga bunuh diri. Sedangkan dampak seksual yang diterima korban berupa komentar yang berkonotasi seksual, sentuhan ke bagian tubuh tertentu, mengalami traumatik, mengeluarkan kata-kata dan tangisan untuk menunjukkan penderitaan. Korban kekasan juga menerima dampak fisik seperti lebam, memar, luka, lecet, ginekologi hingga patah tulang, serta dampak sosial berupa melemahnya posisi perempuan ketika berhubungan dengan


(59)

laki-laki, dan kurang percaya diri untuk membangun hubungan dengan orang lain.

D. DEWASA AWAL

1. Definisi Dewasa Awal

Masa dewasa awal adalah masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa yang ditandai dengan pemantapan kondisi ekonomi dan kemandirian (Kenniston, dalam Santrock, 2002). Menurut Sumanto (2014), masa dewasa awal adalah masa pencarian kemantapan dan masa yang dipenuhi dengan masalah dan ketegangan emosional, periode isolasi, periode komitmen dan masa ketergantungan, perubahan nilai-nilai, kreativitas dan penyesuaian diri pada pola hidup yang baru. Hal ini sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Erickson. Erickson mengatakan masa dewasa awal merupakan masa seorang individu dituntut untuk memiliki komitmen terhadap pasangan (dalam Papalia, 2009). Santrock (2002) mengatakan bahwa dewasa muda merupakan masa transisi, baik transisi secara fisik, intelektual, maupun peran sosial. Seseorang dikatakan memasuki masa dewasa awal apabila berada pada rentang usia 18-25 tahun (Wade dan Tavris, 2007).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masa dewasa awal adalah masa peralihan, baik peralihan secara fisik, intelektual maupun peran sosial, dari masa remaja ke masa dewasa. Dalam penelitian


(60)

ini, individu yang dikatakan berada pada masa dewasa awal adalah individu yang berada pada rentang usia 18-25 tahun.

2. Ciri-Ciri Dewasa Awal

Menurut Sumanto (2014), ciri-ciri periode masa dewasa awal adalah sebagai berikut:

a. Individu memainkan peran baru seperti suami-istri, orang tua, pencari nafkah, dan lain-lain.

b. Menaruh perhatian pada penampilan, pakaian, tata rias, dan lambang-lambang kedewasaan lainnya.

c. Adanya pembatasan kegiatan sosial dikarenakan tekanan pekerjaan dan keluarga sehingga hubungan yang terjalin dengan kelompok teman sebaya menjadi renggang.

3. Tugas-Tugas Perkembangan Pada Masa Dewasa Awal

Santrock (2002) mengatakan masa dewasa awal memiliki beberapa tugas perkembangan, yaitu:

a. Dapat membuat keputusan sendiri dan bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil.

b. Membangun relasi yang intim bersama orang lain, baik laki-laki maupun perempuan guna mempersiapkan pernikahan.

Menurut Havighurst (dalam Lemme, 1995), terdapat beberapa tugas perkembangan pada masa dewasa awal, yaitu:


(61)

a. Memilih pasangan hidup b. Mulai bekerja

c. Menemukan kelompok sosial yang menyenangkan

Pendapat yang diungkapkan Havighurst (dalam Lemme, 1995) terkait tugas perkembangan dewasa awal melengkapi pendapat yang diungkapkan Santrock (2002) sehingga dapat disimpulkan bahwa tugas perkembangan pada masa dewasa awal adalah:

a. Menemukan kelompok sosial yang menyenangkan.

b. Membangun relasi yang intim bersama orang lain, baik laki-laki maupun perempuan guna mempersiapkan pernikahan.

c. Mulai bekerja.

E. DINAMIKA ASERTIVITAS DAN PERILAKU PRO-RELASI PADA KORBAN KEKERASAN DALAM PACARAN

Korban kekerasan dalam pacaran adalah individu yang mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari pasangan selama menjalani hubungan pacaran. Kekerasan dalam pacaran yang diterima korban dapat membawa dampak negatif bagi kelangsungan hidupnya. Namun, kebanyakan korban kekerasan dalam pacaran tidak menyadari bahwa ia sudah menjadi korban kekerasan dalam pacaran dan menganggap perlakuan buruk yang didapatkannya sebagai konsekuensi dari hubungan tersebut sehingga ia tetap mempertahankan hubungannya (Rohmah dan Legowo, 2014).


