• Pasal 69 ayat 5 UU No. 22 Tahun 1997 “Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik menyisihkan
sebagian barang sitaan untuk diperiksa atau diteliti di laboratorium tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan, dan dilaksanakan selambat-lambatnya dalam
waktu 3 X 24 tiga kali dua puluh empat jam sejak dilakukan penyitaan”. Tersangka yang tertangkap tangan waktu penahanannya 1 x 24 jam, dan dapat
diperpanjang 2x24 jam, hal ini diatur dalam pasal 67 UU No 22 thn 1997 yang kemudian menjadi tahanan tersangka oleh penyidik 20 hari, dan perpanjangan untuk
kejaksaan 40 hari.
C. Penangkapan untuk Kepentingan Penuntutan dan Peradilan.
Definisi penangkapan menurut pasal 1 butir 20 KUHAP adalah “suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.
Penangkapan dilakukan untuk kepentingan penuntutan dan peradilan yang dimulai dari penyelidikan dan penyidikan untuk mendapatkan bukti permulaan yang kemudian
dilakukannya penangkapan. Dalam hal melakukan penangkapan, Hak Asasi Tersangka harus sangat
diperhatikan agar tidak terjadi kekerasan atau pun pelanggaran HAM terhadap tersangka guna kepentingan penuntutan dan peradilan.
HIR dinilai dan belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, maka dalam KUHAP dicantumkannya jaminan perlindungan
HAMtersangka dan terdakwa seperti yang termuat dalam “The Universal Declaration of Human Rights serta ‘The International Covenant on Civil and Political Rights
Universitas Sumatera Utara
beserta Optional Protocolnya, khususnya yang termuat dalam Article 9, 10 serta Article 11. Asas yang mengatur perlindungan terhadap hak-hak tersangkaterdakwa
sebagaimana ditentukan dalam “The Universal Declaration of Human Rights” telah diletakkan di dalam UU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
yaitu UU Nomor 14 Tahun 1970 yang telah dicabut dan diganti dengan UU Nomor: 4 Tahun 2004, selanjutnya dalam Penjelasan Umum dari KUHAP memperinci asas-asas
tersebut sebagai berikut: 1.
Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum, 2.
Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh yang berwenang dan dengan cara yang diatur
dengan Undang-Undang; 3.
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap; 4.
Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukum administrasi;
5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta
bebas, jujur dan tidak memihak; 6.
Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum;
Universitas Sumatera Utara
7. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau
penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahukan haknya itu termasuk hak
untuk menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum dll. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak tersangkaterdakwa diatur kembali dalam Pasal 17
s.d. Pasal 19 UU Nomor: 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Sebagai perwujudan asas yang memberi perlindungan tehadap hak–hak azasi
manusia sebagai tersangka atau terdakwa dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum dan sekaligus merupakan perbedaan yang fundamental dengan HIR hukum
acara pidana lama, dalam KUHAP seseorang terdakwa tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian karena Penuntut Umum yang mengajukan tuduhan terhadap terdakwa,
maka Penuntut Umumlah yang dibebani tugas pembuktian kesalahan terdakwa dengan upaya–upaya pembuktian yang diperkenankan oleh undang–undang.
Sebagai seseorang tersangkaterdakwa yang belum dinyatakan bersalah diberikan hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam phase penyidikan, hak
segera mendapat pemeriksaan oleh Pengadilan dan mendapat putusan seadil–adilnya, hak untuk diberi tahu tentang apa yang disangkakandidakwakan kepadanya dengan
bahasa yang dimengerti olehnya, hak untuk menyiapkan pembelaan, hak untuk mendapat juru bahasa, hak untuk mendapatkan bantuan hukum dan hak untuk
mendapatkan kunjungan keluarganya dan kerohanian, serta hak ganti kerugian jika ternyata penangkapan, penahanan, penuntutanperadilan ternyata tidak berdasarkan UU
atau ternyata orangnya salah. Sebaliknya kepada penyidik danatau penuntut umum diberikan syarat yang
berat, yaitu batasan-batasan dan syarat-syarat yang logis dan definitif, misalnya untuk dapat atau tidaknya menentukan status sebagai tersangka harus berdasarkan bukti
Universitas Sumatera Utara
permulaan yang patut Pasal 1 Angka 14 KUHAP. Demikian halnya dalam dilakukannya upaya paksa terhadap hak dasar seseorang seperti penangkapan,
penahanan, penggeledahan badan dan rumah, penyitaan dan pemeriksaanpembukaan surat dalam proses setiap perkara pidana, ditentukan disamping harus berdasarkan
proses yang definitif juga dengan syarat materiil yang harus dipenuhi oleh penyidik agar tidak dilakukan secara sewenang-wenang yang kesemuanya dibawah pengawasan
ketua pengadilan negeri setempat. baik melalui pemberian ijin atau dengan cara pembatalan upaya paksa tersebut atas permintaan tersangka dengan praperadilan.
