Peran pimpinan pusat Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Jajang Kurnia
NIM: 105032201069
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H. /2011 M
(2)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Iknu Sosial dan Politik
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Jaians
Kurnia
10s0322010969
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI
FAIilLTAS
ILMU
SOSIAL
DAN
ILMU
POLMIK
UFIVERSITAS ISLAM
I\TEGERISYARIF
IIII}AYATTILLAH
JAKARTA
t432 rI/2011
M
Di
Bawah Bimbingan(3)
PEMBERDAYAAN
POLITIK
PEREMPUAN, telah diujikan dalam sidang munaqasyah FakultasIlmu Sosial
dan Ihnu Politik UIN Syarif HidayatullahJakartapada2l Juni 2011. Skripsi
ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sosial (S.Sos) pada Program Studi Sosiologi.Jakafta,
2I Jwi201l
Sidang Munaqasyah,Ketua Merangkap Anggota, S ekretaris Merangkap Anggota,
t
Dr. Zulkifly
NIP: 1966081 3 199103 1 004
Penguji I
{a^*+
vDzuriyatun Toyibah. S.Ag. M.Si
NIP: 1 97608032003 122003
Anggota,
Penguji II
ffi:.fu,
u1"-'
t
Iim Halimatusa'diyah. MA NIP; 1 981 01,122011 012009Dosen Pembimbing
161991032002
(4)
B i s mil I ahir r ahm annirc ahim
Saya yang bertandatangan di bawah ini: Jajang Kumia
10503201069 Sosiologi Sosiologi
Ilmu Sosial dan Ihnu Politik Nama
NIM
Program Studi Jurusan
Fakultas
Dengan ini menyatakan bahwa:
1.
Skripsiini
merupakan hasil karyaffiya
yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Strata Satu(Sl)
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.2.
Semua sumber dalam tulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karyaini bukan karya
asli saya atau merupakanjiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi berdasmkan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
(5)
Jajang Kurnia
Peran Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam Pemberdayaan Politik Perempuan
Program pembangunan yang selama ini dijalankan oleh pemerintah belum secara merata dinikmati oleh masyarakat. Salah satunya adalah kaum perempuan yang belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan saat ini. Hal ini dikarenakan partisipasi perempuan dalam pengambilan kebijakan masih cukup rendah. Maka dari itu peningkatan partisipasi perempuan dalam politik merupakan salah satu strategi yang cukup strategis agar kaum perempuan dapat terlibat lebih jauh dalam pengambilan kebijakan agar lahirnya kebijakan-kebijakan yang memiliki sense of gender.
Peningkatan partisipasi perempuan dalam politik bukan hal yang mudah. Semenjak pemilu pertama kali diselenggarakan di era reformasi, ternyata partisipasi perempuan dalam parlemen (baca: DPR RI) masih rendah dari harapan yakni 30 persen. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua khusunya kaum perempuan. Maka dari itu perlunya peran organisasi perempuan sebagai kekuatan dari kaumnya sendiri untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Salah satu peranan yang bisa dilakukan oleh organisasi perempuan adalah dengan melakukan pemberdayaan politik kepada kaum perempuan.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pandangan ‘Aisyiyah terhadap peran politik perempuan dan kegiatan pemberdayaan politik perempuan yang diselenggarakan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah di era reformasi. Melalui metode observasi wawancara dan studi dokumentasi terhadap Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah diketahui bahwa Organisasi ‘Aisyiyah sangat terbuka terhadap peran politik perempuan. ‘Aisyiyah berpandangan bahwa tidak ada larangan dalam Islam dan budaya masyarakat Indonesia bagi perempuan untuk berperan di ruang publik, baik untuk menjadi anggota dewan, kepala negara bahkan kepala negara sekalipun. Pengertian politik dalam pandangan ‘Aisyiyah memiliki cakupan yang luas, partisipasi perempuan dalam politik tidak hanya dalam lembaga politik formal, seperti DPR RI. Partisipasi perempuan dalam kegiatan rapat-rapat di tingkat desa/kelurahan juga merupakan bagian dari politik, karena kegiatan tersebut berkaitan dengan pengambilan keputusan untuk masyarakat.
Secara organisasi ‘Aisyiyah tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis,
hal ini untuk menjaga kemurnian gerakan ‘Aisyiyah sebagai organisasi
masyarakat yang mana ‘Aisyiyah merupakan organisasi otonom khusus
Muhammadiyah dengan kegiatannya di bidang sosial, ekonomi, dan pendidikan.
Kegiatan ‘Aisyiyah di bidang politik dalam rangka merespon isu-isu sosial dan politik saat itu. Misalnya sistem demokrasi langsung dan kuota 30 persen perempuan dalam parlemen dan partai politik tidak disia-siakan oleh Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah untuk mengeluarkan kebijakan program pemberdayaan politik perempuan, memberikan pendidikan politik kepada kaum perempuan. Program tersebut termaktub dalam kegiatan-kegiatan diantaranya melalui seminar,
workshop, pengajian, kajian-kajian, penerbitan buku pendidikan politik, pelatihan
(6)
ii
Puji syukur penulis haturkan kehadirat illahi rabbi, Allah swt yang telah memberikan ar-rahman dan ar-rahim kepada hamba-hambaNya. Teriring shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul Allah yang telah membawa kita semua dari zaman jahiliyah ke zaman yang terang benderang saat ini. Akhirnya, telah sampai sudah detik-detik perjuangan ini untuk menuju ke gerbang ilmu pengetahuan yang selanjutnya. Dengan penuh suka cita dan peluh kesah akhirnya penulisan skripsi ini telah terselesaikan dengan sebaik-sebaiknya dan dengan perjuanga semaksimal mungkin. Ini merupakan “kecelakaan” terbesar dalam dunia akademisi penulis sehingga harus ke luar kota untuk penelitian skripsi.
Enam tahun sudah berjuang di kampus dalam ranah akademisi dan pergerakan, hingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Kini semuanya itu menjadi bekal pengalaman bagi penulis demi mencapai masa depan untuk kehidupan yang lebih baik. Terhitung oleh penulis sejak pertama mengajukan proposal hingga selesai sekarang ini yang sedang pembaca pegang, sekitar enam bulan karya ilmiah disusun. Penulis menyadari tanpa ada bantuan moril dan materil serta sumbangsih pemikiran, skripsi ini tidak akan pernah ada dalam genggaman pembaca sekalian. Melalui kata pengantar ini penulis sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang telah memberikan sumbangsih kepada penulis hingga sampai hingga mengantarkan penulis menjadi seorang sarjana.
(7)
iii
1. Keluargaku tercinta; Mama, Bapak, Kakak dan Adik-adikku tercinta
terima kasih atas do’a dan pengertian kalian sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi ini. Moril dan materil yang telah kalian berikan tidak akan pernah penulis lupakan hingga akhir hayat.
2. Segenap seluruh jajaran karyawan dan dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat atas torehan sejarah yang kalian ukir di hati nubari penulis sewaktu masih menimba ilmu di sana. Tanpa mengurangi rasa syukur penulis karena tidak menyebut satu persatu nama bapak, ibu, mas, mba sekalian. Sumbangsih ilmu dan materil yang telah kalian berikan kepada penulis cukup besar dan tak ternilai.
3. Segenap jajaran karyawan dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik atas torehan sejarah baru dalam keluarga akademis yang kalian berikan kepada penulis diakhir-akhir perjuangan meraih gelar akademisnya.
4. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku dosen mata kuliah dan pembimbing dalam penyusunan skripsi ini. Rasa terimakasih sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada bapak karena telah bersedia menjadi pembimbing penulis. Semoga Allah SWT membalas kebaikan bapak dengan cara dan dalam bentuk yang lebih baik.
5. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Walaupun penulis belum pernah secara langsung
(8)
iv
di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik serta bagian dari civil society dalam mengawal bayi demokrasi di Republik ini melalui pemikiran-pemikiran bapak.
6. The Second Family of Writer, kawan-kawan Ikatan Mahasiswa
Muhammadiyah Cabang Ciputat. Ayu, Zaki, Ipin, Indra, Hasbi,
Tarsih, Rijal, Kang Cecep, Kanda Fadhly, Kang Edi, Kang Ma’ruf,
Kang Endi, terima kasih atas kebersamaanya karena kalian telah menjadi keluarga kedua selama penulis menimba ilmu.
7. Kawan tiga serangkaiku di IMM Cabang Ciputat, kampus, serta kehidupan luar. Toto, Amir terima kasih kebersamaan dan pertolongan yang telah kalian berikan selama ini dan akan datang. Mari kita mengejar mimpi-mimpi indah dan menjadikannya kenyataan.
8. Adik-adikku tercinta di Ikatan Mahasiswa Cabang Ciputat. Yasin, Beni, Iqbal, Welly, Fauzi, Fadhly, Beni, Zuhri, Adik, Fuji, Fahmi, Syifa, Ukhti dll Ucapan terima kasih mendalam penulis sampaikan, karena telah menemani penulis dalam mengaktualisasikan diri di bidang politik. Mari kita jemput perubahan Hidup Progressive..! 9. Kawan-kawanku di kelas; Sahroji “Gho-Jiel”, Hasan “Kiv-Lie”,
Ade, Alfan, Syukri “Iwes”, Rosidi ”Erros”, Sri, Ariel, Naldi
“Jambronk”, Ibu Eva, Nenk serta teman lainnya yang tidak bisa
(9)
v
10.Segenap pengurus dan staf kantor Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, terima kasih atas kerja sama yang telah terjalin selama penulis melakukan penelitian untuk skripsi ini. Terima kasih banyak kepada Mba’ Emy yang telah membuka jaringan kepada penulis dalam mempertemukan pihak-pihak yang terkait. Ibu Dra. Hj. Siti Noordjannah Djohantini, MM, M.Si selaku Ketua Umum Pimpinan
Pusat ‘Aisyiyah, Ibu Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag dan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, terima kasih telah besedia diwawancarai. Ucapan kalian adalah sumber-sumber ilmiah dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih kasih Mba Tami, selaku staff kantor telah menerima dan melayani penulis dengan baik dalam mencari sumber-sumber dan informasi penelitian.
11.Segenap pengurus Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhamadiyah (IPM) Yogyakarta. Bantuan kalian sangat fundamental saat penulis melakukan penelitian skripsi. Terima kasih Mas Juan, Indra, Widia, Kang Ajron, dan teman-teman IPM lainnya yang tidak bisa penulis sebut satu persatu namun tidak akan mengurangi rasa syukur dan terima kasih atas tumpangan gratis, sekaligus fasilitas-fasilitasnya (kopi, air minum, mandi, listrik dsb) yang telah kalian berikan selama seminggu lebih berada di Yogyakarta.
