Konsumsi dan Kecernaan Zat Makanan Pada Domba Lokal Bunting yang Mendapat Ransum dengan Sumber Karbohidrat Jagung dan Onggok

(1)

KONSUMSI DAN KECERNAAN ZAT MAKANAN

PADA DOMBA

LOKAL BUNTING YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN

SUMBER KARBOHIDRAT JAGUNG DAN ONGGOK

SKRIPSI

JASISKA KAROLITA

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(2)

RINGKASAN

JASISKA KAROLITA. D24070034. 2011. Konsumsi dan Kecernaan Zat Makanan

pada Domba Lokal Bunting yang Mendapat Ransum dengan Sumber

Karbohidrat Jagung dan Onggok. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Lilis Khotijah, M. Si. Pembimbing Anggota : Ir. Kukuh Budi Satoto, MS.

Salah satu kendala yang dihadapi oleh ternak domba yang beranak lebih dari satu adalah masih rendahnya keberhasilan untuk dapat melahirkan anak kembar dengan bobot lahir dan daya hidup yang tinggi. Hal ini terjadi karena induk domba tidak mendapat zat makanan cukup untuk berproduksi, terutama pada fase akhir kebuntingan dan fase laktasi. Penggunaan bahan pakan berkarbohidrat tinggi yang berasal dari jagung dan onggok diharapkan dapat mengurangi tingkat kematian dari anak yang dilahirkan. Evaluasi pemanfaatan ransum yang berbahan pakan jagung dan onggok dapat ditinjau dari aspek kecernaan zat makanan dan absorpsi mineralnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas ransum dan mempelajari konsumsi serta kecernaan zat makanan domba bunting dengan ransum berbasis sumber karbohidrat jagung dan onggok.

Ternak yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 9 ekor domba bunting yang berumur 1 tahun. Penelitian ini terdiri atas tiga perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang diberikan antara lain P1 (ransum dengan sumber karbohidrat jagung), P2 (ransum dengan sumber karbohidrat onggok), dan P3 (ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok). Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri atas beberapa tahap, diantaranya tahap pemeliharaan, sampling feses dan analisa. Sampling feses dilakukan selama tiga hari, yaitu pada umur kebuntingan 120 hari. Rancangan percobaan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap. Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum selama penelitian, kecernaan bahan kering (KCBK), kecernaan bahan organik (KCBO), kecernaan protein kasar (KCPK), kecernaan energi (KCE), dan absorpsi mineral (Ca dan P). Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analysisofvariance (ANOVA) dan jika terdapat perbedaan, diuji lanjut menggunakan Uji Kontras Orthogonal.

Pemberian ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok pada domba bunting memberikan pengaruh yang sama terhadap konsumsi zat makanan, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, kecernaan protein kasar, dan absorpsi Ca dan P. Penggunaan ransum sumber karbohidrat yang berasal dari onggok dan kombinasi jagung + onggok memiliki kecernaan energi lebih tinggi dibandingkan ransum dengan sumber karbohidrat dari jagung yang diberikan untuk induk domba bunting. Kandungan energi tertinggi yang dapat dicerna oleh domba bunting berasal dari onggok dan kombinasi jagung + onggok. Onggok dapat digunakan sebagai bahan pakan alternatif pengganti jagung dalam ransum domba bunting.


(3)

ABSTRACT

Feed Intake and Digestibility Nutrients of Ration with Corn and Cassava Meal as the Carbohydrate Source on Local Pregnant Ewe

J. Karolita, L. Khotijah, K. B. Satoto

The aim of this study was to observe and evaluate the quality of a ration with different energy sources (corn and cassava) on feed intake and digestibility nutrients of the ration on pregnant ewe. This study used 9 pregnant ewes with completely randomized design, divided into three treatments, consisted of P1 (corn), P2 (cassava meal), and P3 (combination of corn and cassava meal). Data were analyzed by analysis of variance and significant differences among treatments were tested by Ortogonal Contrast Test. The observed variables were feed intake, dry matter digestibility, organic matter digestibility, crude protein digestibility, energy digestibility, and absorption minerals (Ca and P). The results showed that the treatments did not significantly effect (P>0,05) feed intake, organic matter digestibility, crude protein digestibility, absorption minerals (Ca and P), and then energy digestibility of ewes fed ration with carbohydrate sources from cassava meal and combination of corn and cassava meal were better than other treatment. So, ration with carbohydrate source from cassava meal has better quality than the ration with carbohydrate source from corn. It was concluded that cassava meal can be used as alternative feed for substitution of corn in ewes ration.


(4)

KONSUMSI DAN KECERNAAN ZAT MAKANAN PADA

DOMBA

LOKAL BUNTING YANG MENDAPAT RANSUM DENGAN

SUMBER KARBOHIDRAT JAGUNG DAN ONGGOK

JASISKA KAROLITA D24070034

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(5)

Judul : Konsumsi dan Kecernaan Zat Makanan Pada Domba Lokal Bunting yang Mendapat Ransum dengan Sumber Karbohidrat Jagung dan Onggok

Nama : Jasiska Karolita

NIM : D24070034

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Ir. Lilis Khotijah, M. Si.) (Ir. Kukuh Budi Satoto, MS.)

NIP. 19660703 199203 2 003 NIP. 19490118 197603 1 001

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc. Agr) NIP. 19670506 199103 1 001


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pemalang pada tanggal 4 Desember 1989. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Marikun Pribadi (Alm) dan Ibu Siti Kholifah.

Pendidikan Taman Kanak-kanak diselesaikan oleh penulis pada tahun 1995 di TK Aisyah Gadingrejo, pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2001 di SD 6 Wonodadi, pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2004 di SLTP Negeri 1 Gadingrejo, dan pendidikan lanjutan tingkat atas diselesaikan pada tahun 2007 di SMA Negeri 1 Gadingrejo. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Setelah satu tahun masa TPB-IPB, kemudian penulis masuk ke Fakultas Peternakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan.

Selama menempuh pendidikan, penulis aktif di Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) yaitu Keluarga Mahasiswa Lampung (KEMALA) sebagai bendahara umum periode 2008-2009, pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Peternakan sebagai staff divisi Budaya, Olahraga, dan Seni (BOS), pengurus Himpunan Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (HIMASITER) sebagai sekretaris umum periode 2009-2010, dan anggota serta pengurus Teater Kandang Fakultas Peternakan. Beberapa kepanitiaan yang pernah diikuti penulis, diantaranya kegiatan Dekan Cup tahun 2009, D’ Farm Festival II (D’ Day of Art) tahun 2009, MPF-D tahun 2009 dan 2010. Penulis pernah menjadi salah satu Mahasiswa Berprestasi Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan periode 2008-2009. Pada tahun 2011 penulis aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Metodologi Penelitian dan Rancangan Percobaan.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat-Nya yang telah diberikan pada penulis sehingga dapat menuangkan hasil pikiran dalam tulisan yang berupa skripsi dengan judul Konsumsi dan Kecernaan Zat Makanan pada Domba Lokal Bunting yang Mendapat Ransum dengan Sumber Karbohidrat Jagung dan Onggok. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan mempelajari konsumsi serta kecernaan zat makanan pada domba bunting dengan ransum sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok.

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor sejak Mei hingga November 2010. Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi penggunan jagung dan onggok dalam pakan terhadap kecernaan zat makanan dan absorpsi mineral induk domba bunting. Kandungan karbohidrat yang tinggi pada jagung dan onggok tersebut diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan dalam melahirkan anak kembar. Gambaran ketersediaan zat makanan yang baik pada induk domba bunting dicerminkan oleh kecernaan zat makanan yang tinggi dan mencukupi kebutuhan ternak. Hal ini mengindikasikan kondisi fisiologis ternak bunting dalam keadaan sehat dan siap untuk melahirkan anak lebih dari satu.

Skripsi ini memuat informasi tentang keunggulan penggunaan bahan pakan sumber karbohidrat jagung dan onggok terhadap induk domba bunting dan pengaruhnya terhadap kecernaan zat makanan dan absorpsi mineral. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak agar menjadi lebih baik. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan, bermanfaat bagi Penulis sendiri maupun pembaca pada umumnya.

Bogor, November 2011


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ii

ABSTRACT iii

RIWAYAT HIDUP vi

KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

TINJAUAN PUSTAKA 3

Potensi Domba Lokal 3

Potensi Jagung, Onggok, dan Bungkil Kelapa 4

Konsumsi 5

Kecernaan 7

Penyerapan Kalsium dan Fosfor 8

MATERI DAN METODE 10

Lokasi dan Waktu Penelitian 10

Materi 10

Ternak Percobaan 10

Ransum Penelitian 11

Kandang dan Peralatan 12

Prosedur 12

Pemeliharan 12

Pengukuran Kecernaan Zat Makanan 13

Analisis Proksimat 13

Analisa Protein 13

Analisa Mineral Kalsium dan Fosfor 14

Rancangan Percobaan 14

Perlakuan 14

Model 15

Peubah yang diamati 15


(9)

HASIL DAN PEMBAHASAN 17

Konsumsi Zat Makanan 17

Konsumsi Bahan Kering 17

Konsumsi Bahan Organik 18

Konsumsi Protein Kasar 19

Konsumsi Energi 19

Konsumsi Ca dan P 20

Kecernaan Zat Makanan 21

Kecernaan Bahan Kering 21

Kecernaan Bahan Organik 22

Kecernaan Protein Kasar 23

Kecernaan Energi 24

Absorpsi Mineral 27

Absorpsi Mineral Kalsium (Ca) 27

Absorpsi Mineral Fosfor (P) 28

Rasio Absorpsi Mineral Ca dan P 29

KESIMPULAN DAN SARAN 30

Kesimpulan 30

Saran 30

UCAPAN TERIMA KASIH 31

DAFTAR PUSTAKA 32


(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Bahan Makanan Ransum Penelitian 11

2. Komposisi Bahan Makanan Ransum Penelitian 11

3. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Berdasarkan BK 12

4. Rataan Konsumsi Zat Makanan Penelitian 17

5. Konsumsi Bahan Kering, Bahan Kering Feses dan Kecernaan Bahan Kering 21

6. Konsumsi Bahan Organik, Bahan Organik Feses, dan Kecernaan Bahan Organik 22

7. Konsumsi Protein Kasar, Protein Kasar Feses, dan Kecernaan Protein Kasar 24

8. Konsumsi Energi, Energi Feses, dan Kecernaan Energi 25

9. Konsumsi Mineral Ca, Mineral Ca Feses, dan Absorpsi Mineral Ca 27

10.Konsumsi Mineral P, Mineral P Feses, dan Absorpsi Mineral P 28


(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Struktur Amilosa 5

2. Struktur Amilopektin 5


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari) 37

2. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Bahan Organik (g/ekor/hari) 37

3. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Protein Kasar (g/ekor/hari) 37

4. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Energi (kal/ekor/hari) 37

5. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Ca (g/ekor/hari) 38

6. Hasil Sidik Ragam Konsumsi P (g/ekor/hari) 38

7. Hasil Sidik Ragam Konsumsi Bahan Kering selama Pengukuran (g/ekor/hari) 38

8. Hasil Sidik Ragam Bahan Kering Feses (g/ekor/hari) 38

9. Hasil Sidik Ragam Bahan Kering Tercerna (g/ekor/hari) 39

10.Hasil Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Kering (%) 39

11.Hasil Sidik Ragam Konsumsi Bahan Organik selama Pengukuran (g/ekor/hari) 39

12.Hasil Sidik Ragam Bahan Organik Feses (g/ekor/hari) 39

13.Hasil Sidik Ragam Bahan Organik Tercerna (g/ekor/hari) 40

14.Hasil Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Organik (%) 40

15.Hasil Sidik Ragam Konsumsi Protein Kasar selama Pengukuran (g/ekor/hari) 40

16.Hasil Sidik Ragam Protein Kasar Feses (g/ekor/hari) 40

17.Hasil Sidik Ragam Protein Kasar Tercerna (g/ekor/hari) 41

18.Hasil Sidik Ragam Koefisien Cerna Protein Kasar (%) 41

19.Hasil Sidik Ragam Konsumsi Energi selama Pengukuran (kal/ekor/hari) 41

20.Hasil Sidik Ragam Energi Feses (kal/ekor/hari) 41

21.Uji Lanjut Kontras Orthogonal Energi Feses (kal/ekor/hari) 42

22.Hasil Sidik Ragam Energi Feses (kal/BB0,75/hari) 42

23.Uji Lanjut Kontras Orthogonal Energi Feses (g/BB0,75/hari) 42

24.Hasil Sidik Ragam Energi Tercerna (kal/ekor/hari) 43

25.Hasil Sidik Ragam Koefisien Cerna Energi (%) 43


(13)

27.Hasil Sidik Ragam Konsumsi Ca selama Pengukuran (g/ekor/hari) 43

28.Hasil Sidik Ragam Ca Feses (g/ekor/hari) 44

29.Hasil Sidik Ragam Absorbsi Ca (g/ekor/hari) 44

30.Hasil Sidik Ragam Absorbsi Ca (%) 44

31.Hasil Sidik Ragam Konsumsi P selama Pengukuran (g/ekor/hari) 44

32.Hasil Sidik Ragam P Feses (g/ekor/hari) 45

33.Hasil Sidik Ragam Absorbsi P (g/ekor/hari) 45


(14)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Domba memiliki kemampuan untuk berkembangbiak, tumbuh dengan cepat, dan relatif mudah dalam pemeliharaannya. Salah satu potensi genetik domba adalah bersifat prolifik/beranak lebih dari satu ekor perkelahiran dan dapat beranak tiga kali dalam kurun waktu dua tahun, namun untuk dapat melahirkan anak kembar dengan bobot lahir dan daya hidup yang tinggi, masih merupakan permasalahan tersendiri. Kondisi ini ditunjukkan dengan tingginya tingkat kematian anak domba yang dilahirkan, terutama pada masa pra-sapih yang mencapai 75% (Mathius et al., 2003). Tingginya tingkat kematian pada masa ini diduga disebabkan oleh induk domba tidak mendapat zat makanan yang cukup untuk berproduksi pada akhir kebuntingan sehingga bobot lahir rendah.

Kebutuhan energi domba pada fase bunting dan laktasi dapat dipenuhi dengan pakan yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi. Bahan pakan yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi dapat berasal dari jagung ataupun onggok. Penggunaan jagung sebagai bahan pakan tidak dibatasi oleh adanya kandungan zat antinutrisi sehingga jagung baik diberikan pada domba yang sedang bunting untuk memenuhi kebutuhan, memelihara kebuntingan, pertumbuhan fetus, mempersiapkan kelahiran, dan laktasi. Ketersediaan jagung terbatas karena adanya persaingan dengan ternak unggas dan sebagai bahan pangan serta bio fuel, oleh karena itu diperlukan bahan pakan alternatif yang memiliki kualitas dan kandungan zat makanan yang hampir sama dengan jagung.

Onggok merupakan bahan pakan sumber karbohidrat dengan kandungan karbohidrat hampir sama dengan jagung yaitu untuk onggok 85,27% (Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, 2010) sedangkan untuk jagung 87,26% (Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, 2010). Onggok kaya akan karbohidrat yang mudah dicerna (BETN) bagi ternak serta penggunaannya dalam ransum mampu menurunkan biaya ransum (Rasyid et al., 1995), sehingga dimanfaatkan sebagai sumber energi yang sesuai dengan kebutuhan domba bunting.

Onggok dan jagung memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, namun diduga memiliki struktur karbohidrat yang berbeda. Struktur karbohidrat yang berbeda mempengaruhi penyerapan energi di dalam tubuh ternak, hal ini terjadi


(15)

2 karena ada struktur karbohidrat yang mudah didegradasi dan ada struktur karbohidrat yang susah untuk didegradasi. Bahan pakan yang memiliki struktur karbohidrat mudah dicerna dapat dijadikan sebagai indikator bahan pakan berkualitas (Katipana, 1993). Kecernaan bahan pakan mencerminkan tingkat ketersediaan energi bagi ternak, sehingga sering juga digunakan untuk menilai kualitas pakan (Van Soest 1994).

Absorpsi mineral juga diperlukan untuk memenuhi asupan zat makanan induk domba bunting yang berperan dalam perkembangan fetus dan proses kelahiran serta laktasi domba. Absorpsi mineral yang meliputi makromineral (N, P, K, Mg, dan Ca) dibutuhkan untuk memenuhi asupan zat makanan induk domba bunting. Mineral yang sangat berperan untuk domba bunting yaitu mineral Ca (kalsium) dan P (fosfor). Mineral kalsium bersama fosfor berperan dalam perkembangan fetus, proses kelahiran, dan laktasi. Mineral Ca dan P sangat penting untuk induk domba bunting, karena jika mineral ini tidak tercukupi di dalam pakan maka untuk mencukupinya tubuh akan mengambil Ca dan P dari tulang induk domba.

Penggunaan jagung dan onggok pada domba dalam masa pertumbuhan menurut Wahyuni (2008) memiliki tingkat konsumsi dan kecernaan yang tinggi. Penggunaan jagung dan onggok sebagai pakan domba pada masa pertumbuhan sudah banyak dilakukan, namun untuk reproduksi belum banyak informasi dan data yang tersedia untuk itu perlu dikaji kembali mengenai penggunaan jagung dan onggok untuk ternak pada masa reproduksi.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan mempelajari konsumsi serta kecernaan zat makanan pada domba bunting dengan ransum sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok.


(16)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Potensi Domba Lokal

Potensi untuk mengembangkan domba di Indonesia sangat terbuka lebar, karena kurang lebih 30% kebutuhan pangan dan pertanian dipenuhi oleh ternak, sehingga keberadaan ternak menjadi sangat strategis dalam kehidupan manusia (Heriyadi, 2002). Domba lokal mempunyai posisi yang sangat strategis di masyarakat karena mempunyai fungsi ekonomis, sosial, dan budaya serta merupakan sumber gen yang khas untuk digunakan dalam perbaikan bangsa domba di Indonesia melalui persilangan antar bangsa domba lokal dengan domba impor (Sumantri et al., 2007). Domba yang dikenal di Indonesia ada tiga bangsa yaitu domba priangan, domba ekor gemuk, dan domba ekor tipis atau lebih dikenal dengan nama domba lokal. Jenis domba yang banyak dipelihara ada dua jenis yaitu domba ekor gemuk dan domba ekor tipis atau domba lokal. Domba lokal merupakan domba asli Indonesia yang memiliki daya adaptasi yang baik pada iklim tropis dan tidak mengenal adanya musim pembiakan (non seasonal breeding) sehingga perkembangbiakan dapat berlangsung sepanjang tahun (Roberts, 2000).

Domba ekor tipis mempunyai ciri-ciri tubuh yang kecil, ekor relatif kecil dan tipis, bulu badan berwarna putih tetapi kadang-kadang ada warna lain, misal belang-belang hitam sekitar mata, domba jantan bertanduk kecil dan melingkar dan umumnya domba betina tidak bertanduk, berat domba jantan berkisar 30-40 kg dan berat badan betina 15-20 kg. Salah satu keunggulan domba ekor tipis adalah sifatnya yang prolifik karena mampu melahirkan anak kembar dua sampai lima ekor setiap kelahiran (Mulyono dan Sarwono, 2004).

Domba Jonggol merupakan domba lokal yang berada di daerah Jonggol. Domba jonggol memiliki bobot badan yang tidak begitu besar, untuk jantan hanya berkisar 16,17-21,92 kg (Iswahyudi, 2011). Menurut Ilham (2008), domba Jonggol memiliki daya adaptasi dan toleransi yang cukup baik terhadap suhu yang cukup panas, sehingga berpotensi dijadikan salah satu sumber genetik untuk dikembangkan pada masa yang akan datang. Bobot lahir anak untuk domba yang dipelihara secara ekstensif di padang rumput UP3J berkisar 1,56-2,54 kg (Ilham, 2008). Bobot lahir domba yang dipelihara secara ekstensif cukup rendah. Hal ini diduga karena


(17)

4 kurangnya asupan zat makanan untuk induk domba bunting, sehingga perlu dilakukan perbaikan mutu pakan yang diberikan.

Potensi Jagung, Onggok, dan Bungkil Kelapa

Jagung merupakan bahan pakan sumber energi dalam komponen penyusun ransum ternak (Phang, 2001). Jagung salah satu bahan makanan yang disukai dan sesuai untuk semua jenis ternak, namun ketersediaannya masih terbatas sehingga harus dilakukan impor. Masalah yang dihadapi dalam pengembangan jagung adalah produksi jagung sebagian besar dihasilkan pada musim hujan, sedangkan alat pengering dan gudang sangat terbatas. Hal ini menyebabkan banyak produksi jagung yang mengalami kerusakan, belum adanya jaminan harga pada saat panen raya, dan lemahnya kelembagaan petani jagung (Purwanto, 2007).

Onggok merupakan limbah pertanian yang sering menimbulkan masalah lingkungan, karena berpotensi sebagai polutan di daerah sekitar pabrik dan jumlahnya cukup banyak. Penggunaan onggok sebagai bahan baku pakan masih terbatas. Hal ini disebabkan kandungan protein yang rendah, tetapi onggok merupakan sumber energi karena memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi yaitu 85,27% (Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, 2010). Menurut Pribadi (2009), onggok merupakan hasil ikutan pengolahan agroindustri tepung tapioka yang jumlahnya mencapai 19,70% dari total produksi ubi kayu nasional. Onggok adalah sumber energi yang relatif murah tetapi kadar protein kasar rendah. Berdasarkan komposisi kimia, onggok dapat menggantikan penggunaan bekatul dan jagung. Onggok dapat digunakan pada ternak dalam bentuk segar, dicampur dengan bahan pakan lain dalam bentuk konsentrat atau disimpan dalam bentuk kering untuk sewaktu-waktu digunakan pada saat kekurangan pakan (Adeyene dan Sunmonu, 1994).

