Komunikasi kesehatan dalam pengobatan penyakit di kalangan masyarakat miskin

KOMUNIKASI KESEHATAN DALAM PENGOBATAN
PENYAKIT DI KALANGAN MASYARAKAT MISKIN

(Kasus Penanggulangan TB Pada Program Community TB Care ‘Aisyiyah di
Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat)

MAYA MAY SYARAH

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Kesehatan
dalam Pengobatan Penyakit di Kalangan Masyarakat Miskin (Kasus
Penanggulangan TB Pada Program Community TB Care „Aisyiyah di Kelurahan
Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat) adalah karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 1 Agustus 2013
Maya May Syarah
NIM I352100151

RINGKASAN
MAYA MAY SYARAH. Komunikasi Kesehatan dalam Penanganan Penyakit di
Kalangan Masyarakat Miskin. Dibimbing oleh SARWITITI SARWOPRASODJO
dan RICHARD W.E. LUMINTANG.
Data statistik World Health Organization (WHO) menunjukkan kondisi
kesehatan masyarakat Indonesia yang memprihatinkan. Data WHO (2012)
menyebutkan, bahwa Indonesia menduduki peringkat keempat setelah India,
China, dan Afrika Selatan dalam hal prevalensi Tubercolusis (TB). Estimasi
prevalensi TB semua kasus sebesar 680,000 dan estimasi insidensi berjumlah
450,000 kasus baru per tahun serta jumlah kematian akibat TB diperkirakan
65,000 kematian per tahun (WHO 2012).
Untuk mengatasi masalah tersebut, sejak tahun 1995 Indonesia menerapkan

Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sebagai metode pengobatan
TB yang direkomendasikan oleh WHO dengan melibatkan berbagai lembaga yang
dikenal dengan gerakan “STOP TB Partnership” (Kemenkes 2011). Metode
DOTS tidak hanya diimplementasikan melalui pendekatan klinik (pengobatan
sendiri atau di rumah sakit), tetapi juga pendekatan berbasis masyarakat
khususnya di wilayah masyarakat miskin yang prevalensi TB-nya tinggi.
Peran intervensi komunikasi menjadi sangat penting dalam praktek
pengobatan TB, sehingga tuntutan terhadap pengembangan teori komunikasi
kesehatan juga semakin tinggi. Sebelumnya, pendekatan komunikasi kesehatan
lebih menekankan pada pentingnya penyampaian informasi dengan anggapan
bahwa keengganan masyarakat untuk berobat lebih disebabkan oleh kekurangan
pengetahuan mengenai masalah penyakit TB dikenal sebagai pendekatan transfer
informasi atau pendekatan biomedical. Belakangan pendekatan-pendekatan
bersifat multi level dimulai untuk mengatasi kompleksitas seperti gencarnya
gerakan “STOP TB Partnership”
Penelitian ini, menggunakan teori Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi
Sosial (AKMS) McKee (1992), multitrack model (Tufte dan Mefalopulos 2009)
untuk menganalisis masalah-masalah struktural dan sosial dan Health Belief
Model (Rosenstock et al. 1988) untuk menjelaskan perilaku kesehatan di tingkat
pasien. Menurut McKee (1992) konsep ACMS terdiri dari tiga intervensi

komunikasi yakni advokasi, mobilisasi sosial dan komunikasi program. Ketiga
intervensi tersebut bekerja dalam level yang berbeda namun saling terkait.
Intervensi advokasi dan mobilisasi sosial diarahkan untuk mengatasi masalah dan
hambatan pembangunan di tingkat sosial dan struktural sedangkan program
komunikasi di tingkat individu. Advokasi dimaksudkan untuk menggalang
komitmen politik dan mobilisasi sosial dimaksud untuk menggalang kemitraan
dalam rangka mobilisasi sumber daya dan pelayanan. Selanjutnya apabila terdapat
hambatan-hambatan sosial dan struktural dapat diatasi maka program komunikasi
yang dimaksudkan untuk merubah perilaku dapat dijalankan.
Penelitian lapangan yang dilakukan pada periode Mei hingga Desember
2012 ini, dilaksanakan di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta
Barat. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode
studi kasus dan kasus program komunikasi kesehatan dalam penanggulangan TB
di wilayah miskin pada Program Community TB Care „Aisyiyah Komunitas

Peduli TB (KPT) Jakarta Barat di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora,
Jakarta Barat.
Sejumlah 18 informan sebagai sumber data didapat dengan teknik snowball.
Mereka adalah orang-orang yang mengetahui dan mengalami kegiatan-kegiatan
dalam Program Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat. Informan

terdiri atas wakil ragam masyarakat yakni, tokoh masyarakat, tokoh agama, kader
komunitas, petugas kesehatan, Pendamping Minum Obat (PMO) dan Pasien TB
yang menjadi sasaran program Community TB Care „Aisyiyah. Enam di antara
informan tersebut mewakili pasien menurut tingkat keparahan, status perkawinan,
pekerjaan, tingkat pendidikan dan umur.
Peneliti mengumpulkan data terutama dengan wawancara mendalam dan
pengamatan pada para informan yang terlibat dalam kasus-kasus yang diteliti.
Triangulasi dalam penelitian ini dengan cara mengecek data yang telah diperoleh
melalui beberapa sumber. Data yang telah dianalisis menghasilkan suatu
kesimpulan, selanjutnya dimintakan kesepakatan (member check) dengan sumbersumber data tersebut. Member check dilakukan dengan diskusi informan dan
triangulasi metode yakni wawancara mendalam dengan beragam sumber dan
dengan pengamatan langsung.
Hasil penelitian menunjukkan kelompok masyarakat (civil society)
penanggung jawab program penanggulangan TB berhasil menggalangkan
komitmen pengambil keputusan di tingkat kota dan kecamatan sehingga menjadi
dasar mobilisasi sosial yang menghasilkan partisipasi di tingkat kota dengan
memberikan sumbangan pengobatan dari warga atau kelompok mampu secara
ekonomi kepada warga miskin. Status kepala pemerintah kecamatan sebagai kader
organisasi masyarakat penanggungjawab program penanggulangan TB
memperkuat dukungan dan memanfaatkan jaringannya untuk menghimpun

