Peluang Terjadinya Diare Akibat Konsumsi Produk Hewani di Kecamatan Bogor Barat

(1)

RELATIVE RISK OF DIARRHEA INCIDENCE DUE TO CONSUMPTION

OF ANIMAL PRODUCTS IN WEST BOGOR

Dela Ayu Basuki, Harsi D. Kusumaningrum1, and Andriani2 1

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 16680

Bogor, West Java, Indonesia

2

Veterinary Research Centers, Research And Development, Agriculture Ministry R.E. Martadinata street No. 30, PO BOX 16114

Bogor, West Java, Indonesia

Phone: +6285 640108022 , e-ma

ABSTRACT

Diarrhea is still one of public health’s major problems in Indonesia, both in terms of morbidity or death. The main risk factor of diarrhea and foodborne disease cases is due to consumption of animal products with poor handling, including cross contamination from raw food to cooked products, insufficient cold storage temperature, insufficient temperature and cooking time, and poor handling process after the cooking process. Therefore, it is necessary to determine exposure opportunities because of animal products. Those exposure opportunities are calculated based on the number of attack risk (AR), which shows the percentage of exposed people who get diarrhea when they are eating or not eating certain types of animal products. While the relative risk of animal products that can cause diarrhea is calculated based on comparison attack risk (AR) an exposed people who eating or not eating certain types of animal food products. It is also known as relative risk (RR). Based on survey on 400 respondens (housewifes) in West Bogor, there are six main animal food products that cause diarrhea. There products are baked fish, seasoning chicken, and semur meat. The result showed that the animal food products infection are baked fish (RR=4.11), seasoning chicken (RR=3.58), semur meat (RR=1.85), baked chicken (RR=1.76), seasoning fish (RR=1.53), and salt fish (RR=1.31). The highest RR value has great effect to cause numbers of diarrhea incidence due to consumption of animal products.


(2)

1

I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAK

A

NG

Masalah keamanan pangan (food safety) dari produk pangan sangat penting bagi produsen, penjual, dan konsumen. Aspek keamanan pangan telah menjadi masalah global yang perlu mendapat perhatian utama bagi masyarakat. Kurang tanggapnya masyarakat terhadap aspek keamanan pangan ini telah melahirkan berbagai kasus keracunan pangan.

Data statistik dari WHO, menyatakan bahwa 1.8 juta orang meninggal dunia dikarenakan keracunan makanan yang disebabkan oleh penyakit diare (WHO, 2007). Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan atau dikenal dengan foodborne disease outbreak

didefinisikan oleh WHO sebagai suatu kejadian saat dua orang atau lebih menderita sakit setelah mengonsumsi pangan yang secara epidemiologi terbukti sebagai sumber penularan (BPOM, 2005). Anonima (2005), persentase terbesar yang menyebabkan keracunan pangan adalah pangan yang berasal dari hasil olahan rumah tangga. Sedangkan CDC melaporkan bahwa sekitar 50% penyebab dan media penular wabah foodborne disease yang berhasil ditelusuri adalah pangan asal hewan (Beier dan Pillai, 2007). Dari kasus keracunan pangan, sebanyak 90% kasus disebabkan oleh mikroba.

Penyebab foodborne disease yang paling utama yang berasal dari pangan asal hewan adalah Salmonella spp., Escherichia coli O157:H7, dan Campylobacter spp. Daging mentah (segar) dapat tercemar oleh E. coli, Salmonella, dan Staphylococcus aureus. Dalam daging giling dapat ditemukan Clostridium perfringens, Bacillus cereus, Listeria monocytogenes,

enterohemorrhagic E. coli (EHEC). Bergdoll (1990) menyatakan, S. aureus 105 CFU/g merupakan pedoman terhadap kerawanan adanya toksin pada karkas ayam mentah. Karkas ayam mentah yang digunakan sebagai bahan sate telah tercemar S. aures sebanyak 1.60 x 106 CFU/g. Pemanasan dapat menurunkan total S. aureus menjadi 4.30 x 103 CFU/g dan total bakteri menjadi 6.40 x 105 CFU/g. Walaupun total mikroba selama pengolahan menurun, angka tersebut masih tinggi. Proses pemasakan atau pemanasan dapat menurunkan cemaran mikroba menjadi 103 CFU/g dan negatif terhadap Salmonella sp. Pada kasus-kasus keracunan makanan, biasanya jumlah S. aureus mencapai 108 CFU/g atau lebih (Harmayani et al. 1996). Pemanasan dapat menurunkan total S. aureus menjadi 2.60 x 103 CFU/g. Namun populasi S. aureus meningkat menjadi 1.50 x 104 CFU/g selama proses pengangkutan dan menunggu waktu disajikan (pada suhu kamar selama 7.50 jam). Oleh karena itu, penyajian merupakan tahap penting yang perlu mendapat perhatian. Batas maksimum cemaran mikroba dalam karkas ayam mentah berdasarkan SK Dirjen POM No. 03726/8/SK/VII/85 adalah 106 CFU/g dan harus negatif dari Salmonella sp. Jika mengacu pada peraturan itu maka kualitas karkas ayam yang digunakan dalam industri jasa boga tersebut sudah tergolong buruk. Apalagi tingkat cemaran Salmonella sp. Sebanyak 105 CFU/g sudah dalam ambang yang membahayakan konsumen. Namun demikian, proses pemasakan atau pemanasan dapat menurunkan cemaran mikroba menjadi 103 CFU/g dan negatif terhadap Salmonella sp. (Keswandani, 1996).

Kontaminasi daging dengan mikroba patogen sampai saat ini tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena dapat menyebabkan penyakit jika terjadi kesalahan dalam penanganan, pemasakan atau penyimpanan produk. Pencegahan keracunan dapat dilakukan dengan penerapan praktek sanitasi dan proses pemasakan serta penyimpanan yang benar.


(3)

2

Faktor resiko utama pada praktek preparasi mencakup kontaminasi silang dari pangan mentah ke produk yang telah dimasak melalui refrigerator, tangan yang terkontaminasi, papan pengiris (talenan) dan lap kerja, ketidakcukupan suhu penyimpanan dingin, ketidakcukupan suhu dan waktu pemasakan, kesalahan dalam proses penanganan setelah proses pemasakan termasuk diantaranya proses pendinginan lambat dan atau rekontaminasi.

Menurut Poloengan et al., (2005), 20−100% daging ayam yang dipasarkan di Jakarta, Bogor, Sukabumi, dan Tangerang tercemar bakteri C. jejuni. Oleh karena itu, berkembangnya industri jasa boga di Indonesia perlu mendapatkan perhatian, terutama dalam kaitannya dengan penyediaan pangan yang berasal dari unggas. Produk olahan unggas seperti sate ayam, ayam panggang maupun ayam opor yang diproduksi oleh industri jasa boga berisiko tercemar mikroba. Sehingga perlu dilakukan kajian risiko mengenai besarnya peluang suatu produk pangan hewani yang dapat menyebabkan diare.

Dengan adanya laporan mengenai kejadian diare tersebut maka akan dilakukan penelitian mengenai survei konsumsi produk pangan asal hewan sehubungan dengan risiko terjadinya diare akibat mengonsumsi produk pangan hewani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peluang terjadianya diare akibat konsumsi produk hewani yang dihitung melalui penentuan nilai risiko relatif. Faktor risiko relatif (RR) ditentukan berdasarkan persentase insiden atau angka serangan (Attack Risk) untuk kelompok terpapar (AR) pada suatu populasi dengan persentase Insiden atau angka serangan (Attack Risk) untuk kelompok tidak terpapar (AR) pada suatu populasi. Perolehan nilai RR pada jenis produk pangan hewani ini dilakukan melalui teknik survei konsumsi pangan produk hewani dengan pengisian kuisioner yang mencakup informasi mengenai konsumsi produk pangan hewani tertentu dengan asumsi telah tercemar atau terkontaminasi oleh mikroba.

1.2 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan Umum

Tujuan umum pada penelitian ini adalah menentukan peluang terjadinya diare akibat mengonsumsi produk hewani melalui nilai RR

Tujuan Khusus

1. Mengetahui tingkat preferensi dan frekuensi konsumsi produk hewani olahan. 2. Mengetahui status kejadian diare pada responden melalui data primer.