Ijin Ketua Pengadilan
Penyidik dalam melakukan penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat berdasarkan Pasal 33, 38, 43 dan Pasal 47 harus berdasarkan Ijin KetuaWakil
Pengadilan Negeri setempat untuk selanjutnya kami singkat dengan Pengadilan saja. Ijin Penggeladahan, penyitaan dan pemeriksaan surat dari Pengadilan tidak jarang
disalah artikan sebagai birokrasi yang bertele-tele dan mempersulit penyidikan perkara. Namun yang berkembang sekarang ini bahwa ijin tersebut dianggap sebagai kewajiban
dari Pengadilan untuk mengeluarkan dan sebaliknya adalah menjadi suatu hak penyidik polisi atau jaksa yang harus dikeluarkan oleh Pengadilan. Demikian halnya ijin
perpanjangan penahanan oleh Jaksa kepada penyidik dianggap sebagai kewajiban bagi Jaksa dan hak penyidik Polisi, atau ijin pengadilan untuk perpanjangan penahanan
khusus guna keperluan penyidikan dan atau penuntutan Kurangnya pemahaman dan penghayatan KetuaWakil Pengadilan atas dasar,
makna dan tujuan dari memberikan ijin penggeledahan, penyitaan dan pembukaan surat sehingga salah mengamalkan dan dalam kenyataannya justru ada anggapan bahwa ijin
tersebut hanya sekedar formalitas atau tindakan administratif karena yang menanggung resikonya atau yang bertanggung jawab adalah penyidik atau yang mengajukan
Universitas Sumatera Utara
permohonan ijin, sehingga Pengadilan tidak jarang menandatangani ijin tersebut dalam keadaan kosong, yang pengisian diserahkan sepenuhnya kapada juru ketik.
Ketidak tahuan fungsi pemberian ijin dalam hal penyitaan, penggeledahan, pembukaan surat dan perpanjangan penahanan tersebut sebagai lembaga kontrol atas
kesewenang-wenangan atau pelanggaran hak-hak dasar dari tersangkaterdakwa merupakan kemunduran besar dari kommitmen penegakan HAM. Kurangnya
pemahaman dari maksud dan tujuan pemberian ijin-ijin di atas oleh pemberi ijin tersebut merupakan andil besar dalam kemunduran dan kemerosotan dari kemampuan
penyidik dan jaksa penuntut umum menghormati serta melindungi hak asasi terdakwaterdakwa dalam melaksanakan tugas penyidikan dan penuntutan.