sumber daya yang lebih luas, melalui pengaruh politiknya (kepada puskesmas dan
kelurahan) maupun jaringan pribadi sehingga membuka akses pasien pada
pelayanan pengobatan dan bantuan ekonomi. Di tingkat komunitas atau kelurahan
penanggungjawab program mampu menggalang mobilisasi sosial dengan
memanfaatkan sumber daya yang ada berupa modal sosial yakni kerjasama dan
kepedulian warga terhadap pasien TB melalui kader, tokoh masyarakat dan PMO.
Perubahan perilaku kesehatan di tingkat individu khususnya di masyarakat miskin
tidak akan terlaksana tanpa adanya AKMS. Adanya AKMS menggerakkan dan
memberdayakan masyarakat sehingga informasi pengobatan TB sampai di tingkat
individu.
Komunikasi yang terjadi merupakan komunikasi partisipatori yang
mengkombinasikan moda monologis dan dialogis. Moda monologis terjadi dalam
pelatihan dan penyampaian informasi mengenai penyakit dan pengobatan TB
kepada pasien, kader dan PMO serta tokoh masyarakat. Sementara forum
pertemuan komunikasi dialogis terbentuk untuk memecahkan masalah. Forumforum monitoring dan pertemuan pasien menjadi arena tidak hanya pertukaran
informasi tentang pengobatan TB tetapi juga pemecahan masalah dan ajang
konsultasi dan „curhat‟ dalam mendampingi pasien. Kunjungan pasien dan
pendampingan oleh PMO tidak hanya untuk memantau pengobatan tetapi sebagai
bagian penting menghibur dan memberikan semangat kepada pasien yang cemas
dan bosan minum obat. Moda komunikasi partisipatori dialogis dalam komunikasi

kesehatan diperlukan tidak hanya sebagai transfer informasi dari pemilik program

tapi juga sebagai pendekatan untuk bertukar pendapat dalam rangka penyembuhan
suatu penyakit.
Kredibilitas kader dan PMO tidak hanya dibentuk oleh pengetahuan tentang
penyakit dan pengobatan TB yang diperolehnya melalui pelatihan tetapi juga
kepercayaan akan ketulusan kader dan PMO (anggota keluarga) yang peduli.
Kredibilitas yang demikian besarnya ini memungkinkan respon positif pasien
walaupun pesan dari kader dan PMO menakutkan dan cara penyampaian yang
keras dimaknai pasien sebagai bentuk kepedulian terhadap dirinya dan
memotivasinya untuk menjalani pengobatan. Status pasien sebagai orangtua yang
memiliki tanggungan pada anak-anak mendorong tekadnya untuk sembuh,
sementara pasien lajang berhenti minum obat karena kurangnya motivasi untuk
sembuh. Pendekatan interpersonal yakni adanya kepercayaan dan kedekatan
komunikator dan komunikan adalah faktor yang paling berpengaruh dalam
pembentukan persepsi ancaman suatu penyakit. Sementara itu kredibilitas
komunikator dan adanya keluarga dapat mempengaruhi individu
untuk
melakukan keputusan perubahan perilaku sebagai upaya penyembuhan penyakit.
Persepsi ancaman (perceived threat) sakit TB pasien dilihat dari Health Belief

Model dibentuk kuat oleh persepsi keparahan (perceived severity) pasien dan
dorongan dari luar (cues to action) yakni kredibilitas kader dan PMO. Meski
persepsi kerentanan, jenis kelamin, status perkawinan, manfaat (perceived benefit)
dan hambatan (perceived barier) mempengaruhi persepsi ancaman sakit, namun
rasa sakit yang memiliki makna parah bagi pasien adalah faktor yang paling kuat
membentuk persepsi ancaman sakit TB. Persepsi ancaman sakit TB yang
dirasakan pasien berpengaruh pada perubahan perilaku sehat dalam penyembuhan
TB.
Kata kunci: Komunikasi kesehatan, komunikasi partisipatori, AKMS, intervensi
berbasis komunitas, tubercolusis

SUMMARY
MAYA MAY SYARAH. Health Communication in The Treatment of
Disease Among the Poor. Guided by SARWITITI SARWOPRASODJO and
RICHARD WE Lumintang.
World Health Organization (WHO) data shows that the condition of
Indonesian public health is still poor. Indonesia sits in the fourth among countries
in the world with related TB cases after India, China, and South Africa (WHO
2012). Prevalence of all TB cases are estimated of 680,000 and 450,000 new
cases per year. The number of death caused by TB is estimated 65,000 per year

(WHO 2012).
To overcome this problem, since 1995 Indonesia has implemented Directly
Observed Treatment Short course (DOTS) as a method of TB treatment
recommended by the WHO and various agencies involved in a movement known
as "STOP TB Partnership" (Kemenkes 2011). DOTS method is not only
implemented through clinical approach (self medication or in the hospital), but
also community-based approaches, especially among the poor with high
prevalence of TB.
The role of communication intervention becomes very important in TB
treatment, so the demands on the development of health communication theory
are also higher. Previously, health communication approach emphasized the
importance of delivering information to the notion that people's reluctance to seek
treatment was caused by lacking of knowledge about TB disease problem is
known as transfer information approach or biomedical approach. Later, multilevel approach is needed to cope with the complexity of such vigorous movement
of "Stop TB Partnership".
This study used the theory of ACMS (McKee 1992), a multitrack model
(Tufte and Mefalopulos 2009) to analyze structural and social issues and Health
Believe Model (Rosenstock et al. 1988) to explain the behavior of the patientlevel health .
According to McKee (1999), the ACMS concept consists of three
communication interventions namely advocacy, social mobilization, and program

communication. Each of intervention works in different level but is related one
another. Advocacy and social mobilization interventions are aimed to address the
problems and obstacles in the development of social and structural level
communication while at the level of individual programs
Advocacy is intended to mobilize political commitment while social
mobilization is intended to foster Partnerships in order to mobilize resources and
services. Furthermore, social barriers can be overcome by executing structural and
communication programs aimed at changing behavior.
Research was conducted in May to December 2012. The research used
qualitative approach with case by case study method of communication programs
Communication and Social Mobilization Advocacy (AKMS) TB Control Program
in the poor region by Community TB Care 'Aisyiyah KPT West Jakarta in
Kelurahan Kalianyar, Tambora, West Jakarta.
A total of 18 informants as a source of data, was obtained by the snowball
technique. They knew and had experiences the activities of the Community TB
Care Program 'Aisyiyah KPT West Jakarta. They represented people from

different backgrounds namely diverse communities, community leaders, religious
leaders, community volunteers, health workers, Drug Drinking Companion
(PMO) and TB patients who were subjected to the Community TB Care 'Aisyiyah.