3. Mengetahui peluang diare akibat konsumsi produk hewani tertentu olahan berdasarkan nilai RR (Relatif Risk).

1.3 MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi peniliti dalam hal adanya kejadian diare yang disebabkan oleh konsumsi produk hewani olahan. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi kepustakaan pada masyarakat untuk memerhatikan sistem pengolahan, sistem penyimpanan, penjagaan sanitasi lingkungan dan higienitas, sebagai bentuk kewaspadaan terhadap kesehatan. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pustaka bagi instansi-instansi terkait.


(4)

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KEAMANAN PANGAN

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2004 telah mengatur tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. PP tersebut menyatakan bahwa keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimiawi, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.

Pangan merupakan kebutuhan paling dasar bagi manusia. Oleh karena itu, ketersediaan pangan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitasnya, terus diupayakan oleh pemerintah antara lain melalui program ketahanan pangan. Melalui program tersebut diharapkan masyarakat dapat memperoleh pangan yang cukup, aman, bergizi, sehat, dan halal untuk dikonsumsi.

Gambar 1. Dampak masalah keamanan pangan

Perdagangan global memberikan dampak terhadap produk pertanian, baik produk hewani maupun tanaman pangan, yaitu munculnya isu keamanan pangan. Isu tersebut sering diberitakan di media massa sehingga mempunyai pengaruh cukup besar terhadap kesadaran dan perhatian masyarakat Indonesia. Beberapa isu tentang keamanan pangan produk pertanian yang meresahkan masyarakat adalah kasus antraks, keracunan susu, avian influenza (flu burung), cemaran mikroba patogen (Wuryaningsih, 2005). Industri pangan di Indonesia berkembang pesat, baik industri kecil, menengah maupun besar, dengan orientasi ekspor maupun untuk memenuhi kebutuhan domestik. Perkembangan ini berdampak positif bagi sektor pertanian serta akan mendorong terbukanya kesempatan kerja. Seiring dengan perkembangan tersebut, tuntutan konsumen akan pangan yang aman, sehat, utuh, halal, dan bermutu juga meningkat sesuai dengan makin membaiknya tingkat kehidupan masyarakat. Bahkan masyarakat di negara-negara maju telah menuntut adanya jaminan mutu sejak awal proses produksi hingga produk di tangan konsumen (from farm to table).

2.2 PENYAKIT AKIBAT PANGAN DAN INFEKSI PANGAN

2.2.1 Definisi Penyakit Akibat Pangan

Penyakit akibat pangan didefinisikan oleh WHO (World Health Organization) sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun, disebabkan oleh agen yang masuk kedalam


(5)

4

tubuh melalui makanan yang dicerna. Sebagian besar penyakit akibat pangan disebabkan oleh mikroba patogen seperti virus, bakteri, dan parasit. WHO (1993) melaporkan bahwa sekitar 70% dari penyakit diare yang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang disebabkan oleh konsumsi makanan yang tercemar. Mikroba patogen penyebab gejala diare yang utama di seluruh dunia adalah Campylobacter jejuni, yang merupakan salah satu spesies dari

Campylobacter spp. (Rutherford dan Klein, 2003). Mikroba patogen ini dapat menyebabkan infeksi radang usus, yang dapat menyebabkan kematian atau kerusakan neurological yang serius. Selama sepuluh tahun terakhir di dapat data yang menunjukkan bahwa bakteri ini merupakan penyebab diare yang utama dan infeksi radang usus pada manusia (Kusumaningrum et al., 2004).

2.2.2 Infeksi Pangan

Penyakit akibat pangan karena infeksi merupakan salah satu kategori penyakit akibat pangan yang disebabkan kontaminasi bahan biologis. Infeksi pangan adalah penyakit akibat pangan yang terkontaminasi virus, bakteri, atau parasit. Hal ini dapat terjadi dengan dua cara, yaitu yang pertama adalah virus, bakteri, atau parasit masuk melalui pangan yang dicerna dan berkembang biak dalam jaringan usus maupun jaringan tubuh lainnya, sehingga menyebabkan infeksi. Kelompok yang kedua adalah bakteri yang mengontaminasi pangan dengan cara mengeluarkan toksin ke dalam bahan pangan kemudian masuk ke dalam tubuh, sehingga dapat menginfeksi saluran usus yang dapat merusak jaringan tubuh serta mempengaruhi fungsi jaringan tubuh lainnya.

Infeksi oleh mikroorganisme patogen dalam pangan dapat terjadi melalui beberapa cara, diantaranya adalah pangan mentah yang terkontaminasi patogen tidak dimasak dengan benar (suhu dan waktu yang cukup) untuk membunuh patogen atau pangan dikonsumsi mentah. Selain itu, peralatan makan atau masak yang digunakan untuk mengolah bahan mentah yang terkontaminasi patogen, kemudian digunakan pula untuk mengolah bahan pangan lain atau disebut dengan istilah kontaminasi silang.

Deteksi awal agen penyebab secara spesifik suatu jenis penyakit akibat pangan dapat diketahui dengan melihat gejala yang terjadi dan waktu inkubasinya. Beberapa jenis gejala penyakit akibat pangan, waktu inkubasi serta mikroorganisme agen penyebabnya dapat dilihat pada Tabel 1.


(6)

5

Tabel 1. Keadaan klinis beberapa jenis penyakit akibat patogen berdasarkan waktu inkubasi, gejala, dan agen penyebabnya.

Waktu

Inkubasi Jenis Gejala

Agen Penyebab (Etiologic Agent) 1-5 jam

Pendek Muntah, sakit kepala, diare, kram/kejang perut

Bacillus cereus

2-6 jam Muntah, sakit kepala, diare Staphylococcus aureus

8-18 jam

Sedang Diare, sakit perut Clostridium

perfringens

8-16 jam Diare, sakit perut Bacillus cereus

12-24 jam

Panjang/Lama

Sakit kepala, muntah, diare antara 1-2 hari

Virus

(Norwalk like) 12-24 jam Diare, sakit perut Vibrio

parahaemolyticus

12-36 jam Lemas, mulut kering, penglihatan kabur, sulit menelan

Clostridium botulinum

12-48 jam Diare, demam, sakit perut Salmonella sp.

1_2 hari Diare (seringkali berdarah) E. coli

(Toxigenic species) 1- 3 hari Sakit perut, diare berdarah dan berlendir,

demam

Shigella sp.

2-5 hari Diare (kadang berdarah), sakit perut, demam

Campylobacter sp.

7-10 hari Diare encer (berair), sakit kepala, muntah, perut kembung, malaise (perasaan tidak enak), penurunan berat badan

Cyclospora

1-2 minggu Diare, pembengkakan Cryptosporidium parvum

1-3 minggu Demam, konstipasi (sulit buang air besar) Salmonella typhi

15-50 hari Malaise, demam, diare, penyakit kuning (jaundice)

Hepatitis A

1- 10 minggu Flu ringan, malaise, meningitis Listeria monocytogens

Sumber : Departement of Health (1994)

Pangan yang umumnya sumber infeksi dan keracunan oleh bakteri adalah pangan yang tergolong berkeasaman rendah seperti daging, telur, susu dan hasil produksinya. Yang termasuk bakteri penyebab infeksi pangan antara lain adalah Salmonella, Clostridium perfringens, Vibrio parahaemolyticus, Escherichia coli, Bacillus cereus, dan Vibrio cholerae.

2.3 DIARE

Diare merupakan suatu gejala penyakit yang terjadi karena adanya penyimpangan atau gangguan pada sistem pencernaan makanan. Selain itu, diare adalah buang air besar dalam bentuk cairan lebih dari tiga kali dalam satu hari dan biasanya berlangsung selama dua hari atau lebih. Pengalaman kejadian diare yang dialami setiap orang dapat mengakibatkan kehilangan cairan tubuh sehingga tubuh mengalami dehidrasi. Kehilangan cairan tubuh dapat membuat


(7)

6

tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik dan dapat membahayakan jiwa, khususnya pada anak dan orang tua.