Pemberian Ijin penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaaan surat semakin tidak diperhatikan dan tidak dianggap penting karena Ijin tersebut dapat diganti dengan
persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setelah dilakukannya penyitaan, penggeledahan serta pemeriksaaan surat tersebut dengan alasan “keadaan yang sangat
perlu dan mendesak” dan “tertangkap tangan”. Dalam praktek permohonan yang biasanya hanya dilampiri dengan berita acara penyitaan diajukan oleh penyidik untuk
mendapatkan Persetujuan Pengadilan atas penyitaan, penggeledahan serta pemeriksaaan surat yang telah dilakukan penyidik sebelumnya hampir tidak pernah
ditolak oleh Pengadilan. Tidak seperti halnya masalah penangkapan, penahanan serta penghentian
penyidikanpenuntutan yang keabsahannya dapat diuji melalui praperadilan, sedangkan penyitaan, penggeledahan dan pemeriksaan surat tidak dapat diuji dan tidak
dimasukkan dalam materi praperadilan. Yang mana menurut penulis karena penyitaan, penggeledahan maupun pemeriksaan surat tersebut sudah atas dasar Ijin atau
pesetujuan Pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
Pembuat UU Tentang KUHAP pada saat itu nampaknya sangat percaya kepada pengadilanketua pengadilan akan mempunyai kemampuan untuk memahami serta
dapat mengemban sebagai benteng supaya tidak terjadinya pelanggaran hak asasi tersangkaterdakwa oleh jaksa dan penyidik melalui alat control ijinpersetujuan
tersebut, sehingga tidak ada aturan untuk mengajukan keberatan jika ternyata penyitaan, penggeledahan atau pemeriksaan surat itu dilakukan sewenang-wenang oleh
penyidik. Diakui pembentuk UU untuk pertama sekali diundangkan bahwa KUHAP pada
hakekatnya baru merupakan bentuk formal, namun yang dapat merubah wajah masyarakat Indonesia memberi jaminan dan perlindungan hak azasi atau menjadi lebih
berperi-kemanusiaan melalui KUHAP akan ditentukan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraannya oleh segenap anggota dari pada penegak hukum. Loebby Logman
mengatakan penerapan hukum hanya mencapai sasaran jika pelaksananya memahami apa maksud dan tujuan dari pembentuk Undang-undang itu sendiri.
Pemberlakuan KUHAP untuk menggantikan HIR sebagai hukum acara pidana dalam penjelasannya ditegaskan, karena HIR disamping tidak sesuai dengan Negara
Kesatuan membedakan warga pribumi dan keturunan juga tidak sesuai dengan asas Negara Hukum yang menjamin hak asasi manusia dan hak-hak tersangkaterdakwa.
Hal ini dipertegas lagi dalam Penjelasan Pasal 33 KUHAP yang menyatakan, fungsi pengawasan melalui pemberian Ijin Ketua Pengadilan Negeri kepada penyidik dalam
melakukan penggeledahan rumah guna untuk menjamin hak asasi seseorang atas rumah kediamannya.
Pembuatan KUHAP yang melibatkan semua komponen seperti diuraiakan di muka dan melalui perdebatan panjang akhirnya memberikan kepercayaan penuh
kepada ketuawakil ketua pengadilan negeri sebagai pejuang hak asasi tersangka dan
Universitas Sumatera Utara
atau terdakwa melalui pemberian ijin atau persetujuan sita dll supaya terhindar dari perbuatan kesewenang-wenagan oleh penyidik polisi dan jaksa untuk pada saat
sekarang ini seolah-oleh disepakati untuk dilupakan para pendekar hukum kita, misalnya Jaksa, Polisi dan Hakim kecuali para Advokat yang selalu dianggap opposan
dan tidak masuk dalam struktur namun selalu berjuang untuk kebenaran. KetuaWakil Ketua Pengadilan Negeri sebagai pemegang mandat dan benteng
atas kesewenagan polisi dan jaksa dalam penyitaan dan lainnya hendak terlebih dulu memeriksa berkas perkara secara teliti apakah sudah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh KUHAP atau belum, terutama ijin penyitaan terhadap benda yang menjadi sumber mata pencarian tersangkaterdakwa seperti Angkot dll.
Praperadilan
Praperadilan adalah lembaga baru untuk melaksanakan wewenang Pengadilan Negeri dalam hal memeriksa dan memutus Pasal 1 Angka 10 Jo Pasal 77 KUHAP
tentang: sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikanpenuntutan dan ganti kerugian dan atau rehabilitasi oleh yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan atau tidak diajukan ke
Pengadilan. Namun jika dilihat dari kewenangan praperadilan melalui putusannya maka materi praperadilan selain yang disebutkan di atas juga dapat memutuskan
apakah benda yang disita masuk atau tidak masuk alat bukti Pasal 82 KUHAP. Untuk menentukan sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, pertama
sekali dilihat atau dipertanyakan, apakah penahanan itu dilakukan oleh pejabat yang berwenang untuk itu, selanjutnya apakah dilakukan sesuai dengan syarat matriil serta
harus dilakukan menurut caraprosedur yang ditentukan dalam KUHAP.