(62)

Korban kekerasan rentan mendapatkan kekerasan berulang. Hal ini dikarenakan korban menempatkan diri sebagai sub-ordinat dan kurangnya kemampuan korban melakukan asertivitas. Asertivitas merupakan proses pengungkapan pikiran, perasaan dan kebutuhan kepada orang lain. Individu yang sedang menjalin hubungan pacaran memerlukan asertivitas untuk mengenal satu sama lain. Asertivitas juga diperlukan untuk membantu individu mengenali diri sepenuhnya (Adams dan Lenz, 1995).

Berdasarkan penelitan yang dilakukan Roloff dan Cloven (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011) menemukan hasil bahwa rata-rata mahasiswa menyembunyikan sekitar 40% dari seluruh daftar yang telah mereka buat terhadap pasangannya. Keputusan individu untuk menyembunyikan atau menyatakan keluhan yang sedang dirasakannya kepada pasangan didasari oleh beberapa pertimbangan. Coser (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011) mengatakan bahwa individu menyembunyikan keluhan yang sedang dirasakannya kepada pasangan dikarenakan mereka takut hubungan yang sedang terjalin akan berakhir jika mereka mengungkapkan keluhan-keluhan yang sedang dirasakannya. Namun, ketika individu menyatakan keluhan yang sedang dirasakannya kepada pasangan, konflik yang dihasilkan dapat menambah stabilitas dalam hubungan. Hal ini dikarenakan pengeluaran keluhan dan amarah yang berujung pada perselisihan dapat meningkatkan stabilitas hubungan, sebaliknya menyembunyikan konflik kepada pasangan dapat mengakibatkan permusuhan pasangan yang berujung pada konfrontasi yang hebat dalam hubungan (dalam Budyatna dan Ganiem, 2011).


(63)

Individu yang memiliki asertivitas mampu untuk berkomunikasi secara spontan tanpa menyakiti orang lain, dan mampu meminta bantuan kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Individu juga memiliki harga diri yang tinggi sehingga ia memaknai perlakuan kasar yang diterima melanggar hak-hak pribadinya. Selain itu, individu juga mampu untuk membuat keputusan sendiri dan memiliki keyakinan atas keputusan tersebut sehingga ketika pasangan memberikan perlakuan kasar, individu mampu membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan dan meyakini bahwa keputusan yang sudah diambil merupakan keputusan yang tepat.

Individu yang memiliki hubungan pacaran yang sehat akan mudah untuk melakukan asertivitas kepada pasangannya. Hal ini dikarenakan individu memiliki memiliki prinsip reciprocitas yang tinggi. Reciprocitas yang tinggi akan memampukan individu untuk terbuka terhadap pasangannya. Reciprocitas yang tinggi juga membuat individu memiliki harapan bahwa pasangan juga akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya. Individu yang memiliki hubungan pacaran yang sehat juga mampu menjaga stabilitas hubungan dan memiliki perilaku pro-relasi (Coser, dalam Budyatna & Ganiem, 2011).

Berbeda dengan individu yang memiliki hubungan pacaran yang sehat, korban kekerasan dalam pacaran sulit untuk melakukan asertivitas. Hal ini dikarenakan korban kekerasan memiliki prinsip reciprocitas yang rendah. Reciprocitas yang rendah membuat korban sulit untuk mengungkapkan apa yang ia rasakan kepada pasangannya. Korban juga takut kehilangan pasangan


(64)

apabila ia mengungkapkan apa yang ia rasakan kepada pasangan. Selain itu, korban kekerasan juga memiliki harga diri yang rendah sehingga ia memaknai kekerasan yang didapatkannya sebagai akibat dari kurangnya kemampuan diri (Kernis dkk., dalam Byron dan Byrne, 1991). Korban juga memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi kepada pasangan. Hal inilah yang menyebabkan korban tidak menolak perlakuan kasar dari pasangan dan rentan mendapatkan kekerasan berulang. Korban kekerasan juga tidak mampu membuat keputusan untuk mengakhiri hubungan dan memilih untuk tetap mempertahankan hubungannya atau memiliki perilaku pro-relasi. Oleh karena itu, individu korban kekerasan yang memiliki asertivitas yang rendah memiliki perilaku pro-relasi yang tinggi.

Dari uraian diatas, terdapat hubungan antara asertivitas dengan perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran. Asertivitas menjadi salah satu penyebab terjadinya perilaku pro-relasi dalam hubungan pacaran. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba untuk mencari hubungan asertivitas dengan perilaku pro-relasi, dalam hal ini hubungan yang berlawanan. Semakin tinggi tingkat asertivitas maka semakin rendah perilaku pro-relasi yang dimiliki korban kekerasan dalam pacaran.

F. HIPOTESIS

Hipotesis pada penelitian ini adalah ada hubungan yang negatif antara asertivitas dengan perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran.