Bungkil kelapa adalah bahan pakan sumber protein yang merupakan hasil ikutan dari ekstraksi daging buah kelapa segar/kering. Kandungan protein bungkil kelapa mencapai 18%. Jenis protein dalam bungkil kelapa seperti globulin 39,25%, albumin 6,64%, glutelin 15,27%, dan prolamin 38,84% (Wibowo, 2010). Bungkil kelapa juga memiliki kandungan asam lemak jenuh yang tinggi, yaitu 91,8%


(18)

5 (Sumiyanah, 2001). Kandungan asam lemak jenuh yang tinggi dapat menurunkan populasi mikroba rumen (Bhatt et al., 2011).

Onggok dan jagung merupakan bahan pakan sumber energi. Sumber energi dari kedua bahan pakan ini berasal dari karbohidrat yang berupa pati, namun pati dalam onggok dan jagung memiliki struktur yang berbeda. Pati dalam onggok berupa amilopektin, sedangkan pati dalam jagung berupa amilosa (Richana dan Suarni, 2010). Amilosa merupakan polimer rantai lurus yang dibangun oleh ikatan α-(1,4)- glikosidik seperti yang terlihat dalam Gambar 1 (Estiasih, 2006). Amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan α-(1,4)-glikosidik dan ikatan α -(1,6)-glikosidik di tempat percabangannya (Ben et al., 2007). Pati dalam bentuk amilopektin lebih mudah untuk dicerna dibandingkan dalam bentuk amilosa (Tisnadjaja, 1996). Hal ini juga didukung oleh pernyataan Thang et al. (2010) bahwa kandungan pati dalam onggok lebih mudah dicerna dibandingkan dengan kandungan pati dalam jagung. Struktur amilosa dan amolipektin disajikan dalam Gambar 1 dan 2.

Gambar 1. Struktur Amilosa (Sumber: Estiasih, 2006)

Gambar 2. Struktur Amilopektin (Sumber: Tisnadjaja, 1996)

Konsumsi

Konsumsi pada umumnya diperhitungkan sebagai jumlah makanan yang dimakan oleh ternak, yang kandungan zat makanan di dalamnya digunakan untuk


(19)

6 mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi ternak tersebut (Tillman et al., 1998). Tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh sifat fisik, komposisi kimia pakan (Parakkasi, 1999), dan palatabilitas pakan (Williamson dan Payne, 1993). Siregar (1984) menyatakan bahwa jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas, dan lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara juga mempengaruhi tingkat konsumsi.

Kemampuan ternak untuk mengkonsumsi BK berhubungan erat dengan kapasitas fisik lambung dan saluran pencernaan secara keseluruhan (Parakkasi, 1999). Menurut Okmal (1993), kandungan protein kasar ransum mempengaruhi nilai konsumsi BK. Jadi kandungan PK yang tinggi akan menyebabkan konsumsi BK juga tinggi. NRC (2006) menyatakan bahwa domba dengan bobot badan 20-30 kg membutuhkan bahan kering berkisar 3% dari bobot badannya yaitu 600 g/ekor/hari. Berdasarkan penelitian Annett et al. (2008), domba bunting yang diberi pakan silase rumput dan konsentrat barley + bungkil kedelai mampu mengkonsumsi bahan kering hingga 817-1015 g/hari.

Konsumsi bahan kering mempunyai korelasi yang positif terhadap konsumsi bahan organik, hal ini disebabkan karena zat-zat yang terkandung dalam bahan organik terdapat pula pada bahan kering (Imansyah, 2008). Berdasarkan penelitian Musofie et al. (1990), domba bunting yang diberi pakan rumput gajah dan konsentrat komersial mampu mengkonsumsi bahan kering hingga 817-1015 g/hari.

Protein sangat diperlukan untuk pertumbuhan, reproduksi dan produksi susu (Sudono, 1999). Protein yang dikonsumsi dimanfaatkan oleh tubuh ternak untuk hidup pokok, pertumbuhan atau produksi serta dapat meningkatkan pertumbuhan protein mikroba. Domba bunting membutuhkan pakan yang mengandung energi dan protein tinggi karena dibutuhkan untuk pertumbuhan fetus, hidup pokok induk, pertumbuhan kelenjar mamae, kolostrum, dan produksi susu (Ocak et al., 2005). Konsumsi PK berdasarkan standar NRC (2006) untuk domba bunting dengan bobot badan 20-25 kg sebesar 70-87,50 g/ekor/hari. Berdasarkan penelitian Annett et al. (2008), konsumsi PK untuk domba bunting dengan bobot badan 77 kg yaitu sebesar 135-158 g/hari. Pakan yang digunakan pada penelitian Annett et al. (2008) adalah pakan yang memiliki kandungan PK sebesar 19,70%.


(20)

7 Berdasarkan penelitian Thang et al. (2010) dan Browne et al. (2005) bahwa penggunaan jagung dan onggok sebagai bahan pakan sumber energi pada ruminansia memberikan pengaruh yang sama terhadap konsumsi energinya. Konsumsi energi yang disarankan NRC (2006) untuk induk domba bunting dengan bobot badan 20-25 kg berkisar antara 17600-22000 kal/ekor/hari.

Konsumsi Ca dan P untuk domba bunting berkisar antara 4-6,70 g/ekor/hari dan 1,90-3,20 g/ekor/hari (NRC, 2006). Konsumsi Ca untuk ternak yang sedang bunting pada penelitian Abdelrahman (2008) sebesar 6,52-8,10 g/ekor/hari. Menurut Abdelrahman (2008), domba dalam kondisi bunting tua yang mengkonsumsi Ca dan P dalam jumlah tinggi akan meningkatkan bobot lahir dan daya hidup anak. Bobot lahir anak domba berdasarkan penelitian Abdelrahman (2008) berkisar 4870-5400 g/ekor. Menurut Inounu et al. (1993), minimal bobot lahir anak domba mencapai 1500 g/ekor. Berdasarkan penelitian sebelumnya (Santi, 2011) bahwa bobot lahir dari anak berkisar 2640-2850 g/ekor.

Kecernaan

McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan suatu pakan didefinisikan sebagai bagian dari pakan yang tidak diekskresikan melalui feses dan diasumsikan bagian tersebut diserap oleh hewan. Tingkat kecernaan ransum dipengaruhi oleh tingkat konsumsinya, sehingga konsumsi yang tidak berbeda antar perlakuan juga menyebabkan kecernaan yang tidak berbeda (Zain, 1999). Kekurangan zat makanan yang dialami oleh domba pada masa bunting tua dapat menyebabkan kematian fetus dan induk (Binns et al., 2002).

Menurut Puspowardani (2008), kandungan protein dari bahan pakan atau ransum mempengaruhi kecernaan bahan organik ransum. Berdasarkan penelitian Galina et al. (2003) dan Thang et al. (2010), penggunaan jagung dan onggok sebagai bahan pakan sumber energi memberikan pengaruh yang sama terhadap kecernaan bahan organiknya. Kecernaan bahan organik untuk domba bunting yang diberi pakan rumput gajah dan konsentrat komersial berkisar 70,44-75,28% (Musofie et al., 1990). Kecernaan pakan pada ternak ruminansia sangat erat hubungannya dengan jumlah dan aktivitas mikroba dalam rumen. Menurut Siregar (1994), nilai kecernaan protein mempunyai hubungan dengan kondisi populasi mikroba rumen terutama bakteri yang bersifat proteolitik. Semakin tinggi jumlah bakteri proteolitik yang ada


(21)

8 di dalam rumen maka semakin efisien dalam pencernaan proteinnya. Menurut Nurhaita et al. (2010), onggok adalah sumber asam amino rantai bercabang. Asam amino bercabang merupakan sumber kerangka karbon yang dibutuhkan untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri. Tanpa kerangka karbon, amonia tidak bisa digunakan untuk sintesis protein mikroba rumen.

Menurut Katipana (1993), kecernaan energi dan zat makanan lainnya pada ternak bunting lebih tinggi dibandingkan pada ternak yang tidak bunting. Peningkatan kecernaan terjadi karena peningkatan jumlah konsumsi ransum, protein dan energi yang dikonsumsi, bentuk fisik ransum, berkurangnya waktu ruminasi, dan frekuensi pemberian ransum (Katipana, 1993). Kecernaan yang tinggi akan meningkatkan pertambahan bobot badan. Hal ini sesuai dengan data yang diperoleh pada penelitian sebelumnya (Santi, 2011) bahwa pertambahan bobot badan untuk domba bunting yang diberi pakan sumber karbohidrat onggok dan kombinasi sebesar 40 dan 166,67 g/ekor/hari, sedangkan untuk domba bunting yang diberi pakan sumber karbohidrat jagung sebesar 19,44 g/ekor/hari.

Penyerapan Kalsium dan Fosfor

Ternak memerlukan beberapa mineral di dalam pakannya, mineral tersebut terdiri atas makromineral yang dibutuhkan dalam jumlah besar dan mikromineral yang dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit (Gatenby, 1991). Jumlah mineral yang dapat diabsorpsi mengindikasikan ketersediaan mineral dalam pakan yang dikonsumsi, semakin besar jumlah mineral yang dapat diabsorpsi maka ketersediaan mineral dan kualitas pakan tersebut semakin baik (Dias et al., 2008). Makromineral yang sangat dibutuhkan oleh ternak termasuk domba ketika sedang bunting dan laktasi yaitu Kalsium dan Fosfor. Domba umur lepas sapih dengan bobot badan 20-25 kg membutuhkan Ca 2,48-3,1 g/ekor/hari dan mineral P sebesar 1,36-1,70 g/ekor/hari (NRC, 2006). Kebutuhan Ca dan P untuk domba bunting menurut McDowell (2003) sebanding dengan rasio 3:1.

Kalsium adalah mineral esensial untuk perkembangan kerangka badan, pembekuan darah, kontraksi otot syaraf, aktivasi enzim dan permeabilitas membran. Kebutuhan Ca domba bunting meningkat dengan meningkatnya umur kebuntingan. Domba yang sedang bunting seharusnya disuplementasi Ca untuk memenuhi


(22)

9 tingginya kebutuhan elemen esensial dari fetus pada masa bunting tua dan untuk menghindari masalah kesehatan ketika laktasi (McDowell et al., 1993).

Fosfor dalam tubuh ternak dewasa berkisar antara 0,6-0,75% yang terdapat dalam jaringan lunak. Persentase mineral P pada ternak yang baru lahir sangat bervariasi, selama proses pertumbuhan dan mineralisasi tulang konsentrasi fosfor menurun. Penyerapan fosfor sebagian besar terjadi dalam usus halus (McDowell, 2003). Fosfor juga merupakan komponen penyusun tulang dan gigi.