Kejadian diare banyak disebabkan oleh adanya infeksi dari berbagai bakteri yang disebabkan oleh kontaminasi makanan atau minuman, kontaminasi berbagai macam virus, alergi makanan (khususnya susu atau laktosa), parasit yang masuk ke tubuh melalui makanan atau minuman yang kotor.

Patofisiologi diare meliputi masuknya bakteri penyebab diare yang berkembang dan berkolonisasi dengan cepat dan melakukan interaksi yang merubah mekanisme absorpsi dan sekresi saluran pencernaan. Infeksi bakteri interal pada umumnya menimbulkan gejala diare akut dengan atau tanpa muntah dan demam, tinja encer sampai cair sekali kadang-kadang disertai darah dan atau lendir dan berbau busuk.

Gejala kesakitan pada diare akut dapat hilang dalam jangka waktu yang relatif pendek dan penderita akan sembuh secara spontan apabila kehilangan cairan dan elektrolit segera terganti dalam jumlah yang cukup. Tingkat keparahannya tergantung pada penyimpangan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Apabila diare akut tersebut tidak dapat ditangani secara baik dan segera, maka penderita akan mengalami dehidrasi berat dan meninggal atau diare menjadi kronik.

2.4 KONSUMSI PRODUK PANGAN HEWANI

Daging merupakan salah satu komoditi peternakan yang dibutuhkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein hewani pada khususnya, karena protein hewani mensuplai asam amino yang lebih lengkap bagi tubuh dibandingkan dengan protein nabatai (Muchtadi et al, 1989). Selain sebagai sumber protein dan lemak yang tinggi, daging ayam juga mengandung beberapa mineral essensial. Komposisi daging relatif mirip satu sama lain, terutama kandungan proteinnya yang berkisar 15-20 persen dari berat bahan. Protein merupakan komponen kimia terpenting yang ada di dalam daging.

Menurut Moutney (1983), daging ayam merupakan sumber protein tertinggi. disamping itu bila ditinjau dari kandungan gizinya, daging ayam merupakan bahan pangan yang berkualitas tinggi. Daging ayam tersusun dari komponen-komponen protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, air, dan pigmen. Kadar masing-masing komponen tersebut berbeda-beda tegantung pada jenis/ras, umur atau jenis kelamin unggas. Daging ayam merupakan produk pangan berprotein tinggi, sehingga produk tersebut mudah mengalami kerusakan. Kerusakan yang terjadi adalah bau busuk khas protein yang disebabkan kontaminasi pangan oleh mikroba pembusuk yang dapat menurunkan kualitas produk pangan maupun mikroba patogen yang mampu menyebabkan sakit. Selain itu, kerusakan lainnya adalah kerusakan struktur jaringan (lembek) dan warna yang tidak normal (SHE CPI, 2006).

Data yang diperoleh dari Food Safety Inspection Servises (FSIS) yang telah melakukan penyelidikan tentang mikroorganisme produk hewan, memperlihatkan bahwa terdapat enam bakteri patogen yang sering terdapat pada daging ayam. Bakteri patogen tersebut adalah

Salmonella sp., Eschercia coli O157: H7, Campylobacter sp., Listeria monosytogenes,


(8)

7

Sumber : Lawrie (1995)

2.4.1 Perubahan Komponen Produk Hewani Selama Pengolahan

Kebanyakan bahan makanan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan banyak macam mikroorganisme. Pada keadaan fisik yang menguntungkan, terutama pada kisaran suhu 7o C sampai 60o C, organisme akan tumbuh dan menyebabkan terjadinya perubahan dalam hal penampilan, rasa, bau, serta sifat-sifat lain pada bahan makanan. Perubahan-perubahan tersebut dapat menyebabkan kerusakan pangan akibat mikroorganisme. Selain itu, makanan yang telah mengalami proses pengolahan menjadi rusak setelah penyimpanan dalam jangka waktu tertentu, meskipun setelah produk pangan tersebut diolah telah dinyatakan bebas dari mikroorganisme. Hal ini disebabkan, sebagian dari sel-sel mikroorganisme yang terdapat dalam makanan yang telah mengalami proses pengolahan tersebut mungkin belum mati meskipun tidak dapat hidup secara normal seperti sel-sel normal. Sel-sel dikatakan mengalami kerusakan sub-lethal, yaitu kerusakan sel yang tidak mematikan, dimana sel mengalami stres atau sakit. Jika kemudian nutrien dan kondisi lingkungan memungkinkan, sel-sel yang sakit atau stres tersebut dapat sembuh kembali dan berkembang biak seperti halnya sel-sel normal.

Makanan yang segera setelah proses pengolahan dinyatakan bebas dari mikroba pembusuk atau patogen karena berdasarkan uji mikrobiologi dinyatakan negatif, tetapi jika sebagian sel-sel tersebut hanya mengalami stres atau sakit, setelah mengalami penyimpanan mempunyai kesempatan untuk menyembuhkan diri dan aktif kembali. Proses termal pada suhu konvensional (120oC) atau suhu ultra tinggi dapat mengakibatkan kerusakan sub-lethal terhadap spora Bacillus subtilis, Clostridium perifringens, C. Sporogenes dan C. Botulinum (Busta, 1976).

Proses pengolahan pada produk ayam bumbu khususnya dilakukan dengan menggunakan campuran rempah-rempah sebagai bumbu masakan. Bumbu rempah yang

Tabel 2. Beberapa sifat keracunan daging karena bakteri Mikroba penyebab Waktu dari ditelan ada gejala Sumber mikroba

penyebab Gejala

Salmonella 8-72 jam saluran pencernaan hewan Abdomen sakit, diare nusae, pireksia, prostrasi

Staphylococcus 1-6 jam kulit, hidung, potongan-potongan,

Seperti diatas, ditambah salivasi dan muntah, 2-4 jam manusia, hewan tetapi sub-normal

temperatur

Enterococcus 2-18 jam saluran pencernaan hewan Cramp abdomen, diare; C. Welchii, C.

Perifringens

tanpa pireksia atau prostrasi

2 jam - 8 hari

Stre. Faecalis Tanah Kesukaran menelan;

visi berganda; tanpa pireksia,

paralisis respirasi C. Botulinum


(9)

8

digunakan pada ayam bumbu ini memiliki senyawa antimikroba yang dapat menginaktifkan spora, misalnya klorin dan hidrogen peroksia dapat merusak protein spora. Setiap anti-senyawa mikroba mempunyai kemampuan penghambatan yang khas untuk satu jenis mikroba tertentu (Frazier dan westhoff, 1988). Sifat antimikroba bumbu segar masakan tradisional dan sifat antioksidan bumbu masakan tradisional hasil olahan industri telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (Rahayu, 2000).

Disamping melalui pengolahan, kebiasaan penyajian dan penyimpanan produk olahan yang tidak tepat, seperti menyimpan di suhu kamar, juga mempengaruhi pertumbuhan mikroba patogen. Sehingga, dengan berkurangnya komponen senyawa antimikroba pada bumbu serta penyajian dan penyimpanan yang tidak tepat dapat menyebabkan seseorang mengalami diare dan keracunan makanan yang diakibatkan oleh pertumbuhan mikroba. Seperti kita ketahui bahwa mikroba yang terdapat dalam daging merupakan mikroba patogen. Oleh karena itu, dengan banyaknya mikroba patogen yang terdapat pada daging ayam bumbu dan daging semur maka diperlukan konsentrasi zat anti-mikorba lebih tinggi dari rempah-rempah dapat saling memperkuat bila dicampurkan menjadi bentuk bumbu sehingga bumbu dapat lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroba pada daging (Rahayu, 2000).

