Bab IV Penelitian Analisis Penetapan Margin dan Penerapan Manajemen Risiko dalam Pembiayaan Murabahah di PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali

(1)

BAB IV

PAPARAN HASIL PENELITIAN A. Profil PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali

1. Sejarah Singkat PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali

Berdasarkan surat No. 02/10/1992 tertanggal 28 Oktober 1992, pendiri PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan RI untuk mengajukan permohonan persetujuan prinsip pendirian PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali. Pada tanggal 30 November 1992 surat yang disampaikan tersebut mendapat jawaban dari Kementrian Keuangan berupa persetujuan prinsip pendirian PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali dengan nomor surat. S-561/MK.17/1992. Dengan dikeluarkannya persetujuan prinsip oleh Menteri Keuangan RI maka pihak bank diminta untuk melakukan pesiapan selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak tanggal persetujuan prinsip dikeluarkan guna mengajukan permohonan izin usaha kepada direksi Bank Indonesia.

Berdasarkan izin prinsip tersebut, disusunlah akta notaris No. 26 tanggal 19 Desember 1992 dan permohonan pengesahan kepada Menteri Kehakiman RI untuk mendapatkan persetujuan izin usaha dari direksi Bank Indonesia. Pada tanggal 25 Agustus 1993 Menteri Kehakiman RI memberikan persetujuan atas akta pendirian PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali, No. 26 tanggal 19 Desember 1992 yang direvisi dengan akta No. 3 tertanggal 2 Juli 1993 yang dibuat dihadapan notaris Amir Sjarufuddin. Berdasarkan surat No. 02/BPRS-FSB/XI/1993 tertanggal 15 November 1993 dan No. 06/BPRS-FSB/II/1994 perihal permohonan izin usaha PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali yang diajukan kepada Menteri Keuangan RI, maka pada tanggal 5 April 1994 perseroan memperoleh izin untuk melakukan usaha sebagai bank pembiayaan


(2)

rakyat berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI No. Kep-072/KM.17/1994.

2. Struktur Organisasi dan Deskripsi Tugas

PT. BPR Fajar Sejahtera didirikan oleh Bapak HSH Adnan Suharyono PA, dan Drs Mulyono pada tahun 1994, dengan izin usaha Departemen Keuangan RI No. KEP.072/KN.17/1994 Tanggal 05 April 1994, di alamat Jalan Raya Kuta No. 75 A Kuta, Badung-Bali, bidang usaha merupakan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang berada pada wilayah Bank Indonesia Denpasar dengan bentuk badan usaha yaitu Perseron Terbatas (PT), dan struktur organisasi sebagai berikut :


(3)

Gambar 4.1 : Struktur Organisaai PT. BPRS Fajar Sejahtera


(4)

Secara Umum struktur organisasi PT. BPRS Fajar Sejahtera, dibuat agar setiap pihak yang berkepentingan dapat mengetahui secara jelas dan tegas wewenang dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan jabatan yang diemban sehingga, PT. BPRS Fajar Sejahtera dapat berjalan terarah dan terkendali mancapai sasaran yang dituju.

Tugas-tugas tersebut di deskripsikan berdasar jabatan sebagai berikut : a. Pemegang Saham

Pemegang saham adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak deserahkan kepada direksi dan komisaris.

b. Dewan Komisaris

Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan khusus serta memberikan nasehat kepada direksi dalam menjalankan perseroan, komisaris diangkat oleh rapat umum pemegang saham (RUPS) untuk jangka waktu tertentu dengan kemungkinan dapat diangkat kembali, bertugas meminta laporan-laporan kepada direksi untuk kepentingan pembinaan dan pengawasan bank, melakukan evaluasi hasil yang telah dicapai oleh direksi sebagai bahan penyusunan laporan kepada Bank Indonesia secara periodik setiap semester serta untuk kepentingan pembinaan dan pengawasan, memberikan teguran dan meminta pertangungjawaban direksi dihadapan RUPS apabila terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh direksi.


(5)

Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah dewan yang melakukan pengawasan terhadap prinsip syariah dalam kegiatan usaha BPRS Fajar Sejahtera, menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan oleh BPRS, memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi bank, serta bertugas menyampaikan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap enam bulan kepada direksi, komisaris, DSN MUI dan Bank Indonesia.

d. Dewan Direksi

Direksi adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar, direksi diangkat dan diberhentikan oleh rapat umum pemegang saham (RUPS) untuk jangka waktu tertentu dengan kemungkinan dapat diangkat kembali, pembagian tugas dewan direksi adalah direktur utama bertugas hubungan keluar/eksternal berkoordinasi dengan Ka.Bag umum/personalia, sedangkan direktur bertugas mengkoordinasikan tugas bagian marketing dan bagian operasional dengan selalu berkoordinasi dengan direktur utama dalam mengambil langkah-langkah operasional dan pembiayaan, setiap anggota direksi wajib dengan baik dan tanggung jawab dalam menjalankan tugas, pemberian penghasilan/maisyah kepada masing-masing direksi ditentukan dalam RUPS/rapat pemegang saham/rapat komisaris.