Mineral Ca dan P sangat penting untuk induk domba bunting, jika mineral ini tidak tercukupi di dalam pakan maka untuk mencukupinya tubuh ternak akan mengambil Ca dan P dari tulang (NRC, 2006). Menurut Martin dan Aitken (2000), kandungan kalsium tertinggi dalam tubuh terdapat pada tulang dan gigi sehingga asupan mineral Ca pada ternak perlu diperhatikan. Kekurangan Ca pada fase kebuntingan mengakibatkan pertumbuhan fetus tidak maksimal sehingga dapat menghasilkan bobot lahir yang rendah, bobot lahir sangat menentukan pertambahan bobot badan dan bobot sapih anak domba tersebut (Martin dan Aitken, 2000). Induk yang lumpuh pada saat sedang bunting berakibat buruk pada anak karena asupan air susu terhalang, sehingga dapat mengakibatkan pertumbuhan tulang terhambat dan pertambahan bobot badan yang tidak maksimal (Martin dan Aitken, 2000).

Dias et al. (2008) menyatakan bahwa suplementasi fosfor dalam pakan yang menggunakan jagung dan onggok sebagai sumber karbohidrat untuk domba memberikan pengaruh yang sama terhadap penyerapan fosfor. Berdasarkan hasil penelitian Munawaroh (2006), penyerapan Ca pada domba lebih efisien dibandingkan dengan penyerapan Ca pada kambing yaitu sebesar 62,38% sedangkan kambing hanya 61,78%, namun untuk penyerapan P pada domba masih kurang efisien dibandingkan dengan kambing yaitu 9,05% sedangkan kambing 11,60%. Perbedaan jenis kelamin tidak mempengaruhi penyerapan mineral di dalam tubuh ternak, namun perbedaan lingkungan tempat hidupnya dapat mempengaruhi besar penyerapan mineral. Menurut Partama (2002), efisiensi pemanfaatan zat makanan pada ternak lokal lebih rendah daripada ternak di daerah temperate.


(23)

10 MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang (kandang B) untuk tahap pemeliharaan domba. Suhu rata-rata kandang selama penelitian 24,84 ± 0,970C dan kelembaban rata-rata kandang sebesar 94,00 ± 3,16%. Tahap analisis zat makanan dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang dilaksanakan dari bulan Mei-November 2010.

Materi Ternak Percobaan

Ternak yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari penelitian sebelumnya, yaitu domba lokal bunting sebanyak 9 ekor yang berumur sekitar 1 tahun dengan rata-rata bobot badan awal 20,17 ± 1,20 kg. Domba tersebut dipelihara dari dara hingga bunting dalam kandang individu seperti yang terlihat pada Gambar 3. Domba diperoleh dari Unit Pendidikan Penelitian Peternakan Jonggol (UP3J) Fakultas Peternakan IPB.


(24)

11 Ransum Penelitian

Ransum penelitian disusun dengan iso energi dan iso protein dengan kadar TDN 65% dan protein 16% yang disusun berdasarkan NRC (2006). Ransum yang digunakan terdiri atas rumput lapang dan konsentrat dengan perbandingan 30:70 dan air diberikan secara ad libitum. Kandungan bahan pakan penyusun ransum yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Komposisi bahan makanan ransum penelitian disajikan pada Tabel 2. Kandungan zat makanan ransum tercantum pada Tabel 3.

Tabel 1. Kandungan Bahan Pakan Penyusun Ransum Berdasarkan 100% BK

Zat Makanan Bahan Pakan

Jagung Onggok Bk. Kelapa Rumput

Bahan Kering (%) 88,16 90,91 89,04 19,01

Abu (%) 2,23 10,46 7,90 5,73

Protein Kasar (%) 8,94 2,20 21,68 11,84

Lemak Kasar (%) 1,57 2,07 8,03 5,37

Serat Kasar (%) 4,14 7,35 27,72 23,20

Beta-N (%) 83,12 77,92 34,68 53,87

Ca (%) 0,39 0,64 0,94 0,32

P (%) 0,40 0,29 0,71 0,05

TDN** (%) 85,97 77,34 59,46 63,79

GE (kal/g) 4464,61 3666,26 4904,54 6754,34

Keterangan : *) Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB (2010). **). Hasil perhitungan menurut Hartadi et al. (1997). GE : Gross Energy, TDN : Total Digestibility Nutrient.

Tabel 2. Komposisi Bahan Makanan Ransum Penelitian

Bahan Pakan Ransum Penelitian

P1 P2 P3

--- (%) --- Rumput

Jagung

30,50 20,62

29,50 -

30,10 8,77

Onggok - 17,67 8,25

Bungkil Kelapa 46,00 50,55 51,60

CaCO3 2,60 2,00 1,00

Garam 0,14 0,14 0,14

Premix 0,14 0,14 0,14

Keterangan : P1 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung, P2 : ransum dengan sumber karbohidrat onggok, P3 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok.


(25)

12 Tabel 3. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Berdasarkan BK*

Keterangan : *) Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, IPB (2010). **). Hasil perhitungan menurut Hartadi et al. (1997). P1 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung, P2 : ransum dengan sumber karbohidrat onggok, P3 : ransum dengan

sumber karbohidrat jagung dan onggok. GE : Gross Energy, TDN : Total

Digestibility Nutrient.

Kandang dan Peralatan

Pemeliharaan domba dilakukan selama 3 bulan di dalam kandang individu yang berukuran 125x55x110 cm. Peralatan yang digunakan selama pemeliharaan adalah hygrometer untuk mengukur suhu dan kelembaban dalam kandang, timbangan gantung kapasitas 50 kg untuk menimbang bobot badan, timbangan duduk kapasitas 2 kg untuk menimbang hijauan, timbangan digital untuk menimbang pakan konsentrat dan sisa pakan, tempat pakan, ember air minum, alas dari bambu untuk koleksi feses. Peralatan yang digunakan untuk analisis sampel yaitu satu unit alat destruksi dan destilasi untuk analisis protein, satu unit bomb kalorimeter untuk analisis energi, dan satu unit AAS untuk analisis mineral.

Prosedur Pemeliharaan

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan sehingga tidak dilakukan preliminary lagi. Pemeliharaan domba dilakukan selama 3 bulan pada domba betina lokal bunting yang dipelihara dalam kandang individu. Domba ditimbang setiap 1 bulan sekali untuk mengetahui perubahan bobot badannya. Pakan diberikan pada pagi dan siang hari. Konsumsi pakan dan sisa pakan diukur setiap hari.

Zat Makanan Perlakuan

P1 P2 P3

Bahan Kering (%) 67,83 68,96 68,18

Abu (%)

Protein Kasar (%)

6,45 16,01 7,54 15,95 6,86 16,50

Lemak Kasar (%) 6,25 6,26 6,07

Serat Kasar (%) 21,27 22,15 22,25

Beta-N (%) 50,02 48,10 48,32

Ca (%) P (%) TDN** (%) GE (kal/g) 1,65 0,42 65,37 5231,41 1,72 0,42 65,52 5119,86 1,71 0,44 66,16 5257,08


(26)

13 Pengukuran Kecernaan Zat Makanan (McDonald et al., 2002)

Pengumpulan (koleksi) feses dilakukan selama tiga hari pada domba dengan umur kebuntingan 120 hari yang bertujuan untuk mengetahui kandungan zat makanan yang keluar melalui feses. Saat koleksi feses, ternak diberi alas bambu agar feses tidak langsung jatuh ke alas papan. Feses yang keluar langsung ditampung agar tidak bercampur dengan urin. Feses diambil setelah koleksi 24 jam kemudian ditimbang dan diaduk (dihomogenkan) untuk diambil sebagai sampel ±10% dari total feses. Sampel feses dijemur dan dimasukkan ke dalam kantung kertas yang diberi label untuk dilakukan analisa lebih lanjut. Sampel dimasukkan ke oven suhu 60oC, kemudian ditimbang hingga bobot konstan. Setelah kering udara sampel dihaluskan dengan mortar kemudian dikomposit. Sampel dipisahkan ke dalam plastik untuk analisa proksimat (kadar air, kadar abu, protein kasar), analisis energi, dan analisis mineral Ca dan P. Analisa bahan kering dilakukan dengan menimbang ±5 gram sampel lalu dimasukkan ke cawan porselen kemudian dimasukkan ke oven suhu 105oC selama ±24 jam. Sampel dikeluarkan dari oven, lalu sampel dimasukkan ke dalam eksikator, dan ditimbang hingga bobotnya konstan.

Analisis Proksimat

Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan zat makanan dari masing-masing bahan pakan dan feses, meliputi kadar air, kadar abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar, energi, Ca, dan P.

Analisa Protein

Analisa kadar protein menggunakan metode Kjeldahl (AOAC, 1990). Sampel sebanyak 1,5-2 gram ditimbang kemudian dimasukkan dalam labu Kjeldahl. Sampel yang ada dalam labu Kjeldahl didestruksi dengan dipanaskan dalam ruang asam selama 1,5-2 jam hingga warna larutan berubah dari coklat kehitaman menjadi hijau bening. Larutan yang sudah berwarna hijau bening didiamkan hingga dingin, setelah itu larutan diencerkan menggunakan aquadest. Setelah proses pengenceran, larutan didestilasi dengan tahap awal memasukkan 5 ml asam borak dalam tabung Erlenmeyer dan tambahkan aqua bidestila ±3 tetes hingga larutan berubah warnanya menjadi merah muda. Posisikan larutan dalam Erlenmeyer tersebut pada rangkaian alat destilasi dan panaskan hingga larutan asam borak berubah warna dari merah muda menjadi hijau bening. Larutan asam borak yang sudah selesai didestilasi


(27)

14 kemudian dititrasi hingga berubah warna dari hijau bening menjadi merah muda menggunakan buret yang berisikan HCl.

Analisa Mineral Kalsium dan Fosfor

Analisis mineral kalsium dan fosfor dilakukan dengan AAS (AOAC, 1995). Analisis dilakukan dengan metode pangabuan basah dan membaca nilainya pada spektrofotometer. Sampel yang akan dibaca dalam spektrofotometer dipreparasi terlebih dahulu. Sampel sebanyak ±1 gram dimasukkan ke dalam Erlenmeyer. Ditambahkan 10 ml HNO3 pekat dan didiamkan dalam ruang asam selama 1 jam. Erlenmeyer tersebut dipanaskan dengan temperatur rendah selama 4-6 jam di dalam ruang asam, kemudian sampel dibiarkan selama semalam. Sampel yang sudah didiamkan selama semalam, kemudian ditambahkan 0,8 ml H2SO4 pekat dan dipanaskan selama 1 jam sampai larutan terlihat lebih pekat. Ditambahkan 2-3 tetes larutan campuran HClO4 dan HNO3 ke dalam Erlenmeyer. Pemanasan terus dilanjutkan sampai ada perubahan warna dari coklat menjadi kuning muda. Setelah ada perubahan warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit, kemudian sampel didinginkan dan ditambahkan 2 ml aquadest dan 0,6 ml HCl pekat. Sampel dipanaskan kembali sampai larut (±15 menit) kemudian dimasukkan ke dalam labu takar sambil disaring agar dapat dipisahkan endapannya dan diencerkan dengan aquadest. Hasil ini kemudian dianalisa di AAS atau spektrofotometer untuk dapat diketahui nilai kandungan mineral Ca dan P yang terdapat dalam sampel. Sampel yang sudah dipreparasi dimasukkan dalam spektrofotometer untuk dibaca nilai kandungan mineralnya. Mineral Ca dapat dibaca dalam spektrofotometer dengan panjang gelombang 422,7 nm, sedangkan mineral P dibaca dengan panjang gelombang 660 nm.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 3 ulangan.