Six of the informants represented patients based on their severity level, marital
status, occupation, education level and age.
Researcher collected data, especially with in-depth interviews and
observations on the informants who were involved in the cases studied.
Triangulation was implemented by checking the data that obtained through
several sources. The data was analyzed to produce a conclusion, subsequently
sought agreement (member check) with the data sources. Member check group
discussions were conducted with informants and triangulation methods namely indepth interviews with a variety of sources and by direct observation.
The results showed groups of people (civil society) in charge of the TB
control program successfully obtained commitment from decision makers in the
city and district levels, therefore the basis of social mobilization could generate
participation at the municipal level by donating the treatment of citizens or
economically disadvantaged groups.
Status of the head of the district government as a cadre of community
organization is responsible for the support to strengthen TB control program and
utilize network resources to gather a wider, through political influence (the health
centers and sub-districts) and private networks that open patient access to medical
services and economic assistance.
At the community or village level, person in charge of the program was able
to support social mobilization by utilizing existing resources in the form of social

capital that cooperates and concerns on TB patients through volunteers,
community leaders and PMO. Health behavior change at the individual level,
especially in poor communities would not be possible without the advocacy,
mobilization and communication (ACMS). ACMS successfully drives and
empowers communities so that information of TB treatment up to individual level.
Mode of communication used was a combination between participatory and
dialogic monologues. Mode monologues occur in the training and delivering of
information about the disease and treatment to TB patients, volunteers and
community leaders as well as the PMO. While dialogic communication forums
was formed to solve the problem. Monitoring forums and patient meetings
became not only a way of information exchange about treatment of TB, but also
problem solving and consulting arena and 'vent' in assisting patients.
Patient's visits and mentoring by the PMO are not only aimed to monitor of
treatment but as an important part of entertaining and provide encouragement to
patients who are anxious and tired of taking medication. Dialogical participatory
mode of communication in health communication is required not only a transfer
of information from the owner of the program but also as an approach for the
exchange of views in order to cure a disease.
Credibility of cadres and PMO was not only shaped by knowledge about the
disease and treatment of TB acquired through training but also by their sincerity.
Their high ability encouraged patient to respond positively despite cadres' and
PMOs' scary and violent manner but the patients interpreted them as forms of
concern for him and motivated him to undergo treatment. Patients with status as

parents with dependent children had more determination to recover, while single
status patients stopped taking the drug due to lack of motivation to recover.
Interpersonal approach thus thrusted and closeness of the communicator
and the communicant are the most influential factors in shaping perception of the
threat of disease. While the credibility of the communicator and the family can
predispose individuals to make decisions as a behavior change effort to cure the
disease.
Perceived threat of TB patients view of the Health Belief Model shaped
strongly by perception (perceived severity) patients and encouragement from the
outside (cues to action) namely credibility of cadres and PMO. Despite the
perception of vulnerability, gender, marital status, perceived benefict and
perceived barier affect pain perception of the threat, but the pain has meaning
severe for patients were the factors most strongly affecting the perception of the
threat of TB illness. TB threat perception of pain was patients perceived influence
on health behavior change in the treatment of TB.

Key words: health communication, participatory communication, ACMS,
community-based interventions, tubercolusis

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KOMUNIKASI KESEHATAN DALAM PENGOBATAN
PENYAKIT DI KALANGAN MASYARAKAT MISKIN

(Kasus Penanggulangan TB Pada Program Community TB Care ‘Aisyiyah di
Kelurahan Kalianyar, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat)

MAYA MAY SYARAH

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan
Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Dr Ir. Amiruddin Saleh, MS

Judul Tesis : Komunikasi Kesehatan dalam Pengobatan Penyakit di Kalangan
Masyarakat Miskin (Kasus Penanggulangan TB Pada Program
Community TB Care „Aisyiyah di Kelurahan Kalianyar, Kecamatan
Tambora, Jakarta Barat)
Nama
: Maya May Syarah
NIM
: I352100151

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS
Ketua

Ir. Richard W.E. Lumintang, MSEA
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Komunikasi Pembangunan
Pertanian dan Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Djuara P Lubis, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian:
01 Agustus 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Alhamdulillahirobbil „alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah
SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
ini. Penelitian yang dilakukan sejak Mei 2012 sampai Desember 2012 ini memilih
judul Komunikasi Kesehatan dalam Pengobatan Penyakit di Kalangan Masyarakat
Miskin.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa
hormat yang tak terhingga kepada Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS dan Ir. Richard
W.E. Lumintang, MSEA selaku pembimbing yang senantiasa selalu memberikan
bimbingan, arahan, petunjuk dan dukungan kepada penulis. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku ketua
program studi komunikasi pembangunan pertanian dan pedesaan yang telah
memberikan dukungan dan Dr. Ir. Amiruddin Saleh, MS selaku penguji luar komisi
yang memberikan dorongan dan masukan kepada penulis. Terima kasih dan
penghargaan penulis haturkan kepada Authorized Principle Recipient Community TB
Care „Aisyiyah Dra. Noor Rochmah Pratiknya, Principle Recipient Community TB
Care „Aisyiyah, Drs. Samsari Baswedan dan Muarawati Nur Malinda yang
memberikan informasi juga mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian di
Community TB Care „Aisyiyah serta Komunitas Peduli TB (KPT) Jakarta Barat dan
warga Kelurahan Kalianyar, Tambora Jakarta Barat yang bersedia menjadi subyek
penelitian. Tak lupa kepada Martha Tiana Hermawan dan Indria Arti Numi Khodijah
terima kasih telah membantu mencari data di lapangan
Terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tuaku tercinta (Ramlan
Sumitradilaga dan Tuty Kaswati), suamiku tersayang (Subroto), kakak dan adikku
(Muhammad Imanudin, Benny Mandarinsyah Alrasyid dan Ahmad Rully Amrullah),
anak-anakku (Salma Afifah Salsabila, Annida Thifal Qatrunnada, Athari Ahmad
Arrijalu, Aisyah Fatma Sabrina dan Muhammad Iqbal Ar Razi) yang tidak pernah putus
berdoa dan memberi cinta kasihnya selama penulis menyelesaikan karya ilmiah ini.
Kepada sahabatku Damayanti, teman-teman KMP 2010 mba Ine dan om Wije (rekan
satu bimbingan), om Tetuko, mba Poppy, Fikri, mba Uki, mba Ely, wa Lang Lang, pa
Fauzi, jeng Ratih, ko Alim, Dewi serta teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu
persatu terima kasih telah memberikan dorongan dan bantuan kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Bogor, 1 Agustus 2013
Maya May Syarah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

v

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian

1
1
4
5
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Pembangunan
Komunikasi Kesehatan
Kredibilitas Komunikator Dalam Komunikasi Kesehatan
Daya Tarik Pesan
Health Belief Model
Advokasi, Mobilisasi Sosial dan Program Komunikasi
Komunikasi Partisipatori
Komunikasi Partisipatori dan Pemberdayaan Masyarakat
Komunikasi Kelompok
Hasil Penelitian yang Relevan
Kerangka Pemikiran

