Ketahanan Hidup Bakteri Patogen dalam Yoghurt dan Kefir Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin
FERMENTASI DAN PENYIMPANAN DINGIN
EPI TAUFIK
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
(2)
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Ketahanan Hidup Bakteri Patogen dalam Yoghurt dan Kefir Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2009
Epi Taufik NIM B 054040011
(3)
EPI TAUFIK. Survival of Pathogenic Bacteria in Yoghurt and Kefir during Fermentation Process and Cold Storage. Under the direction of IDWAN SUDIRMAN and RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI.
Fermentation has been used as primary mechanism in preserving and increasing safety of milk products. Consequently, fermented milk products are generally considered as safe product. The contamination of pathogenic bacteria into the milk may occur in the farm or during handling and processing of the milk products. The contamination source might be originated from the environment, mammary gland, utensils, and workers. Thus, the quality of starter culture which is used in the production of fermented milk play an important role. Therefore the objective of this experiment is to study the antagonistic activity of yoghurt and kefir starter culture on the survival of Staphylococcus aureus (SA) KT07 and Escherichia coli (EC) KT07 as indicator of pathogenic bacteria during 24 hours of fermentation and 11 days of cold storage (5±2°C). The experiment was done by addition of pathogenic bacteria into the yoghurt (YT), probiotic yoghurt (YP), and kefir (Kf). The starter bacteria which were used in this experiment were Streptococcus thermophilus (ST) RM01 + Lactobacillus bulgaricus (LB) RM01 for YT; ST RM01 + LB RM01 + Bifidobacterium longum (BL) RM01 for YP; and bulk starter of kefir grain for Kf. The examined variables were pH, titratable acidity, population of lactic acid bacteria (LAB) and pathogenic bacteria. The variables were measured every 4 hours for 24 hours fermentation and every 2 days during cold storage for 11 days. The results showed that the numbers of lactic acid bacteria (LAB) in the fermented milks with SA KT07 as testing bacteria were increased after 4 hours fermentation process until the end of cold storage. Whereas in the fermented milks with EC KT07 as testing bacteria, the population of LAB were increased during fermentation but reduced after 24 hours and decline to the end of cold storage. The viable count of SA KT07 increased 8,92% for YT; 6,16% for YP, and 26,42% for Kf during fermentation, and continue to increase until the end of cold storage except in YP. Viable count of EC KT07 also increased during fermentation and reduced sharply to 1,90 log cfu/ml for YT and 0,70 log cfu/ml for YP at the end of cold storage. Based on the results of this experiment, it can be concluded that probiotic yoghurt had better bacteriostatic activity toward testing bacteria among treatments.
Keywords: antagonistic activity, yoghurt, kefir, survival, Staphylococcus aureus, Escherichia coli
(4)
EPI TAUFIK. Ketahanan Hidup Bakteri Patogen dalam Yoghurt dan Kefir Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin. Dibimbing oleh IDWAN SUDIRMAN dan RARAH RATIH ADJIE MAHESWARI.
Fermentasi telah lama digunakan sebagai mekanisme utama dalam proses pengawetan dan peningkatan keamanan produk fermentasi susu. Oleh karena itu kualitas kultur starter yang digunakan dalam produk susu fermentasi memiliki peranan yang sangat penting. Disatu sisi produk susu fermentasi umumnya dianggap sebagai produk yang aman untuk dikonsumsi, disisi lain kontaminasi bakteri patogen ke dalam susu dapat terjadi pada saat pemerahan, selama penanganan atau pada proses produksi. Dengan demikian kajian tentang ketahanan hidup kontaminan dalam hal ini bakteri patogen, terhadap aktivitas kultur starter yang digunakan pada proses pembuatan susu fermentasi menjadi menarik untuk dipelajari.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aktivitas antagonistik kultur starter yogurt dan kefir terhadap ketahanan hidup Staphylococcus aureus (SA) KT07 dan Eschericia coli (EC) KT07 selama proses fermentasi dan penyimpanan dingin (5±2°C). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2007 hingga Maret 2008 di Laboratorium Mikrobiologi Bagian Ilmu produksi Ternak Perah, Fakultas Peternakan IPB serta Laboratorium Diagnostik Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Penelitian ini dilakukan dengan menambahkan isolat bakteri patogen SA KT07 dan EC KT07 asal susu kambing perah dan kultur starter yogurt (Yogurt (YT) = Streptococcus thermophilus (ST) RM01 + Lactobacillus bulgaricus (LB) RM01; Yogurt Probiotik (YP) = ST RM01 + LB RM01 + Bifidobacterium longum (BL) RM01) dan kefir (KF) = kultur kerja starter biji kefir RM01) ke dalam susu yang steril dan diinkubasi pada suhu 37°C untuk yoghurt dan 28±1oC untuk kefir, masing-masing selama 24 jam. Setelah inkubasi, produk disimpan dalam refrigerator (5±2°C) selama 11 hari. Perlakuan diulang sebanyak tiga kali dan peubah diamati setiap 4 jam sekali selama proses fermentasi (24 jam) serta setiap 2 hari selama penyimpanan dingin (5±2°C) (11 hari). Perbedaan dalam data populasi bakteri, nilai pH dan total asam tertitrasi (TAT) antar perlakuan, dan antar perlakuan dengan kontrol dibandingkan dengan analisis keragaman satu faktor pada tingkat signifikansi 95% menggunakan program MINITAB 14 dan Statistix 8.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi bakteri asam laktat (BAL) dalam susu fermentasi yang menggunakan SA KT07 sebagai bakteri uji meningkat setelah 4 jam proses fermentasi sampai akhir masa penyimpanan dingin. Adapun populasi BAL dalam susu fermentasi yang menggunakan EC KT07 sebagai bakteri uji meningkat selama proses fermentasi namun menurun setelah 24 jam dan terus menurun jumlahnya sampai akhir masa simpan. Populasi bakteri uji SA KT07 meningkat selama 24 jam proses fermentasi sebesar 8,92%, 6,16% dan 26,42% masing-masing untuk YT, YP dan Kf. Jumlah SA KT07 terus meningkat pada semua perlakuan dan kontrol sampai akhir penyimpanan dingin kecuali pada YP. Populasi EC KT07 juga meningkat selama proses fermentasi, namun menurun drastis mencapai 1,90 log cfu/ml untuk YT dan 0,70 log cfu/ml
(5)
Kata kunci: aktivitas antagonistik, yoghurt, kefir, ketahanan hidup, Staphy-lococcus aureus, Eschericia coli
(6)
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
(7)
KETAHANAN HIDUP BAKTERI PATOGEN DALAM
YOGHURT DAN KEFIR SELAMA PROSES
FERMENTASI DAN PENYIMPANAN DINGIN
EPI TAUFIK
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
(8)
(9)
NIM : B 054040011
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. drh. H. Idwan Sudirman Dr. Ir. Rarah Ratih A.M., DEA Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
(10)
PRAKATA
Puji dan syukur patut penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas pertolongan dan kehendak-Nya pula, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Izinkahlah penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi-tingginya kepada beberapa pihak sebagai berikut:
1. Bapak Dr. drh. H. Idwan Sudirman sebagai ketua komisi pembimbing, atas nasehat, motivasi, arahan dan luangan waktunya untuk saya sejak awal studi hingga selesainya penulisan tesis ini. Demikian juga kepada Dr. Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA selaku anggota komisi pembimbing yang tidak bosan-bosan membimbing penulis sejak studi sarjana di Fakultas Peternakan IPB hingga saat ini. Bimbingan Ibu sangat berharga bagi saya, tidak hanya dibidang akademik tapi juga sebagai bekal saya untuk meniti karir sebagai akademisi. Kepada Bapak dan Ibu sekali lagi saya ucapkan terima kasih, semoga Yang Maha Kuasa membalas kebaikan Bapak dan Ibu dengan pahala yang setimpal.
2. Bapak Dr. Ir. I Komang G. Wiryawan, atas luangan waktu yang Bapak berikan untuk menjadi penguji luar komisi pada ujian tesis saya ini. Terima kasih atas segala masukan, saran dan koreksinya.
3. Bapak Dr. drh. Denny W. Lukman, MSi. selaku Ketua Program Studi KMV SPs IPB yang telah banyak memberikan saran dan motivasi bagi saya untuk segera menyelesaikan program magister saya di IPB.
4. Departemen Pendidikan Nasional atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan beasiswa BPPS.
5. Pimpinan IPB, Fakultas Peternakan, Departemen IPTP dan Kepala Bagian THT atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melaksanakan studi lanjut.
6. Ibu Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto dan Dr. A. Winny Sanjaya masing-masing sebagai penguji dan panitia pada kolokium yang saya bawakan diawal perencanaan penelitian ini. Demikian juga kepada seluruh staf pengajar PS KMV SPs IPB terutama drh. R. Roso Soejoedono, MPH, DEA, drh. Abdul
(11)
Zahid Ilyas, MSi, Ir. Etih Sudarnika, MSi beserta seluruh laboran dan teknisi yang telah banyak memberikan ilmu dan memfasilitasi proses belajar mengajar serta membuat suasana belajar menjadi kondusif dan menyenangkan.
7. Pimpinan laboratorium yang digunakan untuk penelitian, baik di Fakultas Peternakan maupun Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
8. Bapak Agus Somantri, Selyn, Mita, Acil dan Trias atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian berlangsung.
9. Pengelola Program Hibah Kompetisi A2 beserta rekan-rekan dosen di Departemen IPTP Fapet IPB, atas kesempatan dan dukungan studi bagi penulis.
10.Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu saya sejak awal studi sampai saat ini.
11.Teman-teman mahasiswa pascasarjana baik program magister atau doktor di PS KMV dan SVT baik kelas reguler maupun kelas khusus. Terima kasih atas persaudaraannya selama ini.
12.Keluarga penulis yang tercinta. Kepada yang terhormat Bapak Ajo Karjo alm. dan Ibu Yuyu Rukyati, kedua orang tua penulis beserta Bapak H. Umaruddin Harahap dan Ibu Hj. Aminah Siregar, mertua penulis yang selalu mendoakan dan memberikan kasih sayang serta dorongan tiada henti kepada penulis. Tidak lupa kepada keluarga besar Ciamis dan Padangsidempuan; abang, kakak, adik dll. yang selalu hadir disaat penulis mendapatkan kesulitan. Teruntuk istri dan anak-anakku tercinta, Nurhayati Harahap S.Pt., Aisyah Nur Taufik dan Hanifah Nur Taufik, penulis berhutang banyak kepada kalian, pengorbanan waktu dan kesabaran kalian disaat menunggu penulis menyelesaikan studinya tidak mungkin dapat dibalas oleh penulis dengan baik. Cinta dan kasih sayang kalian lah yang membuat semangat ini tidak redup, saya mencintai kalian semua.
Akhirnya penulis berharap karya kecil ini mampu memberikan sedikit kontribusi terhadap dunia keamanan pangan hasil ternak dan kesehatan masyarakat veteriner di Indonesia.
(12)
Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 2 Desember 1975 dari ayah Ajo Karjo Ardiwinata dan Ibu Yuyu Rukyati. Penulis adalah putra kedua dari dua bersaudara.
Pendidikan dasar penulis tempuh dari tahun 1982-1988 di SD Negeri Bojong II, Desa Bojongmengger, Kec. Cijeungjing, Kab. Ciamis. Pendidikan menengah ditempuh penulis di SMPN 1 Ciamis dari tahun 1988-1991 dan SMAN 1 Ciamis dari tahun 1991-1994. Tahun 1994 penulis mendapatkan kesempatan untuk masuk Institut Pertanian Bogor melalui program Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis menyelesaikan program sarjananya di Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Jurusan Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan IPB pada bulan Februari 1999. Sejak tahun 2000 penulis mendapatkan kesempatan untuk menjadi tenaga pengajar di almamater penulis sampai saat ini.
Pada tahun 2004, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi magister (S2) melalui beasiswa BPPS Depdiknas di Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner, Sekolah Pascasarjana IPB. Pada tahun 2005, penulis mendapatkan kesempatan untuk mengikuti Joint Master Program in Veterinary Public Health antara Chiang Mai University, Thailand dengan Freie Universität Berlin, Jerman melalui Beasiswa DAAD (Dinas Pertukaran Akademik Jerman). Dengan demikian mulai pertengahan tahun 2005, penulis melaksanakan studi S2 di Thailand, Jerman dan Austria dan diselesaikan pada bulan September 2007. Adapun program S2 di SPs IPB penulis tunda untuk kemudian dilanjutkan kembali sejak tahun 2007 dan diselesaikan pada awal tahun 2009 ini.