(6)

e. Bagian Marketing

Fungsi utama jabatan marketing adalah merencanakan, mengarahkan, mengevaluasi dan mengawasi target founding dan financing serta memastikan strategi yang digunakan tepat sasaran termasuk penyelesaian pembiayaan bermasalah bertanggung jawab pada direksi. f. Fungsi dan Tugas Bagian Legal

Mengikuti perkembangan proses permohonan pembiayaan nasabah khususnya dalam hal kelengkapan dokumen permohonan, melakukan survey ke lapangan untuk melakukan pengecekan agunan pembiayaan nasabah, menilai secara hukum agunan pembiayaan yang diajukan nasabah, melakukan proses penandatanganan akad pembiayaan bersama nasabah, dan bertanggung jawab atas penyimpanan dan pengeluaran dokumen pengajuan dan jaminan nasabah, serta mengatur dan melaksanakan eksekusi agunan nasabah.

g. Account Officer

Bertanggung jawab kepada bagian marketing, melakukan survey data calon nasabah, menganalisa setiap permohonan pembiayaan dan melaporkan hasil analisa pembiayaan untuk selanjutnya diajukan kepada komite pembiayaan, melakukan pemasaran, penagiha, pembinaan, dan pengawasan pembiayaan sampai pembiayaan tersebut lunas, dan membantu pengadmnistrasian pembiayaan sehingga secara operasional dapat berjalan dengan lancar.


(7)

Kolektor merupakan petugas dinas luar atau lapangan yang secara rutin melakukan penagihan/ penyetoran berupa simpanan dana pihak ketiga, kolektor wajib memasarkan smua produk BPRS Fajar Sejahtera, seperti tabungan, deposito dan pembiayaan serta memberikan keterangan kepada para nasabah mengenai bagi hasil, prosedur atau tata cara dan persyaratan dalam membuka rekening maupun pembiayaan, melakukan pembinaan terhadap nasabah yang telah ada, mengembangkan dan meningkatkan pertumbuhan dana pihak ketiga maupun pembiayaan, kolektor bertanggung jawab kepada kepala bagian.

i. Kepala Bagian Umum & Personalia

Fungsi utama bagian umum/ personalian adalah merencanakan, mengevaluasi kinerja dan karier planing, kemudian merencanakan dan mengkoordinasi bidang umum, serta bertanggung jawab kepada direksi. j. Accounting / Pembukuan

Mengatur dan mengkoordinasikan semua hasil kegiatan operasional, melakukan dan mencatat transaksi keuangan ke bank lain serta mencatat pembayaran kewajiban pajak kepada instansi pemerintah serta kewajiban lainnya kepada pihak lain, memeriksa kelengkapan bukti-bukti transaksi pembukuan, menjalankan proses distribusi revenue bulanan dan hasilnya diimplementasikan dalam perhitungan bagi hasil tabungan dan deposito serta bertugas menyusun laporan keuangan berkala dan laporan keuangan lainnya.


(8)

Mengatur dan mengawasi semua aktifitas administrasi kepegawaian, melakukan seleksi atas penerimaan pegawai baru sesuai kebutuhan, mengurus perubahan status atau jabatan, pemindahan dan pemberhentian pegawai, bertanggung jawab dalam perhitungan gaji beserta hal-hal yang terkait dengan gaji, dan bertanggung jawab pula dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, bertugas pula untuk memberikan informasi kepegawaian serta menampung keluhan yang diajukan pegawai serta mengajukan solusinya.

l. Bagian Umum

Bertugas mengelola dan mencatat pengeluaran dan pemasukan biaya-biaya umum harian, menyediakan dana mengawasi pengguanan perlengkapan/peralatan kantor, serta mengadministrasikan pelaksanaan penyusutan dan amortisasi sesuai prosedur akuntansi

m. Kepala Bagian Operasional

Fungsi untama bagian operasional adalah merencanakan, mengarahkan, mengawasi serta mengevaluasi seluruh aktifitas operasional (intern dan ekstern), dan bertanggung jawab pada direksi.

n. Teller

Mengatur dan bertanggung jawab atas dana kas yang tersedia, memberikan pelayanan transaksi tunai, memberikan pelayanan setoran cek/bilyet giro dari nasabah, serta bertugas memeriksa cek/bilyet giro yang telah jatuh tempo untuk dilakukan proses kliring


(9)

Melakukan seluruh proses transaksi pembukaan maupun penutupan rekening tabungan atau deposito, mencatat smua transaksi tabungan ke dalam buku tabungan, menerbitkan bilyet deposito, dan menghitung nilai bagi hasil tabungan dan deposito setiap bulan, serta memeriksa deposito yang akan jatuh tempo.