6
6
7
8
9
11
14
15
20
22
24
28

3 METODOLOGI PENELITIAN
Paradigma Penelitian
Desain Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penentuan Subjek Penelitian
Data dan Metode Pengumpulan Data
Kredibilitas dan Dependabilitas (Reliabilitas) Penelitian
Teknik Analisis Data

31
31
31
33
33
35
37
38

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil „Aisyiyah
Gerakan „Aisyiyah
Community TB Care „Aisyiyah
Aktivitas Di Ronde 8
Komunitas Peduli TB (KPT) Jakarta Barat
Ikhtisar
Letak Geografis, Administrasi dan Demografis Kelurahan Kalianyar
Keberadaan „Aisyiyah dan Akses Kesehatan di Kalianyar
Ikhtisar
Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial serta Moda Komunikasi
Partisipatori
Monitoring dan evaluasi
Training PMO
Pertemuan pasien

40
40
40
40
42
43
45
47
48
50
51
54
56
58

Kunjungan Pasien
Bakti Sosial
Gentengisasi
Ikhtisar
Makna TB bagi Pasien dan Faktor yang mempengaruhinya dalam
Komunikasi HBM
Kredibillitas Komunikator dan Daya Tarik Pesan dalam
mempengaruhi Persepsi Ancaman TB
Kader Komunitas
PMO
Petugas Kesehatan
Daya Tarik Pesan
Ikhtisar
Implikasi Teoritis: Komunikasi Kesehatan dalam Pengobatan
Penyakit di Kalangan Masyarakat Miskin

61
62
63
64
68
73
74
75
75
76
84
90

5 SIMPULAN DAN SARAN

92

DAFTAR PUSTAKA

94

LAMPIRAN

98

RIWAYAT HIDUP

103

DAFTAR TABEL
1 Daftar informan dalam penelitian

35

2 Matriks jenis data, sumber dan metode penelitian

37

3 Jumlah sektor usaha di Kalianyar

47

4 Gedung pendidikan yang ada di Kalianyar

48

5 Kegiatan komunikasi di KPT Jakarta Barat

67

6 Komunikasi kesehatan dalam HBM

80

7 Persepsi sakit TB dan perubahan perilaku berdasarkan status
perkawinan

86

8 Penilaian informan terhadap kredibilitas dan daya tarik pesan

88

DAFTAR GAMBAR
1 The Health Belief Model

12

2 Model komunikasi pembangunan McKee

14

3 Kerangka pemikiran komunikasi kesehatan dalam pengobatan penyakit
di kalangan masyarakat miskin

30

4 Kerangka penelitian perubahan perilaku pasien TB dillihat dari HBM

30

5 Proses analisis data

39

6 Setting monev di RS Ibnu Sina

55

7 Setting training PMO

57

8 Setting pertemuan pasien di PAUD 'Aisyiyah

58

9 Setting kunjungan pasien Bek

61

10 Setting kunjungan pasien Tin

62

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta lokasi penelitian

98

2 Foto Kegiatan KPT Jakarta Barat serta kondisi lingkungan masyarakat
Kalianyar

99

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Status kesehatan dan gizi masyarakat sebagai sasaran pembangunan
kesehatan yang pertama menggambarkan prioritas yang akan dicapai dalam
pembangunan kesehatan.Sasaran tersebut dikembangkan menjadi sasaran-sasaran
yang lebih spesifik, termasuk sasaran angka penyakit menular.Salah satunya
adalah Tuberkulosis (TB).
Data statistik World Health Organization (WHO) menunjukkan kondisi
kesehatan masyarakat Indonesia yang memprihatinkan. Indonesia menduduki
peringkat keempat setelah India, China, dan Afrika Selatan dalam hal prevalensi
TB WHO (2012). Estimasi prevalensi TB semua kasus sebesar 680,000 dan
estimasi insidensi berjumlah 450,000 kasus baru per tahun serta jumlah kematian
akibat TB diperkirakan 65,000 kematian per tahun (WHO 2012).
Penyebab tingginya masalah TB antara lain adalah kemiskinan pada
berbagai kelompok masyarakat, seperti pada negara yang sedang berkembang,
perubahan demografik karena meningkatnya penduduk dunia dan perubahan
struktur umur kependudukan, dampak pandemi HIV, dan kegagalan program TB
diakibatkan tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan, tidak
memadainya organisasi pelayanan TB (kurang terakses oleh masyarakat,
penemuan kasus /diagnosis yang tidak standar, obat tidak terjamin penyediaannya,
tidak dilakukan pemantauan, pencatatan dan pelaporan yang standar, dan
sebagainya), tidak memadainya tatalaksana kasus (diagnosis dan paduan obat
yang tidak standar, gagal menyembuhkan kasus yang telah didiagnosis), salah
persepsi terhadap manfaat dan efektifitas BCG serta infrastruktur kesehatan yang
buruk pada negara-negara yang mengalami krisis ekonomi atau pergolakan
masyarakat Kemenkes (2007). Pada penelitian lain disebutkan faktor lain
penyebab TB adalah tingkat pendidikan, pendapatan, kepadatan hunian, kondisi
lingkungan rumah, pencahayaan, perilaku serta riwayat kontak dengan penderita
(Ratnasari 2005; Fitriani 2012).
Tingginya TB juga dipicu kemiskinan dan menjamurnya kawasan kumuh
akibat sistem kesehatan masyarakat yang hancur diungkapkan dalam penelitian
Waisbord (2007) . Dijelaskan tingkat pertumbuh kemiskinan, percepatan internal
dan migrasi internasional, menjamurnya kawasan kumuh di tengah kekacauan
urbanisasi pada Dunia Ketiga, sistem kesehatan masyarakat yang hancur, dan
krisis HIV / AIDS telah memberikan kontribusi untuk intensifikasi tingkat TB
(Waisbord 2007).
Untuk mengatasi masalah TB, sejak tahun 1995 Indonesia menerapkan
Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sebagai metode pengobatan
TB yang direkomendasikan oleh WHO dengan melibatkan berbagai lembaga yang
dikenal dengan gerakan “STOP TB Partnership” (Kemenkes 2011). Metode
DOTS tidak hanya diimplementasikan melalui pendekatan klinik (pengobatan
sendiri atau di rumah sakit), tetapi juga pendekatan berbasis masyarakat
khususnya di wilayah masyarakat miskin yang prevalensi TBnya tinggi.
Walaupun di Indonesia belum dilakukan evaluasi hasil terhadap pengobatan TB
berbasis klinik/pribadi dan pengobatan berbasis masyarakat, hasil penelitian di

