Peranan Kepolisian dalam Penyelidikan Peredaran Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika (Studi di POLRESTA Deli Serdang)

(1)

PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENYELIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA(STUDI DI POLRES DELI SERDANG)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

NIM : 100200351 LIANDYKA PURBA

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENYELIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA(STUDI POLRES DELI SERDANG)

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

100200351 LIANDYKA PURBA

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

KETUA DEPARTEMEN

NIP : 195703261986011001 Dr. Muhammad Hamdan, S.H.,M.H

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Dr. Madiasa Ablisar, S.H.,M.S

NIP: 196104081986011002 NIP: 196005201998021001 Alwan,S.H.,M.Hum


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis Panjatkan Kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah memberikan kasih dan Berkat-Nya kepada Penulis sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam penulisan karya ilmiah ini penulis memilih judul

“Peranan Kepolisian Dalam Penyelidikan Peredaran Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika (Studi Di POLRESTA DELI SERDANG)”. Meskipun penulis berusaha dengan sungguh-sungguh, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan-kekurangan baik dalam penyampaian, bahasa dan kata baik lisan maupun tulisan serta dalam hal penyajian dan penyempurnaan karya tulis ini.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun secara tidak langsung sehingga skripsi ini dapat diselesaikan, yaitu Kepada:

1. . Bapak Prof. Dr. Runtung,SH., MH, selaku Dekan Fakultas Hukum USU Medan .

2. Bapak Prof. Dr.Budiman Ginting,SH.,M.Hum, selaku Wakil Dekan I, Syaifruddin, SH.,M.Hum, selaku Wakil Dekan II dan Dr.O.K.Saidin.,SH,M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara .

3. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, SH, MH , selaku Ketua Departemen Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum USU Medan.


(4)

4. Bapak Dr.Madiasa Ablisar.,SH, MS selaku Dosen pembimbing I yang telah banyak memberi masukan kepada saya terkait dengan skripsi saya dan telah banyak memberikan pengajaran kepada saya selama saya menjadi mahasiswa bapak.

5. Bapak Alwan, SH.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan segala saran, waktu serta kesabarannya dalam rangka penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Erna Herlinda., SH,M.Hum, selaku Dosem Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan memberikan saran kepada saya di dalam masa perkuliahan yang saya jalani selama ini dari semester awal kuliah hingga sampai kepada akhir semester tahap penyusunan skripsi ini.

7. Bapak/Ibu Dosen staf Pengajar yang telah banyak memberikan ilmu dan pelayanan dengan baik selama perkuliahan.

8. Terkhusus buat kedua orang tua saya R.Purba dan L.br.nainggolan serta kakak dan adik saya Ledya Purba S.Farm dan Lira Purba yang sangat saya sayangi dan cintai yang memberikan dukungannya dalam segala hal, mengingatkan saya dalam segala hal dan yang selalu berdoa untuk saya dan selalu memberikan waktu di saat saya perlukan. Terima kasih buat dukungan semangat, kepercayaan ,dan kesabaran yang telah di berikan .

9. Terima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan Yessica Tri angelina SH , Hasnita Sihombing SH , Kastro Sitorus SH , Syarifah SH , Novika Aritonang SH, Juliani Sinaga, Mikhael Laurensius , Fiona Manalu , yang


(5)

selama ini bersama-sama dengan saya selama saya kuliah di Fakultas Hukum USU.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun pada skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Hukum. .

Medan, Desember 2014

Hormat Penulis,


(6)

ABSTRAK

Liandyka Purba * Dr. Madiasa Ablisar **

Alwan ***

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran penanganan perkara yang melakukan tindak pidana narkotika dan psikotropika, dan untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika khususnya di wilayah hukum kepolisian di Deli Serdang . hal ini dikarenakan instansi kepolisian merupakan penegak hukum atas suatu tindak pidana termasuk tindak pidana narkotika dan psikotropika. Selain jaksa dan hakim, kepolisian sebagai penegak hukum juga memiliki peran sangat penting dalam terciptanya suatu sistem hukum. Dalam kedudukannya sebagai penegak hukum, kepolisian juga berperan dalam hal mencegah terjadinya suatu tindak pidana dan melindungi, serta mengayomi seluruh lapisan masyarakat dari suatu tindak pidana.

Dalam penanganan perkara terhadap tindak pidana kepolisian berpedoman pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang lebih mengutamakan perlindungan dalam proses peradilan. Sanksi hukuman yang dipergunakan dalam penerapan sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkotika dan psikotropika sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.

Kata Kunci : Kepolisian, Masyarakat *Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I ***Dosen Pembimbing II


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 13

D. Keaslian Penulisan ... 14

E. Tinjauan Kepustakaan ... 14

1. Pengertian Narkotika ... 14

2. Pengertian Psikotropika ... 17

3. Pengertian Tindak Pidana ... 17

4. Pengertian Pengguna ... 19

F. Metode Penelitian ... 21

G. Sistematika Penulisan... 24

BAB II : PERANAN KEPOLISIAN SEBAGAI BADAN PENYELIDIK DAN PENYIDIK TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA A. Tugas dan Wewenang Kepolisian Menurut UU No.2 Tahun 2002 ... 25

B. Kepolisian Sebagai Penyelidik dan Penyidik Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika ... 30

1. Kepolisian Sebagai Penyelidik ... 30

2. Kepolisian Sebagai Penyidik ... 36

BAB III : PERAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN DAN PENYALAHGUNAAN DARI TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA A. Peran Kepolisian dalam Pencegahan Penyalahgunaan dan Peredaran Narkotika dan Psikotropika di Wilayah Hukum Polres Deli Serdang (Non- Penal Policy Application) ... 61


(8)

2. Pre-emtif ... 77 3. Refresif... ... 78 4. Treatment dan Rehabilitasi ... 79 B. Faktor Yang Menjadi Kendala Kepolisian Dalam

Mengungkap Peredaran dan Penyalahgunaan Tindak Pidana

Narkotika Di SaT. Narkoba Polres Deli Serdang ... 83 1. Faktor Internal ... 84 2. Faktor Eksternal ... 86

BAB IV : PENUTUP

A. Kesimpulan... 87 B. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAK

Liandyka Purba * Dr. Madiasa Ablisar **

Alwan ***

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran penanganan perkara yang melakukan tindak pidana narkotika dan psikotropika, dan untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika khususnya di wilayah hukum kepolisian di Deli Serdang . hal ini dikarenakan instansi kepolisian merupakan penegak hukum atas suatu tindak pidana termasuk tindak pidana narkotika dan psikotropika. Selain jaksa dan hakim, kepolisian sebagai penegak hukum juga memiliki peran sangat penting dalam terciptanya suatu sistem hukum. Dalam kedudukannya sebagai penegak hukum, kepolisian juga berperan dalam hal mencegah terjadinya suatu tindak pidana dan melindungi, serta mengayomi seluruh lapisan masyarakat dari suatu tindak pidana.

Dalam penanganan perkara terhadap tindak pidana kepolisian berpedoman pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang lebih mengutamakan perlindungan dalam proses peradilan. Sanksi hukuman yang dipergunakan dalam penerapan sanksi pidana terhadap penyalahgunaan narkotika dan psikotropika sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.

Kata Kunci : Kepolisian, Masyarakat *Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I ***Dosen Pembimbing II


(10)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan narkotika dan psikotropika di Indonesia secara historis diawali dengan perkembangan peredaran narkotika, yang diatur dalam

Verdovende Middelen Ordonnantie (Staatsblad No.278 jo No.536). dalam kehidupan masyarakat, aturan ini lebih dikenal dengan sebutan peraturan obat bius. Peraturan perundang-undangan ini, materi hukumnya hanya mengatur mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, sedangkan tentang pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak teratur.

Di samping itu, karena Indonesia merupakan negara peserta dari Konvensi Tunggal Narkotika 1961, berdasarkan undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1976, Pemerintah Indonesia telah melakukan pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 besrta Protokol yang mengubahnya. Konvensi Tunggal Narkotika 1961, merupakan hasil dari United Nations Conference for Adoption of a Single Convention on Narcotic Drug, yang di selenggarakan di New York dari tanggal 24 januari sampai dengan tanggal 30 maret 1961. Secara prinsipil konvensi ini bertujuan untuk menciptakan suatu konvensi internasional terhadap pengawasan internasional terhadap narkotika, menyempurnakan cara-cara pengawasan dan membatasi penggunaan hanya untuk kepentingan pengobatan dan atau ilmu pengetahuan, serta menjamin kerja sama internasional dalam pengawasan narkotika tersebut. 1

1

Siswanto Sunarso, (2004), Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada., hal. 108


(11)

Berdasarkan resolusi The United Nations Economic and Social Council, nomor 1474 (XLVIII) tanggal 24 maret 1970 telah diselenggarakan konfrensi PBB tentang Adopsi Protokol Psikotropika, yang telah menghasilkan Convention on Psychotropic Substances 1971. Selanjutnya pemerintah Indonesia telah mengesahkan Convention on Psychotropic Substances 1971, ke dalam undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1996 dengan reservation.

Berdasarkan Konvensi PBB tentang pemberantasan gelap narkotika dan psikotropika 1988, merupakan penegasan dan penyempurnaan atas prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Konvensi Tunggal Narkotika 1961, serta konvensi psikotropika 1971, tentang pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Selanjutnya, pemerintah Indonesia mengesahkan

United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narkotic Drugs and Psychotropic substances 1988,kedalam undang-undang nomor 7 Tahun 1997, Lembaran Negara RI, 1997 Nomor 17, Konvensi ini lebih dikenal dengan istilah Konvensi Wina, 1988.

Berdasarkan Konvensi wina, 1988, tentang pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika tersebut, dibutuhkan ratifikasi sebagai tindak lanjut berlakunya konvensi international di suatu negara. Pemerintah Indonesia telah menerbitkan dua undang-undang, yakni: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika dan undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika. Tujuan undang-undang narkotika dan psikotropika adalah menjamin ketersediaan narkotika dan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan,


(12)

mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, serta memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika 2

a. Keinginan yang tak tertahankan terhadap zat tersebut, dan dengan jalan apapun akan berupaya memperolehnya

Penyalahgunaan narkoba merupakan masalah yang kompleks dan memiliki dimensi yang luas, baik dari sudut medik, psikiatrik, kesehatan jiwa, maupun psikososial. Jenis-jenis narkoba yang sering disalahgunakan, manurut Hawari (1998), Sarason dan Sarason (1993), dan Halonen dan Santroks (1999), adalah narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, atau zat yang dapat menimbulkan kecanduan dan ketergantungan. Zat adiktif memang dapat menimbulkan sejumlah efek, diantaranya:

b. Kecendrungan untuk menambahkan takaran, atau dosis, sesuai dengan toleran tubuh,

c. Ketergantungan psikis sehingga jika pemakaian di hentikan akan menimbulkan kecemasan, depresi dan kegelisahan, dan

d. Ketergantungan fisik yang jika pemakaian dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang disebut sebagai gejala putus obat seperti mual, sukar tidur, diare dan demam.

Meskipun zat tersebut tertentu sangat bermanfaat bagi pengobatan, namun jika disalahgunakan, atau penggunaannya tidak sesuai dengan standar pengobatan, akan berakibat sangat merugikan bagi diri pemakai maupun orang lain di

2


(13)

sekitarnya, bahkan masyarakat umum ( Departement Kesehatan Republik Indonesia, 2000). 3

Pada saat ini pemakaian narkoba masuk kedalam segala bentuk lapisan, baik kalangan atas, kalangan menengah maupun kalangan bawah. Dari sudut usia, narkoba sudah tidak dinikmati golongan remaja, tetapi juga pada golongan setengah baya maupun golongan usia tua. Penyebaran narkoba itu sudah tidak lagi hanya di kota besar, tetapi sudah masuk kota-kota kecil dan merambah di kecamatan bahkan desa. Jika dilihat dari kalangan pengguna, narkoba tidak hanya dinikmati kalangan tertentu saja, tetapi sudah memasuki berbagai profesi. Macam-macam profesi tersebut misalnya seperti manager perusahaan, pengusaha, dokter , pengacara dan sebagainya. Yang lebih menyedihkan lagi, sudah menjalar kedalam kalangan birokrat dan penegak hukum.4

Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan orang tua dan pemerintah dimana penyebaran narkoba lebih banyak di kalangan remaja maupun dewasa. Bahkan di kalangan anak-anak usia SD dan SMP pun sudah banyak yang terjerumus kedalam narkoba .Tahun-Tahun sekarang ini kejahatan-kejahatan narkotika terorganisir bermunculan di Indonesia, membuat badan-badan antinarkotika percaya bahwa Indonesia telah menjadi target bagi jaringan narkotika internasional sebagai tempat transit.5

Institusi sekolah-sekolah dan kampus adalah lahan yang paling potensial bagi pengedar/pengguna narkoba. Kebanyakan Penggunaan barang haram ini

3

Tina Afiantin (2007), Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Dengan Program AJi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press., hal. 12

4

Hari Sasangka (2003), Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana,Bandung: Mandar Maju

5


(14)

adalah mereka dari kalangan pemuda pelajar dan mahasiswa baik dari kota maupun di desa.Selain lahan subur tempat meraup keuntungan tapi juga membina calon-calon kader pengedar narkoba. Mulai dari sekolah dasar , SMP, SMA hingga Mahasiswa akan dirayu menjadi pengguna hingga pengedar oleh para bandar narkoba itu.

Oleh karena remaja sangat mudah dipengaruhi, apalagi diiming-imingi dengan kenikmatan dan keuntungan.Sasaran utama menjadi prioritas adalah siswi-siswi, mahasiswa/i yang berprestasi di sekolah atau di kampus. Ketika kemudian siswa/mahasiswa, telah terperangkap oleh bujukan manusia setan itu maka satu persatu temannya di kelas akan terbawa arus. Inilah asal mula mereka memasuki alam bencana yang membawa mereka ke malapetaka.6

Kalangan anak muda mudah terpengaruh kedalam pemakaian narkoba. Terutama para remaja, karena masa remaja merupakan masa seorang anak mengalami perubahan cepat dalam segala bidang, menyangkut perubahan tubuh, perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan kepribadian. Mereka mudah dipengaruhi karena dalam dirinya banyak perubahan dan tidak stabilnya emosi cendrung menimbulkan perilaku yang nakal.7

Diperlukan kesadaran dari semua pihak baik dari pemerintah, masyarakat maupun pelaku itu sendiri untuk segera sadar akan potensi bahaya yang muncul akibat dari pemakaian dan penyalahgunaan narkotika. Pada masa sekarang ini peredaran narkotika sudah melebihi batas yang dapat merugikan masyarakat pada

6

H.Mastar Ain Tanjung (2005) Pahami Kejahatan Narkoba Lembaga Terpadu Pemasyarakatan Anti Narkoba, Jakarta, hal.6

7

Gatot Supramono (2000) Hukum Acara Pengadilan Anak, jakarta: Penerbit Djamban., cetakan pertama , hal 2


(15)

umumnya. Degan semakin meningkatknya peredaran obat-obat terlarang (narkotika) disini diperlukanya tindakan yang tegas dari aparat penegak hukum dalam pemberantasan peredaran narkotika dan psikotropika yang semakin meluas.

Narkotika dan psikotropika merupakan hasil proses kemajuan teknologi yang selanjutnya berkembang dalam norma sosial untuk dipergunakan guna kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Terjadinya fenomena penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika dan narkotika, maka diperlukan tindakan nyata untuk pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika tersebut. Dengan demikian yang menjadi pokok persoalan ialah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, yang memerlukan strategi pembangunan hukum nasional berkaitan dengan masalah narkotika dan psikotropika yang semakin kompleks.8

Struktur hukum dapat dikatakan sebagai institusi yang menjalankan penegakan hukum dengan segala proses yang berlangsung di dalamnya. Institusi ini dalam penegakan hukum pidana, tergabung kedalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), yang terdiri atas kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan yang menjamin berjalannya proses peradilan pidana.9

Kepolisian merupakan salah satu koponen sistem peradilan pidana yang menjadi ujung tombak dalam penanggulangan kejahatan. Peranan kepolisian kelihatan lebih besar bila di bandingkan dengan komponen lainnya. Oleh karena itu kepolisian disebut sebagai the gate keeper of Criminal Justice. Kepolisian merupakan subsistem dari sistem peradilan pidana yang cukup menentukan

8

H.Siswanto (2012), Politik Hukum Dalam Undang-undang Narkotika, Jakarta: Rineka Cipta

9


(16)

keberhasilan dari kerja keseluruhan sistem dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan kepolisian merupakan subsistem yang secara langsung berhubungan dengan pelaku kejahatan dan masyarakat, sehingga tugas dan tanggung jawab kepolisian dapat dikatakan lebih besar ketimbang subsistem lainnya.

Hanya sepuluh persen energy polisi habis untuk penegakan hukum, sisanya yaitu Sembilan puluh persen dihabiskan untuk melaksanakan fungsi pelayanan masyarakat. Namun hal ini bukan berarti subsistem lainnya tidak mempunyai peranan penting dalam penanggulangan kejahatan. Secara umum tugas polisi adalah 10

1. Melakukan penanggulangan terhadap kejahatan; :

2. Mendeteksi aktifitas kejahatan;

3. Melakukan penangkapan dan penahanan pelaku kejahatan ; 4. Berpartisipasi dip roses pengadilan;

5. Melindungi dan menjamin tegaknya hukum;

6. Membantu dan melindungi orang-orang yang sedang dalam bahaya atau terancam mendapat serangan fisik;

7. Mengatur lalu lintas;

8. Membantu menyelesaikan konflik yang terjadi sehari-hari diantaranya keluarga, teman dan lingkungan masyarakat;

9. Memelihara dan mempromosikan ketertiban umum.

10

Harold j.vetter and Ira J. Silverman, 1986. Criminology and Crime: An Introduction. New York: Harper & Row Publishers, Inc. hal 438


(17)

Berdasarkan ruang lingkup kepolisian di atas, maka dapat dikatakan bahwa kepolisian mempunyai tanggung jawab yang besar dan juga sangat menentukan keberhasilan sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Interaksi langsung kepolisian dengan masyarakat bisa membawa pengaruh yang baik, maupun yang buruk. Oleh karenanya dibutuhkan pendekatan yang koordinatif antara kepolisian dengan komunitas masyarat sehingga bisa saling memahami dan bisa menjadi salah satu strategi kepolisian dalam penanggulangan kejahatan.11

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus mampu menempatkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menangulangi kejahatan. Keterlibatan masyarakat sangat penting karena menurut G. Pieter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terhadap kejahatan.12

11

Peter Jordan (1992). Effective Policing Startegies for Reducing Crime. Dalam Reducing Offending: An Assessment of Research Evidence on ways of Dealing with Offending Behaviour. Peter Goldblatt dan Chris Lewis (Ed). London: Home Office, hal 65

12

G. Pieter Hoefnagels (1972). The Other Slide of criminology, An Inversion of The Concept of Crime. Holland: Kluwer Deventer, hal 57

Berdasarkan uraian diatas, dirasa perlu untuk membahas dan sebagai bahan pembelajaran di bidang hukum pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, bagaimana tingkatan peredaran, pemakaian dan penyalahgunaan narkotika yang ada di daerah khusus nya di deli serdang.


(18)

Data Penyalahgunaan Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika di Sejajaran Polsres Deli Serdang Tahun 2010 s/d bulan Juli Tahun 2014 13

Tabel 1

No

DATA JUMLAH TINDAK PIDANA (JTP) dan JUMLAH PENYELESAIAN TINDAK PIDANA (JPTP)

TAHUN JTP JPTP Persentase (%) Tersangka Rangking

1 2010 149 147 100 % 197 -

2 2011 153 120 78 % 191 -

3 2012 144 106 75 % 187 -

4 2013 237 174 70 % 317 -

5 Juli 2014 172 172 100 % 233 -

13

kasus kejahatan tindak pidana narkoba dikutip dari fungsi Reserse Narkoba sejajaran Polres Deli Serdang


(19)

Tabel 2

DATA TERSANGKA MENURUT STATUS SEJAJARAN

POLRES DELI SERDANG

N o

Tahun

STATUS TERSANGKA Jlh

TNI Polri Peg.s wasta

PNS Pelajar Mahasi swa

wiraswasta Buruh/ka ryawan

penganggu ran

1 2010 - 1 - 2 13 2 95 35 49 197

2 2011 - 3 - 2 4 2 126 21 33 191

3 2012 - 1 - - 9 - 119 37 21 187

4 2013 - 4 - 1 4 4 187 56 61 317

5 juli 2014 - 1 - - 5 3 123 46 55 233


(20)

Tabel 3

DATA MENURUT UMUR SEJAJARAN POLRES DELI SERDANG

No Tahun

UMUR TERSANGKA

Jlh

≤ 15 Thn 16-19 Thn 20-24 Thn 25-29 Thn ≥ 30 Thn

1 2010 3 29 24 53 88 197

2 2011 1 15 36 41 98 191

3 2012 4 14 36 46 87 187

4 2013 2 18 51 70 176 317

5 Juli 2014 3 21 37 51 121 233


(21)

Tabel 4

DATA JUMLAH BARANG BUKTI SEJAJARAN

N

POLRES DELI SERDANG

O T A H U N K E T

NARKOTIKA PSIKOTROPIKA Zat/obat

berbahaya He r oin Can du GANJA Putauw

Shabu’s Pil Ecstasy

Daun Biji

Pohon/ batang

1 2010 - - 86.299,76

kg

- - - 48,13 gram & peralatan shabu

- -

2 2011 - - 41.712,03

kg

- - - 328,65 gram & peralatan shabu

304 butir

-

3 2012 - - 52.382,55

gram

- - 0,5 gr 118,82 gram & peralatan shabu

- -

4 2013 - - 4.972,41

gram

- - - 2.249,4 gram & peralatan shabu

2076 gr -

5 Juli 2014 - - 5.253,14 gram

- - - 546,38 gram & peralatan shabu


(22)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana Peranan Kepolisian Sebagai Penyelidik dan Penyidik Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika ?

2. Bagaimana Peranan Kepolisian dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.

Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang dapat menjadi bahan tambahan khususnya bagi pihak yang mengalaminya. Khususnya mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika .

2.

Manfaat Teoritis

a . memberikan perkembangan pemikiran dalam ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum pidana mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

b. Menambah pustaka dibidang ilmu hukum khususnya dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psiotropika

.


(23)

D. Keaslian Penulisan

P

enulisan skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan, adapun judul yang di peroleh merupakan gagasan ide penulis yang di peroleh berdasarkan penglihatan dari pemberitaan-pemberitaan media masa tentang peredaran dan penyalahgunan narkotika. Maka dengan itu penulis mengangkat judul dari penulisan skripsi ini, dengan tujuan menambah ilmu pengetahuan tentang peredaran dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Narkotika

Istilah narkotika berasal dari bahasa yunani, yaitu”narkotikos”. Pada mulanya narkotikos berarti keadaan seorang yang kaku seperti patung atau tidur. Keadaan kaku yang seperti patung atau tidur (narkotikos)itu terjadi, apabila seseorang menggunakan bahan-bahan tertentu. Oleh karena sudah terbiasa menggunakan kata narkotika, maka lama kelamaan kata narkotika dipakai dalam pengertian bahan-bahan yang juga dapat menimbulkan keadaan narkotikos.

Istilah narkotika berkembang terus, akhirnya pengertian narkotika tidak lagi terbatas pada bahan-bahan yang mengakibatkan kaku seperti patung atau tidur saja, tetapi juga dipergunak an untuk bahan-bahan yang menimbulkan keadaan yang sebaliknya, yaitu bahan-bahan yang merangsang (memacu) susunan saraf


(24)

pusat. Akibat ransangan itu menyebabkan seseorang merasa bergiat dan tak dapat tidur.14

1. Narkotika Golongan I : Narkotika yang paling berbahaya, daya adiktifnya sangat tinggi. Golongan ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan apa pun, kecuali untuk penelitian atau ilmu pengetahuan. Contohnya adalah tanaman papaver, somniferum, opium mentah, Opium masak seperti candu, jicing dan jicingko, tanaman koka, daun koka, kokain mentah,kokaina dan tanaman ganja. Yang termasuk Narkotika golongan I ada 65 Macam.

Pengertian narkotika secara farmakologis medis, menurut Ensiklopedia Indonesia IV (1980 : 2336) adalah obat yang dapat menghilangkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah Viseral dan yang dapat menimbulkan efek stupor (bengong masih sadar tapi harus digertak) serta adiksi.Narkoba (Narkotika, Psikotropika) adalah merupakan Bahan Adiktif, yaitu nama segolongan zat alamiah, semi sintetik maupun sintetik. Narkoba pada prinsipnya adalah zat atau bahan yang dapat mempengaruhi kesadaran, fikiran dan prilaku yang dapat menimbulkan ketergantungan kepada pemakainya. Bila hal ini terjadi pada seseorang, maka dapat berakhir semua masa depannya. Adapun jenis narkotika di bagi dalam 3 golongan, yaitu :

2. Narkotika Golongan II : narkotika yang memiliki daya adiktif kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya: Alfasetilmetadol, Alfametadol, Benzetidin, Dekstromoramida, Furetidina,Hidromorfinol, isometadena, Fenazosina, Klonitazena, Levorfanol, morfina, oksikodona,

14

DJ. Siregar (1977), Pengetahuan Tentang Narkotika/obat , Pengawas Bidang Pendidikan Menengah Umum


(25)

Petidina, intermediate A,B,C, Resemetorfan, sufetanil, trimeperidina dan lainnya. Yang termasuk Golongan Narkotika Golongan II ada 86 Macam.

3. Narkotika Golongan III : Narkotika yang memiliki daya adiktif ringan, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian-penelitian. Contohnya yaitu : Asetildihidrokodeina,Dekstroppropoksifena,Etilmorfina,kodeina,Nikokodina, Polkodina, Propiram, dan yang lainnya.15

Dari kedua definisi tersebut M.Ridha MA’ROEF menyimpulkan :

a. Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika sintesis. Yang termasuk narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphin, heroin, ganja, hashish, codein dan cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam pengertian narkotika yang sempit. Sedangkan narkotika sintetis adalah termasuk dalam pengertian narkotika secara luas.

b. Bahwa narkotika itu bekerja mempengaruhi susunan saraf pusat yang akan menimbulkan ketidaksadaran. Berbahaya apabila disalahgunakan; c. Bahwa narkotika dalam pengertiannya disini adalah obat-obat berbahaya

atau narcotic and dangerous drugs.16

Dari uraian diatas, jelaslah bahwa narkotika adalah obat yang dibutuhkan. Memang benar narkotika mengakibatkan hal yang kurang baik menjadi perusak dan pembunuh apabila di salahgunakan. Jadi bukan pemakaian narkotika yang membahayakan , tetapi penyalahgunaannya. Harus di sadari bahwa narkotika

15

http:///bnnkgarut.wordpress.com diakses pada tanggal 29 September 2014

16


(26)

tidak salah, tetapi yang salah adalah orang yang menyalahgunakannya untuk hal yang tidak seharusnya dilakukan.17

Istilah psikotropik mulai banyak dipergunakan pada tahun 1971, sejak dikeluarkan Convention on psycotropic Substanceoleh General Assembly (PBB) yang menempatkan zat-zat tersebut dibawah kontrol Internasional. Istilah tersebut muncul karena Single Convention on Narcotic Drug 1961, ternyata tidak memadai untuk menghadapi bermacam-macam drug baru yang muncul dalam peredaran. Psychotropic Substance mempunyai arti mind altering yaitu merubah jiwa dan mental manusia yang menggunakannya(SOEDJONO D, 1982 ;78-79) 2 . Pengertian Psikotropika

Psikotropika adalah obat yang bekerja pada atau mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman (WHO, 1966). Sebenarnya psikotropika baru diperkenalkan sejak lahirnya suatu cabang ilmu farmakologi yakni psikofarmakologi yang khusus mempelajari psikofarmaka atau psikotropik. Psikofarmakologi berkembang dengan pesat sejak ditemukan alkoloid Rauwalfia

dan chloropromazin yang ternyata efektif untuk mengobati kelainan psikiatrik (Sardjono O Santoso dan Metta Sinta Sari Wiria , 1995: 148) psikotropika adalah obat yang bekerja pada susunan syarat pusat (S.S.P)yang memperlihatkan efek yang sangat luas.

18

Dalam kepustakaan hukum pidana, istilah "tindak pidana" merupakan .

3 . Pengertian Tindak Pidana

17 Ibid., hal . 4


(27)

istilah yang dipakai sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda strafbaarfeit

(Hermien Hadiati Koeswadji, 1983:1). Sebenarnya, masih banyak istilah yang digunakan yang menunjuk pada pengertian tindak pidana. Berbicara tentang hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok yang menjadi titik perhatiannya, masalah pokok dalam hukum pidana tersebut meliputi masalah

tindak pidana (perbuatan jahat), kesalahan dan pidana serta korban

(Iswanto:1995). Adapun berbagai istilah dan pengertian tindak pidana dapat kita lihat menurut para ahli antara lain sebagai berikut :

1. Menurut Sudarto, penggunaan istilah "tindak pidana" didasarkan atas pertimbangan yang bersifat sosiologis, sebab istilah tersebut sudah dapat di terima oleh masyarakat (Sudarto, 1989:30).

2. J. Bauman, menurut Bauman perbuatan pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.

3. Wirjono Prodjodikoro, menurut dia tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana.

4. Moeljatno, "perbuatan pidana" sebagai "perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa melanggar larangan tersebut".

Menurut Moeljatno, untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :

1. Perbuatan (manusia)

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (merupakan syarat formil) dan


(28)

3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materil).19

Moeljatno merupakan ahli hukum pidana yang memiliki pandangan yang berbeda dengan penulis-penulis lain tentanng defenisi tindak pidana. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja, sebagaimana yang telah dikatakan bahwa, " perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar."20

Sebagaimana telah disinggung, bahwa salah satu unsur tindak pidana sebagai syarat untuk pengenaan pidana adalah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan tindak pidana dalam Undang-undang. Persyaratan ini merupakan konsekuensi logis dari dianutnya asas legalitas dalam hukum pidana, rumusan tindak pidana ini sangat penting dalam rangka memberikan "kepastian hukum" kepada setiap orang.21

sesuai dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1997 adalah untuk kepentingan pelayanan kesehatan, yang artinya adalah orang yang menderita sakit dan pengobatannya dengan psikotropika. Ketentuan pengguna tercantum dalam pasal 36, 37, dan pasal 41 Undang-Undang No.5 Tahun 1997. Berikut ini adalah bunyi beberapa pasal yang dimaksud.

4 . Pengertian Pengguna

Pengguna harus memiliki bukti yang sah, tujuan penggunaan psikotropika

19

A.Fuat Usfa dan Tongat ( 2004), Pengantar Hukum Pidana, Malang: Universitas Muhammadiyah.

20

Moeljatno , (2000) Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Karsa Cetakan ke-2 hal. 56

21


(29)

Ketentuan Pasal 36 UU No 5 Tahun 1997 berbunyi sebagai berikut:

(1) Pengguna psikotropik hanya dapat memiliki, menyimpan dan membawa psikotropika untuk digunakan dalam rangka pengobatan atau perawatan. (2) Pengguna psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang

bersangkutan harus mempunyai bukti bahwa psikotropika yang ada padanya diperoleh secara sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) , yaitu yang diperoleh dari apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan atau dokter.22

Ketentuan Pasal 37 Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1997 berbunyi sebagai berikut :

(1) Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta dalam pengobatan dan/atau perawatan.

(2) Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada fasilitas rehabilitasi.23

Ketentuan Pasal 41 UU No 5 Tahun 1997 berbunyi sebagai berikut : Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan.24

22

Pasal 36 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika 23 Pasal 37 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika

24


(30)

F. Metode Penelitian

1 . Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan normatif. penelitian secara deskriptif adalah merupakan penelitian yang menggambarkan tentang uraian atas suatu keadaan sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti.25

a) Data primer yaitu data yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.

Sedangkan penelitian secara normatif merupakan penelitian yang mengkaji berdasarkan dokumen, yakni menggunakan buku-buku, teori hukum, pendapat para sarjana, dan peraturan perundang-undang, yang berkaitan dengan judul yang menjadi objek penelitian. Tipe ini digunakan karena penulis ingin mengetahui sejauhmana pelaksanaan tugas kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik terhadap penanganan narkotika dan psikotropika di Wilayah Hukum Polres Deli Serdang baik secara penindakan langsung (represif), pencegahannya (preventif), ataupun penangkalannya (preemtif).

2 . Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, dan

data sekunder, adapun maksudnya adalah sebagai berikut :

b) Data sekunder yaitu data yang member petunjuk kea rah mana penelitian melangkah.

25

Kontour, Ronny. (2003). Metode Penelitian: Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis,


(31)

c) Sumber bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti dan sifatnya mengikat, berupa peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim

d) Sumber bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang berkaitan dengan penjelasan bahan hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan yang sifatnya berupa buku-buku yang berhubungan dengan hukum pidana, hukum acara pidana, publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokument-dokument resmi, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum.26

3 . Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data untuk memperoleh data yang diharapkan dalam penelitian ini, adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut :

a. Interview atau wawancara

Wawancara adalah suatu interaksi komunikasi yang dilakukan antara pewawancara dan terwawancara untuk memperoleh suatu informasi. Adapun metode wawancara yang dilakukan berupa dialog dengan Kaur Mintu narasumber selaku anggota kepolisian Direktorat Reserse Narkoba Polres Deli serdang.

b. Studi Kepustakaan

26Peter Mahmud Marzuki (2005), Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, Edisi pertama cetakan ke-4, hal. 142


(32)

Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan cara

membaca, mempelajari, dan mengumpulkan data yang diperoleh dari berbagai literatur buku hukum, internet, dan peraturan perundang-undangan yang di butuhkan dalam penelitian.

4 . Lokasi Penelitian

Lokasi yang digunakan dalam penelitian adalah di Direktorat Reserse Narkoba Polres Deli Serdang

5 . Analisis Data

Penyusunan data menggunakan metode analisis deskriptif artinya data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan sekunder. Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif yaitu suatu kegiatan yang dilakukan untuk menentukan isi aturan hukum dijadikan sebagai rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian.

Data yang telah terkumpul dianalisa dengan sistematik terhadap data yang berbentuk kualitatif. Metode ini digunakan untuk menganalisis bagaimana pelaksanaan penyelidikan terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika, guna memudahkan pemecahan masalah yang hendak dilaksanakan.


(33)

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini di uraikan dalam 5 Bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan isi dari Latar Belakang, Perumusan Masalah,

Tujuan Penulisan, dan manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan sistematika Penulisan.

BAB II : PERANAN KEPOLISIAN SEBAGAI PENYELIDIK DAN

PENYIDIK TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

Dalam bab ini berisikan tentang Penyidik dan Penyelidikan

BAB III : PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN

PENYALAHGUNAAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

Dalam bab ini berisikan tentang jenis-jenis narkotika yang sering di salahgunakan, faktor-faktor penyebab penyalahgunaan narkotika dan penanggulangan penyalahgunaan narkotika dan psikotrpika.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN


(34)

BAB II

PERANAN KEPOLISIAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA

NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

A.Tugas dan Wewenang Kepolisian Menurut Undang-Undang No 2 Tahun

2002

Kepolisian Negara Republik Indonesia atau yang sering disingkat dengan Polri dalam kaitannya dengan Pemerintahan adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, yang bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia yang diperoleh secara atributif melalui ketentuan Undang-Undang (pasal 30 UUD 1945 dan pasal 2 Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang POLRI).

Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagaimana yang ditentukan dalam Peaturan Pemerintah wilayah kepolisian dibagi secara berjenjang mulai tingkat pusat yang biasa disebut dengan Markas Besar Polri yang wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Kapolri yang bertanggung jawab kepada Presiden, kemudian wilayah di tingkat Provinsi disebut dengan Kepolisian Daerah yang lazim disebut dengan Polda yang dipimpin oleh seorang Kapolda yang bertanggung jawab kepada


(35)

Kapolri, di tingkat Kabupaten disebut dengan Kepolisian Resot atau disebut juga Polres yang dipimpin oleh seorang Kapolres yang bertanggungjawab kepada Kapolda, dan di tingkat Kecamatan ada Kepolisian Sektor yang biasa disebut dengan Polsek dengan pimpinan seorang Kapolsek yang bertanggungjawab kepada Kapolres, dan di tingkat Desa atau Kelurahan ada Pos Polisi yang dipimpin oleh seorang Brigadir Polisi atau sesuai kebutuhan menurut situasi dan kondisi daerahnya.27

a. Memelihara keamanan dan ketertiban umum;

Tugas kepolisian dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu tugas represif dan tugas preventif. Tugas represif ini adalah mirip dengan tugas kekuasaan executive, yaitu menjalankan peraturan atau perintah dari yang berkuasa apabila telah terjadi peristiwa pelanggaran hukum. Sedangkan tugas preventif dari kepolisian ialah menjaga dan mengawasi agar peraturan hukum tidak dilanggar oleh siapapun. Tugas utama dari kepolisian adalah memelihara keamanan di dalam negeri. Dengan ini nampak perbedaan dari tugas tentara yang terutama menjaga pertahanan Negara yang pada hakikatnya menunjuk pada kemungkinan ada serangan dari luar Negeri.

Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 pasal 13 dijelaskan bahwasannya adapun yang menjadi tugas pokok kepolisian adalah:

b. Menegakkan hukum; dan

27

http://pospolisi.wordpress.com/2012/10/20/hukum-kepolisian/ diakses tanggal 9 Oktober 2014


(36)

c. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.28

Selanjutnya pada pasal 14 dijelaskan bahwasannya dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :

a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;

b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan;

c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan;

d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;

e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;

f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;

g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Mengenai ketentuan-ketentuan penyelidikan dan penyidikan ini, lebih jelasnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara

28


(37)

Pidana (KUHP) yang diantaranya menguraikan pengertian penyidikan, penyelidikan, penyidik dan penyelidik serta tugas dan wewenangnya.

h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;

i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;

j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;

k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.29

Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 dan pasal 14, kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :

a. Menerima laporan dan/atau pengaduan;

b. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

c. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang. d. Mencari keterangan dan barang bukti;

29


(38)

e. Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional;

f. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang terdapat mengganggu ketertiban umu;

g. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.

h. Mengawasi aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

i. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;

j. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

k. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu;

l. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

m. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian yang mengikat warga masyarakat.

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang – undangan lainnya berwenang :

a. Member ijin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;

b. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;

c. Memberikan ijin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;


(39)

e. Memberikan surat ijin mengemudi kendaraan bermotor;

f. Memberikan petunjuk, mendidik, dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang tehnis kepolisian;

g. Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;

h. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.30

B.Kepolisian Sebagai Penyelidik dan Penyidik Tindak Pidana Narkotika

dan Psikotropika

1. Fungsi Kepolisian Sebagai Penyelidik

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 ayat 5 KUHAP). Penyelidik dalam melakukan penyelidikan wajib menunjukkan tanda pengenalnya. Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.

Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan. terhadap tindak yang dilakukan tersebut diatas, penyelidik wajib membuat berita acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum (Pasal

30


(40)

102 ayat (1),(2),(3) KUHAP). Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu penyelidik. Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus disebutkan sebagai catatan pelapor atau pengaduan tersebut (PAsal 103 ayat (1),(2),(3) KUHAP). Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi, dan diberi petunjuk oleh penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia (Pasal 106 KUHAP).31

penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, penyelesaian dan penyerahan berkas perkara ke penuntut umum.

Pasal 1 KUHAP, pada ayat 1 dan 4 menyatakan bahwa kedudukan Polri dalam sistem peradilan pidana adalah sebagai penyelidik dan penyidik. Pada pasal 1 ayat 4 KUHAP dinyatakan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. yang dimaksud dengan penyelidikan dalam pasal ini adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa pidana yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

Penyelidikan bukanlah fungsi tersendiri yang terpisah dari penyidikan, tetapi hanya merupakan salah satu cara atau metode dari fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan,

32

31

Mohammad Taufik Makarao., Suhasril., (2002), Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Ghalia Indonesia., hal. 24

32

Andi Hamzah (1993), Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Arikha Media Cipta, hal 141

Latar belakang dibuatnya fungsi penyelidikan antara lain adanya suatu


(41)

perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia, adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa, ketatnya pengawasan dan adanya lembaga ganti kerugian dan rehabilitasi.Tidak semua peristiwa yang terjadi dapat diduga adalah tindak pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan penyidikan dengan konsekuensi digunakannya upaya paksa, dengan berdasarkan data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan ditentukan lebih dahulu bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu benar-benar merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan penyidikan.33

Undang-undang No.8 Tahun 1981 (KUHAP) memberikan peran utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana (secara umum) tanpa batasan lingkungan kuasa soal-soal sepanjang masih termasuk dalam lingkup hukum publik, sehingga pada dasarnya Polri oleh KUHAP diberika kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana.

Dalam hal penyelidikan, maka tugas Polri ditegaskan dalam pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Rumusan dari pasal ini memuat rincian tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang penyelidikan dan penyidikan tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana.

34

33

Djoko Prakoso (1987), Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Jakarta: PT. Bina Aksara, hal 44

34

Momo Kelana (2002), Memahami undang-undang Kepolisian , Jakarta: PTIK Press, hal 81


(42)

Pada bagian penjelasan dari undang-undang No 2 Tahun 2002 dijelaskan bahwa ketentuan undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam hal penyelidikan dan penyidikan, sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penyelidikan memegang peranan penting. Penyelidikan merupakan tindakan awal dari keseluruhan tindakan-tindakan dalam rangka proses penyelesaian perkara. Untuk menentukan suatu peristiwa adalah suatu tindak pidana atau bukan memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Meskipun dalam KUHAP dinyatakan bahwa setiap anggota kepolisian adalah penyelidik, namun penyelidikan ditangani oleh petugas-petugas kepolisian yang memenuhi syarat ditinjau dari pengalamannya.35

a. Pengolahan TKP ;

Penyelidikan sebagaimana dimaksud dilaksanakan melalui kegiatan :

1. Mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk, barang bukti, identitas tersangka, dan saksi/korban untuk kepentingan penyelidikan selanjutnya.

2. Mencari hubungan antara saksi/korban, tersangka, dan barang bukti;

35

Harun M.Husein,1991,Penyidikan dan Penuntun dalam Proses Pidana, Rineka Cipta, Jakarta., hal.58


(43)

3. Memperoleh gambaran modus operandi tindak pidana yang terjadi

b. Pengamatan (observasi)

1. Melakukan pengawasan terhadap objek, tempat, dan lingkungan

tertentu untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan; dan

2. Mendapatkan kejelasan atau melengkapi informasi yang sudah ada berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang diketahui sebelumnya;

c. Wawancara (interview)

1. Mendapatkan keterangan dari pihak-pihak tertentu melalui teknik wawancara secara tertutup maupun terbuka; dan

2. Mendapat kejelasan tindak pidana yang terjadi dengan cara mencari jawaban atas pertanyaan siapa, apa, dimana, dengan apa, mengapa, bagaimana, dan bilamana;

d. Pembuntalan (surveillance)

1. Mengikuti seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana atau orang lain yang dapat mengarahkan kepada pelaku tindak pidana;

2. Mencari tahu aktivitas, kebiasaan, lingkungan, atau jaringan pelaku tindak pidana; dan

3. Mengikuti distribusi barang atau tempat penyimpanan barang hasil kejahatan;


(44)

1. Mencari dan mengikuti keberadaan pelaku tindak pidana dengan menggunakan teknologi informasi;

2. Melakukan pelacakan melalui kerja sama dengan Interpol, kementrian /

lembaga/badan/komisi/instansi terkait; dan

3. Melakukan pelacakan aliran dana yang diduga dari hasil kejahatan;

f. Penyamaran (undercover)

1. Menyusup kedalam lingkungan tertentu tanpa diketahui identitasnya untuk memperoleh bahan keterangan atau informasi;

2. Menyatu dengan kelompok tertentu untuk memperoleh peran dari kelompok tersebut, guna mengetahui aktivitas para pelaku tindak pidana; dan

3. Khusus kasus peredaran narkoba, dapat digunakan teknik penyamaran sebagai calon pembeli (undercover buy), penyamaran untuk dapat melibatkan diri dalam distribusi narkoba sampai tempat tertentu (controlled delivery), penyamaran disertai penindakan/pemberantasan (raid planning execution);

g. Penelitian dan analisis dokumen, yang dilakukan terhadap kasus-kasus tertentu dengan cara :

1. Mengkompulir dokumen yang diduga ada kaitannya dengan tindak pidana; dan


(45)

2. Meneliti dan menganalisis dokumen yang diperoleh guna menyusun anatomi perkara tindak pidana serta modus operandinya.36

Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada tahap penyelidikan segala data dan fakta yang diperlukan bagi penyidikan tindak pidana tersebut harus dapat dikumpulkan. Sehingga dari hasil penyelidikan itu didapat kepastian tentang bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai tindak pidana, adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana dan terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan penyidikan, karena segala data dan fakta yang dibutuhkan bagi penyidikan tindak pidana tersebut telah terkumpul.37

2. Kepolisian Sebagai Penyidik

Setelah berakhirnya tingkat penyelidikan, maka dilanjutkan dengan penyidikan. Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat data dan fakta yang diperoleh dari hasil penyelidikan. dengan sudah ditentukannya bahwa telah terjadi suatu peristiwa pidana, maka penyidikan adalah tindak lanjut dari penyelidikan.

Pengertian penyidikan menurut ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan barang bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam Hal Penyidikan Pasal 1 ayat 1 KUHAP menyatakan bahwa "Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat negri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

36

Pasal 24 undang-undang Nomor 14 Tahun 2012

37


(46)

Kepolisian Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negri. Dalam rangka pelaksanaan menjalankan peran dan fungsinya kepolisian, Wilayah Negara Republik Indonesia, dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Mengenai penyidik lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 P.P Nomor 27 Tahun 1983, ditetapkan syarat kepangkatan dan pengangkatan penyidik sebagai berikut :

a. Polisi Negara R.I yang berpangkat sekurang-kurangnya pembantu Letnan Dua Polisi

b. Pejabat pegawai negri sipil tertentu dengan pangkat sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat I (golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu c. Apabila di suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik maka

Komandan Sektor Kepolisian yang berpangkat Bintara dibawah Pembantu Letnan Dua Polisi. Karena jabatanya adalah penyidik;

d. Penyidik Polisi Negara ditunjuk oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, wewenang penunjuk tersebut dapat dilimpahkan kepada pejabat Kepolisian lain;

e. Penyidik pegawai negri sipil ditunjuk oleh Mentri Kehakiman dengan pertimbangan dari Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Selain pejabat penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 KUHAP ditentukan pula tentang pejabat penyidik pembantu. Sesuai dengan ketentuan


(47)

pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 ditentukan bahwa penyidik pembantu adalah :

1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;

2. Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu dilingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a)

3. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat 1 huruf a dan b diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atas usul komandan atau Pimpinan kesatuan masing-masing.38

Selain polri yang dimaksud penyidik adalah pejabat pegawai negri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan (vide pasal 1 butir 1 jo. Pasal 6 ayat (1) KUHAP). Tidak semua pegawai negri sipil dapat menjadi penyidik dan tidak semua undang-undang ada klausul yang berkaitan dengan penyidikan. Beberapa undang-undang yang mengatur secara khusus tentang penyidikan oleh PPNS, antara lain:

a. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan b. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang keimigrasian

c. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan-ketentuan umum dan tata cara perpajakan d. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang kepabean.

Syarat kepangkatan PPNS diatur oleh peraturan pemerintah (PP),

38

H. Hamrat Hamid dan Harun M.Husein (1992), Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang Penyidikan, Jakarta: Sinar Grafika, hal 37


(48)

peraturan pemerintah yang dimaksud adalah PP Nomor 27 Tahun 1983, Pasal 2. Melalui PP Nomor 27 Tahun 1983 diatur perihal :

1) PPNS tersebut sekurang-kurangnya berpangkat pengatur muda tingkat I (II/b) atau yang disamakan.

2) PPNS diangkat oleh mentri kehakiman atas usul dari departemen yang membawahkan pegawai negri tersebut. tembusan usul disampaikan kepada jaksa Agung dan Kepala Kepolisian RI, guna kepentingan pembuatan rekomendasi.

3) Wewenang pengangkatan tersebut sudah dilimpahkan kepada sekretaris Jendral Departemen Kehakiman, berdasarkan surat keputusan Mentri Kehakiman Nomor M.06-06.UM.01.06 Tahun 1983 tentang pelimpahan wewenang pengangkatan penyidik Pegawai Negri Sipil.

Pejabat Pegawai Negri Sipil mempunyai kewenangan sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya. Misalnya, PPNS di bidang perikanan sesuai dengan undang-undang Nomor 9 Tahun 1985, PPNS di bidang perpajakan sesuai dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 dan peraturan sebagainya yang mengaturnya. 39

Penyidikan merupakan tindak lanjut dari penyelidikan, sehingga pengertian penyidikan erat kaitannya dengan penyelidikan. Pada saat penyidik akan memulai suatu penyidikan, sebagai penyidik dia telah dapat memastikan bahwa peristiwa yang akan di sidik itu benar-benar merupakan suatu tindak pidana dan terdapat cukup data dan fakta guna melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut.

39

Bambang Waluyo (2004), Pidana dan Pemidanaan , Jakarta: Sinar Grafika., hal 52


(49)

Sasaran penyidikan adalah pengumpulan bukti-bukti guna membuat terang suatu tindak pidana dan menentukan tersangka pelakunya. Dalam melakukan penyidikan terhadap suatu tindak pidana, ada beberapa Ketentuan yang dilakukan pada saat dilakukannya penyidikan yang terdapat dalam Undang-Undang No 14 Tahun 2012 tentang menajement penyidikan. Adapun beberapa ketentuan yang dimaksud sebagai berikut :

Dasar dilakukannya penyidikan : a. laporan polisi/pengaduan b. surat perintah tugas c. laporan hasil penyelidikan d. surat perintah penyidikan e. SPDP

Pasal 5

Laporan polisi/pengaduan terdiri atas : a. Laporan polisi model A ; dan b. Laporan polisi model B.

(1) Laporan polisi model A sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah laporan polisi yang di buat oleh anggota polri yang mengalami, mengetahui, menemukan langsung peristiwa yang terjadi;

(2) Laporan polisi model B sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah laporan polisi yang di buat oleh anggota polri atas laporan/pengaduan yang

diterima anggota kepolisian dari masyarakat yang membuat laporan.

Surat perintah penyidikan sebagaimana dimaksud, sekurang-kurangnya memuat :


(50)

a. Dasar penyidikan;

b. Identitas petugas tim penyidik; c. Jenis perkara yang disidik;

d. Waktu dimulainya penyidikan; dan

e. Identitas penyidik selaku pejabat pemberi perintah. pasal 14

"(1) Penyidikan tindak pidana dilaksanakan berdasarkan Laporan Polisi dan surat perintah penyidikan.

(2) Laporan Polisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) atau Siaga Bareskrim Polri dibuat dalam Bentuk Laporan Polisi Model A atau Laporan Polisi Model B.

(3) Setelah Laporan Polisi dibuat, penyidik/penyidik pembantu yang bertugas di SPKT Siaga Bareskrim Polri segera menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan terhadap pelapor dalam bentuk berita acara pemeriksaan saksi pelapor.

(4) Kepala SPKT atau Kepala Siaga Bareskrim Polri segera meneruskan laporan polisi dan berita acara pemeriksaan saksi pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada :

a. Karo bin ops Bareskrim Polri untuk laporan yang diterima di Mabes Polri;

b. Direktur Reserse Kriminal Polda untuk laporan yang diterima di bagian SPKT Polda sesuai jenis perkara yang dilaporkan;


(51)

d. Kapolsek/Wakapolsek untuk laporan yang diterima di SPKT Polsek .

(5) Laporan Polisi dan berita acara pemeriksaan saksi pelapor sebagaimana yang dimaksud pada ayat (4) dapat dilimpahkan ke kesatuan yang lebih rendah atau sebaliknya dapat ditarik ke kesatuan lebih tinggi."

Sebelum melakukan penyidikan, penyidik wajib membuat rencana penyidikan. Rencana penyidikan sebagaimana dimaksud diajukan kepada atasan secara berjenjang sekurang-kurangnya memuat ;

a. Jumlah dan identitas penyidik; b. Sasaran/target penyidikan;

c. Kegiatan yang akan dilakukan sesuai tahap penyidikan; d. Karakteristik dan anatomi perkara yang akan disidik ; e. Waktu penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara; f. Kebutuhan anggaran penyidikan; dan

g. Kelengkapan administrasi penyidikan.

Rencana penyidikan dimaksudkan untuk melaksanakan penyidikan agar professional, efektif, dan efisien. Didalam melakukan penyidikan Tingkat kesulitan penyidikan perkara ditentukan berdasarkan kriteria :

a. Perkara Mudah; b. Perkara Sedang; c. Perkara Sulit; dan d. Perkara Sangat Sulit.

Pada Pasal 18 UU No.14 Tahun 2012 Penanganan perkara sesuai kriteria sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 ayat (4), ditentukan sebagai berikut ;


(52)

a. Tingkat Mabes Polri dan Polda menangani perkara sulit dan sangat sulit; b. Tingkat Polres menangani perkara mudah, sedang, dan sulit; dan

c. Tingkat Polsek menangani perkara mudah dan sedang.40

Dalam melakukan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Penyidik kepolisian memberikan pernyataan tertulis kepada BNN untuk mulai dilakukanya penyidikan. Didalam tindak pidana narkotika sebagaimana tercantum dalam undang-undang No 35 Tahun 2009 pasal 75 penyidik berwenang untuk:

1. Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

2. Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

3. Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi.

4. Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka. 5. Memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam

penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. 6. Memeriksa surat dan atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

7. Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

8. Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika di seluruh wilayah juridiksi nasional.

40

Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajement Penyidikan Tindak Pidana


(53)

9. Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup.

10.Melakukan teknik pembelian terselubung dan penyerahan dibawah pengawasan.

11.Memusnakan narkotika dan prekursor narkotika.

12.Melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA), dan tes bagian tubuh lainnya.

13.Mengambil sidik jari dan memotret tersangka.

14.Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman. 15.Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat

penghubung lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. 16.Melakukan penyegelan terhadap narkotika dan prekursor narkotika.

17.Melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti narkotika dan prekursor narkotika.

18.Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.41

Menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Adapun kewenangan penyidik kepolisian diatur dalam UU Pokok Kepolisian No 2 Tahun 2002 pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa wewenang penyidik adalah melakukan

41


(54)

penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.42

Penyidikan dapat dikatakan telah dimulai ketika penyidik telah menggunakan kewenangannya yang berkaitan langsung dengan hak asasi tersangka dalam hal ini yang dimaksudkan adalah penggunaan kewenangan penyidik untuk menahan tersangka.

Kewenangan yang dipunyai oleh Polri ini semata-mata digunakan hanya untuk kepentingan mencari kebenaran dari suatu peristiwa pidana. Dengan keluarnya hasil dari penyelidikan yang menyatakan suatu peristiwa pidana dan harus diadakan penyidikan maka tindakan pertama yang diambil adalah pengumpulan bukti-bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana dan mencari dan menemukan pelaku tindak pidana tersebut.

43

a. Tindakan Pertama di Tempat Kejadian

Penyidikan terhadap suatu tindak pidana adalah suatu proses yang terdiri dari rangkaian tindakan yang dilakukan penyidik untuk membuat jelas suatu tindak pidana dan menemukan pelaku tindak pidana tersebut. proses ini terdiri atas :

Yang dimaksud tindakan pertama yang dilakukan oleh penyidik di tempat kejadian perkara adalah untuk :

1. Menyelamatkan nyawa korban

2. Menangkap pelaku yang masih berada di sekitar lokasi tempat kejadian perkara

3. Menutup tempat kejadian untuk siapapun demi menjaga keadaan lokasi kejadian agar tetap seperti aslinya pada saat terjadinya tindak pidana. Hal

42

Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Fungsi Tehnis Reserse Maret 2003

43


(55)

ini sangat diperlukan untuk kepentingan penyidikan agar kejadian tersebut menjadi jelas dan dapat ditemukan kebenaran dari tindak pidana tersebut 4. Menemukan, menyelamatkan, mengumpulkan, dan mengambil barang

bukti yang dapat membantu penyidik untuk mendapatkan petunjuk tentang identitas pelaku, cara dan alat yang digunakan pelaku. Semuanya ini diperlukan untuk mengatasi kemungkinan pelaku memberikan alibi atau kebohongan yang dapat diungkapkan oleh pelaku pada saat pemerksaan dilakukan atas pelaku

5. Menemukan dan mencari saksi yang dapat membantu penyidikan untuk membenatu memecahkan persoalan yang dihadapi penyidik dalam membuat terang peristiwa tersebut.44

Tindakan pertama ditempat kejadian perkara sangatlah perlu karena dari tempat kejadian dapat ditemukan banyak petunjuk yang dapat membuat terang suatu tindak pidana dan menemukan pelaku tindak pidana tersebut. hal ini dapat dipastikan karena sesempurna apapun dan seprofesional apapun pelaku tersebut dia pasti akan meninggalkan bekas atau tanda yang dapat mengarah kepadanya. Tempat kejadian perkara adalah tempat dimana data dan fakta dapat ditemukan. Tempat kejadian perkara merupakan awal dari usaha untuk mengungkap suatu tindak pidana. Seorang perwira reserse yang dianggap mampu biasanya memimpin tindakan pertama ditempat kejadian.45

Bahkan karena pentingnya tempat kejadian perkara tidak jarang penyidik meminta bantuan dari luar kepolisian seperti dokter maupun tenaga medis. Karena pentingnya suatu tempat kejadian perkara, maka diusahakan agar

44

Harun M.Husein ibid., hal 104

45


(56)

penanganan dilakukan oleh penyidik yang sangat mengerti arti pentingnya tempat kejadian perkara. Sidik jari merupakan bukti penting yang dapat menunjukkan pelaku. Ini dikarenakan tidak ada manusia yang mempunyai sidik jari yang identik sama. Dan pada umumnya para pelaku ditangkap karena sidik jari mereka yang didapati di tempat kejadian.

b. Penangkapan

Penangkapan adalah wewenang dari penyidik untuk kepentingan penyidikan. Penangkapan diperlukan agar pelaku tindak pidana tidak melarikan diri atau menghilangkan barang bukti yang dapat memberatkan dirinya. Walaupun penangkapan adalah wewenang dari penyidik, bukan berarti penyidik dapat menangkap seseorang sesuka hati. Pasal 17 KUHAP menetapkan syarat untuk melakukan penangkapan. Syarat tersebut adalah adanya barang bukti permulaan yang cukup dan atas dasar bukti permulaan yang cukup itulah seseorang yang diduga keras telah melakukan suatu tindak pidana dapat ditangkap.

Hal ini diperlukan untuk menghindari terjadinya kekeliruan dalam hal penangkapan. Tersangka dapat langsung ditangkap tanpa ada surat perintah penangkapan ketika si tersangka tertangkap dalam keadaan tertangkap tangan. Dan ketika si tersangka sampai di penyidik maka penyidik mengel uarkan surat perintah penangkapan dan disampaikan tembusan kepada keluarga tersangka.

c. Penahanan

Penahanan merupakan salah satu bentuk perampsan kemerdekaan bergerak seseorang. Jadi penahanan adalah suatu kewenangan penyidik yang sangat bertentangan dengan hak asasi manusia. Untuk mengungkapkan suatu tindak pidana dan dalam hal ini penyidik haruslah benar-benar berhati-hati untuk


(57)

menahan seseorang.Oleh karena itu, penahanan seharusnya dilakukan jika perlu sekali. Kekeliruan dalam penahanan dapt mengakibatkan hal-hal fatal bagi penahanan. Dalam KUHAP diatur tentang ganti rugi dalam pasal 95 disamping dapt dilakukannya praperadilan.46

a. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. Mengenai ukuran kepentingan penyidikan pada dasarnya ditentukan oleh kenyataan keperluan pemeriksaan penyidikan itu sendiri secara objektif. Tergantung kepada kebutuhan tingkat upaya penyidik untuk menyelesaikan penyidikan sampai tuntas dan sempurna. Ketika penyidikan selesai maka penahan tidak lagi diperlukan.

Penahanan bukan saja menjadi kewenangan penyidik. Hal ini ditetapkan dalam Pasal 1 ayat 21 KUHAP yang menyatakan, penahanan adalahpenempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan pasal tersebut, semua instansi penegak hukum mempunyai wewenang untuk melakukan penahanan. Adapun tujuan dilakukannya penahanan diatur dalam Pasal 20 KUHAP yaitu:

b. Penahanan yang dilakukan oleh penuntut umum, bertujuan untuk kepentingan penuntutan.

c. Penahanan yang dilakukan oleh peradilan, dimaksud untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat pengadilan. Hakim berwenang melakukan

46

M.Yahya Harahap (2003), Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, hal 164


(58)

penahanan dengan penetapan yang didasarkan kepada perlu tidaknya penahanan dilakukan sesuai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan. Untuk menghindari salah tangkap atau salah penahanan, maka dalam surat perintah penahanan harus berisi hal-hal sebagai berikut :

1. identitas tersangka/terdakwa, nama, umur, pekerjaan, jenis kelamin, dan tempat tinggal

2.menyebut alas an penahanan, umpamanya untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan sidang pengadilan

3. uraian singkat kejahatan yang disangkakan atau yang didakwakan.

Maksudnya agar yang bersangkutan tahu mempersiapkan diri melakukan pembelaan dan juga untuk kepastian hukum

4. menyebutkan dengan jelas di tempat mana ia ditahan, untuk memberi kepastian hukum bagi yang ditahan dan keluarganya.47

Dalam KUHAP ditentukan bahwa ada 3 macam pejabat atau instansi yang berwenang melakukan penahanan. Yaitu penyidik atau penyidik pembantu, penuntut umum dan hakim yang menurut tingkatan pemeriksaan terdiri atas hakim pengadilan negri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung ( Pasal 20 sampai Pasal 31 KUHAP).

Rincian penahanan dalam hukum acara pidana Indonesia berdasarkan Pasal 24-29 sebagai berikut48

1) penahanan oleh penyidik atau pembantu penyidik : 20 hari :

2) perpanjangan oleh penuntut umum : 40 hari 3) penahanan oleh penuntut umum: 20 hari

47

Ibid., hal. 168

48

Andi Hamzah (1996), Hukum Acara Pidana Indonesia.,Jakarta: CV. Saptha Artha Jaya, hal. 137


(59)

4) perpanjangan oleh ketua pengadilan negri: 30 hari 5) penahanan oleh hakim pengadilan negri: 30 hari 6) perpanjangan oleh hakim pengadilan negri: 60 hari 7) penahanan oleh hakim pengadilan tinggi: 30 hari 8) perpanjangan oleh ketua pengadilan negri: 60 hari 9) penahanan oleh Mahkamah Agung: 50 hari 10)perpanjangan oleh ketua Mahkamah Agung : 60 hari

Jadi, seseorang tersangka atau terdakwa dari pertama kali ditahan dalam rangka penyidikan sampai pada tingkat kasasi dapat ditahan paling lama 400 hari. Hal ini dimaksudkan agar dalam proses peradilan tersangka atau terdakwa mendapat kepastian hukum. Penahanan yang dilakukan hanya didalam rumah tahanan atau penjara pada saat masih berlakunya HIR. Namun dalam KUHAP diperkenalkan dengan resmi macam-macam jenis penahanan.

Dalam Pasal 22 KUHAP dinyatakan adanya jenis penahanan lain di luar penahanan pada rumah tahanan negara, yaitu penahanan rumah dan penahanan kota. Pada pasal 22 ayat (2) penahanan rumah dilaksanakan dirumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Pasal 22 ayat (3) menjelaskan bahwa penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka, dengan kewajiban tersangka atau terdakwa melaporkan diri pada waktu yang ditentukan.

Penyidik mempunyai alternative dalam memberlakukan penahanan apabila di kemudian hari tersangka atau terdakwa mengalami keadaan yang membuat dia


(60)

tidak dapat ditahan di dalam rumah tahanan negara. Seperti apabila tersangka atau terdakwa mengalami sakit yang memaksa tersangka harus dirawat dirumah sakit. Apabila seseorang yang ditahan dirumah pindah kerumah sakit atas permintaannya karena sakit, maka ia dipandang sebagai tahanan rumah. Namun dalam praktek jarang dilakukan penahanan kota atau rumah.49

a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, atau

Perlu diperhatikan di dalam KUHAP adanya ketentuan pengecualian tentang penahanan yang diatur dalam Pasal 29 KUHAP yang mengatakan bahwa jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28, guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasarkan alas an yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena :

b. perkara yang sedang diperiksa diancam pidana penjara Sembilan tahun atau lebih.

Dalam pasal 29 ayat (2) KUHAP ditentukan lamanya perpanjangan yaitu tiga puluh hari yang dapat diperpanjang lagi tiga puluh hari. Jadi, jumlahnya enam puluh hari. Perpanjangan tersebut berlaku pada kelima tingkat yaitu : penyidikan (Pasal 24), penuntutan (Pasal 25), pemeriksaan pengadilan negri (Pasal 26), pemeriksaan banding (Pasal 27), pemeriksaan kasasi (Pasal 28). Dengan demikian bagi delik yang diancam pidana penjara Sembilan tahun atau lebih dapat ditahan cukup lama juga.

49


(61)

Delik-delik semacam itu banyak pula, seperti kejahatan terhadap keamanan negara. Pembunuhan, delik ekonomi yang "dapat mengacaukan perekonomian dalam masyarakat ", delik korupsi, delik subversi, delik narkotika, delik rahasia atom, dan lain-lain. Pejabat yang berwenang memperpanjang penahanan sesuai dengan Pasal 29 ayat (3) berbeda dengan yang berwenang memperpanjang yang biasa. Dalam ayat itu ditentukan bahwa :

a. pada tingkat penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negri.

b. Pada tingkat pemeriksaan di pengadilan negri diberikan oleh ketua pengadilan tinggi.

c. Pada tingkat pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung . d. Pada tingkat kasasi di berikan oleh ketua Mahkamah Agung.50

d. Penggeledahan

Ditinjau dari segi hukum dan undang-undang sebagaimana yang dijelaskan Pasal 1 angka 17 KUHAP, penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Ditinjau dari segi hukum, penggeledahan adalah tindakan penyidik yang dibenarkan undang-undang untuk memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang. Bahkan tidak hanya untuk melakukan pemeriksaan, tetapi bisa juga sekaligus untuk melakukan penangkapan dan penyitaan. Dilihat dari segi hak asasi manusia

50


(62)

tindakan penyidik ini sudah melanggar hak asasi asasi tersebut dilanggar demi penegakan hukum dan menjaga ketertiban masyarakat.51

Kewenangan untuk melakukan penggeledahan hanya diberikan kepada penyidik, baik itu polisi atau penyidik pegawai negri sipil. Penuntut umum atau hakim tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penggeledahan. Hal ini diperjelas pada pasal 23 KUHAP yang menyatakan “untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tatacara yang ditentukann dalam undang-undang ini.” 52 Menggeledah atau memasuki rumah atau tempat kediaman orang dalam rangka menyelidik suatu delik menurut hukum acara pidana, harus dibatasi dan diatur secara cermat. Menggeledah rumah atau tempat kediaman merupakan suatu usaha mencari kebenaran, untuk mengetahui baik salah maupun tidak salahnya seorang.53

Ketentuan tentang keharusan adanya izin ketua pengadilan negri tersebut masih mengikuti ketentuan 77 HIR. Sebenarnya izin ketua pengadilan negri untuk

Penyidik harus betul-betul cermat dan mengikuti ketentuan-ketentuan tentang cara melakukan penggeledahan itu, agar terhindar dari pelanggaran ketentuan KUHAP, ditentukan bahwa hanya penyidik atau anggota kepolisian yang diperintahkan olehnya yang boleh melakukan penggeledahan atau memasuki rumah orang (Pasal 33 ayat 1).Itu pun dibatasi dengan ketentuan bahwa penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan atas izin ketua pengadilan negri (Pasal 33 ayat (1) KUHAP).

51

M.Yahya Harahap., Op.Cit., hal. 249

52

Ibid., hal. 250

53

Bonn, E. Sosrodanukusumo,t.t.,Tuntutan Pidana, Djakarta: Penerbit "siliwangi",hal 144


(1)

informasi tentang adanya peredaran dan penyalahgunaan narkoba yang ada di lingkungan masyarakat.82

82


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A.KESIMPULAN

Instansi kepolisian sebagai pengayom dan pelindung masyarakat memiliki peran yang sangat besar terhadap kepolisian dalam menjaga serta memberantas segala bentuk tindak pidana. Dalam melakukan suatu penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika dan psikotropika secara sistematis diperlukan variasi dan meningkatkan kewaspadaan dan pengamanan mengingat semakin maraknya peredaran dan penyalahgunaan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Hal ini dikarenakan akan semakin banyaknya cara atau modus yang akan digunakan oleh pengedar narkotika dan psikotropika untuk menghindari diri dari kepolisian.

Minimnya kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh anggota polri mengenai narkotika dan psikotropika menyulitkan kepolisian dalam melakukan penyelidikan terhadap adanya indikasi peredaran dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Bukan hanya sebatas melakukan penyelidikan dan penyidikan kepolisian perlu melakukan Sosialisasi secara intensif tentang apa itu narkotika dan psikotropika kepada masyarakat diperlukan guna masyarakat sadar akan dampak dan bahayanya penggunaan narkotika dan psikotropika.

Disini di butuhkan kinerja Binmas Polri yang merupakan ujung tombak terjalinya komunikasi antara polri dengan masyarakat. Binmas dapat membimbing masyarakat bagi terciptanya lingkungan yang menguntungkan upaya penertiban dan penegakan hukum. Binmas Polri dapat menumbuhkan kepedulian masyarakat


(3)

terhadap kesadaran hukum dan gangguan keamanan di lingkungan masyarakat agar tidak dengan mudah menjadi korban tindak pidana termasuk tindak pidana.

Pencegahan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika tidak dapat dilakukan sendiri oleh instansi kepolisian. Pihak kepolisian perlu bantuan dari lapisan masyakat yang mengetahui adanya peredaran dan penyalahgunaan narkotika yang ada di linkungan masyarakat. Hal ini di karenakan dengan adanya informasi yang di berikan oleh masayarak tentang adanya suatu peredaran dan penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dapat mempermudah kinerja kepolisian.

Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan untuk mendukung setiap usaha dan kegiatan polri dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan tindak pidana narkotika dan psikotropika. Adapun salah satu yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah dengan melaporkan apabila masyarakat mengetahui adanya sindikat ataupun peredaran narkotika yang ada dilingkungan masyarakat.


(4)

B.SARAN

1. Diharapkan kepada institusi kepolisian untuk lebih ditingkatkan lagi sosialisasi kepada masyarakat mengenai jenis-jenis narkotika dan dampak dari pemakaian narkotika dan psikotropika.

2. Binmas Polri harus lebiih berperan aktif di tengah-tengah masyarakat agar mempermudah dalam mencari dan mengumpulkan informasi yang ada pada masyarakat mengenai suatu tindak pidana khusus nya tindak pidana narkotika dan psikotropika.

3. Peran serta masyarakat diperlukan dalam memberikan informasi kepada kepolisian mengenai adanya peredaran narkotika yang ada di lingkungan masyarakat.

4. Diperlukan suatu sanksi penjatuhan hukuman yang benar dan berat terhadap siapa saja pelaku, pengedar atau pun pemakai agar terwujudnya kepastian hukum dan penegakan hukum yang tepat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.Bandung. Citra Aditya Bakti.

Atmasasmita, Romli.1997.Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem

Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Citra Aditya.

Afiantin, Tina.2008.Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Dengan Program Aji.Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

A.Fuat Usfa dan Tongat .2004. Pengantar Hukum Pidana, Malang: Universitas Muhammadiyah.

DJ. Siregar.1977. Pengetahuan Tentang Narkotika/obat , Pengawas Bidang Pendidikan Menengah Umum

Supramono, Gatot .2000.Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta. Penerbit Djamban. cetakan pertama

Hamzah, A.1996.Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta. Saptha Artha Jaya Hamid, H.Hamrat dan Harun M.Husein.1992.Pembahasan Permasalahan

KUHAP Bidang Penyidikan. Jakarta. Sinar Grafika.

Harahap, M.Yahya.2003.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan

KUHAP.Jakarta. Sinar Grafika.

Husein, Harun M.1991.Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana. Jakarta. PT.Rineka Cipta.

H.Mastar Ain Tanjung.2005. Pahami Kejahatan Narkoba Lembaga Terpadu

Pemasyarakatan Anti Narkoba, Jakarta

Sasangka, Hari . 2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana.

Bandung. Mandar Maju

Kontour, Ronny.2003. Metode Penelitian: Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis,


(6)

Peter Mahmud Marzuki.2005.Penelitian Hukum. Jakarta. Prenada Media Group Edisipertama cetakan ke-4

Mahmud Mulyadi.2009.Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana. Medan. USU Press.

Momo Kelana.2002.Memahami Undang-Undang Kepolisian. Jakarta: PTIK Press. Makarao, M.Taufik dan Suhasril.2002.Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan

Praktek.Jakarta.Ghalia Indonesia.

Siswanto Sunarso.2004. Penegakan Hukum Psikotropika dalam Kajian Sosiologi

Hukum. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada

Waluyo Bambang.2004.Pidana dan Pemidanaan. Jakarta. Sinar Grafika

Refrensi Undang-Undang :

Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Undang-undang RI Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian

Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 14 Tahun 2014 Tentang Manajement Penyidikan Tindak Pidana Oleh Kepolisian

Refrensi Situs :

http:///bnnkgarut.wordpress.com diakses pada tanggal 29 September 2014

http://pospolisi.wordpress.com/2012/10/20/hukum-kepolisian/ diakses tanggal 9 Oktober 2014

Koran Analisa, Deliserdang Rawan Kriminalitas dan Narkoba., terbitan tanggal 7 november 2014

http:///adithenachella.wordpress.com di akses tanggal 9 November 2014 www.http:///dimaslova.wordpress.com di akses tanggal 11 November 2014