3. Bidang Usaha

Bank syariah yang terdiri dari Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah, Maupun Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, pada dasarnya melakukan kegiatan usaha yang sama dengan bank konvensional, yaitu melakukan penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat di samping penyediaan jasa keuangan lainnya, namun pada PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali hanya melakukan kegiatan inti sebagai bank dengan produk yang masih terbatas, beberapa produk jasa yang dilakukan PT. BPRS Fajar Sejahtera adalah sebagai berikut :

a. Penghimpunan Dana

Dalam penghimpunan dana Bank syariah melakukan mobilisasi dan investasi tabungan dengan cara yang adil. Sumber dana berasal dari modal yang disetor dan hasil mobilisasi kegiatan penghimpunan dana melalui simpanan dalam bentuk, Tabungan harian, Deposito, serta rekening dengan bentuk investasi khusus ataupun umum.

1) Tabungan

Tabungan adalah simpanan dengan akad wadi’ah atau mudharabah dengan proses transaksi ataupun penarikan dapat dilakukan menurut


(10)

syarat dan ketentuan tertentu yang telah disepakati, prinsip syariah tabungan diatur dalam fatwa DSN No.02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.

2) Deposito

Deposito adalah tabungan berjangka, atau bisa diartikan sebagai produk investasi dana dimana akadnya berdasar akad mudharabah yang pencairannya dapat dilakukan pada waktu tertentu sesuai dengan akad yang telah disepakati bersama antara bank dan nasabahnya, prinsip syariah dari deposito tertuang pada fatwa DSN No. 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito.

b. Penyaluran Dana

Dalam penyaluran dana pada masyarakat, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam beberapa kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya dan beberapa akad penyaluran dana yang dilakukan oleh PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali pada saat ini yaitu : 1) Pembiayaan berdasarkan pola jual beli dengan akad Murabahah, Salam

atau Istisna’

Akad murabahah adalah pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan kemudian pembeli atau dalam hal ini nasabah sepakat membayar dengan harga yang lebih besar sebagai keuntungan. Bank menyebut jumlah keuntungan yang diambil dengan sebutan margin, dalam perbankan transaksi murabahah lazimnya dilakukan dengan cara dicicil (bit tsaman ajil). Akad salam adalah akad


(11)

pembiayaan dimana suatu barang dipesan dan pembayarannnya dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang telah disepakati bersama. Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank kemudian menjualnya kepada nasabah dengan cara dicicil. Sedangkan akad istisna’ adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan dengan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu pula yang telah disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’). Produk pembiayaan ini hampir sama dengan salam, namun, dalam istisna’ pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa tahap pembayaran. Skim istisna’ dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.

2) Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah Akad mudharabah dalam pembiayaan adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama, yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua, yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pihak bank syariah kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian. Akad musyarakah adalah akad di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memeberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung


(12)

sesuai dengan porsi dana masing-masing.

B. Pembahasan Hasil Penelitian 1. Paparan Hasil Penelitian

Hasil penelitian berupa wawancara dan observasi akan ditampilkan dalam bentuk tabel sebagai berikut :

Tabel 4.1 : Hasil Wawancara dan Observasi

No Responden Hasil Wawancara Observasi

1 Fathiyah

(Ka.Bag Umum)  Bank masuk dalam pengawasankhusus oleh BI, karena diperkirakan terdapat Rp. 3,2 m dalam kolektibilitas macet.

 Nasabah macet, menjaminkan agunan namun tidak dilakukan pengikatan terhadap agunannya.

 Nasabah macet, sebelum persetujuan pembiayaan langsung menemui pejabat bank, tanpa dilakukan survey ataupun analisis, pembiayaan dicairkan mengikuti putusan pejabat bank.

 Tidak mengetahui metode yang digunakan dalam melakukan penetapan nilai margin oleh direksi, keuntungan yang didapat dari nilai margin dihitung secara global dan kemudian dibagi untuk, operasional bank, pembayaran bagi hasil nasabah simpanan, dan pemegang saham.

10-09-2013 08-11-2013

2 Nurul Fatimah (Ka.Bag Operasional)

 Terdapat perbedaan nilai margin dengan fasilitas yang sama dalam pembiayaan murabahah, untuk pekerja 0,5% sedang umum 2%.

 Menerima nilai margin yang ditetapkan tanpa mengetahui, metode yang digunakan dalam melakukan penetapan nilai margin oleh direksi.

18-10-2013

3 Yuyun


(13)

Pembiayaan) keluarga.

 Tidak mengetahui besar nilai % margin.

 Tidak memahami margin, dan menganggap margin masih sebagai bunga.

4 Sri (Nasabah Pembiayaan)

 Menerima fasilitas pembiayaan murabahah untuk keperluan membangun rumah.

 Tidak mengetahui besar nilai % margin.

 Tidak memahami margin, dan menganggap margin masih sebagai bunga.

21-10-2013

5 Basyar

(Kolektor)  Beberapa nasabah macet tidakterdapat agunan pada pembiayaannya.

 Beberapa nasabah macet ditemui memiliki character buruk, karena diperkirakan mampu untuk membayar tetapi tidak memiliki itikad baik untuk membayar.

