IV. GAMBARAN UMUM
4.1. Geografi dan Pemerintahan
Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota RI dan secara geografis mempunyai luas sekitar 2.301,95 Km
2
terletak antara 6.19°- 6.47° lintang selatan dan 106°1’-107°103’ bujur timur.
Wilayah ini berbatasan dengan : Sebelah Utara
: Kota Depok Sebelah Barat
: Kabupaten Lebak Sebelah Barat Daya : Kabupaten Tanggerang
Sebelah Timur : Kabupaten Purwakarta
Sebelah Timur Laut : Kabupaten Bekasi Sebelah Selatan
: Kabupaten Sukabumi Sebelah Tenggara
: Kabupaten Cianjur Berdasarkan
data dari
Badan Pemberdayaan
Masyarakat dan
Kesejahteraan Sosial, pada tahun 2006 Kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, 427 desakelurahan, 3.516 RW dan 13.603 RT. Dari jumlah desa tersebut
mayoritas memiliki ketinggian diatas 500 m terhadap permukaan laut, yakni 234 desa, sedangkan diantara 500-700 meter ada 144 desa dan sisanya 49 desa sekitar
lebih dari 500 meter dari permukaan laut. Hampir sebagian besar desa pada Kabupaten Bogor sudah terklasifikasi sebagai Swakarya yakni 350 desa, lainnya
77 desa merupakan desa Swasembada, dan tidak ada desa Swadaya. Berdasarkan klasifikasi daerah, yang dilihat dari aspek potensi lapangan usaha, kepadatan
penduduk dan sosial terdapat kategori desa perkotaan sebanyak 96 desa dan desa pedesaan sebanyak 331 desa.
4.2. Penduduk dan Ketenagakerjaan
Salah satu aset pembangunan yang paling dominan yang dimiliki banyak negara berkembang pada umumnya jumlah penduduk dan angkatan kerja yang
demikian besar jumlahnya. Hasil sementara Sensus Daerah Tahun 2006 tercatat bahwa penduduk Kabupaten Bogor yaitu 4.215.436 jiwa dan jumlah ini
merupakan yang terbesar diantara KabupatenKota di Jawa Barat. Berdasarkan jumlah tersebut penduduk laki-lakinya berjumlah 2.163.853 jiwa dan perempuan
2.051.583 jiwa dengan ratio jenis kelamin 105. Sedangkan dari segi struktur penduduk, Kabupaten Bogor mempunyai struktur penduduk umur muda, hal ini
akan membawa akibat semakin besarnya jumlah angkatan kerja. Partisipasi Angkatan Kerja merupakan perbandingan antara Jumlah
Angkatan Kerja dengan Penduduk berumur 10 tahun lebih. Tahun 2005 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja TPAK Kabupaten Bogor untuk laki-laki 74,60
persen, perempuan 33,96 persen, dan secara total 54,85 persen. Adapun jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 176.879 laki-laki dan 135.242 perempuan dari
312.121 untuk total Kabupaten Bogor.
4.3. Keadaan Umum Industri Kerajinan Sepatu di Kabupaten Bogor Usaha kecil dan menengah UKM sepatu di daerah Bogor muncul sekitar
tahun 1920-an di daerah Ciomas. Sampai dengan tahun 1950-an pembuatan sepatu masih merupakan pekerjaan yang dilakukan individu atau usaha rumah
tangga, yang memproduksi sepatu kulit berkualitas tinggi. Jumlah unit usaha pada waktu itu baru berjumlah 20 unit usaha. Para pengusaha sepatu Ciomas pertama
kali mempelajari keahlian membuat sepatu dengan bekerja sebagai buruh di bengkel-bengkel sepatu di Jakarta. Setelah memiliki keahlian, mereka pulang
untuk mendirikan bengkel sepatu sendiri dan menjual produknya ke berbagai toko di Jakarta atau kota-kota lain di Jawa Barat.