Proses pemanasan adalah proses pengolahan yang paling banyak dilakukan terhadap produk-produk hewani, baik di tingkat rumah tangga maupun industri. Pemanasan dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi kesehatan tubuh. Inaktivasi senyawa-senyawa antinutrisi dan beberapa enzim yang tidak dikehendaki dapat meningkatkan daya cerna protein, meningkatkan ketersediaan asam-asam amino secara biologis dan memperbaiki flavor. Sebaliknya dapat terjadi, dimana pemanasan tersebut justru menimbulkan efek yang merugikan kesehatan, seperti terjadinya ikatan silang antar asam amino, terbentuknya ikatan asam amino baru dan produk-produk yang tidak dikehendaki. Selain itu, terbentuknya nitrosamin pada daging melalui reaksi amin sekunder atau amin tertier dengan N2O3, melalui reaksi sebagai berikut:

R2NH + N2O3 --- R2N.NO + HNO2

R3N + N2O3 --- R2N.NO + R

Nitrit yang biasanya ditambahkan ke dalam produk-produk olahan daging digunkan untuk membentuk warna dan cita rasa, serta membantu dalam pengawetan. Residu nitrit dapat bereaksi dengan amin sekunder di dalam daging membentuk n-nitrosamin yang bersifat karsinogenik. Residu yang tersisa dapat menyebabkan terjadinya keracunan makanan terutama pada olahan daging. Produk olahan daging dinyatakan relatif awet jika mempunyai pH 5.2 atau kurang dan aktivitas air 0.95 atau kurang, atau mempunyai pH di bawah 5.0, atau aktivitas air dibawah 0.91 (Leistner dan Rodel, 1975). Akan tetapi, masa simpan produk-produk tersebut terbatas karena terjadinya kerusakan kimia atau fisik, dan bukan karena kerusakan mikrobiologis.

Pada ikan segar telah diketahui bahwa proses pemasakan dapat meningkatkan atau menyebabkan terbentuknya NDMA (N-nitrosodimetilamin) yang kemungkinan dapat menyebabkan keracunan makanan. Daging panggang/bakar, barbeque, dan ikan asap/bakar yang di buat di atas api, dapat terkontaminasi oleh karsinogen dari jelaga dan permukaan bahan yang hangus (Lawrie, 1995). Hidrokarbon polinuklir komplex, termasuk benzpyren dan benzanthracen yang berasal dari lemak yang terbakar tidak sempurna, telah ditemukan pada permukaan daging yang di panggang di atas arang atau api yang menyala.

Bahan-bahan pangan ini mengandung jumlah karsinogen 3,4-benzypyrene dalam jumlah tinggi. Bahan pangan yang di asap di rumah tangga umumnya mengandung hidrokarbon


(10)

9

polisiklik, termasuk 3,4-benzypyrene dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk komersil (Thorsteinson, 1969). Hal ini disebabkan oleh perbedaan derajat dalam intensitas dan lamanya kontak antara daging dengan asap dalam proses pengasapan. Produk ikan pada khususnya yang menyebabkan keracunan adalah keracunan histamin, yang diakibatkan oleh tertelannya histamin dalam jumlah melebihi ambang batas. Adanya histamin karena berakumulasi pada ikan yang telah mengalami penurunan mutu produk ikan tersebut.

Keracunan histamin adalah intoksikasi kimia yang disebabkan oleh termakannya bahan-bahan makanan yang mengandung histamin dalam konsentrasi tinggi. Ikan bakar yang menyebabkan terjadinya diare di duga masih terdapat kandungan histamin dengan tingginya kadar L-histidin bebas di dalam jaringan daging ikan bakar, kemudian dilepaskan oleh aksi proteolitik. Bahan makanan dengan kadar histamin rendah tidak akan menimbulkan masalah keracunan pada konsumen. Akan tetapi, histamin hanya akan menimbulkan masalah apabila konsentrasinya melebihi 50 mg/100 gram ikan atau bahan makanan lainnya (Wahyuni dan Astawan, 1991). Selain itu, penyebab terjadinya diare pada ikan bakar dapat disebabkan karena kesalahan pengolahan seperti pembakaran dengan pemanasan yang kurang, penyajian tidak tepat, serta penyimpanan dilakukan pada suhu ruang. Hal ini disebabkan, sebagian dari sel-sel mikroorganisme dalam makanan yang telah mengalami proses pengolahan tersebut mungkin belum mati meskipun tidak dapat hidup secara normal seperti sel-sel normal.

2.5 KASUS KEJADIAN DIARE DI BOGOR

Pelaporan kasus penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) dan diare dari sembilan rumah sakit umum (RSU) di Kota Bogor dinilai masih minim, sehingga masih sulit untuk mengetahui jumlah kasus sebenarnya. Data yang diperoleh dari survei statistik RS. PMI Bogor menunjukkan bahwa penderita diare di Kota Bogor mencapai ribuan orang.

Anonimb (2006) melaporkan bahwa penyakit diare menyerang dua desa di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kedua desa adalah Desa Bendungan dan Desa Banjarwaru. Sebanyak 83 orang penderita diare menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Daerah Ciawi. Dua di antara penderita diare, meninggal dunia. penyebaran penyakit diare di kawasan tersebut terjadi akibat penggunaan air kotor untuk kepentingan konsumsi.

Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Departemen Kesehatan mengerahkan tim untuk membantu penanganan kejadian luar biasa (KLB) diare di Kecamatan Cisarua, Caringin, dan Cigudeg, Kabupaten Bogor. Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Sub Direktorat Surveilans Epidemiologi Ditjen P2PL Depkes. Kecamatan Cisarua ditemukan kasus diare sebanyak 154 orang, Kecamatan Caringin 41 orang, dan Kecamatan Cigudeg 147 orang dengan total kasus 342 orang (Anonimc, 2009).

Menurut Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor dari Januari hingga September 2010, penderita diare telah mencapai 13.852 orang. Sementara itu, di posisi kedua, penderita terbanyak terjadi pada bulan Maret yakni sebanyak 1669, Juli 1.505 penderita, dan Juni dengan 1.505 penderita. Di Januari terdapat 1.489 penderita, April dengan 1.483 penderita, Februari dengan 1438 penderita, Agustus dengan 1361 penderita, dan September dengan 1.284 penderita (Anonimd, 2010).

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan diare masih berada di peringkat pertama untuk penyakit yang paling banyak menyerang warga Kecamatan Rumpin. Berdasarkan data yang ada di kantor kecamatan, tercatat 13.777 kasus ISPA dan 4.864 kasus diare pada 2009 (Anonime, 2010).


(11)

10

2.6 SURVEI KONSUMSI PANGAN

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang tidak dapat dihindarkan. Orang dapat bergerak melakukan kerja fisik, tumbuh dan berkembang karena khasiat dari makanan. Tubuh manusia memerlukan zat makanan atau gizi yang memungkinkan untuk berlangsungnya kehidupannya. Zat gizi tersebut terdiri dari energi, protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air. Zat gizi tersebut tersedia dalam berbagai bahan makanan yang tidak terhitung jumlahnya. Cukup tidaknya zat gizi yang dibutuhkan tubuh tergantung dari jenis dan banyak pangan yang dikonsumsi. Oleh karena itu sangatlah penting mengetahui, mengukur, dan menilai sejauh mana konsumsi pangan dan zat gizi seseorang atau kelompok penduduk telah memenuhi kebutuhan zat gizi. Informasi tentang konsumsi pangan dapat diperoleh dengan berbagai cara. Ibu rumah tangga dapat ditunjukkan bagaimana mengisi kuesioner untuk mendapatkan data jenis makanan apa saja yang telah dikonsumsi. Dari data tersebut dapat diperhitungkan jenis pangan apa saja yang dikonsumsi oleh keluarga tersebut.

Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan secara tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan sosiologis (Sanjur, 1982). Penentuan data jumlah konsusmsi pangan dapat dilakukan dengan melakukan survei pangan.

Survei konsumsi pangan dimaksudkan untuk mengetahui dan menelusuri konsumsi pangan yang dilihat dari jenis-jenis pangan, sumber-sumbernya maupun dalam jumlah yang dikonsumsinya, termasuk bagaimana kebiasaan makanannya serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi pangan tersebut. Menurut Sanjur (1982), kegiatan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, suatu negara atau suatu bangsa mempunyai pengaruh yang kuat dan kekal terhadap apa, kapan, dan bagaimana penduduk makan. Pola kebudayaan yang berkenaan dengan suatu masyarakat dan kebiasaan pangan yang mengikutinya, berkembang di sekitar arti pangan dan penggunaannya yang cocok. Pola kebudayaan ini mempengaruhi orang dalam memilih pangan. Hal itu juga mempengaruhi jenis pangan apa yang harus diproduksi, bagaimana diolahnya, disalurkannya, disiapkannya, dan disajikannya.

