ETIKA PROFESI Analisa Kasus Kode Etik

Daftar Isi
A. POSISI KASUS PELANGGARAN KODE ETIK NOTARIS..................1
B. ANALISIS KASUS.............................................................................. 4
1.Terhadap Alur Pengawasan Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik Notaris. 4
Kewenangan Majelis Pengawas Notaris........................................................4
Kewenangan Dewan Kehormatan................................................................6
Perbedaan Kewenangan Pengawasan MPN dan DK........................................8
Unsur Tindak Pidana atau Kriminalitas.........................................................9
2.Terhadap Pelanggaran yang Dilakukan oleh Notaris Terlapor................10
a. Pasal 4 ayat (2) UU No 30 tahun 2004, tentang Sumpah Jabatan..................11
b. Pasal 16 ayat (1) huruf a dan l UU No 30 Tahun 2004...............................12
c. Pasal 44 ayat (1) UU No 30 Tahun 2004..................................................13
d. Pasal 3 dan 4 Kode Etik Notaris.............................................................13
3. Terhadap Sanksi Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik..........................17
C. SIMPULAN DAN REKOMENDASI...................................................20
Daftar Pustaka

A. POSISI KASUS PELANGGARAN KODE ETIK NOTARIS
Berdasarkan surat Putusan Majelis Pemeriksa Wilayah Notaris Jawa Barat
No.129/MPW-JABAR/2007, berikut adalah ringkasan dari kasus posisi yang telah
terjadi antara Pelapor dan Terlapor.

Pelapor
Nama

: Ana Mardiana

Pekerjaan

: Wiraswasta

Alamat

: Jl. Kacapiring No. 92/122, Bandung

Notaris Terlapor
Notaris Diastuti, S.H., Notaris di Kota Bandung
Alamat Kantor Jl. Sadakeling No.9 di Bandung
Dalam laporannya, Pelapor yang bernama Ana Mardiana dengan pekerjaan
wiraswasta dan beralamat di Jalan Kaca Piring Nomor 92/122 Bandung ini adalah
seorang direktur dari Perseroan Terbatas bernama PT Inovasi Cipta Kreasi. Dalam
mengembangkan dan melaksanakan usahanya, Pelapor melakukan pinjaman

tambahan modal pada seorang pihak yang dikenal sebagai Koesmajadi.
Peminjaman uang ini dilakukan sebanyak beberapa kali dengan rincian sebagai
berikut:
-

Pelapor tahun 2003 mendapat pinjaman tambahan modal dari
Koesmajadi dan sudah di kembalikan pada awal tahun 2004,

-

Tahun 2004 Pelapor kembali meminjam uang kepada koesmajadi
sebesar Rp. 250.000.000,00 untuk menutupi kekurangan modal kerja

-

Berikutnya Pelapor kembali meminjam uang kepada koesmajadi
beberapa kali dengan variasi antara Rp. 5.000.000,- sampai dengan
Rp.50.000.000,- yang sudah dikembalikan semua baik secara kas
ataupun transfer rekening bank


-

Kemudian Pelapor pinjam uang lagi kepada Koesmajadi sehingga
seluruh nilai hutang menjadi sebesar Rp. 580.000.000,- dan sudah
dikembalikan sebagian

Kemudian, karena uang tersebut belum dikembalikan seluruhnya
Koesmajadi meminta jaminan dari Pelapor yang kemudian adalah berupa 3 buah

ruko di IBCC milik Pelapor. Ruko tersebut masih berupa cicilan yang belum lunas
pembayarannya. Ketika kemudian suatu hari Pelapor akan mengambil sisa
pinjaman dari Koesmajadi, Koesmajadi meminta agar bertemu dengan Pelapor di
sebuah tempat di Sadakeling, Bandung, dimana Pelapor tidak mengetahui bahwa
tempat tersebut adalah sebuah kantor notaris.
Kantor Notaris tersebut adalah kantor milik Notaris Diastuti S.H., Notaris
di Kota Bandung yang alamatnya adalah Jalan Sadakeling No. 9 Bandung. Di
kantor Notaris tersebut Pelapor diminta untuk menandatangani sebuah blangko
kosong yang isinya akan dibacakan oleh Koesmajadi. Awalnya Pelapor keberatan,
namun


pada akhirnya

setuju

untuk menandatangai.

Pelapor

kemudian

meninggalkan tempat tersebut setelah mendapatkan sisa uang pinjaman dari
Koesmajadi.
Setelahnya, pada tanggal 25 september 2006 Pelapor mendapat panggilan
dari kepolisian daerah Jawa Barat unit III sat OPS III/Tripiter dit reskrim. Pelapor
dianggap sebagai tersangka tindak pidana penipuan sebagaimana pasal 378
KUHPidana dan diperiksa untuk diminta keterangannya. Penyidik kemudian
menunjukkan kopi dari salinan Akta No.53 yang berisi perjanjian pengikatan diri
untuk melakukan perbuatan Jual Beli antara Pelapor dan Koesmajadi. Pelapor
yang tidak pernah mengetahui bahkan menandatangani akta tersebut merasa
dirugikan dengan adanya akta No. 53 dan melaporkan Notaris Diastuti sebagai

Terlapor.
Berdasarkan Surat putusan tersebut diatas, Pelapor mengajukan tuntutan
berupa:
-

Mempertemukan Pelapor dan Terlapor dihadapan majelis pengawas
Notaris jawa barat

-

Memberikan peringatan keras terhadap Terlapor

-

Menyatakan bahwa isi dan akta no 53 adalah tidak benar atau palsu

Berdasarkan pemeriksaan, fakta-fakta yang ditemukan betul dilakukan
oleh Terlapor adalah sebagai berikut:
-


Penandatanganan Akta tanpa dibacakan secara patut

-

Tindakan yang tidak seksama yaitu persetujuan Suami untuk
melakukan tindakan terbalik dengan persetujuan Istri.