Bogor, Januari 2009
(13)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Permasalahan ... 3
Tujuan Penelitian ... 4
Hipotesis ... 4
Manfaat Penelitian ... 4
TINJAUAN PUSTAKA ... 5
Susu Fermentasi ... 5
Aplikasi Bakteri Asam Laktat dalam Susu Fermentasi ... 6
Produk-produk Susu Fermentasi ... 8
a. Yoghurt ... 8
b. Kefir ... 10
Proses Fermentasi ... 12
Sifat Antagonistik Bakteri Asam Laktat dan Metabolitnya ... 14
Prevalensi Bakteri Patogen dalam Susu ... 16
Pemanfaatan Sifat Antagonisme Bakteri Asam Laktat dan Metabolitnya dalam Meningkatkan Umur Simpan dan Keamanan Mikrobiologis Bahan Pangan ... 21
Ketahanan Hidup Bakteri Patogen dalam Interaksinya dengan Bakteri Asam Laktat dalam Susu dan Produk Olahannya ... 22
BAHAN DAN METODE ... 26
Waktu dan Tempat Penelitian ... 26
Bahan dan Alat Penelitian ... 26
Metode Penelitian ... 27
Pembuatan Produk Susus Fermentasi ... 27
a. Pembuatan Yoghurt ... 27
b. Pembuatan Kefir ... 27
Proses Persiapan Bakteri Uji ... 28
Strategi Pengambilan Contoh ... 30
Peubah yang Diamati ... 32
Nilai pH ... 32
Nilai TAT ... 32
Analisis Mikrobiologi ... 32
a. Jumlah Populasi Bakteri Asam Laktat (BAL) ... 32
b. Jumlah Populasi Staphylococcus aureus KT07 ..…...……... 33
c. Jumlah Populasi Escherichia coli KT07 ... 34
(14)
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37
Nilai pH ... 37
Pada Bakteri Uji Staphylococcus aureus KT07 ... 37
Selama Proses Fermentasi ... 38
Selama Penyimpanan Dingin ... 40
Pada Bakteri Uji Escherichia coli KT07 ... 42
Selama Proses Fermentasi ... 42
Selama Penyimpanan Dingin ... 44
Nilai Total Asam Tertitrasi ... 46
Pada Bakteri Uji Staphylococcus aureus KT07 ... 46
Selama Proses Fermentasi ... 46
Selama Penyimpanan Dingin ... 48
Pada Bakteri Uji Escherichia coli KT07 ... 49
Selama Proses Fermentasi ... 49
Selama Penyimpanan Dingin ... 51
Populasi Bakteri Asam Laktat ... 53
Pada Bakteri Uji Staphylococcus aureus KT07 ... 53
Selama Proses Fermentasi ... 53
Selama Penyimpanan Dingin ... 56
Pada Bakteri Uji Escherichia coli KT07 ... 56
Selama Proses Fermentasi ... 56
Selama Penyimpanan Dingin ... 59
Populasi Bakteri Uji ... 61
Populasi Bakteri Staphylococcus aureus KT07 ... 61
Selama Proses Fermentasi ... 61
Selama Penyimpanan Dingin ... 63
Pada Bakteri Uji Escherichia coli KT07 ... 66
Selama Proses Fermentasi ... 66
Selama Penyimpanan Dingin ... 68
SIMPULAN ... 72
SARAN ... 73
DAFTAR PUSTAKA ... 74
(15)
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Beberapa Bakteri Asam Laktat yang Sering Digunakan dalam Produk Susu Fermentasi ...
7
2. Matrik Perlakuan dan Pengambilan Sampel untuk Analisis ... 30
3. Rataan Nilai pH pada Masing-masing Perlakuan dan Kontrol untuk Bakteri Uji SA KT07 Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin ... 37
4. Nilai pH Kontrol Starter pada Perlakuan yang Menggunakan Bakteri Uji SA KT07 Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin ... 38
5. Rataan Nilai pH pada Masing-masing Perlakuan dan Kontrol untuk Bakteri Uji EC KT07 Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin ... 42
6. Nilai pH Kontrol Starter pada Perlakuan yang Menggunakan Bakteri Uji EC KT07 Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin ... 43
7. Rataan Nilai TAT pada Masing-masing Perlakuan dan Kontrol untuk Bakteri Uji SA KT07 Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin ... 47
8. Nilai TAT Kontrol Starter pada Perlakuan yang Menggunakan Bakteri Uji SA KT07 Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin ... 47
9. Rataan Nilai TAT pada Masing-masing Perlakuan dan Kontrol untuk Bakteri Uji EC KT07 Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin ... 50
10. Nilai TAT Kontrol Starter pada Perlakuan yang Menggunakan Bakteri Uji EC KT07 Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin ... 52
11. Rataan Populasi BAL pada Masing-masing Perlakuan untuk Bakteri Uji SA KT07 Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin ... 54
12. Populasi BAL Kontrol Starter pada Perlakuan yang Menggunakan Bakteri Uji SA KT07 Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin ... 55
13. Rataan Populasi BAL pada Masing-masing Perlakuan untuk Bakteri Uji EC KT07 Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin ... 58
(16)
Halaman
14. Populasi BAL Kontrol Starter pada Perlakuan yang Menggunakan Bakteri Uji EC KT07 Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin ... 58
15. Rataan Populasi SA KT07 pada Masing-masing Perlakuan dan Kontrol Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin ... 62
16. Rataan Populasi EC KT07 pada Masing-masing Perlakuan dan Kontrol Selama Proses Fermentasi dan Penyimpanan Dingin ... 66
(17)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Biji Kefir ... 11
2. Elektron Mikrograf dari Biji Kefir ... 11
3. Jalur Katabolis dalam BAL (A) Homofermentasi, (B) Heterofermentasi dan (C) Fermentasi campuran (asam) [mixed acid]. P = phosphate, BP = bisphosphate, LDH = lactate dehydrogenase, PFL = pyruvate formate lyase, dan PDH = pyruvate dehydrogenase ... 13
4. Siklus Agen Patogen di Lingkungan Peternakan Sapi Perah dan Kemungkinan Transfer Patogen tersebut Kedalam Susu. (A) Amplifikasi Patogen dalam Sapi; (B) Penyebaran di Lingkungan Kandang via Feses; (C) Akumulasi Feses di Lingkungan Peternakan; (D) Penyebaran Manure di Pastura; (E) Hijauan Terkontaminasi Patogen; (F) Pakan Terkontaminasi Dikonsumsi Ternak; (G) Susu dapat Terkontaminasi Patogen Saat Pemerahan; (H) Patogen Masuk ke Tangki Penampung; (I) Susu Terkontaminasi Masuk ke Pasteurizer, Kegagalan Pasteurisasi Mungkin Terjadi; (J) Susu dan Produk Olahannya Dikonsumsi Konsumen, baik Berbahan Baku Susu Mentah ataupun Susu Pasteurisasi ... 19
5. Beberapa Kemungkinan Jalan Masuk (Port of Entry) Bakteri Patogen Beserta Sumber Pencemarannya serta Kemungkinan Bertahannya Bakteri Tersebut dalam Produk Susu Fermentasi ... 20
6. Gambaran Umum Pembuatan Produk Susu Fermentasi dan Analisis Sampel ...
31
7. Bagan Alir Penghitungan Populasi Bakteri Asam Laktat ... 33
8. Bagan Alir Penghitungan Populasi Staphylococcus aureus KT07
Mengikuti Metode ISO 6888-1-1999 ... 34
9. Bagan Alir Teknik Isolasi dan Penghitungan Populasi Escherichia
(18)
1. Foto Isolat Staphylococcus aureus KT07 dan Eschericia coli KT07 yang Diisolasi dari Susu Kambing (Taufik, 2007) dan Digunakan Sebagai Bakteri Uji ... 80
(19)
Latar Belakang
Susu merupakan bahan pangan yang bergizi tinggi bagi manusia, akan tetapi juga merupakan medium yang sangat baik untuk tumbuhnya berbagai mikroorganisme, khususnya bakteri patogen. Lactococcus, Lactobacillus, Streptococcus, Staphylococcus dan Micrococcus spp. merupakan mikroba normal dalam susu segar. Terdapatnya bakteri koliform dan patogen lainnya dalam susu menunjukkan kemungkinan adanya kontaminasi bakteri baik berasal dari ambing, peralatan, pekerja atau sumber air yang digunakan. Susu segar yang diperah dari ambing sapi sehat biasanya mengandung mikroba yang rendah (kurang dari 1000 koloni/ml). Penyimpanan susu di suhu kamar akan meningkatkan kandungan mikroba sampai sekitar 100 kali lipat bahkan lebih (Chye et al., 2004).
Berbagai agensia etiologi dalam penyakit asal susu telah berkembang secara dramatis selama ini. Dilaporkan bahwa lebih dari 90% kasus penyakit yang berkaitan dengan susu dan produknya disebabkan oleh bakteri, dan sebanyak 21 jenis penyakit telah diketahui. Bakteri-bakteri patogen yang berkaitan dengan konsumsi susu antara lain Listeria monocytogenes, Salmonella, Escherichia coli, Campylobacter, Staphylococcus aureus, Bacillus cereus dan Clostridium botulinum. Keberadaan bakteri-bakteri tersebut dalam susu telah menjadi isu kesehatan masyarakat (public health) yang penting (Chye et al., 2004).
Oliver et al. (2005) menyatakan bahwa industri atau usaha yang berkaitan dengan susu dan produk-produknya harus memiliki kepedulian yang tinggi terhadap aspek keamanan pangan dan selalu menjadikannya sebagai isu utama. Menurut mereka setidaknya ada enam alasan penting mengapa hal ini patut menjadi perhatian: (1) terdapatnya susu yang mengandung beberapa mikro-organisme patogen yang mengakibatkan penyakit pada manusia, (2) sejumlah wabah penyakit yang terjadi pada manusia telah mampu dibuktikan berhubungan dengan konsumsi susu mentah atau tanpa pasteurisasi bahkan dengan susu pasteurisasi, (3) terdapatnya kebiasaan mengkonsumsi susu mentah oleh peternak, pegawai peternakan, keluarga peternak atau masyarakat sekitar peternakan, (4) susu mentah atau tanpa pasteurisasi dikonsumsi secara langsung oleh segmen
(20)
tertentu dalam masyarakat melalui konsumsi beberapa tipe keju termasuk keju etnis yang dibuat dari susu mentah, (5) masuknya bakteri patogen yang ada dalam susu mentah kedalam unit pengolahan susu menjadikan patogen-patogen ini persisten sebagai kontaminan dalam bentuk biofilm dan mengkontaminasi produk bahan pangan yang telah diolah, (6) terjadinya kegagalan atau tidak sempurnanya proses pasteurisasi yang mengakibatkan ketidakmampuan proses tersebut untuk menghancurkan semua bakteri patogen yang terdapat dalam susu.
Di Indonesia, kondisi yang disebutkan dalam beberapa poin diatas masih banyak ditemui terutama di peternakan-peternakan sapi perah rakyat, tempat penampungan susu dan tempat-tempat pengolahan produk susu skala kecil atau rumah tangga. Bahkan kadang-kadang terjadi di unit-unit usaha peternakan sapi perah atau pengolahan susu berskala besar/industri. Hal ini diakibatkan oleh kurang konsistennya penerapan praktik-praktik higene dan sanitasi yang baku oleh para peternak/pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Oleh karena itu peluang susu dan/atau produk-produk olahannya menjadi vehicle dalam menularkan mikroorganisme (terutama bakteri) patogen kepada masyarakat (konsumen), termasuk didalamnya yang bersifat zoonotik, masih cukup tinggi.