12.Kepada kawanku Lia terima kasih telah meminjamkan si Pinky sehingga membantu mobilitas penulis selama di Yogyakarta. Mas
(10)
vi
penulis selama di Yogyakarta.
13.Terakhir, penulis ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Laela Fadhilah. Kamu adalah wanita satu-satunya yang pernah menjadi bagian hidup penulis selama menimba ilmu di kampus kita tercinta ini, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga kau hidup bahagia bersama suamimu, karena dia adalah orang terbaik yang telah dipilih oleh Allah SWT untuk menemanimu hingga akhir hayat nanti. Amin
Demikian kata pengantar ini sampaikan sebagai bentuk apresiatif kepada pihak-pihak baik intansi maupun individu-individu yang menjadi bagian terpenting dan terindah selama menimba ilmu.
Yogyakarta, 07 April 2011
Penulis,
Jajang Kurnia 105032201069
(11)
ABSTRAK i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1
B. Tinjauan Pustaka 5
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 7
D. Tujuan Penulisan 8
E. Manfaat Penulisan 8
F. Metode Penelitian 9
1.Waktu dan Tempat 9
2.Tekhnik Pengumpulan Data 9
3.Analisis Data 9
G. Sistematika Penulisan 10
BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Pemberdayaan 12
B. Program dan Strategi Pemberdayaan 13
C. Pengertian Politik 17
D. Politik Perempuan di Indonesia 18
E. Gerakan Gender dan Feminisme di Indonesia 26
BAB III ‘AISYIYAH DAN PEMBERDAYAAN POLITIK PEREMPUAN A. Mengenal Sejarah ‘Aisyiyah dan Perkembangannya 29
1. Kelahiran ‘Aisyiyah 31
2. Perkembangan Struktur Organisasi ‘Aisyiyah 32
(12)
Politik Perempuan 49
1. Strategi-strategi Pemberdayaan 49
2. Program-program Pemberdayaan 54
D. Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pemberdayaan Politik Perempuan 66
1. Faktor-faktor Pendukung 66
2. Faktor-faktor Penghambat 67
BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 69
B. Rekomendasi 71
DAFTAR PUSTAKA 74
(13)
1
A. Latar Belakang Masalah
Sejak reformasi bergulir pada tahun 1998, Indonesia telah tiga kali menyelenggarakan PEMILU (Pemilihan Umum), namun presentase keterwakilan perempuan di lembaga legislatif (DPR RI) masih berbanding jauh dengan laki-laki. Pada Pemilu 1999 keterwakilan perempuan di parlemen semakin menurun dibandingkan era orde baru. Padahal Pemilu 1999 merupakan penyelenggaraan pemilu pertama di iklim yang lebih demokratis. Representasi perempuan di DPR RI hanya mencapai angka 9% saja.
Efek domino dari fakta-fakta di atas berdampak pada pengabaian kepentingan perempuan karena kurang diikutsertakannya perempuan dalam berbagai perumusan legislasi. Hal yang paling nampak dikeluarkannya berbagai produk hukum yang kurang ramah terhadap kaum perempuan. Saat ini muncul perda-perda yang sarat bermuatan politik pencitraan dan mengkonstruksikan seksualitas perempuan. Salah satu bentuk domestifikasi perempuan adalah larangan untuk keluar malam karena adanya anggapan bahwa perempuan yang keluar malam bukan perempuan yang baik-baik dan berpotensi melakukan perbuatan maksiat. Faktanya belum tentu benar karena di masyarakat Indonesia perempuan-perempuan dari kalangan keluarga miskin biasanya harus berada di
(14)
jalan dan tempat umum untuk beraktifitas di sektor ekonomi informal di malam hari.1
Perjuangan di ranah grass root, gerakan sosial kemasyarakatan belum cukup kuat dalam mendesak pemerintah selaku pihak yang berkuasa. Dalam memperjuangkan kesetaraan dan melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasaan baik dalam keluarga (domestik) maupun pada saat mereka bekerja (publik), harus pula dibarengi secara bersama-sama dalam pergerakannya baik melaui jalur politik maupun gerakan akar rumput.
UU RI No 10 tahun 2008 tentang Partai Politik pasal 2 ayat 5 dan UU RI No 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPRD-DPD-DPR RI pasal 53 yang memperjuangkan kuota perempuan dalam parlemen belum memperoleh hasil yang maksimal. Padahal peningkatan partisipasi perempuan dalam parlemen merupakan salah satu strategi yang strategis bagi perempuan dalam melahirkan kebijakan atau peraturan-peraturan yang ramah terhadap perempuan.2
Menurut Sucipto (2005) permasalahan mengenai peningkatan partisipasi perempuan dalam politik bukan pekerjaan rumah partai politik saja tapi diperlukan pula peran serta civil society, kalangan akademis dan masyarakat umum. Peranan organisasi perempuan sangat diperlukan dalam memberikan pendidikan politik kepada pemilih perempuan agar mereka dapat memilih secara dewasa dan independen. Selain itu, organisasi perempuan sangat diperlukan untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan perempuan dan politik. Hal itu bertujuan selain memperoleh dukungan juga memberikan
1
Lisa Wulansari, ed, Buku Referensi Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap
Perempuan di Lingkungan Peradilan Umum, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2009), h. 53
2
(15)
pengetahuan dan wawasan kepada masyarakat agar mereka menjadi lebih cerdas dalam memilih. Selain itu, hal yang tidak kalah pentingnya peran civil society turut pula meningkatkan kemampuan mencari dana untuk mendukung kegiatan kampanye. Kandidat perempuan biasanya tidak memiliki dana yang cukup, dan ia tidak mungkin mengharapkan kocek suaminya, sedangkan kendaraan politiknya sendiri enggan mengalokasikan dana untuk kampanye caleg perempuannya.
Perempuan harus memiliki peranan aktif menjadi agen dalam pembangunan, mengingat kuantitas perempuan saat ini lebih banyak dari pada laki-laki. Agar perempuan memiliki peranan penting dalam pembangunan, tentu saja diperlukan pemberdayaan terhadap perempuan oleh kaum perempuan itu sendiri. Melalui pemberdayaan perempuan diharapkan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan kepada mereka sehingga tidak lagi terdiskriminasi oleh pembangunan.
Peranan organisasi perempuan sebagai sebuah kekuatan dari kaumnya sendiri untuk melakukan gerakan sosial, salah satunya melalui pemberdayaan. Analisa ini sejalan dengan pendapat Kindervatter, ia memandang bahwa pemberdayaan merupakan proses pemberian kekuatan atau daya dalam bentuk pendidikan yang bertujuan bangkitnya kesadaran, pengertian, dan kepekaan warga belajar terhadap perkembangan sosial, ekonomi, dan politik.3 Salah satu tujuan pemberdayaaan politik perempuan diharapkan terjadinya peningkatan partisipasi perempuan dalam politik, sehingga tidak ada lagi kebijakan-kebijakan pembagunan yang tidak mengindahkan kepentingan perempuan.
3
(16)
Sebagai sebuah organisasi perempuan yang telah berkiprah cukup lama, dalam usianya yang berdiri hampir bersamaan dengan organ induknya. ‘Aisyiyah memiliki nilai lebih sebagai sebuah organisasi yang lahir sebelum Indonesia merdeka. ‘Aisyiyah yang dilahirkan dari rahim Muhammadiyah bertujuan untuk memajukan kaum perempuan sesuai dengan tuntutan dan ajaran Islam. Sejak berdirinya Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan membina kaum perempuan dengan membentuk kelompok pengajian khusus perempuan di bawah bimbingan
beliau dan istrinya Nyai Walidah dengan nama “Sopo Tresno”.4 Selain itu KH. Ahmad Dahlan menggerakkan dan mengadakan kursus-kursus, pengajian khusus puteri dan turut membantu mendirikan sekolah puteri.5
Dalam usianya yang menginjak hampir satu abad, ‘Aisyiyah tentu telah memiliki peranan yang cukup signifikan dalam memberdayakan perempuan di tanah air. Organisasi ‘Aisyiyah telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah (setingkat provinsi), 370 Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah (setingkat kabupaten), 2332 Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah (setingkat kecamatan) dan 6924 Pimpinan Ranting
‘Aisyiyah (setingkat kelurahan). Muhammadiyah sebagai organisasi induk dari
‘Aisyiyah terkenal dengan amal usahanya, sekolah-sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah tersebar hampir di seluruh propinsi di Indonesia. Seperti halnya
Muhammadiyah, tidak sedikit amal usaha yang dimiliki ‘Aisyiyah. Berdasarkan data yang dihimpun dari Website Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, amal usaha organisasi ini di bidang pendidikan saja telah berjumlah 4560 yang terdiri dari
4
Mahasri Shobahiya dkk, Studi kemuhammadiyahan, 7th ed. (Surakarta: LPID-UMS, 2008), h. 118
5
Sukanti Suryochondro, Potret Pergerakan Wanita di Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), h. 78
(17)
Kelompok Bermain, Pendidikan Anak Usia Dini, Taman Kanak-Kanak, Tempat Penitipan Anak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan lain-lain.6
Selain di bidang pendidikan, sosial dan ekonomi, lantas bagaimana dengan gerakan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah di bidang politik pada era reformasi? Berdasarkan analisa dan data-data sederhana yang telah dipaparkan di atas menjadi sebuah ketertarikan bagi penulis untuk menganalisa lebih lanjut dan menjadi karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “PERAN PIMPINAN
PUSAT „AISYIYAH DALAM PEMBERDAYAAN POLITIK
PEREMPUAN”.
B. Tinjauan Pustaka (Literature Review)
Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, penulis menemukan beberapa karya ilmiah sebelumnya dalam bentuk tesis dan skripsi dengan tema yang berkaitan dengan perempuan, pemberdayaan dan politik. Dari beberapa karya ilmiah tersebut penulis hanya mengambil dua tesis sebagai literature review dalam penyusunan skripsi ini. Adapun karya ilmiah tersebut, pertama tesis Rita Pranawati yang berjudul THE IDEA OF FEMALE LEADERSHIP AMONG
MUHAMMADIYAH ELITE MEMBERS AFTER THE 45TH NATIONAL
CONFERENCE (2005). Pada tesis ini, Pranawati menjelaskan bahwa Organisasi
Muhammadiyah cukup responsif terhadap kemajuan perempuan dan penerimaan keberadaan perempuan untuk menjadi pemimpin dalam kultur Muhammadiyah. Hasil penelitiannya yang memaparkan, tidak sedikit perempuan yang menduduki posisi penting di Pimpinan Muhammadiyah baik di tingkatan majelis maupun lembaga.
