Tata Beracara Dalam Penerapan Kode Etik Legislatif

27 h. tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 lima tahun atau lebih; i. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari dokter yang berkompeten; dan j. terdaftar sebagai pemilih. Pasal 39 Anggota dilarang melanggar sumpahjanji sebagai berikut: “Bahwa Saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai Anggota DPR dengan sebaik­baiknya dan seadil­adilnya, bahwa Saya akan memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang­Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta peraturan perundang­undangan, bahwa Saya akan menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan Negara, bahwa Saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan Nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

2.2 Tata Beracara Dalam Penerapan Kode Etik Legislatif

Tata Beracara yang dimaksud dalam Kajian ini adalah suatu ketentuan yang bersifat formil, proseduril, teknis bagi penegakkan Kode Etik yang dilakukan oleh Badan Kehormatan. Konsekuensinya, ketentuan normatif yang isinya tentang kategori perilaku dan sanksi tidak perlu diatur dalam Tata Beracara ini. Lebih tepatnya dapat dikatakan bahwa Tata Beracara ini merupakan manual kode etik bagi pelaksanaan tugas dan wewenang Badan Kehormatan DPR RI. Pengaduan atau pelaporan merupakan titik awal masuknya pengujian terhadap suatu perilaku etis. Dalam ketentuan tata beracara, antara pihak administrasi yaitu Sekretariat Jendral DPR RI dan seluruh Anggota Badan Kehormatan bekerjasama untuk menunjukkan kinerja yang benar­benar sesuai dengan tujuan Kode Etik. Kode Etik Legislatif 28 Substansi tata beracara yang bersifat administatif ini terdiri dari bagian Materi Pengaduan, Tata cara Pengaduan, Registrasi Pengaduan, Penjadwalan dan Panggilan Sidang. Tujuan pengaturan ini antara lain adalah untuk memfokuskan perkara yang ditangani Badan Kehormatan hanya untuk perkara yang terkait langsung dengan Kode Etik dan disertai wewenang untuk menolak apabila terkait langsung dengan pembuktian yuridis­dogmatis yang tidak ada sangkutpautnya dengan norma moral dalam Kode Etik. Rasionalitas pemeriksaan dalam persidangan perlu mendapat perhatian penting. Secara teknis, daftar pertanyaan harus dipersiapkan terlebih dahulu bagi seluruh Anggota Badan Kehormatan agar tidak keluar konteks, tidak terburu­buru memberikan penilaian, menggunakan metode kata hati yang rasional dan fokus pada kasus. Dalam rumusan naskah pemeriksaan persidangan di bawah ini, logika dalam pembuktian amatlah penting. Pengalaman dalam Badan Kehormatan menunjukkan betapa pentingnya beberapa asas­asas pemikiran untuk pemeriksaan dan pengambilan keputusan. Asas­asas pemikiran ini dapat mengambil dari ilmu Logika maupun logika yang spesifik seperti Logika Hukum. Dalam Kajian ini kami tidak menyajikan bagaimana praktek silogisme terhadap kasus yang ditangani Badan Kehormatan karena lebih baik memberikan pendasaran tentang hukum­hukum logika cara pengambilan kesimpulan atau keputusan tentang sanksi dan rehabilitasi berdasarkan Kode Etik. Namun, sebagai catatan penting, proses pemeriksaan persidangan dan rapat pengambilan keputusan juga tidak lepas dari beberapa hukum kesesatan logika yang justru efektif dipergunakan layaknya dalam Logika Hukum Acara. Diantaranya adalah:

a. Argumentum ad ignorantiam agar Pengadu dapat membuktikan