Awal tahun 1950-an, industri sepatu Ciomas berkembang pesat dengan semakin bertambahnya jumlah usaha rumah tangga yang bergerak di bidang
sepatu. Perkembangan industri ini ditandai dengan berdirinya sebuah bentuk usaha bersama dalam wadah Persebo Perusahaan Sepatu Bogor. Koperasi ini
beranggotakan para pengrajin sepatu yang melayani order untuk memenuhi kebutuhan sepatu militer, dan juga untuk membantu pemasaran produk-produk
bengkel disekitarnya. Persebo berperan penting dalam pertumbuhan pengrajin sepatu di desa-desa sekitar Ciomas, sampai ketika terjadi resesi ekonomi pada
tahun 1960-an yang mengakibatkan perubahan-perubahan penting dalam struktur internal dan eksternal pada industri ini.Setelah akhir 1960-an struktur internal
bisnis ini mengalami proses diferensiasi, yaitu dengan dilaksanakannya program stabilisasi
ekonomi. Sejumlah
pengrajin skala
usaha rumah
tangga mengembangkan bengkel mereka dengan mempekerjakan buruh.
Pada tahun 1970-an, pemilik modal besar mulai melibatkan diri dan memperkenalkan sistem pembayaran dengan menggunakan ”bon”. Kemudian
pada tahun 1991 terbentuk kembali Koperasi Sepatu Perkasa Mas dan Koperasi Warga Sepatu Ciomas. Namun koperasi ini tidak berjalan sebagaimana yang
diharapkan. Dari hasil wawancara dengan pemilik usaha, ketidakberhasilan koperasi sepatu tersebut disebabkan oleh faktor sumberdaya manusia yang terlibat
dalam koperasi itu sendiri, baik pengurus maupun anggotanya. Menurut data dari
Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor 2002, Kecamatan Ciomas merupakan sentra terbesar industri kecil dan menengah UKM sepatu di
kota Bogor. Data tahun 2002 menunjukkan ada 763 unit usaha industri sepatu di Kecamatan Ciomas dan tersebar di desa-desa di Kecamatan tersebut. Proporsi unit
usaha UKM sepatu di Kecamatan Ciomas dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan Tabel 7. terlihat bahwa Desa Parakan merupakan Desa yang paling banyak
terdapat UKM sepatu, diikuti oleh Desa Pasir Eurih dan Desa Mekarjaya. Selain
UKM sepatu, di Kecamatan Ciomas juga terdapat Industri besar yang bergerak di bidang sepatu yang juga sekaligus memberikan order pada UKM sepatu di sekitar
Ciomas.
Tabel 7. Jumlah dan Proporsi Industri Kecil dan Menengah UKM Sepatu menurut Desa di Kecamatan Ciomas Tahun 2002
Desa Jumlah Unit Usaha
Persentase 1.
Sukaluyu 2.
Sukaresmi 3.
Taman Sari 4.
Pasir Eurih 5.
Sukamantri 6.
Sirnagalih 7.
Kota Batu 8.
Parakan 9.
Mekarjaya 10.
Ciomas 11.
Pagelaran 12.
Ciomas Rahayu 13.
Ciapus 14.
Padasuka 15
30 11
122 21
76 75
181 83
42 32
26 25
24 1,97
3,93 1,44
15,99 2,75
9,96 9,83
23,72 10,88
5,50 4,19
3,41 3,28
3,15
Total 763
100,00 Sumber : Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, 2002
Sistem Permodalan yang berlaku pada UKM sepatu di daerah Ciomas sebagian besar adalah sistem bon putih, yaitu sistem kerjasama Produksi antara
pihak pengusaha sepatu sebagai produsen dan pihak pemberi order Grosir sebagai konsumen. Sistem bon putih ini mampu memenuhi kekurangan pengusaha
industri kecil sepatu di daerah Ciomas dalam hal permodalan dan bahan baku. Industri UKM sepatu pada umumnya menghasilkan sepatu dari bahan
imitasi. Sebelumnya industri UKM sepatu ini menghasilkan sepatu kulit, tetapi karena tingginya permintaan terhadap bahan imitasi yang lebih lunak, maka
industri UKM sepatu di Kecamatan Ciomas lebih banyak menggunakan bahan imitasi.
