Latar Belakang Masalah. Pandangan siswa madrasah aliyah kelas 3 terhadap filsafat : studi kasus terhadap MAN 4 Pondok Pinang dan MAN 1 Serpong

vi BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Sebagai kajian filosofis, teori filsafat belumlah mendapatkan tempat yang memadai dalam ranah kajian pemikiran di negeri ini. karya Jujun S. Suryasumantri berjudul “Filsafat Ilmu” merupakan satu - satunya karya yang telah dicetak berulang kali. Hal ini menunjukan betapa langkanya kajian filsafat, dan pada akhirnya menuntut suatu kajian lebih lanjut. Dalam masyarakat kita, tak terkecuali remaja, kajian filsafat dianggap sebagai ilmu yang kurang menarik. Filsafat mendapat tempat yang kurang baik di mata para remaja. Filsafat dianggap sebagai “biang keladi” bagi timbulnya pemberontakan atas dogma- dogma keagamaan. Mendengar kata “filsafat”, imajinasi masyarakat langsung mengarah pada sosok yang menakutkan, bersentuhan dengan filsafat merupakan hal yang dihindari karena dapat merusak keimanannya selama ini. Secara membabi buta, stigma negatif terhadap filsafat, terus digulirkan di kalangan masyarakat kita. Hal inilah yang pada akhirnya menarik penulis untuk melakukan penelitian lebih jauh seputar stigma negatif terhadap filsafat. Sejauh manakah pemahaman siswa terhadap ilmu filsafat? dan mengapa paradigma negatif terhadap filsafat yang dianggap sebagai kajian yang tidak terlalu penting muncul di kalangan umat Islam, khususnya siswa sekolah tingkat atas?. vii Sebagai hipotesis awal, gejala ini muncul sebagai akibat dari adanya dikotomi antara ilmu syariat dan ilmu non-syariat di tempat-tempat pendidikan yang formal maupun informal. Ilmu syariat mendapat tempat terhormat dalam dunia pendidikan kita. Lihat saja misalnya referensi - referensi yang dikaji di pesantren-pesantren, sebuah lembaga pendidikan Islam, banyak memberikan ruang bagi kajian seperti fiqih, ushul fiqih, ilmu - ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah, dan lain-lain. Sementara karya- karya para ulama seperti Ibnu Sina, al-Farabi, Ibnu Bajah, Ibnu Tufail, Ibnu Taimiyah, yang notabenenya adalah berkutat seputar kajian filsafat, tidak mendapatkan tempat. Bahkan karya-karya mereka dianggap“membahayakan” bagi eksistensi ideologi masyarakat. Para tokoh pendidikan kita memberikan andil yang cukup besar terhadap berkembangnya stigma negatif terhadap filsafat. Ketidakseimbangan informasi yang diterima masyarakat menimbulkan kesalah pahaman terhadap filsafat. Filsafat tidak mendapat perhatian dari para tokoh kita, bahkan mengkajinya pun tidak. Tapi filsafat senantiasa digambarkan sebagai hal yang negatif. Yang terjadi selanjutnya adalah tidak adanya obyektifitas dalam memandang filsafat. Tanpa melakukan penelaahan terhadap karya - karya mereka, filsafat diberikan label sesat. Stigma negatif ini senantiasa disandarkan pada kritik al-Ghazali terhadap para filosof muslim. Di sini pula terjadi salah pemahaman terhadap kritik al-Ghazali kepada filsafat Islam. Benarkah al-Ghazali menolak filsafat? Maka ketika beberapa siswa ditanyakan apa itu filsafat mereka pada umumnya berpendapat bahwa kajian ilmu filsafat adalah kajian yang kurang menarik, paling sulit, dan melelahkan. Hal ini disebabkan selama ini dalam masyarakat tidak adanya ruang bagi kajian filsafat. viii Dalam penulisan ini, penulis menggunakan tehnik penelitian wawancara langsung guna diperoleh data yang seakurat dan sebaik mungkin. Karena