Harus Dilakukan Oleh Pejabat Yang Berwenang
Universitas Sumatera Utara
Penangkapan dapat dilakukan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan atau untuk persidangan harus berdasarkan Surat Perintah dari Panyidik,
sedangkan Pelaksana Tugas Penangkapan bukan tertangkap tangan dalam Pasal 18 Ayat 1 KUHAP ditentukan adalah Petugas Kepolisian RI. Berdasarkan aturan di atas
jelas pelaksana tugas penangkapan yang dilakukan oleh penyelidik atau penyidik pembantu atau penyidik dengan Surat Perintah penyidik baik untuk kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan atau persidangan adalah Pejabat Kepolisian RI dengan Surat Tugas dan Surat Perintah Penangkapan, maka penangkapan yang
dilakukan oleh selain Petugas Kepolisian RI, seperti yang dilakukan oleh Jaksa selama ini sebagaimana dibaca di berbagai media massa adalah tidak sah sama sekali.
Sehingga termohon dalam praperadilan dapat diajukan terhadap pejabat lainnya, misalnya, TNI melakukan penangkapanpenahanan terhadap Sipil atau Sat. Pol.
Pamong Praja PP, Kejaksaan dan lainnya. Dalam penahanan yang berwenang untuk melakukan penahanan adalah
disesuaikan dengan kepentingannya, yaitu untuk kepentingan penyidikan dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik, penahanan atau
penahanan lanjutan untuk kepentingan penuntutan dilakukan oleh penuntut umum, sedangkan untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang, pengadilan dengan
penetapannya berwenang melakukan penahanan Pasal 1 Angka 21 Jo Pasal 20 KUHAP.
Sedangkan penyidik menurut Pasal 1 Angka 1 Jo Pasal 6 KUHAP adalah pejabat polisi Negara RI atau pejabat pengawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh UU dalam hal ini perlu digaris bawahi bahwa UU tidak sama dengan Peraturan Perundang-undangan, sebab Peraturan Perundang-Undangan adalah
meliputi dan secara hierarki berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 adalah UUD RI
Universitas Sumatera Utara
1945; UUPerpu; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah untuk melakukan penyidikan. Sebaliknya penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dengan ditentukannya secara definitif hanya ada dua penyidik yaitu Pejabat
Polisi RI dan PNS yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang. Sedangkan jika ditinjau dari pengertian penyidikan yaitu serangkaian tindakan penyidik. Dengan
demikian penyidikan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Pejabat Polisi RI dan PNS Tertentu jika menggunakan KUHAP. Yang menjadi permasalahan sekarang ini adalah
adanya penyidikan yang dilakukan oleh yang bukan penyidik Pejabat Polisi RI dan PNS tertentu, yaitu penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa terhadap tindak pidana
korupsi bukan penyidik menurut KUHAP, namun dalam penyidikan tidak menggunakan ketentuan khusus acara pidana justru tetap dengan mempergunakan
KUHAP. Dalam praktek Jaksa dalam melakukan penangkapanpenahanan untuk
kepentingan penyidikan didasarkan pada Pasal 284 Ayat 2 KUHAP Jo Pasal 17 PP Nomor 27 Tahun 1983 yang menurut hemat penulis tidak tepat. Sebab dalam Pasal 284
Ayat 2 KUHAP ditentukan, dalam waktu dua tahun setelah KUHAP ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan KUHAP ini, dengan
pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada UU tertentu sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dari ketentuan Pasal 284 Ayat 2 KUHAP sangat jelas ada 2 kategori secara kumulatif untuk tidak memberlakukan KUHAP yaitu 1. dalam hal adanya ketentuan
khusus acara pidana dan 2. ketentuan khusus itu berdasarkan UU. Selanjutnya dalam
Universitas Sumatera Utara
penjelasan pasal tersebut diuraikan, Yang dimaksud dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada UU tertentu” ialah ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada, antara lain: UU Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika dan UU Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.