 Tidak mengetahui history dari nasabah.

08-11-2013

6 M. Affan Akbari

(Account Officer)  Terjadi kesalahan penilaian agunanterhadap jaminan yang dijaminkan oleh nasabah, sehingga nilai agunan tidak mencukupi.

 Nasabah macet ditemui memiliki character buruk, karena diperkirakan mampu untuk membayar karena kondisi usaha yang terlhat berjalan dengan baik tetapi tidak memiliki itikad baik untuk membayar.

 Nasabah adalah nasabah yang direkomendasikan oleh komisaris.

08-11-2013

Sumber : Pejabat dan Nasabah PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali, Wawancara Pribadi, 2013 2. Pengungkapan Penetapan Nilai Margin Murabahah

Murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus


(14)

mengungkapkan biaya perolehan barang tersebut kepada pembeli (PSAK 102 paragraf 5), maka transaksi murabahah tidak harus dalam bentuk pembayaran tangguh (kredit), melainkan dapat juga dalam bentuk tunai setelah menerima barang, ditangguhkan dengan mencicil setelah menerima barang, ataupun ditangguhkan dengan membayar sekaligus di kemudian hari (PSAK 102 paragraf 8). UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “akad murabahah” adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.

Nilai margin dalam pembiayaan murabahah merupakan suatu hal yang penting mengingat akad ini, tidak lepas dari adanya mark up terhadap harga pokok, yang apabila penetapannya tidak sesuai dengan syariah, akan menjadi suatu traksaksi yang haram karena mark up berlebih dalam suatu transaksi dengan akad murabahah tidak ada bedanya dengan riba.

Suatu contoh transaksi murabahah dengan margin yang telah ditetapkan, bank membeli sebuah mobil seharga Rp 100.000.000,- dan kemudian menjualnya kepada nasabah dengan harga yang sudah dinaikkan (di mark up) sebersar Rp 120.000.000,- dimana pembayaran dilakukan lewat angsuran, maka dari bentuk contoh transaksi di atas akan terlihat bahwa bank syariah hanya sekedar menggantikan tingkat suku bunga dengan tingkat laba dari harga yang sudah dinaikkan. Bahkan, perbedaan antara keduanya bisa lenyap apabila tidak ada kecermatan yang memadai dari petugas pelaksana maupun pihak-pihak berwenang yang menetapkan nilai margin dalam


(15)

pembiayaan murabahah pada bank syariah.

Penetapan nilai margin bisa diukur maupun ditetapkan dengan cara melakukan perhitungan terhadap biaya-biaya yang ditanggung termasuk antisipasi timbulnya kemacetan dan jangka waktu pengembalian, dengan mempertimbangkan tingkat margin keuntungan saat ini dan prediksi perubahan di masa mendatang yang berlaku di pasar perbankan syariah atau Direct Competitors Market Rate (DCMR), dimana semakin cepat perubahan DCMR, semakin pendek pula jangka waktu maksimal pembiayaan yang bisa dilakukan dan ditetapkan oleh bank syariah. Suku bunga kredit saat ini dan prediksi perubahannya di masa mendatang yang berlaku di pasar perbankan konvensional atau Indirect Competitors Market Rate (ICMR) juga dapat mempengaruhi waktu maksimal pembiayaan pada akad murabahah, serta adanya ekspetasi bagi hasil kepada dana pihak ketiga yang kompetitif di pasar perbankan syariah, karena semakin besar perubahan ekspetasi tersebut diperkirakan akan terjadi semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan.

Dengan demikian margin dan ketentuan pembayaran pada pembiayaan murabahah harus diketahui dan ditetapkan pada saat pelaksanaan akad, ini mencegah terjadinya gharar bagi kedua pihak apabila tingkat suku bunga pasar berubah, karena faktanya harga di masa depan akan bisa menjadi lebih mahal dibandingkan harga masa disaat terjadinya transaksi, hal ini dapat diterima, selama ketentuan pembayaran sudah ditetapkan pada masa pembuatan perjanjian akad. Dan apabila sudah ditetapkan, harga dan setiap


(16)

ketentuan-ketentuan pada akad transaksi yang telah disetujui kedua belah pihak tidak dapat diubah meskipun terjadi keterlambatan atas pembayaran ataupun dikurangi apabila terjadi pelunasan di awal.

Nilai penetapan margin pada dasarnya bersifat pasti sesuai dengan jangka waktu pembayaran. Tentunya hal ini harus sudah dapat diprediksi oleh analis dari perbankan syariah, oleh karena itu pada bank syariah margin bersifat fixed cost. Klausul penetapan nilai margin dalam perjanjian akad pembiayaan murabahah bukan saja perlu bagi pihak bank, melainkan juga demi kepentingan nasabah sebagai pihak penerima pembiayaan. Nasabah harus mengetahui dengan jelas berapa jumlah yang menjadi kewajiban yang harus ditanggungnya.