Oleh karena itu, survei konsumsi pangan dapat menghasilkan data atau informasi yang bersifat kualitatif atau kuantitatif atau kedua-duanya. Secara kualitatif data yang dikumpulkan menitikberatkan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan kebiasaan makan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan sesorang atau masyarakat. Sedangkan survei konsumsi secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah pangan atau makanan yang dikonsumsi.

Pada proses survei dilakukan pengambilan data dengan cara menyebarkan kuesioner. Kuesioner yang diperoleh dapat memberikan data atau informasi yang kita inginkan. Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data dari sejumlah besar responden yang menjadi sampel. Data yang dikumpulkan akan lebih mudah untuk dianalisis, karena pertanyaan yang diajukan kepada setiap responden sama. Akan tetapi, pemakaian angket kuesioner terbatas pada pengumpulan pendapat atau fakta yang diketahui responden, yang tidak dapat diperoleh dengan jalan lain. Hasil kuesioner yang diperoleh kemudian dilakukan analisis data yaitu analisis univariat dan bivariat.

Analisis univariat digunakan untuk memperoleh gambaran karakteristik sampel (umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, dll) yang diperoleh berdasarkan dsitribusi frekuensi yang dianalisa secara deskriptif. Selain itu, menginformasikan suatu variabel dalam kondisi tertentu


(12)

11

tanpa dikaitkan dengan variabel lain. Menurut Budiarto (2001) analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan dua variabel pada indikator konsep yang sama dan hubungan sebab-akibat. Hubungan sebab-akibat pada analisis bivariat ini dilakukan menggunakan perhitungan matematis dengan rumus yang telah di tetapkan dalam menentukan jenis pangan yang menyebabkan diare.

Penentuan nilai RR (Risiko Relatif) pada setiap makanan yang menjadi pemicu dalam keracunan makanan dibutuhkan perhitungan perbandingan insiden untuk kelompok terpapar dengan insiden untuk kelompok yang tidak terpapar. Perhitungan insiden kelompok yang terpapar dan tidak terpapar sangat penting dilakukan untuk menentukan faktor risiko pada jenis makanan yang memicu kejadian diare melalui nilai RR. Risiko Relatif (RR) untuk menentukan salah satu jenis produk hewani olahan yang memicu kejadian diare pada suatu wilayah. Nilai RR < 1; faktor risiko merupakan faktor yang menguntungkan karena bersifat menghambat perkembangan penyakit. Nilai RR = 1; faktor risiko tidak ada pengaruhnya atau bersifat netral. Nilai RR > 1; benar-benar sebagai faktor risiko untuk timbulnya penyakit tertentu (Martin et al., 1988 dan Pratiknya, 1993).


(13)

12

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini di desain melalui pendekatan cross-sectional study yaitu rancangan suatu studi epidemiologi yang mempelajari hubungan penyakit dan paparan (faktor penelitian) dengan cara mengamati status paparan dan penyakit, secara serentak pada individu-individu dari populasi tunggal, pada suatu saat atau periode (Murti, 1997). Penarikan sampel responden diambil secara cluster sampling. Populasi yang tersebar dalam beberapa wilayah yang memiliki riwayat sakit diare di Kota Bogor, maka salah satu atau beberapa wilayah dapat diambil secara acak sebagai sampel responden terbesar pada suatu kecamatan untuk diamati lebih lanjut. Teknik pengambilan data pada penelitian ini adalah teknik survei dengan menggunakan kuesioner dan wawancara sebagai pengambilan data primer. Data primer diperoleh dari pengisian kuesioner. Pengukuran peluang pada penelitian ini adalah dengan membandingkan kejadian diare melalui perhitungan besarnya AR dan RR secara langsung.

Desain Penelitian

Gambar 2. Bagan alur desain penelitian

Penyusunan kuesioner

Penentuan sampel populasi responden

Pengumpulan data primer konsumsi pangan

Analisis Data

- Karakteristik responden

- Frekuensi konsumsi pangan

- Porsi pengkonsumsian

- Kejadian diare

Penentuan nilai AR dan RR

- Persentase terjadinya serangan sakit pada responden berdasarkan nilai AR (Attack Risk)

- Peluang terjadinya diare akibat konsumsi produk hewani melalui perhitungan nilai RR (Relatif Risk)


(14)

13

3.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan selama empat bulan, yaitu dimulai pada bulan Maret 2011 sampai Juni 2011. Pertimbangan pengambilan lokasi penelitian berdasarkan angka populasi tertinggi yaitu Kecamatan Bogor Barat di Kota Bogor, Jawa Barat.

3.3 PENGUMPULAN DATA PRIMER

3.3.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah penduduk di wilayah Kecamatan Bogor Barat. Jumlah penduduk yang menjadi responden dalam penyelenggaraan pembagian kuesioner sebanyak 400 responden (ibu rumah tangga) yang dianggap mewakili kejadian diare di Kecamatan Bogor Barat. Pengambilan responden dilakukan berdasarkan jumlah kepadatan penduduk yang dianggap dapat memicu terjadinya epidemiologi terhadap kejadian diare akibat mengonsumsi sumber pangan produk hewani.

3.3.2 Jumlah dan Cara Penarikan Sampel Responden

Sampel dipilih berdasarkan sistem purposive sampling dengan kriteria berikut ini: a. Usia responden terdiri dari < 20 tahun, 20-45 tahun, 46-59 dan > 59 tahun

b. Responden yang biasa mengonsumsi produk hewani seperti daging ayam olahan, daging sapi olahan, daging ikan olahan dan lainnya.

c. Penduduk bersedia menjadi responden

Perkiraan besarnya sampel dapat dihitung dengan rumus Slovin adalah:

dimana:

– n = ukuran sampel – N = ukuran populasi

– e = tingkat kepercayan 95% (α = 0,05)

Dalam penentuan besarnya ukuran contoh responden yang harus ditarik digunakan besar proporsi responden yang mengonsumsi sumber produk hewani di Kecamatan Bogor Barat

adalah α= 5% atau α = 0.05; dan (1-α) = 0.95. Penggunaan proporsi sebesar 5% dengan tingkat kepercayaan 95%, maka besarnya sampel responden dapat di dapatkan melalui persamaan berikut:


(15)

14

Besar populasi yang terdapat di daerah Kecamatan Bogor Barat adalah 205997 penduduk, dimana jumlah populasi tersebut jumlah populasi penduduk terbanyak di Kota Bogor (BPS, 2011). Survei yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan ukuran contoh (n) 400 responden yang lebih besar dari batas minimal sebanyak 399 responden. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya responden yang tidak menjawab pertanyaan pada pertanyaan tertentu.

3.3.3 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk pengambilan data adalah teknik survei dengan menggunakan kuesioner dan wawancara langsung melalui pengambilan data primer. Jenis pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bagian pertama mengenai karakteristik responden dan bagian kedua mengenai aspek keamanan pangan. Pengisian kuesioner dilakukan sendiri dengan bantuan enumerator. Data yang diperoleh dilakukan dengan mananyakan setiap pertanyaan yang terdapat pada kuesioner. Peubah yang dikumpulkan selama pelaksanaan penelitian meliputi karakteristik contoh, pola konsumsi berdasarkan URT (Ukuran Rumah Tangga), dan status kejadian diare dapat dilihat pada Tabel 3. Peubah tersebut dikumpulkan melalui wawancara responden dan pengisian kuesioner.

Tabel 3. Jenis peubah dan cara pengumpulan data

No .

Peubah Cara pengumpulan data

1. Karakteristik responden Pengisian kuesioner

2. Konsumsi pangan daging olahan Pengisian kuesioner

3. Frekuensi dan porsi Pengisian kuesioner dan wawancara

4. Status kejadian diare Pengisian kuesioner

Pertanyaan yang disusun merupakan kombinasi dari pernyataan tertutup dan pertanyaan terbuka. Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang tidak menggiring kepada jawaban yang sudah ditentukan dan tinggal dipilih dari alternatif yang ditawarkan, sedangkan pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang sudah menggiring kepada jawaban yang alternatifnya sudah ditetapkan.