Dalam surat putusan tersebut juga disebutkan hal-hal yang meringakan
Terlapor yaitu bahwa Terlapor kooperatif dalam pemeriksaan. Sedangkan hal-hal
yang memberatkan adalah sebagai berikut:
-

Terlapor telah berulangkali diperiksa oleh Majelis Pengawas Wilayah
Notaris untuk kasus-kasus lainnya.

-

Terlapor saat ini sedang dalam pengusulan skorsing berdasarkan
putusan Majelis Pengawas Wilayah Notaris Jawa Barat


-

Perbuatan Terlapor dapat menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat
kepada akta Notaris

-

Perbuatan Terlapor dapat menimbulkan kerugian pada masyarakat

-

Perbuatan Terlapor dapat merusak martabat dan kehormatan Notaris

-

Perbuatan Terlapor dapat merupakan perbuatan yang tidak profesional

Kemudian setelah menjalani sidang pemeriksaan, Majelis Pemeriksa
Wilayah Notaris kemudian memberikan putusan sebagai berikut:
Mengusulkan kepada majelis pengawas pusat untuk memberhentikan

sementara Notaris yang bersangkutan atau Terlapor dari jabatannya selama 6
bulan vide pasal 9 UU no 30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris.

B. ANALISIS KASUS
1. Terhadap Alur Pengawasan Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik
Notaris
Dalam suatu tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang profesi
notaris terdapat beberapa hal yang dicakup didalamnya antara lain yaitu
pelanggaran kode etik, pelanggaran jabatan, dan apabila terdapat unsur tindak
pidana. Apabila dalam suatu perbuatan yang dilakukan Notaris terjadi kerugian
yang diakibatkan perbuatan Notaris diluar tugas/atau jabatannya, seperti misalnya
terdapat unsur penipuan atau penggelapan, maka perbuatan ini dapat dilaporkan
langsung kepada pihak kepolisian untuk ditindak lanjuti sebagaimana terjadinya
perbuatan melanggar hukum yang telah diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana dan cara beracaranya1.
Sedangkan apabila perbuatan notaris tersebut merugikan pihak lain seperti
misalnya klien, berkaitan dengan melaksanakan jabatannya (dalam pembuatan
akta dan semacamnya yang menjadi tugas dan kewenangan notaris), maka sesuai
dengan pasal 67 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun
2004 tentang Jabatan Notaris, yang berwenang untuk melakukan suatu tindakan

pengawasan adalah Menteri. Menteri yang kemudian dimaksud adalah Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia2.
Dalam melakukan pengawasan terhadap Notaris dalam ranah pelanggaran
jabatan dan kode etiknya ini terdapat dua lembaga yang dianggap berwenang
untuk melakukan pengawasan dan tindakan selanjutnya yang akan diberikan
terhadap tindak lanjut bagi pelanggaran yang dilakukan oleh notaris tersebut.
Lembaga-lembaga tersebut adalah Majelis Pengawas Notaris (selanjutnya disebut
MPN) dan Dewan Kehormatan (selanjutnya disebut DK).
Kewenangan Majelis Pengawas Notaris
Dalam memenuhi tugasnya dalam melakukan suatu bentuk pengawasan
terhadap pejabat notaris, selanjutnya Menteri Hukum dan HAM membentuk
1

Sebagaimana pendapat Winanto Wiryomartani dalam
http://medianotaris.com/sudah_pindah_tapi_masih_pasang_papan_nama_berit
a120.html diakses pada Selasa, 29 April 2014
2
Loc. Cit.

lembaga yang berwenang dan berhak untuk melakukan pengawasan yaitu Majelis

Pengawas atau MPN. Berdasarkan pasal 1 angka 6 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut
sebagai UU No 30 tahun 2004) pengertian Majelis Pengawas sebagaimana
kutipan isi dari pasal tersebut adalah:
“Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan
dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap
Notaris.”3
Majelis Pengawas ini kemudian terdiri dari:
-

Majelis Pengawas Daerah yang dibentuk di Kabupaten atau Kota4

-

Majelis Pengawas Wilayah yang dibentuk dan berkedudukan di ibukota
Provinsi5

-

Majelis Pengawas Pusat yang dibentuk berkedudukan di ibukota Negara6

Dalam hal mendapati seorang pejabat notaris melakukan suatu

pelanggaran yang berkaitan dengan jabatan dan kode etiknya (yang bersifat
berkaitan dengan jabatannya) alur yang terjadi adalah sebagai berikut:
a. masyarakat dapat melaporkan pelanggaran jabatan dan kode etik
langsung kepada Majelis Pengawas Daerah yang dibentuk dimasingmasing Kabupaten atau Kota7.
b. Pelanggaran ini dapat pula diketahui melalui Dewan Kehormatan
Perkumpulan atau berdasarkan pemeriksaan Protokol Notaris yang
dilakukan secara berkala.
c. Kemudian Majelis Pengawas Daerah akan menyelenggarakan sidang
untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik Notaris atau
pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris
3

Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris
4
Lihat Pasal 69 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
5
Lihat pasal 72 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
6
Lihat Pasal 76 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
7
Lihat Pasal 71 huruf e Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris

d. Majelis Pengawas Daerah kemudian wajib untuk memberikan berita
acara pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah
setempat8 karena yang berwenang untuk mengambil keputusan
terhadap laporan tentang Notaris yang melakukan pelanggaran kode
etik atau pelaksanaan jabatan tersebut adalah Majelis Pengawas
Wilayah.
e. Majelis

pengawas

Wilayah

kemudian

berwenang

untuk

menyelenggarakan sidang dan mengambil keputusan berdasarkan
berita acara dari Majelis Pengawas Daerah
f. Majelis Pengawas Wilayah dapat memanggil Notaris Terlapor untuk
dilakukan pemeriksaan, yang apabila terbukti dapat memberikan
sanksi berupa teguran tertulis ataupun lisan9.
g. Sedangkan untuk sanksi selain sanksi diatas harus melalui Majelis
Pengawas Pusat.
Uraian ini membenarkan bahwa Majelis Pengawas Wilayah Notaris Jawa
Barat berwenang untuk memeriksa perkara karena Terlapor merupakan Notaris
yang memiliki kantor yang berkedudukan di Jalan Sadakeling, Bandung, Jawa
Barat.
Kewenangan Dewan Kehormatan
Sebenarnya dalam melakukan pengawasan terutama dalam dugaan
pelanggaran kode etik dan jabatan Notaris terdapat suatu lembaga lain yang juga
dianggap berwenang yaitu Dewan Kehormatan sebagaimana yang tertera dalam
Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (selanjutnya disebut sebagai Kode
Etik Notaris) bab I pasal 1. Pelanggaran yang dimaksud sebagaimana pasal 1
angka 3 Kode Etik Notaris adalah perbuatan yang dilakukan oleh anggota
Perkumpulan yang melanggar ketentuan Kode Etik dan/atau disiplin organisasi.
Dalam kode etik ini disebutkan bahwa terutama dalam pasal 8 disebutkan
bahwa DK merupakan alat perlengkapan Perkumpulan yang berwenang
8

Lihat pasal 71 huruf b Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris
9
Lihat pasal 78 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris

melakukan pemeriksaan atas pelanggaran terhadap Kode Etik dan menjatuhkan
sanksi kepada pelanggarnya10. DK adalah bagian dari perkumpulan yang bersifat
mandiri dan bertugas untuk melakukan beberapa hal mencakup11:
a.

pembinaan, bimbingan, pengawasan, maupun pembenahan anggota
dalam hal kode etik.

b. Memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran
ketentuan kode etik yang bersifat internal yang

tidak mempunyai

kaitan dengan kepentingan masyarakat secara langsung.
c. memberikan saran dan pendapat kepada Majelis Pengawas atas dugaan
pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris.
Sebagaimana MPN yang memiliki jenjang, DK juga memiliki jenjang
pranata dengan fungsi masing-masing yaitu:
a. Dewan Kehormatan Daerah
b. Dewan Kehormatan Wilayah
c. Dewan Kehormatan Pusat
Saat terjadi suatu pelanggaran kode etik, baik karena dugaan DK Daerah
sendiri ataupun karena laporan Pengurus maupun orang lain, maka berdasarkan
pasal 9 Kode Etik Notaris, akan dilakukan hal-hal sebagai berikut12:
a. Selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari kerja DK Daerah wajib
mengadakan sidang untuk membicarakan dugaan terhadap pelanggaran
tersebut.
b. Apabila menurut hasil sidang ada dugaan kuat terhadap pelanggaran
Kode Etik, maka dalam waktu tujuh hari kerja setelah sidang tersebut,
DK Daerah berkewajiban memanggil anggota yang diduga melanggar
tersebut untuk didengar keterangannya dan diberi kesempatan untuk
membela diri.
c. Dalam hal anggota yang dipanggil tidak datang atau tidak memberi
kabar apapun dalam waktu tujuh hari kerja setelah dipanggil, maka DK
Daerah akan mengulangi panggilannya sebanyak 2 kali dengan jarak
10
11
12