6
(18)
Kedua, tesis Siti Syamsiyatun dengan judul MUSLIM WOMEN’S POLITICS IN ADVANCING THEIR GENDER INTERESTS: A Case-Study of
Nasyiatul ‘Aisyiyah in Indonesian New Order Era. Karya Syamsiyatun ini
menjelaskan mengenai strategi perjuangan organisasi Nasiyatul ‘Aisyiyah bagi
kemajuan perempuan di tanah air agar tidak terdiskriminasi dalam pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah orde baru. Adapun program-program
pemberdayaan perempuan yang dijalankan oleh Nasiyatul ‘Aisyiyah antara lain
pelatihan muballighat, kewirausahaan, keluarga sakinah, politik/pendidikan pemilih.
Selain dua tesis tersebut di atas, dalam penyusunan skripsi ini juga mengambil dua skripsi sebelumnya sebagai bahan literature review, sebagai bahan pertimbangan skripsi tersebut mengambil studi kasus yang sama yakni,
Organisasi ‘Aisyiyah. Skripsi pertama berjudul Peran Organisasi ‘Aisyiyah dalam
Perubahan Sosial (Studi Kasus: ‘Aisyiyah Kelurahan Petir, Kecamatan Cipondoh,
Tanggerang), karya Kiki Zakiyah (2006) dan skripsi kedua berjudul Manajemen Pendidikan dan Latihan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam Pemberdayaan Kaum
Perempuan di Jakarta, karya Siti Lastariyah (2007).
Pada tesis pertama pembahasan terbatas pada penjelasan kepemimpinan perempuan dalam kultur Muhammadiyah dan tesis kedua mengenai strategi
Nasiyatul ‘Aisyiyah dalam pemberdayaan perempuan pada era orde baru dan
belum menyentuh pada pembahasan mengenai pemberdayaan politik perempuan lebih dalam. Pada pembahasan skripsi pertama terbatas pada aspek-aspek respon masyarakat dalam mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh
(19)
Sedangkan skripsi kedua terbatas pada metode-metode yang digunakan oleh
Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam kegiatan pemberdayaan kaum perempuan di
Jakarta.
Demikian pembahasan dari keempat karya ilmiah tersebut belum membahas masalah yang berkaitan dengan pemberdayaan politik perempuan pada era reformasi. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk meneliti lebih lanjut
tentang peran Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan selama 10 tahun terakhir ini, yang tertuang dalam judul “Peran Pimpinan Pusat
‘Aisyiyah dalam Pemberdayaan Politik Perempuan”
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian dan penulisan skripsi terbatas pada menganalisa kegiatan dan strategi Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah yang berkaitan dengan pemberdayaan politik perempuan di era reformasi, sepanjang tahun
2000-2010. Pengurus atau anggota Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menjadi objek dalam
penelitian ini sebagai narasumber untuk menggali informasi yang diperlukan. Mengingat luasnya cakupan studi kasus yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini yakni Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah maka perumusan permasalahan dalam penyusunan skripsi ini terbatas pada pertanyaan berikut ini: 1. Bagaimana pandangan Organisasi ‘Aisyiyah terhadap peran politik
perempuan?
2. Bagaimana kegiatan dan strategi Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam pemberdayaan kaum perempuan di bidang politik pada era reformasi?
3. Faktor-faktor pendukung atau penghambat Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan?
(20)
D. Tujuan Penulisan
Sebagai sebuah karya ilmiah, sudah tentu adanya tujuan yang diharapkan dari penulisan skripsi ini, adapun tujuan-tujuan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pandangan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah terhadap peran politik perempuan.
2. Untuk mengetahui kegiatan dan strategi Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan di era reformasi.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat Pimpinan Pusat
‘Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan.
E. Manfaat Penulisan
Selain tujuan ada pula manfaat yang diharapkan oleh penulis dalam penyusunan karya ilmiah. Manfaat penulisan ini selain bersifat akademis, tidak bisa penulis pungkiri ada pula bersifat praktis. Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Karya ilmiah ini penulis harapkan dapat bermanfaat untuk menambah khasanah ilmu tentang pemberdayaan politik perempuan.
2. Karya ilmiah ini sekiranya dapat memberikan informasi tentang kegiatan dan strategi ‘Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan.
3. Terakhir, manfaat praktis dari penyusunan karya ilmiah ini agar penulis mendapatkan gelar sarjana Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan gelar S.Sos.
(21)
F. Metode Penelitian
Penyusunan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif yakni penelitian yang datanya tidak diperoleh melalui prosedur kuantifikasi, perhitungan statistik atau bentuk cara-cara lainnya yang mengunakan ukuran angka-angka.7 Pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Waktu dan Tempat
Observasi atau penelitian skripsi ini dilakukan dalam kurun waktu sekitar satu minggu di Kantor Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah yang beralamat di Jl. KH. Ahmad Dahlan 32, Yogyakarta.
2. Tekhnik Pengumpulan Data
a) Wawancara. Penulis melakukan wawancara terbuka kepada pengurus
Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dan individu-individu yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan politik perempuan baik peserta maupun panitia. b)Studi Dokumen. Penulis juga melakukan studi dokumen yakni
mengobservasi dokumen-dokumen yang memiliki keterkaitan dengan sumber data penelitian skripsi ini diantaranya buku, modul, laporan pertanggungjawaban, dan sebagainya.
3. Analisis Data
Setelah data dan informasi yang dibutuhkan cukup kemudian penulis menganalisanya melalui analisa kualitatif, dalam bentuk narasi deskriftif
7 Wahyono, “Pengertian Penelitian Kualitatif”, artikel diakses pada 10 Mei 2011 dari http://penelitianstudikasus.blogspot.com/2009/03/pengertian-penelitian-kualitatif.html
(22)
tentang pandangan dan peran Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan. Laporan kegiatan baik dalam bentuk buku, makalah, draf dan sebagainya yang telah dikumpulkan kemudian penulis analisa dan mengkaitkannya dengan teori pemberdayaan. Hasil wawancara kepada pengurus dan individu-individu yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan politik perempuan, tidak terkecuali pula untuk dianalisa. Hal ini sangat penting karena melalui wawancara data yang diperoleh lebih mendalam.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penyususan bab-bab pada karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
Bab I: Pada bab ini mengenai pendahuluan seperti latar belakang permasalahan, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, analisis data, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan
Bab II: Pada bagian ini penulis mengkaji teori-teori yang dipakai dalam penyusunan karya ilmiah ini, yakni pengertian pemberdayaan, program dan strategi pemberdayaan, pengertian politik, politik perempuan di Indonesia, gerakan gender dan feminisme di Indonesia.
Bab III: Pada bab ini akan membahas hasil penelitian mengenai ‘Aisyiyah dan pemberdayaan politik perempuan yang meliputi: mengenal sejarah ‘Aisyiyah,
pandangan ‘Aisyiyah tentang politik perempuan, strategi dan kegiatan Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dalam pemberdayaan politik perempuan serta faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pemberdayaan politik perempuan.
(23)
Bab IV: Pada bab terakhir ini penulis membuat suatu kesimpulan penulisan ilmiah ini dan rekomendasi-rekomendasi yang ditujukan baik untuk objek yang diteliti maupun bagi kalangan akademis (mahasiswa dan dosen) apabila ingin menelaah lebih lanjut terhadap konsen ini.
Lampiran-lampiran
(24)
12
A. Pengertian Pemberdayaan
Istilah pemberdayaan telah berkembang dan dipopulerkan oleh Engleberg, Rappaport, dan Hess sekitar tahun 1980an sebagai suatu strategi prevensi dan intervensi masyarakat. Melalui mereka telah terjadi pergeseran dan perkembangan mengenai pemberdayaan, yang semula dikenal pada tingkat mikro-individual kearah pemberdayaan kelompok dan masyarakat1. Pemberdayaan merupakan suatu upaya untuk mengenal, memahami kebijakan dan dapat mengatur atau menguasai kehidupan, keterampilan, dan kedudukannya menjadi partisipan kritis dan efektif dalam masyarakat, termasuk mengubah kekuatan itu 2.
Dalam kaidah Bahasa Indonesia pemberdayaan berawal dari kata daya, yang artinya kemampuan melakukan sesuatu; proses, cara, sedangkan pengertian pemberdayaan adalah perbuatan memberdayakan.3 Menurut Suharto (2005) secara konseptual, pemberdayaan erat kaitannya dengan pemberkuasaan (empowerment),
berasal dari kata “power” (kekuasaan atau keberdayaan). Pengertian kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk membuat orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Adapun di bawah ini definisi-definisi pemberdayaan menurut beberapa ahli dilihat dari tujuan, proses, dan cara-cara pemberdayaan.4
1
Anwar, Manajemen Pemberdayaan Perempuan, (Bandung: Alfabeta, 2007), h. 77
2
Ibid., h. 79
3
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 3rd. (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 241
4
Edi Suharto, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Rakyat, (Bandung: PT Refika Aditama, 2005), h. 58-59
(25)
1. Pemberdayaan memiliki tujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Jim Ife).
2. Pemberdayaan adalah sebuah proses agar orang-orang menjadi kuat untuk berpartisipasi, mengontrol, dan mempengaruhi segala kejadian dan lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan memberikan keterampilan, pengetahuan, dan kekuasaan seseorang sehingga orang tersebut bisa mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Talcot Parson).
3. Pemberdayaan memiliki keterkaitan pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui perubahan struktur sosial (C. Swif dan G. Levin).
4. Pemberdayaan adalah suatu cara menyatukan dan mengarahkan rakyat, organisasi dan komunitas agar mampu menguasai atau berkuasa atas kehidupannya (J. Rappaport).
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas mengenai definisi pemberdayaan, terdapat suatu kesimpulan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses atau cara dalam bentuk serangkaian kegiatan kepada masyarakat atau kelompok lemah agar mereka mampu berkuasa atas kehidupannya.
B. Program dan Strategi Pemberdayaan
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat diperlukan program dan pengkoordinasian dalam aktivitasnya agar tujuan dari pemberdayaan itu sendiri tepat sasaran dan sesuai harapan masyarakat atau individu yang diberdayakan maupun pelaksana kegiatan pemberdayaan tersebut. Pemberdayaan merupakan bagian suatu kegiatan sosial tidak terkecuali pemberdayaan politik perempuan, maka penetapan sebuah program sangat diperlukan melalui perencanaan program.
(26)
Di bawah ini terdapat empat model perencanaan program yang biasa dipakai dalam pelayanan kesejahteraan sosial5:
1. Model Rasional Komprehensif
Model perencanaan ini biasa digunakan oleh pemerintah sebagai pembuat keputusan dalam kebijakan pembangunan. Model perencanaan ini lebih menekankan pada aspek-aspek metodologis yang berdasarkan fakta-fakta, teori-teori dan nilai-nilai yang dianggap relevan. Pada model ini terlebih dahulu permasalahan diagnosis kemudian dibuat perencanaan program yang komprehensif kemudian diuji efektivitasnya agar ditemukan jalan keluar permasalahan untuk mencapai tujuan yang paling sempurna. Sesuai namanya, model ini bersifat komprehensif terkadang program yang diusulkan tidak tepat dan kongkrit pada permasalahan di lapangan.