Perkembangan minat masyarakat saat ini terhadap produk olahan susu, baik berupa susu pasteurisasi maupun fermentasi semakin meningkat. Ditunjukkan dengan semakin beragamnya produk susu olahan yang beredar di masyarakat. Bahkan strategi pemasaran langsung melalui pedagang keliling yang menjajakan produk-produk ini telah banyak ditempuh oleh sejumlah produsen. Kondisi ini pula yang menyebabkan tumbuhnya industri-industri pengolahan susu skala kecil/rumah tangga yang memproduksi produk-produk olahan susu, salahsatunya produk susu fermentasi seperti yogurt. Kekhawatiran kemudian timbul terutama terhadap status keamanan pangan produk-produk tersebut. Hal ini disebabkan oleh kekhawatiran terhadap kualitas bahan baku susu yang digunakan dan kurangnya tingkat sanitasi dan higiene dalam proses produksinya.
Di sisi lain proses produksi bahan pangan yang menghasilkan penurunan pH dari sistem pangan yang disebabkan oleh asam-asam organik yang dihasilkan oleh proses pickling atau fermentasi telah lama digunakan sebagai mekanisme primer untuk meningkatkan keamanan dan pemeliharaan kualitas suatu bahan
(21)
pangan. Hal inilah yang menjadikan perhatian terhadap produk-produk susu fermentasi terus meningkat seiring daya tarik produk ini yang memiliki kandungan nutrisi dan kualitas mikrobiologis yang baik. Juga didukung oleh potensinya dalam meningkatkan status kesehatan (health promoting agent).
Sementara itu, teori mengenai pengaruh penghambatan asam-asam organik yang diproduksi oleh mikroorganisme penghasil asam-asam organik dalam bahan pangan asal susu (dairy foods) terhadap berbagai mikroorganisme patogen dan pembusuk telah banyak didokumentasikan. Namun demikian, saat ini ketersediaan informasi di tingkat nasional tentang pengaruh berbagai kombinasi kultur starter (bibit) mikroorganisme yang digunakan untuk membuat suatu produk susu fermentasi terhadap ketahanan hidup bakteri patogen asal makanan (foodborne pathogens) masih sangat terbatas.
Untuk itu penelitian ini direncanakan dalam rangka mengkaji ketahanan hidup (survival) bakteri patogen sebagai kontaminan dalam susu yang telah diberi kultur starter yoghurt dan kefir selama proses fermentasi dan selama penyimpanan dingin.
Permasalahan
Selama ini, produk-produk susu fermentasi dianggap secara intrinsik telah aman untuk dikonsumsi karena secara alami telah mengandung asam-asam organik, yang merupakan hasil metabolisme kultur starter terhadap gula susu. Asam-asam organik dapat berperan pula dalam menghambat pertumbuhan bahkan membunuh bakteri-bakteri patogen. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh jenis kultur starter yang digunakan serta proses pembuatan susu fermentasi, mulai dari pemilihan bahan baku, pengolahan dan penyimpanannya. Jika bahan baku susu yang digunakan telah tercemar bakteri patogen dan/atau tercemar pada saat proses produksi, baik berasal dari tidak sempurnanya proses pasteurisasi maupun kontaminasi dari peralatan maupun pekerja, maka ketahanan hidup (survival) bakteri tersebut selama proses fermentasi dan penyimpanan dingin sangat menarik untuk diteliti. Penelitian ini telah menghasilkan informasi mengenai tingkat ketahanan hidup bakteri patogen selama proses pembuatan dan penyimpanan pada
(22)
jenis susu fermentasi yang berbeda, sekaligus menunjukkan tingkat keamanan mikrobiologis jenis susu fermentasi tersebut.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ketahanan hidup bakteri patogen pencemar, baik dari kelompok Gram negatif (Escherichia coli) maupun Gram positif (Staphylococcus aureus), dalam susu yang mengandung kultur starter yoghurt dan kefir selama proses fermentasi dan penyimpanan dingin.
Hipotesis
Kultur starter yang digunakan pada setiap jenis susu fermentasi dalam penelitian ini mampu menghambat pertumbuhan bakteri patogen uji, baik selama proses fermentasi maupun penyimpanan dingin.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat: (a) menghasilkan informasi tentang sifat antagonistik kultur starter yang digunakan terhadap bakteri patogen uji; (b) menghasilkan data kuantitatif mengenai ketahanan hidup bakteri patogen dari kelompok Gram positif dan negatif selama proses fermentasi dan penyimpanan dingin pada produk susu fermentasi dan kultur starter yang berbeda; (c) menyajikan data ilmiah tentang status keamanan mikrobiologis produk-produk susu fermentasi yang tercemar oleh bakteri patogen; (d) menyajikan bukti ilmiah kepada masyarakat/konsumen serta para pelaku usaha pengolahan susu fermentasi mengenai pentingnya menjaga tingkat sanitasi dan higiene pada level yang menghasilkan produk yang aman dan (e) data kuantitatif yang dihasilkan dapat digunakan sebagai masukan untuk proses pengkajian resiko (risk assessment) produk-produk susu fermentasi.
(23)
Susu Fermentasi
Sejak tahun 1960-an produksi industri susu fermentasi telah meningkat pesat di seluruh dunia. Beberapa faktor yang mendukung kesuksesan produksi yogurt adalah kesan alami, karakteristik organoleptik, kandungan nutrisi dan sifat terapeutik yang dimilikinya. Kavas et al. (2003) menyatakan bahwa yogurt memiliki komposisi yang lebih kaya daripada susu disebabkan oleh kondisi produksi dan zat-zat yang terkandung dengan kombinasinya yang ada didalam yogurt dibandingkan dalam susu sebagai akibat dari proses fermentasi. Dengan proses fermentasi itu kandungan nutrisinya meningkat dan lebih mudah dicerna. Lebih dari itu yogurt mengandung bakteri yang menguntungkan bagi kesehatan konsumennya.
Secara umum, jenis susu fermentasi dibedakan berdasarkan metode fermentasi atau prosesnya, yang terkait dengan mikroba yang terlibat didalamnya. Tiap jenis susu fermentasi melibatkan mikroba spesifik, namun demikian terdapat kesamaan yang kuat dalam teknologi produksi yang digunakannya. Fermentasi susu secara umum melibatkan metabolisme laktosa, disakarida dalam susu menjadi asam laktat, oleh bakteri asam laktat terutama Lactococci dan Lactobacilli. Dalam memproduksi susu fermentasi yang baik perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: susu segar bermutu tinggi, rendah kandungan cemaran bakterinya, dipasteurisasi dengan tepat, menggunakan kultur bibit (starter) yang aktif dan tepat, pendinginan yang cepat dan sanitasi yang baik. Seleksi kultur starter dan kondisi fermentasi memegang peranan penting dalam proses susu fermentasi (Surono, 2004).
Dalam standar CODEX No. 243 (CODEX, 2003) susu fermentasi didefinisikan sebagai produk susu yang dihasilkan dengan cara memfermentasi susu (susu yang digunakan dimungkinkan berasal dari bahan-bahan asal susu dengan atau tanpa modifikasi komposisi) oleh aktivitas mikroorganisme yang cocok dan menghasilkan penurunan pH dengan atau tanpa koagulasi (presipitasi isoelektrik). Starter (bibit) mikroorganisme yang digunakan harus hidup, aktif
(24)
dan ada dalam jumlah yang cukup banyak didalam produk sampai tanggal akhir masa simpannya.
Selanjutnya menurut Kurmann et al. (1992), untuk susu segar yang diolah dengan teknik fermentasi (fermented) atau pemberian kultur mikroba (cultured) maka syarat-syarat berikut harus dipenuhi agar dapat disebut susu fermentasi: (1) penggunaan mikroorganisme yang terpilih, non patogenik dan non toksigenik; (2) derajat keasaman minimum yang harus dipenuhi adalah 0,6% total asam yang dinyatakan dalam asam laktat diakhir proses fermentasi (setara dengan nilai pH sekitar 4,6 – 4,7); (3) jumlah sel yang hidup (viable cell count) yang terkandung dalam produk susu fermentasi setelah proses fermentasi selesai setidaknya harus mengandung 108-109 koloni/ml produk. Mikroba yang hidup tersebut harus merupakan spesies mikroba yang digunakan sebagai kultur starter dan disebutkan dalam label kemasan. Pada saat produk dikonsumsi jumlah sel hidup yang terkandung setidaknya harus berjumlah 107 koloni/ml.
Aplikasi Bakteri Asam Laktat dalam Susu Fermentasi
Bakteri asam laktat (BAL) terdiri atas beberapa genus bakteri dalam phylum Firmicutes. Genus Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus, Lactosphaera, Leuconostoc, Melissococcus, Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus dan Weissella dikenal sebagai BAL. Bakteri Gram positif penghasil asam laktat yang termasuk phylum Actinobacteria adalah genus seperti Aerococcus, Microbacterium, dan Propionibacterium termasuk Bifidobacterium. Anggota BAL berbagi karakteristik sebagai bakteri Gram positif yang memfermentasi karbohidrat menjadi energi dan asam laktat. Sebagai tambahan, BAL juga memproduksi senyawa-senyawa organik kecil yang dapat memberikan aroma dan flavor dari produk fermentasi (Beasley, 2004).
Kini berbagai spesies bakteri asam laktat diaplikasikan dalam produk susu fermentasi (Tabel 1) dan spesies bakteri asam laktat bersama bifidobakteria merupakan mikroorganisme yang paling banyak dikembangkan sebagai kultur probiotik terutama yang berupa bahan pangan.
(25)
Tabel 1. Beberapa Bakteri Asam Laktat yang Sering Digunakan dalam Produk Susu Fermentasi
Bakteri Produk Manfaat
Lactobacillus thermofil homofermentatif L. delbruekii ssp. bulgaricus
L. delbruekii ssp. lactis L. delbruekii ssp. delbruekii
L. acidophilus
L. helveticus
L. helveticus ssp. juguri L. fermentum
Yogurt, keju Swiss dan Italia, mentega susu
Susu acidophilus, minuman yogurt, miru-miru, kefir, koumis Kefir, minuman yogurt Yogurt Menghasilkan asetaldehida Potensi kesehatan Potensi kesehatan Lactobacillus mesofil heterofermentatif L. casei ssp. casei L. casei ssp. pseudoplantarum L. casei ssp. rhamnosus L. casei ssp. tolerans L. plantarum
L. brevis, L. kevir
Yakult, minuman yogurt, miru-miru, kefir
Kefir
Potensi kesehatan
Streptococcus
(Lactococcus) mesofil Str. Lactis. ssp. lactis
Str. Lactis biofar diacetylactis
Susu fermentasi Skandinavia, mentega dank rim fermentasi, kefir
Mentega fermentasi, krim fermentasi, kefir
Menghasilkan nisin dan diplococcin
diasetil
Streptococcus
(Lactococcus)thermofil
Str. thermophilus Yogurt Leuconostoc
Leu. mesenteroides ssp. mesenteroides
Leu. mesenteroides ssp. dextranicum
Leu. mesenteroides ssp. cremoris
Leu. citrororum
Kefir
Kefir
Keju cottage dan krim, mentega fermentasi Mentega fermentasi
Sumber: Hosono (1992); Kanbe (1992); Salminen dan von-Wright (1998); Ouwehand (2002); Surono (2004)
(26)
Produk-produk Susu Fermentasi
Diantara sekitar 400 nama produk susu fermentasi di dunia, baik yang diproduksi secara tradisional maupun industri, yogurt merupakan produk yang paling populer. Konsumen akan mudah sekali mendapatkan yogurt dalam berbagai cita rasa, dan produk inilah yang saat ini di Indonesia paling banyak diproduksi baik oleh industri skala menengah/besar maupun industri skala kecil atau rumah tangga. Salahsatu produk susu fermentasi lain yang tengah meningkat peminatnya adalah kefir. Berbeda dengan yogurt, nama kefir sebagai salahsatu produk susu fermentasi lebih banyak dikenal oleh segmen tertentu dari konsumen, terutama peminat produk-produk makanan fungsional alami.