Lihat Pasal 8 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia
Lihat Bab I pasal 1 angka 8 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia
Lihat Pasal 9 angka 1 sampai 10 Kode Etik Ikatan Notaris Indonesia

waktu tujuh hari kerja, dan apabila masih belum memenuhi panggilan
tersebut, sidang akan tetap dilanjutkan tanpa mendengarkan pembelaan
diri anggota yag dipanggil
d. DK Daerah kemudian akan menentukan putusannya mengenai terbukti
atau tidaknya pelanggaran kode etik serta penjatuhan sanksi selambatlambatnya dalam waktu 15 hari kerja.
e. Bila dalam putusan sidang DK Daerah dinyatakan terbukti ada
pelanggaran terhadap Kode Etik, maka sidang sekaligus menentukan
sanksi terhadap pelanggarnya.
f. Putusan sidang DK Daerah wajib dikirim kepada anggota yang
melanggar dengan surat tercatat atau dengan ekspedisi dan
tembusannya kepada Pengurus Cabang, Pengurus Daerah, Pengurus
Pusat dan DK Pusat dalam waktu tujuh hari kerja, setelah dijatuhkan
putusan oleh sidang DK Daerah.
Dalam putusan yang dijatuhkan oleh DK Daerah tersebut dapat dimintai
banding yang diajukan kepada DK Wilayah. Putusan banding tersebut juga dapat
dimintai pemeriksaan tingkat akhir yang diajukan atau dimohonkan kepada DK
Pusat.
Perbedaan Kewenangan Pengawasan MPN dan DK
Bagaimanapun dalam pelaksanaan tugasnya, terdapat sedikit perbedaan
antara Majelis Pengawas dan DK. T. Muzakkar dalam tesis yang disusunnya
untuk memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara yang
berjudul “Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan dengan Majelis Pengawas
Notaris dalam Melakukan Pengawasan Setelah Keluarnya Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2004” menyimpulkan terdapat perbedaan antara pengawasan
terhadap Notaris yang dilakukan oleh DK dan Majelis Pengawas Notaris. Bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh DK hanyalah mengenai pelanggaran kode etik.
Pelanggaran ini pula haruslah hanya mengenai dan menyangkut Notaris itu sendiri
tanpa menyangkut orang lain. Sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh

Majelis Pengawas Notaris lebih luas mencakup pengawasan terhadap pelanggaran
UU No 30 Tahun 2004 dan terhadap pelanggaran jabatan Notaris13.
Unsur Tindak Pidana atau Kriminalitas
Sebagaimana telah disinggung diatas, Apabila dalam suatu perbuatan yang
dilakukan Notaris terjadi kerugian yang diakibatkan perbuatan Notaris diluar
tugas/atau jabatannya, seperti misalnya terdapat unsur penipuan atau penggelapan,
maka perbuatan ini dapat dilaporkan langsung kepada pihak kepolisian untuk
ditindak lanjuti sebagaimana terjadinya perbuatan melanggar hukum yang telah
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan cara beracaranya14
MPN juga memiliki suatu bentuk kewenangan yang diberikan jika
menemukan sesuatu tindak pidana. MPN dapat bertindak sebagai pelapor tindak
pidana sebagaimana substansi pasal 32 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Hukum
dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 (selanjutnya
disebut sebagai Permen M.02.PR.08.10)15.
Laporan menurut Pasal 1 angka 24 KUHPidana adalah pemberitahuan
yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undangundang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga
akan terjadinya peristiwa pidana16.
Namun berdasarkan pasal KUHPidana tersebut, yang berhak untuk
menjadi pelapor adalah perseorangan. Badan hukum tidak memiliki legal
standing untuk menjadi pelapor. Hal ini menjadikan Majelis Pengawas yang
merupakan suatu badan hukum tidak dapat menjadi pelapor tindak pidana
sehingga bertentangan dengan tugas yang diberikan oleh peraturan menteri diatas.
Terlebih berdasarkan pengertian KUHPidana tersebut, pelapor dapat mengajukan
laporan hanya apabila mempunyai hak dan kewajiban yang diberikan oleh
13

T. Muzakkar, 2009, Perbandingan Peranan Dewan Kehormatan dengan
Majelis Pengawas Notaris dalam Melakukan Pengawasan Setelah Keluarnya
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, Tesis yang diajukan untuk
memperoleh Gelar Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas
Sumatera Utara, hlm.141
14
Sebagaimana pendapat Winanto Wiryomartani dalam
http://medianotaris.com/sudah_pindah_tapi_masih_pasang_papan_nama_berit
a120.html diakses pada Selasa, 29 April 2014
15
T. Muzakkar, Op.Cit., hlm. 114-115
16
Ibid.

undang-undang, sedangkan Majelis Pengawas hanyalah diberikan wewenang oleh
peraturan Menteri17.
Hal ini memberikan ketidaksinkronan antara peraturan yang lebih tinggi
dengan yang lebih rendah sehingga harus lebih diperhatikan dimasa mendatang.
Dalam hal ini yang akan digunakan adalah lex superiori derogat lex inferiori
dimana peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih
rendah. Sehingga Majelis Pengawas tidak dapat menjadi pelapor tindak pidana
kepada penyidik dan penyelidik ataupun jaksa sebagai sebuah badan hukum.
Alternatif yang dapat dilakukan adalah pihak yang merasa dirugikan oleh tindak
pidana yang dilakukan oleh Notaris tersebut melaporkannya langsung kepada
kepolisian.
Menurut Peraturan Menteri ini, yang memegang prinsip bahwa MPN
memiliki kewenangan untuk melaporkan tindak pidana yang dilakukan notaris
kepada pihak berwenang, apabila ditemukan unsur tindak pidana maka Ikatan
Notaris Indonesia dan kepolisisan membuat nota kesepahaman tentang
pemanggilan notaris ke kepolisian. Pemanggilan notaris harus dilakukan tertulis
dan ditandatangani penyidik. Surat panggilan harus mencantumkan dengan jelas
status sang notaris, alasan pemanggilan, dan polisi harus tepat waktu. Pada
hakekatnya, notaris harus hadir memenuhi panggilan yang sah. Tetapi jika notaris
yang bersangkutan berhalangan dan tidak bisa hadir, polisi bisa datang ke kantor
notaris bersangkutan. Nota kesepahaman ini memperkuat aturan pemanggilan
notaris dalam Pasal 6 UU No 30 Tahun 2004 yang menentukan, jika polisi hendak
memanggil notaris atau mengambil minuta akta harus mendapat persetujuan dari
MPN Daerah18.