2. Model Inkremental
Model inkremental atau penambahan lahir sebagai jawaban atas kekurangan pada model rasional komprehensif. Pada model ini perubahan tidak tidak dilakukan secara radikal atau komprehensif, namun melakukan perubahan-perubahan kecil saja, sekedar menambahkan pada aspek-aspek program yang sudah ada. Model ini sejatinya tidak secara langsung membuat program secara menyeluruh pada masyarakat yang akan diberdayakan dan tidak perlu menentukan tujuan-tujuan.
3. Model Pengamatan Terpadu
Model yang dikembangkan oleh Amitai Etzioni ini merupakan perpaduan dari model pertama dan kedua yakni melakukan penjajakan alternatif-alternatif
5
(27)
utama pada keputusan fundamental kemudian dihubungkan pada tujuan. Keputusan-keputusan inkremental atau tambahan dibuat dalam konteks yang ditentukan oleh keputusan-keputusan fundamental.
4. Model Transaksi
Model terakhir ini merupakan model yang paling efektif dalam kegiatan pemberdayaan. Perencanaan program melibatkan proses interaksi antara
stakeholder dengan masyarakat atau individu-individu yang akan diberdayakaan.
Komunikasi yang bersifat pribadi baik lisan maupun tulisan dan terus-menerus dapat menemukan permasalahan yang kongkrit, sehingga program pemberdayaan tepat sasaran sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh pihak penerima pelayanan.
Setelah model perencanan program ditentukan, tahapan selanjutnya adalah proses perencanaan program. Terdapat lima tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan perencanaan program yakni (1) identifikasi masalah, ini erat kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat atau individu yang akan diberdayakan karena setelah permasalahan teridentifikasi maka akan direspon pada suatu program, (2) penentuan tujuan, harapan yang akan dicapai dalam kegiatan pemberdayaan perlu dibuat agar sejalan dengan program-program yang akan dilaksanakan, (3) penyusunan dan pengembangan program, membuat rencana program yang sistematis dengan menyertakan tujuan-tujuan yang akan dicapai baik tujuan khusus maupun umum. Kegiatan ini perlu mempertimbangkan identifikasi program alternatif dan hasil yang akan dicapainya, penentuan biaya, dan pemilihan program-program alternatif yang telah dibuat tadi6.
6
(28)
Pada dasarnya kegiatan pemberdayaan dilakukan secara kolektifitas atau kelompok dan biasanya dilakukan oleh organisasi dengan serangkaian kegiatan seperti pelatihan keterampilan tertentu, seminar sehari atau workshop. Proses pemberdayaan dilakukan secara kelompok kepada sekelompok individu yang akan diberdayakan, namun tidak menutup kemungkinan strategi pemberdayaan dilakukan secara individual yakni satu-lawan satu antara pekerja sosial dan klien, meskipun sebenarnya hal ini tetap berkaitan dengan kolektivitas. Menurut Suharto terdapat tiga aras strategi yang dapat dilakukan dalam pelaksanaan pemberdayaan yakni:
1. Aras Mikro. Pemberdayaan melalui pendekatan secara individu melalui bimbingan, konseling dan sebagainya.
2. Aras Mezo. Pemberdayaan yang dilakukan terhadap sekelompok klien melalui pendidikan dan pelatihan.
3. Aras Makro. Pemberdayaan dengan pendekatan pada sasaran perubahan yang diarahkan pada sistem lingkungan yang lebih luas seperti perumusan kebijakan, lobbying, pengorganisasian masyarakat dan kampanye7.
Masih menurut Suharto, dalam pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan diperlukan pendekatan 5P, yaitu: (1) Pemungkinan, menciptakan kondisi dan suasana sekondusif mungkin agar potensi masyarakat berkembang secara optimal, (2) Penguatan, memperkuat pengetahuan dan potensi masyarakat agar mereka mampu memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhannya, (3) Perlindungan, melindungi masyarakat agar tidak terjadi diskriminasi antara kelompok kuat terhadap kelompok lemah sehingga terhindar dari persaingan yang
7
(29)
tidak sehat antara keduanya, (4) Penyokongan, pemberian dukungan serta bimbingan pada masyarakat yang diberdayakan agar mereka mampu bangkit dari kelemahannya dan tidak terperosok atau terpinggirkan, (5) Pemeliharaan, perlunya pemeliharaan kondisi yang kondusif di dalam masyarakat8.
Demikian pemaparan mengenai program dan strategi yang biasa dilakukan dalam kegiatan pemberdayaan agar proses dan tujuan dari kegiatan ini bisa berjalan dengan baik dan sukses. Seperti yang dikemukakan kebanyakan para ahli, kegiatan pemberdayaan merupakan sebuah proses dan tujuan sehingga dibutuhkan perencanaan yang kuat dan matang di dalam programnya.
C. Pengertian Politik
Pembahasan mengenai pengertian politik selalu disandarkan pada kata
polis yang dikembangkan oleh Filosof Aristoteles di Yunani Kuno yang berarti
kota. Aristoteles memandang politik sebagai penerapan kota terbaik. Berdasarkan
pandangan yang telah dikemukakan oleh Aristoteles mengenai “Negara-Kota”, beberapa ahli memberikan pandangan yang beragam mengenai pengertian politik, adapun di bawah ini pendapat beberapa ahli mengenai ilmu politik:9
1. Delia Noer menyatakan ilmu politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat.
2. Menurut Fleichteim, ilmu politik adalah ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari Negara sebagai organisasi kekuasaan, beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tak resmi, yang dapat mempengaruhi Negara.
8
Ibid., h. 67
9
Leo Agrustino, Perihal Ilmu Politik: Sebuah Bahasan Mengenai Ilmu Politik,
(30)
3. David Easton menyatakan ilmu politik adalah studi mengenai terbentuknya kebijakan publik.
4. Miriam Budiarjo mengatakan definisi-definisi ilmu politik berkaitan dengan pembahasan mengenai Negara, kekuasaan, pengambil keputusan, kebijakan publik, distribusi/pembagian atau alokasi nilai-nilai dalam masyarakat.
Berdasarkan pendapat beberapa para ahli di atas mengenai politik, dapat diambil kesimpulan mengenai pengertian politik yakni aktivitas yang berakaitan dengan kekuasaan, kebijakan publik, pengambil keputusan. Adapun konsep kekuasaan yang dimaksud bukan hanya kekuasaan resmi yakni negara, juga kekuasaan tak resmi yakni gerakan-gerakan sosial di masyarakat karena dapat mempengaruhi negara.
D. Politik Perempuan di Indonesia
Peran politik perempuan di Indonesia bukan merupakan hal yang baru atau asing bagi masyarakat Indonesia. Penjelasan mengenai perjalanan cakupan ruang politik perempuan di Indonesia pastilah berbeda-berbeda disetiap zamannya, hal ini tidak bisa dilepaskan dengan tantangan dan kebutuhan zamannya waktu itu. Dalam menjelaskan perihal perjalanan peran politik perempuan, penulis yang terbagi menjadi tiga zaman. Pertama, peran politik perempuan pada saat Indonesia masih bernama Nusantara dan masih terdapat kerajaaan-kerajaan.
Kedua, peran politik perempuan pada zaman penjajahan melawan kolonial.
Terakhir, peran politik perempuan pada era kemerdekaan atau saat ini.
Perjalanan kepemimpinan perempuan banyak terukir dalam sejarah kerajaan dan kesultanan di Nusantara. Menurut Firdaus, kepemimpinan perempuan tertua dimulai di Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1328, setelah Raja
(31)
Jayanegara meninggal tanpa keturunan dan anak perempuannya, Rajapatni diangkat sebagai Ratu. Pada tahun 1350 Rajapatni mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya, Hayam Wuruk. Kerajaan Majapahit kembali dipimpin oleh Ratu Suhita, namun sayang kerajaan ini menjelang runtuh sekitar tahun 1400an.10 Setelah Islam masuk dan menyebar ke Nusantara mempengaruhi munculnya kepemimpinan perempuan di Nusantara, maka pemimpin-pemimpin perempuan pun bermunculan. Adapun tahun periode kepemimpinan perempuan tersebut antara lain11:
1. Ratu Jepara, janda Sultan Prawata yang mati dibunuh oleh Adipati Jipang. Memerintah pada tahun 1546-1568.
2. Dewi Peracu atau Kuning memerintah negeri Patani Melayu pada tahun 1602.
3. Ratu Sinuhun pemegang kekuasaan Raja Palembang, hal ini dikarenakan pemerintahan suaminya, Pangeran Sindang Kayang sangat lemah.
4. Setelah suaminya meninggal, Sultan ‘Ala al- Din. Sultanah Taj al-Alam Safiyah al-Din, putri Iskandar Muda ini memerintah Aceh selama 34 tahun (1641-1675).
5. Ratu Nur al-‘Alam Safiyah al-Din memerintah Aceh selama dua tahun (1675-1677).
6. Kemudian dilanjutkan oleh Ratu Inayah Syah, memerintah Aceh (1677-1688).
10
Endis Firdaus, Imam Perempuan Dekonstruktif Perspektif Gender: Keniscayaan
Kontektualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, (Jakarta:Pustaka Ceria, 2008), h 158
11
(32)
7. Kamalat Syah, memerintah Aceh selama sebelas tahun (1688-1699), atas perintah kaum ulama berdasarkan surat fatwa Makkah, kemudian digantikan oleh Sultan Badr al- ‘Alam Syarif Hasyim Jamal al-Din.
8. Dayang Lela, menjadi Ratu Mempawa di Pantai Barat Kalimantan pada tahun 1790. Beliau adalah janda dari Panembahan Adi Jaya Kusuma.
9. Dayang Bomi, Raja Perempuan Negeri Gandis di tepi pantai Sungai Melawi, Kalimantan Barat, memerintah pada tahun 1824.
10. Aji Siti, memerintah Negeri Kota Bangun-Bangun Kutei pada tahun 1847.
Beliau merupakan janda Sultan Kutei Muhammed Motslihu’uddin.
11. Pada tahun 1870, tidak sedikit kaum perempuan memegang tampuk pemerintahan di Kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi Selatan. Ratu Daeng Pasuli memegang pemerintahan Perserikatan Aja Tamparang daerah Sawito dan daerah Alita oleh Ratu Pada. Raja Perempuan Adi Matanang memegang pemerintahan di daerah Rapang Raja dan daerah Barru dipegang oleh Raja Perempuan Siti Aisya dan kemudian diberi nama Basse Barru. I Madina Daeng Bau, Raja Perempuan di daerah Tanah Turatea dan tanah perdikan Ternate pernah pula diperintah oleh seorang perempuan bernama We Tanri Ole.