Perlakuan

Perlakuan yang diberikan adalah 3 jenis ransum dengan sumber karbohidrat berbeda, yaitu:


(28)

15 P1 = Ransum dengan sumber karbohidrat jagung

P2 = Ransum dengan sumber karbohidrat onggok

P3 = Ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok Model

Model matematik yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie, 1993):

Xij = + i + ij Keterangan :

 = Rataan umum pengamatan

i = Pengaruh pemberian ransum (i = 1, 2, 3)

ij = Pengaruh galat ransum ke-i dan ulangan ke-j (j = 1, 2, 3) Peubah yang Diamati

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Konsumsi Pakan (g/ekor/hari)

Konsumsi pakan dihitung dari selisih pemberian dikurangi sisa, sedangkan konsumsi pakan per ekor per hari selama penelitian diperoleh dari konsumsi total selama penelitian dibagi lama penelitian (90 hari).

Konsumsi pakan (g) = pemberian (g) - sisa (g)

Konsumsi selama penelitian (g/ekor) Konsumsi pakan (g/ekor/hari) =

Lama penelitian (hari) 2. Kecernaan : Bahan Kering, Bahan Organik, Protein, dan Energi (%)

Kecernaan dihitung berdasarkan persentase dari selisih antara zat makanan (ZM) yang dikonsumsi dengan sisa zat makanan (ZM) yang dikeluarkan melalui feses dibagi dengan zat makanan (ZM) yang dikonsumsi dikali 100%.

Σ konsumsi ZM –Σ ZM feses

Kecernaan ZM (%) = x 100%

Σ konsumsi ZM 3. Absorpsi Kalsium dan Fosfor

Absorpsi kalsium dan fosfor dihitung berdasarkan selisih antara kalsium atau fosfor yang dikonsumsi dengan kalsium atau fosfor sisa yang dikeluarkan melalui feses.


(29)

16 Absorpsi mineral = Σ konsumsi Ca/P –Σ Ca/P dalam feses

Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis menggunakan analisa ragam (ANOVA) dan bila terjadi perbedaan dilanjutkan dengan Uji Kontras Orthogonal (Mattjik dan Sumertajaya, 2002).


(30)

17 HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsumsi Zat Makanan

Konsumsi ransum pada penelitian ini dihitung berdasarkan berat yang dikonsumsi per ekor dan per bobot badan metabolik (BB0,75). Rataan konsumsi zat makanan selama penelitian disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Konsumsi Zat Makanan Penelitian

Keterangan : P1 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung, P2 : ransum dengan sumber karbohidrat onggok, P3 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok.

Konsumsi Bahan Kering

Kemampuan ternak untuk mengkonsumsi bahan kering (BK) berhubungan erat dengan kapasitas fisik lambung dan saluran pencernaan secara keseluruhan (Parakkasi, 1999). Berdasarkan hasil analisa statistik pemberian pakan dengan sumber karbohidrat berasal dari jagung dan onggok serta kombinasinya tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap konsumsi BK domba bunting selama penelitian. Konsumsi BK domba bunting selama penelitian berkisar antara 477,45-498,65 g/ekor/hari atau 46,83-49,47 g/BB0,75/hari. Tidak adanya perbedaan konsumsi BK menunjukkan bahwa palatabilitas dari ketiga macam ransum yang diberikan sama. Konsumsi BK yang tidak berbeda dipengaruhi juga oleh kandungan protein

Zat Makanan Perlakuan

P1 P2 P3

Bahan Kering (BK) g/ekor/hari g/BB0,75/hari

477,45 ± 40,43 46,83 ± 1,87

498,65 ± 15,44 49,47 ± 1,82

490,95 ± 49,43 47,46 ± 4,15 Bahan Organik (BO)

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

447,72 ± 37,85 43,92 ± 1,75

462,15 ± 14,17 45,85 ± 1,70

457,61 ± 45,96 44,23 ± 3,85 Protein Kasar (PK)

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

76,21 ± 6,98 7,47 ± 0,34

76,20 ± 2,67 7,56 ± 0,25

77,30 ± 8,20 7,47 ± 0,70 Energi

kal/ekor/hari kal/BB0,75/hari

26.065,21 ± 2044,98 2.557,35 ± 90,38

26.396,21 ± 687,57 2.619,21 ± 107,34

26.200,21 ± 2497,41 2.532,58 ± 203,91 Ca

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

6,04 ± 0,63 0,59 ± 0,03

6,70 ± 0,30 0,66 ± 0,02

6,54 ± 0,77 0,63 ± 0,07 P

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

1,95 ± 0,21 0,19 ± 0,01

2,05 ± 0,10 0,20 ± 0,01

2,06 ± 0,25 0,20 ± 0,02


(31)

18 kasar (PK) ransum yang hampir sama. Menurut Okmal (1993), kandungan protein kasar ransum mempengaruhi nilai konsumsi BK. Jadi kandungan PK yang tinggi akan menyebabkan konsumsi BK juga tinggi.

Konsumsi BK pada penelitian ini hanya sekitar 2,5% dari bobot badan. Konsumsi BK yang diperoleh dari hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan standar NRC (2006) yaitu domba dengan bobot badan 20-30 kg membutuhkan bahan kering sekitar 3% dari bobot badannya yaitu sekitar 600-900 g/ekor/hari dan lebih rendah juga dari hasil penelitian Annett et al. (2008) yaitu sebesar 817-1015 g/hari. Perbedaan konsumsi BK disebabkan penggunaan bahan pakan dan komposisi kimia pakan yang berbeda. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa faktor pakan yang mempengaruhi konsumsi BK untuk ruminansia antara lain sifat fisik dan komposisi kimia pakan. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok, sedangkan pakan pada penelitian Annett et al. (2008) adalah pakan yang berasal dari silase rumput dan konsentrat barley + bungkil kedelai.

Konsumsi Bahan Organik

Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak mempengaruhi konsumsi bahan organik (BO) (Tabel 4) pada domba bunting. Konsumsi BO yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 447,72-462,15 g/ekor/hari atau 43,92-45,85 g/BB0,75/hari. Besarnya konsumsi bahan organik yang tidak berbeda disebabkan oleh konsumsi bahan kering yang tidak berbeda. Konsumsi bahan kering mempunyai korelasi yang positif terhadap konsumsi bahan organik, hal ini disebabkan karena zat-zat yang terkandung dalam bahan organik terdapat pula pada bahan kering (Imansyah, 2008). Besarnya konsumsi yang tidak berbeda pada domba bunting menunjukkan bahwa pakan yang diberikan memiliki tingkat palatabilitas yang sama sehingga dapat dikatakan bahwa jagung dan onggok serta kombinasinya memiliki kualitas yang sama.

Konsumsi BO pada penelitian ini masih lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Musofie et al. (1990) bahwa konsumsi BO untuk domba bunting berkisar 684-795 g/ekor/hari. Perbedaan konsumsi BO disebabkan penggunaan bahan pakan yang berbeda. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok, sedangkan pakan


(32)

19 pada penelitian Musofie et al. (1990) adalah pakan yang berasal dari rumput gajah dan konsentrat komersial. Perbedaan pakan yang diberikan juga mempengaruhi tingkat konsumsi domba bunting karena berhubungan dengan palatabilitas dari pakan.

Konsumsi Protein Kasar

Protein kasar merupakan unsur penting dalam tubuh hewan dan diperlukan terus menerus untuk memperbaiki sel dalam proses sintesis. Protein sangat diperlukan untuk pertumbuhan, reproduksi dan produksi susu (Sudono, 1999). Berdasarkan hasil analisa statistik pemberian pakan dengan sumber karbohidrat berasal dari jagung dan onggok serta kombinasinya tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap konsumsi PK domba bunting selama penelitian. Hasil konsumsi PK yang didapatkan berkisar 76,20-77,30 g/ekor/hari atau 7,47-7,56 g/BB0,75/hari. Konsumsi PK yang tidak berbeda disebabkan oleh konsumsi BK dan BO yang tidak berbeda. Konsumsi BK dan BO mempunyai korelasi yang positif terhadap konsumsi PK karena PK merupakan bagian dari bahan kering dan bahan organik.

Konsumsi PK yang diperoleh dari hasil penelitian ini dikatakan normal karena berada pada kisaran standar NRC (2006) yaitu untuk domba bunting dengan bobot badan 20-25 kg mengkonsumsi PK sebesar 70-87,50 g/ekor/hari, namun masih lebih rendah dari hasil penelitian Annett et al. (2008) yaitu sebesar 135-158 g/hari. Perbedaan konsumsi PK disebabkan penggunaan bahan pakan dan kandungan PK pakan yang berbeda. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan dengan kandungan PK sekitar 16%, pakan pada penelitian Annett et al. (2008) adalah dengan kandungan PK 19,70%. Perbedaan konsumsi PK juga dapat disebabkan karena adanya perbedaan ukuran tubuh dari domba yang digunakan. Siregar (1984) menyatakan bahwa jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas, dan lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara juga mempengaruhi tingkat konsumsi. Domba bunting yang digunakan dalam penelitian ini memiliki bobot badan 20,17 kg, sedangkan bobot badan domba bunting yang digunakan oleh Annett et al. (2008) yaitu 77 kg.

Konsumsi Energi

Konsumsi energi sangat penting bagi tubuh ternak, karena energi dibutuhkan untuk semua aktivitas ternak. Ternak yang mengalami defisiensi energi akan


(33)

20 menggunakan cadangan energi dari tubuhnya. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa perlakuan selama penelitian tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap konsumsi energi domba bunting. Konsumsi energi domba bunting selama penelitian berkisar antara 26065,21-26396,21 kal/ekor/hari atau 2532,58-2619,21 kal/BB0,75/hari. Konsumsi energi yang tidak berbeda menunjukkan bahwa penggunaan bahan pakan sumber karbohidrat berasal dari jagung dan onggok dalam penelitian ini memiliki tingkat palatabilitas yang sama. Besarnya konsumsi energi menunjukkan palatabilitas dan nilai kualitas pakan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) bahwa palatabilitas mempengaruhi jumlah pakan yang dikonsumsi. Palatabilitas yang hampir sama antara ransum yang diberikan diduga disebabkan karena mempunyai keadaan fisik yang relatif sama.