2. Terhadap Pelanggaran yang Dilakukan oleh Notaris Terlapor
Berdasarkan putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Pengawas Wilayah
Notaris Jawa Barat (selanjutnya disebut MPWN Jabar) diatas, Majelis Pemeriksa
17

Ibid.
Lihat Pasal 6 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
18

yang memeriksa perkara ini berkesimpulan bahwa Terlapor telah melakukan
tindakan pelanggaran jabatan dan kode etik Notaris yang terdapat dalam pasalpasal berikut:
a. Pasal 4 ayat (2) UU No 30 tahun 2004, tentang Sumpah Jabatan
Sebagai profesi yang memenuhi kebutuhan masyarakat serta bertanggung
jawab dalam jasa pelayanannya, profesi Notaris memiliki sumpah jabatan yang
harus dipegang teguh. Sumpah atau janji ini wajib diucapkan oleh Notaris
menurut agamanya yang dilakukan didepan Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Sumpah atau janji tersebut diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU No 30 Tahun 2004
sebagaimana kutipannya sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji: bahwa saya akan patuh dan setia kepada
Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris serta
peraturan perundang-undangan lainnya. bahwa saya akan menjalankan jabatan
saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak. bahwa saya
akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya
sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya
sebagai Notaris. bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang
diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya. bahwa saya untuk dapat diangkat
dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama
atau dalih apa pun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan
sesuatu kepada siapa pun.”19
Jika sumpah ini diuraikan terdapat beberapa hal yang yang wajib
dilakukan oleh seorang Notaris sesuai dengan janjinya, yaitu:
1) Patuh dan Setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan
UUD 1945, Undang-undang tentang Notaris, dan peraturan
lainnya.
2) Menjalankan jabatan sebagai Notaris dengan amanah, jujur,
saksama, mandiri, dan tidak berpihak.
19

Lihat Pasal 4 ayat (2) Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris

3) Menjaga sikap dan tingkah laku.
4) Menjalankan kewajiban sebagai Notaris sesuai dengan kode etik
profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab sebagai
Notaris.
5) Merahasiakan isi akta dan keterangan.
6) Tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun.
Dari beberapa hal yang wajib dilakukan oleh seorang Notaris berdasarkan
sumpahnya diatas, jika dikaitkan dengan kasus diatas, Notaris Terlapor dengan
jelas telah melanggar sumpahnya yaitu pada poin 2 untuk menjalankan jabatan
Notarisnya dengan jujur dan saksama. Dalam sidang pemeriksaan, diketahui
bahwa Notaris telapor telah melaksanakan jabatannya dengan tidak saksama yaitu
akta yang telah dibuat oleh Notaris Terlapor tidaklah dibacakan dengan secara
patut serta persetujuan suami untuk melakukan tindakan ternyata terbalik dengan
persetujuan istri.
Notaris Terlapor juga juga melanggar sumpahnya pada poin 1 untuk patuh
pada Undang-undang Notaris dan pada poin 4 yaitu untuk melaksanakan jabatan
Notarisnya sesuai dengan kode etik Notaris. Pelanggaran ini akan diuraikan lebih
lanjut pada poin pembahasan berikut.
b. Pasal 16 ayat (1) huruf a dan l UU No 30 Tahun 2004
Dalam pasal ini terutama menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban yang
harus dilakukan oleh seorang notaris. Sebagaimana telah dikemukakan pada kasus
posisi diatas, Notaris Terlapor melakukan pelanggaran terhadap pasal 16 ayat (1)
huruf a yang kutipannya adalah:
“bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.”20
Terkait dengan pasal ini, bahwa Notaris Terlapor disimpulkan telah
melakukan hal berikut; Pertama, berlaku tidak jujur dengan memberikan blanko
kosong kepada terlapor. Yang kemudian blanko tersebut menimbulkan kerugian
bagi pelapor. ; Kedua, tidak bertindak saksama yaitu dengan terbalik dalam
20