Dalam beberapa wawancara dan hasil observasi yang telah dilakukan oleh penulis di PT.BPRS Fajar Sejahtera, diketahui bahwa :

a. Penetapan nilai margin tidak diketahui dasar pengambilannya dengan jelas, atau perincian dalam perumusan pengambilan nilai margin oleh pekerja pelaksana operasional khususnya dalam pembiayaan murabahah, karena margin telah ditentukan dalam rapat direksi dalam bentuk persentase.

b. Nilai margin yang berbeda diberikan dengan fasilitas pembiayaan murabahah yang sama, karena faktor kedudukan sebagai pekerja dan masyarakat biasa, yaitu untuk pekerja 0,5%/bulan sedang masyarakat penerima fasilitas 1,5-2%/bulan


(17)

c. Nasabah masih tidak memahami konsep nilai margin, margin dianggap sama dengan bunga pada pembiayaan murabahah, dan tidak mengetahui dengan pasti besaran margin yang menjadi kewajiban yang harus dibayarkan kepada pihak bank.

Sebagai pelaksana dalam melakukan akad dengan nasabah (konsumen) sudah sepantasnya pekerja memahami dan menjelaskan kepada nasabah bahwa nilai margin yang diambil, dihitung berdasarkan harga jual dari barang yang akan ditransaksikan, dan pekerja harus mengetahui unsur-unsur apa saja yang menjadi pertimbangan untuk melakukan penetapan terhadap nilai margin yang digunakan dalam pembiayaan murabahah, sehingga setiap transaksi pembiayaan murabahah yang dilakukan tidak mengandung “MAGHRIB”, dimana kemudian pekerja mampu menjelaskan kepada nasabahnya, bagaimana bank menetapkan nilai margin yang diambil dalam transaksi pembiayaan murabahah, sehingga nasabah mampu memhami bahwa nilai margin yang ditetapkan berbeda dengan bunga pada bank konvensional, dan kejelasan dalam melakukan transaksi akan menghindari kedua pihak dari “MAGHRIB”.

Perbedaan nilai margin yang cukup signifikan dalam akad pembiayaan yang sama karena kedudukan, yaitu pekerja dan masyarakat umum, tentu ditakutkan akan dapat menimbulkan rasa terzalimi dari masyarakat jika hal tersebut diketahui secara umum, seharusnya dengan fasilitas dalam akad pembiayaan murabahah yang sama, bank seharusnya tidak membedakan nilai margin berdasar atas kedudukan, karena nilai margin harusnya ditentukan dari


(18)

harga jual suatu barang yang ditransaksikan, dan apabila bank ingin memberikan fasilitas pembiayaan kepada pekerjanya tanpa imbalan ataupun biaya yang ringan, sepantasnya bank memberikan pembiayaan dengan akad berbeda misal dengan akad pembiayaan qard, karena diketahui pembiayaan qard adalah transaksi pinjam-meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.44

Jika pekerja mengambil fasilitas pembiayaan dengan akad murabahah sudah sepantasnya diberikan margin yang sesuai, yang juga diberikan kepada nasabah lain, karena pembeda dalam penentuan nilai margin adalah harga jual suatu barang yang diperhitungkan dari harga beli barang + Cost recovery + keuntungan (lihat gambar 3), bukan karena kedudukan seseorang.

3. Pengungkapan Penerapan Manajemen Risiko Pembiayaan Murabahah

Untuk melakukan penerapan manajemen risiko pembiayaan bank harus memiliki sistem yang dapat dipergunakan untuk memonitor pembiayaan individu, termasuk menentukan provisi dan pencadangan yang cukup. Sistem monitoring yang efektif akan memberikan informasi tentang kondisi keuangan nasabah saat ini, sistem ini juga kemudian akan dapat memonitor proyeksi cash flow dan nilai agunan untuk mengklasifikasikan masalah kredit yang potensial. Di samping harus memonitor keseluruhan komposisi dan kualitas portofolio, bank juga harus mewaspadai waktu jatuh

44 A. Wangsawidjaja Z.,Pembiayaan Bank Syariah,(Jakarta :PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012), h.


(19)

tempo pembiayaan.

Selain itu sebaiknya bank memiliki laporan pembiayaan yang independen bagi dewan direksi dan senior manajemen yang bisa digunakan sebagai alat ukur untuk melakukan mengidentifikasi, memantau, dan mengendalikan risiko, hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa eksposur risiko bank telah terpelihara dalam parameter yang telah ditetapkan standar kehati-hatian dan limit internal. Dan bank harus memiliki sistem kontrol internal dalam bentuk sistem audit internal untuk memastikan bahwa kebijakan dalam pembiayaan telah dipatuhi.

Dari hasil observasi, wawancara serta data yang diterima dari PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali, diketahui bahwa penerapan manajemen risiko dalam pembiayaan murabahah masih sangat lemah, hal ini dapat dilihat dari :

a. Terjadinya lonjakan NPF (Non Performing Financing), secara signifikan pada dua tahun terakhir yaitu 2011 s/d 2012.

b. Adanya pemberian pembiayaan yang tidak sesuai dengan kriteria dan persyaratan dalam pemberian pembiayaan murabahah.

c. Tidak adanya pengikatan terhadap agunan yang diberikan dari nasabah kepada pihak bank (terdapat pada beberapa transaksi pembiayaan murabahah).