Konsumsi energi pada penelitian ini sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh Thang et al. (2010) dan Browne et al. (2005) bahwa penggunaan jagung dan onggok sebagai bahan pakan sumber energi pada ruminansia memberikan pengaruh yang sama terhadap konsumsi energinya. Konsumsi energi pada penelitian ini lebih tinggi dari yang disarankan NRC (2006) bahwa konsumsi energi untuk induk domba bunting dengan bobot badan 20-25 kg berkisar antara 19200-24000 kal/ekor/hari. Tingginya konsumsi energi pada penelitian ini dibandingkan dengan standar NRC (2006) karena adanya perbedaan keadaan lingkungan. Menurut Partama (2002), efisiensi pemanfaatan zat makanan dari pakan yang dikonsumsi oleh ternak lokal lebih rendah daripada ternak di daerah temperate. Oleh karena itu, konsumsi pada penelitian ini masih kurang efisien bila dibandingkan dengan standar NRC (2006). Konsumsi Ca dan P

Konsumsi mineral Ca dan P berdasarkan Tabel 4 yaitu berkisar antara 6,04-6,70 g/ekor/hari dan 1,95-2,06 g/ekor/hari. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap konsumsi Ca dan P domba bunting. Konsumsi Ca dan P yang tidak berbeda pada penelitian ini sejalan dengan konsumsi BK yang tidak berbeda juga. Konsumsi Ca dan P dipengaruhi oleh besarnya kandungan Ca dan P dalam ransum dan palatabilitas dari ransum yang diberikan. Konsumsi Ca dan P pada penelitian ini sudah sesuai dengan standar NRC (2006) bahwa konsumsi Ca dan P untuk domba bunting berkisar antara 4-6,70 g/ekor/hari dan 1,90-3,20 g/ekor/hari. Hal ini berarti bahwa


(34)

21 kebutuhan domba bunting pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan domba bunting berdasarkan NRC (2006).

Konsumsi Ca pada penelitian ini masih lebih rendah dari yang dinyatakan oleh Abdelrahman (2008) bahwa konsumsi Ca untuk domba yang sedang bunting besarnya 6,75-9,88 g/ekor/hari. Abdelrahman (2008) menyatakan bahwa domba dalam kondisi bunting tua yang mengkonsumsi Ca dan P dalam jumlah tinggi akan meningkatkan bobot lahir dan daya hidup anak. Berdasarkan penelitian Abdelrahman (2008) didapatkan bahwa bobot lahir anak mencapai 4870-5400 g/ekor. Domba bunting pada penelitian ini mengkonsumsi Ca sebesar 6,04-6,70 g/ekor/hari dan memiliki bobot lahir anak berkisar 2640-2850 g/ekor (Santi, 2011). Hal ini membuktikan bahwa konsumsi Ca dan P yang tinggi pada induk domba dapat meningkatkan bobor lahir anak.

Kecernaan Zat Makanan Kecernaan Bahan Kering

Nilai konsumsi bahan kering, bahan kering feses, dan kecernaan bahan kering pada domba bunting tercantum pada Tabel 5. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa pemberian ransum sumber karbohidrat berasal dari jagung, onggok, dan kombinasinya tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kecernaan bahan kering domba bunting.

Tabel 5.Konsumsi Bahan Kering, Bahan Kering Feses, dan Kecernaan Bahan Kering

Peubah Perlakuan

P1 P2 P3

Konsumsi BK

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

BK Feses

g/ekor/hari3) g/BB0,75/hari3)

BK Tercerna

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

Koefisien Cerna

Bahan Kering (%)

454,77 ± 57,42 44,48 ± 2,18 158,85 ± 5,68 15,66 ± 1,56 295,92 ± 59,78

28,83 ± 3,71 64,63 ± 5,27

456,02 ± 47,31 45,10 ± 1,69 154,04 ± 11,96

15,25 ± 0,23 301,98 ± 35,38

29,85 ± 1,50 66,16 ± 0,87

463,78 ± 16,50 44,86 ± 0,64 143,31 ± 4,14 13,86 ± 0,33 320,47 ± 15,41

29,98 ± 1,39 69,08 ± 1,14

Keterangan : P1: ransum dengan sumber karbohidrat jagung, P2: ransum dengan sumber karbohidrat onggok, P3: ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok. BK = Bahan Kering.


(35)

22 Rataan kecernaan bahan kering pada penelitian ini berkisar 64,63-69,08%. Kecernaan bahan kering yang tidak berbeda sejalan dengan konsumsi bahan kering yang juga tidak berbeda. Hal ini sesuai dengan pendapat Zain (1999) bahwa tingkat konsumsi ransum mempengaruhi kecernaan, sehingga konsumsi yang tidak berbeda antar perlakuan juga menyebabkan kecernaan yang tidak berbeda.

Kecernaan bahan kering yang tidak berbeda juga diduga karena ketersediaan zat makanan tersebut di dalam ransum relatif sama. Ketersediaan bahan kering dan zat makanan lainnya sangat dibutuhkan oleh domba bunting, terutama pada masa bunting tua. Kekurangan zat makanan yang dialami oleh domba pada masa bunting tua dapat menyebabkan kematian fetus dan induk (Binns et al., 2002).

Kecernaan Bahan Organik

Data pada Tabel 6 memperlihatkan besarnya konsumsi bahan organik, bahan organik feses, dan kecernaan bahan organik oleh induk domba pada saat bunting. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak mempengaruhi kecernaan bahan organik domba bunting.

Tabel 6. Konsumsi Bahan Organik, Bahan Organik Feses dan Kecernaan Bahan Organik

Peubah Perlakuan

P1 P2 P3

Konsumsi BO

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

BO Feses

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

BO Tercerna

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

Koefisien Cerna

Bahan Organik (%)

426,13 ± 53,80 41,68 ± 2,04 132,65 ± 13,70

13,11 ± 2,16 293,48 ± 61,65

28,58 ± 4,02 68,36 ± 6,70

421,99 ± 43,73 41,73 ± 1,56 141,31 ± 14,67

13,98 ± 0,56 280,69 ± 29,20

27,76 ± 1,04 66,51 ± 0,42

431,99 ± 15,26 41,78 ± 0,59 122,07 ± 14,42

11,80 ± 1,20 309,92 ± 14,60

29,98 ± 1,39 71,76 ± 2,95

Keterangan : P1: ransum dengan sumber karbohidrat jagung, P2: ransum dengan sumber karbohidrat onggok, P3: ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok. BO = Bahan Organik.

Nilai kecernaan BO berkisar 66,51-71,76%. Kecernaan BO yang tidak berbeda diduga sejalan dengan nilai kecernaan BK. Kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, dan protein kasar nilainya berbanding lurus. Hal ini


(36)

23 disebabkan karena kandungan bahan organik suatu bahan pakan terakumulasi di dalam bahan keringnya. Kecernaan bahan organik yang tidak berbeda menunjukkan bahwa secara kualitas dari ketiga ransum perlakuan yang digunakan sama.

Kecernaan bahan organik yang tidak berbeda juga dapat dipengaruhi oleh komposisi pakannya. Menurut Puspowardani (2008), kandungan PK dari bahan pakan atau ransum perlakuan mempengaruhi kecernaan bahan organik ransum. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa besarnya kandungan protein kasar (PK) dari ransum yang digunakan adalah 16,01%, 15,95%, dan 16,50% yang memberikan pengaruh yang relatif sama terhadap kecernaan bahan organik. Kecernaan bahan organik yang tidak berbeda diduga juga dipengaruhi oleh kandungan PK yang hampir sama dari ransum yang digunakan.

Hasil yang didapatkan pada penelitian ini sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh Galina et al. (2003) dan Thang et al. (2010) bahwa penggunaan jagung dan onggok sebagai bahan pakan sumber energi memberikan pengaruh yang sama terhadap kecernaan bahan organiknya. Kecernaan bahan organik pada penelitian ini masih lebih rendah dari hasil yang didapatkan oleh Musofie et al. (1990) bahwa kecernaan bahan organik untuk domba bunting berkisar 70,44-75,28%. Perbedaan kecernaan BO disebabkan penggunaan bahan pakan yang berbeda. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok, sedangkan pakan pada penelitian Musofie et al. (1990) adalah pakan yang berasal dari rumput gajah dan konsentrat komersial. Kecernaan Protein Kasar

Nilai konsumsi protein kasar, protein kasar feses, dan kecernaan protein kasar domba bunting dapat dilihat pada Tabel 7. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa pemberian ransum sumber karbohidrat berasal dari jagung dan onggok tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kecernaan protein kasar domba bunting. Nilai kecernaan PK domba bunting berkisar 57,71-70,79%. Kecernaan PK yang tidak berbeda diduga karena nilai kecernaan BK dan BO juga tidak berbeda. Kecernaan bahan organik dan kecernaan protein kasar nilainya berbanding lurus, sehingga kandungan protein kasar suatu bahan pakan terakumulasi di dalam bahan organiknya.


(37)

24 Tabel 7. Konsumsi Protein Kasar, Protein Kasar Feses, dan Kecernaan Protein Kasar

Peubah Perlakuan

P1 P2 P3

Konsumsi PK

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

PK Feses

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

PK Tercerna

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

Koefisien Cerna

Protein Kasar (%)

75,32 ± 9,63 7,07 ± 0,33 23,21 ± 6,12

2,31 ± 0,79 52,11 ± 15,01

5,05 ± 1,14 68,21 ± 12,56

71,09 ± 7,49 6,62 ± 0,26 30,29 ± 9,40

2,98 ± 0,82 40,80 ± 7,05

4,05 ± 0,76 57,71 ± 11,37

74,12 ± 3,04 6,59 ± 0,33 21,54 ± 7,78

2,09 ± 0,77 52,59 ± 9,47

5,08 ± 0,88 70,79 ± 11,32

Keterangan : P1 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung, P2 : ransum dengan sumber karbohidrat onggok, P3 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok. PK = Protein Kasar

Berdasarkan Tabel 7, meskipun kecernaan protein pada domba bunting tidak berbeda, namun domba yang diberi ransum sumber karbohidrat dari onggok memiliki kecernaan protein yang paling rendah. Hal ini diduga karena tingginya kandungan bungkil kelapa yang ada dalam ransum. Tingginya bungkil kelapa diduga mempengaruhi aktivitas mikroba dalam rumen karena tingginya kandungan asam lemak jenuh didalamnya. Menurut Sumiyanah (2001), kandungan asam lemak jenuh dalam bungkil kelapa mencapai 91,8%. Tingginya kandungan asam lemak jenuh dapat mempengaruhi aktivitas mikroba rumen dan menekan jumlah populasinya (Bhatt et al., 2011). Kecernaan pakan pada ternak ruminansia sangat erat hubungannya dengan jumlah dan aktivitas mikroba dalam rumen. Menurut Siregar (1994), nilai kecernaan protein mempunyai hubungan dengan kondisi populasi mikroba rumen terutama bakteri yang bersifat proteolitik. Semakin tinggi jumlah bakteri proteolitik yang ada di dalam rumen maka semakin efisien dalam pencernaan proteinnya.

Kecernaan Energi

Nilai konsumsi energi, energi feses, dan kecernaan energi domba bunting dapat dilihat dalam Tabel 8. Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa konsumsi energi selama pengukuran tidak memberikan pengaruh yang berbeda. Berdasarkan hasil


(38)

25 analisa statistik, perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap energi yang diekskresikan melalui feses.