Menurut standar CODEX No. 243 (CODEX, 2003), yogurt didefinisikan sebagai produk susu fermentasi yang merupakan hasil kultur simbiotik antara Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus. Standar yang sama mendefinisikan kefir sebagai produk susu fermentasi yang menggunakan kultur starter berupa ”biji kefir” (kefir grains). Biji kefir ini mengandung Lactobacillus kefiri, spesies dari genus Leuconostoc, Lactococcus dan Acetobacter yang tumbuh dengan hubungan yang spesifik dan kuat. Biji kefir juga mengandung khamir yang dapat memfermentasi laktosa (Kluyveromyces marxianus) maupun yang tidak dapat memfermentasi laktosa (Saccharomyces unisporus, Saccharomyces cerevisiae dan Saccharomyces exiguus).
a. Yogurt
Yogurt adalah koagulum susu yang dihasilkan oleh fermentasi asam laktat yang merupakan aktivitas dari Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus yang juga disebut starter yogurt dengan perbandingan 1:1 (Orihara et al., 1992; Jay et al., 2005). Bakteri kokus tumbuh lebih cepat daripada bakteri yang berbentuk batang (rod) sekaligus merupakan produsen asam tertinggi, sedangkan bakteri yang berbentuk batang menghasilkan flavor dan aroma. Pertumbuhan asosiasi dari dua organisme tersebut menghasilkan produksi asam laktat yang lebih banyak dibandingkan jika diproduksi oleh masing-masing organisme secara tunggal. Selain itu asetaldehid lebih banyak diproduksi oleh
(27)
Lactobacillus bulgaricus tatkala tumbuh berasosiasi dengan Streptococcus thermophilus (Jay et al., 2005).
Surono (2004) juga menyatakan bahwa yogurt mempunyai rasa asam yang sedang dengan konsistensi lembut dari gel kental dengan citarasa almon. Bakteri yogurt Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus (Lb) dan Streptococcus thermophilus (St) secara alami terdapat dalam susu atau sengaja ditambahkan sebagai kultur starter sebanyak 2 - 5% dengan perbandingan 1:1. Suhu fermentasi optimum adalah 42-450C selama 3 – 6 jam hingga dicapai pH 4,4 dengan kadar asam tertitrasi mencapai 0,9 – 1,2%. Citarasa yang enak adalah hasil kerjasama protokooperasi antara kedua bakteri yogurt yang dipengaruhi oleh suhu inkubasi dan asam yang dihasilkan. Senyawa-senyawa volatil dalam jumlah kecil termasuk asam asetat, diasetil dan asetaldehida dihasilkan oleh Lb. Yogurt dan produk yang serupa banyak diproduksi di daerah Mediterania, Asia, Afrika dan Eropa Tengah.
Jay et al. (2005) melaporkan bahwa yogurt yang baru diproduksi mengandung sekitar 109 organisme/g, akan tetapi selama penyimpanan, jumlah tersebut akan menurun menjadi sekitar 106/g, khususnya ketika disimpan pada suhu 5oC selama 60 hari. Adapun kemampuan starter yogurt ini dalam mengkolonisasi usus masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan, saat ini terdapat konsensus diantara para ilmuwan bahwa kultur yogurt (Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus) tidak dapat menempel pada permukaan mukosa usus walaupun kadang-kadang terjadi hasil studi yang berbeda dikarenakan oleh berbedanya variasi galur (strain) starter yang digunakan, perbedaan dalam desain eksperimen, atau hasil dari studi pada hewan diterapkan secara salah kepada manusia (Tamime dan Robinson, 1999).
Yoghurt Probiotik. Pada tahun 1989, R. Fuller mempopulerkan istilah probiotik, dia mendefinisikan probiotik sebagai suplemen pangan berupa mikroba hidup yang dapat memberikan manfaat bagi kesehatan inangnya melalui perbaikan keseimbangan mikroba pada saluran pencernaan. Mikroba dari berbagai genus banyak digunakan sebagai probiotik, namun grup bakteri asam laktat (BAL) (lactobacilli, enterococci dan bifidobacteria) merupakan yang paling banyak digunakan (Ouwehand et al., 2002).
(28)
Dunne et al. (1999) dan Ouwehand et al. (2002) menyatakan bahwa bakteri tergolong probiotik jika memiliki karakteristik sebagai berikut: resisten terhadap enzim-enzim pankreas, asam dan garam empedu; bersifat non patogen; mampu bertahan di saluran pencernaan sekalipun hanya dalam periode yang singkat; memproduksi substansi antimikroba; memodulasi respon imun; memiliki pengaruh terhadap aktivitas metabolisme; mampu menempel pada dinding mukosa usus; diisolasi dari manusia; efek kesehatannya telah terbukti melalui penelitian-penelitian ilmiah; aman dan mempunyai karakteristik industri yang baik.
Penggunaan BAL yang mempunyai sifat probiotik, baik dari genus lactobacilli ataupun bifidobacteria, sebagai starter pembuatan yoghurt menjadikan yoghurt tersebut dikenal sebagai “yoghurt probiotik”. Yoghurt yang mengandung bakteri probiotik ini diyakini memiliki efek fisiologis yang lebih bermanfaat bagi status kesehatan konsumennya (Salminen et al., 2005).
b. Kefir
Kefir adalah minuman susu fermentasi yang kental, sedikit berkarbonasi dan mengandung alkohol dalam jumlah yang kecil, produk ini diyakini berasal dari pegunungan Kaukasia di wilayah bekas Uni Soviet. Produk ini juga diproduksi dengan berbagai variasi nama seperti kephir, kiaphur, kefer, knapon, kepi dan kippi. Sampai saat ini belum dapat dipastikan apakah semua kefir berasal dari kultur starter yang sama pada awalnya, hal ini disebabkan oleh berbedanya hasil analisis mikroba terhadap kefir yang diambil dari berbagai tempat (Farnworth, 2005).
Produk susu fermentasi ini diproduksi dengan menggunakan starter yang sering disebut sebagai ”biji kefir” (kefir grain) yang mengandung antara lain L. lactis, L. bulgaricus dan khamir/ragi yang dapat memfermentasi laktosa. Produksi asam dikontrol oleh bakteri, sedangkan khamir memproduksi alkohol. Konsentrasi akhir dari asam laktat dan alkohol diperkirakan maksimum 1% (Jay et al., 2005).
Rasa, kekentalan (viscosity) dan komposisi mikrobial serta kimia dari produk akhir kefir dapat dipengaruhi oleh ukuran inokulum yang ditambahkan kedalam susu, terjadinya agitasi selama proses fermentasi, laju, suhu dan lama
(29)
pendinginan dan pematangan setelah fermentasi. Kefir alami memiliki cita rasa khamir dan menyegarkan serta terdapat kondisi yang segar tatkala dirasakan di mulut. Prosedur pembuatan kefir modern menghasilkan level etanol dalam produk akhir sekitar 0.01–0.1%, jumlah etanol dan CO2 yang dihasilkan selama
fermentasi kefir tergantung kepada kondisi produksi yang digunakan (Farnworth, 2005).
Farnworth (2005) juga menyatakan bahwa “biji kefir” berbentuk seperti sekumpulan kembang kol kecil, ukurannya panjangnya sekitar 1-3 cm, berbentuk bulat-bulat (lobus) tidak beraturan dengan warna putih atau putih kekuningan dan memiliki tekstur yang berlendir tapi kenyal. Biji kefir ini harus dipelihara agar tetap hidup dan tumbuh dengan cara mentransfernya kedalam susu segar setiap hari dan membiarkan mereka tumbuh sekitar 20 jam, selama waktu tersebut massa biji kefir akan berkembang 25% lebih banyak.
Gambar 1. Biji Kefir (Farnworth, 2005)
(30)
Proses Fermentasi
Secara biokimia, fermentasi adalah sebuah proses metabolis dengannya karbohidrat dan senyawa lainnya yang berkaitan dioksidasi secara parsial dengan melepaskan energi tanpa keberadaan akseptor elektron eksternal. Akseptor elektron final adalah senyawa-senyawa organik yang diproduksi secara langsung dari pemecahan karbohidrat (Jay et al., 2005).
Di alam terdapat banyak mikroorganisme yang dapat memetabolisme berbagai jenis karbohidrat. Bakteri asam laktat (BAL) telah digunakan oleh manusia untuk memfermentasi produk-produk pangan dan pakan sejak lama pada masa-masa awal peradaban manusia. Sampai saat ini aplikasi utamanya masih dalam industri pakan dan pangan misalnya dalam produksi produk olahan susu, daging dan anggur (wine). BAL memfermentasi gula melalui jalur yang berbeda sehingga menghasilkan fermentasi homo-, hetero-, atau campuran (Gambar 3) (Hofvendahl dan Haegerdal, 2000).
Selanjutnya Hofvendahl dan Haegerdal (2000), menjelaskan bahwa homofermentasi hanya menghasilkan asam laktat (AL) sebagai produk akhir metabolisme glukosa dalam proses ini digunakan jalur Embden–Meyerhoff– Parnas (Gambar 3A). Dalam proses heterofermentasi AL, karbondioksida dan etanol diproduksi dalam jumlah molar yang seimbang melalui jalur fosfoketolase. Rasio etanol dan asetat yang terbentuk tergantung dari potensi oksidasi dan reduksi dari sistem yang ada, jalur ini digunakan oleh heterofermentor fakultatif Lb. casei (Gambar 3B).
(31)
Gambar 3. Jalur Katabolis dalam BAL (A) Homofermentasi, (B) Heterofermentasi dan (C) Fermentasi campuran (asam) [mixed acid]. P = phosphate, BP = bisphosphate, LDH = lactate dehydrogenase, PFL = pyruvate formate lyase, dan PDH = pyruvate dehydrogenase (Hofvendahl dan Haegerdal, 2000).
Sedangkan fermentasi asam campuran dibentuk oleh homofermentor seperti laktokokus pada saat ketersediaan glukosa kurang/sedikit, dan pada saat pertumbuhan dalam gula-gula lain mis. Lc. lactis pada maltosa, laktosa dan galaktosa atau pada saat peningkatan pH dan penurunan suhu. Etanol, asam asetat dan format dibentuk sebagai tambahan terhadap AL. Jalur yang digunakan adalah homofermentatif, namun perbedaannya adalah dalam metabolisme piruvat, dalam hal ini selain menghasilkan AL, juga dibentuk asam format dan acetyl-CoA oleh pyruvate formate lyase (PFL) (Gambar 3C). Jika terdapat oksigen, PFL menjadi inaktif dan sebagai alternative jalur metabolisme piruvat menjadi aktif melalui pyruvate dehydrogenase (PDH), yang menghasilkan produksi karbondioksida, acetyl-CoA dan NADH. BAL juga mampu membentuk produk-produk lain seperti flavor mis. diacetyl dan acetoin juga bakteriosin (Hofvendahl dam Haegerdal, 2000).
(32)
Masih menurut Hofvendahl dan Haegerdal (2000), efisiensi fermentasi asam laktat ini dipengaruhi oleh: mikroorganisme yang digunakan, sumber karbon, sumber nitrogen, teknik/modus fermentasi, imobilisasi dan resirkulasi sel, pH dan suhu. Sementara itu Yang (2000) menyatakan fermentasi oleh BAL ditandai dengan terakumulasinya asam-asam organik yang diikuti dengan penurunan pH. Tingkat dan tipe dari asam-asam organik selama proses fermentasi tergantung kepada spesies organisme, komposisi kultur dan kondisi pertumbuhan.
Sifat Antagonistik Bakteri Asam Laktat dan Metabolitnya
Pengaruh antimikrobial dari bakteri asam laktat telah digunakan oleh manusia selama lebih dari 10.000 tahun, dengannya manusia dapat memperpanjang masa simpan bahan pangan melalui proses fermentasi. Pendekatan inovatif telah dilakukan sebagai alternatif terhadap antibiotik dalam mengobati penyakit gastrointestinal dan ini termasuk agen bioterapeutik hidup seperti isolat bakteri. Bakteri asam laktat mengeluarkan aktivitas antagonistik yang kuat terhadap berbagai mikroorganisme termasuk bakteri pembusuk dan patogen pada makanan (Savadogo et al., 2004).
Dalam berbagai lingkungan ekologi tertentu, mikroorganisme bersaing satu sama lain untuk bertahan hidup dan melalui proses evolusi akhirnya membentuk flora yang unik. Dalam ekosistem beberapa jenis bahan pangan, bakteri asam laktat (BAL) menjadi mikroflora yang dominan. Organisme ini mampu memproduksi senyawa antimikroba yang melawan flora kompetitornya, termasuk bakteri pembusuk dan patogen dalam bahan pangan. Dibawah kondisi lingkungan yang kurang cocok, banyak spesies BAL juga memproduksi eksopolisakarida (EPS) yang melindungi mereka dari desikasi, bakteriphage dan serangan protozoa (Yang, 2000).