Kuesioner yang telah disusun di uji coba terlebih dahulu sebelum dilakukan pada responden yang sebenarnya. Tujuannya adalah untuk memperbaiki desain kuesioner yang telah dibuat serta memberi kesempatan pada responden untuk memberikan saran untuk perbaikan kuesioner. Uji coba ini dilakukan terhadap penduduk terdekat. Sehingga dari hasil uji coba dapat diketahui apakah kuesioner yang disusun dapat dimengerti dan layak diajukan pada responden sebenarnya atau belum. Jika belum, maka perlu diadakan perbaikan kuesioner, baik mengenai jumlah maupun bentuk pertanyaan.

3.3.4 Analisis Data Primer

a. Data karakteristik responden

Meliputi umur, jenis kelamin, jumlah keluarga, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan yang diperoleh melalui hasil pengisian kuesioner. Data karakteristik sampel dikelompokkan menjadi:


(16)

15

Tabel 4. Pengelompokan responden

No Parameter Kelompok 1 Umur < 20 tahun

20 - 45 tahun 46 - 59 tahun > 59 tahun 2 Jenis Kelamin Laki-laki

Perempuan 3 Pendidikan SD

SLTA Diploma Sarjana 4 Pekerjaan PNS

Wiraswasta Pegawai swasta Tidak bekerja

b. Data tingkat konsumsi produk hewani olahan dan aspek keamanannya

Data responden yang dikelompokkan untuk mendapat faktor tingkat konsumsi produk hewani olahan:

1. Tingkat preferensi responden dalam mengonsumsi produk pangan hewani olahan. 2. Tingkat frekuensi responden dalam mengonsumsi produk hewani olahan 3. Besar porsi dalam mengonsumsi produk pangan hewani olahan

4. Frekuensi terjadinya sakit diare dalam satu minggu terakhir c. Data perilaku konsumsi responden

Data diambil dari hasil angket menggunakan kuesioner pada responden dan alasan responden terhadap perilaku responden dari kebiasaan responden dalam mencuci tangan terlebih dahulu sebelum mengonsumsi produk hewani olahan. Selain itu, memuat data responden mengenai kebiasaan dalam menyiapkan, menghidangkan, dan menyimpan produk hewani olahan hingga di konsumsi kembali.

3.4 ANALISIS DATA

Metode pengolahan data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah editing, coding, entri data dan analisis data. Analisis dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu metode analisis secara deskriptif yang diolah dengan manggunakan MS. Excell dan metode uji statistika yang diolah dengan menggunakan program SPSS versi 16 for windows.

3.4.1 Analisis Univariat

Analisis yang dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan informasi yang cepat dan relevan dalam menentukan karakteristk reponden, tingkat preferensi, frekuensi, porsi konsumsi, dan perilaku konsumsi produk olahan hewani oleh responden dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi dan dianalisis secara deskriptif serta faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian diare akibat konsumsi produk hewani olahan.


(17)

16

3.4.2 Analisis Bivariat

Anlisis bivariat bertujuan untuk mengetahui kemaknaan hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square. Syarat uji Chi Square antara lain jumlah sampel harus cukup besar, pengamatan harus bersifat independen dan hanya dapat digunakan pada data deskrit atau data kontinu yang telah dikelompokkan menjadi kategori (Budiarto, 2001). Uji Chi square digunakan untuk menentukan hubungan antara kejadian diare terhadap umur, pendidikan, dan jenis pekerjaan. Dasar

pengambilan keputusan penerimaan hipotesis berdasarkan tingkat signifikan (nilai α) sebesar

95%:

a. jika nilai p > α, maka hipotesis penelitian (Ha) ditolak.

b. jika nilai p ≤ α, maka hipotesis penelitian (Ha) diterima.

Nilai probabilitas dari hasil uji dibandingkan dengan nilai α. Hipotesis yang dipakai

berfungsi untuk menyatakan ada atau tidak adanya perbedaan antara kelompok yang terpajan (terpapar) dan kelompok tidak terpajan (tidak terpapar).

Uji pada penelitian juga melihat pengaruh faktor risiko kejadian diare akibat konsumsi produk hewani. Ukuran asosiasi yang digunakan adalah risiko relatif (RR) yaitu perbandingan antara proporsi kelompok terpajan (terpapar) dengan proporsi kelompok yang tidak terpajan (tidak terpapar) pada suatu populasi. Rancangan tabulasi silang penelitian ini adalah sebagai berikut (Sastroasmoro dan Ismael, 1995).

FAKTOR

RISIKO

EFEK

YA

TIDAK

JUMLAH

YA

A

B

A+B

TIDAK

C

D

C+D

Sel A = subyek dengan faktor risiko yang mengalami efek Sel B = subyek dengan faktor risiko yang tidak megalami efek Sel C = subyek tanpa faktor risiko yang mengalami efek Sel D = subyek tanpa faktor risiko yang tidak mengalami efek

Persentase insiden atau angka risiko serangan (Attack Risk) untuk kelompok terpapar (AR) pada suatu populasi : [A / (A+B)] X 100%

Persentase Insiden atau angka risiko serangan (Attack Risk) untuk kelompok tidak terpapar (AR) pada suatu populasi : [C / (C+D)] X 100%

FAKTOR RISIKO (+)

FAKTOR RISIKO (+) SUBYEK TANPA

FAKTOR RESIKO TANPA EFEK

TIDAK YA TIDAK


(18)

17

Interpretasi Risiko Relatif (RR):

- RR = 1, berarti ada hubungan antara faktor risiko atau paparan dengan kejadian penyakit (bersifat netral).

- RR > 1, berarti ada hubungan positif antara faktor risiko dengan kejadian penyakit (sebagai faktor risiko).

- RR < 1, berarti tidak ada hubungan (hubungan negatif) dengan kejadian penyakit (menghambat penyakit).


(19)

18

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 KARAKTERISITIK RESPONDEN

Responden adalah ibu rumah tangga yang tersebar di wilayah Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat. Penentuan responden dilakukan secara acak berjumlah 400 responden. Setiap responden mendapatkan berkas kuesioner yang berisi berbagai macam pertanyaan untuk menghasilkan karakteristik dari responden tersebut. Adapun karakteristik responden yang diteliti meliputi umur, pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 5. Karakteristik responden di Kecamatan Bogor Barat

No

Variabel

Responden yang mengonsumsi produk olahan hewani

Jumlah (n) Persentase (%)

1 Umur

< 20 tahun 1 0.2 20-45 tahun 268 67 46-59 tahun 112 28 > 59 tahun 19 4.8 Total 400 100 2 Pendidikan

SD 128 32

SLTP 134 33.5

SLTA 100 25

Diploma 17 4.2

Sarjana 21 52

Total 400 100

3 Pekerjaan

PNS 17 4.2

Wiraswasta 52 13

Pegawai swasta 28 7 Tidak bekerja 303 75.8

Total 400 100

4 Penghasilan

< Rp 1,000,000 279 69.8 Rp 1,000,000 - Rp 3,000,000 118 29.5 > Rp 3,000,000 3 0.8 Total 400 100

Pada penelitian ini dilakukan kategorisasi umur terhadap 400 responden, yaitu < 20 tahun, 20 - 45 tahun, 46 - 59 tahun dan > 59 tahun. Responden terbanyak terdapat pada golongan umur 20 - 45 tahun dengan jumlah 268 orang (Tabel 5). Melalui kategorisasi umur tersebut diketahui bahwa responden yang paling banyak mengonsumsi produk hewani tertentu adalah responden pada golongan umur 20 - 45 tahun. Umur merupakan salah satu faktor risiko yang


(20)

19

biasa digunakan untuk memprediksi perbedaan dalam hal penyakit, kondisi, dan peristiwa kesehatan (Widyastuti, 2005).