Tabel 8. Konsumsi Energi, Energi Feses, dan Kecernaan Energi

Peubah Perlakuan

P1 P2 P3

Konsumsi Energi

kal/ekor/hari kal/ BB0,75/hari

Energi Feses

kal/ekor/hari* kal/ BB0,75/hari*

Energi Tercerna

kal/ekor/hari kal/ BB0,75/hari

Koefisien Cerna

Energi (%)*

23.971,96 ± 2.989,76 2.344,98 ± 111,23 6.291,66 ± 306,66a 620,90 ± 76,99a 17.680,30 ± 3.203,84

1.724,08 ± 185,31 73,38 ± 4,61b

23.545,22 ± 2.394,30 2.328,69 ± 82,30 5.260,00 ± 505,85b

520,37 ± 16,41b 18.285,23 ± 1.890,01

1.808,32 ± 66,51 77,65 ± 0,21a

24.349,85 ± 720,68 2.355,20 ± 19,91 4.550,26 ± 341,73b

440,00 ± 28,25c 19.799,59 ± 653,99

1.915,19 ± 41,91 81,31 ± 1,29a

Keterangan : P1 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung, P2 : ransum dengan sumber karbohidrat onggok, P3 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok. *) Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0,01).

Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa pemberian ransum sumber karbohidrat berasal dari jagung dan onggok memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) terhadap kecernaan energi untuk domba bunting selama penelitian. Nilai kecernaan energi pada penelitian ini berkisar 73,38-81,31% (Tabel 8). Menurut Katipana (1993), kecernaan energi dan zat makanan lainnya pada ternak bunting lebih tinggi dibandingkan pada ternak yang tidak bunting. Peningkatan kecernaan terjadi karena peningkatan jumlah konsumsi ransum, protein dan energi yang dikonsumsi, bentuk fisik ransum, berkurangnya waktu ruminasi, dan frekuensi pemberian ransum (Katipana, 1993).

Berdasarkan hasil analisa statistik, domba bunting yang diberi pakan sumber karbohidrat jagung dengan harga ransum Rp 2.100/kg memberikan kecernaan energi yang lebih rendah dibandingkan dengan domba bunting yang diberi pakan sumber karbohidrat onggok dan kombinasi jagung + onggok dengan harga ransumnya Rp 1600/kg dan Rp 2000/kg. Kecernaan energi domba bunting yang diberi pakan sumber karbohidrat jagung lebih rendah dibanding onggok dan kombinasi jagung + onggok karena adanya perbedaan struktur karbohidrat berupa pati. Struktur pati pada pakan onggok dan kombinasi jagung + onggok diduga lebih mudah untuk diurai dan


(39)

26 diserap daripada pati pada pakan jagung. Pati dalam jagung dan onggok berupa amilosa dan amilopektin, sehingga pati pada pakan kombinasi jagung + onggok juga merupakan kombinasi amilosa + amilopektin. Menurut Richana dan Suarni (2010), struktur pati yang dominan terdapat dalam jagung berupa amilosa yang memiliki ikatan α tidak bercabang. Struktur pati dalam onggok yang dominan berupa amilopektin yang memiliki ikatan α bercabang. Amilosa merupakan polimer rantai lurus yang dibangun oleh ikatan α-(1,4)- glikosidik dan pada setiap rantai terdapat 500-2000 unit D-glukosa (Estiasih, 2006). Amilopektin adalah polimer berantai cabang dengan ikatan α-(1,4)-glikosidik dan ikatan α-(1,6)-glikosidik di tempat percabangannya (Ben et al., 2007). Pati dalam bentuk amilopektin lebih mudah untuk dicerna dibandingkan dalam bentuk amilosa (Tisnadjaja, 1996), hal ini juga didukung oleh pernyataan Thang et al. (2010) bahwa kandungan pati dalam onggok lebih mudah dicerna dibandingkan dengan kandungan pati dalam jagung, sehingga domba bunting yang diberi pakan yang berbahan baku onggok memiliki nilai kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan domba bunting yang diberi pakan berbahan baku jagung.

Kecernaan pakan pada ternak ruminansia sangat erat hubungannya dengan jumlah dan aktivitas mikroba dalam rumen. Nilai kecernaan energi domba bunting yang diberi pakan sumber karbohidrat jagung nyata lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 8). Hal ini merupakan gambaran rendahnya aktivitas dan jumlah mikroba di dalam rumen. Aktivitas mikroba rumen terutama dipengaruhi oleh tingginya protein dan karbohidrat pakan yang digunakan untuk membentuk protein mikroba. Sumbangan protein yang cukup tinggi dari bungkil kelapa belum mampu meningkatkan pertumbuhan bakteri dalam rumen akibat tidak cukup tersedianya zat makanan lain untuk pertumbuhan mikroba, hal ini membuktikan bahwa untuk pertumbuhan bakteri dalam pakan tidak hanya membutuhkan nitrogen saja tetapi harus diikuti dengan penambahan nutrisi lain seperti energi, mineral dan asam amino.

Menurut Nurhaita et al. (2010), onggok adalah sumber asam amino rantai bercabang. Asam amino bercabang merupakan sumber kerangka karbon yang dibutuhkan untuk menstimulasi pertumbuhan bakteri. Tanpa kerangka karbon, amonia tidak bisa digunakan untuk sintesis protein mikroba rumen. Meningkatnya populasi dan aktivitas mikroba rumen juga tercermin pada peningkatan kecernaan


(40)

27 energi domba bunting. Peningkatan kecernaan pada domba bunting juga meningkatkan pertambahan bobot badan induk saat bunting dan bobot badan anak saat sapih. Hal ini didukung oleh data pada penelitian sebelumnya (Santi, 2011) bahwa pertambahan bobot badan untuk domba bunting yang diberi pakan sumber karbohidrat onggok dan kombinasi jagung + onggok sebesar 40 dan 166,67 g/ekor/hari, sedangkan untuk domba bunting yang diberi pakan sumber karbohidrat jagung sebesar 19,44 g/ekor/hari. Bobot badan anak saat sapih pada induk domba yang diberi pakan jagung, onggok, dan kombinasi jagung + onggok secara berturut-turut sebesar 10,50 kg/ekor, 11,25 kg/ekor, dan 10,90 kg/ekor.

Absorpsi Mineral Absorpsi Mineral Kalsium (Ca)

Konsumsi mineral Ca, mineral Ca feses, dan absorpsi mineral Ca pada induk domba bunting disajikan pada Tabel 9. Hasil analisa statistik untuk absorpsi mineral Ca menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata (P>0,05), hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan mineral Ca dalam ransum yang diberikan relatif sama (Tabel 3). Tabel 9. Konsumsi Mineral Ca, Mineral Ca Feses, dan Absorpsi Mineral Ca

Peubah Perlakuan

P1 P2 P3

Konsumsi Ca

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

Ca Feses

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

Absorpsi Ca

g/ekor/hari (%)

6,38 ± 0,83 0,62 ± 0,03 2,13 ± 0,63 0,21 ± 0,07 4,25 ± 1,28 65,73 ± 12,50

6,54 ± 0,71 0,65 ± 0,03 2,18 ± 0,32 0,22 ± 0,03 4,37 ± 0,51 66,73 ± 3,46

6,47 ± 0,34 0,63 ± 0,02 1,67 ± 0,43 0,16 ± 0,04 4,80 ± 0,41 74,31 ± 6,32

Keterangan : P1 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung, P2 : ransum dengan sumber karbohidrat onggok, P3 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok.

Rataan absorpsi Ca berdasarkan Tabel 9 berkisar antara 4,25-4,80 g/ekor/hari. Penyerapan Ca selama penelitian ini sudah sesuai bila dibandingkan dengan NRC (2006) bahwa domba bunting yang memiliki bobot badan 20-25 kg membutuhkan mineral Ca dalam jumlah 4-6,70 g/ekor/hari.

Penyerapan kalsium yang sudah sesuai dalam penelitian ini sangat dibutuhkan oleh domba bunting, hal ini terjadi karena Kalsium adalah mineral


(41)

28 esensial untuk perkembangan kerangka badan, pembekuan darah, kontraksi otot syaraf, aktivasi enzim dan permeabilitas membran (McDowell et al., 1993). Kebutuhan Ca domba bunting meningkat dengan meningkatnya umur kebuntingan. Domba yang sedang bunting seharusnya disuplementasi Ca untuk memenuhi tingginya kebutuhan elemen esensial dari fetus pada masa bunting tua dan untuk menghindari masalah kesehatan ketika laktasi (McDowell et al., 1993). Mineral Ca dan P sangat penting untuk induk domba bunting, karena jika mineral ini tidak tercukupi di dalam pakan maka untuk mencukupinya tubuh ternak akan mengambil Ca dan P dari tulang induk domba (NRC, 2006), hal ini dapat menyebabkan tulang rapuh dan dalam kondisi fatal dapat terjadi kelumpuhan pada induk setelah melahirkan. Induk yang lumpuh pada saat sedang bunting berakibat buruk pada anak karena asupan air susu terhalang, sehingga dapat mengakibatkan pertumbuhan tulang terhambat dan pertambahan bobot badan yang tidak maksimal (Martin dan Aitken, 2000).

Absorpsi Mineral Fosfor (P)

Konsumsi mineral P, mineral P feses, dan absorpsi mineral P pada induk domba bunting disajikan pada Tabel 10. Hasil analisa statistik untuk absorpsi mineral P menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata (P>0,05), hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan mineral P dalam ransum yang diberikan relatif sama (Tabel 3). Tabel 10. Konsumsi Mineral P, Mineral P Feses, dan Absorpsi Mineral P

Peubah Perlakuan

P1 P2 P3

Konsumsi P

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

P Feses

g/ekor/hari g/BB0,75/hari

Absorpsi P

g/ekor/hari (%)

2,09 ± 0,27 0,21 ± 0,01 0,72 ± 0,06 0,07 ± 0,01 1,37 ± 0,31 65,07 ± 7,06

2,01 ± 0,22 0,20 ± 0,01 0,65 ± 0,04 0,07 ± 0,00 1,36 ± 0,19 67,51 ± 2,47

2,05 ± 0,11 0,20 ± 0,01 0,58 ± 0,12 0,06 ± 0,01 1,47 ± 0,01 72,00 ± 4,31

Keterangan : P1 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung, P2 : ransum dengan sumber karbohidrat onggok, P3 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok.

Jumlah mineral yang dapat diabsorpsi mengindikasikan ketersediaan mineral dalam pakan yang dikonsumsi, semakin besar jumlah mineral yang dapat diabsorpsi


(42)

29 maka ketersediaan mineral dan kualitas pakan tersebut semakin baik (Dias et al., 2008). Rataan absorpsi P berdasarkan Tabel 10 berkisar antara 1,36-1,47 g/ekor/hari. Hasil analisa statistik untuk absorpsi mineral P menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata (P>0,05), hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan mineral P dalam ransum yang diberikan relatif sama (Tabel 3). Penyerapan mineral P selama penelitian ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan NRC (2006) bahwa kebutuhan domba bunting untuk mineral P sebesar 1,90-3,20 g/ekor/hari.

