Definisi dan Epidemiologi Rinosinusitis Etiologi Rinosinusitis

7 Sinus sfenoid merupakan sinus terakhir yang mengalami perkembangan yaitu pada usia dewasa awal. Struktur penting yang terletak dekat dengan sinus ini yaitu n.optikus dan kelenjar hipofisis yang terletak di atas sinus, pons serebri di posterior, di lateral sinus sfenoid terdapat sinus kavernosus, fisura orbitalis superior, a.karotis dan beberapa serabut nervus kranialis. Perdarahan dilayani oleh cabang a.sfenopalatina dan a.etmoid posterior. Inervasinya dipersarafi oleh cabang etmoid posterior nervus V1 dan cabang sfenopalatina nervus V2. 6,7 Faktor yang berperan dalam memelihara fungsi sinus paranasalis adalah patensi KOM, fungsi transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal. Patensi KOM memiliki peranan yang penting sebagai tempat drainase mukus dan debris serta memelihara tekanan oksigen dalam keadaan normal sehingga mencegah tumbuhnya bakteri. Faktor transport mukosiliar sangat tergantung pada karakteristik silia yaitu struktur, jumlah dan koordinasi gerakan silia. Produksi mukus juga bergantung kepada volume dan viskoelastisitas mukus yang dapat mempengaruhi transport mukosiliar. 5,6

2.2. Definisi dan Epidemiologi Rinosinusitis

Rinosinusitis adalah proses inflamasi yang mengenai mukosa hidung dan sinus paranasal. Secara embriologis mukosa sinus merupakan lanjutan dari mukosa hidung, sehingga sinusitis hampir selalu didahului dengan rinitis dan gejala-gejala obstruksi nasi, rinore serta hiposmia dijumpai pada rinitis maupun sinusitis. 10,11 Insiden dari rinosinusitis akut berdasarkan Multi-nasional Questionnaire survey yang dilakukan pada tahun 2011 mencapai 6-10 dari keseluruhan populasi. Prevalensi dari rinosinusitis kronis juga dilaporkan terjadi pada 16 orang dewasa di Amerika Serikat. Prevalensi meningkat seiring dengan peningkatan usia dimana pada kelompok usia 20-29 tahun dan 50 -59 tahun mencapai 2.7 dan 6.6. Rinosinusitis kronis lebih sering dijumpai pada wanita dibandingkan dengan pria. Di Indonesia prevalensi rinosinusitis kronis pada tahun 2004 dilaporkan sebesar 12,6 dengan perkiraan sebanyak 30 juta penduduk menderita rinosinusitis kronis. 1,2,3 8

2.3. Etiologi Rinosinusitis

Umumnya penyebab sinusitis adalah rinogenik yang merupakan perluasan infeksi dari hidung dan dentogenik yang berasal dari infeksi pada gigi. Infeksi pada sinus paranasal dapat disebabkan oleh interaksi dari beberapa etiologi seperti faktor mikrobial, lingkungan, dan faktor host yang terdiri dari gangguan anatomi, genetik fisiologi dan imunitas. 11

2. 4. Patogenesis Rinosinusitis

Patogenesis sinus dipengaruhi oleh patensi dari ostium-ostium sinus dan kelancaran pembersihan mukosiliar di dalam kompleks osteomeatal KOM. Disamping itu mukus juga mengandung substansi mikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap kuman yang masuk ke saluran pernafasan. Bila terdapat gangguan didaerah KOM seperti peradangan, edema atau polip maka hal itu akan menyebabkan gangguan drainase sehingga terjadi sinusitis. Bila ada kelainan anatomi seperti deviasi atau spina septum, konka bulosa atau hipertrofi konka media, maka celah yang sempit itu akan bertambah sempit sehingga memperberat gangguan yang ditimbulkannya. 10,11 Infundibulum etmoid dan resesus frontal yang termasuk bagian dari KOM, berperan penting pada patofisiologi sinusitis. Permukaan mukosa ditempat ini berdekatan satu sama lain dan transportasi lendir pada celah yang sempit ini dapat lebih efektif karena silia bekerja dari dua sisi atau lebih. Apabila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan lendir tidak dapat dialirkan, maka akan terjadi gangguan drainase dan ventilasi sinus maksila dan frontal. Gangguan ventilasi akan menyebabkan penurunan pH dalam sinus, silia menjadi kurang aktif dan lendir yang diproduksi menjadi lebih kental sehingga merupakan media yang baik untuk tumbuh kuman patogen. Patogenesis dari rinosinusitis kronis berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya mediator diantaranya vasoactive amine, proteases, arachidonic acid metabolit, imune complek, lipolisaccharide dan lain- lain. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan mukosa hidung dan akhirnya menyebabkan disfungsi mukosiliar yang mengakibatkan stagnasi mukus 9 dan menyebabkan bakteri semakin mudah untuk berkolonisasi dan infeksi inflamasi akan kembali terjadi. 10,11 Bakteri dapat berkembang menjadi kuman patogen bila lingkungannya sesuai. Bila sumbatan berlangsung terus akan terjadi hipoksia dan retensi lendir, sehingga bakteri anaerob akan berkembang baik. Bakteri juga akan memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi perubahan jaringan menjadi hipertropi, polipoid atau terbentuk polip dan kista. Kuman didalam sinus dapat berasal dari rongga hidung sebelum ostium tertutup ataupun merupakan kuman komensal didalam rongga sinus. Virus dan bakteri yang masuk kedalam mukosa akan menembus kedalam submukosa, yang diikuti adanya infiltrasi sel polimorfonuklear, sel mast dan limfosit, kemudian akan diikuti lepasnya zat-zat kimia seperti histamin dan prostaglandin. Zat-zat kimia ini akan menyebabkan vasodilatasi kapiler, sehingga permeabilitas pembuluh darah meningkat dan terjadilah udema di submukosa. Selain virus dan bakteri sebagai penyebab infeksi pada peradangan rongga sinus juga dipengaruhi oleh faktor predisposisi lokal dan sistemik. 10,11 Faktor predisposisi lokal antara lain: septum deviasi, edema atau hipertrofi konka, rinitis alergi, rinitis vasomotor, barotrauma, korpus alienum, rinolit dan sebagainya. Faktor predisposisi sistemik yang mempengaruhi antara lain infeksi saluran nafas atas oleh karena virus, keadaan umum yang lemah, malnutrisi, DM yang tidak terkontrol dan iritasi udara sekitar. 10,11