Lihat pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris

menentukan persetujuan suami dengan persetujuan istri, dan; Ketiga, tidak
menjaga kepentingan pihak yang terkait, karena pelapor tidak mengetahui blanko
tersebut akan digunakan untuk apa. Baru pada kemudian harilah pelapor
mengetahui bahwa telah terjadi perikatan perjanjian Jual beli antara Pelapor
dengan pihak Koesmajadi berdasarkan blanko tersebut. Padahal pelapor tidak
mengetahui tentang perikatan ini.
Sedangkan isi dari pasal 16 ayat (1) huruf l adalah sebagai berikut:
“Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh
penghadap, saksi, dan Notaris.”21
Dalam kasus posisi telah jelas bahwa notaris pelapor tidak melakukan
kewajibannya untuk membacakan akta dengan patut dihadapan penghadap.
Namun tidak jelas dalam sidang pemeriksaan apakah terdapat saksi dalam
penandatangan akta tersebut.
c. Pasal 44 ayat (1) UU No 30 Tahun 2004
Berikut kutipan isi dari pasal 44 ayat (1):
“Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap
penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat
membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.”22
Sesuai dengan kasus posisi diatas, Notaris Terlapor tidak melakukan
pembacaan secara patut kepada para penghadap sehingga Notaris Terlapor
dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap pasal ini.
d. Pasal 3 dan 4 Kode Etik Notaris
Kedudukan kode etik bagi notaris adalah penting karena notaris
merupakan suatu profesi yang butuh diatur dengan suatu kode etik. Terutama
karena notaris adalah pekerjaan yang berpusat pada legalisasi terutama terkait
pada status kebendaan, harta, bahkan hak dan kewajiban dari klien yang
menggunakan jasa notaris. Karena itu agar tidak terjadi ketidakadilan yang
21

Lihat Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris
22
Lihat pasal 44 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris

mungking dapat diakibatkan dari pemberian status-status tersebut seperti
mengacaukan ketertiban umum dan hak-hak pribadi masyarakat, maka kode etik
ini menjadi sangat penting.23
Menurut Pasal 1 angka 2 Kode Etik Notaris, yang dimaksud dengan kode
etik Notaris adalah sebagai berikut:
“seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan lkatan Notaris
Indonesia yang selanjutnya akan disebut "Perkumpulan" berdasarkan keputusan
Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta
wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan dan semua orang yang
menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, termasuk didalamnya pars Pejabat
Sementara Notaris, Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti Khusus.”24
Kode etik ini dikeluarkan oleh ikatan profesi Notaris yang ada di
Indonesia yaitu Ikatan Notaris Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 27 Januari
2005. Kode etik notaris ini mencakup Ketentuan Umum, Ruang Lingkup,
Kewajiban,

Larangan,

pengecualian,

Sanksi,

Tata

cara

Penegakkannya,

Pemecatan sementara, kewajiban pengurus pusat dan ketentuan umum yang
dihimpun dalam delapan bab dan lima belas pasal.
Kewenangan Ikatan Notaris Indonesia atau I.N.I dalam membentuk kode
etik ini terdapat dalam pasal 83 ayat (2) UU No 30 Tahun 2004. Dalam pasal ini,
yang kemudian menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris adalah
Organisasi Notaris dimana para Notaris kemudian berhimpun. Kemudian pada
pasal berikutnya yaitu pasal 89 undang-undang tersebut ditegaskan bahwa Kode
Etik notaris yang ditetapkan akan berlaku dan mengikat hingga kode etik notaris
yang baru ditetapkan.
Isi dari pasal 3 kode etik notaris adalah t entang kewajiban Notaris yaitu
sebagai berikut25:
1) Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang balk.
23

Munir Fuady, 2005, Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa,
Advokat, Notaris, Kurator, dan Pengurus), Bandung, PT Citra Aditya Bakti, hlm.
133
24
Lihat Pasal 1 angka 2 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia
25
Lihat pasal 3 Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia

2) Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan
Notaris.
3) Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.
4) Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung
jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah
jabatan Notaris.
5) Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas
pada ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
6) Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan
Negara;
7) Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya
untuk masyarakat yang

tidak mampu tanpa memungut

honorarium.
8) Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut
merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan
dalam melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
9) Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan
kantornya dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x
60 cm atau 200 cm x 80 cm, yang memuat :
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang
terakhir sebagai Notaris.
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama
berwarna putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di
papan nama harus ielas dan mudah dibaca. Kecuali di
lingkungan

kantor

tersebut

tidak

dimungkinkan

untuk

pemasangan papan nama dimaksud.
10) Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan
yang diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati, mematuhi,
melaksanakan setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan.

11) Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib.
12) Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat
yang meninggal dunia.
13) Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium
ditetapkan Perkumpulan.
14) Menjalankan

jabatan

Notaris

terutama

dalam

pembuatan,

pembacaan dan penandatanganan akta
15) dilakukan di kantornya, kecuali alasan-alasan yang sah.
16) Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam
melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling
memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati,
saling menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin
komunikasi dan tali silaturahmi.
17) Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak
membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya.
18) Melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut
sebagai kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain
namun tidak terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam :
a. UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris;
c. Isi Sumpah Jabatan Notaris;
d. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Notaris
Indonesia.
Maka berdasarkan kasus pelanggaran diatas, Notaris Terlapor telah
melakukan pelanggaran terhadap kewajiban yang harusnya dilakukannya.
Pelanggaran ini terutama pada poin 14, yaitu melakukan jabatan notarisnya
terutama dalam pembuatan, pembacaan, dan penandatanganan akta yang
dilakukan di kantornya. Notaris pelapor melanggar pasal 3 angka 14 ini
sebagaimana dikemukakan dalam kasus posisi diatas yaitu dengan tidak
membacakan secara patut akta yang dibuat dihadapannya.