(65)

Skema Hubungan Asertivitas Dengan Perilaku Pro-Relasi Pada Korban Kekerasan Dalam Pacaran

Asertivitas rendah Perilaku pro-relasi rendah

Kekerasan tidak berulang Adanya penolakan perlakuan kasar yang

diberikan pasangan Korban dapat menolak

perlakuan kasar dari pasangan dan korban mampu untuk membuat

keputusan Ketergantungan terhadap pasangan

rendah Harga diri tinggi Reciprocitas rendah

Perilaku pro-relasi

tinggi

Kekerasan berulang Tidak adanya penolakan

perlakuan kasar yang diberikan pasangan Korban tidak dapat menolak

perlakuan kasar dari pasangan dan korban tidak

mampu untuk membuat keputusan Ketergantungan terhadap pasangan

tinggi

Reciprocitas rendah

Harga diri rendah Asertivitas

tinggi

Korban kekerasan dalam Pacaran


(66)

50 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan jenis penelitian korelasional. Menurut Sugiyono (2013), metode penelitian kuantitatif menyajikan data berupa angka-angka dan menggunakan analisis statistik.

B. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah : Variabel Independen : Asertivitas

Variabel Dependen : Perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran

C. Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini meliputi asertivitas, perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran.


(67)

1. Asertivitas

Asertivitas merupakan perilaku mengungkapkan pikiran, perasaan dan kebutuhan pribadi kepada orang lain. Proses pengungkapan dapat dilakukan secara langsung, jujur, pada tempatnya, serta tetap memperhitungkan hak-hak pribadi dan orang lain.

Asertivitas pada penelitian ini diukur dengan menggunakan skala asertivitas yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dipaparkan oleh Cawood (1997) sebagai berikut :

a. Keterampilan memberi :

1) Keterampilan memberikan informasi

2) Keterampilan memberikan opini atau sudut pandang 3) Keterampilan menyatakan kebutuhan atau harapan 4) Keterampilan berbagi perasaan

5) Keterampilan memberikan keputusan

6) Keterampilan menyampaikan kritik atau pujian b. Keterampilan menerima:

1) Keterampilan mencari informasi 2) Keterampilan merefleksikan isi pesan

3) Keterampilan merefleksikan kembali perasaan yang terlibat, 4) Keterampilan menerima kritik

5) Keterampilan menerima pujian 6) Keterampilan bersikap luwes


(68)

2. Perilaku Pro-Relasi Pada Korban Kekerasan dalam Pacaran

Perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran adalah tindakan yang dilakukan individu kepada pasangan untuk menjaga kelangsungan hubungannya. Perilaku ini dapat membawa dampak positif bagi kelangsungan hubungan karena individu memiliki komitmen dan bersedia untuk berkorban serta menyesuaikan diri dengan pasangannya.

Pada penelitian ini, perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran diukur dengan menggunakan skala perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran yang disusun berdasarkan aspek-aspek yang dipaparkan oleh Wieselquist et al. (1999) dan Kumashiro et al. (2002) sebagai berikut :

a. Forgiveness b. Conciliation c. Accommodation

D. Subjek Penelitian

Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel berdasarkan kriteria tertentu (Sangadji dan Sopiah, 2010). Subjek penelitian merupakan orang yang ingin diteliti dalam sebuah penelitian yang memuat data untuk variabel penelitian. Subjek dalam


(69)

penelitian ini adalah dewasa awal dengan rentang usia 18-25 tahun dan menjalani hubungan pacaran. Dewasa awal yang diambil dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang merupakan korban kekerasan dalam pacaran dan masih bertahan dengan pasangannya. Data dikumpulkan secara online dan offline.

Peneliti memilih subjek berdasarkan beberapa kriteria yang tercantum di atas. Selain itu, peneliti juga mencantumkan skala pendahulu yang berisi 15 pernyataan terkait jenis-jenis kekerasan yang terjadi dalam hubungan pacaran. Subjek diminta untuk merefleksikan apakah pernyatan-pernyataan tersebut pernah dirasakan selama menjalani hubungan pacaran. Setelah itu, subjek diminta untuk memberikan tanda silang (X) pada setiap pernyataan yang pernah ia rasakan dan alami selama pacaran. Menurut Miron dan Miron (2006) individu dapat dikatakan sebagai korban kekerasan apabila individu memilih salah satu atau lebih dari pernyataan-pernyataan tersebut. Namun, dalam penelitian ini, individu tidak dapat dikatakan sebagai korban kekerasan apabila ia hanya memilih pernyataan no. 1, 8, 11. Hal ini dikarenakan pernyataan no. 1, 8, 11 berisi kekerasan yang bersifat ambigu sehingga individu dapat dikatakan sebagai korban kekerasan apabila ia memilih salah satu atau lebih pernyataan yang terdapat dalam pernyataan 2-15. Berikut ini merupakan 15 pernyataan yang akan digunakan dalam proses seleksi subjek, yaitu :


(70)

1 Pasangan saya sering membatasi pergaulan saya.

2 Pasangan saya selalu merasa cemburu terhadap saya apabila saya berpergian dengan laki-laki/perempuan lain selain dirinya.