2
Namimbia menunjukkan pendekatan DOTS berbasis masyarakat lebih efektif
dibandingkan dengan pendekatan klinik (Zvavamwe dan Ehlres 2009).
Keterbatasan akses terhadap pelayanan DOTS yang berkualitas masih
dijumpai terutama pada masyarakat miskin dan rentan di perkotaan, populasi di
rutan/lapas, dan penduduk dikawasan terpencil, perbatasan dan kepulauan
terutama di kawasan Indonesia Timur. Masyarakat miskin di perkotaan
mempunyai kendala sosial ekonomi untuk dapat mengakses pelayanan DOTS.
Untuk itu penanganan TB bagi masyarakat miskin atau rumah tangga miskin
(RTM) mendapat perhatian khusus.
Hal itu terbukti dari hasil penelitian yang mengindikasikan bahwa banyak
hambatan terhadap penyembuhan TB tidak hanya masalah pribadi penderita,
tetapi masalah-masalah di luar kontrol mereka (Ho 2004). Selain masalah individu
pasien (ketidaktaatan minum obat karena efek samping, bosan minum obat,
merasa sembuh sebelum waktunya juga disebabkan kurangnya dukungan keluarga,
kerabat dan stigma sosial menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2005)
seperti dikutip Fitriani (2012). Ditambah lagi bagi penderita miskin keterbatasan
pendapatan untuk biaya pengobatan juga adanya hambatan sosial seperti stigma
dari masyarakat, keterbatasan pelayanan kesehatan (jangkauan pelayanan yang
luas dan keterbatasan fasilitas Puskesmas) belum ada jaminan penyediaan obat,
yang kesemuanya terkait dengan anggaran kesehatan yang berkurang sejak sistem
desentralisasi pemerintahan (Putri 2008). Keterbatasan petugas kesehatan juga
menyebabkan pengendalian pengobatan secara optimal seperti pemeriksaan ulang
dahak dan pelacakan penderita yang mangkir dalam masa pengobatan tidak dapat
dilakukan menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah (2005) seperti dikutip
Fitriani (2012). Masalah-masalah keterbatasan akses pelayanan DOTS yang
berkualitas terutama terjadi pada masyarakat marjinal khususnya masyarakat
miskin dan rentan di perkotaan, penghuni di rutan/lapas, dan penduduk di
kawasan terpencil, perbatasan dan kepulauan terutama di kawasan Indonesia
Timur (Kemenkes 2011).
Adanya kesadaran para praktisi dan akademisi akan kompleksitas masalah
penyakit TB, peran intervensi komunikasi menjadi sangat penting dalam praktek
pengobatan TB, sehingga tuntutan terhadap pengembangan teori komunikasi
kesehatan juga semakin tinggi. Sebelumnya, pendekatan komunikasi kesehatan
lebih menekankan pada pentingnya penyampaian informasi dengan anggapan
bahwa keengganan masyarakat untuk berobat lebih disebabkan oleh kekurangan
pengetahuan mengenai masalah penyakit TB dikenal sebagai pendekatan transfer
informasi atau pendekatan biomedical. Belakangan pendekatan-pendekatan
bersifat multi level untuk mengatasi kompleksitas seperti gencarnya gerakan
“STOP TB Partnership”.
Adanya berbagai masalah TB yang bersumber dari masalah sosial,
ketersediaan layanan dan ekonomi, dan bukan hanya masalah individu, sesuai
dengan anjuran banyak pakar membuka kemungkinan penggunaan teori-teori
tidak hanya berfokus pada level individual tetapi multi level (Brewer dan Rimer
2008; Waisbord 2007; Airhihenbuwa dan Obregon 2000; Dutta-Bergman 2009).
Advokasi Komunikasi Mobilisasi Sosial (AKMS) telah menjadi salah satu
strategi dalam penanggulangan TB yang tertuang dalam Rencana Strategis
Penanggulangan TB tahun 2006-2010 (Kemenkes 2011). Sebagai salah satu
strategi untuk mendukung tujuan pengendalian TB, komunikasi baru-baru ini

3
mendapatkan relevansi seperti yang ditunjukkan dengan adanya AKMS dalam
strategi global TB pada WHO, pembentukan AKMS merupakan kerja kelompok
dalam Kemitraan STOP TB; tumbuh sejumlah program untuk mempromosikan
mobilisasi masyarakat yang terkena TB, dan sejumlah besar program TB nasional
yang menerima dana dari Global Fund untuk melakukan kegiatan AKMS
(Waisbord 2007).
Program Community TB Care „Aisyiyah adalah sebuah program yang
bergerak untuk mewujudkan infrastuktur kesehatan non-pemerintah dan dinamika
kelompok sosial yang mampu secara mandiri menanggulangi masalah tuberculosis
di Indonesia. „Aisyiyah sebagai organisasi perempuan muslim otonom khusus dari
Muhammadiyah terpilih menjadi penanggungjawab utama penerima dana dari
Global Fund mewakili kelompok masyarakat madani.
Program yang bertujuan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs)
dan Human Development Index (HDI) dimulai tahun 2009 dan direncanakan lima
tahun ini juga memiliki tujuan akhir agar angka kematian penderita TB rendah
(pasien sembuh) dan penularan TB turun. Sebagai penerima dana utama,
„Aisyiyah bertanggung jawab untuk mengkoordinir 23 penerima dana sekunder
(SR) yang melibatkan 13 pimpinan wilayah (50% dari total provinsi), 34
Kabupaten (8%), dan kurang dari 250 Kecamatan (4%). Hingga tahun 2012
kegiatan yang bekerjasama dengan civil society lain diantaranya Yarsi, PKPU,
LKC, PPTI, LKNU, Perdhaki dan KMP Sidobinangun ini sudah dikembangkan di
18 provinsi dan 45 kabupaten.
Dalam menjalankan program penanggulangan TB tersebut, prioritas
kegiatan yang dilakukan antara lain adalah melatih dan meningkatkan peran kader
komunitas TB, meningkatkan kapasitas lembaga dan tenaga kesehatan, pelibatan
tokoh agama, penunjukkan pengawas minum obat (PMO) bagi pasien TB positif,
peningkatan kualitas komponen civil society dan pendirian kelompok masyarakat
peduli TB (KMP TB). Termasuk forum pertemuan yang dijadikan sebagai ajang
pertukaran informasi. Semua unsur dan masyarakat dilibatkan secara aktif dan
dituntut untuk berpartisipasi. Diharapkan dengan berbagai kegiatan tersebut pesan
yang berkaitan mengenai informasi penanggulangan TB dapat diterima oleh
berbagai pihak yang terlibat.
Perumusan Masalah
Community TB Care „Aisyiyah merupakan forum komunikasi, pelatihan,
silaturahmi, advokasi dan penerangan sekaligus wadah kegiatan untuk
penanggulangan TB secara terpadu. Proses pelaksanaan program Community TB
Care „Aisyiyah merupakan suatu proses komunikasi partisipatif. Melalui tahapan
yang dilaksanakan, diharapkan masyarakat sebagai sasaran akhir terlibat secara
langsung untuk memberikan saran, pendapat dan masukan kepada pendamping
mengenai berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan
penanggulangan TB, sehingga menjadikan pasien TB sembuh dan penurunan
penderita TB sebagai tujuan akhir program dapat terlaksana. Dengan begitu dapat
meningkatkan kesehatan masyarakat.
Menurut McKee (1992) konsep ACMS terdiri dari tiga intervensi
komunikasi yakni advokasi, mobilisasi sosial dan komunikasi program. Ketiga
intervensi tersebut bekerja dalam level yang berbeda namun saling terkait.