Berikutnya, Notaris Terlapor melakukan pelanggaran terhadap pasal 4
kode etik notaris tentang Larangan, terutama terkait dengan poin 15 yang
kutipannya adalah sebagai berikut26:
“Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai
pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak terbatas pada
pelanggaran-pelanggaran terhadap :
a. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris;
b. Penjelasan pasal 19 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris;
c. Isi sumpah jabatan Notaris;
d. Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran
Rumah Tangga dan/atau
e. Keputusan-Keputusan lain yang telah ditetapkan oleh organisasi
Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh anggota.”
3. Terhadap Sanksi Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik
Dalam UU No. 30 Tahun 2004 telah dijabarkan dengan rinci tentang
sanksi yang dapat dijatuhkan oleh terhadap pelanggaran jabatan dan kode etik.
Sanksi-sanksi ini dijelaskan pada BAB XI tentang Ketentuan Sanksi. Terdapat
dua pasal dalam penentuan sanksi di bab ini.
Pasal pertama yaitu pasal 84 menyebutkan bahwa sanksi dapat berupa
suatu akta tersebut yang dibuat oleh Notaris Terlapor dianggap batal demi hukum
sehingga turun derajat menjadi akta dibawah tangan. Disebutkan pula, apabila
terdapat pihak yang dirugikan dengan hal ini, dapat menuntut penggantian biaya,
ganti rugi maupun bunga kepada Notaris. Sanksi ini hanya mencakup tindakan
pelanggaran notaris yang diatur dalam pasal-pasal berikut27: Pasal 16 ayat (1)
huruf i; Pasal 16 ayat (1) huruf k; Pasal 41; Pasal 44; Pasal 48; Pasal 49; Pasal 50;
Pasal 51, atau; Pasal 52.
26

Lihat pasal 4 Kode Etik
Lihat Pasal 84 Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
27

Pasal berikutnya adalah pasal 85 yang menyebutkan sanksi-sanksi berupa:
a. Teguran lisan
b. Teguran tertulis
c. Pemberhentian sementara
d. Pemberhentian dengan hormat; atau
e. Pemberhentian dengan tidak hormat
Sanksi tersebut berlaku bagi pelanggaran-pelanggaran ketentuan dalam
pasal-pasal berikut: Pasal 7; Pasal 16 ayat (1) huruf a; Pasal 16 ayat (1) huruf b;
Pasal 16 ayat (1) huruf c; Pasal 16 ayat (1) huruf d; Pasal 16 ayat (1) huruf e;
Pasal 16 ayat (1) huruf f; Pasal 16 ayat (1) huruf g; Pasal 16 ayat (1) huruf h;
Pasal 16 ayat (1) huruf i; Pasal 16 ayat (1) huruf j; Pasal 16 ayat (1) huruf k; Pasal
17; Pasal 20; Pasal 27; Pasal 32; Pasal 37; Pasal 54; Pasal 58; Pasal 59; dan/atau
Pasal 6328.
Dalam Kode Etik Notaris juga diatur tentang sanksi yang dapat dijatuhkan
apabila terjadi pelanggaran terhadap kode etik yang telah diatur. Sanksi tersebut
diatur dalam pasal 6 ayat (1) BAB IV tentang Sanksi, berikut kutipannya;
“ Sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran
Kode Etik dapat berupa
a. Teguran;
b. Peringatan;
c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan Perkumpulan;
d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotaan Perkumpulan;
e. Pemberhentian

dengan

tidak

hormat

dari

keanggotaan

Perkumpulan.”29
Sanksi tersebut berlaku bagi setiap anggota Ikatan Notaris Indonesia yang
melanggar kode etik disesuaikan dengan kuantitas dan kualitas pelanggarannya.30
Dalam kasus pelanggaran jabatan dan kode etik diatas, Notaris Terlapor
melanggar pasal 16 ayat (1) huruf a yang sanksinya diatur dalam pasal 85 diatas
28

Lihat Pasal 85 Undang-undang RI Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris
29
Lihat Pasal 6 Kode Etik Notaris
30
Lihat Pasal 6 ayat (2) Kode Etik Notaris