Jenjang pendidikan memiliki peranan penting dalam kesehatan masyarakat. Pendidikan masyarakat yang rendah menjadikan mereka untuk mengetahui pentingnya higyene individual dan sanitasi lingkungan untuk mencegah terjangkitnya penyalit menular. Tingkat pendidikan pada penelitian ini dikategorikan menjadi lima, yaitu SD, SLTP, SLTA, Diploma, Sarjana. Sebagian besar responden adalah berpendidikan di jenjang SLTP yaitu sebanyak 134 (Tabel 5). Menurut Widyastuti (2005), pada perempuan, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin rendah angka kematian bayi dan kematian ibu. Tingkat pendidikan yang rendah merupakan salah satu faktor risiko terhadap kejadian diare. Hubungan yang menunjukkan adanya pengaruh sebagai faktor risiko kejadian diare pada jenis produk hewani tertentu dapat dilihat pada Tabel 21.

Karakteristik pekerjaan seseorang dapat mencerminkan pendapatan, status sosial, pendidikan, status sosial ekonomi, risiko cedera atau masalah kesehatan dalam suatu kelompok populasi. Jenis pekerjaan responden pada penelitian ini dibagi menjadi empat, yaitu PNS, wiraswasta, pegawai swasta, dan ibu rumah tangga. Pada Tabel 5, responden terbanyak adalah ibu rumah tangga yaitu sebanyak 303 orang. Sedangkan responden yang bekerja sebagai PNS sebanyak 17 orang lebih sedikit jika dibandingkan dengan pekerja lainnya. Hal ini dikarenakan ibu rumah tangga lebih memiliki waktu luang dalam menentukan kebutuhan rumah tangganya untuk memenuhi angka kecukupan gizi dari mengonsumsi produk hewani.

Gambaran tingkat penghasilan dibagi menjadi tiga bagian yaitu, < Rp 1,000,000; Rp 1,000,000 – Rp 3,000,000; dan > Rp 3,000,000. Berdasarkan Tabel 5 distribusi diketahui bahwa sebaran tingkat penghasilan terbanyak adalah responden yang berpenghasilan < Rp 1,000,000 yaitu sebanyak 279 orang. Penghasilan mencermikan tingkah laku manusia untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya serta kemampuan seseorang dalam menentukan kebutuhan pangan yang sehat dan bergizi sebagai aspek kesadaran akan angka kecukupan gizi tersebut.

4.2 KESUKAAN KONSUMSI PRODUK HEWANI OLAHAN

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari gambaran penilaian responden terhadap tingkat preferensi produk hewani olahan yang di olah dengan berbagai macam olahan, frekuensi konsumsi responden terhadap produk olahan, besar porsi yang dikonsumsi oleh responden, serta hubungannya terhadap tingkat kejadian diare dan lama kejadian diare.

Penilaian terhadap tingkat preferensi responden meliputi empat jenis olahan produk hewani, yaitu diolah dengan cara di bakar, di goreng, di panggang, dan di beri banyak bumbu rempah. Untuk melihat gambaran tersebut, dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.


(21)

20

Tabel 6. Kesukaan responden terhadap jenis produk olahan

Produk olahan

Responden yang menyukai produk olahan hewani

Jumlah (n) Persentase (%)

Bakar 25 6.2

Goreng 289 72.2 Panggang 6 1.5

Bumbu 80 20

Jumlah 400 100

Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa dari 400 responden, seluruhnya menyukai produk hewani olahan. Pada aspek kesukaan banyak responden menyatakan suka pada produk hewani yang di olah dengan cara di goreng, yaitu sebanyak 289 responden. Hal ini dikarenakan rasanya yang enak, lebih praktis dan cepat proses pengolahannya maupun penyajiannya. Pilihan konsumsi seseorang relatif terhadap penghasilan dan kelas sosialnya dalam masyarakat. Artinya, semakin besar tingkat penghasilan seseorang tidak berarti bahwa biaya konsumsinya semakin besar dan sebaliknya, penghasilan seseorang yang relatif rendah tidak berarti konsumsinya akan rendah. Namun bila terjadi penurunan penghasilan dalam jangka waktu lama, maka pola konsumsi otomatis akan menurun pula (Nurhayati, 2003).

Tabel 7. Frekuensi konsumsi produk olahan hewani Frekuensi konsumsi

Dalam satu minggu

Responden yang mengonsumsi produk olahan hewani

Jumlah (n) Persentase (%) < 2 kali 129 32.2 2-3 kali 165 41.2 > 3 kali 106 26.5 Jumlah 400 100

Penilaian terhadap frekuensi konsumsi dikategorikan menjadi tiga, yaitu < 2 kali konsumsi, 2-3 kali konsumsi, dan > 3 kali konsumsi. Tabel 7 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengonsumsi olahan produk pangan hewani (daging dan ikan) setiap minggunya adalah 2-3 kali. Berdasarkan Pedoman Umum Gizi seimbang (PUGS), kebutuhan protein hewani khususnya daging dan ikan dalam satu hari adalah 10-15% (Almatsier, 2004). Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya mengonsumsi protein hewani (daging dan ikan) adalah setiap hari. Akan tetapi, informasi pada tabel diatas menjelaskan banyak responden mengonsumsi produk hewani tidak setiap hari melainkan 2-3 kali dalam seminggu. Seharusnya, mengonsumsi produk hewani dalam pemenuhan kecukupan protein adalah setiap hari.


(22)

21

Tabel 8.Porsi konsumsi produk hewani

Porsi konsumsi

Responden yang mengonsumsi produk olahan hewani

Jumlah (n) Persentase (%) 50 gram

3 0.8

100 gram 384 96

> 100 gram

13 3.2

Jumlah 400 100

Tabel 8 diatas menunjukkan sebagian besar responden mengonsumsi produk hewani (daging dan ikan) adalah 100 gram untuk satu hari. Hal ini ditunjukkan dengan data responden tertinggi adalah 384 orang. Angka kecukupan gizi protein, khususnya daging atau ikan yang baik untuk dikonsumsi adalah dua potong atau 100 gram, dengan ukuran per potong sebanyak 50 gram (Almatsier, 2004). Berdasarkan angka kecukupan gizi responden pada umur 20-45 tahun (Tabel 5) dengan frekuensi konsumsi dalam seminggu adalah 2-3 kali (Tabel 7) belum memenuhi kebutuhan angka kecukupan gizi protein hewani (daging dan ikan) meskipun responden sudah memenuhi kebutuhan porsi konsumsi produk hewani (daging dan ikan) dengan benar yaitu 100 gram.

Pengumpulan data berdasarkan frekuensi tingkat konsumsi dan besar porsi dalam mengonsumsi produk olahan hewani dalam waktu seminggu dapat memberikan keterangan mengenai kejadian diare beserta lama waktu terjadinya diare. Distribusi frekuensi kejadian diare dapat dilihat pada Tabel 9. Sedangkan frekuensi waktu lama responden terjadi diare dapat di lihat pada Tabel 10.

Tabel 9 Kejadian diare pada responden di Kecamatan Bogor Barat Tahun 2011

Kejadian diare

Responden yang mengonsumsi produk olahan hewani

Jumlah (n) Persentase (%)

Diare 44 11

Tidak Diare 356 89 Jumlah 400 100

Kejadian diare yang dialami responden di Kecamatan Bogor Barat adalah responden yang mengonsumsi produk hewani yaitu jenis olahan daging dan ikan. Sebanyak 44 responden mengalami kejadian diare, sedangkan 356 responden lainnya tidak mengalami kejadian diare. Berdasarkan informasi diatas (Tabel 9) menunjukkan peluang terjadianya diare yang dialami responden adalah 11%. Angka kejadian diare diperoleh berdasarkan informasi responden yang mengonsumsi produk hewani olahan (daging dan ikan), sedangkan angka kejadian diare yang digunakan untuk menentukan risiko relatif adalah kejadian sakit yang dikelompokkan berdasarkan jenis olahan tertentu pada produk hewani (daging dan ikan) yaitu sebanyak 44 responden (Tabel 22) dari total populasi yang menyatakan sakit pada jenis olahan tertentu.