di kalangan siswa sendiri terdapat beragam pandangan terhadap filsafat, sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. Pada siswa di tingkat pelajar, paradigma yang berkembang adalah menolak filsafat. Selain tidak mendapat pelajaran tentang filsafat, mereka pun tidak mendapat gambaran yang seimbang dari para pendidiknya. Di sekolah tidak mendapat pelajaran, di luar pun mereka tidak bisa menemukan wajah filsafat yang sesungguhnya. Kembali pada kritik al-Ghazali. Al-Ghazali di kalangan umat Islam dikenal sebagai ulama yang kritis terhadap filsafat. Bahkan al-Ghazali menjadi ikon bagi mereka yang menolak filsafat Islam. Dalam berbagai kesempatan, al-Ghazali ibarat dewa penyelamat yang menyelamatkan umat dari bahaya filsafat Islam yang dikembangkan oleh al-Kindi dan kawan-kawan. Di sinilah terjadi kekeliruan terhadap pemikiran al-Ghazali dalam hubungannya dalam kritiknya terhadap Ibnu Sina dan al-Farabi. Kritik al-Ghazali dipahami secara parsial. Apa yang dipahami dari kritik al-Ghazali hanyalah obyek kritiknya tanpa menelaah lebih dalam latar belakang sosial politik yang menyebabkan munculnya kritik ini. Pada dasarnya, al-Ghazali tidak menolak filsafat secara mutlak. Al-Ghazali sendiri adalah orang yang memiliki naluri pemikiran yang kritis. Ia banyak bersentuhan dengan teori-teori filsafat. Salah satu yang menjadi kritiknya adalah munculnya budaya taqlid dalam masyarakat. Al-Ghazali berpandangan bahwa dalam masalah taqlid, masyarakat harus mampu mengembangkan daya kritisnya terhadap segala hal yang ditemuinya. ix Sesuatu itu dipahami bukan atas dasar asumsi, melainkan berdasar pada hasil pemikiran yang ketat. Begitu pula kritiknya terhadap filsafat Islam. Al-Ghazali tidak menolak filsafat Islam secara mutlak. Hal ini bisa dilihat dari pandangannya bahwa filsafat yang dikembangkan oleh al-Farabi dan kawan-kawan tidak menghasilkan ilmu yang tetap, melainkan mengandaikan suatu relativisme. Yang ingin dicapai melalui filsafat, menurut al-Ghazali, adalah ilmu yaqini, ilmu yang menghadirkan ketetapan dalam jiwa, bukan relativisme. Al-Ghazali berfilsafat dalam rangka mendapatkan kepastian terhadap beberapa obyek kajian, baik itu tentang ketuhanan, eskatologi maupun etika. Al Ghazali sendiri memiliki nama lengkap Abu Hamid ibn Muhammad ibn Ahmad al – Ghazali. Ia lahir di Thus Kota Khurasan Iran Pada 450 H 1056 M. . Ia wafat di tanah kelahirannya pada tahun 505 H, 111 M . 1 Dari sumber utama pertentangan pemikiran adalah penafsiran yang berlainan. Hal ini terjadi pada jawaban Ibnu Rusyd terhadap kitab karangan al Ghazali yakni Kerancuan Filsafat Tahafut al Falasifah di dalam tulisan tersebut al Ghazali menyalahkan kaum filosof dengan dibagi menjadi tiga golongan : materialis, naturalis, theis. 2 Pertama golongan materialis mereka merupakan golongan terdahulu yang pada jamannya mereka beranggapan tidak adanya pencipta yang mengatur alam, alam bisa dikatakan diatur oleh kekuatan kekuatan yang mereka anggap memiliki kekutan yang lebih dari mereka, dan alam ada secara azali dengan sendirinya. Kedua golongan naturalis mereka menganggap sifat – sifat alam dan keajaiban ciptaan Allah SWT mereka dapat mengakuinya namun mereka mempelajari penemuan 1 Abdul Mustofa, Filsafat Islam Jakarta : Pustaka Setia, Bandung, 1997 , h.215. 