dan pasal 44 yang sanksinya diatur dalam pasal 84. Sehingga mengakibatkan akta
yang diperkarakan (akta No. 53) tentang perjanjian jual beli antara Pelapor dengan
pihak Koesmajadi menjadi batal demi hukum dan turun derajat menjadi akta
bawah tangan. Dalam hal ini, apabila Pelapor menyatakan tidak sepakat dengan isi
perjanjian, maka akta perjanjian tersebut tidak perlu dilanjutkan kecuali bagi
pihak Koesmajadi untuk memperkarakan dengan dalih wanprestasi. Kemudian
Notaris Terlapor juga dapat dikenai sanksi sebagaimana yang diatur dalam pasal
85.
Dalam hal memberikan atau menjatuhkan sanksi-sanksi diatas dapat
dilakukan oleh:
a. Majelis Pengawas Wilayah, yaitu dalam pasal 73 ayat (1) huruf e
berwenang untuk memberikan sanksi berupa sanksi teguran lisan
ataupun tertulis. Selanjutnya dalam huruf f dapat mengusulkan
pemberian sanksi kepada Majelis Pengawas Pusat
b. Majelis Pengawas Pusat, yaitu dalam pasal 77 huruf c berwenang
untuk menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara dan pada huruf d
mengusulkan sanksi kepada Menteri.
c. Menteri Hukum dan HAM; melakukan sanksi pemberhentian tidak
hormat.
Dalam UU No. 30 Tahun 2004 tidak menyebutkan adanya penerapan
sanksi pemidanaan tetapi tindakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan
oleh Notaris apabila mengandung suatu undur tindak pidana seperti pemalsuan
atas kesengajaan/kelalaian dalam pembuatan surat/akta otentik yang keterangan
isinya palsu maka setelah dijatuhi sanksi administratif/kode etik profesi jabatan
notaris dan sanksi keperdataan kemudian dapat ditarik dan dikualifikasikan
sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris yang menerangkan
adanya bukti keterlibatan secara sengaja melakukan kejahatan pemalsuan akta
otentik.

C.

SIMPULAN DAN REKOMENDASI

Dari analisis kasus diatas, dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
1. Bahwa, dalam menangani suatu kasus pelanggaran jabatan dan kode
etik yang dilakukan oleh seorang Notaris dapat dilakukan oleh dua
lembaga tergantung fungsi masing-masing yaitu Majelis Pengawas
Notaris, yang berkaitan dengan pelanggaran jabatan dan kode etik
yang berhubungan dengan pihak selain Notaris; dan Dewan
Kehormatan, yang berkaitan dengan pelanggaran kode etik secara
internal. Sehingga Majelis Pengawas Wilayah Notaris (dalam kasus ini
adalah MPWN Jabar) berwenang dan dapat melakukan pengadilan
terhadap pelanggaran jabatan dan kode etik yang dilakukan oleh
Notaris Terlapor
2. Bahwa, berdasarkan pemeriksaan di persidangan, pasal-pasal yang
dianggap dilanggar oleh Notaris Terlapor adalah pasal berikut:
a. Pasal 4 ayat (2) UU No 30 tahun 2004
b. Pasal 16 ayat (1) huruf a dan l UU No 30 tahun 2004
c. Pasal 44 UU No 30 tahun 2004
d. Pasal 3 dan 4 Kode Etik Notaris
3. Sesuai dengan analisis yang telah dilakukan, Notaris Terlapor benar
telah melakukan pelanggaran sebagaimana pasal-pasal yang dimaksud.
4. Bahwa, sanksi yang dijatuhkan berdasarkan pelanggaran jabatan dan
kode etik yang dilakukan oleh Notaris Terlapor adalah sanksi sesuai
dengan pasal:
a. Pasal 84 UU No 30 Tahun 2004
b. Pasal 85 UU No 30 Tahun 2004
5. Sanksi tersebut diusulkan oleh Majelis Pengawas Wilayah Notaris
kepada Majelis Pengawas Pusat untuk dilakukan pemberhentian
sementara. Sanksi tersebut telah benar dan sesuai dengan yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan.

Rekomendasi yang dapat diberikan terhadap putusan kasus tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Majelis Pengawas Wilayah Notaris memutuskan secara tegas bahwa
akta yang telah dibuat oleh Notaris Terlapor adalah batal demi hukum
dan turun menjadi akta dibawah tangan.
2. Majelis Pengawas Wilayah Notaris selain mengusulkan kepada

Majelis Pengawas Pusat Notaris untuk melakukan pemberhentian
sementara, dapat pula memberikan peringatan atau teguran baik secara
tertulis maupun tidak tertulis atau lisan terhadap Notaris Terlapor.

Dokumen yang terkait

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN DAN PENDAPATAN USAHATANI ANGGUR (Studi Kasus di Kecamatan Wonoasih Kotamadya Probolinggo)

52 472 17

ANALISA BIAYA OPERASIONAL KENDARAAN PENGANGKUT SAMPAH KOTA MALANG (Studi Kasus : Pengangkutan Sampah dari TPS Kec. Blimbing ke TPA Supiturang, Malang)

24 196 2

PENERAPAN METODE SIX SIGMA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS PRODUK PAKAIAN JADI (Study Kasus di UD Hardi, Ternate)

24 208 2

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Analisa studi komparatif tentang penerapan traditional costing concept dengan activity based costing : studi kasus pada Rumah Sakit Prikasih

56 889 147

Partisipasi Politik Perempuan : Studi Kasus Bupati Perempuan Dalam Pemerintahan Dalam Kabupaten Karanganyar

3 106 88

Pengaruh Rasio Kecukupan Modal dan Dana Pihak Ketiga Terhadap Penyaluran Kredit (Studi Kasus pada BUSN Non Devisa Konvensional yang Terdaftar di OJK 2011-2014)

9 104 46

ANALISIS SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN TAX PLANNING TERHADAP LABA KENA PAJAK DAN PPH TERUTANG PADA PERUSAHAAN PT. IER (Studi Kasus Pada PT. IER)

16 148 78