UU Perlindungan Konsumen
4. UU Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen atau yang di singkat UU Perlindungan Konsmen diatur mengenai kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. Hal ini merupan suatu self regulation dari pihak bank untuk meminimalkan terjadinya kerugian yang akan dialami oleh nasabah dikemudian hari karena kurangnya informasi yang diberikan pihak bank pada nasabah.
Dalam Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang menyatakan bahwa;
34 Surat Edaran OJK No. 2/SEOJK.07/2014 tanggal 14 Februari 2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen Pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan
Pasal 19 (1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau di perdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. (4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian
lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 35
Dalam Pasal ini tanngung jawab pelaku usaha berupa seluruh kerugian yang dialami oleh konsumen tetapi hal ini tidak berlaku apabila kerugian yang di derita oleh nasabah tersebut dikarenakan kesalahan atau kelalaian nasabah itu sendiri. Dari ketentuan di atas maka di buatlah suatu aturan yang dirasa dapat di jadikan patokan guna menyelesaikan permasalah pengenai tanggung jawab akibat kerugian yang di timbulkan karena adanya transaksi di bank. Aturan tersebut adalah mengenai klasula baku yang terdapat dalam Pasal 18, yang menyatakan bahwa;
Pasal 18 (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang di tujukan untuk di
perdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
35 Pasal 19 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perbankan 35 Pasal 19 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perbankan
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah di tetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) di nyatakan batal demi hukum.
(4) 36 Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan uu ini.
Pembuatan klausula baku ini diharapkan dapat menjadi patokan baik pelaku usaha dan nasabah untuk dapat menghilangkan atau paling tidak meminimalisir terjadinya kerugian bagi nasabah. Sedangkan sanksi yang mengatur mengenai hal tersebut di atur dalam Pasal 62 ayat (1) yang menyatakan bahwa;
“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal
17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).”