4
Intervensi advokasi dan mobilisasi sosial diarahkan untuk mengatasi masalah dan
hambatan pembangunan di tingkat sosial dan struktural, sedangkan komunikasi
program di tingkat individu.
Advokasi dimaksudkan untuk menggalang
komitmen politik dan mobilisasi sosial dimaksud untuk menggalang kemitraan
dalam rangka mobilisasi sumber daya dan pelayanan. Selanjutnya apabila terdapat
hambatan-hambatan sosial dan struktural dapat diatasi maka program komunikasi
yang dimaksudkan untuk merubah perilaku dapat dijalankan.
Dengan orientasi pemberdayaan, dalam komunikasi pembangunan terjadi
pergeseran dari pendekatan komunikasi linier (modernisasi) mengarah pada
pendekatan komunikasi partisipatori (Mefalopulos dan Kamlongera 2004). Di
dalam pendekatan komunikasi partisipatori pemahaman bersama terhadap pesan
dibangun melalui proses komunikasi dua arah dan dialogis dengan prinsip
penghargaan dan kesetaraan (Rahim 2004; Tufte dan Mefalopulos 2009; Nair
dan White 2004). Tufte dan Mefalopulos (2009) dalam multi-track model
menyatakan bahwa membagi pendekatan komunikasi pembangunan ke dalam dua
kategori dasar atau jalur: komunikasi monologis dan komunikasi dialogis.
Dalam komunikasi kesehatan Teori Health Belief Model (HBM)
(Rosenstock et al. 1988) merupakan model psikologis yang menjelaskan dan
meramalkan perilaku kesehatan dengan berfokus pada sikap dan keyakinan
individu. Dalam teori ini seseorang berubah perilakunya dalam rangka
menghindari suatu penyakit atau memperkecil risiko kesehatan, atas dasar
persepsi terhadap kerentanan dan ancaman penyakit, dan persepsi terhadap
manfaat dan hambatan pengobatan yang dirasakan serta dorongan dalam
lingkungan individu dengan variabel kontrol dari karakteristik penderita atau
individu.
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian
adalah untuk menjawab pertanyaan di antaranya:
1. Bagaimana pertautan jalur komunikasi kesehatan serta advokasi komunikasi
dan mobilisasi sosial dijalankan oleh Community TB Care „Aisyiyah KPT
Jakarta Barat untuk mendukung dan mengatasi masalah-masalah sosial
ekonomi dan politik di tingkat kecamatan yang menghambat pengobatan TB
dan membentuk perilaku berobat penderita TB pada masyarakat miskin kota?
2. Bagaimana pendekatan komunikasi partisipatori yang terjadi dalam
Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat untuk mendukung
penanggulangan TB di masyarakat miskin ?
3. Bagaimana penderita TB memaknai kredibiltas komunikator yang tergabung
dalam Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat, daya tarik pesan
komunikasi kesehatan dan makna penyakit serta pengobatan TB dalam
membentuk keputusannya dalam pengobatan penyakitnya?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan yang terdapat pada
rumusan masalah. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk meneliti faktorfaktor yang mendorong perubahan perilaku serta keputusan berobat dalam

5
penanggulangan suatu penyakit pada sebuah program pembangunan, sedangkan
tujuan khusus dari penelitian ini adalah
1. Mendeskripsikan pertautan jalur komunikasi kesehatan serta advokasi
komunikasi dan mobilisasi sosial dijalankan oleh Community TB Care
„Aisyiyah KPT Jakarta Barat untuk mendukung dan mengatasi masalahmasalah sosial ekonomi dan politik di tingkat kecamatan yang menghambat
pengobatan TB dan membentuk perilaku berobat penderita TB pada
masyarakat miskin kota.
2. Mendeskripsikan pendekatan komunikasi partisipatori yang terjadi dalam
Community TB Care „Aisyiyah KPT Jakarta Barat untuk mendukung
penanggulangan TB di masyarakat miskin.
3. Mendeskripsikan dan menganalisis penderita TB memaknai kredibiltas
komunikator yang tergabung dalam Community TB Care „Aisyiyah KPT
Jakarta Barat, daya tarik pesan komunikasi kesehatan dan makna penyakit
serta pengobatan TB dalam membentuk keputusannya dalam pengobatan
penyakitnya.

Manfaat Penelitian
Kegunaan penelitian mengenai komunikasi partisipatori dalam
penanggulangan TB ini di antaranya yaitu:
1. Memberi masukan kepada penyelenggara program penanggulangan TB terkait
pendekatan komunikasi yang akan digunakan dalam perubahan perilaku pada
penanggulangan TB.
2. Memberi sumbangan pada Community TB Care „Aisyiyah hasil dari
komunikasi multitrack pada komunikasi partisipatori yang digunakan peserta
yang terlibat dalam program penanggulangan TB.
3. Sebagai referensi dan pembanding untuk penelitian selanjutnya terkait dengan
aspek komunikasi pembangunan dan komunikasi partisipatori dalam
penyembuhan suatu penyakit yang bersifat pemberdayaan masyarakat.