3 Pasangan saya menuntut saya untuk menemaninya melakukan hobinya.

4 Pasangan saya mengancam akan melakukan tindakan kasar kepada saya ketika saya ingin mengakhiri hubungan dengannya.

5 Pasangan saya memaksa saya untuk melakukan hubungan seksual.

6 Saya sering merasa takut dengan perlakuan buruk yang diberikan pasangan saya kepada saya.

7 Pasangan saya menampar saya ketika kami bertengkar.

8 Saya selalu merasa cemas ketika pasangan saya marah kepada saya. 9 Saya lebih sering mengeluarkan uang ketika kami sedang jalan berdua. 10 Saya sering direndahkan pasangan saya ketika ia sedang marah.

11 Pasangan saya sering menggunakan uang saya tetapi ia tidak pernah mengembalikannya.

12 Pasangan saya sering meminta saya membelikan barang untuknya ketika kami sedang jalan-jalan di mall.

13 Pasangan saya sering memberikan julukan negatif kepada saya ketika kami sedang bertengkar.

14 Pasangan saya sering memberikan kata-kata kasar kepada saya ketika saya tidak berlaku sesuai dengan keinginannya.


(71)

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengambilan data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala. Skala tersebut terdiri dari dua skala yaitu skala asertivitas dan skala pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran. Peneliti memilih skala Likert’s Summated Ratings. Dalam penyajiannya, peneliti menyediakan beberapa pernyataan yang berhubungan dengan suatu objek atau situasi tertentu, kemudian subjek diminta untuk mengindikasikan tingkat kesesuaian atau ketidaksesuaian pernyataan sesuai dengan kehidupan subjek. Masing-masing skala menyajikan empat alternatif jawaban yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Perincian skala yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Skala Asertivitas

Dalam skala ini terdapat beberapa pernyataan yang kemudian digolongkan ke dalam favorable dan unfavorable. Pernyataan favorable merupakan pernyataan-pernyataan yang mendukung aspek sedangkan penyataan unfavorable merupakan pernyataan-pernyataan yang tidak mendukung aspek. Skala ini dibuat berdasarkan aspek-aspek yang terdapat dalam asertivitas. Aspek-aspek tersebut antara lain keterampilan menerima, dan keterampilan memberi. Skala ini berjumlah 40 item yang terdiri atas 20 item pernyataan favorable dan 20 item pernyatan unfavorable.


(72)

51

Tabel 1. Sebaran Item Skala Asertivitas sebelum diuji coba

Aspek

No. Item

Total % Favorable Unfavorable

Keterampilan Memberi

3, 5, 13, 16, 19, 22, 23, 27, 31, 39, 43, 47, 50, 52, 54, 59, 64, 67,

70, 74

7, 9, 10, 12, 17, 20, 25, 35, 38, 40, 42, 45, 49, 51, 56, 61, 65, 68,

72, 75

40 50

Keterampilan Menerima

1, 6, 8, 11, 14, 18, 29, 32, 34, 37, 41, 46, 53, 58, 62, 66, 71, 77, 78,

80

2, 4, 15, 21, 24, 26, 28, 30, 33, 36, 44, 48, 55, 57, 60, 63, 69, 73,

76, 79

40 50

Total 40 40 80 100

Pemberian skor alat ukur tersebut adalah sebagai berikut : Tabel 2. Pemberian Skor Skala Asertivitas

Alternatif Jawaban Favorable Unfavorable

Sangat Setuju (SS) 4 1

Setuju (S) 3 2

Tidak Setuju (TS) 2 3

Sangat Tidak Setuju (STS) 1 4

Pemberian skor pada skala asertivitas mengindikasikan bahwa semakin tinggi skor total pada skala menunjukkan bahwa tingkat


(73)

asertivitas yang dimiliki subjek semakin tinggi. Semakin rendah skor total pada skala menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat asertivitas yang dimiliki subjek.