2. 5. Gejala dan Tanda Klinis

Berdasarkan anamnesis, penderita biasanya mengeluh adanya nyeri terutama pada daerah sinus yang terkena disertai dengan sakit kepala, hidung buntu, hidung berair atau gangguan penghidu. Keluhan lain yang antara lain adanya rasa dahak di tenggorok, nyeri gigi, nafas berbau, nyeri telinga atau telinga terasa penuh, nyeri pada gigi dan demam. 1,10,11 Pada pemeriksaan fisik dapat dilihat terjadinya edema atau perubahan warna pada daerah disekitar wajah. Bila terdapat sinusitis pada saat di palpasi maka bagian disekitar pipi dan sekitar mata akan terasa sakit. Pemeriksaan 10 intraoral dilakukan untuk mengevaluasi keadaan gigi, dimana gigi yang terjadi ganggren atau karies dapat menjadi penyebab terjadinya sinusitis dentogen. 10,11 Rinoskopi anterior dilakukan utnuk mengevaluasi keadaan mukosa hidung, menilai adakah inflamasi, sekret pada mukosa hidung dan meatus media, deformitas atau deviasi pada septum. 10,11

2. 6. Pemeriksaan Penunjang

Transluminasi mempunyai manfaat yang terbatas, hanya dapat dipakai untuk pemeriksaan sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Pemeriksaan radiologik yang dapat dibuat antara lain Waters, PA dan Lateral. Tepi mukosa sinus yang sehat tidak tampak pada foto rontgen, tetapi jika ada infeksi tepi mukosa akan tampak karena udema permukaan mukosa. Permukaan mukosa yang membengkak dan edema tampak seperti suatu densitas yang paralel dengan dinding sinus. Pembengkakan permukaan mukosa yang berbatas tegas pada resesus alveolaris antrum maksila biasanya terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi atau daerah periodontal. Jika cairan tidak mengisi seluruh rongga sinus, selalu dapat dilihat adanya air fluid level pada foto dengan posisi tegak. 10,11 Sinus maksila, rongga hidung, septum nasi dan konka terlihat pada penampang CT-Scan aksial dan koronal. Pada sinusitis dengan komplikasi, CT- Scan adalah cara yang terbaik untuk memperlihatkan sifat dan sumber masalah. CT-Scan koronal dari sinus paling baik untuk pembedahan, memberikan visualisasi yang baik tentang anatomi rongga hidung, komplek osteomeatal, rongga-rongga sinus dan struktur-struktur yang mengelilinginya seperti orbita, lamina kribiformis, dan kanalis optikus. Obstruksi anatomi pada komplek osteomeatal dan kelainan-kelainan gigi akan terlihat jelas. 10,11 CT-Scan dapat menilai tingkat keparahan inflamasi dengan menggunakan sistem gradasi yaitu staging Lund-Mackay. Sistem ini sangat sederhana untuk digunakan secara rutin dan didasarkan pada skor angka hasil gambaran CT scan. Lund-MacKay Radiologic Staging System ditentukan dari lokasi Gradasi Radiologik sinus maksila, etmoid anterior, etmoid posterior dan sinus sphenoid, 11 Penilaian Gradasi radiologik dari 0-2, Gradasi 0 : Tidak ada kelainan, Gradasi 1 : Opasifikasi parsial Gradasi 2 : Opasifikasi komplit. 10,11 Nasoendoskopi ini akan mempermudah dan memperjelas pemeriksaan karena dapat melihat bagian-bagian rongga hidung yang berhubungan dengan faktor lokal penyebab sinusitis. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat melihat adanya kelainan septum nasi, meatus media, konka media dan inferior, juga dapat mengetahui adanya polip atau tumor. 10,11

2. 7. Diagnosis

Berdasarkan Task Force on Rhinosinusitis yang dibentuk oleh American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery AAO-HNS diagnosis rinosinusitis ditegakkan apabila dijumpai adanya 2 gejala mayor atau satu gejala mayor disertai dengan 2 gejala minor. Kriteria mayor antara lain nyeri pada wajah, hidung tersumbat, hidung berair atau sekret purulen, hiposmia atau anosmia, dan demam pada kondisi akut. Kriteria minor antara lain nyeri kepala, demam, halitosis, kelelahan, nyeri gigi, batuk dan nyeri atau rasa penuh pada telinga. Rinosinusitis dikatakan akut bila gejala tersebut terjadi 4 minggu atau kurang, subakut bila gejala terjadi 4-12 minggu dan kronik bila gejala terjadi lebih dari 12 minggu. 10,11

2.8. Penatalaksanaan