Harus Terpenuhi Syarat Materiil
. Seseorang yang dilaporkan atau diadukan tidak dengan sendirinya terlapor
tersebut menjadi tersangka, karena untuk dapat menetapkan seseorangterlapor menjadi tersangka menurut Pasal 1 Angka 14 KUHAP adalah seorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Selanjutnya tidak semuanya tersangka dengan sendirinya dapat
dilakukan penangkapan atau penahanan. Menurut Pasal 1 Angka 20-21 ada dua syarat sah atau tidaknya penangkapan
danatau penahanan yaitu pertama, Dalam Hal yang diatur dalam KUHAP syarat materiil dan yang kedua Menurut Cara yang diatur dalam KUHAP syarat formil
Salah satu syarat materiil untuk dapat dilakukan penangkapan adalah hanya terhadap tersangkaterdakwa tindak pidana kejahatan, sebab dalam Pasal 19 Ayat 1
KUHAP ditentukan, penangkapan tidak dapat dilakukan terhadap palaku pelanggaran, misalnya pelanggaran lalulintas jalan raya. Sedangkan untuk Penahanan menurut Pasal
21 Ayat 4 KUHAP hanya dapat dilakukan terhadap tersangkaterdakwa tindak pidana yang ancamannya pidananya lebih dari 5 lima tahun atau kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang. Syarat materiil lainnya untuk perintah penangkapan danatau penahanan adalah
dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup Pasal 17 Pasal 21 1 KUHAP. Dalam Pedoman
Universitas Sumatera Utara
Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman berdasarkan Surat Keputusan Nomor: M-01.PW.07.03 TH. 1982, dasar bagi diperkenankannya suatu
penahanan terhadap seseorang harus adanya dasar menurut hukum dan dasar menurut keperluan.
Dasar menurut hukum ialah adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup bahwa orang itu melakukan tindak pidana, dan ancaman pidana terhadap tindak pidana
itu adalah lima tahun ke atas, atau tindak pidana tertentu yang ditentukan oleh UU, meskipun ancaman pidananya kurang dari lima tahun.
Dasar menurut keperluan, yaitu adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, atau merusak menghilangkan bukti, atau akan
mengulangi tindak pidana. Dalam praktek yang sering terjadi silang pendapat dan diperdebatkan antara
Advokat dan Penyidik serta Hakim Praperadilan ada dua pokok persoalan yaitu yang pertama adalah syarat materiil yaitu apa yang dimaksud dengan berdasarkan bukti
permulaan yang cukup ? Bukti permulaan dapat diperbandingkan dengan alat bukti yang sah
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP yaitu meliputi, Keterangan saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; hanya dapat diperoleh dari Keterangan Saksi; Surat;
Keterangan Terdakwa; Keterangan Terdakwa, namun dalam Pasal 185 s.d. Pasal 189 KUHAP ditentukan, keterangan saksi atau ahli diterangkan di persidangan dan dibawah
sumpah, sedangkan alat bukti surat harus ditunjukkan dan dibuat atas sumpah jabatannya, Dengan demikian karena alat bukti yang diperoleh penyidik tidak di
persidangan danatau tidak berdasarkan sumpah maka alat bukti itu adalah baru merupakan bukti permulaan.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan pengertian cukup dalam perkataan bukti permulaan yang cukup dapat dikonotasikan dengan isi Pasal 183 KUHAP yang menentukan, untuk menjadi
tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seorang, Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah. Dengan demikian penangkapan danatau penahanan harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua bukti permulaan.
Permasalahan pokok yang kedua adalah apakah lembaga praperadilan berwenang menilai syarat materiil tersebut sudah berdasarkan bukti permulaan yang
cukup atau tidak ? Dalam praktek baik penyidik polisijaksa selalu berpendapat bahwa hakim praperadilan hanya berwenang untuk menilai syarat formil yaitu apakah proses
penahanan itu sudah sesuai dengan prosedur atau tidak, sedangkan penilaian terhadap apakah penahanan itu sudah berdasarkan bukti yang cukup atau tidak sudah merupakan
materi pokok perkara, sehingga praperadilkan tidak mempunyai kewenangan untuk menilai, yang mana alasan yang demikian itu justru sering dikabulkan atau diikuti
hakim praperadilan. Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman
dijelaskan, untuk menjamin supaya ketentuan dasar penahanan menurut hukum maupun dasar penahanan menurut kepentingan dalam Pasal 21 Ayat 1 KUHAP diindahkan
telah dilakukan pengawasan baik yang dilaksanakan oleh atasan di instansi masing – masing built in control, maupun pengawasan antar penegak hukum checking, yaitu
dengan meminta pemeriksaan dan putusan oleh hakim tentang sah atau tidaknya penangkapanpenahanan atau apa yang disebut pemeriksaan Praperadilan.