Lonjakan terhadap NPF pada PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali, secara signifikan dapat kita lihat dalam tabel berikut :


(20)

Tabel 4.2 : NPF Murabahah

*dalam ribu

L KL D M OUTSTANDING NPF NPF %

2010 5,353,752 297,365 77,807 347,861 6,076,785 723,033 12 2011 7,654,261 58,581 318,391 314,083 8,345,316 691,055 8 2012 7,743,392 401,096 1,528,166 392,840 10,065,494 2,322,102 23

Sumber : PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali, Neraca Periode Akhir Tahun 2010-2012 .

Ket. Table :

L = Kolektibilitas Lancar ( s/d 3 kali menunggak pembayaran)

KL = Kolektibilitas Kurang Lancar (3 s/d 6 kali menunggak pembayaran) D = Kolektibilitas Diragukan (6 s/d 12 kali menunggak pembayaran) M = Kolektibilitas Macet ( diatas 12 kali menunggak pembayaran) Outstanding = jumlah baki debet pembiayaan murabahah

NPF = Non Performing Financing (kolektibilitas KL, D, M)

Dari masalah-masalah yang ditemui dan dijabarkan diatas menandakan kurangnya pengelolaan manajemen risiko pembiayaan terkait dangan faktor-faktor intern berikut :

a. Kemampuan dan naluri bisnis analis pembiayaan yang belum memadai. b. Pemutus pembiayaan “takluk” terhadap tekanan yang datang dari pihak

eksternal.

c. Pengawasan bank setelah kredit diberikan tidak memadai.

d. Bank tidak memiliki sistem dan prosedur pemberian dan pengawasan kredit yang baik.

e. Pejabat bank, mempunyai kepentingan pribadi terhadap usaha/ proyek yang dimintakan pembiayaan oleh calon nasabah.

f. Bank tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai watak calon debitur.


(21)

Maka upaya yang dapat dilakukan oleh pihak bank untuk mengurangi risiko pembiayaan adalah dengan melakukan upaya-upaya yang bersifat preventif upaya yang bersifat preventif dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahan bank dengan cara menyebar risiko dengan mengatur penyaluran pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada satu nasabah penerima fasilitas atau kelompok nasabah penerima fasilitas tertentu.

b. Melakukan penilaian atas kelayakan penyaluran dana atau pembiayaan dengan cara menerapkan manajemen risiko sebagaimana seperti yang diamanatkan dalam pasal 2 UU Perbankan Syariah yang menegaskan bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi, dan prinsip kehati-hatian.

Untuk memperoleh keyakinan mengenai kelayakan penyaluran dana kepada penerima fasilitas pembiayaan murabahah PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali dapat melakukan hal sebagai berikut :

a. Mempunyai keyakinan atas “kemauan” dan “kemampuan” calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum bank syariah menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas, “kemauan” terkait dengan itikad baik dari nasabah penerima fasilitas untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh bank syariah, dan “kemampuan” berkaitan dengan keadaan dan/atau asset nasabah penerima fasilitas sehingga mampu


(22)

membayar kembali penggunaan yang disalurkan oleh bank syariah. b. Wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak (character),

kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral), dan prospek usaha (condition of economic) dari calon nasabah penerima fasilitas. Kelima faktor di atas dikenal dengan istilah “ five C’s”.

1) Watak (character) : untuk mengetahui itikad baik nasabah dalam memenuhi kewajibannya (willingness to pay) dan untuk mengetahui moral, maupun sifat-sifat pribadi yang positif dan kooperatif.

2) Kemampuan (capacity) : untuk mengetahui kemampuan nasabah dalam menjalankan usahanya guna memperoleh laba yang diharapkan, sehingga dapat mengembalikan fasilitas pembiayaan yang diterima.

3) Modal (capital) : adalah menilai jumlah modal sendiri yang diinvestasikan oleh nasabah dalam usahanya termasuk kemampuan untuk menambah modal apabila diperlukan sejalan dengan perkembangan usahanya.

4) Agunan (collateral) : aset atau barang yang diserahkan nasabah sebagai agunan terhadap pembiayaan yang diterima, harus memiliki segi ekonomis yaitu marketble, serta segi yuridis yaitu agunan tersebut memenuhi syarat-syarat yuridis untuk digunakan sebagai agunan.


(23)

yang dipengaruhi oleh situasi sosial dan ekonomi.45

Terkait dengan analisis “five C’s” dan masalah yang dihadapi di PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali tentang agunan, sudah seharusnya PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali berpatokan pada Pasal 23 ayat (2) UU Perbakan syariah, khususnya paragraf keempat tentang penilaian agunan, bahwa dapat disimpulkan menjadi dua jenis agunan pembiayaan yaitu :

a. Agunan berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan yang bersangkutan. Dalam perbankan, agunan yang berasal dari pembiayaan disebut “agunan pokok”.

b. Agunan berupa barang lain, surat berharga, atau garansi risiko yang tidak bersumber dari pembiayaan, agunan yang tidak berseumber dari pembiayaan disebut juga dengan “agunan tambahan”.