Pada masa perang melawan kolonial, perempuan-perempuan tanah air memiliki peranan yang cukup signifikan demi tercapainya kemerdekaan Indonesia. Kesadaran kaum perempuan dalam politik terbangun partisipasinya dalam berbagai bentuk diantaranya bermunculan organisasi-organisasi perempuan, baik yang kooperatif maupun non kooperatif. Melalui
(33)
organisasi-organisasi, kaum perempuan memiliki peranan penting dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa secara langsung maupun tidak langsung.
Putri Mardika muncul sebagai organisasi perempuan pertama pada tahun 1912 di Jakarta, lantas disusul Kautmaan Istri di Tasikmalaya pada tahun 1913, Wanita Susilo pada tahun 1918 di Palembang.12 Selain daripada itu organisasi-organisasi yang telah ada pun mempunyai bagian perempuan tersendiri, Muhammadiyah memiliki ‘Aisyiyah, Nahdatul Ulama memiliki Muslimat atau Fatayat, Persis didampingi Persistri-nya. Organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Islamitten Bond, Jong Ambon juga mendirikan seksi perempuan.13
Semangat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 telah menginspirasikan organisasi-organisasi perempuan untuk menyelenggarkan kongres yang diselenggarakan pertama kalinya pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Hampir tiga puluh perkumpulan perempuan mengikuti kongres ini, mengangkat isu pendidikan dan perkawinan. Sebagai gerakannya, Kongres mengajukan tiga permintaan kepada pemerintah kolonial sebagai berikut: (1) bahwa sejumlah sekolah untuk anak perempuan harus ditingkatkan, (2) penjelasan resmi arti taklik diberikan kepada calon mempelai perempuan pada saat akad nikah, (3) peraturan yang menolong para janda dan anak yatim piatu dari pegawai sipil harus diangkat.14
Pada Kongres kedua, Nyonya Emma Puradireja dari Bandung dan Nona Sri Umiati dari Cirebon dan beberapa perempuan lainnya memperjuangkan hak
12
Ibid., h. 234
13
Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian.
Penerjemah Elvira Rosa dkk, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), h. 134
14
(34)
perempuan dalam politik dan menghasilkan “passiefkiesrecht”. Walhasil terjadi perubahan paradigma perempuan tidak pantas berpolitik, komisi Visman dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1941 untuk menyelidiki keinginan bangsa Indonesia merubah ketatanegaraan, dan masih dalam kesempatan tersebut, Nyonya Sunaryo menuntut Indonesia berparlemen dan Nyonya Sri Mangunsarkoro menuntut Indonesia Merdeka.15 Ibu Soewarni Djojosepoetra pimpinan asosiasi perempuan, Istri Sedar (1930) dalam pertemuannya di Bandung (1932) menegaskan bahwa setiap perempuan perlu aktif dalam kegiatan politik dengan salah satu kegiatannya meningkatkan perempuan, terutama untuk rakyat.16
Setelah Belanda menyerah kepada Jepang tanpa syarat pada tahun 1942, tongkat kolonialisasi diserahkan kepada Jepang. Walaupun menjajah dalam waktu singkat sekitar tiga tahun, namun waktu itu dirasakan cukup lama oleh masyarakat Indonesia, tidak terkecuali pergerakan perempuan di tanah air. Semua organisasi pergerakan Indonesia dibubarkan, kemudian Jepang membentuk organisasi baru yang dapat membantu tercapainya kemenangan Jepang melawan sekutu.17 Organisasi-organisasi wanita melebur menjadi satu ke dalam organisasi wanita yang dibuat oleh Jepang yakni Gerakan Istri Tiga A, Barisan Pekerja Perempuan Putera, Jawa Hokokai Fujinkai. Organisasi-organisasi wanita pada masa pendudukan Jepang tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian-bagian dari organisasi umum tadi.18 Selain berdampak negatif karena ruang gerak organisasi perempuan dibatasi misalnya tidak mendapat kedudukan wanita dalam hukum
15
Endis Firdaus, Imam Perempuan, h. 235
16
Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara: Pemikiran Tentang Kajian Perempuan, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 106
17
A. Adaby Darban (ed), ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia:
Sebuah Tinjauan Awal, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010), h. 95
18
(35)
perkawinan dan hak untuk memilih tidak lagi terdengar.19 Adapula dampak positif diantaranya para perempuan dilatih militer dan Palang Merah. Harapan Jepang mengambil kekuatan para pimpinan nasional Indonesia untuk kepentingan kekuasaannya, sebaliknya pimpinan nasional memanfaatkan sarana Jepang untuk menyambut kemerdekaan Indonesia. seperti yang dilakukan oleh Ny. Sunaryo Mangunpuspito yang pada waktu itu dipercayai Jepang untuk memimpin organisasi Fujinkai. Membuat maklumat pembubaran dan diganti dengan Persatuan Wanita Indonesia dan bergerak ke kabupaten-kabupaten dan kota-kota.20
Lantas bagaimana perjalanan peran politik perempuan di Indonesia pada masa kemerdekaan? 17 Agustus 1945 merupakan tonggak awal perjuangan bangsa Indonesia. Pada fase awal kemerdekaan ini perjuangan melawan penjajah masih bergejolak karena mereka belum menerima kemerdekaan Indonesia. lagi-lagi kaum perempuan tidak berpangku tangan, mereka juga terlibat dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali ‘Aisyiyah .
"Seperti ‘Aisyiyah misalnya, secara formal tidak melakukan kegiatan organisasi namun kegiatan dakwah, sosial, dan pendidikan tetap
dilakukan sesuai perkembangan situasi. Kegaiatan ‘Aisyiyah di daerah -daerah tidak dikoordinasi dari pusat, tetapi tiap-tiap -daerah dianjurkan agar menyelenggarakan kegiatan untuk kepentingan perjuangan kemerdekaan.’’21
Kutipan di atas menggambarkan betapa gentingnya situasi saat itu sehingga gerakan Aisyiyah terfokus pada usaha mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia. ‘Aisyiyah Pusat bergerak dalam memperjuangkan kemerdekaan
dengan mengadakan latihan-latihan kemiliteran.
19
Ibid., h. 97
20
Ibid., h 101
21
(36)
Setelah perang kemerdekaan usai dan terbentuklah Republik Indonesia Serikat. Tak ada lagi Belanda, tak ada lagi Jepang, tak ada lagi musuh bersama. Laki-laki menguasai panggung politik sedangkan perempuan di posisikan pada tugas-tugas sosial.22 Pada masa ini bermunculan organisasi-organisasi perempuan yang di bidang politik diantaranya Gerakan Wanita Indonesia Sedar (1950)23 yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia, Wanita Demokrat Indonesia (1951) berafiliasi dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), dan Wanita Nasional (1953) merupakan afliasi dari Partai Indonesia Raya (PIR).24 Pengaruh Gerwani dalam
Kowani terasa begitu kuat, sehingga hal ini memiliki pengaruh terhadap ‘Aisyiyah yang juga menghimpun di dalamnya. ‘Aisyiyah yang merupakan organisasi
keagamaan dan non politis, akhirnya menjaga jarak dengan Kowani berbeda dengan Gerwani yang tujuan utama pergerakannya adalah politik.25
Pada masa kemerdekaan perkembangan peran politik perempuan di Indonesia dapat pula ditinjau berdasarkan presentase kaum perempuan dalam menduduki lembaga-lembaga politik misalnya DPR RI. Walaupun jumlah perempuan Indonesia lebih banyak yakni 101.628.816 jiwa atau 51% dari penduduk Indonesia,26 namun kesempatan perempuan untuk terpilih menjadi anggota parlemen masih berbanding jauh dengan laki-laki. Jumlah perempuan
22
Olvi Pristiana, Zulminarti, dan Chamsiah Djamal “Wanita dan Organisasi”, Toeti
Herati dan Aida Vitalaya S. Hubeis (ed), Dinamika Wanita Indonesia Seri 01:Multidimensional,
dalam A. Adaby Darban(ed), ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah
Tinjaun Awal, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010), h. 112
23
Dalam perjalanan selanjutnya Gerwis menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)
24
Olvi Pristiana, Zulminarti, dan Chamsiah Djamal “Wanita dan Organisasi”, Toeti Herati dan Aida Vitalaya S. Hubeis (ed), Dinamika Wanita Indonesia Seri 01:Multidimensional,
dalam A. Adaby Darban(ed), ‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah
Tinjaun Awal, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010), h. 112
25
A. Adaby Darban (ed), ‘Aisyiyah dan Sejarah, h. 114
26
Badan Pusat Statistik 2001 dalam Endis Firdaus, Imam Perempuan, Dekonstruksi
Perspektif Gender Menuju Kontekstualisasi Politis Ajaran Islam di Indonesia, Jakarta-Bandung,
(37)
yang terpilih dalam parlemen selalu berkisar antara 8% sampai 10% saja. Di bawah ini jumlah anggota DPR RI berdasarkan jenis kelamin sejak era orde lama sampai reformasi.27
Presentase Anggota DPR-RI Berdasarkan Jenis Kelamin
Periode Perempuan Laki-laki
1955-1960 (konstituante) 17 (63%) 272 (93,7%)
1956-1959 25 (5,1%) 488 (94,9%)
1971-1977 36 (7,8%) 460 (92,2%)
1977-1982 29 (6,3%) 460 (93,7%)
1982-1987 39 (8,5%) 460 (91,5%)
1987-1992 65 (13%) 500 (87%)
1992-1997 62 (12,5%) 500 (87, 5%)
1997-1999 54 (10,8%) 500 (89,2%)
1999-2004 40 (9%) 500 (91%)
2004-2009 61 (11,09%) 489 (88,9%)
2009-2014 101 (82,32%) 459 (17,68%)
Menjadi suatu keniscayaan bagi kaum perempuan agar dapat terlibat lebih jauh dan aktif dalam mengisi kemerdekaan dan memperoleh hasil maksimal dari pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah apabila kaum perempuan tidak dapat berpartisipasi lebih banyak dalam menentukan kebijakan. Walaupun UU
Affirmative Action yang memperjuangkan kuota perempuan sebesar 30 % dalam
parlemen belum juga memperoleh hasil yang maksimal, namun sejarah mencatat Megawati Soekarno Putri merupakan presiden perempuan pertama dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dan dalam iklim politik yang lebih demokratis.