2. Skala Pro-Relasi Pada Korban Kekerasan dalam Pacaran

Dalam skala ini terdapat beberapa pernyataan yang kemudian digolongkan ke dalam favorable dan unfavorable. Pernyataan favorable merupakan pernyataan-pernyataan yang mendukung aspek sedangkan penyataan unfavorable merupakan pernyataan-pernyataan yang tidak mendukung aspek. Skala ini dibuat berdasarkan aspek-aspek yang terdapat dalam perilaku pro-relasi pada korban kekerasan dalam pacaran. Aspek-aspek tersebut antara lain forgiveness, conciliation, dan accommodation. Jumlah item dalam skala ini adalah 60 item yang terdiri dari 30 item pernyataan favorable dan 30 item pernyatan unfavorable.


(1)

VAR00060 155.03 299.999 .319 .905

Item-Total Statistics Scale Mean if

Item Deleted

Scale Variance if Item Deleted

Corrected Item-Total Correlation

Cronbach's Alpha if Item Deleted

VAR00001 150.95 302.964 .416 .909

VAR00002 151.00 303.831 .357 .910

VAR00003 151.10 300.431 .386 .910

VAR00004 150.95 298.862 .517 .908

VAR00005 151.02 299.678 .491 .909

VAR00006 150.82 299.034 .513 .908

VAR00007 150.90 297.583 .599 .908

VAR00008 150.50 304.797 .377 .910

VAR00009 151.45 303.235 .284 .911

VAR00010 150.48 298.627 .546 .908

VAR00011 151.88 308.240 .188 .911

VAR00012 150.62 301.529 .394 .909

VAR00014 151.60 310.278 .084 .912

VAR00015 150.58 307.061 .234 .911

VAR00016 150.65 300.299 .482 .909


(2)

VAR00018 151.42 302.722 .304 .910

VAR00019 150.83 304.141 .313 .910

VAR00020 150.70 303.197 .374 .910

VAR00021 152.13 309.711 .139 .911

VAR00022 150.37 303.592 .452 .909

VAR00023 151.83 307.226 .221 .911

VAR00024 151.57 306.012 .244 .911

VAR00025 151.07 296.640 .623 .907

VAR00026 150.63 302.711 .442 .909

VAR00027 150.72 301.562 .406 .909

VAR00028 151.17 303.463 .350 .910

VAR00029 151.12 303.020 .356 .910

VAR00030 151.13 300.795 .403 .909

VAR00031 150.98 303.203 .358 .910

VAR00032 151.10 299.346 .497 .908

VAR00033 151.33 298.565 .470 .909

VAR00034 150.23 304.623 .445 .909

VAR00035 150.95 300.014 .489 .909

VAR00036 150.67 307.684 .211 .911

VAR00037 150.57 309.029 .142 .912


(3)

VAR00039 151.03 296.948 .577 .908

VAR00040 150.93 298.673 .512 .908

VAR00041 150.75 305.106 .258 .911

VAR00042 151.62 303.495 .322 .910

VAR00043 150.68 308.627 .167 .911

VAR00045 151.75 306.699 .241 .911

VAR00046 150.93 303.385 .325 .910

VAR00047 150.57 306.792 .251 .911

VAR00048 151.07 303.046 .309 .910

VAR00049 150.62 296.478 .637 .907

VAR00050 150.97 298.304 .491 .908

VAR00051 150.30 304.519 .436 .909

VAR00052 150.75 305.038 .287 .910

VAR00053 151.55 304.387 .292 .910

VAR00054 151.17 305.124 .259 .911

VAR00055 151.52 302.559 .282 .911

VAR00056 150.80 297.315 .568 .908

VAR00057 150.72 301.291 .478 .909

VAR00058 151.10 300.837 .470 .909


(4)

VAR00060 151.17 303.870 .334 .910

Lampiran 4 Hasil Uji Normalitas

Asertivitas

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic Df Sig. Statistic Df Sig. Asertivitas .067 105 .200* .989 105 .554 a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Perilaku Pro-Relasi

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. Perilaku

Pro-Relasi

.081 105 .086 .950 105 .001


(5)

Lampiran 5 Uji Linearitas

ANOVA Table Sum of

Squares df

Mean

Square F Sig. Perilaku

Pro-Relasi * Asertivitas

Between Groups

(Combined) 11702.512 48 243.802 1.975 .007 Linearity 4784.883 1 4784.883 38.758 .000 Deviation

from Linearity

6917.629 47 147.184 1.192 .263

Within Groups 6913.450 56 123.454


(6)

Lampiran 6 Uji Hipotesis

Correlations

Asertivitas

Perilaku Pro-Relasi Asertivitas Pearson Correlation 1 .507**

Sig. (1-tailed) .000

N 105 105

Perilaku Pro-Relasi Pearson Correlation .507** 1 Sig. (1-tailed) .000

N 105 105