21 Dari berbagai pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri. Adapun analisis sosiologi sastra
yaitu untuk memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antar unsur yang membangun sebuah karya sastra dari aspek kemasyarakatan
pengarang, pembaca dan gejala sosial yang ada.
7. Implementasi Pembelajaran Sastra di SMA
Karya sastra diciptakan pengarang bukan untuk menghasilkan keindahan semata, melainkan untuk menyampaikan gagasan tertentu.
Sebagai karya imajinatif, demikian Meeker 1972:8, sastra merupakan konstruksi unsur-unsur pengalaman hidup, di dalamnya terdapat model-
model hubungan-hubungan dengan alam dan sesama manusia, sehingga sastra dapat mempengaruhi tanggapan manusia terhadapnya. Tindak
kekerasan dan anarkisme yang akhir-akhir ini marak di masyarakat, bukan tidak mungkin salah satu sebabnya adalah mereka tidak pernah
atau sangat minim menggauli sastra. Lazar dalam Al Ma’ruf, 1993:24 menjelaskan, bahwa fungsi
sastra adalah: 1 sebagai alat untuk merangsang siswa dalam menggambarkan pengalaman, perasaan, dan pendapatnya; 2 sebagai
alat untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan intelektual dan emosionalnya dalam mempelajari bahasa; dan 3 sebagai
alat untuk memberi stimulus dalam pemerolehan kemampuan berbahasa.
22 Adapun fungsi pembelajaran sastra menurut Lazar dalam Al
Ma’ruf, 2007:66 adalah: 1 memotivasi siswa dalam menyerap ekspresi bahasa; 2 alat simulatif dalam language acquisition; 3 media dalam
memahami budaya masyarakat; 4 alat pengembangan kemampuan interpretative; dan 5 sarana untuk mendidik manusia seutuhnya
educating the whole person. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sastra
memiliki fungsi dan manfaat yang penting bagi kehidupan. Dalam proses pembelajaran, sastra dapat dimanfaatkan oleh guru sebagai alat untuk
meningkatkan kepekaan siswa terhadap nilai-nilai kearifan dalam menghadapi kehidupan yang kompleks dan multidimensi. Termasuk di
dalamnya: realitas sosial, lingkungan hidup, kedamaian dan perpecahan, kejujuran dan kecurangan, cinta kasih dan kebencian, keshalihan dan
kezhaliman, serta ketuhanan dan kemanusiaan. Alhasil, melalui pembelajaran sastra, siswa diharapkan akan tumbuh menjadi manusia
dewasa yang berbudaya, mandiri, sanggup mengaktualisasikan diri dengan potensinya, mampu mengekspresikan pikiran dan perasaan
dengan baik, berwawasan luas, mampu berpikir kritis, berkarakter, halus budi pekertinya, santun dalam berbicara dan bersikap, serta peka
terhadap lingkungan
sosial masyarakat
dan bangsanya.
Dengan demikian, melalui pembelajaran sastra yang apresiatif, diharapkan siswa mampu membentuk dirinya menjadi manusia
seutuhnya, yang dapat diterima eksistensinya di lingkungannya sehingga
23 dapat hidup di tengah masyarakat dengan terus berkarya demi mengisi
kehidupan yang lebih bermakna. Dengan demikian, menurut Sayuti 2002:46 pembelajaran sastra
yang apresiatif niscaya akan memberikan kontribusi yang bermakna bagi proses pendidikan secara komprehensif. Dalam bahasa positivisme
terdapat korelasi positif antara pembelajaran sastra dengan pembelajaran bidang studi lain. Untuk dapat mencapai korelasi positif tersebut paling
tidak ada dua hal yang perlu diperhatikan: Pertama, pembelajaran sastra harus dilakukan secara kreatif. Cara-cara tradisional yang lebih bersifat
verbalistik dan inner ideas sudah saatnya ditinggalkan dan diganti dengan cara inovatif yang lebih dinamis, kritis, dan kreatif. Kedua, bahan-bahan
karya sastra yang diberikan kepada siswa hendaknya merupakan karya- karya yang diprediksikan dapat membuat mereka lebih kritis, lebih peka
terhadap nilai-nilai dan beragam situasi kehidupan.
H. Kerangka Berfikir