27
(38)
E. Gerakan Gender dan Feminisme di Indonesia
Kata gender (jender) diambil dari Bahasa Inggris karena Bahasa Indonesia belum memiliki konsep gender. Sehingga menurut Mansoer Fakih akan sulit mengarahkan wacana gender atau perbedaan laki-laki dan perempuan selain jenis kelamin di Indonesia.28 Gender berbeda dengan jenis kelamin, gender merupakan konsep laki-laki dan perempuan yang terbentuk secara sosial sedangkan jenis kelamin merupakan konsep laki-laki dan perempuan yang terbentuk secara lahiriyah atau kodrati. Saparinah Sadli mencontohkan sifat lembut, sabar, berpenampilan rapi, dan senang melayani kebutuhan orang lain di lingkungan budaya kita merupakan karakteristik dari feminis atau sifat perempuan. Sejak masih kanak-kanak, seorang perempuan sudah ditanamkan sifat-sifat tersebut melalui cara berpakaian dan mainan yang dibelikan, namun si anak akan diberi peringatan apabila oleh lingkungannya tidak berperilaku feminis.29
Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang sudah ditentukan secara biologis yakni laki-laki dan perempuan. Pembagian jenis kelamin laki-laki memiliki ciri-ciri: memiliki penis, memiliki
jakala (kala menjing), dan memproduksi sperma. Sedang perempuan memiliki
ciri-ciri: memiliki rahim, memproduksi sel telur (ovum), memiliki vagina, dan memiliki alat menyusui30. Ciri-ciri tersebut akan selamanya melekat pada perbedaan laki-laki dan perempuan. Singkatnya perbedaan gender dan jenis kelamin yakni, gender terbentuk secara nurture sedangkan jenis kelamin terbentuk secara nature.
28
Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 6
29
Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 23
30
(39)
Mencermati gerakan gender dan feminisme di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perkembangan studi wanita di Negara-negara Barat, khususnya Amerika. Hal ini senada dengan Saparinah Sadli bahwa ada tiga faktor yang saling berkaitan mengenai gerakan gender atau studi wanita di Indonesia.
Pertama, perkembangan studi wanita di Barat yang berkembang dengan cepat
pada tahun 1960an. Kedua, gerakan feminis dari Barat direspon dengan munculnya organisasi-organisasi yang dipelopori dan dibentuk oleh kaum perempuan di Indonesia (adapun organisasi-organisasi yang dimaksud seperti yang sudah dibahas sebelumnya di sub D). Terakhir, terdapat fakta bahwa pada tahun 1980an, beberapa perempuan muda dan mereka adalah dosen-dosen di universitas menyelenggarakan Kongres Nasional dengan pembahasan mengenai status wanita. Selain itu, mereka juga menghadiri Kongres Perempuan di Meksiko pada tahun 1975, dimana para Feminis Barat menilai perlu menata kembali gerakan mereka karena perempuan dari Negara berkembang memiliki kebutuhan dan konsen yang berbeda dengan perempuan di Barat31.
Sosok Kartini tidak dapat dilepaskan dari sebuah keterkaitan lahirnya semangat kemajuan bagi perempuan di Indonesia. Kartini merupakan seorang perempuan Jawa dari kalangan feodal yang terpaksa harus keluar sekolah pada usia 12 tahun dan terkurung di rumahnya. Pada usia tersebut, seorang perempuan yang keluar setiap hari untuk belajar ke sekolah merupakan pelanggaran besar terhadap adat. Perempuan-perempuan ketika itu “disangkar” dan menunggu seseorang laki-laki yang akan dijodohkan kepadanya setelah itu mereka bisa
31
(40)
kembali ke dunia luar.32 Pemikiran-pemikiran Kartini mengenai pendidikan dan isu-isu lainnya mengenai perempuan tertuang dalam surat menyuratnya kepada sahabat dekatnya di Belanda yang kemudian hari dipublikasikan sehingga menjadi inspirasi bagi perempuan di Indonesia untuk mengikuti jejaknya. Semangat Kartini untuk memajukan kaum perempuan di tanah kelahirannya terinspirasi dari tulisan-tulisan seorang Feminis India, Pandita Rambai.33
Selain Kartini sebagai pelopor gerakan feminis, Dewi Sartika memiliki peranan yang tidak kalah pentingnya dalam membangkitkan kemajuan perempuan di tanah air. Sebelum gerakan feminis mengemuka dan terorganisir, Dewi Sartika telah menyuarakan diskriminasi dalam pembagian upah buruh perempuan yang lebih rendah dari laki-laki dalam pekerjaan yang sama dan pada tahun 1904 Dewi Sartika mendirikan sekolah khusus perempuan, yang kemudian hari dikenal dengan nama Kautamaan Istri34.
Kartini dan Dewi Sartika hanya sebagian kecil yang tercatat dalam sejarah sebagai sosok perempuan yang turut menginspirasi bagi gerakan feminisme di Indonesia. Ide-ide dan gerakan mereka dalam mempelopori kemajuan perempuan di tanah air memiliki peranan yang signifikan bagi generasi selanjutnya untuk membentuk organisasi agar gerakan mereka bergerak secara terorganisir dan berkelompok.
32
lihat surat Kartini yang pertama kepada Stella Zeehandelaar dalam Cora Vreede-De Stures, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Penerjemah Elvira Rosa dkk, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008) h 67.
33
Saparinah Sadli, Berbeda Tetapi Setara, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 364
34
(41)
29
POLITIK PEREMPUAN
“Urusan dapur janganlah dijadikan halangan untuk menjalankan tugas dalam menghadapi masyarakat” (KH. Ahmad Dahlan) A. Mengenal Sejarah ‘Aisyiyah dan Perkembangannya
Kelahiran organisasi ‘Aisyiyah tidak bisa dilepaskan dari peran KH
Ahmad Dahlan yang juga pendiri Muhammadiyah. Berkat keberanian dan wawasan yang dimilikinya, Kyai Dahlan mempelopori gerakan perempuan ke
ruang publik dengan mendirikan ‘Aisyiyah, suatu hal yang dianggap tabu pada masa itu. Suatu hal yang tidak berlebihan bila beliau dijuluki Sang Pencerah dan salah satu alasan pula pemerintah Republik Indonesia mengangkat KH Ahmad Dahlan sebagai Pahlawan Nasional karena kepeloporannya mendirikan
‘Aisyiyah.1 Organisasi ‘Aisyiyah telah memperlopori kebangkitan kaum perempuan Indonesia untuk mengecap pendidikan dan memiliki peran sosial.
Perkembangan ‘Aisyiyah yang semakin pesat hingga saat ini merupakan buah
perjuangan yang tak ternilai harganya dalam memajukan masyarakat dan berdakwah amal ma’ruf nahi munkar. Hal ini sebagaimana termaktub dalam
identitasnya yakni “'Aisyiyah, organisasi perempuan persyarikatan Muhammadiyah, merupakan gerakan Islam dan dakwah amar makruf nahi
1
lihat surat keputusan pemerintah mengenai ini dalam Haedar Nashir, Muhammadiyah
(42)
mungkar, yang berazaskan Islam serta bersumber pada Al Quran dan
As-sunnah”.2
Perjalanan dan tegaknya tujuan organisasi tidak bisa dilepaskan dari visi dan misi organisasi tersebut. Berdirinya ‘Aisyiyah dan perkembangannya hingga saat ini, tidak dilepaskan dari visi dan misi organisasi tersebut sehingga mampu melewati perkembangan sosial dan politik di Indonesia. Berikut di bawah ini visi
dan misi ‘Aisyiyah:3
Visi Ideal
Tegaknya agama Islam dan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Visi Pengembangan
Tercapainya usaha-usaha 'Aisyiyah yang mengarah pada penguatan dan pengembangan dakwah amar makruf nahi mungkar secara lebih berkualitas menuju masyarakat madani, yakni masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Misi
Misi 'Aisyiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program dan kegiatan meliputi:
1) Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman, meningkatkan pengamalan serta menyebarluaskan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan
2) Meningkatkan harkat dan martabat kaum wanita sesuai dengan ajaran Islam
2 Website Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, visi misi ‘Aisyiyah, diakses pada
21 April 2011 dalam http://www.aisyiyah.or.id/modules/view/31
3
(43)
3) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pengkajian terhadap ajaran Islam 4) Memperteguh iman, memperkuat dan menggembirakan ibadah, serta
mempertinggi akhlak
5) Meningkatkan semangat ibadah, jihad, zakat, infaq, shodaqoh, wakaf, hibah, serta membangun dan memelihara tempat ibadah, dan amal usaha yang lain
6) Membina AMM Puteri untuk menjadi pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerakan 'Aisyiyah
7) Meningkatkan pendidikan, mengembangkan kebudayaan, memperluas ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menggairahkan penelitian
8) Memajukan perekonomian dan kewirausahaan ke arah perbaikan hidup yang berkualitas
9) Meningkatkan dan mengembangkan kegiatan dalam bidang-bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, kesehatan, dan lingkungan hidup
10) Meningkatkan dan mengupayakan penegakan hukum, keadilan, dan kebenaran serta memupuk semangat kesatuan dan persatuan bangsa 11) Meningkatkan komunikasi, ukhuwah, kerjasama di berbagai bidang dan
kalangan masyarakat dalam dan luar negeri
12) Usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan organisasi.