Agunan yang dijaminkan haruslah bersifat marketble (mudah dijual) dan harus diikat secara sempurna sesuai jenis agunannya. Misal jika agunan berupa aktiva tetap yaitu tanah dan bangunan yang telah bersertifikat misalnya, diikat dengan Hak Tanggungan (HT), dan barang bergerak dapat dilakukan pengikatan secara fidusia atau gadai, tergantung dari barang agunan yang digunakan.

Di samping itu, dalam pelaksanaan prinsip syariah oleh bank syariah, juga harus dilakukan pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS), sebagaimana diamanatkan dalam pasal 35 PBI (Peraturan Bank Indonesia) yaitu :

45 Trisadini P. Usanti dan Abd. Shomad, Transaksi Bank Syariah, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2013), Cet.


(24)

a. DPS bertugas dan bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah.

b. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS meliputi :

1) Menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan bank. 2) Mengawasi proses pengembangan produk baru bank.

3) Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk produk baru bank yang belum ada fatwanya.

4) Melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank.

5) Meminta data dan informasi terkait aspek syariah dari satuan kerja bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya

Upaya preventif lain yang dapat dilakukan oleh pihak bank yang disini oleh PT. BPRS Fajar Sejahtera yaitu setelah permohonan untuk pembiayaan disetujui oleh bank syariah, antara lain :

a. Akad pembiayaan harus dibuat secara baik sehingga menjamin kepentingan bank dan nasabah.

b. Akad pembiayaan memuat klausul adanya jaminan pembiayaan. c. Jaminan pembiayaan bersifat kebendaan dan/atau bersifat perorangan. d. Jaminan kebendaan harus diikat secara sempurna sesuai dengan jenis


(25)

e. Jaminan mudah dicairkan atau mudah dijual (marketble)

f. Nila jaminan dapat menjamin (mencukupi) seluruh kewajiban nasabah penerima fasilitas pembiayaan murabahah kepada bank.

g. Pemantauan atau pengawasan terhadap penggunaan fasilitas pembiayaan yang telah diberikan apakah terjadi penyimpangan (side streaming) dari rencana semula.


(1)

Tabel 4.2 : NPF Murabahah

*dalam ribu

L KL D M OUTSTANDING NPF NPF %

2010 5,353,752 297,365 77,807 347,861 6,076,785 723,033 12 2011 7,654,261 58,581 318,391 314,083 8,345,316 691,055 8 2012 7,743,392 401,096 1,528,166 392,840 10,065,494 2,322,102 23

Sumber : PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali, Neraca Periode Akhir Tahun 2010-2012 .

Ket. Table :

L = Kolektibilitas Lancar ( s/d 3 kali menunggak pembayaran)

KL = Kolektibilitas Kurang Lancar (3 s/d 6 kali menunggak pembayaran) D = Kolektibilitas Diragukan (6 s/d 12 kali menunggak pembayaran) M = Kolektibilitas Macet ( diatas 12 kali menunggak pembayaran) Outstanding = jumlah baki debet pembiayaan murabahah

NPF = Non Performing Financing (kolektibilitas KL, D, M)

Dari masalah-masalah yang ditemui dan dijabarkan diatas menandakan kurangnya pengelolaan manajemen risiko pembiayaan terkait dangan faktor-faktor intern berikut :

a. Kemampuan dan naluri bisnis analis pembiayaan yang belum memadai. b. Pemutus pembiayaan “takluk” terhadap tekanan yang datang dari pihak

eksternal.

c. Pengawasan bank setelah kredit diberikan tidak memadai.

d. Bank tidak memiliki sistem dan prosedur pemberian dan pengawasan kredit yang baik.

e. Pejabat bank, mempunyai kepentingan pribadi terhadap usaha/ proyek yang dimintakan pembiayaan oleh calon nasabah.

f. Bank tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai watak calon debitur.


(2)

Maka upaya yang dapat dilakukan oleh pihak bank untuk mengurangi risiko pembiayaan adalah dengan melakukan upaya-upaya yang bersifat preventif upaya yang bersifat preventif dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahan bank dengan cara menyebar risiko dengan mengatur penyaluran pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga tidak terpusat pada satu nasabah penerima fasilitas atau kelompok nasabah penerima fasilitas tertentu.

b. Melakukan penilaian atas kelayakan penyaluran dana atau pembiayaan dengan cara menerapkan manajemen risiko sebagaimana seperti yang diamanatkan dalam pasal 2 UU Perbankan Syariah yang menegaskan bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan prinsip syariah, demokrasi, dan prinsip kehati-hatian.