6

2 TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Pembangunan
Menurut Effendy (2004), komunikasi pembangunan merupakan proses
penyebaran pesan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada khalayak guna
mengubah sikap, pendapat dan perilakunya dalam rangka meningkatkan kemajuan
lahiriah dan kepuasan batiniah, yang dalam keselarasannya dirasakan secara
merata oleh seluruh rakyat. Komunikasi pembangunan ini merupakan suatu
strategi yang menekankan pada perlunya sosialisasi pembangunan kepada seluruh
para pelaku pembangunan daerah dan masyarakat secara umum melalui berbagai
media strategis.
Sebagai proses perubahan dan pembaharuan masyarakat, pembangunan
membutuhkan kontribusi komunikasi, baik sebagai bagian dari kegiatan
masyarakat maupun sebagai ilmu yang terus berkembang dari waktu ke waktu.
Berbagai gejala sosial yang diakibatkan oleh proses tersebut, telah memberi
inspirasi bagi penemuan konsep baru dalam bidang komunikasi. Akhir dari proses
adaptasi akan mempermudah penemuan konsep komunikasi yang akan ikut
memetakan berbagai problem pembangunan yang muncul, mengikuti arus
perubahan dan pembaharuan yang hampir tidak pernah mengenal kata akhir.
Banyak proses pembangunan tidak mencapai sasarannya hanya karena rendahnya
frekuensi informasi dan komunikasi kepada masyarakat sehingga tidak
menimbulkan tingkat partisipasi yang memadai. Padahal partisipasi masyarakat
sangat diperlukan bagi usaha pencapaian tujuan pembangunan (Dilla 2007).
Pendekatan komunikasi pembangunan dapat dikelompokkan ke dalam dua
kelompok besar besar yakni kelompok Paradigma Dominan (Modernisasi) dan
kelompok Paradigma Alternatif (Pemberdayaan), demikian diungkapkan Melkote
dan Leslie (2001). Teori-teori dan Intervensi dalam paradigma dominan dari
Modernisasi. Teori-teori ini dikembangkan oleh Lerner (1958) dan Schramm
(1964) dan studi-studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an.
Komunikasi dan Teori Modernisasi yang dipelopori oleh Daniel Lerner dengan
bukunya The Passing of Traditional Society menekankan peran media massa
dalam modernisasi. Lerner menemukan bahwa media massa merupakan agen
modernisasi yang ampuh untuk menyebarkan informasi dan pengaruh kepada
individu-individu dalam menciptakan iklim modernisasi. Adapun Schraam (1964)
memandang pentingnya peran media massa untuk pembangunan nasional karena
mempertimbangkan beragam fungsi media massa dalam pembangunan nasional
untuk pengembangan sumber daya manusia yakni sebagai pendidik, pengawas dan
pengambilan keputusan. Ketiga fungsi tersebut dijalankan media massa melalui
transmisi informasi dari media massa kepada khalayak. Peran komunikasi
interpersonal dan kelompok diakui penting oleh Schramm untuk memperkuat
transmisi informasi yang bersifat persuasif, tetapi tidak berperan sentral dalam
pembangunan nasional.
Pentingnya umpan balik dalam perancangan komunikasi strategik ini,
menempatkan prosedur penelitian formatif yakni survei khalayak, focused group
discussion dan pretesting pesan dalam menjalankan komunikasi pembangunan.
Teori ini melihat bahwa proses komunikasi pembangunan harus dilihat sebagai

7
proses yang bertahap yang memerlukan pesan-pesan dan pendekatan yang
berbeda pada setiap tahap proses perubahan perilaku. Sedangkan paradigma
alternatif dalam komunikasi pembangunan melihat perlunya memasukkan
masalah kesamaan, pemeliharaan lingkungan dan perlindungan budaya asli dalam
konsep pembangunan.
Terdapat dua jalur dalam pendekatan alternatif-komunikasi partisipatori,
yakni PAR (Participatory Action Research) dan pemberdayaan. Pendekatan
pemberdayaan banyak digunakan dalam pengorganisasian komunitas, pendidikan
dan psikologi komunitas. Pemberdayaan dapat diartikan dalam banyak hal dan
dapat diamati pada berbagai level yakni individual, organisasi dan komunitas. Di
tingkat komunitas, pemberdayaan berarti proses peningkatan kontrol kelompokkelompok terhadap konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi anggota
kelompok dan orang lain dalam komunitas yang lebih luas (Fawcett et al. 1984)
seperti dikutip Melkote dan Leslie (2001). Adapun di tingkat individu, Rappaport
(1987) dikutip Melkote dan Leslie (2001) mendefinisikan pemberdayaan sebagai
perasaan psikologis berkenaan dengan pengendalian atau pengaruh pribadi dan
kepedulian terhadap pengaruh sosial yang aktual, kekuasaan politis, hukum legal.
Namun demikian, kebanyakan pemberdayaan baru dilakukan di tingkat individu
belum ditingkatkan di tingkat komunitas.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi pembangunan
adalah proses penyebaran pesan sebagai upaya sosialisasi program pembangunan
dan hasilnya baik oleh pelaku pembangunan maupun masyarakat pada umumnya.
Komunikasi pembangunan bertujuan mengubah sikap, pendapat dan perilaku
masyarakat dalam rangka meningkatkan kemajuan rakyat. Komunikasi
pembangunan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pemberdayaan
sebagai kontrol di segala level.

Komunikasi Kesehatan
Menurut Schiavo (2007) Komunikasi Kesehatan adalah pendekatan yang
beragam dan multidisiplin untuk mencapai audiens yang berbeda dan berbagi
informasi kesehatan terkait dengan tujuan mempengaruhi, menarik dan
mendukung individu, masyarakat, profesional kesehatan, kelompok khusus,
pembuat kebijakan dan masyarakat untuk juara, memperkenalkan, mengadopsi,
atau mendukung perilaku, praktek atau kebijakan yang pada akhirnya akan
meningkatkan hasil kesehatan.
Satrianegara dan Saleha (2009) menyatakan komunikasi kesehatan
merupakan upaya sistematis yang secara positif mempengaruhi praktik-praktik
kesehatan populasi-populasi besar. Sasaran utama komunikasi kesehatan adalah
melakukan perbaikan kesehatan yang berkaitan dengan praktik-praktik dan status
kesehatan.
Komunikasi kesehatan didefinisikan sebagai modifikasi perilaku manusia
serta faktor-faktor sosial yang berkaitan dengan perilaku yang secara langsung
maupun tidak langsung mepromosikan kesehatan, mencegah penyakit, atau
melindungi individu-individu terhadap bahaya.
Komunikasi kesehatan yang efektif merupakan suatu kombinasi antara seni
dan ilmu. Setidaknya, salah satu dari kunci-kunci keberhasilan adalah penerapan