1. Kelahiran ‘Aisyiyah
Awalnya ‘Aisyiyah merupakan perkumpulan pengajian yang dibidani
langsung oleh KH Ahmad Dahlan yang diberi nama Sopo Tresno (siapa suka, siapa cinta). Adapun keanggotaan Sopo Tresno merupakan perempuan-perempuan
(44)
muda dengan usia sekitar lima belas tahunan yakni Aisyah (Hilal), Busyro Isom,
Zahro Muchzin, Wadi’ah Nuh, Dalalah Hisjam, dan Badilah Zuber.4
Meminjam istilah yang dikemukakan oleh Haedar Nashir, Sopo Tresno
merupakan embrio dari ‘Aisyiyah, didirikan pada tahun 1914 M. Dalam
perkembangan selanjutnya perkumpulan yang gerakannya terbatas pada kegiatan
pengajian semata ini berganti nama menjadi ‘Aisyiyah. Pemberian nama ‘Aisyiyah sendiri berdasarkan hasil pertemuan antara KH. Mochtar, KH. Ahmad
Dahlan, Ki Bagus Hadikusuma, KH Fachrudin dan pengurus Muhammadiyah yang lain di rumah Nyai Ahmad Dahlan. Awalnya muncul nama FATIMAH untuk perkumpulan ini namun usulan tersebut tidak diterima oleh para hadirin
dalam rapat tersebut. Kemudian KH Fachrudin mengusulkan nama ‘Aisyiyah,
sesuai namanya dengan harapan agar perjuangan perkumpulan ini seperti perjuangan istri Rasulullah, Siti Aisyah yang selalu membantu berdakwah rasul.5
Secara aklamasi forum menyetujui pemberian nama ‘Aisyiyah untuk perkumpulan ini yang sebelumnya bernama Sopo Tresno, kemudian bersamaan dengan
perayaan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw nama ‘Aisyiyah diresmikan pada
tanggal 27 Rajab 1335 H atau bertepatan dengan 19 Mei 1917 M.6
2.Perkembangan Struktur Organisasi ‘Aisyiyah
Setelah nama ‘Aisyiyah diresmikan sebagai wadah perjuangan
perempuan-perempuan Muhammadiyah dalam berbakti kepada masyarakat sehingga terlaksananya Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya seperti yang
4
Junus Salam, KH Ahmad Dahlan, Amal dan Perjuangannya, (Jakarta: Al-Wasrat Publishing House, 2009), h 73
5
M. Yunan Yusuf dkk, ed, Ensiklopedia Muhammadiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2005), h 13
6
Mahasri Shobahiya dkk, Studi Kemuhammadiyahan, 7th ed, (Surakarta: LPID-UMS, 2008), h. 118
(45)
tertuang dalam AD/ART ‘Aisyiyah. Saat itu pula disusun kepengurusan ‘Aisyiyah
sebagai berikut: Siti Bariyah (Ketua), Siti Badilah (Penulis), Siti Aminah Harowi (Bendahara), Ny. H. Abdullah, Ny. Fatimah Wasol, Siti Wadingah, Siti Dalalah, Siti Dawimah, Siti Busyro (Pembantu-pembantu). Seperti yang dikutip oleh Haedar Nashir, menurut Junus Anis peran Nyai Ahmad Dahlan sejak berdirinya
‘Aisyiyah sebagai pemuka sekaligus mubhaligat ‘Aisyiyah7. Istri KH Ahmad Dahlan ini juga selalu menjadi pemegang palu persidangan dalam setiap
penyelenggaraan Kongres ‘Aisyiyah dan terakhir pada Kongres/Muktamar Muhammadiyah ke-23 tahun 1934 di Yogyakarta.8
Kalangan feminisme kontemporer menganggap kelahiran ‘Aisyiyah dari rahim Muhammadiyah tidak progresif karena masih menjadi bagian Muhammadiyah.9 Namun bila dikaitkan dengan kondisi sosial pada waktu itu yang masih menganggap perempuan tidak pantas untuk keluar rumah, walaupun untuk sekedar menimba ilmu. Hal ini kiranya merupakan suatu gerakan yang progresif, gerakan pembaharuan perempuan muslim di tanah air dalam berkiprah di ruang publik, menggerakkan masyarakat dan dirinya. Sejalan dengan pesatnya
perkembangan ‘Aisyiyah, maka status ‘Aisyiyah dalam tubuh organisasi Muhammadiyah sebagai organisasi induknya turut pula berubah mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman. Berikut di bawah ini perjalanan posisi dan
struktur organisasi ‘Aisyiyah:
7
Haedar Nashir, Muhammadiyah GerakanPembaruan, (Jakarta: Suara Muhammadiyah, 2010), h. 354
8
Ibid. , h. 355
9
(46)
‘Aisyiyah dikembangkan statusnya menjadi bagian Muhammadiyah pada
tahun 1923.10
Pada tahun 1927 ‘Aisyiyah berubah menjadi Majelis ‘Aisyiyah, hal ini
dikarenakan semakin meluas urusan-urusan pimpinan cabang-cabang serta ranting-rantingnya di seluruh Indonesia. Sejak ini pula ‘Aisyiyah telah bisa menjalankan Kongres sendiri walaupun penyelenggaraannya masih mengikuti Kongres/Muktamar Muhammadiyah.11
Sesuai dengan amanat Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1953 di
Purwokerto, ‘Aisyiyah menjadi bagian Muhammadiyah yang
berkedudukan otonom. Seperti yang tercantum dalam Anggaran Pokok
‘Aisyiyah tahun 1956 pasal 1 bahwa “‘Aisyiyah adalah bahagian istimewa Muhammadiyah yang berkedudukan otonom. ‘Aisyiyah dibentuk oleh
Muhammadiyah”. Bila dicermati betapa penting posisi dan peran
‘Aisyiyah, walaupun masih menjadi bagian Muhammadiyah.12
Pada tahun 1961 sesuai dengan Kongres ke-24 di Banjarmasin
memantapkan istilah Majelis dalam struktur organisasi ‘Aisyiyah. Pada tingkatan Pimpinan Pusat disebut Pimpinan Pusat Majelis ‘Aisyiyah.13
Posisi organisasi ‘Aisyiyah yang sebelumnya menjadi organisasi bagian
istimewa Muhammadiyah yang berkedudukan otonom, hal ini sesuai dengan keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1953. Pada
tahun 1966 status organisasi ‘Aisyiyah ditingkatan lagi menjadi Organisasi Otonom yang struktur organisasinya berjenjang dari Pusat (setingkat
10
Ibid., h. 354
11
Ibid., h. 354
12
Ibid., h. 355
13
(47)
nasional), Wilayah (setingkat propinsi), Daerah (setingkat kabupaten/kota), Cabang (setingkat kecamatan), dan Ranting (setingkat desa/kelurahan).14
Pada tahun 1968 dalam Muktamar Muhammadiyah ke-23 di Yogyakarta
status ‘Aisyiyah didewasakan menjadi Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah dan sampai saat ini. Sejak berstatus PIMPINAN PUSAT ‘Aisyiyah berkantor
di Yogyakarta dan diketuai oleh Prof. Dra. Hj.Baroroh Baried.15
Pada Muktamar Muhammadiyah tahun 2000 di Jakarta, kemudian dimantapkan lagi pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 tahun 2005 di
Malang. Posisi ‘Aisyiyah ditingkatkan lagi menjadi Organisasi Otonom
Khusus yang berarti organisasi ini diberikan keluesan dalam mengelola amal usaha tertentu seperti yang telah dikembangkan oleh Muhammadiyah.16
Demikian dinamika perjalanan perkembangan posisi dan struktur
‘Aisyiyah yang awal mulanya hanya sekedar bagian dari Muhammadiyah namun
dalam perkembangan selanjutnya organisasi ini merupakan organisasi otonom dan setelah itu menjadi organisasi otonom khusus Muhammadiyah. Sebagai organisasi yang memiliki posisi berbeda dengan organisasi otonom Muhammadiyah lainnnya seperti Nasiyatul Muhammadiyah (NA), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Ikatan Pelajar Muhammdiyah (IPM), Pemuda Muhammadiyah, dsb.
Haedar Nashir mengungkapkan bahwa keotonoman tidak lantas menghilangkan relasi-relasi struktural yang fungsional yakni saling terkait dalam
14
Ibid., h. 357
15
Mahasri Shobahiya dkk, Studi Kemuhammadiyahan, h. 119
16
(48)
menjalankan fungsinya masing-masing. Walaupun ‘Aisyiyah sebagai organisai otonom khusus, berbeda dengan organisasi otonom lainnya dalam Muhammadiyah namun harus tetap berada dalam koridor sistem Persyarikatan Muhammadiyah sebagai organisasi induknya17.
3. Kiprah dan Perjuangan ‘Aisyiyah
Pemerintah Republik Indonesia mengangkat KH Ahmad Dahlan menjadi Pahlawan Nasional merupakan hal yang tidak berlebihan. Kyai Dahlan mampu menjawab tantangan zaman dan pembaharu bagi pergerakan Islam di tanah air. Di saat masyarakat kita masih menganggap perempuan tempatnya di dapur dan bukan di luar (baca: masyarakat), dengan keberanian dan wawasan luas yang dimilikinya, Kyai Dahlan mendirikan ‘Aisyiyah yang semula merupakan kelompok pengajian putri. Kyai Dahlan mengajarkan mereka ilmu agama dan umum. Selain itu, disaat perempuan-perempuan tidak bisa keluar untuk bersekolah seperti yang dialami oleh Kartini namun Kyai Dahlan mendirikan sekolah dan asrama putri, hal ini tentu merupakan hal yang sangat langka dan
nyeleneh pada zamannya namun sangat progresif. Kartini berontak karena tidak
bisa melanjutkan sekolahnya karena tidak diijinkan untuk keluar rumah, namun Kyai Dahlan mendirikan asrama putri, jadi perempuan-perempuan tidak hanya keluar dari rumahnya namun sudah hidup di luar rumah untuk menimba ilmu.
Sejak ‘Aisyiyah didirikan oleh Kyai Dahlan sebagai pembaharuan gerakan perempuan di ruang publik, telah terbukti banyak mengukir prestasi dan keberhasilan dalam meningkatkan peran perempuan di ruang publik. Dalam kurun
waktu dua tahun saja (1917) ‘Aisyiyah telah mampu mendirikan Taman
17
(49)
Kanak pertama di Indonesia bernama Frobel dan sekarang menjadi Taman
Kanak-Kanak ‘Aisyiyah Busthanul Atfhal. Tahun 1923 organisasi ini melakukan gerakan
pemberantasan buta huruf Arab dan Latin, yang kemudian dikembangkan menjadi Sekolah Maghribi atau Maghribis Scholl (AMS).18
Gerakan ‘Aisyiyah tidak hanya di bidang pendidikan saja namun juga mencakup bidang-bidang yang lain. Organisasi ‘Aisyiyah berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan di bidang kesehatan, sosial dan ekonomi. Namun agar tidak kehilangan informasi dalam isu-isu nasional dan strategis. sebagai bentuk responsivitas, salah satunya isu politik perempuan, seperti yang dibahas dalam tulisan ini. Hal ini dikarenakan ‘Aisyiyah adalah organisasi masyarakat yang tidak berkonsentrasi dalam kegiatan politik, sama seperti induknya, Muhammadiyah.