Hasil yang didapatkan pada penelitian ini sebanding dengan hasil yang didapatkan oleh Dias et al. (2008) bahwa suplementasi fosfor pada pakan dengan penggunaan jagung dan onggok sebagai sumber karbohidratnya memberikan pengaruh yang sama terhadap penyerapan fosfor. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan jagung dan onggok sebagai bahan baku pakan memiliki kualitas yang sama dalam hal penyediaan mineral fosfor untuk ternak ruminansia.

Rasio Absorpsi Mineral Ca dan P

Rasio absorpsi mineral Ca dan P pada induk domba bunting disajikan pada Tabel 11. Berdasarkan Tabel 11, besarnya rasio absorpsi Ca dan P pada penelitian ini yaitu 3:1.

Tabel 11. Rasio Absorpsi Mineral Ca dan P

Perlakuan Rasio Absorpsi Ca : P

P1 3,1 : 1

P2 3,2 : 1

P3 3,3 : 1

Keterangan : P1 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung, P2 : ransum dengan sumber karbohidrat onggok, P3 : ransum dengan sumber karbohidrat jagung dan onggok.

Kebutuhan Ca dan P untuk domba bunting menurut McDowell (2003) sebanding dengan rasio 3:1, sehingga besarnya absorpsi Ca untuk penelitian ini sudah sesuai dengan besarnya absorpsi P. Tingginya penyerapan Ca pada penelitian ini diduga disebabkan oleh tingginya kebutuhan mineral dari domba yang sedang bunting. Ketersediaan mineral Ca dan P dalam ransum sudah mencukupi kebutuhan domba bunting, sehingga pertumbuhan fetus tidak akan terganggu karena mineral yang dibutuhkan oleh domba bunting sudah tersedia sesuai kebutuhan.


(1)

45 Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).

Lampiran 12. Hasil Sidik Ragam TDN

SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01

Perlakuan 8 34.018 4.252 1.796 2.510 3.705 NS

Galat 18 42.616 2.368

Total 26 76.634

Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).

Lampiran 13. Hasil Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK)

SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01

Perlakuan 8 573.628 71.703 4.760 2.510 3.705 **

Galat 18 271.137 15.063

Total 26 844.765

Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).

Lampiran 14. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK)

SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01

Perlakuan 8 573.628 71.703 4.760 2.510 3.705 ** 145 vs 236789 1 446.096 446.097 29.615 4.414 8.285 **

45 vs 1 1 23.987 23.987 1.592 4.414 8.285 4 vs 5 1 0.000 0.000 0.000 4.414 8.285 239 vs 678 1 91.583 91.583 6.080 4.414 8.285 *

23 vs 9 1 4.539 4.539 0.301 4.414 8.285 2 vs 3 1 0.033 0.033 0.002 4.414 8.285 68 vs 7 1 6.290 6.290 0.418 4.414 8.285


(2)

46 6 vs 8 1 1.099 1.099 0.073 4.414 8.285

Galat 18 271.137 15.063

Total 26 844.765

Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).

Lampiran 15. Hasil Sidik Ragam Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)

SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01

Perlakuan 8 630.249 78.781 5.853 2.510 3.705 **

Galat 18 242.294 13.461

Total 26 872.543

Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).

Lampiran 16. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO)

SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01

Perlakuan 8 630.249 78.781 5.853 2.510 3.705 ** 12459 vs 3678 1 441.001 441.001 32.762 4.414 8.285 **

145 vs 29 1 124.939 124.939 9.282 4.414 8.285 ** 4 vs 15 1 8.580 8.580 0.637 4.414 8.285

1 vs 5 1 0.052 0.052 0.004 4.414 8.285 2 vs 9 1 0.004 0.004 0.000 4.414 8.285 3 vs 678 1 41.249 41.249 3.064 4.414 8.285 68 vs 7 1 14.420 14.420 1.071 4.414 8.285 6 vs 8 1 0.002 0.002 0.000 4.414 8.285

Galat 18 242.294 13.461

Total 26 872.543

Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf


(3)

47 kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).

Lampiran 17. Hasil Sidik Ragam Produksi NH3

SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01

Perlakuan 8 10.018 1.252 0.647 2.510 3.705 NS

Galat 18 34.851 1.936

Total 26 44.869

Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).

Lampiran 18. Hasil Sidik Ragam Produksi VFA

SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01

Perlakuan 8 8620.674 1077.584 0.873 2.510 3.705 NS Galat 18 22223.960 1234.664

Total 26 30844.634

Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).

Lampiran 19. Hasil Sidik Ragam Kapasitas Tampung Berdasarkan BK Tercerna

SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01

Perlakuan 8 1.041 0.130 23.497 2.510 3.705 **

Galat 18 0.100 0.006

Total 26 1.140

Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).

Lampiran 20. Uji Lanjut Kontras Ortogonal Kapasitas Tampung Berdasarkan BK Tercerna


(4)

48

SK db JK KT Fhit F0.05 F0.01

Perlakuan 8 1.041 0.130 23.497 2.510 3.705 **

1235 vs 46789 1 0.797 0.797 143.924 4.414 8.285 ** 23 vs 15 1 0.082 0.082 14.843 4.414 8.285 **

2 vs 3 1 0.019 0.019 3.518 4.414 8.285 1 vs 5 1 0.022 0.022 4.049 4.414 8.285 69 vs 478 1 0.101 0.101 18.288 4.414 8.285 **

6 vs 9 1 0.009 0.009 1.570 4.414 8.285 7 vs 48 1 0.009 0.009 1.564 4.414 8.285 4 vs 8 1 0.001 0.001 0.217 4.414 8.285

Galat 18 0.100 0.006

Total 26 1.140

Keterangan: SK: Sumber Keragaman; db: derajat bebas; JK: Jumlah Kuadrat; KT: Kuadrat Tengah; Fhit: nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data; F0,05: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); F0,01: hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01); NS: Not Significant; *: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 5% (α = 0,05); **: berbeda nyata pada taraf kesalahan sebesar 1% (α = 0,01).


(5)

ii RINGKASAN

FERY DWI RIPTIANINGSIH. D24070048. 2011. Potensi Pengembangan Ternak Ruminansia Ditinjau dari Kondisi Tanah, Produktivitas dan Kualitas Nutrisi Padang Penggembalaan di Kabupaten Nagekeo, Flores, NTT. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Panca Dewi Manu Hara Karti, M.S. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr.

Kabupaten Nagekeo yang berada di Pulau Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki potensi sumber daya alam yang sangat cocok untuk pengembangan ternak ruminansia. Potensi itu berupa tersedianya lahan padang penggembalaan yang tersebar di berbagai wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi pengembangan ternak ruminansia ditinjau dari kondisi tanah, produktivitas dan kualitas nutrisi padang penggembalaan serta melakukan perbandingan dari sembilan desa di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.

Penelitian ini dilakukan pada enam kawasan yang terdiri dari sembilan desa yaitu Desa Dhereisa, Bidoa, Tedakisa, Renduwawo, Ulupulu, Nagarawe, Rendubutowe, Lambo, dan Natatoto. Masing-masing padang penggembalaan setiap desa diambil sampel tanah dan sampel rumput untuk dianalisis. Analisis tanah meliputi tekstur, pH, bahan organik tanah dan kapasitas tukar kation. Sampel rumput komposit dianalisis komposisi botani, analisis proksimat yang meliputi kadar air, kadar abu, protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan dihitung Total Digestible Nutrient (TDN) dari komposisi proksimat, analisis in vitro yang meliputi Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK), Koefisien Cerna Bahan Organik (KCBO), produksi NH3, dan produksi Volatile Fatty Acid (VFA). Rancangan percobaan yang

digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan desa sebagai perlakuan. Apabila terdapat beda nyata, signifikansi dihitung dengan menggunakan Uji Lanjut Kontras Ortogonal. Selanjutnya dilakukan skoring masing-masing desa terhadap faktor kondisi tanah, nutrisi rumput padang penggembalaan serta kapasitas tampung berdasarkan BK tercerna untuk menentukan desa yang paling potensial untuk pengembangan ternak ruminansia berdasarkan kualitas padang penggembalaannya.

Hasil analisis tanah padang penggembalaan di sembilan desa umumnya menunjukkan pH yang agak masam dengan kandungan C organik dan Nitrogen yang rendah, sedangkan Fosfor sangat rendah. Kandungan mineral Ca, Mg, K dan Na yang merupakan kation cukup baik, sehingga kapasitas tukar kation (KTK) tinggi, hal ini menunjukkan bahwa daya mengikat yang cukup baik. Berdasarkan hasil analisis proksimat sampel rumput pada sembilan desa menunjukkan kandungan bahan kering (BK), abu, protein kasar (PK), lemak kasar (LK), Beta-N dan TDN tidak berbeda nyata (P>0,05) pada kesembilan desa dan hanya kandungan serat kasar (SK) yang sangat berbeda nyata (P<0,01) pada kesembilan desa dengan kandungan SK tertinggi pada Desa Natatoto yaitu 28.94%. Secara umum kualitas nutrisi rumput padang penggembalaan di sembilan desa menunjukkan kandungan protein kasar (PK) yang rendah dengan nilai tertinggi hanya 7.12% pada Desa Tedakisa. Kandungan TDN rumput masih tergolong rendah dengan kandungan tertinggi hanya 50.09% pada Desa Tedakisa. Berdasarkan hasil evaluasi nutrisi secara in vitro,


(6)

iii koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan koefisien cerna bahan organik (KCBO) pada kesembilan desa menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01). Desa Natatoto mempunyai hijauan padang penggembalaan dengan nilai KCBK tertinggi yaitu 39,02%. Untuk nilai koefisien cerna bahan organik (KCBO), hijauan pada Desa Dhereisa memiliki nilai tertinggi daripada desa yang lain dengan nilai KCBO 41,44%. Hasil pengukuran produksi NH3 dan VFA rumput padang penggembalaan

pada sembilan desa menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Dari sampel BK rumput (BK/0,25 m2) diperoleh total produksi BK tercerna sebesar 8.093,05 kg BKT/ha/th dengan nilai produksi tertinggi pada desa Renduwawo yaitu sebesar 1.367,88 kg BKT/ha/th. Perhitungan kapasitas tampung berdasarkan ketersediaan BK tercerna didapatkan Desa Renduwawo memiliki nilai tertinggi yaitu 0,42 ST/ha, sedangkan kapasitas tampung terendah yaitu pada Desa Nagarawe dengan nilai 0,17 ST/ha. Desa yang memiliki nilai kapasitas peningkatan populasi yang paling tinggi adalah Desa Natatoto yaitu 6.127 ST. Berdasarkan hasil skoring masing-masing desa terhadap faktor kondisi tanah, nutrisi rumput padang penggembalaan serta kapasitas tampung berdasarkan BK tercerna, Desa Renduwawo yang menduduki peringkat pertama. Secara umum Kabupaten Nagekeo berpotensi untuk pengembangan ternak ruminansia. Perlu adanya perbaikan kondisi tanah dan peningkatan produktivitas hijauan padang penggembalaan sehingga bisa mencukupi kebutuhan hijauan makanan ternak baik secara kualitas maupun kuantitas.

Kata-kata kunci: Ruminansia, padang rumput alam, produktivitas, kualitas nutrisi