Untuk memperoleh keyakinan mengenai kelayakan penyaluran dana kepada penerima fasilitas pembiayaan murabahah PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali dapat melakukan hal sebagai berikut :

a. Mempunyai keyakinan atas “kemauan” dan “kemampuan” calon nasabah penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya, sebelum bank syariah menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas, “kemauan” terkait dengan itikad baik dari nasabah penerima fasilitas untuk membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh bank syariah, dan “kemampuan” berkaitan dengan keadaan dan/atau asset nasabah penerima fasilitas sehingga mampu


(3)

membayar kembali penggunaan yang disalurkan oleh bank syariah. b. Wajib melakukan penilaian yang seksama terhadap watak (character),

kemampuan (capacity), modal (capital), agunan (collateral), dan prospek usaha (condition of economic) dari calon nasabah penerima fasilitas. Kelima faktor di atas dikenal dengan istilah “ five C’s”.

1) Watak (character) : untuk mengetahui itikad baik nasabah dalam memenuhi kewajibannya (willingness to pay) dan untuk mengetahui moral, maupun sifat-sifat pribadi yang positif dan kooperatif.

2) Kemampuan (capacity) : untuk mengetahui kemampuan nasabah dalam menjalankan usahanya guna memperoleh laba yang diharapkan, sehingga dapat mengembalikan fasilitas pembiayaan yang diterima.

3) Modal (capital) : adalah menilai jumlah modal sendiri yang diinvestasikan oleh nasabah dalam usahanya termasuk kemampuan untuk menambah modal apabila diperlukan sejalan dengan perkembangan usahanya.

4) Agunan (collateral) : aset atau barang yang diserahkan nasabah sebagai agunan terhadap pembiayaan yang diterima, harus memiliki segi ekonomis yaitu marketble, serta segi yuridis yaitu agunan tersebut memenuhi syarat-syarat yuridis untuk digunakan sebagai agunan.


(4)

yang dipengaruhi oleh situasi sosial dan ekonomi.45

Terkait dengan analisis “five C’s” dan masalah yang dihadapi di PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali tentang agunan, sudah seharusnya PT. BPRS Fajar Sejahtera Bali berpatokan pada Pasal 23 ayat (2) UU Perbakan syariah, khususnya paragraf keempat tentang penilaian agunan, bahwa dapat disimpulkan menjadi dua jenis agunan pembiayaan yaitu :

a. Agunan berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan fasilitas pembiayaan yang bersangkutan. Dalam perbankan, agunan yang berasal dari pembiayaan disebut “agunan pokok”.

b. Agunan berupa barang lain, surat berharga, atau garansi risiko yang tidak bersumber dari pembiayaan, agunan yang tidak berseumber dari pembiayaan disebut juga dengan “agunan tambahan”.

Agunan yang dijaminkan haruslah bersifat marketble (mudah dijual) dan harus diikat secara sempurna sesuai jenis agunannya. Misal jika agunan berupa aktiva tetap yaitu tanah dan bangunan yang telah bersertifikat misalnya, diikat dengan Hak Tanggungan (HT), dan barang bergerak dapat dilakukan pengikatan secara fidusia atau gadai, tergantung dari barang agunan yang digunakan.

Di samping itu, dalam pelaksanaan prinsip syariah oleh bank syariah, juga harus dilakukan pengawasan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS), sebagaimana diamanatkan dalam pasal 35 PBI (Peraturan Bank Indonesia) yaitu :

45 Trisadini P. Usanti dan Abd. Shomad, Transaksi Bank Syariah, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2013), Cet.


(5)

a. DPS bertugas dan bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah.

b. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS meliputi :

1) Menilai dan memastikan pemenuhan prinsip syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan bank. 2) Mengawasi proses pengembangan produk baru bank.

3) Meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional untuk produk baru bank yang belum ada fatwanya.

4) Melakukan review secara berkala atas pemenuhan prinsip syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank.

5) Meminta data dan informasi terkait aspek syariah dari satuan kerja bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya

Upaya preventif lain yang dapat dilakukan oleh pihak bank yang disini oleh PT. BPRS Fajar Sejahtera yaitu setelah permohonan untuk pembiayaan disetujui oleh bank syariah, antara lain :

a. Akad pembiayaan harus dibuat secara baik sehingga menjamin kepentingan bank dan nasabah.

b. Akad pembiayaan memuat klausul adanya jaminan pembiayaan.

c. Jaminan pembiayaan bersifat kebendaan dan/atau bersifat perorangan.

d. Jaminan kebendaan harus diikat secara sempurna sesuai dengan jenis jaminan.


(6)

e. Jaminan mudah dicairkan atau mudah dijual (marketble)

f. Nila jaminan dapat menjamin (mencukupi) seluruh kewajiban nasabah penerima fasilitas pembiayaan murabahah kepada bank.

g. Pemantauan atau pengawasan terhadap penggunaan fasilitas pembiayaan yang telah diberikan apakah terjadi penyimpangan (side streaming) dari rencana semula.