BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Alumina dan Aluminium
Aluiminium adalah unsur melimpah ketiga terbanyak dalam kerak bumi sesudah oksigen dan silikon, mencapai 8,2 dari massa total.
Keberadaannya umumnya bersamaan dengan silikon dalam aluminosilikat dari feldspar dan mika dan di dalam lempung, yaitu aluminium oksida terhidrasi
yang mengandung 50 sampai 60 Al
2
O
3
: 1 sampai 20 Fe
2
O
3
: 1 sampai 10 silika: sedikit sekali titanium, zirkonium, vanadium, dan oksida
logam transisi yang lain: dan sisanya 20 sampai 30 adalah air. Bauksit sebagai bahan baku peleburan aluminium dimurnikan melalui proses Bayer,
yang mengambil manfaat dimana fakta menunjukkan bahwa oksida alumina amfoter larut dalam basa kuat tetapi besi III oksida tidak. Bauksit mentah
dilarutkan dalam natrium hidroksida
Al
2
O
3
s + 2 OH
-
aq + 3 H
2
Ol 2 AlOH
4 -
aq
dan dipisahkan dari besi oksida dalam bentuk terhidrasi serta zat asing terlarut lainnya dengan penyaringan. Aluminium oksida dalam bentuk terhidrasi murni
mengendap bila larutan didinginkan sampai lewat-jenuh dan dipancing menjadi kristal dari produk:
Universitas Sumatera Utara
2 AlOH
4 -
aq Al
2
O
3
.3H
2
Os + 2 OH
-
aq Air hidrasi dibuang melalui kalsinasi pada suhu tinggi sekitar 1200
C. David W.Oxtoby, 2003
2.2. Sejarah Aluminium
Logam aluminium pertama kali dibuat dalam bentuk murni oleh H.C. Oersted, pada tahun 1825, yang memanaskan amonium klorida dengan
amalgum kalium-raksa. Pada tahun 1854, Henri Saint-Cleire Deville membuat aluminium dari natrium-aluminium klorida dengan jalan memanaskannya
dengan logam natrium. Proses ini beroperasi selama 35 tahun dan logamnya dijual dengan harga 220 per kilogram. Pada tahun 1886, harganya sudah
turun menjadi 17 per kilogram. Pada tahun 1886, Charles Hall mulai memproduksi aluminium dengan proses skala besar seperti sekarang, yaitu
melalui elektrolisis alumina di dalam kriolit lebur. Pada tahun itu pula, Paul Heroult mendapat paten Perancis untuk proses serupa dengan proses Hall.
Hingga pada tahun 1893, produksi aluminium menurut cara Hall ini sudah sedemikian meningkat, sehingga harganya sudah jatuh menjadi 4,40
perkilogram. Industri ini berkembang dengan mantap, berdasarkan suatu pasaran yang sehat dan berkembang atas dasar penelitian mengenai sifat-sifat
aluminium dan cara-cara pemakaian yang ekonomis bagi bahan itu. Dengan berkembangnya produksi itu, biaya pun berkurang dan ini diteruskan untuk
dinikmati oleh para konsumen. Harganya bahkan mencapai 33 sen per kilogram pada tahun 1945. Harga ini meningkat kembali naik kembali hingga
Universitas Sumatera Utara
menjadi 1,58 per kilogram pada tahun 1980, yang mencerminkan adanya inflasi dan kenaikan biaya listrik. George T. Austin, 1996
2.3. Bahan Baku