Bahwa menurut Prof. Loebby Loqman, bahwa walaupun penahanan itu dapat dilihat dari syarat formil namun syarat formil itu ada karena terlebih dulu ada syarat
Universitas Sumatera Utara
materiil, sehingga praperadilan harus terlebih dulu menguji syarat materiil, yaitu ada atau tidak adanya bukti permulaan yang cukup dalam hal penangkapanpenahanan.
Harus Terpenuhi Syarat Formil.
Bahwa walaupun telah dipenuhinya syarat materiil untuk perintah penangkapan danatau penahanan terhadap tersangka, namun melaksanakan penangkapan danatau
penahanan tersebut tidak dapat dilakukan sewenang-wenang, tetapi harus dengan prosedure atau tata-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP.
Dalam praktek sehari-hari baik oleh penyidik, advokat, jaksa maupun hakim tidak banyak memperhatikan perbedaan syarat formil antara penangkapan dan
penahanan, misalnya orang yang ditangkap pada umumnya selalu dimasukkan ke dalam Sel atau Rutan Polisi. Dalam Surat Perintah Penangkapan Pasal 18 Ayat 2
KUHAP harus dicantumkan tempat tersangka diperiksa, sedangkan dalam Srt Perintah Penahanan harus mencantumkan tempat dimana penahanan dilakukan Pasal
21 Ayat 2 KUHAP. Dengan mencantumakan tempat pemeriksaan dalam Srt Print. Penangkapan dihubungkan dengan waktu penahanan paling lama untuk 1satu hari
Pasal 19 Ayat 1 KUHAP, maka segera setelah diadakan penangkapan terhadap tersangka, penyidik harus melakukan pemeriksaan dan dalam satu hari telah dapat
diperoleh hasilnya untuk ditentukan apakah penangkapan tersebut dapat dilanjutkan dengan penahanan atau tidak.
Sebagaimana diuraikan di atas dan yang sering terlupakan adalah Pasal 18 Ayat 1 KUHAP, bahwa dalam hal apapun bentuk dan tujuanfungsinya Pelaksana Tugas
Penangkapan adalah hanya dapat dilakukan oleh Petugas Kepolisian Negara RI dengan
Universitas Sumatera Utara
memperlihatkan Surat Tugas. Namun hal ini sering di abaikan dengan dalil tidak ada larangan bagi jaksa melakukan penangkapan, sehingga menjadi tontonan menggelikan
ketika polisi menonton jaksa kalah bergulat pada waktu melakukan penangkapan melalui siaran tv.
Untuk lebih lengkapnya syarat formil penangkapan dan penahanan adalah sebagai berikut, bahwa Penangkapan dilakukan oleh Petugas Kepolisian Negara RI
dalam melakukan penangkapan harus memperlihatkan Surat Tugas serta memberikan kepada tersangka Surat Perintah Penangkapan SPP yang dikeluarkan oleh pejabat
kepolisian Negara RI yang berwenang melakukan penyidikan di daerah hukumnya. sebelum penangkapan dilakukan. dikeluarkan yang mencantumkan : identitas
tersangka; menyebutkan alasan penangkapan; uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan dan tempat ia diperiksa Pasal 18 Ayat 1 KUHAP serta dilakukan
hanya untuk satu hari Pasal 19 Ayat 1 KUHAP. memberikan Tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Sedangkan untuk Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan surat
perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan: identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan serta uraian singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan serta tempat ia ditahan; jangka waktu penahanan; memberikan Tembusan surat perintah penangkapan kepada keluarganya
segera setelah penangkapan dilakukan Pasal 21 Ayat 2 KUHAP.
Proses Pembuktian
Jika dalam pembuktian perkara perdata hakim bertindak passif artinya, pembuktiannya diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang bersengketa.
Sebaliknya hakim dalam perkara pidana lebih aktif untuk menemukan keyakinannya
Universitas Sumatera Utara
dalam memutuskan suatu perkara, walaupun beban pembuktian pada dasarnya sepenuhnya dibebankan kepada Jaksa untuk membuktikan dakwaannya.
Dalam permohonan praperadilan tidak diatur sama sekali apakah mengikuti acara perdata atau acara pidana, hanya saja dalam Pasal 82 KUHAP ditentukan, dalam
memeriksa dan memutus permohonan praperadilan hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang. Dalam praktek
hakim praperadilan kebanyakan menerapkan sistim pembuktian acara perdata, hal ini dikarenakan ketidak tahuannya atas fungsi praperadilan itu sendiri dan selanjutnya
dengan memakai pembuktian acara perdata, maka hakim tidak memiliki beban. Sehingga banyak permohonan praperadilan ditolak atau tidak dikabulkan, sebab
kedudukan tersangka yang mengajukan permohonan praperadilan jauh lebih lemah dan rendah jika dibandingkan dengan Termohon yang melakukan penahanan terhadap
pemohon. Untuk dapat menentukan sistim pembuktian pada persidangan praperadilan
kiranya perlu dilihat di negara lain yang memiliki lembaga yang mirip dengan praperadilan yaitu di Negara Belanda disebut Rechter Commissaris, yang bertugas
sebagai pengawas pada pemeriksaan pendahuluanpenyidikan serta menetapkan siapa yang berhak melakukan penyidikan suatu perkara pidana. dalam hal adanya sengketa
antar penyidik. Pada Negara-Negara, baik yang menganut sistem hukum Sivil Law maupun di Negara yang memiliki sistem hukum Common Law dengan Undang-undang
khusus telah memberlakukan lembaga Habeas Corpus. Di Amerika Serikat selain mengenal lembaga Habeas Corpus juga mengenal
adanya tiga proses acara pengadilan khusus yang disebut “Pre-trial Process” seperti halnya praperadilan di Indonesia sebelum suatu sidang pengadilan biasapokok perkara
sidang dengan Jury yaitu Arraignment, Preliminary Hearing serta Pretrial Conference.
Universitas Sumatera Utara
Pre-trial Process ini telah melibatkan polisce, prosecutor, jury serta coroner atau magistrate, dimana pada tahap pertama setelah penyidik melakukan penahanan dapat
meminta jury agar menanyakan tersangka apakah mengakui kesalahannya atau tidak, dan jika ternyata tersangka mengakui kesalahannya plea of quilty langsung
dilanjutkan ke Trial By Jury sidang jury, jika tersangka plea of not quilty maka akan dimatangkan dengan meminta saran dari hakim dengan mengadakan dengar pendapat
antara polisi, jaksa dan hakim Preminary hearing dan yang terakhir dilanjutkan dengan gelar perkara pretrial conference untuk apakah seorang tersangka akan
dilanjutkan perkaranya ke sidang Jury atau tidak. Karena yang melibatkan hakim pada Pre-Trial adalah polisi dan jaksa dengan demikian fungsi Pre Trial Process dalam hal
ini lebih cenderung untuk lebih menjamin kelancaran, keadilan dan efektifitas persidangan jury.
Jika dibandingkan fungsi Pre-Trial Process di Amerika dan dengan Rechter Commissaris di Belanda maka Praperadilan di Indonesia lebih cenderungmirip dengan
Rechter Commissaris, namun perbedaannya adalah bahwa Rechter Commissaris dalam mengawasi sah atau tidaknya suatu penangkapanpenahanan memiliki kewenangan
untuk memanggil saksi dan tersangka. Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman
berdasarkan Surat Keputusan Nomor:M.01.PW.07.03.Tahun 1982 Tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang – undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,
Praperadilan ini dipersamakan dengan sistim semacam yang disebut “Habeas Corpus” di beberapa negara lain.