Maka tujuan ‘Aisyiyah sama dengan tujuan Muhammadiyah, yaitu ”Tegaknya agama Islam dan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”19
Adapun dalam mencapai tujuannya tersebut, ‘Aisyiyah menyusun
beberapa program antara lain: (1) Pembinaan Keluarga Sakinah, menyampaikan dakwah yang ditekankan pada konsep keluarga sejahtera berdasarkan Islam (2)
Qoryah Thoyyibah, yakni suatu model pengembangan masyarakat dengan
pendekatan mengerahkan seluruh sumber daya fisik dan insani dari desa yang diberdayakan, (3) Pembinaan Muallaf dan Dhuafa, yakni pembinaan pada orang-orang atau masyarakat yang lemah iman dan lemah ekonomi, (4) Kesejahteraan
Sosial, pembinaan dengan cara memberikan santunan kepada anak-anak yatim,
pembinaan anak asuh, pemberian bantuan pendidikan dsb, (5) Bimbingan Calon
Haji, yakni memberikan bimbingan pada umat Islam yang akan menunaikan
18
Haedar Nashir, Muhammadiyah GerakanPembaruan, h. 357
19
Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah, Anggaran Dasar dan Rumah Tangga ‘Aisyiyah
(50)
ibadah haji, (6) Mendirikan Taman Kanak-Kanak ‘Aisyiyah Busthanul Atfhal, saat
ini ‘Aisyiyah telah memiliki 3350 sekolah yang tersebar di seluruh pelosok tanah
air, (7) Mendirikan Badan Kesehatan, seperti mendirikan Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) dan Sekolah Bidan atau Akademi Keperawatan untuk mencukupi tenaga kesehatannya, (8) Peningkatan taraf hidup dan pendapatan keluarga,
dalam kegiatan ini ‘Aisyiyah mendirikan Badan Usaha Ekonomi Keluarga atau biasa disebut BUEKA, (9) Pengkaderan¸ seperti umumnya setiap organisasi
diperlukan generasi penerus dalam melanjutkan perjuangannya. ‘Aisyiyah menggantung kaderisasi organisasinya dengan munculnya kader dari Nasyi’atul ‘Aisyiyah dan Mu’allimat Muhammadiyah. 20
Demikian beberapa tujuan ‘Aisyiyah yang teraplikasikan dalam beberapa kegiatannya. Selain itu, ‘Aisyiyah juga memiliki tugas dan peran sebagai berikut:21
1. Membimbing dan menyadarkan perempuan dalam beragama dan berorganisasi.
2. Menghimpun perempuan-perempuan Muhammadiyah untuk turut serta menyalurkan dan menggembirakan amalan-amalannya.
Eksistensi ‘Aisyiyah yang terus melaju dan berkembang hingga saat ini,
merupakan buah prestasi yang perlu mendapatkan acungan jempol. Sejak pertama didirikan, pada masa penjajahan dan masih tetap eksis pada masa kemerdekaan
saat ini. ‘Aisyiyah pun telah memiliki modal besar dalam mengantisipasi perubahan sosial, ekonomi dan politik di era globalisasi saat ini antara lain: (1)
Usia ‘Aisyiyah yang telah menjelang satu abad, mampu melewati fase penjajahan,
20
M. Yunan Yusuf dkk, ed, Ensiklopedia Muhammadiyah, h. 15
21
(51)
kemerdekaan, pembangunan dan reformasi, (2) Gerakan ‘Aisyiyah yang telah
menjangkau ke pelosok tanah air, (3) Amal usaha ‘Aisyiyah yang hampir meliputi segala bidang kehidupan (pendidikan, ekonomi, kesehatan), (4) ‘Aisyiyah
memiliki sumber daya manusia yang banyak dan berkualitas. 22
Kelahiran ‘Aisyiyah dalam mengangkat kehidupan perempuan agar keluar
dari domestifikasi yang telah dibuat oleh budaya dan lingkungan masyarakat telah berhasil. Amal usaha dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya menjadi salah satu ukuran dari keberhasilan tersebut. Perkataan KH Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya bahwa urusan dapur bukan faktor penghambat bagi perempuan dalam menghadapi masyarakat telah terbukti, bahwa perempuan juga bisa berbakti kepada masyarakat, bahwa perempuan juga memiliki peranan sosial.
B. Pandangan ‘Aisyiyah Tentang Politik Perempuan
Usia ‘Aisyiyah yang saat ini sudah menjelang satu abad yang lahir sebelum republik ini berdiri telah memiliki banyak pengalaman dalam mengabdi
kepada masyarakat. Organisasi ‘Aisyiyah telah berhasil melewati fase-fase perkembangan dan sejarah Indonesia, sejak masa penjajahan oleh Belanda,
Jepang, kemudian era orde baru dan reformasi saat ini. Kelahiran ‘Aisyiyah tidak
bisa dilepaskan dari harapan dan tujuan agar kaum perempuan dapat berkiprah di ruang publik, namun bukan berarti harus mengabaikan wilayah domestik (kerumahtanggaan).
‘Aisyiyah sebagai organisasi kemasyarakatan yang bernaung dengan
organisasi induknya Muhammadiyah tentu tidak terlibat lebih jauh dalam
22
(52)
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan politik praktis.23 Program-program yang
nyata di masyarakat mengenai peran ‘Aisyiyah sejak berdirinya hingga saat ini diantaranya di bidang keagamaan, sosial, pendidikan, ekonomi dan kesehatan.
‘Aisyiyah juga turut serta mengajarkan kesadaran perempuan dalam politik sebagai responsivitas perubahan dan isu zaman.
Sejak pemilu umum pertama kali diselenggarakan pada tahun 1955,
‘Aisyiyah telah terlibat aktif dalam kegiatan pemberdayaan politik perempuan. Kegiatan ‘Aisyiyah memberikan penerangan tentang pemilihan umum kepada masyarakat baik secara lisan lewat pengajian-pengajian, rapat-rapat yang
diselenggarakan oleh ‘Aisyiyah, atau secara personal.24 Majalah Suara ‘Aisyiyah April 1954 memuat artikel pemilihan umum dan pelaksanaannya. Majalah tersebut memuat artikel tentang pemilihan umum dan pelaksanaanya, pengertian Konstituante, dan Dewan Perwakilan Rakyat menjelaskan bahwa keduanya masih sementara, selain daripada itu dijelaskan pula tujuan dilaksanakannya pemilihan umum yaitu membentuk Badan Konstituante untuk membuat UUD dan DPR pusat untuk menggantikan parlemen sementara. Tahapan-tahapan dan jadwal pelaksanaan pemilihan umum diuraikan pula dalam majalah tersebut.25
Mencermati kegiatan ‘Aisyiyah dalam politik adalah dalam rangka memberikan pendidikan politik kepada masyarakat luas yakni agar masyarakat, khususnya kaum perempuan agar lebih berpikir kritis dan terbuka terhadap
23
Wawancara Pribadi dengan Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag, Yogyakarta, 07 April 2010
24
Kegiatan pemberdayaan politik perempuan yang dilakukan oleh ‘Aisyiyah pada era orde hanya dilakukan melalui pengajian-pengajian di tingkat grass root, sedangkan di era reformasi lebih terbuka melalui seminar-seminar, workshop dan sebagainya.Wawancara Pribadi dengan Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si, 07 April 2010
25Suara ‘Aisyiyah,
No 4, Th XIX, April 1954, h. 77-82 dalam A. Adaby Darban (ed),
‘Aisyiyah dan Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia: Sebuah Tinjaun Awal, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2010), h. 119-120
(1)
KHITTAH PERJUANGAN MUHAMMADIYAH
HAKIKAT MUHAMMADIYAH
Perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah menyebabkan perubahan tertentu. Perubahan itu menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat, diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan pada sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia.
Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.
Dalam melaksanakan usaha tersebut, Muhammadiyah berjalan diatas prinsip gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi landasan gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal usaha dan hubungannya dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam bekerjasama dengan golongan Islam lainnya.
MUHAMMADIYAH DAN MASYARAKAT
Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam amar-ma'ruf nahi mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah.
(2)
Di samping itu Muhammadiyah menyelenggarakan amal-usaha seperti tersebut pada Anggaran Dasar Pasal 4, dan senantiasa berikhtiar untuk meningkatkan mutunya
Penyelenggaraan amal-usaha, tersebut merupakan sebagian ikhtiar Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-Cita Hidup yang bersumberkan ajaran Islam dan bagi usaha untuk terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.
MUHAMMADIYAH DAN POLITIK
Dalam bidang politik Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: dengan dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya
Usaha Muhammadiyah dalam bidang politik tersebut merupakan bagian gerakannya dalam masyarakat, dan dilaksanakan berdasarkan landasan dan peraturan yang berlaku dalam Muhammadiyah.
Dalam hubungan ini Muktamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan bahwa:
Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu Partai Politik atau Organisasi apapun
Setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
(3)
MUHAMMADIYAH DAN UKHUWAH ISLAMIYAH
Sesuai dengan kepribadiannya, Muhammadiyah akan bekerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan Agama Islam serta membela kepentingannya.
Dalam melakukan kerjasama tersebut, Muhammadiyah tidak bermaksud menggabungkan dan mensubordinasikan organisasinya dengan organisasi atau institusi lainnya.
DASAR PROGRAM MUHAMMADIYAH
Berdasarkan landasan serta pendirian tersebut di atas dan dengan memperhatikan kemampuan dan potensi Muhammadiyah dan bagiannya, perlu ditetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut:
Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang menghimpun sebagian anggota masyarakat, terdiri dari muslimin dan muslimat yang beriman teguh, ta'at beribaclah, berakhlaq mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat.
Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat
Menepatkan kedudukan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan dakwah amar-ma'ruf nahi-mungkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di segala bidang kehidupan di Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
(4)
SUSUNAN PENGURUS
PIMPINAN
PUSAT ‘AISYIYAH PERIODE 2010 –
2015
Ketua Umum : Dra. Hj. Siti Noordjannah Djohantini, MM, M.Si
Ketua
: Prof. Dr. Hj.Siti Chamamah Soeratno
Ketua
: Prof. Dr. Hj. Masyitoh Chusnan, M.Ag.
Ketua
: Dra. Hj. Shoimah Kastolani
Ketua
: Hj. Siti Hadiroh Ahmad, S.Pd
Ketua
: Dra. Hj. Siti Aisyah, M.Ag.
Ketua
: dr, Hj. Atikah M. Zakki, MARS.
Sekretaris Umum : Dra. Dyah Siti Nuraini
Sekretaris
: Dra. Trias Setiawati, M.Si.
Sekretaris
: Rohimi Zamzam, Psi., S.H
Bendahara Umum
: Hj. Mahsunah Syakir
Bendahara
: Dra. Hj. Noor Rochmah
Ketua Majelis dan Lembaga
:
Ketua Majelis Tabligh
: Dra. Hj. Susilaningsih K. M.A.
Ketua Majelis Ekonomi dan Ketenagakerjaan
: Dra. Hj. Latifah Iskandar
Ketua Majelis Pembinaan Kader : Evi Shofia Inayati
(5)
Ketua Mejelis Pendidikan Tinggi dan
Kajian Lingkungan Hidup
: Prof. Dr. Ir. Hj.Muslimah Widyastuti, M.Sc
Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah : Dra. Rifqiyati, M.Ag
Ketua Majelis Kesehatan : Dra. Hafni Rochmah, MPH
Ketua Majelis Kesejahteraan Sosial : Dra. Susilahati, M.Si
Ketua Majelis Hukum dan HAM : Dra. Hj. Nurni Akma
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan : Dra. Tri Hastuti Nur Rochima, M.Si
Ketua Lembaga Kebudayaan : Dra. Hj. Cholifah Sukri
(6)