2 Al Ghazali, Setitik Cahaya dalam Kegelapan Bandung : Pustaka Progresif, 2001 , h.135. x tersebut dan memaksakan pengaturan tuhan diatur kembali dengan pemikiran kaum Naturalis, dalam pandangan mereka tidak ada hari kebangkitan dan hisab. Mereka ini disebut oleh al - Ghazali dengan golongan kaum Zindiq. Golongan Ketiga, golongan theis bertuhan , mereka orang orang yang berfikir dengan menggunakan logika, dengan menggunakan argumen mereka menghsilkan ilmu kesesatan golongan ini sama dengan pemikiran Plato dan kawan – kawannya. Dari sinilah kemudian pemikiran al - Ghazali mendapat bantahan dari seorang yang bernama Ibnu Rusyd yang lebih dikenal denga nama Averreos . Ia merupakan tokoh yang sangat berjasa dalam kajian filsafat islam, namun hanya dikenal di kalangan orang orang tertentu saja. Ibnu Rusyd juga dikenal sebagai ahli fiqih. Dia pula yang menyatukan filsafat dengan syariat. Baginya syariat telah mendorong untuk menalar semua wujud yang tampak melalui penalaran rasio dan mengambil pengetahuan secara rasional. Dengan memberi kesimpulan bahwa di samping ilmu qiyas analogi syariat wajib juga yang dinamakan qiyas aqli dalil rasio . Maka, wajiblah kiranya filsafat Islam tersebut dalam pemikiran dan khazanah perkembangan pemikiran Islam, wajib pula kiranya mempelajari karya karya filsuf – filsuf terdahulu dengan tujuan dan maksud yang termaktub dalam sebuah hukum syariat. Ibnu Rusyd yang memiliki nama lengkap Abu Al-Walid Muhammad ibn Muhammad Ibn Rusyd, dilahirkan di Cordova pada 520 H 1126 M . Ia wafat pada 9 Safar 595 H 10 Desember 1198 M . 3 Dapat disimpulkan bahwa syariat dan filsafat dapat dipertemukan tanpa adanya konflik. Keduanya bahkan dapat saling mendukung satu sama lainnya. Yang menjadi 3 Hasyimsyah Nasution, filsafat Islam Jakarta : Gaya Media Pratama GMP , 2002 , h. 113. xi persoalan mendasar adalah kurangnya kajian yang mendalam dan seimbang terhadap filsafat dibanding dengan kajian tentang syariat. Dia juga sebagai Intelektual dalam di dunia Islam dengan memiliki tugas sebagai hakim agung di Cordova dan sebagai pengarang kitab paling pluralis Bidayatul Mujtahid. Dia juga merupakan ulama yang menafsir secara Tekstual. 4 Filsafat mengajarkan manusia untuk menjalankan hidup ini dengan penuh pertimbangan secara rasional. Dengan berpijak pada Rasionalitas, filsafat mencoba membawa manusia pada suatu tatanan sosial kemasyarakatan yang berkeadilan dan sejahtera. Secara bahasa, Filsafat memiliki arti sebagai pemikir bebas, radikal. Bebas di sini berarti tidak ada yang menghalangi pikiran untuk bekerja. Tidak ada satu kekuatan pun, yang menghalangi seseorang untuk berfikir, apalagi untuk menyeragamkannya. Selama seseorang masih sanggup berpikir walaupun ia berada dalam penjara, tetap saja pikiran dapat bekerja. 5 Radix, artinya akar. Berfikir secara radikal berarti berpikir sampai ke akar suatu masalah. Selanjutnya filsafat dapat diartikan sebagai ilmu rasional. Artinya, adanya penggunaan akal pikiran dan hukum hukum logika yang bisa diterima oleh akal. Dalam penelitian ini, peneliti hendak melihat sejauh mana tanggapan dan cara pandang siswa pada tingkat kelas 3 Madrasah Aliyah terhadap kajian ilmu filsafat. Hal ini dimaksudkan guna memperoleh gambaran yang komperehensif seputar pandangan siswa yang duduk di bangku sekolah kelas 3 Madrasah Aliyah. 4 Ekky Al Maliki, Why Not Remaja Doyan Filsafat Bandung : Darr Mizan, 2003, h. 114. 5 Musa, Asy’arie, filsafat Islam, sunnah Nabi dalam berfikir Yogyakarta : Lesfi, 2002, h.1. xii

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah