Etika bisnis islam tentang manajemen laba

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)

Oleh:

HANNI KHAIRANI NIM 1111046100114

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM)

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 2015 M. / 1436 H.


(2)

(3)

(4)

(5)

v

Hanni Khairani, NIM. 1111046100114. ETIKA BISNIS ISLAM TENTANG MANAJEMEN LABA. Skripsi, Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam), Konsentrasi Perbankan Syariah. Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1436H/2015M.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana praktik manajemen laba ditinjau dari sudut pandang etika bisnis Islam dengan tujuan untuk memaparkan pandangan etika Islam mengenai manajemen laba. Jenis penelitian pada skripsi ini ialah penelitian kepustakaan (Library research) dengan teknik pengumpulan data studi dokumentasi literatur terkait manajemen laba dan etika bisnis Islam. Sedangkan teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan metode dekriptif kualitatif dan analisis isi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada bentuk manajemen laba yang dibolehkan menurut syariat. Dan praktik manajemen laba belum sesuai dengan ajaran agama Islam maupun prinsip-prinsip dasar Etika Bisnis Islam karena masih mengandung unsur penipuan, kecurangan dan gharar. Serta tidak mencerminkan perilaku-perilaku pebisnis Islami yaitu Shiddiq, Amanah, Tabligh dan Fathonah.

Kata Kunci : Etika Bisnis Islam, Manajemen Laba

Pembimbing : Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA Daftar Pustaka : Tahun 1993 s.d Tahun 2013


(6)

vi

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis khususnya dan seluruh umat manusia pada umumnya. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah menunjukkan manusia dari jalan kegelapan ke jalan terang benderang.

Penulisan skripsi ini berjudul “ Etika Bisnis Islam tentang Manajemen Laba”,

ditujukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi strata 1 (S-1) dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kebahagiaan yang tak ternilai bagi penulis, sehingga dapat mempersembahkan skripsi ini untuk orang-orang yang penulis sayangi dan semua pihak yang terkait yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.

Tanpa penulis lupakan bahwa keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini adalah atas berkat bimbingan, dukungan, dan saran-saran dari berbagai pihak. Tanpa partisipasi mereka, upaya penulis dalam menyelesaikan studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam menyelesaikan skripsi ini tentu akan terasa lebih sulit terwujud. Oleh karena itu tidak berlebihan jika dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:


(7)

vii

2. Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH, selaku ketua program studi Muamalat dan Bapak H. Abdurrauf, Lc, MA, selaku sekretaris program studi Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu selama perkuliahan sampai terselesaikannya skripsi ini.

3. Bapak Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, M.A selaku dosen pembimbing yang tiada hentinya membimbing, meluangkan waktu dan memberi saran di dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Muhammad Zen, M.A dan Ibu Nurul Handayani, S.Pd., M.Pd, selaku dosen penguji sidang munaqasyah yang telah memberikan banyak koreksi, saran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu, pelajaran dan pengalamannya selama perkuliahan. Kepada Bapak Drs. Noryamin Aini, M.A, selaku dosen penguji proposal yang telah memberikan banyak kontribusi pemikiran di dalam penulisan skripsi ini.

6. Ayah Ibu tercinta Hanri Wirata dan Agatsih Purwiyani yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan moril dan materil. Terima kasih untuk kesabaran, nasehat dan curahan kasih sayang yang selalu diberikan kepada penulis. Doa yang dipanjatkan, menjadikan motivasi tersendiri yang


(8)

viii

menjadi adik sekaligus teman penulis saat dirumah. Andung yang selalu memberikan kekuatan dan doa. Reihan, sebagai sepupu sekaligus teman satu kostan yang selalu membantu penulis dalam berbagi pengalaman dan bertukar pikiran dari mulai proposal skripsi sampai dengan penyelesaian skripsi ini sehingga kita bisa lulus bersama-sama. Dan juga seluruh keluarga besar yang turut mendoakan.

7. Sahabat-sahabat kesayangan, untuk Yella Novela, Assy Shella, Meiga Gemala, Astri Wulandari, Novita Zuhrowiya dan Siti Haura Ibtisamah yang selalu bersama selama dari awal hingga akhir masa kuliah, terima kasih atas kesetiaannya, waktunya, tawanya, candanya, kehadirannya yang selalu mengisi hari-hari penulis selama 4 tahun belakangan ini. Semoga persahabatan kita terus berlanjut sampai tua nanti.

8. Brahmantyo Akhmedika Fauzie, yang selalu memberikan doa, support dan dukungan tiada henti dikala penulis jenuh dan tidak bersemangat dalam mengerjakan skripsi ini. Terimakasih atas kata-katanya yang selalu memotivasi.

9. Anak-anak Kostan ibu Jahit : Niswah, Landu, Mira, Afida, Aul, Fajrin, Eftrida, Nissa, yang sudah dianggap sebagai keluarga dan adik-adik sendiri, Terimakasih atas seluruh canda tawa dan keceriaannya sehingga dapat


(9)

ix

10.Teman-teman KKN CERIA 2014 terimakasih untuk Chea, Vita, Wulan, Babeh, Aziz, Bonte, Salman, Haikal, Riduan, Fauzan, Mahe, Amal, Yuan dan Anif. 1 Bulan di desa Harkatjaya telah memberikan pengalaman dan cerita tersendiri yang membekas di hati penulis, banyak sekali momen-momen seru yang berkesan selama tinggal disana. Terimakasih pula untuk warga desa yang masih tetap menjaga silaturahmi dan selalu mendoakan kelancaran perkuliahan penulis.

11.Teman-teman seperjuangan Perbankan Syariah C angkatan 2011, terimakasih untuk segala kekompakan, kebersamaannya. Semoga jalinan ukhuwah tetap terjaga sekalipun kita telah berada pada aktivitas masing-masing.

Ciputat, 7 Juli 2015


(10)

x

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN ……….. i

ABSTRAK ………... ii

KATA PENGANTAR ……….. iii

DAFTAR ISI ……… vii

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Pembatasan Masalah ………... 8

C. Perumusan Masalah ……….… 9

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ……….………... 9

E. Metode Penelitian ……… 10

F. Literatur Review ……….. 15

G. Sistematika Penulisan ……….. 18

BAB II KONSEP DASAR ETIKA BISNIS ISLAM ……….……….. 20

A. Etika ………... 20

B. Etika Bisnis ……….… 22

C. Etika Bisnis Islam ……….….. 25

D. Prinsip-Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam ………..…….. 31

E. Tujuan Bisnis Islam ……….……... 40

F. Pedoman Bisnis dalam Islam ……….………. 42

G. Aktivitas Bisnis yang terlarang dalam Syariah ………….…….. 44

H. Etika Bisnis Islam kaitannya dengan Manajemen Laba ………. 46

BAB III KONSEP DASAR MANAJEMEN LABA ……….………… 47

A. Laporan Keuangan ……….………... 47

B. Agency Theory……….……….. 47


(11)

xi

F. Motivasi Manajemen Laba ……… 53

G. Bentuk-Bentuk Manajemen Laba ………. 57

H. Manajemen Laba, Apakah Legal dan Etis ……… 58

BAB IV TINJAUAN ETIKA BISNIS ISLAM TERHADAP MANAJEMEN LABA ………. 64

A. Bentuk Manajemen Laba menurut Syariah ………. 61

B. Manajemen Laba ditinjau dari Etika Bisnis Islam ……….. 68

BAB V PENUTUP ………. 79

Kesimpulan ………. 79

Saran ……… 80

DAFTAR PUSTAKA ………. 81


(12)

1

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini, konsep-konsep materialistik menjangkau lebih besar dunia ekonomi dan bisnis dibandingkan dengan konsep nilai-nilai spiritual. Konsep-konsep materialistik pun lebih mendominasi kebanyakan orang, khususnya para pelaku bisnis. Tidak dapat dipungkiri bahwa kekayaan, kedudukan dan kekuasaan menjadi kriteria umum dalam penilaian berhasil atau tidaknya seseorang dalam berbisnis. Akan tetapi kebanyakan mereka melupakan nilai-nilai moral dan perilaku yang sehat dalam berbisnis. Materi adalah makanan bagi tubuh, sementara etika adalah nutrisi bagi jiwa. Karena itulah, setiap saat masalah bisnis seringkali bertambah, sedangkan keberkahan dalam berusaha menjadi berkurang.1

Yang membedakan Islam dengan materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dengan etika, sebagaimana tidak pernah memisahkan ilmu dengan akhlak, politik dengan etika, perang dengan etika dan kerabat sedarah daging dengan kehidupan Islam. Islam berbeda dengan konsep kapitalisme yang memisahkan akhlak dengan ekonomi. Manusia muslim, individu maupun kelompok, dalam lapangan ekonomi atau bisnis, disatu sisi diberi kebebasan untuk mencari

1

Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, Penerjemah Saptono Budi Satryo dan Fauziah R (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), h. 22.


(13)

keuntungan sebesar-besarnya. Namun, di sisi lain, ia terikat dengan iman dan etika sehingga ia tidak bebas mutlak dalam menginvestasikan modalnya atau membelanjakan hartanya, namun tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai Islam.2

Di dalam melakukan bisnis, Islam telah memperlihatkan adanya suatu struktur yang berdiri sendiri dan terpisah dari struktur lainnya. Hal ini disebabkan bahwa dalam ilmu akhlak (moral), struktur etika dalam Islam lebih banyak menjelaskan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran baik pada niat hingga perilaku atau perangainya. Nilai moral tersebut tercakup dalam empat sifat yaitu shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah. Keempat sifat ini diharapkan dapat menjaga keberlangsungan institusi ekonomi dan keuangan secara professional dan menjaga interaksi ekonomi, bisnis dan sosial berjalan sesuai dengan aturan permainan yang berlaku.

Salah satu problematika yang serius dalam dunia bisnis ialah rendahnya nilai dan moral, sehingga dapat membahayakan setiap transaksi-transaksi bisnis yang dilakukan oleh pebisnis. Rendahnya nilai moral ini dapat mempengaruhi hilangnya sistem kepercayaan, serta menimbulkan ketidakjujuran dan persekongkolan yang tidak baik.3

Teori yang dapat menjelaskan mengenai hal ini adalah Agency Theory. Agency Theory adalah hubungan antara Principal dan Agent. Principal dalam dunia bisnis

2

Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam. (Jakarta: Gema insani Press, 1997), h. 51.

3

Husain Syahatah dan Siddiq Muh. Al-Amin, Transaksi dan Etika Bisnis Islam, Penerjemah Saptono Budi Satryo dan Fauziah R (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005), h. 15.


(14)

disini ialah para investor maupun calon investor. Sedangkan Agent ialah para manajer perusahaan atau orang yang mengelola perusahaan. Teori ini mengasumsikan bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan. Pihak principal termotivasi mengadakan kontrak untuk menyejahterakan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Sedangkan agent termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Principal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agent. Agent mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal ini lah yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh principal dan agent. Ketidakseimbangan informasi inilah yang disebut dengan asimetri informasi.

Asimetri informasi adalah suatu kondisi dimana adanya gap antara pengetahuan informasi yang dimiliki satu pihak dengan pihak lainnya. Dalam kondisi ini, dapat memunculkan kesempatan bagi pihak yang satu untuk melakukan manipulasi atau ketimpangan informasi atau ketidaktahuan informasi yang dimiliki oleh pihak yang lainnya. Dengan demikian terdapat adanya konflik kepentingan serta asumsi bahwa individu-individu bertindak untuk memaksimalkan dirinya sendiri. Dalam dunia bisnis, asimetri informasi ini dapat dialami oleh principal dan agent kaitannya dengan laporan keuangan dan besaran laba.


(15)

Setiap perusahaan tak terkecuali entitas bisnis syariah perlu untuk menampilkan sisi baik keuangan perusahaan, hal ini diperlukan sebagai bentuk tolak ukur hasil kinerja perusahaan dimata umum terutama stakeholder maupun investor. Hal ini terkait dengan kejamnya pasar kepada perusahaan yang tidak mampu memenuhi target atau meleset dari perkiraan pasar. Sehingga tekanan ini dapat mengakibatkan munculnya motif-motif tindakan manajerial terhadap tampilan laba yang dapat menurunkan kualitas laporan keuangan, yang mana tindakan ini disebut dengan manajemen laba. Manajemen laba adalah salah satu bentuk praktik masalah etis yang terjadi di perusahaan.

Manajemen laba adalah upaya untuk mengubah, menyembunyikan dan merekayasa angka-angka dalam laporan keuangan dengan mempermainkan metode dan prosedur akuntansi yang digunakan perusahaan. Manajemen laba adalah satu bentuk dari bentuk kebijakan manajemen untuk memaksimumkan kepentingannya sesuai dengan asumsi teori akuntansi positif. Namun intervensi yang dapat dilaksanakan oleh manajemen ini terkadang dapat membawa praktik yang seharusnya bersifat baik, menjadi tidak baik.

Hasil penelitian Beattie et al. (1994) menunjukkan bahwa investor cenderung lebih mementingkan informasi laba tanpa memperhatikan bagaimana proses yang digunakan untuk mencapai tingkat laba tersebut. Investor juga cenderung menghindari risiko (risk averse). Kondisi ini yang memotivasi manajer untuk melakukan praktik manajemen laba dengan cara menutupi kinerja perusahaan yang


(16)

sebenarnya, dan menampilkan kinerja yang sesuai dengan apa yang ingin manajer tampilkan.

Contoh kasus intervensi manajemen laba yang memunculkan skandal akuntansi ialah pada kasus Enron Energy tahun 2000, kasus peningkatan pendapatan Xerox tahun 1997-2000 serta PT Kimia Farma, Global Crossing, Tyco , Green Tree Financial Corporation, Xerox, Worldcom.4 Di Indonesia, kasus serupa pun terjadi pada kasus mark up laba Indofarma tahun 2001 dan kasus pembukuan ganda Lippo Bank tahun 2002, kasus PT Citra Marga Nusapala Persada, Bank Duta, PT Perusahaan Gas Negara tahun 2006, PT Bank Lippo tahun 2002 , PT Ades Alfindo tahun 200 yang melakukan praktik manajemen laba melalui manipulasi berbagai prosedur akuntansi di bagian persediaan, produksi, penjualan, keuangan dan metode akuntansinya 5.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rizky Syahfandi dan Siti Mutmainah juga menunjukkan bahwa 6 dari 9 bank umum syariah di Indonesia melakukan praktik manajemen laba dengan teknik income smoothing yang terjadi para tahun 2009 sampai dengan 2011. Hasil Penelitian Gandi Sukmajati (2012) juga menunjukkan adanya beberapa perusahaan public dalam Jakarta Islamic Index yang melakukan teknik manajemen laba dengan cara perataan laba, perusahaan tersebut diantaranya adalah Barito Pasific Tbk, Indika Energy Tbk, Telkom Indonesia Tbk, Truba Alam Manunggal Tbk, dan Wijaya Karya Tbk. Kemudian faktor yang berpengaruh

4

Kompas, 15 Juli 2002.

5

Dedhy Sulistiawan, dkk, Creative AccountingMengungkap Manajemen Laba dan Skandal Akuntansi. (Jakarta: Salemba Empat, 2011), h. 53.


(17)

signifikan ialah leverage, dimana para perusahaan perusahaan tersebut cenderung memanipulasi besaran hutangnya untuk menghindari default. Dapat dikatakan bahwa telah cukup banyak kasus manajemen laba baik yang telah diketahui oleh publik, maupun belum diketahui publik.

Watts dan Zimmerman (1985) menyatakan bahwa indikasi praktik manajemen laba ialah dilakukan karena motivasi bonus, motivasi utang, motivasi pajak, motivasi penjualan saham, motivasi pergantian direksi, serta motivasi politis. Motivasi-motivasi ini lah yang dapat mendorong suatu manajer atau otoritas di perusahaan untuk melakukan manajemen laba. Bertepatan dengan akan dibukanya pintu gerbang Masyarakat Ekonomi Asean pada tahun 2015, atas motivasi penjualan saham, diperkirakan akan terjadi banyak praktik manajemen laba dimana perusahaan akan berlomba-lomba menampilkan sisi terbaik perusahaannya demi menarik investor asing yang akan menginvestasikan dananya ke Indonesia.

Dari beberapa contoh yang disebutkan diatas bahwa tidak sedikit pula perusahan atau entitas yang melakukan atau menerapkan praktik manajemen laba di dalam pelaporan tampilan keuangannya, tentunya dengan berbagai macam motif yang mendasarinya.

Pada kenyataannya sampai saat ini terdapat pandangan yang berbeda-beda terhadap praktik manajemen laba. Pada satu sisi, manajemen laba dipandang sebagai suatu tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan karena dengan adanya menejemen laba maka informasi yang diberikan tidak mencerminkan keadaan


(18)

perusahaan dan mengaburkan nilai perusahaan sesungguhnya. Sehingga dengan adanya tindakan tersebut dapat menyebabkan stakeholder keliru dalam mengambil keputusan. Sedangkan pada sisi yang lain, manajemen laba dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan merupakan tindakan rasional untuk memanfaatkan fleksibilitas dalam ketentuan untuk pelaporan keuangan asalkan masih sesuai dengan Prinsip Akuntansi Berlaku Umum.

Di Indonesia pun terdapat Prinsip Akuntansi Berlaku Umum yang menggunakan dasar akrual sebagai metode pencatatan laporan keuangan. Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 14/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah menyebutkan bahwa untuk kemaslahatan dalam pencatatan (laporan keuangan) sebaiknya digunakan system akrual basis, meskipun juga disebutkan bahwa dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (Cash Basis). Berdasarkan PSAK No. 101 tentang Akuntansi Bank Syariah, diambil asumsi dasar konsep akuntansi bank syariah sama dengan asumsi dasar konsep akuntansi dasar konsep akuntansi keuangan secara umum yaitu konsep kelangsungan usaha (going concern) dan dasar akrual.

Namun secara syariah, walaupun muamalat dilakukan tidak secara tunai, namun pencatatannya haruslah benar. Seperti disebutkan dalam surat Al-Baqarahayat 282:


(19)







































Artinya: “Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu bermua’malah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar.”

Dengan demikian perspektif etika terhadap suatu aktivitas bisnis sangatlah penting, khususnya pada bisnis-bisnis yang bergerak di bidang syariah, tentu tuntutan akan praktik secara Islami mengikuti visi dan misi dari entitas itu sendiri. Karena etika bisnis dapat digunakan sebagai cara untuk menyelaraskan kepentingan strategis suatu bisnis dengan tuntutan moralitas.

Bagaimana etika bisnis Islam memandang praktik manajemen laba. Apakah bersifat sesuatu yang baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, atau diperbolehkan atau tidaknya perilaku manusia tersebut dalam kerangka etika bisnis Islam. Sehingga penelitian ini akan berusaha melihat aspek moralitas atau aspek normatif etika bisnis Islam tentang menejemen laba.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan

tersebut dalam bentuk penelitian dengan judul “ETIKA BISNIS ISLAM TENTANG MANAJEMEN LABA”


(20)

Penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti pada aspek yang dianalisis agar tidak keluar dari pembahasan. Maka penelitian dibatasi pada Sumber yang digunakan adalah kajian kepustakaan dengan data yang bersumber pada Al-Quran, Al-Hadist, serta serta literatur-literatur terkait.

Penelitian ini bersifat kajian normatif, karena hanya melihat fenomena manajemen laba secara keseluruhan dan ditarik kesimpulan berdasarkan konsep nilai-nilai etika bisnis Islam. Metode Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi, dimana penulis mengkaji materi atau literatur tertentu dari pokok bahasan masalah yang telah diteliti. Pembatasan masalah perihal objek yang menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini adalah Motivasi manajemen laba, Bentuk – bentuk manajemen laba, dan Praktik Manajemen Laba.

C. Perumusan Masalah

Untuk dapat melihat lebih mendalam mengenai praktik manajemen laba agar lebih terfokus pada tema yang dimaksud, akan dikumpulkan sumber-sumber kepustakaan yang nantinya akan diteliti sesuai dengan batasan kemampuan peneliti. Serta masalah yang dapat diidentifikasi penulis adalah sebagai berikut:

1. Adakah bentuk manajemen laba yang diperbolehkan menurut Syariah? 2. Bagaimana manajemen laba ditinjau dari etika bisnis Islam?


(21)

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab isu-isu tekait dengan bagaimana etika bisnis Islam memandang permasalahan manajemen laba. Tujuan dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bentuk manajemen laba yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan oleh syariah.

2. Untuk mengetahui manajemen laba ditinjau dari etika bisnis Islam.

Manfaat yang dapat diberikan dengan adanya penelitian ini yaitu :

1. Manfaat teoritis adalah dapat memperluas dan menambah khazanah pengetahuan mengenai permasalahan terkait penelitian, serta dapat menjadi referensi untuk keperluan studi dan penelitian mengenai hal-hal yang terkait dengan penelitian.

2. Manfaat praktis adalah dapat menjadi rambu-rambu sekaligus pengingat bagi para praktisi agar dapat mengatur manajemen selaras dengan prinsip-prinsip islami.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian ini ialah bentuk penelitian kualitatif deskriptif yang berarti bahwa penelitian hanya menggunakan data literatur sebagai alat mempertajam dan memperkuat hasil analisis dan bukan merupakan data primer penelitian. Berikut ini adalah langkah-langkah penelitian yang dilakukan:


(22)

1. Metode Pengumpulan Data

Metode Pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah dengan cara library research , yaitu melakukan penelitian dengan cara mencari bahan materi baik teori maupun praktis melalui literatur berupa bahan-bahan pustaka (buku, majalah, jurnal, artikel, dokumen, dan sebagainya) dan dokumen-dokumen yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang diteliti sebagai data primer maupun sekunder, dalam penelitian ini, yang menjadi data primer adalah Al-Quran, sedangkan data sekunder berasal dari bahan-bahan pustaka dan dokumen-dokumen terkait permasalahan diatas. Ini merupakan suatu penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya.6

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian dengan studi kepustakaan dengan mengandalkan teori-teori dan konsep-konsep yang ada untuk diinterpretasikan berdasarkan tulisan-tulisan yang mengarah kepada pembahasan. Sumber-sumber tersebut di dapat dari karya yang ditulis oleh intelektual dan ahli yang berkompeten tentang etika bisnis Islam dan manajemen laba, diantara sumber-sumber yang digunakan peneliti ialah:

a. Al- Quran b. Al- Hadist

6


(23)

c. Husain Syahatah, dan Siddiq Muh. Al-Amin. Transaksi dan Etika Bisnis Islam. (Jakarta: Visi Insani Publishing, 2005)

d. Faisal Badroen et al., Etika Bisnis dalam Islam. (Ciputat: UIN Jakarta Press, 2005)

e. Muhammad Djakfar. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. (Malang: UIN Malang Press, 2007)

f. Abdul Aziz. Etika Bisnis Perspektif Islam. (Bandung: Alfabeta, 2013)

g. Veithzal Rivai, dkk. Islamic Bussiness and Economic Ethics. (Jakarta: Bumi Aksara, 2012)

h. Dedhy Sulistyawan et al., Creative Accounting. (Jakarta: Salemba Empat, 2011)

i. Sri Sulistyanto. Manajemen Laba, Teori dan Model Empiris. (Jakarta: Grasindo, 2008)

j. Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006)

k. Buchari Alma, Dasar-Dasar Etika Bisnis Islami. (Bandung: Alfabeta, 2003)

2. Data yang Diperlukan

Data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini bersifat kualitatif tekstual dengan menggunakan pijakan terhadap proporsi-proporsi ilmiah yang dikemukakan oleh para pakar etika bisnis Islam dan pakar akuntansi yang erat kaitannya dengan pembahasan.


(24)

3. Sumber Data

Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan sumber data berupa teori-teori yang berasal dari literatur dan karya ilmiah.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi, mengidentifikasi wacana dari buku-buku, makalah atau artikel, majalah, jurnal, web atau internet, ataupun informasi lainnya yang berhubungan dengan judul penulisan untuk mencari hal-hal atau variabel yang dapat berupa catatan, transkrip, buku, dan sebagainya yang memiliki keterkaitan dengan kajian tentang konsepsi etika bisnis islam kaitannya dengan manajemen laba.

5. Metode Pengolahan Data / Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, setelah data terkumpul maka data tersebut dianalisis untuk mendapatkan konklusi, bentuk-bentuk dalam teknik analisis data ialah sebagai berikut:

a. Metode Deskriptif, yaitu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut. Pengolahan data yang dilakukan dengan cara memaparkan data-data yang ada secara apa adanya bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan antara permasalahan penelitian dengan teori dalam Fikih Muamalat dan Etika Bisnis islam.


(25)

a) Analisis isi (content analysis), yaitu proses pengolahan data dengan cara menganalisis materi/isi tertentu dari data-data yang telah dipaparkan secara deskriptif sesuai dengan batasan masalah yang terkait. Menurut Weber, Content Analysis adalah metodologi yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang shahih dari sebuah dokumen. Menurut Hostli, Content Analysis adalah teknik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha untuk menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara objektif dan sistematis.7

Dengan cara analisis isi dapat dibandingkan antara satu buku dengan buku yang lain dalam bidang yang sama, baik berdasarkan perbedaan waktu penulisannya maupun mengenai kemampuan buku-buku tersebut dalam mencapai sasaran sebagai bahan yang disajikan kepada masyarakat atau sekelompok masyarakat tertentu. Syarat tentang Cintent Analysis yaitu objektif, sistematis, dan general.

6. Metode Pembahasan

Untuk mempermudah dalam penulisan ini, maka sangat diperlukan untuk menggunakan pendekatan-pendekatan yaitu:

7

Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT Remaja Rosda, 2010), h. 163


(26)

a) Metode induktif adalah berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa kusus dan kongkrit, kemudian digeneralisasikan menjadi kesimpulan yang bersifat umum.

b) Metode deduktif adalah metode yang berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum itu dan hendak menilai sesuatu kejadian yang sifatnya khusus.

c) Metode komparasi adalah meneliti faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan situsi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan satu faktor dengan yang lain, dan penyelidikan bersifat komparatif.

F. Literatur Review

1. Sirman Dahwal, “Etika Bisnis Menurut Hukum Islam (Suatu Kajian

Normatif)

Bahwa secara normative, etika bisnis menurut hukum Islam memperlihatkan adanya struktur yang berdiri sendiri dan terpisah dari struktur lainnya. Hal ini disebabkan karena struktur etika dalam agama Islam lebih banyak menjelaskan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran baik pada tataran niat atau ide hingga perilaku dan perangai. Nilai moral tersebut tercakup dalam empat sifat, yaitu shiddiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Serta etika bisnis menurut hukum Islam harus dibangun dan dilandasi oleh prinsip-prinsip kesatuan (unity), keadilan/keseimbangan (equilibrium), kehendak bebas/ikhtiar (free will), pertanggungjawaban (responsibility) dan kebenaran (truth), kebajikan (wisdom) dan kejujuran (fair). Kemudian harus memberikan


(27)

visi bisnis masa depan yang bukan semata-mata mencari keuntungan yang bersifat sesaat melainkan mencari keuntungan yang mengandung hakikat baik yang berakibat atau berdampak baik pula bagi semua umat manusia.

2. Azharsyah Ibrahim, “Income Smoothing dan Implikasinya terhadap

Laporan Keuangan Perusahaan dalam Etika Ekonomi Islam”. Jurnal Media Syariah Vol. XII No. 24, Juli 2010.

Hasil kajian menunjukkan bahwa dari sudut pandang etika secara umum ada dua pendapat yang bertolak belakang yaitu yang menganggap wajar; dan yang menganggap tidak etis. Akan tetapi pendapat kedua lebih kuat. Praktik yang dilakukan pun memberi pengaruh yang signifikan terhadap laporan keuangan perusahaan karena mempengaruhi jumlah laba yang dihasilkan oleh suatu perusahaan, yang efeknya dapat mengelabui stakeholder terhadap kondisi keuangan perusahaan tersebut.

3. Syafrudin Arif, “Etika Islam dalam Manajemen Keuangan”, Jurnal HI Volume 9, Nomor 2, Desember 2011.

Bahwa Islam mengakui motif laba, namun juga mengikat motif itu dengan syarat-syarat moral, social, dan temperance (pembatasan diri). Sehingga kalau ajaran Islam itu dilaksanakan, pemakaian motif laba seorang individu/perorangan, tidak sampai menjadikan individualism yang ekstrem, yaitu manusia yang hanya ingat akan kepentingan diri tanpa memperdulikan masyarakat. Sistem Ekonomi Islam jika diikuti dan dilaksanakan, merupakan


(28)

imbangan yang harmonis antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.

4. Tatang Ary Gumati. “Earning Management: Suatu Telaah Pustaka”.

Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 2, No.2, Nopember 2000.

Penelitian ini meneliti bahwa earning management atau manajemen laba merupakan suatu fenomena baru yang telah menambah wacana perkembangan teori akuntansi. Istilah manajemen laba muncul sebagai konsekuensi langsung dari upaya manager untuk melakukan manajemen informasi akuntansi, khususnya laba demi kepentingan pribadi atau perusahaan. Manajemen laba tidak selamanya merupakan suatu upaya negatif yang merugikan karena tidak selamanya manajemen laba berorientasi pada manipulasi laba.

Bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa praktek manajemen laba ditemui dalam banyak konteks. Hal ini menunjukkan bahwa peristiwa atau variabel-variabel ekonomi tertentu dapat dijadikan sarana untuk memanage laba. Dan hasil secara teoritis menunjukkan bahwa pada teori akuntansi positif menjelaskan bahwa manajer memiliki insentif atau dorongan untuk memaksimalkan kesejahteraannya.

5. Astri Faradila dan Ari Dewi Cahyati, “Analisis Manajemen Laba Pada


(29)

Penelitian ini mencari dan menganalisis adanya praktik manajemen laba pada bank syarah, menggunakan 11 BUS, dengan menggunakan Model Jones Modifikasi. Hasil menunjukkan bahwa nilai accrual discretioner pada sampel 11 Bank Umum Syariah masih berkisar di bawah angka 0 (nol), hal ini berarti bank syariah melakukan manajemen laba dengan cara menurunkan laba.

Persamaan penelitian dengan penelitian sebelumnya ialah terletak pada tema penelitian, yaitu ada yang membahas mengenai etika bisnis Islam dan juga ada yang membahas mengenai manajemen laba. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya ialah pada penelitian-penelitian ini mengkaji fenomena manajemen laba yang kerap terjadi pada entitas bisnis syariah ditinjau dari segi etika bisnis menurut Islam, karena sejauh ini telah banyak sekali penelitian yang mengkaji perihal manajemen laba dan faktor-faktor yang mempengaruhinya namun tidak dikaitkan secara langsung terhadap tataran atau nilai-nilai Islam. Sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengaitkan secara langsung bagaimana etika bisnis menejemen laba menurut Islam.

G. Sistematika Penulisan

Metode Penulisan yang digunakan oleh penulis pada penelitian ini adalah metode penulisan yang mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi oleh Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2012. Selanjutnya untuk memudahkan dan lebih sistematisnya skripsi ini, penulis menyusunnya ke dalam lima (5) bab, yaitu:


(30)

Bab I : Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi permasalahan pembatasan dan perumusan masalah, metodolgi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II : Pada bab ini akan dibahas dan dijelaskan mengenai Konsep Dasar Etika Bisnis Islam, yang mencakup didalamnya mengenai Etika, Etika Bisnis, Etika Bisnis Islam, Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam, Tujuan Bisnis Islam, Pedoman Bisnis dalam Islam, setika Bisnis Islam kaitannya dengan Manajemen Laba.

Bab III : Pada bab ini akan dibahas mengenai Konsep Manajemen Laba yang mencakup didalamnya Laporan Keuangan, Agency Theory, Asimetri Informasi, Manajemen Laba, Prinsip Akuntansi Berbasis Akrual, Motivasi Manajemen Laba, Bentuk-Bentuk Manajemen Laba, serta Manajemen Laba, Apakah Legal dan Etis.

Bab IV : Pada Bab ini membahas tentang bagaimana Tinjauan Etika Bisnis Islam terhadap Manajemen Laba.


(31)

20

A. Etika

Etika adalah tata nilai yang diletakkan sebagai regulator kehidupan guna mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh tingkah laku manusia.1 Ethics yang menjadi padanan dari etika, secara etimologis berarti „the discipline dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation’, ;a set of moral principle or values’, „a theory or system moral values.’2

Etika dapat diartikan sebagai sikap untuk memahami opsi-opsi yang harus diambil diantara sekian banyak pilihan tindakan yang ada. Etika tidaklah ditafsiri sebagai sesuatu yang merampas kebebasan manusia dalam berbuat. Malah etika sangat erat kaitannya dengan kebebasan namun kebebasan yang bertanggung jawab.

Hal ini dapat dikatakan bahwa Etika adalah suatu kesadaran pada diri seseorang atas dasar nilai dan rasa tanggung jawab atas sesuatu yang dianggapnya baik atau buruk, wajar atau tidak wajar, diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Sehingga keseluruhan perbuatan yang dilakukan berdasarkan pada satu pemahaman kata yaitu benar dan baik. Etika mempunyai kendali intern dalam hati, berbeda dengan aturan hukum yang mempunyai unsur paksaan ekstern.

1

Faisal Badroen, dkk, Etika Bisnis dalam Islam. (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 1.

2 Joseph H, dkk, Webster’s New Collegiate Dictionary, (USA: Houghton Mifflin Hartcourt, 2012), h.


(32)

Sedangkan dalam Islam, istilah yang paling dekat berhubungan dengan istilah etika dalam al- quran adalah khuluq. Al-quran juga menggunakan sejumlah istilah lain untuk menggambarkan konsep tentang kebaikan: khair (kebaikan), birr (kebenaran), qist (persamaan), „adl (kesetaraan dan keadilan), haqq (kebenaran dan kebaikan), ma’ruf (mengetahui dan menyetujui) dan takwa (ketakwaan). Tindakan yang terpuji disebut sebagai shalihat dan tindakan yang tercela disebut sebagai sayyi’at.3

Etika dalam Islam, dipahami sebagai akhlak atau adab yang bertujuan untuk mendidik moralitas manusia. Etika merupakan jiwa ekonomi Islam yang membangkitkan kehidupan dalam peraturan dan syariat. Oleh sebab itu, etika atau akhlak adalah hakikat-hakikat yang menempati ruang luas dan mendalam pada akal, hati nurani, dan perasaan seorang muslim.

Terdapat dua macam etika, yaitu:4 1. Etika Deskriptif

Adalah etika yang menelaah secara kritis dan rasional tentang sikap dan perilaku manusia, secara apa yang dikejar setiap orang dalam hidupnya sebagai sesuatu yang bernilai. Artinya etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya.

3

Rafik Issa Beekun, dalam Veithzal Rivai, dkk, Islamic Bussiness and Economic Ethics. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), h. 3.

4


(33)

2. Etika Normatif

Etika Normatif adalah etika yang menetapkan berbagai sikap dan perilaku yang ideal dan seharusnya dimiliki oleh manusia atau apa yang seharusnya dijalankan oleh manusia dan tindakan apa yang bernilai dalam hidup ini. Jadi etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan berlaku di masyarakat.

B. Etika Bisnis

Definisi etika bisnis ialah seperangkat nilai tentang baik, buruk, benar, salah dalam dunia bisnis berdasarkan pada prinsip moralitas. Atau dapat disebut juga prinsip dan norma dimana para pelaku binis harus commit padanya dalam bertransaksi, berperilaku, dan berelasi guna mencapai tujuan-tujuan bisnisnya dengan selamat.5

Penerapan Etika pada Organisasi Perusahaan

Apakah bisa pengertian moral seperti tanggung jawab perbuatan yang salah dan kewajiban, diterapkan terhadap kelompok seperti perusahaan? Ada dua pandangan yang muncul atas masalah ini, pandangan pertama, berpendapat bahwa karena aturan yang mengikat, organisasi memperbolehkan kita untuk mengatakan bahwa perusahaan bertindak seperti individu dan memiliki tujuan yang disengaja atas apa

5


(34)

yang mereka lakukan, kita dapat mengatakan bahwa tindakan mereka bermoral atau tidak bermoral dalam pengertian sama yang dilakukan manusia. Pandangan kedua ialah pandangan filsuf yang berpendirian, bahwa tidaklah masuk akal jika organisasi bisnis secara moral bertanggung jawab, karena ia gagal mengikuti standar moral, atau mengatakan bahwa organisasi memiliki kewajiban moral. Organisasi bisnis seperti mesin yang anggotanya harus secara membabi buta menaati peraturan formal yang tidak ada kaitannya dengan moralitas. Akibatnya, lebih tidak masuk akal untuk menganggap organisasi bertanggung jawab secara moral karena ia gagal mengikuti standar moral daripada mengkritik organisasi seperti mesin yang gagal bertindak secara moral. Jika perusahaan bertindak keliru, kekeliruan itu disebabkan oleh pilihan tindakan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan itu, jika perusahaan bertindak secara moral, maka hal ini disebabkan oleh pilihan individu dalam perusahaan yang bertindak secara bermoral.6

Mengapa perusahaan harus menetapkan kode etik dalam keseharian roda perjalanannya?

Pertama, perusahaan yang punya standar etika dapat menciptakan suasana psikologis lingkungan kerja yang sehat, dan perusahaan yang tidak demikian akan mengalami sebaliknya.

Kedua, ialah trust (kepercayaan) dalam sebuah perusahaan adalah hal yang sangat fundamental guna mencapai efisiensi transaksi dalam bisnis. Dan upaya

6

Veithzal Rivai, dkk, Islamic Bussiness and Economics Ethics, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), h. 5.


(35)

mempertahankan perilaku etis yang konsisten sangat diperlukan guna mempertahankan trust konsumen tersebut.

Ketiga, melakukan tindakan yang benar atau salah di tempat kerja akan berefek pada produk-produk dan pelayanan yang dihasilkan serta menjamin hubungan baik dengan para stakeholder.

Keempat, etika bisnis semata-mata persoalan menerapkan dasar apa yang baik atau buruk, salah atau benar, wajar atau tidak wajar, layak atau tidak layak, dan sebagainya sehingga perusahaan dapat menghasilkan produk atau jasa yang baik dan berharga.

Kelima, etika bisnis adalah persoalan menghadapi posisi dilematis yang kerap dihadapi dalam aktivitas rutin bisnis yang tidak jelas dasar hukumnya, apakah itu benar atau salah.7

Namun apa yang mendasari para pengambil keputusan yang berperan untuk pengambilan keputusan yang tak pantas dalam bekerja? Para manajer menunjuk pada tingkah laku dari atasan-atasan mereka dan sifat alami kebijakan organisasi mengenai pelanggaran etika atau moral. Karena dari itu dapat diasumsikan bahwa suatu organisasi merasa terikat dan dapat menciptakan beberapa struktur yang berwenang untuk mendorong organisasi ke arah etika dan moral bisnis. Lalu selanjutnya timbul pertanyaan, dapatkah suatu organisasi mendorong tingkah laku etis pada pihak-pihak manajerial-manajerial pembuat keputusan?

7


(36)

Alasan mengejar keuntungan, atau lebih tepat, keuntungan adalah hal pokok bagi kelangsungan bisnis ialah hal utama bagi setiap perusahaan untuk berperilaku tidak etis.

Pada hakikatnya keuntungan adalah hal yang baik. Karena pertama, keuntungan memungkinkan perusahaan bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya. Kedua, keuntungan adalah salah satu indikator yang dilihat oleh para investor untuk menanamkan dananya pada perusahaan. Ketiga, keuntungan tidak hanya memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya kearah tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan atau ekspansi perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru.8

C. Etika Bisnis Islam

Secara sederhana mempelajari etika dalam bisnis berarti mempelajari tentang mana yang baik atau buruk, benar atau salah, serta halal atau haram dalam dunia bisnis berdasarkan pada prinsip-prinsip moralitas Islam.

Etika bisnis dalam kaitannya dengan ajaran Islam ialah sebuah pemikiran atau refleksi tentang moralitas yang membatasi kerangka acuannya kepada konsepsi sebuah organisasi dalam ekonomi dan bisnis yang didasarkan atas ajaran Islam. Etika bisnis Islam mengatur tentang sesuatu yang baik atau buruk, wajar atau tidak wajar,

8Achyar Eldine, “Etika Bisnis Islam”. Jurnal Khazanah, Vol. 3 No. 3, Oktober 2007


(37)

atau diperbolehkan atau tidaknya perilaku manusia dalam aktivitas bisnis baik dalam lingkup individu maupun organisasi yang didasarkan atas ajaran Islam.

Titik sentral etika Islam adalah menentukan kebebasan manusia untuk bertindak dan bertanggungjawab karena kemahakuasaan Tuhan. Hanya saja kebebasan manusia itu tidaklah mutlak, dalam arti, kebebasan yang terbatas. Dengan kebebasan tersebut manusia mampu memiih antara yang baik dan jahat, benar dan salah, halal dan haram.9

Bisnis memberikan banyak dampak dalam kehidupan karena merupakan pilar ekonomi. Karena itu, bisnis juga menjadi wilayah hukum yang diatur oleh Islam dengan turunnya wahyu mengenai muamalah maupun hadits dan sunnah dari Nabi Muhammad saw. Seperti Nabi saw pernah bersabda bahwa sembilan dari sepuluh pintu rezeki terdapat dalam aktivitas dagang alias bisnis.10

Bagan 2.1 Akhlak Pebisnis Muslim

9

Syed Nawaib Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Penerjemah M. Saiful Anam dan Muhammad Ufuqul Mubin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)

10

Bambang Trim. Bussiness Wisdom of Muhammad SAW, (Bandung: Madania Prima, 2008), h. 12

Jujur

Akhlak Pebisnis Muslim

Amanah


(38)

Sumber : Faisal Badroen, Etika Bisnis dalam Islam, 2005.

Kunci etis dan moral bisnis sesungguhnya terletak pada pelaku bisnis itu sendiri, seorang pengusaha muslim berkewajiban untuk memegang teguh etika dan moral bisnis Islami. Akhlak yang baik dalam bisnis Islam, Pertama ialah Kejujuran,

bahwa dalam Hadist “Tetapkanlah kejujuran karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan kepada surga”. Kedua ialah Amanah, Islam menginginkan seorang pebisnis muslim mempunyai hati yang tanggap, dengan menjaganya dengan memenuhi hak-hak Allah dan manusia, serta menjaga muamalahnya dari unsur yang melampaui batas. Ketiga ialah Toleran, bahwa rasa toleransi dapat mempermudah pergaulan, mempermudah urusan jual beli, dan mempercepat kembalinya modal.

Rasulullah saw. Sangat banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis berikut ini adalah uraiannya.11

1. Bahwa prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran. Dalam tataran ini, beliau

bersabda: “Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya” (HR. Al- Quzwani).

2. Kesadaran tentang signifikansi social kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya mengajar keuntungan sebanyak-banyaknya, namun juga memberikan manfaat dalam menolong orang lain.

3. Tidak melakukan sumpah palsu.

11

Veithzal Rivai, dkk, Islamic Bussiness and Economics Ethics, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012), h. 39-43


(39)

4. Seorang pelaku bisnis harus bersikap ramah tamah dalam melakukan bisnis.

Nabi Muhammad mengatakan, ”:Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis”(HR. Bukhari dan Tarmizi)

5. Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik membeli dengan harga tersebut.

6. Tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar membeli kepadanya.

7. Tidak melakukan ikhtikar atau menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu , dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan keuntungan besar pun diperoleh.

8. Dalam melakukan pengukuran, takaran, ukuran, dan timbangan nya harus benar.

9. Bisnis tidak boleh mengganggu kegiatan ibadah kepada Allah swt 10. Membayar upah sebelum keringat karyawan kering.

11. Tidak melakukan monopoli.

12. Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi eksisnya bahaya (mudharat) yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan social.

13. Komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, narkotika, dan sebagainya. 14. Bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan.


(40)

16. Memberi tenggang waktu apabila pengutang (kreditur) belum mampu membayar.

17. Bahwa bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Seperti dalam Firman Allah swt dalam Surat Al-Baqarah ayat 278:





















Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman”.

Berikut ini adalah persamaan dan perbedaan antara etika bisnis Islami dengan Etika Bisnis Konvensional :

Tabel 2.1 Persamaan dan Perbedaan Etika Bisnis Islami dengan Etika Bisnis Konvensional

Aspek Etika Bisnis Islami Etika Bisnis

Konvensional

1. Azas Tauhid (nilai-nilai

transendental)

Sekularisme (nilai-nilai material)

2. Motivasi Dunia dan akhirat Dunia

3. Orientasi Profit dan berkah Profit

4. Etos Kerja Bekerja adalah ibadah Bekerja adalah kebutuhan pribadi 5. Sikap Mental Menjadi yang terbaik

karena Allah

Menjadi yang terbaik karena aktualisasi diri 6. Keahlian dan Kewajiban sebagai Kewajiban perusahaan


(41)

Pengetahuan muslim

7. Keberhasilan Usaha dan doa Usaha

8. Pertanggung Jawaban

Khalifah (wakil) Allah di muka bumi

Pemimpin perusahaan

9. Modal Halal Halal dan haram

10.Suber Daya Tidak terbatas, keinginan manusia dibatasi

Terbatas, keinginan manusia tidak terbatas

11.Informasi Ayat qauliyah (Al-Quran dan Sunnah) dan ayat kauniyah (peristiwa alam)

Ayat-ayat kauniyah (peristiwa alam)

12.Manajemen Strategi

Ayat qauliyah (Al-Quran dan Sunnah) dan ayat kauniyah (peristiwa alam)

Ayat-ayat kauniyah (peristiwa alam)

13.Manajemen Operasi

Sesuai koridor syariah Efektif dan Efisien

14.Manajemen Keuangan Terhindar dari Maghrib (Maysir, gharar, riba) Maksimalisasi profit 15.Manajemen Pemasaran Menciptakan produk kebutuhan masyarakat Menciptakan produk keinginan masyarakat (menimbulkan konsumerisme) 16.Manajemen SDM

Kepribadian Islami Kebudayaan perusahaan


(42)

pemberdayaan masyarakat

shadaqah, waqf

Sumber : Siti Najma, Bisnis Syariah dari Nol.

Tindakan dan keputusan dianggap sesuai dengan etika ialah apabila tergantung pada niatnya. Niat yang baik diikuti dengan tindakan yang baik dinilai sebagai ibadah. Islam membolehkan individu untuk bebas percaya dan bertindak sesuai dengan apa yang ia inginkan, selama tidak mengorbankan akuntabilitas dan keadilan. Keputusan yang etis mendasarkan rujukan kepada ayat yang tertulis (Al-Quran) dan ayat yang tersebar di alam semesta (Kauniyyah). Tidak seperti sistem etika yang lain, etika Islam mendorong manusia untuk membersihkan diri (tazkiyyah) melalui partisipasi aktif dalam hidup. Dengan melakukan segala tindakan dalam koridor etika.12

Persamaan antara etika bisnis Islam dengan Konvensional ialah pada etika bisnis konvensional hubungannya hanya kepada sesama individu, selama tidak ada yang mengetahui bahwa perbuatan itu merugikan orang lain, maka hal itu dianggap sah-sah saja. Lain halnya dengan pada sistem etika bisnis Islam, yang hubungannya tidak hanya kepada sesama manusia, namun juga pada Allah. Segala perbuatannya ialah akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Sehingga dalam melakukan bisnis dan transaksi akan berdampak pada kehidupannya di dunia dan akhirat.

12

Rafik Issa Beekun. 1997. Islamic Bussiness Ethics. Virginia: International Institute of Islamic Thought.


(43)

D. Prinsip-Prinsip Dasar Etika Bisnis Islam Aksioma Dasar Etika Bisnis Islam

Berikut ialah rumusan aksioma atau ketentuan umum yang diharapkan menjadi rujukan bagi moral awareness para pebisnis muslim untuk menentukan prinsip-prinsip yang dianut dalam menjelankan bisnisnya. Aksioma-aksioma tersebut adalah sebagai berikut:13

a. Keesaan (Tauhid)

Bahwa Konsep persatuan atau juga disebut Tauhid ialah dimensi vertikal Islam. Konsep ini dimaksudkan bahwa sumber utama etika Islam adalah kepercayaan total dan murni terhadap keesaan Tuhan.14 Yang mana berarti Allah SWT sebagai Tuhan Maha Esa yang menetapkan batas-batas tertentu atas perilaku manusia sebagai khalifah, untuk memberikan manfaat pada individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya. Bahwa konsep ini menekankan bahwa sumber utama etika Islam adalah kepercayaan total dan murni terhadap keesaan Tuhan. Aturan-aturan itu sendiri bersumber pada kerangka konseptual masyarakat dalam hubungannya vertikal dengan Allah Swt dan hubungan horizontal dengan kehidupan sesama manusia dan alam semesta secara keseluruhan untuk menuju tujuan akhir yang sama.

Individu-individu memiliki kesamaan dalam harga dirinya sebagai manusia. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban ekonomik setiap individu

13 Haider Naqvi, Etika …. 14 Djakfar, Etika Bisnis… h. 12


(44)

disesuaikan dengan kapabilitas dan kapasitas yang dimiliki dan sinkronisasi pada setiap peranan normatif masing-masing dalam struktur sosial.

Dengan mengintegrasikan aspek religius dengan aspek-aspek lainnya, seperti ekonomi, akan menimbulkan perasaan dalam diri manusia bahwa ia akan selalu merasa direkam segala aktivitas kehidupannya, termasuk dalam aktivitas berekonomi sehingga dalam melakukan segala aktivitas bisnis tidak akan mudah menyimpang dari segala ketentuanNya. Perhatian terus menerus untuk emmenuhi kebutuhan etik dan dimotivasi oleh ketauhidan kepada Tuhan Yang Maha Esa akan meningkatkan kesadaran individu mengenai insting altruistiknya, baik terhadap sesama manusia maupun alam lingkungannya. Ini berarti konsep tauhid akan emmiliki pengaruh yang paling mendalam terhadap diri seorang muslim.15

b. Keseimbangan

Keseimbangan atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam dan hubungan dengan harmoni segala sesuatu di alam semesta. Dalam beraktivitas di dunia kerja dan bisnis, Islam mengharuskan untuk berbuat adil, tak terkecuali kepada pihak manapun. Adil dalam Islam bahwa agar hak semua orang sama dimata Allah, serta agar hak tersebut dapat ditempatkan sebagaimana mestinya sesuai dengan aturan syariah. Karena apabila dengan

15


(45)

tidak mengakomodir hak salah satu pihak, maka hal tersebut dapat dikatakan kedzaliman. Karenanya orang yang adil akan lebih dekat kepada ketakwaan. Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah (5) : 8































Artinya : Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Berlaku adil akan dekat dengan takwa, karena itu dalam perniagaan (tijarah), Islam melarang untuk menipu, walau hanya „sekedar‟ membawa sesuatu pada kondisi yang menimbulkan keraguan sekalipun. Kondisi ini dapat terjadi seperti gangguan adanya mekanisme pasar atau karena adanya informasi penting mengenai transaksi yang tidak diketahui oleh salah satu pihak (assymetric information). Gangguan pada mekanisme pasar dapat berupa gangguan dalam penawaran dan gangguan dalam permintaan.16

Konsep equilibrium juga dapat dipahami bahwa keseimbangan hidup di dunia dan di akhirat harus diusung oleh seorang pebisnis muslim. Maka karenanya, konsep keseimbangan berarti menyerukan kepada pengusaha

16


(46)

muslim untuk bisa merealisasikan tindakan-tindakan (dalam bisnis) yang dapat menempatkan dirinya dan orang lain dalam kesejahteraan duniawi dan keselamatan akhirat.

Moral hazard (perilaku mendzolimi) adalah suatu tindakan yang tercipta akibat ketidakseimbangan moral yang dapat mengakibatkan mudharat (kesulitan) atau mufsadaat (kerusakan). Moral hazard dalam tindakan bisnis muslim ialah bertindak curang dalam bertransaksi, tidak menuliskan yang sebenarnya dalam pelaporan keuangan, serta memanfaatkan kekurangan informasi pada pihak lain guna kepentingan diri sendiri.

c. Kehendak Bebas

Kehendak bebas ialah suatu rasa yang tertanam dalam diri manusia untuk dapat bertindak secara tidak dibatasi dalam pengendalian kehidupannya sendiri. Institusi ekonomi seperti pasar dapat berperan efektif dalam kegiatan ekonomi. Hal ini dapat berlaku apabila persaingan bebas dapat berlaku secara efektif, dimana pasar tidak mengharapkan adanya intervensi dari pihak manapun, tak terkecuali negara dengan otoritas penentuan harga atau private sektor dengan kegatan monopolistik.

Aktivitas ekonomi dalam konsep ini mengarahkan kepada kebaikan setiap kepentingan bagi seluruh komunitas, baik sektor pertanian, perindustrian, perdagangan, maupun lainnya. Larangan adanya bentuk monopoli, kecurangan, dan praktik riba adalah jaminan terhadap terciptanya suatu


(47)

mekanisme pasar yang sehat dan persamaan peluang untuk berusaha tanpa adanya keistimewaan pada pihak tertentu.

Dalam ekonomi Islam, kebebasan disini ialah tetap menggabungkan antara nilai-nilai moral dan spiritual. Karena apabila tidak ada filter moral, maka kegiatan ekonomi akan rawan kepada perilaku destruktif yang dapat merugikan masyarakat luas. Telah menjadi tradisi di masyarakat sekarang ini bahwa dalam kegiatan ekonominya cenderung mengedepankan materialisme, tanpa memperdulikan moralitas. Rasululla bersabda, “Pedagang yang jujur lagi terpercaya adalah bersama-sama para nabi, orang shadiqin dan para syuhada” (HR Tarmidzi dan Hakim). Hadist tesebut mengemukakan bahwa para pedagang yang utama ialah yang berlaku jujur dan terpercaya baik dalam proses penjualan maupun produksinya, pedagang harus berlaku jujur agar kunci keberkahan akan selalu ada padanya, terlebih lagi bagi pedagang yang berlaku jujur serta dapat dipercaya, maka mereka ialah bersama dengan para nabi, shadiqin serta para syuhada, karena mereka ialah merupakan para pedagang yang amanah dan profesional.

Kebebasan merupakan bagian penting dalam nilai etika bisnis Islam, kebebasan bagi individu dibuka lebar, tetapi kebebasan itu tidak merugikan kepentingan kolektif. Tidak ada pula batasan pendapatan bagi seseorang untuk aktif bekerja dan berkarya dengan segala potensi yang dimilikinya.


(48)

d. Tanggung Jawab (Responsibility)

Dengan adanya kebebasan ekonomi, maka tanggung jawab Muslim begitu diperlukan agar menghasilkan tindakan-tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Tanggung jawab ini dimulai dari kebebasan yang luas, kemudian kebebasan untuk memilih keyakinan dan berakhir dengan keputusan yang tegas yang perlu diambilnya. Tanggung jawab sangat berhubungan dengan kebebasan, karena tanggung jawab dapat menetapkan batasan atas semua hal yang dilakukannya.

Kebebasan dan Tanggung Jawab

Kebebasan manusia yang ada adalah kebebasan yang bertanggung jawab yaitu kebebasan yang didasari oleh „ilm (ilmu) dan kesadaran penuh. Manusia bebas dalam bertindak, yaitu manusia bebas berbuat sesuatu dengan tujuan dan disengaja yang dipengaruhi faktor internal dan eksternal dirinya. Bisa jadi hal itu disebabkan oleh pengaruh ajaran, agama, bacaan, lingkungan dan lain sebagainya. Kebebasan dengan kewajiban moral, yaitu bahwa seseorang yang melakukan sesuatu kewajiban karena ia setuju, walau itu membutuhkan pengorbanan, karena didapati tindakan tersebut ternyata dapat membuat ia merasa bebas. Kebebasan bertanggung jawab, yaitu sesungguhnya


(49)

sikap moral yang mature atau dewasa adalah sikap yang bertanggung jawab, dan tidak mungkin ada tanggung jawab tanpa ada kebebasan.17

Dapat disimpulkan bahwa kebebasan itu mengandung anasirberikut:18

- Kemampuan seseorang untuk menentukan suatu tindakan secara independen. - Kemampuan untuk bertanggung jawab secara sadar.

- Sikap yang dewasa dengan penuh pertimbangan dan konsekuen.

- Adanya semua kondisi di mana seseorang dapat mewujudkan tujuan hidupnya.

e. Kebajikan

Kebajikan artinya melaksanakan perbuatan baik yang dapat memberikan kemanfaatan kepada orang lain, tanpa adanya kewajiban tertentu yang mengharuskan perbuatan tersebut atau dengan kata lain beribadah dan berbuat baik seakan melihat Allah, jika tidak mampu maka yakinlah Allah melihat. Aksioma ihsan dalam bisnis, yaitu : (1) kemurahan hati (leniency); (2) motif pelayanan (service motives); dan (3) kesadaran akan adanya Allah dan aturan yang berkaitan dengan pelaksanaan yang menjadi prioritas.

Guna menyempurnakan prinsip-prinsip etika bisnis Islam sebagaimana dikemukakan diatas, perlu dikemukakan pula pendapat Rafik Issa Beekun dalam sebuah karyanya Etika Bisnis Islam. Dalam bukunya ia mengemukakan sembilan pedoman etika umum bagi bisnis kaum muslim, yaitu jujur dan

17

Faisal Badroen. 2005. Etika Bisnis dalam Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 11.

18


(50)

berkata benar, menepati janji, mencintai Allah lebih dari mencintai perniagaan, berbisnis dengan muslim sebelum dengan non muslim, rendah hati dalam menjalani hidup, menjalankan musyawarah dalam semua masalah, tidak terlibat dalam kecurangan, tidak boleh menyuap, dan berbisnis secara adil.19

M. Quraish Shihab menetapkan terdapat empat prinsip dalam ekonomi, yaitu Tauhid, Keseimbangan, Kehendak Bebas, dan Tanggung Jawab.

Selanjutnya dalam menetapkan etika bisnis ia merincinya yaitu: 20 a) Kejujuran

b) Keramahtamahan c) Penawaran yang jujur

d) Pelanggan yang tidak sanggup membayar diberi waktu

e) Penjual hendaknya tidak memaksa pembeli dan tidak bersumpah dalam menjual

f) Tegas dan adil dalam timbangan dan takaran g) Tidak dibenarkan monopoli

h) Tidak dibenarkan adanya harga komoditi yang boleh dibatasi i) Kesukarelaan.

19

Muhammad Djakfar, Agama, Etika, dan Ekonomi: Wacana Menuju Pengembangan ekonomi Rabbaniyah, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 30-32.

20Quraish Shihab, “Etika Bisnis dalam Wawasan Al

- Qur‟an”, dalam Jurnal Ulum Al— Quran,


(51)

Lain halnya dengan Abd. Muin Salim; ia memberikan uraian tentang prinsip-prinsip filosofi ekonomi Qur‟ani, yaitu: a) Tauhid, b) Isti’mar atau Istikhlaf, b) Kemaslahatan (Al-silah) dan keserasian (al-adalah), d) Keadilan (al- qist), e) Kehidupan sejahtera dan kesentosaan dunia akhirat.

E. Tujuan Bisnis Islam

Setiap manusia memerlukan harta untuk mencukupi segala kebutuhan hidupnya, dan salah satu upaya untuk memperolehnya adalah dengan cara bekerja. Islam mewajibkan Muslim untuk bekerja. Dan Allah melapangkan bumi dan seisinya dengan berbagai fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk mencari rezeki, antara lain seperti dalm firman Allah swt. QS Al-Mulk : 15

















Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu , maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya”

Selanjutnya, firman-Nya dalam QS. Al-A‟raf : 10















Artinya: “Sesungguhya kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan”


(52)

Demikian pula firman Allah Swt dalam QS. Hud : 61











Artinya : “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.”

Di samping anjuran untuk mencari rezeki, Islam sangat menekankan atau mewajibkan aspek kehalalan, baik dari segi perolehan maupun pendayagunaannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bisnis Islam dapat diartikan sebagai berbagai macam bentuk aktivitas bisnis yang tidak dibatasi, namun dibatasi dalam cara perolehan dan pendanan hartanya. Dalam hal kendali syariah, bisnis dalam Islam bertujuan untuk mencapai empat hal utama, yaitu sebagai berikut:21

1) Target Hasil ; Profit Materi dan Benefit Nonmateri

Terdapat paling tidak tiga tujuan atau orientasi bisnis, yaitu pertama nilai materi (qimah madiyah) yang berhubungan dengan nilai profit atau keuntungan. Kedua, ialah nilai-nilai Akhlak (qimah khuluqiyah) yaitu nilai-nilai akhlak mulia yang menjadi suatu kemestian yang muncul dalam kegiatan bisnis, sehingga tercipta hubungan persaudaraan yang islami. Ketiga, (qimah ruhiyah) berarti perbuatan tersebut dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau dalam melaksanakan kegiatan bisnis semata-mata kesadaran hubungannya dengan Allah. Inilah yang dimaksud bahwa setiap perbuatan muslim adalah

21

Veithzal Rivai, dkk, Islamic Bussiness and Economics Ethics, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2012) h. 13.


(53)

ibadah. Amal perbuatannya bersifat materi, sedangkan kesabaran akan hubungannya dengan Allah ketika melakukan bisnis dinamakan ruhnya.

2) Pertumbuhan

Jika profit materi dan non materi telah diraih, maka diupayakan pertumbuhan atau kenaikan akan terus menerus meningkat setiap tahunnya dari profit dan benefit tersebut.

3) Keberlangsungan

Pencapaian target hasil dan pertumbuhan terus diupayakan keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup lama dan dalam menjaga keberlangsungan itu baik dalam koridor syariat Islam.

4) Keberkahan

Faktor keberkahan atau upaya dalam menggapai ridho Allah, merupakan puncak kebahagiaan hidup Muslim. Para pengelola bisnis harus mematok orientasi keberkahan ini menjadi visi bisnisnya, agar senantiasa dalam kegiatan bisnis selalu berada dalam kendali syariat dan diraihnya keridhoan Allah.22 Dalam ekonomi Islam yang berlandaskan ketuhanan, maka tujuan akhir pencapaiannya adalah ridho Allah SWT, dengan tetap memegang syariat Islam dalam segala aktivitasnya, begitu pula dengan aktivitas ekonomi yang tidak dapat pula dipisahkan dengan nilai-nilai keIslaman.

22


(1)

merugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan yang merugikannya)."

(HR. Ibnu Majah)

b. Hadis Nabi riwayat ath Thabarani dari Ibnu Abbas::

ا ْ أ ْش ْ ف ْ ْ ْ ه ْ س ف ْ ف ، ْ ه ْ ا ، ْ ا ، ْ ْ ، ض ج ف ه س آ ْ َ ه َ ْ س ْ ش غ ف(

( س أ ف

"Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu sampai pada Rasulullah, beliau membolehkannya."

(HR. Thabarani dari Ibnu Abbas)

c. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib::

ه س آ ْ َ ه ه ه ه أ: ْ ه ْ ف ا: ، ض ْ ، جأ ْ ْ ْ ا ْ ْ ْ ه ْ ْ ( ( ج

"Nabi bersabda, 'Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual."

(HR. Ibnu Majah dari Shuhaib)

d. Hadis riwayat Imam Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Kitab Ahkam, bab: "ma dzukira 'an Rasulillah", No: 1272:

ْ ْ ه أ ْ أ اا ه ْ ها ْ ْ ْ ئ ج ْ أ ْ أ اا ه ْ ش ها ْ ش ه .

"Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."


(2)

Abdurrazzaq, 8/238, al-Maktab al-Islami 1403 H cet. II): ْ ْ ض ْ ْ ْ ْ ْ

"Keuntungan ditentukan sesuai dengan kesepakatan, dan kerugian ditanggung pemilik modal."

3. Kaidah fikih, antara lain:

a. ْ ْ ْ ه ْ أ ها إْ ا ْ ف ْ أ

"Pada dasarnya, segala bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

b. َ ْ ه ف ْ ْ ج ْ أ

"Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah." c. ْ ا ـ

"Orang yang berderma tidak boleh dipaksa." (Durar al-Hukkam fi Syarh al-Majallah al-Ahkam, pasal 761, hlm. 216)

d. ْ ْ ْ ه ه إْ ف ( أ

: ، أ

س ف ئ ش أ ؛321 . ،8691 ، ش

أ ا ف ف ف

(332 . ،7891 ، : ،

"Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus mempertimbangkan mashlahat."

(al-Asybah wa al-Nazha`ir 'ala Madzhab Abi Hanifah al-Nu'man, Zain Abidin Ibnu Ibrahim Ibn Nujaim, Kairo: Mu`assasah Halabi wa Syirkah. 1968, hlm. 123;dan Asybah wa al-Nazha`ir fi Qawa'id wa Furu' Fiqh al-Syafi'iyyah, Jalal al-Din 'Abd al-Rahman Ibnu Abi Bakr al-Suyuthi, Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi. 1987, hlm. 233)

e. ْ ه ْ ْ ج ( أ أ ف

س : ،

ف ف ئ ش أ ؛19 . ،8691 ، ش

ف ف ، أ ا

(971 . ،7891 ، :

"Hajat menempati tempat darurat."

(Dalam pengertian, hajat dapat berstatus sama dengan


(3)

al-Nu`man, Zain al-Abidin Ibnu Ibrahim Ibnu Nujaim, Kairo: Mu`assasah al-Halabi wa Syirkah. 1968, hlm. 91; al-Asybah wa al-Nazha`ir fi Qawa'id wa Furu` Fiqh al-Syafi`iyah, Jalal al-Din Abd Rahman Ibnu Bakr Suyuthi, Beirut: Dar Kitab al-Arabi, 1987, hlm. 179)

f. ا ج ْ غ ْ ْ أ أ ( ف ف ، أ ،

أ ، ، ، أ ، س ،

(201 . ،4991 ، : ،

"Hajat tidak menyebabkan bagi seseorang boleh mengambil harta milik pihak lain."(Qawa'id Fiqhiyyah ..., 'Ali Ahmad al-Nadwi, Damaskus: Dar al-Qalam. 1994, hlm. 102)

g. ٍ ْ ش س ا أ ْ ْ أ أ ْ ا( ف ،

. ،9891 ، : ، أ

465)

"Seseorang/pihak tidak boleh mengambil harta milik pihak lain tanpa sebab yang sah menurut syara'."

(Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, Syekh Ahmad Ibn Syekh Muhammad al-Zarqa, Damaskus: Dar al-Qalam. 1989, hlm. 465).

Memperhatikan :

a. Keputusan AAOIFI dalam Mi'yar Syar'i, nomor: 12 (angka 3/1/5/14) yang menyatakan bahwa:

ْ ْ اْ ء ْ أ ْ ْساْ ه ْ ْ ْ أ ، ْ ْ ْ ْ ْ ْ أ ، ْ ءا ْ ٍ ْ ْ ْ أْ ه ْ ْ أْ ْ ْ ه ف ْ ْ أ ، ْ ْأ ج ٍ ٍ ْ ْ . "Berdasarkan anggaran dasar perusahaan atau keputusan dari para pemegang saham, perusahaan boleh menahan keuntungan perusahaan tanpa dibagikan, atau menyisihkan keuntungan dalam jumlah tertentu secara periodik untuk memperkuat kinerja perusahaan (solvency

reserve), atau membentuk cadangan khusus untuk menanggulangi risiko kerugian modal (investment risk reserve), atau untuk menjaga kestabilan pembagian keuntungan (profit equalization reserve)."

b. Pendapat Wahbah al-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu(juz V, hlm. 3939):

ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ أ ْ ْ أ ه ْ ْ ْ ْ ْ ْ ه ْ ف ا ْ ْ ش ف ، ه ْ ج ا ه أ ، . "Ulama Hanafiah membolehkan untuk membuat syarat bahwa salah satu pihak yang berakad memperoleh dinar dengan jumlah tertentu yang


(4)

diketahui dalam hal keuntungan usaha melebihi nilai tertentu; syarat tersebut dipandang sah dan tidak berdampak pada sahnya akad mudharabah, karena hal tersebut tidak menyebabkan ketidakjelasan (bagian) keuntungan."

c. Kesimpulan dan Rekomendasi Working Group Perbankan Syariah (Bank Indonesia, Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, dan Ikatan Akuntan Indonesia) tentang Pengaturan Pendapatan

danPembentukan Cadangan dalam Rangka Penyesuaian Keuntungan (Profit Equalization Reserve), tanggal 20 Desember 2012;

d. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Jumat, tanggal 21 Desember 2012.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : METODE PERATAAN PENGHASILAN (INCOME SMOOTHING) DANA PIHAK KETIGA

Pertama :

Ketentuan Umum

Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:

1. Metode Perataan Penghasilan/Laba (Income Smoothing Method) adalah pengaturan pengakuan dan pelaporan laba atau penghasilan dari waktu ke waktu dengan cara menahan sebagian laba/penghasilan dalam satu periode dan dialihkan pada periode lain dengan tujuan mengurangi fluktuasi yang berlebihan atas bagi hasil antara Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Nasabah penyimpan dana (Dana Pihak Ketiga/DPK);

2. Metode Perataan Penghasilan dengan Membentuk Dana Cadangan adalah pengaturan distribusi keuntungan dari waktu ke waktu atas bagi hasil antara LKS dan Nasabah Penyimpan Dana dengan cara membentuk cadangan perataan laba/penghasilan (Profit Equalization Reserve);

3. Profit Equalization Reserve (PER) adalah dana cadangan yang dibentuk oleh LKS yang berasal dari penyisihan selisih laba LKS yang melebihi tingkat imbalan/hasil yang diproyeksikan untuk penyesuaian bagi hasil dana mudharabah (muthlaqah); dan dalam hal simpanan dana Nasabah

menggunakan akad mudharabah muqayyadah, jika disepakati para pihak, pembentukan cadangan penyesuaian bagi hasil dapat pula berasal dari penyisihan keuntungan Nasabah yang melebihi tingkat bagi hasil yang diproyeksikan;

4. Metode Perataan Penghasilan Tanpa Membentuk Cadangan adalah

pengaturan pengakuan dan pelaporan laba dari waktu ke waktu untuk tujuan pengaturan bagi hasil antara LKS dan Nasabah tanpa pembentukan

cadangan. Kedua : Ketentuan Hukum


(5)

dilakukan dalam Bagi Hasil Dana Pihak Ketiga (DPK) dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini.

Ketiga :

Ketentuan terkait Pembentukan Dana Cadangan

1. LKS boleh membentuk Dana Cadangan (PER) untuk mengantisipasi

kemungkinan terjadinya realisasi bagi hasil untuk Nasabah penyimpan dana di bawah tingkat imbalan yang diproyeksikan;

2. Dana Cadangan (PER) secara prinsip boleh dibentuk melalui penyisihan keuntungan sebelum dibagihasilkan dengan syarat:

a. bagi hasil aktual melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan, dan b. dengan izin Nasabah DPK;

3. Dana Cadangan (PER) tidak boleh dibentuk dengan mengurangi bagi hasil yang merupakan hak nasabah DPK apabila bagi hasil aktual lebih kecil dari tingkat imbalan yang diproyeksikan;

4. Dalam hal akad Mudharabah Muqayyadah, Dana Cadangan (PER) boleh juga dibentuk melalui penyisihan keuntungan hak Nasabah yang melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan setelah dibagihasilkan dengan izin Nasabah DPK;

5. Dana Cadangan (PER) yang dibentuk LKS dari penyisihan keuntungan sebelum dibagihasilkan yang melebihi tingkat imbalan yang diproyeksikan merupakan hak Nasabah DPK secara kolektif yang harus dikelola secara terpisah oleh LKS untuk proses pengaturan pendapatan dan tingkat imbalan bagi Nasabah DPK;

6. Pengaturan dan pengawasan lebih lanjut terhadap kebijakan dan pelaksanaan LKS dalam Pembentukan Dana Cadangan (PER) dan penggunaannya

merupakan kewenangan pihak otoritas.

Keempat :

Ketentuan terkait Perataan Penghasilan dengan atau tanpa Pembentukan Cadangan

1. Metode Perataan Penghasilan yang dibolehkan adalah: dengan membentuk cadangan atau tanpa membentuk cadangan;

2. Perataan Penghasilanhanya boleh digunakan LKS dalam kondisi yang diduga kuat berpotensi menimbulkan risiko penarikan dana nasabah akibat tingkat imbalan dari LKS yang tidak kompetitif (displaced commercial risk);

3. Kondisi sebagai dimaksud pada angka 2 di atas harus ditentukan oleh pengurus LKS berdasarkan pedoman operasional/standard operating prosedure (SOP) LKS dengan memperhatikan opini Dewan Pengawas Syariah;

4. Kebijakan Perataan Penghasilan hanya boleh diberlakukan terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK) yang menggunakan akad mudharabah;

5. Kebijakan Metode Perataan Penghasilan tidak boleh dilakukan apabila dalam implementasinya menimbulkan kecenderungan praktik ribawi terselubung di mana imbalan diberikan tanpa memperhatikan hasil nyata; dan


(6)

6. Dalam penggunaan Metode Perataan Penghasilan Tanpa Cadangan yang dilakukan dalam hasil usaha yang dibagihasilkan lebih rendah dari

proyeksi, LKS boleh melepaskan haknya (isqath haqq / at-tanazul 'an al-haqq) untuk menyesuaikan imbalan bagi nasabah DPK agar kompetitif dan dapat diberitahukan kepada nasabah.

Kelima :

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana

mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta Tanggal

:

07 Shafar 1434 H 21 Desember 2012 M DEWAN SYARI'AH NASIONAL

MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua

K.H. MA Sahal Mahfudh Sekretaris