Sepatu yang dihasilkan industri ini bermacam-macam ukurannya, mulai dari yang kecil sampai yang besar untuk pria dan wanita. Sejak enam tahun
terakhir ini sepatu dan sandal wanita merupakan produk yang paling banyak diminati dan paling banyak permintaannya, karena sesuai dengan perkembangan
mode. Pada saat musim ramai, menjelang Lebaran dan Natal seluruh bengkel sibuk
menerima pesanan sepatu dari konsumen Grosir, dan biasanya pekerjaan dapat berlangsung dari pagi sampai larut malam, sedangkan bila tidak sedang ramai
pekerjaan berlangsung dari pukul 08.00 –16.00 petang. Dimusim-musim sepi,
industri sepatu mengurangi tenaga kerjanya dan buruh-buruh mencari pekerjaan lain di sekitar daerah ciomas.
Sistem upah yang berlaku didasarkan pada sistem borongan, dimana buruh dibayar berdasarkan jumlah sepatu yang dihasilkan per kodi sepatu. Upah buruh
bervariasi berdasarkan tingkat kesulitan pembuatan sepatu. Para pengusaha UKM sepatu di daerah Ciomas sebagian besar tidak memiliki sistem pencatatan dan
pembukuan yang jelas, sehingga mereka tidak tahu secara pasti apakah mereka memperoleh untung atau mengalami kerugian.
Industri kerajinan sepatu di Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor umumnya menghasilkan sepatu dan sandal dengan semua ukuran baik untuk pria
maupun untuk wanita. Bahan baku yang digunakan untuk membuat sepatu dan sandal adalah kulit imitasi serta bahan lain yang digunakan yaitu lapis AC,
lateks, sol, tamsin, spon, hak, lem, tekson, dus, pengeras, pur Ce, benang, dll. Bahan-bahan ini diperoleh dari toko bahan di kota Bogor. Bagi pengusaha yang
memiliki modal cukup, maka bahan baku dapat mereka peroleh sesuai dengan harga pasar, sedangkan pengusaha yang lemah dalam hal permodalan, maka
bahan baku mereka peroleh dengan modal kepercayaan dan kesepakatan dengan pihak Grosir, dengan sistem hubungan sub kontrak komersial atau sering disebut
”
bon putih
”. Selain sistem bon putih pembelian bahan baku juga biasa diberikan dengan
sitem giro
dengan tempo waktu satu bulan sampai dengan dua bulan, namun dengan menggunakan kedua sistem ini pengusaha sepatu akan sangat
banyak memperoleh c
harge
dan harga yang berlaku pun bukan lagi harga pasar, sehingga mereka akan sangat dirugikan.
Dengan kedua sistem ini pengusaha diminta untuk memproduksi sepatu sesuai dengan model atau tipe yang ditentukan oleh pihak Grosir. Modal awal
untuk mendapatkan bahan baku diberikan oleh pihak Grosir berupa selembar bon putih atau selembar giro dengan capidentitas Grosir untuk dibelanjakan pada toko
bahan yang telah ditentukan, dengan jumlah pesanan untuk satu minggu.
Pemberian bon putih atau giro ini dihitung sebagai uang muka dari total pembayaran, yaitu sekitar 50 sampai 60 persen. Selanjutnya pengusaha akan
memproduksi di bengkel miliknya dengan melibatkan tenaga kerja. Pada saat pengiriman barang, pihak grosir akan memberikan sejumlah uang untuk
membayar tenaga kerja, dengan memperhitungkan modal awal yang telah diambil melalui bon putih atau giro, sisanya dibayar dengan menggunakan giro berjangka
waktu satu atau dua bulan yang dapat ditukarkan dengan uang tetapi dengan potongan tertentu. Jika dilihat dari sistem hubungan subkontrak sistem bon
putihgiro dapat dilihat pada gambar 2, pengusaha hanya dapat memproduksi sepatu jika ada pesanan dari pihak grosir. Dengan demikian pengrajintenaga kerja
juga akan bergantung pada jumlah pesanan yang diterima dari pihak grosir.
Gambar 3. Mekanisme Hubungan Sub-kontrak Komersial UKM sepatu Sumber: Faizal 2007
GROSIR
PRODUKSI Pengrajin Sepatu
Arus Pembayaran
bongiro
BAHAN BAKU
TENAGA KERJA
Pembayaran
upah
Pesanan
Pesanan Pemasaran
V. HASIL DAN PEMBAHASAN