Yang (2000) juga menjelaskan bahwa pengaruh antimikroba dari asam-asam organik terletak pada penurunan pH juga bentuk molekulnya yang tidak terdisosiasi. pH eksternal yang rendah akan menyebabkan pengasaman (acidification) pada sitoplasma sel, sementara asam yang tidak terdisosiasi menjadi lipofilik sehingga dapat berdifusi secara pasif melewati membran sel.
(33)
Asam yang tidak terdisosiasi ini bekerja dengan cara mengganggu gradien elektrokimia proton atau dengan mengubah permeabilitas membran sel yang menghasilkan rusaknya sistem tranport seluler.
Selanjutnya Neugebauer dan Gilliland (2005) menyatakan bahwa Kemampuan BAL untuk mengawetkan makanan dan mencegah pertumbuhan organisme yang tidak diinginkan telah dikaji selama bertahun-tahun. Banyak BAL yang memiliki kemampuan untuk memproduksi zat-zat yang menjadi penghambat pertumbuhan bakteri lain (termasuk organisme patogen dan pembusuk) pada suhu rendah. Faktor terpenting dari organisme ini dalam sistem pangan adalah kemampuannya memproduksi zat-zat penghambat pada suhu refrigerasi saat organisme tersebut tidak sedang tumbuh.
Diantara asam-asam organik, asam laktat dikenal sebagai biopreservatif dalam produk-produk fermentasi alami. Aktivitas antibakteri asam laktat sebagian besar, walaupun tidak secara keseluruhan, diakibatkan oleh kemampuannya dalam kondisi tidak terdisosiasi untuk melakukan penetrasi terhadap membran sitoplasma yang menghasilkan penurunan pH intraselular dan perusakan dari gaya transmembran proton (Alakomi et al., 2000).
Kemudian Alakomi et al. (2000) juga menyatakan bahwa AL yang diproduksi oleh kultur starter BAL dapat berfungsi sebagai antimikroba alami yang statusnya secara umum telah dikenal aman (GRAS = generally recognized as safe). Asam laktat mampu menghambat pertumbuhan berbagai tipe bakteri pembusuk dan patogen termasuk spesies Gram negatif dalam famili Enterobacteriaceae dan Pseudomonadaceae atau yang termasuk kedalam kelompok bakteri Gram positif seperti L. monocytogenes, Mycobacterium spp, S. aureus, C. perfringens, B. cereus (Cotter dan Hill, 2003).
Asam laktat (AL) (CH3CHOHCOO-) adalah senyawa kimia yang banyak manfaatnya, antara lain untuk: a) agen pembentuk asam, flavor dan pengawet bagi makanan, obat-obatan, kulit dan industri kulit; b) produksi basis kimia; c) polimerisasi terhadap poli AL yang bersifat biodegradable. AL memiliki dua isomer optic, D dan L asam laktat, kedua bentuk isomer tersebut dapat dipolimerisasi dan polimer dengan berbagai karakteristik dapat diproduksi tergantung komposisinya. Sekitar 90% dari 80.000 ton asam laktat yang
(34)
diproduksi di seluruh dunia setiap tahun saat ini diproduksi melalui fermentasi asam laktat dari bakteri, sisanya diproduksi secara sintetis oleh hidrolisis laktonitril. Produksi secara fermentasi dari bakteri memiliki keunggulan tersendiri yaitu dengan dimungkinkannya untuk memilih strain/galur bakteri asam laktat (BAL) yang hanya memproduksi satu isomer, dan secara optik produk tersebut murni, sementara produksi secara sintetis selalu menghasilkan asam laktat campuran (Hofvendahl dan Haegerdal, 2000).
Asam laktat merupakan metabolit utama fermentasi bakteri asam laktat dengan kondisi ekuilibrium antara bentuk terdisosiasi dengan tidak terdisosiasi, dan keberadaan bentuk terdisosiasi tergantung kepada pH. Dalam kondisi pH rendah, sejumlah besar asam laktat ada dalam bentuk tidak terdisosiasi, dalam kondisi ini maka asam laktat bersifat toksik terhadap berbagai jenis bakteri, fungi dan khamir. Walaupun demikian, mikroorganisme yang berbeda bervariasi dalam sensitivitasnya terhadap asam laktat. Pada pH 5.0, asam laktat menjadi pengambat (inhibitor) terhadap bakteri pembentuk spora akan tetapi tidak terhadap khamir dan kapang. Asam asetat dan propionat diproduksi oleh BAL melalui jalur heterofermentatif, dapat berinteraksi dengan membran sel dan menyebabkan pengasaman intraseluler serta denaturasi protein. Asam-asam ini lebih efektif sifat antimikrobanya dibandingkan dengan asam laktat karena mereka memiliki nilai pKa yang lebih tinggi (asam laktat 3,08; asam asetat 4,75; dan asam propionate 4,87) juga memiliki persentase asam dalam bentuk tidak terdisosiasi yang lebih tinggi dalam pH yang sama. Asam asetat juga melakukan aksi yang sinergis dengan asam laktat; asam laktat menurunkan pH medium, pada saat yang sama meningkatkan toksisitas asam asetat (Yang, 2000).
Prevalensi Bakteri Patogen dalam Susu
Survey terhadap prevalensi bakteri patogen dalam susu telah banyak dilakukan, hasil dari setiap studi menghasilkan angka yang bervariasi. Berbagai faktor diperkirakan memberikan kontribusi terhadap bervariasinya hasil survey yang telah dilakukan seperti: lokasi geografis, musim, ukuran peternakan, jumlah ternak di peternakan, higiene, praktik manajemen peternakan, variasi dalam pengambilan sampel, variasi dalam tipe sampel yang dievaluasi dan perbedaan
(35)
metode deteksi yang digunakan. Namun demikian, terlepas dari variasi yang ada, semua hasil survey menunjukkan dengan jelas bahwa susu dapat menjadi sumber patogen asal makanan yang nyata terhadap kepentingan kesehatan manusia (Oliver et al., 2005).
Chye et al. (2004) telah melakukan survey terhadap kualitas dan keamanan mikrobiologis susu di Malaysia. Sampel susu dari 360 peternakan sapi perah di seluruh Malaysia dianalisis total bakterinya, Staphylococcus aureus, coliform, Escherichia coli, Listeria monocytogenes, E. coli 015:H7 dan Salmonella. Rataan angka total bakteri termasuk bakteri psikrotrop dan termofil masing-masing adalah 12 x 106, 7,5 x 103 dan 9,1 x 103 cfu/ml. Dari total 930 sampel susu yang dianalisis 90% terkontaminasi oleh bakteri coliform dan 65% positif E. coli, S. aureus dapat diisolasi dari lebih 60% sampel, sementara Salmonella dan L. monocytogenes hanya dapat dideteksi pada masing-masing 1,4% dan 1.9%.
Kemudian Hempen (2006) telah melakukan investigasi mikrobiologis terhadap susu mentah dan susu fermentasi di Gambia. Investigasi ini dilakukan dari tingkat peternak, pedagang antara dan pedagang eceran. Sebanyak masing-masing 236 dan 142 sampel susu mentah dan fermentasi dianalisis kandungan total bakterinya, koliform, E. coli, coagulase-positive Staphylococci, Salmonella spp., Bacillus cereus, Listeria spp. dan Clostridia pereduksi H2S. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa 64% sampel susu mentah dan 55% sampel susu fermentasi mengandung total bakteri lebih dari 5x104 cfu/ml dengan kandungan tertingi 2x106 cfu/ml. Kandungan E. coli diatas 1x104 cfu/ml ditemukan pada 22,6% sampel susu mentah dan 23.7% sampel susu fermentasi. Kemudian 25% sampel susu mentah mengandung coagulase-positive Staphylococci lebih dari 2x103 cfu/ml. Listeria spp. and Salmonella spp. dapat diisolasi hanya pada beberapa sampel saja. Bakteri pembentuk spora seperti Bacillus cereus dapat diisolasi dari 17% sampel susu mentah dan 12,7% sampel susu fermentasi, sedangkan Clostridia pereduksi H2S dapat diisolasi dari 22,3%
sampel susu mentah dan 14,4% sampel susu fermentasi.
Survey terhadap prevalensi S. aureus dalam susu telah dilakukan oleh Jørgensen et al. (2005) di Norwegia, dari 220 sampel susu sapi dan 213 sampel susu kambing serta 82 sampel produk asal susu mentah, S. aureus dapat dideteksi
(36)
pada masing-masing sampel sejumlah 75%, 96,2% dan 37,8%. Kemudian Jayarao dan Henning (2001) melaporkan hasil surveynya terhadap susu kandang dari 131 peternakan di Dakota Selatan dan Minnesota Barat AS, hasilnya menunjukkan angka prevalensi bakteri Campylobacter jejuni, shiga-toxin producing Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Salmonella spp., dan Yersinia enterocolitica dalam sampel susu masing-masing sebagai berikut 9,2; 3,8; 4,6; 6,1 dan 6,1%. Tiga puluh lima dari 131 (26,7%) sampel susu kandang mengandung satu atau lebih spesies bakteri patogen.
Van Kessel et al. (2004) telah melakukan survey terhadap prevalensi Salmonella, Listeria monocytogenes, dan koliform fekal dari susu kandang yang berjumlah 861 sampel yang diambil dari berbagai peternakan di 21 negara bagian di Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa 95% sampel mengandung bakteri koliform fekal, rataan jumlah sel radang adalah 295.000 sel/mL, 2,6% sampel positif mengandung Salmonella dan 6.5% sampel positif mengandung Listeria monocytogenes.
Keberadaan bakteri patogen dalam susu kandang (bulk milk) sepertinya berhubungan langsung dengan kontaminasi fekal yang terjadi terutama pada saat pemerahan, walaupun beberapa bakteri patogen yang dapat menyebabkan mastitis masuk ke dalam susu karena infeksi intramamari. Masuknya susu yang terkontaminasi patogen kedalam unit pengolahan susu dan kemampuannya dalam membentuk biofilm menjadi resiko penting kontaminasi pasca pasteurisasi yang dapat ditransmisikan kepada konsumen (Oliver et al., 2005).
Gambaran siklus agen patogen dalam lingkungan peternakan sapi perah dan kemungkinan masuknya patogen tersebut kedalam susu disajikan dalam Gambar 4.
(37)
Gambar 4. Siklus Agen Patogen di Lingkungan Peternakan Sapi Perah dan Kemungkinan Transfer Patogen tersebut Kedalam Susu. (A) Amplifikasi Patogen dalam Sapi; (B) Penyebaran di Lingkungan Kandang via Feses; (C) Akumulasi Feses di Lingkungan Peternakan; (D) Penyebaran Manure di Pastura; (E) Hijauan Terkontaminasi Patogen; (F) Pakan Terkontaminasi Dikonsumsi Ternak; (G) Susu dapat Terkontaminasi Patogen Saat Pemerahan; (H) Patogen Masuk ke Tangki Penampung; (I) Susu Terkontaminasi Masuk ke Pasteurizer, Kegagalan Pasteurisasi Mungkin Terjadi; (J) Susu dan Produk Olahannya Dikonsumsi Konsumen, baik Berbahan Baku Susu Mentah ataupun Susu Pasteurisasi (Dimodifikasi dari Oliver et al., 2005).
Adapun kemungkinan masuknya dan bertahannya bakteri patogen dalam produk susu fermentasi digambarkan dalam Gambar 5 berikut ini.