Habeas Corpus artinya menguasai diri orang, lembaga ini di negara anglo saxon sebagai controlpengawas terhadap tindakan yang membatasi hak kebebasan seseorang,
misalnya pengawasan penangkapan, penahanan, pendeportasian, penempatan di rumah
Universitas Sumatera Utara
sakit jiwa, penempatan seseorang di pantai asuhan, penempatan di rumah pembinaan korban narkoba dll.
Lembaga ini memberikan upaya hukum yang cepat dan tepat serta tanpa biaya dalam hal adanya laporanpengaduanpermohonan yang mengajukan keberatan atas
hilangnya kemerdekaan seseorang yang diajukan oleh yang bersangkutan atau kuasanya meleui Pengadilan setempat, dan selanjutnya hakim Pengadilan setempat
mengeluarkan Habeas Corpus yang isinya, “Si tertahan X berada dalam penguasaan saudara, Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib
menunjukkan alasan yang menyebabkan penahanannya”, selanjutnya hakim menelitimemeriksa bukti-bukti yang disesuaikan dengan keterangan orang yang
mengajukan pengaduan itu untuk selanjutnya memutuskan apakah penahanan itu dasar hukumnya kuat serta dilakukan sesuai dengan prosedur due process of law. Hakim
proaktif untuk memanggil termohon dan memeriksa bukti sebagai penyebab dilakukannya penahanan dan tidak terikat atau menjadi gugur dengan telah diajukannya
pokok perkara ke pengadilan Dalam Penjelasan Pasal 80 KUHAP disebutkan, bahwa praperadilan merupakan
pengawasan horizontal untuk ditegakkannya hukum, kebenaran dan keadilan. Sedangkan dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang keluarkan Menteri Kehakiman
menyebutkan praperadilan merupakan pengawasan dengan sistem cheeking antara penegak hukum. Dengan demikian lembaga praperadilan sama halnya dengan Rechter
Commissaris dan Habeas Corpus yang berfungsi sebagai pengawas atas pelanggaran hak asasi tersangkaterddakwa yang dilakukan oleh penyidikjaksa penuntut umum.
Fungsi hakim sebagai pengawas melalui proses praperadilan sangat berbeda dengan dengan fungsi hakim sebagai Jury dalam mengadili perkara. Sebagai pengawas
hakim praperadilan memiliki kewenangan untuk memanggil terlapor pelaku
Universitas Sumatera Utara
pelanggaran hak tersangka serta secara proaktif menelitimemeriksa dasar menurut hukum dan dasar menurut kepentingan dilakukannya penahanan serta menilai dan
memutuskan apakah penangkapan atau penahanan sudah berdasarkan bukti yang cukup atau belum seperti yang dimohonkan oleh tersangkakuasanya, atau tidak menilai
kekuatan pembuktian yang diajukan antara Pemohon dengan Termohon seperti halnya dalam sistem pidana maupun perdata.
Jaminan hak–hak asasi terdakwatersangka dapat kita rasakan bersama dengan adanya asas hukum yang merupakan hukum positif di Negara kita ini yang termasuk
didalam dunia peradilan yaitu pada Pasal 8 Undang–Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia ditentukan, setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut danatau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum
adanya putusan pengadilan yang mengatakan kesalahannya memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau yang biasa dikenal dengan asas “The Presumtion Of Innocense.”
Oleh karenanya khusus mengenai penahanan terhadap tersangkaterdakwa tidak cukup dilakukan hanya berdasarkan bukti yang cukup dasar menurut hukum tapi
harus juga terpenuhinya salah satu syarat dasar menurut kepentingan yaitu adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, atau
merusakmenghilangkan bukti, atau akan mengulangi tindak pidana. Semoga dengan pemahaman fungsi pengawasan melalui pemberian Ijin Ketua
Pengadilan atau melalui lembagasistem praperadilan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraannya oleh segenap anggota dari pada penegak hukum dapat merubah
wajah masyarakat Indonesia memberi jaminan dan perlindungan hak azasi atau menjadi lebih berperi-kemanusiaan seperti yang diagungkan dalam KUHAP.
Universitas Sumatera Utara
D. Hambatan yang dihadapi Penyidik Polisi Sektor Kota Medan baru dalam melakukan penangkapan.