8
metodologi komunikasi kesehatan yang ilmiah, serta sistematis bagi masalahmasalah kesehatan masyarakat.
Menurut Liliweri (2011) komunikasi kesehatan adalah studi yang
mempelajari bagaimana cara menggunakan strategi komunikasi untuk
menyebarluaskan informasi kesehatan yang dapat mempengaruhi individu dan
komunitas agar mereka dapat membuat keputusan yang tepat berkaitan dengan
pengelolaan kesehatan.
Sementara menurut Smith dan Hornik seperti dikutip Liliweri (2011)
menyatakan komunikasi kesehatan adalah komunikasi yang berkaitan dengan
proses pertukaran pengetahuan, meningkatkan konsensus, mengidentifikasi aksiaksi yang berkaitan dengan kesehatan yang mungkin dilakukan secara efektif.
Melalui proses dialog tersebut maka informasi kesehatan yang dipertukarkan di
antara dua pihak itu bertujuan membangun pengertian bersama demi penciptaan
pengetahuan baru yang dapat diwariskan bersama. Jadi, dasar dari persetujuan
adalah aksi dan kerjasama.
Ratzan (1994) yang dikutip Liliweri (2011) menjelaskan komunikasi
merupakan proses kemitraan antara para partisipan berdasarkan dialog dua arah
yang di dalamnya ada suasana interaktif, ada pertukaran gagasan, ada kesepakatan
mengenai suatu gagasan, ada kesepakatan mengenai kesatuan gagasan mengenai
kesehatan, juga merupakan teknik dari pengirim dan penerima untuk memperoleh
informasi mengenai kesehatan yang seimbang demi membaharui pemahaman
bersama.
Dari berbagai pengertian komunikasi kesehatan di atas dapat disimpulkan
bahwa komunikasi kesehatan adalah proses pertukaran imformasi, pengetahuan
dan indentifikasi aksi-aksi berkaitan dengan kesehatan guna mempengaruhi
individu maupun komunitas sehingga mereka dapat membuat keputusan yang
tepat sebagai upaya pengobatan. Dalam komunikasi kesehatan segala informasi
mengenai kesehatan disampaikan melalui proses dialog diantara pihak yang
terlibat sehingga terjalin pengertian bersama.

Kredibilitas Komunikator dalam Komunikasi Kesehatan
Peran utama komunikator adalah untuk mempengaruhi yang dalam bahasa
psikologi komunikasi disebut persuasi (Liliweri 2011). Dikatakan bahwa masalah
komunikasi adalah masalah bagaimana cara komunikator memengaruhi pilihan
komunikan. Masalah itu hanya bisa dijawab dengan persuasi dari komunikator.
Menurut Aristoteles peranan komunikator dalam persuasi sama dengan peranan
komunikator berdasarkan retorika. Ini berkaitan dengan kredibilitas komunikator
yang bisa diperoleh jika memiliki Ethos, Pathos dan Logos.
Ethos yakni kekuatan yang dimiliki pembicara dari karakter pribadinya,
sehingga ucapan-ucapannya dapat dipercaya yang dicirikan (1) Intelegence yaitu
komunikator tampil sebagai orang yang pandai, percaya diri, mengetahui fakta,
berbicara jelas, berdiri dan duduk dengan sikap tubuh yang menunjukkan orang
caka; (2) Karakter yakni Komunikator tampil dengan karakter jujur, adil, memiliki
reputasi ; (3) Goodwill yaitu audiens akan lebih percaya pada komunikator yang
menunjukkan kemampuan baik, pernyataan yang pasti, kontak mata, gerakan yang
meyakinkan dan ada kesan melindungi.

9
Pathos adalah kekuatan yang dimiliki seorang pembicara dalam
mengendalikan emosi pendengarnya sehingga membuat komunikannya merasa:
(1) Sejuk atau marah; (2) Mencintai atau membenci; (3) Merasa takut atau
membangkitkan harga diri; (4) Merasa malu atau membangkitkan keberania; (5)
Rasa berkuasa atau kehilangan kekuasaan; (6) Membangkitkan semangat kerja
atau tidak bekerja.
Sedangkan Logos adalah kekuatan yang dimiliki komunikator melalui
argumentasinya meliputi (1) Invention yakni kemampuan menampilkan hukum
logika (masuk akal); (2) Arrangement yakni kemampuan menyampaikan
informasi secara sederhana dan sesuai kemampuan pendengar; (3) Style yakni
gaya berbicara yang menyenangkan; (4) Memory yaitu menyampaikan dengan
gambaran informasi yang diingat atau berkaitan; (5) Delivery yakni kemampuan
berbicara efektif.
Menurut Hovlan dan Weiss seperti dikutip Rakmat (2008) Ethos ini adalah
kredibilitas yang terdiri dari dua unsur yaitu keahlian (expertise) dan dapat
dipercaya (trustworthiness.) Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikan
tentang sifat-sifat komunikator. Dalam definisi ini terkandung dua hal yakni
kredibilitas adalah persepsi komunikan, jadi tidak inheren dalam diri komunikator
dan kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator (komponen-komponen
kredibilitas) Rakhmat (2008). Dalam kredibilitas ada yang disebut sebagai
komponen-komponen kredibilitas yang paling utama, yaitu keahlian, adalah kesan
yang dibentuk komunikan tentang kemampuan komunikator dalam hubungannya
dengan topik yang dibicarakan. Misalnya, komunikator yang dinilai tinggi pada
keahlian dianggap sebagai cerdas, ahli, berpengalaman ataupun terlatih dan
sebaliknya. Selain itu, komponen kepercayaan, adalah kesan komunikan tentang
komunikator yang berkaitan dengan wataknya. Misalnya, seorang komunikator
dinilai jujur, bermoral, sopan, etis atau tidak etis.
Sedangkan kredibilitas komunikator dalam komunikasi partisipatori menurut
Muchlis (2009) adalah maka dapat disimpulkan bahwa kredibilitas
seorangfasilitator dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu : Kompetensi
(meliputikeahlian, pengalaman, percaya diri dan penguasaan informasi); Karakter
(meliputi objektifitas, minat dan trust); Status sosial dan ekonomi
(meliputikekuasaan, pendidikan dan ekonomi); dan Karismatik (meliputi
keaktivan, tegas dan semangat).
Kredibilitas komunikator dalam penelitian ini adalah kepercayaan
komunikan terhadap komunikator dilihat dari beberapa aspek yaitu dapat
menguasai emosi dan memahami komunikan (pasien), gaya berbicara yang
menyenangkan, menggunakan bahasa yang dapat dimengerti serta memiliki
kedekatan antara komunikan dan komunikator.

Daya Tarik Pesan
Simons seperti dikutip Soemirat dan Ardianto (2007) pesan secara sederhana
dapat dikatakan bahwa pesan (message) adalah apa yang diucapkan oleh
komunikator melalui kata-kata, gerak tubuh, dan nada suara. Di dala