A
B C D
G E
F I
H
(38)
Gambar 5. Beberapa Kemungkinan Jalan Masuk (Port of Entry) Bakteri Patogen Beserta Sumber Pencemarannya serta Kemungkinan Bertahannya Bakteri Tersebut dalam Produk Susu Fermentasi (Dikompilasi dari Massa et al. (1997); Yoshida et al. (1998); Hassan et al. (2000); Ruegg (2003); Oliver et al. (2005); Kyozaire et al. (2005))
Susu sebagai bahan baku produk
Kontaminasi patogen dari peralatan, pekerja, feses, air Kontaminasi patogen dari sapi
yang mengalami infeksi intramamari
Pasteurisasi atau proses pemanasan
Inokulasi kultur starter
Kegagalan pasteurisasi
Fermentasi
Produk susu fermentasi
- Proses yang kurang aseptik, kontaminasi dari pekerja atau peralatan - Rendahnya viabilitas,
daya antagonisme, produksi asam organik dan/atau bakteriosin dari
starter yang digunakan
- Kontaminasi dari bahan tambahan makanan dan/atau air
Pengolahan lanjut, pengemasan
(39)
Pemanfaatan Sifat Antagonisme Bakteri Asam Laktat dan Metabolitnya dalam Meningkatkan Masa Simpan dan Keamanan Mikrobiologis
Bahan Pangan
Neugebauer dan Gilliland (2005) mengkaji pertumbuhan bakteri pembusuk P. fluorescens yang sengaja diinokulasikan ke dalam keju. Dalam keju kontrol, bakteri pembusuk ini meningkat 5 log pada hari ke-7 pematangan keju, sementara pada keju yang diberi perlakuan L. delbrueckii ssp. lactis RM2-5 (1.0 × 109 cfu/g) tidak terdeteksi dan tidak dapat tumbuh setelah 21 hari.
Sementara itu Djenane et al. (2005) mengkaji penambahan BAL yaitu Lactobacillus sakei CTC 372 dan Lactobacillus CTC 711), pada steak daging sapi yang disimpan dalam lingkungan yang mengandung CO2 tinggi, untuk melihat umur simpan dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan L. monocytogenes. Dengan
jumlah awal 5,6 log cfu/mL, setelah 7 hari inkubasi pada suhu 3ºC, L. monocytogenes bertahan hidup pada rataan log 2,8 log cfu/mL pada produk
tanpa galur yang protektif. Pada suhu 8ºC, jumlah L. monocytogenes menurun masing-masing sekitar 2,5 atau 1,5 log/mL saat ditambahkan Lb. sakei CTC 372 atau Lb. CTC 711.
Mufandaedza et al. (2006) telah mengkaji daya tahan hidup dan
pertumbuhan Escherichia coli 3339 dan Salmonella enteritidis 949575 yang
diisolasi dari sampel klinik manusia didalam susu yang difermentasi oleh bakteri asam laktat (BAL) dan khamir yang sebelumnya telah diisolasi dari susu
fermentasi alami Zimbabwe. Kultur BAL yang digunakan adalah Lactococcus
lactis subsp. lactis biovar. diacetylactis C1 (C1) atau kombinasi dengan Candida kefyr 23 (C1/23), L. lactis subsp. lactis Lc261 (LC261) atau kombinasi dengan C.
kefyr 23 (Lc261/23). Pertumbuhan patogen yang sama dalam susu yang
difermentasi oleh kultur DL komersial (CH-N 22) dan susu mentah yang difermentasi secara spontan juga dimonitor. Hasilnya menunjukkan bahwa kultur C1 dan C1/23 secara nyata (P<0.05) telah menghambat pertumbuhan kedua patogen. Ketika diinokulasikan di awal fermentasi baik perhitungan E. coli 3339 dan S. enteritidis 949575 telah menurun secara nyata (P<0.05) sekitar dua log pada C1 dan C1/23. Akan tetapi dalam susu yang difermentasi secara natural dan kultur DL, baik E. coli 3339 dan S. enteritidis 949575 tumbuh dan mencapai populasi tertinggi sampai mencapai masing-masing 9 dan 8.8 log cfu/ml setelah
(40)
18 jam. Saat E. coli 3339 diinokulasikan terhadap susu yang telah difermentasi, populasi bakteri patogen tersebut turun secara nyata pada susu yang menggunakan kultur C1 dan C1/23 dari 7 log cfu/ml menjadi 3 log cfu/ml setelah 48 jam, S. enteritidis 949575 tidak dapat diisolasi dari kultur ini setelah 48 jam.
Masih banyak peneliti lainnya yang melakukan penelitian-penelitian serupa yang memanfaatkan sifat antagonisme BAL dan metabolitnya dalam rangka memperpanjang umur simpan atau meningkatkan keamanan mikrobiologis bahan pangan, antara lain Amezquita dan Brashears (2002) yang meneliti penghambatan L. monocytogenes oleh BAL dalam produk daging siap santap; Cetinkaya dan Soyutemuz (2004) mengkaji ketahanan hidup Listeria monocytogenes selama pembuatan dan pematangan keju Keshar; de Carvalho et al. (2006) telah meneliti tentang penghambatan pertumbuhan Listeria monocytogenes oleh BAL yang diisolasi dari produk Salami asal Italia.
Ketahanan Hidup Bakteri Patogen dalam Interaksinya dengan Bakteri Asam Laktat dalam Susu atau Produk Olahannya
Fang et al. (1996) melakukan kajian terhadap pengaruh antagonistik BAL (Lactobacillus acidophilus, L. bulgaricus, L. casei dan Streptococcus thermophilus) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan menggunakan MRS agar dengan menggunakan teknik deferred dan cross-streaking serta menggunakan susu dengan teknik penghitungan cawan. Semua BAL menekan pertumbuhan S. aureus dan E. coli dalam mendium agar. Akan tetapi aktivitas penghambatannya menurun secara nyata saat medium agar diset ke pH 7,2. Sementara dalam susu normal, L. acidophilus galur A dan B, S. thermophilus dan kombinasinya dengan L. acidophilus A dan L. bulgaricus 6032 menghambat S. aureus, adapun dalam susu mastitis hanya S. thermophilus dan kombinasinya yang menunjukkan penghambatan. L. acidophilus A dan L.
bulgaricus 34104 menekan pertumbuhan E. coli dalam susu normal. S. thermophilus dan kombinasinya menghambat E. coli baik dalam susu normal
maupun mastitis. Hasil riset ini menunjukkan bahwa aktivitas antagonistik BAL terhadap bakteri patogen bervariasi dengan tipe media yang menjadi tempat uji dilakukan.
(41)
Sementara Massa et al. (1997) melakukan kajian terhadap daya tahan hidup Escherichia coli O157:H7 dalam yogurt selama fermentasi dan penyimpanan dingin. Setelah difermentasi selama 5 jam pada suhu 42oC, yogurt disimpan dalam lemari es bersuhu 4oC. Dua jenis yogurt digunakan dalam penelitian ini yaitu yogurt tradisional (YT) yang menggunakan starter L. bulgaricus dan S. thermophilus dengan yogurt ”bifido” (YB) yaitu starter tradisional ditambah Bifidobacterieum bifidum. Setelah 7 hari populasi bakteri uji menurun dari log 3,52 ke 2,72 cfu/ml dan dari log 7,08 ke 5,32 cfu/ml untuk masing-masing inokulasi rendah dan tinggi pada YT; dan dari log 3,49 ke 2,73 cfu/ml serta dari log 7,38 ke 5,41 untuk masing-masing inokulasi rendah dan tinggi pada YB. Nilai pH menurun dari 6,6 ke 4,5 dan 4,4 pada YT dan dari 6,6 ke 4,6 dan 4,5 pada YB untuk masing-masing inokulasi bakteri uji rendah dan tinggi.
Estrada et al. (1999) melakukan penelitian terhadap kemampuan kultur starter yogurt (Streptococcus salivarius subsp. thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subsp bulgaricus) untuk menghambat pertumbuhan empat galur Staphylococcus aureus produsen entertoksin tipe A dan B (ATCC 6538, S6, FRI-100 dan asal susu) selama fermentasi susu dan penyimpanan. Susu skim steril yang digunakan sebagai bahan dasar diinokulasi oleh sekitar 106 CFU/ml Staphylococcus aureus dan sekitar 106 CFU kultur starter, kemudian diinkubasi pada suhu 42oC selama 8 jam diikuti oleh penyimpanan dalam lemari es pada suhu 4oC. Sampel diambil setiap dua jam selama fermentasi dan setiap dua hari selama penyimpanan. Populasi BAL, S. aureus, pH, keasaman, thermostable deoxyribonuclease (TNase) dan produksi staphylococcal enterotoxin A (SEA) dihitung pada setiap pengambilan sampel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perilaku empat galur S. aureus bertahan selama 8 jam fermentasi dan populasinya mulai menurun pada umur sehari penyimpanan, dan baru benar-benar dihambat secara sempurna pada hari ke-9-10. Produksi TNase dan SEA positif pada semua sampel. Hal ini menunjukkan bahwa yogurt dapat menjadi agen penularan organisme uji jika bahan baku susunya tercemar.
Selanjutnya Gulmez dan Guven (2003b) meneliti tentang ketahanan hidup Escherichia coli O157:H7, Listeria monocytogenes 4b dan Yersinia enterocolitica O3 dalam yogurt tradisional Turki dan kefir selama fermentasi dan penyimpanan.
(42)
Populasi semua galur bakteri meningkat selama fermentasi, dengan demikian kontaminasi pra fermentasi menurut mereka menjadi lebih beresiko dibandingkan kontaminasi pasca fermentasi. E. coli O157:H7 dan L. monocytogenes 4b mampu bertahan hidup sampai 21 hari dalam semua sampel. Y. enterocolitica O3 hanya dapat bertahan hidup sampai 14 hari dalam kefir modifikasi. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kultur starter yogurt tampaknya lebih mampu menekan patogen dibandingkan starter kefir.
Peneliti yang sama, dalam penelitiannya yang lain, mengkaji ketahanan bakteri yang sama dengan penelitian sebelumnya dalam yogurt dan kefir berbahan baku susu fermentasi baik secara terpisah maupun dicampurkan, kemudian diinkubasi pada suhu yang berbeda-beda sesuai suhu pertumbuhan mikroflora starter. Hasil studi menunjukkan bahwa yogurt tradisional memiliki tekanan terkecil terhadap semua mikroorganisme patogen, adapun sampel yang didapatkan dari proses fermentasi yang berbeda (sampel difermentasi pada suhu 43oC selama 3 jam kemudian dilanjutkan pada suhu 30oC selama 21 jam) lebih mampu menekan patogen dibandingkan kefir. Tidak terdapat perbedaan daya tahan hidup yang nyata (P>0,05) antara E. coli O157:H7 and L. monocytogenes 4b dalam sampel yang diuji, namun Y. enterocolitica O3 lebih sensitif dibandingkan bakteri uji yang lain (P < 0,05) (Gulmez dan Guven, 2003a).
Kemudian Estrada et al. (2005) melaporkan hasil eksperimennya untuk mengkaji ketahanan hidup Brucella abortus selama fermentasi susu dengan kultur starter yogurt dan disimpan pada suhu refrigerator. Eksperimen ini dilatarbelakangi oleh masih tingginya kontaminasi B. abortus pada susu dan produk susu yang secara kesehatan masyarakat tentu berbahaya. Susu skim steril dengan sengaja diinokulasi oleh B. abortus pada dua konsentrasi yaitu 105 dan 108 CFU/ml secara simultan dengan kultur starter yogurt dari BAL (Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subspecies bulgaricus). Botol yang telah diinokulasi diinkubasi pada suhu 42ºC, diikuti oleh refrigerasi pada 4ºC. Sampel diambil selama masa fermentasi dan penyimpanan untuk dihitung jumlah B. abortus dan BAL-nya serta pH produk. Hasil eksperimen menunjukkan setelah 10 hari penyimpanan pada suhu 4°C, B. abortus masih dapat bertahan hidup dalam susu fermentasi pada level 105 CFU/ml,
(43)
walaupun dengan pH yang rendah yaitu 4.0. Sementara itu, B. abortus yang ditambahkan kedalam yogurt pada level 108 CFU/ml mampu bertahan hidup sampai 22 hari masa penyimpanan walaupun dengan pH rendah (3,8 s.d. 4), dan pada hari ke-23 semua bakteri mati. Sedangkan dalam perlakuan kontrol (bakteri dalam susu tanpa starter yogurt), populasi bakteri mencapai 108 cfu/ml selama 25 hari penyimpanan. Dengan demikian disimpulkan bahwa produk susu fermentasi yang menggunakan bahan baku yang tercemar B. abortus dapat menjadi sarana penularan bakteri ini kepada manusia.
Beberapa penelitian lain yang mengkaji sifat antagonisme BAL dalam produk susu terhadap bakteri patogen antara lain: Pitt et al. (2000) yang meneliti ketahanan hidup Listeria monocytogenes dalam susu pasteurisasi yang difermentasi oleh starter BAL yaitu Lactococcus lactis, Lactococcus cremoris, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus bulgaricus atau Streptococcus thermophilus; Ogwaro et al. (2002) meneliti ketahanan hidup E. coli O157:H7 selama fermentasi yogurt tradisional Afrika; kemudian Tsegaye dan Ashenafi (2005) telah melakukan analisis terhadap perilaku (behavior) Escherichia coli O157:H7 selama pengolahan dan penyimpanan Ergo dan Ayib, produk olahan susu tradisional dari Ethiopia.
Millette et al. (2007) meneliti pengendalian pertumbuhan beberapa bakteri patogen dalam susu fermentasi yang menggunakan starter L. acidophilus dan L. casei. Pertumbuhan Escherichia coli O157:H7, Salmonella serotype Typhimurium, Staphylococcus aureus, Listeria innocua, Enterococcus faecium dan Enterococcus faecalis telah dievaluasi selama 48 jam pada suhu 37°C. Listeria innocua dan S. aureus merupakan bakteri paling sensitif terhadap supernatan asal produk susu fermentasi ini. Untuk masing-masing bakteri penghambatannya mencapai 85,9% dan 84,7%. Setelah supernatan ini dinetralisasi untuk menghilangkan efek asam organik, ternyata bakteri L. innocua dan E. coli O157:H7 menjadi bakteri paling sensitif dengan menunjukkan angka penghambatan masing-masing sebesar 65,9% dan 61,9%.
(44)
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan November 2007 sampai dengan Maret 2008. Tempat penelitian yang telah digunakan adalah Laboratorium Mikrobiologi, Bagian Ilmu Produksi Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan serta Laboratorium Diagnostik, Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan
Bahan-bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa starter/bibit bakteri asam laktat yaitu Streptococcus salivarius subsp. thermophilus (ST) RM01 dan Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus (LB) RM01, starter kerja kefir RM01 serta Bifidobacterium longum (BL) RM01 koleksi Bagian Ilmu Produksi Ternak Perah, Departemen Ilmu Produksi Ternak, Fakultas Peternakan IPB, isolat bakteri patogen Staphylococcus aureus KT07 dan E.coli KT07 asal susu kambing perah hasil isolasi Taufik (2007). Bahan-bahan lain adalah media tumbuh bakteri dan bahan kimia yang diantaranya meliputi susu segar, MRSA (de Mann Rogosa Sharpe Agar), BPA (Baird Parker Agar) yang ditambah egg yolk tellurite, E/C Petrifilm, EMBA (Eosin Methylene Blue Agar), BHIB (Brain Heart Infusion Broth), NaCl fisiologis steril, standar larutan 0,5 McFarland, alkohol, larutan buffer pH 4 dan 7, indikator PP (Phenopthalein) 1%, NaOH 0,1N, aquadestilata dan kapas steril.
Alat
Alat-alat utama yang digunakan antara lain tabung reaksi, cawan Petri, pipet, botol gelas, inkubator, autoklaf, oven, pembakar Bunsen, gelas ukur, lemari es, jarum Ose, sentrifusa, pengaduk gelas, hockey stick, dan vortex .
(45)
Metode Penelitian
Pembuatan Produk Susu Fermentasi
Susu fermentasi yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga macam, yaitu yogurt (YT), yogurt probiotik (YP), dan kefir (Kf). Penjelasan mengenai proses pembuatan dari masing-masing susu fermentasi diuraikan sebagai berikut:
a. Pembuatan Yogurt
Metode pembuatan yogurt mengikuti metode yang dijelaskan oleh Tamime dan Robinson, (1999) yaitu dengan cara memanaskan susu pada suhu 85 - 90oC sampai volumenya menjadi dua pertiga dari volume awal, kemudian susu didinginkan sampai suhu sekitar 42oC. Setelah mencapai suhu tersebut, dalam kondisi aseptik, bibit (starter) dengan konsentrasi 5% diinokulasikan secara merata ke dalam susu dengan perbandingan yang sama antar bibit, pada saat yang sama bakteri patogen yang menjadi bakteri uji juga ditambahkan ke dalam susu. Yogurt tipe I (YT) menggunakan bibit L. bulgaricus (LB) RM01 dan S. thermophilus (ST) RM01 adapun yogurt tipe II (YP) menggunakan bibit LB RM01 dan ST RM01 ditambah dengan Bifidobacterium longum (BL) RM01. Susu yang telah diinokulasi bibit kemudian diinkubasikan di dalam inkubator pada suhu 37oC selama 24 jam.
b. Pembuatan Kefir
Metode pembuatan kefir (Kf) merupakan modifikasi metode yang dijelaskan oleh Gulmez dan Guven (2003b) yaitu dengan cara memanaskan susu pada suhu 85oC selama sekitar 30 menit, kemudian susu didinginkan sampai suhu sekitar 30oC. Setelah mencapai suhu tersebut, dalam kondisi aseptik, starter kerja kefir RM01 diinokulasikan secara merata ke dalam susu dengan konsentrasi 5%, pada saat yang sama bakteri patogen yang menjadi bakteri uji juga ditambahkan ke dalam susu. Inkubasi susu dilakukan di dalam ruangan khusus pada suhu 28oC selama 24 jam.
(46)
Proses Persiapan Bakteri Uji
Bakteri uji yang digunakan sebagai bakteri pencemar dalam produk susu fermentasi adalah bakteri patogen yang mewakili kelompok bakteri Gram positif dan Gram negatif yaitu masing-masing Staphylococcus aureus (SA) KT07 dan Escherichia coli (EC) KT07 asal susu kambing hasil isolasi Taufik (2007). Patogenisitas strain bakteri uji yang digunakan telah diuji sebelumnya oleh Taufik (2007) dengan melihat hasil reaksi hemolitik yang terbentuk oleh bakteri uji ketika ditumbuhkan pada blood agar. Pemilihan bakteri SA dan EC sebagai bakteri uji juga didasarkan kepada:
1. Kedua bakteri ini termasuk kedalam jenis bakteri patogen asal makanan (foodborne pathogens) yang cukup sering menyebabkan terjadinya wabah penyakit asal makanan (foodborne disease) pada manusia. Khusus pada bakteri SA dikenal dengan nama Staphylococcal gastroenteritis, bahkan bakteri ini dapat memproduksi toksin (racun) yang tahan panas (heat resistant) dalam makanan.
2. EC dikenal sebagai indikator kontaminasi fekal, sehingga dapat dijadikan indikator tingkat sanitasi dan higiene dalam suatu aktivitas produksi. SA juga merupakan flora normal yang dapat ditemukan pada permukaan kulit manusia khususnya pada tangan/telapak tangan juga pada lubang hidung. Dengan demikian bakteri ini dapat mencemari makanan jika tingkat higiene personal yang terlibat dalam proses produksi suatu bahan pangan rendah.
3. Prevalensi kedua bakteri dalam susu sapi cukup tinggi. Chye et al. (2004) melaporkan bahwa dari total 930 sampel susu kandang yang diambil dari seluruh peternakan sapi perah di Malaysia, 90% terkontaminasi oleh bakteri koliform, 65% positif E. coli dan 60% positif S. aureus. Sementara Salmonella dan L. monocytogenes hanya dapat dideteksi pada masing-masing 1,4% dan 1.9% sampel. Hempen (2006) melaporkan hasil analisis mikrobiologisnya terhadap susu sapi mentah dan fermentasi di Gambia, Afrika. Dihasilkan data kandungan E.coli diatas 1x104 cfu/ml ditemukan pada 22,6% sampel susu mentah dan 23.7% sampel susu fermentasi. Sementara 25% sampel susu mentah mengandung coagulase-positive
(47)
staphylococci lebih dari 2x103 cfu/ml. Listeria spp. and Salmonella spp. dapat diisolasi hanya pada beberapa sampel saja. Staphylococcus aureus juga dilaporkan sebagai agen utama yang nyata dalam menyebabkan mastitis pada sapi perah di seluruh dunia (Oliver et al., 2005). Data terkini tentang prevalensi kedua bakteri ini di dalam susu sapi di Indonesia belum ditemukan. Walaupun demikian, dilihat dari tata cara beternak, tata cara memerah dan iklim, Malaysia dan Gambia memiliki banyak kesamaan dengan Indonesia.
Masing-masing bakteri uji yang ditambahkan ke dalam produk susu fermentasi harus berada dalam kondisi segar (kultur baru berumur ± 24 jam). Kultur segar disiapkan dengan cara memindahkan isolat yang disimpan dalam tabung eppendorf dengan menggunakan ose untuk digoreskan ke atas media selektif untuk masing-masing bakteri dalam cawan, yaitu EMBA untuk EC KT07 dan BPA + egg yolk tellurite untuk SA KT07. Cawan tersebut kemudian diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam dengan suhu 37oC, jika dalam waktu 24 jam tidak ada koloni yang tumbuh waktu inkubasi diperpanjang sampai 48 jam. Kemudian setelah proses inkubasi, dilakukan transfer koloni dari cawan petri ke media cair yaitu BHIB dengan cara menyentuhkan ujung ose ke empat atau lima koloni terpisah dalam cawan petri dari masing-masing bakteri uji. Campuran di dalam tabung tersebut dihomogenkan dengan Vortex, selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C. Kultur segar hasil inkubasi dipusingkan (disentrifuse) dengan kecepatan 5000 rpm selama 15 menit untuk memisahkan sel-sel bakteri. Sel-sel bakteri kemudian diambil dan dilarutkan kembali dengan menggunakan NaCl fisiologis steril. Sebelum kultur segar bakteri uji tersebut ditambahkan ke dalam susu fermentasi, terlebih dahulu dilakukan standardisasi larutan kultur. Standarisasi ini bertujuan untuk mendapatkan kandungan bakteri uji sekitar 108 koloni/ml dengan cara menyesuaikan kekeruhan kultur dengan larutan standar 0,5 McFarland (Perilla et al., 2003). Larutan kultur yang terlalu jenuh akan diencerkan dengan larutan pengencer steril. Jika larutan kultur kurang jenuh, maka akan ditambahkan sel-sel bakteri.
Apabila telah diperoleh kesesuaian dengan larutan standar 0,5 McFarland, maka larutan kultur bakteri uji siap untuk ditambahkan dengan volume yang
(48)
memperhitungkan volume susu steril + kultur starter yang telah dibuat sebelumnya. Volume bakteri uji yang ditambahkan ke dalam campuran susu steril + kultur starter dimaksudkan untuk mendapatkan konsentrasi bakteri uji sekitar 106-108 cfu/ml (dalam penelitian ini sebanyak 3,15 ml bakteri uji (1%) dimasukkan ke dalam 315 ml susu + starter). Jumlah konsentrasi bakteri uji tersebut merupakan simulasi dosis infektif dari kedua bakteri uji.
Strategi Pengambilan Contoh
Susu fermentasi yang ditambah bakteri uji (sebagai perlakuan) yaitu YT+EC/SA, YP+EC/SA dan Kf+EC/SA dibuat untuk masing-masing susu fermentasi tersebut dalam tiga botol steril sesuai dengan yang dilakukan oleh Estrada et al. (2005). Enam botol lainnya berisi susu steril + bakteri patogen untuk masing-masing bakteri uji (KSA KT07 dan KEC KT07) sebagai kontrol positif (kontrol bakteri uji) sebanyak masing-masing 3 botol. Tiga botol lainnya (tanpa ulangan) masing-masing diisi oleh susu steril + kultur starter masing-masing susu fermentasi (KYT, KYP dan KKf) tanpa bakteri uji sebagai kontrol negatif (kontrol starter).
Tabel 2. Matrik Perlakuan dan Kontrol serta Waktu Pengambilan Sampel untuk Analisis
Perlakuan dan Kontrol
YT+EC/SA YP+EC/SA Kf+EC/SA KEC/KSA
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Fermentasi (jam)
0 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √√
4 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √√
8 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √√
12 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √√
16 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √√
20 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √√
24/ Penyimpanan hari ke-0
(Hari)
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √√
3 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √√
5 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √√
7 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √√
9 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √√
11 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √√
(1)
Dunne C, Murphy L, Flynn S, O’Mahony L, O’Halloran S, Feeney M, Morrissey D, Thornton G, Fitzgerald G, Daly C, Kiely B, Quigley EMM, O’Sullivan GC, Shanahan F, Collins JK. 1999. Probiotics: from myth to reality. Demonstration of functionality in animal models of disease and in human clinical trials. Antonie van Leeuwenhoek 76: 279–292.
Estrada AZ, de la Garza LM, Mendoza MS, Lopez EMS, Kerstupp SF, Merino AL. 2005. Survival of Brucella abortus in milk fermented with a yoghurt starter culture. Rev Lat Microbiol 47 (3-4): 88-91
Estrada, AZ, de la Garza LM, Mendoza MS, Lopez EMS, Kerstupp SF and Merino AL. 2005. Survival of Brucella abortus in milk fermented with a yogurt starter culture. Rev Lat Microbiol 47 (3-4): 88-91
Estrada AZ, Mendoza MS, de la Garza LM, Ferado JO. 1999. Behavior of enterotoxigenic strains of Staphylococcus aureus in milk fermented with a yogurt starter culture. Rev Lat Microbiol 41 (1): 5-10
Estrada AZ, Merino AL, de la Garza LM. 1995. Survival of Listeria monocytogenes in milk fermented with a starter culture for making yogurt. Rev Lat Microbiol 37 (3): 257-265
Evrendilek, GA. 2007. Survival of Escherichia coli O157:H7 in yogurt drink, plain yogurt and salted (tuzlu) yogurt: Effects of storage time, temperature, background flora and product characteristics. Int J Dairy Technology 60 (2): 118-122
Fang W, Shi M, Huang L, Chen J, Wang Y. 1996. Antagonism of lactic acid bacteria towards Staphylococcus aureus and Escherichia coli on agar plates and in milk. Vet Res 27 (1): 3-12 (abstract)
Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Farnworth ER. 2005. Kefir - a complex probiotic. Food Sci and Technol Bull:
Functional Foods 2 (1): 1-17
Fuller R . 1989. Probiotics in man and animals. J Appl Bacteriol 66: 365–378. [FDA] Food Drug Administration. 2003. Handbook of Foodborne Pathogen.
Marcel Dekker, Inc., New York.
Gaman, PM, Sherrington KB. 1992. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan Mikrobiologi. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Gulmez M, and Guven A. 2003b. Survival of Escherichia coli 0157:H7, Listeria
monocytogenes 4b and Yersinia enterocolitica 03 in ayran and modified kefir as pre- and postfermentation contaminant. Vet Med - Czech 48 (5): 126-132
(2)
Gulmez M, and Guven A. 2003c. Note: behaviour of Escherichia coli O157: H7, Listeria monocytogenes 4b and Yersinia enterocolitica O3 in pasteurised and non-pasteurised kefir fermented for one or two days. Food Sci Technol Int 9 (5): 365-369
Gulmez M, Guven A. 2003a. Survival of Escherichia coli 0157:H7, Listeria monocytogenes 4b and Yersinia enterocolitica 03 in different yogurt and kefir combinations as prefermentation contaminant. J Appl Microbiol 95: 631-636
Hassan L, Mohammed HO, McDonough PL, Gonzalez RN. 2000. A cross-sectional study on the prevalence of Listeria monocytogenes and Salmonella in New York dairy herds. J Dairy Sci 83:2441–2447
Hempen M. 2006. Die mikrobiologische Qualität von roher und fermentierter Milch von Märkten und kleinbäuerlichen Milchbetrieben und damit verbundene potentielle Gesundheitsrisiken für verbraucher in Gambia [dissertation]. Berlin: Freie Universität Berlin.
Hofvendahl K, Haegerdal BH. 2000. Factors affecting the fermentative lactic acid production from renewable resources. Enzyme Microb Technol 26: 87-107
Hosono A. 1992. Fermented Milk ini The Orient. In: Functions of Fermented Milk, Challenges for Health Science. Y. Nakazawa and A. Hosono (ed.). Elsevier Applied Science Publishers Ltd., London.
[ISO] International Organization for Standardization 6888-1. 1999. International Standard: Microbiology of food and animal feeding stuffs - horizontal method for the enumeration of coagulase-positive staphylococci (Staphylococcus aureus and other species). Part 2: Technique using Baird Parker agar medium. International Organization for Standardization. Geneve.
Jay JM, Loessner MJ, Golden GA. 2005. Modern Food Microbiology. 7th ed. Springer. New York.
Jay, JM. 2000. Modern Food Microbiology. 6th Ed. Van Nostrand Reinhold Company, New York.
Jayarao BM, Henning DR. 2001. Prevalence of foodborne fathogens in bulk tank milk. J Dairy Sci 84: 2157-2162
Jørgensen HJ, Mørk T, Høgasen HR, Rørvik LM. 2005. Enterotoxigenic Staphylococcus aureus in bulk milk in Norway. J Appl Microbiol 99: 158-166
(3)
Kanbe M. 1992. Use of Intestinal Lactic acid Bacteria and Health. In: Function of Fermented Milk: Challenges for The Health Science. Y. Nakazawa and A. Hosono (ed.). Elsevier Applied Science Publishers, London.
Karagözlü, N, Karagözlü C, Ergonul B. 2007. Survival characteristics of E. Coli ِ O157:H7, S. Typhimurium and S. Aureus during kefir fermentation. Czech J Food Sci 25: 202-207
Kavas G, Uysal H, Kiliç S, Akbulut N, Kesenkaş H. 2003. Some properties of yogurts produced from goat milk and cow-goat milk mixtures by different fortification methods. Pakistan J Biol Sci 6 (23): 1936-1939
Kurmann JA, Rasic JL, Kroger M. 1992. Encyclopedia of Fermented Fresh Milk Products: An International Inventory of Fermented Milk, Cream, Buttermilk, Whey and Related Products. Van Nostrand Reinhold. New York.
Kyozaire JK, Veary CM, Petzer IM, Donkin EF. 2005. Microbiological quality of goat’s milk obtained under different production systems. J S Afr Vet Assoc 76 (2), 69-73
Massa S, Altieri C, Quaranta V, De Pace R. 1997. Survival of Escherichia coli 0157:H7 in yogurt during preparation and storage at 4oC. Lett Appl Microbiol 24: 347-350
Millette M, Luquet FM, Lacroix M. 2007. In vitro growth control of selected pathogens by Lactobacillus acidophilus and Lactobacillus casei-fermented milk. Lett Appl Microbiol 44 (3): 314-319
Mufandaedza J, Viljoen BC, Feresu SB, Gadaga TH. 2006. Antimicrobial properties of lactic acid bacteria and yeast-LAB cultures isolated from traditional fermented milk against pathogenic Escherichia coli and Salmonella enteritidis strains. Int J Food Microbiol 108: 147 – 152
Nakazawa Y, Hosono A. 1992. Functions of Fermented Milk: Challenges for the Health Sciences. Translated by: B.W. Howells. Elsevier Science Publishers Co., Inc., New York
Neugebauer KA, Gilliland SE. 2005. Antagonistic action of Lactobacillus delbrueckii ssp. lactis RM2-5 toward spoilage organisms in cottage cheese. J Dairy Sci 88: 1335-1341
Nielsen SS. 2003. Food Analysis. 3th Ed. Kluwer Academic/Plenum Publisher, New York.
Ogwaro B, Gibson AH, Whitehead M, Hill DJ. 2002. Survival of Escherichia coli O157:H7 in traditional African yogurt fermentation. Int J Food Microbiol 79 (1-2): 105-112
(4)
Oliver SP, Jayarao BM, Almeida RA. 2005. Foodborne pathogens in milk and the dairy farm environment: food safety and public health implications. Foodborne Pathog Dis 2 (2): 115-129
Orihara O, Sakauchi I, Nakazawa Y. 1992. Types and Standards for Fermented Milks and Lactic Drinks. In Nakazawa, Y and Hosono A (ed.), Function of Fermented Milk: Challenges for the Health Sciences. Howells, B.W. Elsevier Science Publishers Co., Inc, New York.
Otes, S. and Cagindi O. 2003. Kefir: a probiotic dairy-composition, nutritional, and therapeutic aspects. Pakistan J Nutr (2) 2: 54-59
Ouwehand AC, Salminen S, Isolauri E. 2002. Probiotics: an overview of beneficial effects. Antonie van Leeuwenhoek 82: 279–289
Perilla MJ, Ajello G, Bopp C, Elliott J, Packlam R, Knapp JS, Popovic T, Wells J, Dowell SF. 2003. Manual for The Laboratory Identification and Antimicrobial Susceptibility Testing of Bacterial Pathogens of Public Health Importance in the Developing World. CDC National Center for Infectious Diseases and WHO. Atlanta, Georgia, USA.
Petrie A, Watson P. 1999. Statistics for Veterinary and Animal Science. Blackwell Science, London.
PetrifimTM. 2005. E. coli and Coliform Count Plates Interpretation Guide. Microbiology Products. 3M Health Care Limited. USA.
Pitt WM, Harden TJ, Hull RR. 2000. Behavior of Listeria monocytogenes in pasteurized milk during fermentation with lactic acid bacteria. J Food Prot 63 (7): 916-920
Price SB, Wright JC, DeGraves FJ, Castanie-Cornet MP, Foster JW. 2004. Acid resistance systems required for survival of Escherichia coli O157:H7 in the bovine gastrointestinal tract and in apple cider are different. App Environ Microbio: 4792–4799
[PSI] Pusat Standarisasi Industri. 1992. SNI 01-2981-1992 Yogurt. Departemen Perindustrian, Jakarta.
Robinson RK. 1990. Dairy Microbiology. Vol 2. The Microbiology of Milk Product. 2th Ed. Elsevier Applied Science, London.
Ruegg PL. 2003. Practical food safety interventions for dairy production. J. Dairy Sci. 86 (E. Suppl.), E1-E9
Salminen S, A von-Wright. 1998. Lactic Acid Bacteria. Marcel Dekker. New York.
(5)
Salminen S, Lahtinen S, Gueimonde M. 2005. Probiotics and the reduction in risk of disease. Austral J Dairy Tech 60 (2): 99 – 103.
Savadogo A, Ouattara CAT, Bassole IHN, Traore AS. 2004. Antimicrobial activities of lactic acid bacteria strains isolated from Burkina Faso fermented milk. Pakistan J Nutr 3 (3): 174-179
Supardi I, Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan. Penerbit Alumni, Bandung.
Surono IS. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. YAPMMI. Jakarta.
Tamime AY, Robinson RK. 1999. Yogurt Science and Technology. 2nd ed. Woodhead Publishing Limited. England.
Taufik E. 2007. Microbiological investigation of raw goat milk from commercial dairy goat farms in Bogor, Indonesia. [thesis]. Berlin:Freie Universitaet Berlin, Germany and Chiang Mai: Chiang Mai University, Thailand
Tsegaye M, Ashenafi M. 2005. Fate of Escherichia coli O157:H7 during the processing and storage of Ergo and Ayib, traditional Ethiopian dairy products. Int J Food Microbiol 103 (1): 11-21
Van Kessel JS, Karns JS, Gorski L, McCluskey BJ, Perdue ML. 2004. Prevalence of Salmonellae, Listeria monocytogenes and fecal coliforms in bulk tank milk on US dairies. J Dairy Sci 87: 2822-2830
Varnam AH, Sutherland JP. 1994. Milk and Milk Product; Technology, Chemistry and Microbiology. Chapman and Hall, London.
Yang Z. 2000. Antimicrobial Compounds and Extracellular Polysaccharides Produced by Lactic Acid Bacteria: Structures and Properties [dissertation]. Helsinki: University of Helsinki.
Yoshida T, Kato Y, Sato M, Hirai K. 1998. Sources and routes of contamination of raw milk with Listeria monocytogenes and its control. J Vet Med Sci 60(10): 1165-1168.
Zhu Y, Weiss EC, Otto M, Fey PD, Smeltzer MS, Somerville GA. 2007. Staphylococcus aureus biofilm metabolism and the influence of arginine on polysaccharide intercellular adhesin synthesis, biofilm formation, and pathogenesis. Infect Immun 75(9): 4219-26
(6)
Staphylococcus aureus KT07