(23)

22

Pengaruh kejadian diare dapat diperoleh melalui hubungan kejadian diare terhadap golongan umur, tingkat pendidikan, dan jenis pekerjaan. Kejadian sakit yang dialami responden diasumsikan telah terjadi kerusakan bahan pangan, baik dalam proses pengolahan maupun penyimpanan. Selain itu, kemungkinan terjadinya kontaminasi silang pada bahan baku serta peralatan memasak juga berpotensi menyebabkan kejadian sakit. Hal ini dikarenakan adanya komtaminasi silang oleh mikroba patogen yang mencemari produk pangan hewani.

Tabel 10. Distribusi responden berdasarkan lama kejadian diare

Lama sakit diare

Responden yang mengonsumsi produk olahan hewani

Jumlah (n) Persentase (%) Tidak sakit 356 89 Satu hari 17 4.2

Dua hari 15 3.8

Tiga hari 8 2

> Tiga hari 4 1 Jumlah 400 100

Distribusi penyebaran waktu kejadian sakit diare dikategorikan ke dalam 4 kategori, yaitu satu hari, dua hari, tiga hari, dan lebih dari tiga hari. Responden yang mengalami kejadian sakit diare akibat mengonsumsi produk hewani paling lama hanya satu hari dengan jumlah responden yang sakit sebanyak 17 orang. Hal ini disumsikan bahwa produk pangan hewani yang dikonsumsi telah mengalami kerusakan, seperti terkontaminasi mikroba (kontaminasi silang) yang diakibatkan karena kesalahan proses pemasakan maupun penyimpanan.

4.3 PERILAKU KEBIASAAN KONSUMSI

Pengambilan data ini dilakukan untuk mengetahui perilaku dan kebiasaan responden sebelum mengonsumsi makanan, selama penyajian, penyimpanan hingga perlakuan produk yang telah atau hampir basi. Faktor kebersihan tangan merupakan faktor utama sebelum mengonsumsi makanan. Kebiasaan mencuci dan membersihkan tangan terlebih dahulu menjadikan seseorang peduli terhadap kebersihan makanan dan kesehatan bagi tubuh. Kebiasaan responden pada kebersihan tangan seperti mencuci tangan terlebih dahulu sebelum makan dapat dilihat pada Tabel 11dan perlakuan setelah mencuci tangan dapat di lihat pada Tabel 12 berikut ini.

Tabel 11. Perilaku kebiasaan mencuci tangan sebelum makan Kebiasaan mencuci

tangan

Responden yang mengonsumsi produk olahan hewani

Jumlah (n) Persentase (%)

ya 397 99.2

tidak 3 0,8

Jumlah 400 100

Teknik mencuci tangan yang baik merupakan satu-satunya cara paling penting untuk mengurangi penyebaran infeksi. Sebagian besar responden yang membiasakan mencuci tangan


(24)

23

terlebih dahulu sebanyak 397 orang dan hanya 3 orang yang tidak terbiasa mencuci tangan terlebih dahulu. Kebiasaan mencuci tangan merupakan salah satu bentuk untuk menjaga sanitasi dan higienitas produk sebelum mengonsumsi makanan. Selain itu, kebiasaan mencuci tangan juga menghindarkan dari mikroba-mikroba yang mampu mencemari makanan. Sanitasi pada tangan merupakan suatu bahan yang dapat mengurangi populasi mikroba sampai pada batas yang dianggap aman menurut persyaratan kesehatan masyarakat (Pelczar, 2009). Mencuci atau menggosok dengan sabun merupakan cara fisik lain untuk menghilangkan mikroorganisme dari permukaan. Sabun menghilangkan lapisan berminyak yang mengikat bakteri pada permukaan, termasuk kulit. Begitu lapisan tersebut lepas, maka mikroorganismenya pun terbilas oleh air mengalir.

Tabel 12. Perilaku kebiasaan setelah mencuci tangan sebelum makan Kebiasaan setelah

mencuci tangan

Responden yang mengonsumsi produk olahan hewani

Jumlah (n) Persentase (%) dibiarkan begitu saja 12 3

di lap dengan lap

bersih kering/tissue 388 97

Jumlah 400 100

Sejumlah besar responden telah membiasakan diri untuk mengeringkan tangannya terlebih dahulu sebelum mengonsumsi makanan. Pada Tabel 12 menunjukkan bahwa sebanyak 388 orang membiasakan untuk mengeringkan tangan terlebih dahulu dengan menggunakan lap bersih kering atau tissue kering, sedangkan hanya 12 orang yang tidak membiasakan diri untuk mengeringkan tangannya setelah mencuci tangan yaitu dengan membiarkan basah ketika akan mengonsumsi makanan. Hal ini dikarenakan agar tidak terjadi kontaminasi pada tangan yang masih basah terhadap makanan tersebut.

Tabel 13. Perilaku kebiasaan menggunakan alat makan Penggunaan

alat makan

Responden yang mengonsumsi produk olahan hewan

Jumlah (n) Persentse (%)

ya 379 94.8

tidak 21 5.2

Jumlah 400 100

Sebaran frekuensi responden yang menyatakan membiasakan diri untuk menggunakan peralatan makan seperti sendok dan garpu atau sendok atau garpu dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 379 responden menyatakan telah membiasakan menggunakan peralatan makan, sedangkan hanya 21 responden menyatakan tidak membiasakan diri untuk menggunakan peralatan makan seperti yang dijelaskan di atas. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan responden telah memaksimalkan peralatan makan yang telah tersedia. Selain itu, penggunaan peralatan makan (sendok atau garpu) digunakan untuk menghindari kontaminasi langsung terhadap mikroba yang berada pada tangan.


(25)

24

Tabel 14. Kebiasaan membersihkan alat makan Kebiasaan sebelum memakai

alat makan

Responden yang mengonsumsi produk olahan hewan

Jumlah (n) Persentase (%) dibiarkan begitu saja 28 7 di lap terlebih dahulu dengan

lap bersih kering 372 93

Jumlah 400 100

Tabel 14 menyatakan bahwa sebanyak 371 orang telah membiasakan diri untuk membersihkan peralatan makan terlebih dahulu. Sedangkan sebanyak 28 orang tidak membiasakan diri untuk membersihkan perlatan makan. Kebiasaan membersihkan peralatan makan dapat meminimalisir terjadinya kontaminasi terhadap mikroba dari debu-debu yang mengenai perlatan makan tersebut. Pencucian atau penggosokan akan melepaskan kotoran dari benda-benda dan dari kulit serta tangan karena mekanisme pergeseran (Pelczar, 2009). Kebiasaan membersihkan alat makan merupakan sarana pengendalian populasi mikroba dari tangan khususnya.

Tabel 15. Waktu penyajian konsumsi pangan Waktu konsumsi

Responden yang mengonsumsi produk olahan hewan

Jumlah (n) Persentase (%) langsung dikonsumsi 33 8.2 menunggu beberapa menit 234 58.5 lebih dari enam jam 133 33.2

Jumlah 400 100

Tabel 15 menunjukkan bahwa sebagian besar responden, yaitu 234 orang terbiasa untuk menunggu beberapa menit dalam mengonsumsi makanan. Mengonsumsi makanan dengan pemanasan yang cukup dapat menurunkan risiko keracunan pangan akibat pertumbuhan mikroba. Pemanasan yang baik adalah pemanasan pada suhu 60oC karena pada suhu tersebut mikroba akan mati.

Tabel 16. Perlakuan sisa makanan yang tidak habis di makan Perlakuan sisa

makanan

Responden yang mengonsumsi produk olahan hewani

Jumlah (n) Persentase (%) langsung dibuang 269 67.2 disimpan kembali 131 32.8


(26)

25

Perlakuan sisa makanan yang tidak habis dimakan (Tabel 16) menyatakan responden yang membuang langsung makanan karena tidak habis di makan adalah 269 responden, sedangkan sisanya sebanyak 131 responden menyimpan kembali makanan yang tidak habis di makan. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran responden dalam memperhatikan sisa makanan yang tidak habis di makan dapat dikatakan baik karena langsung membuang makanan tersebut. Perlakuan ini untuk menghindari risiko mikroba yang tumbuh setelah disimpan kembali apabila suhu penyimpanannya tidak tercapai dengan baik. Penyimpanan makanan pada suhu yang kurang sesuai, seperti suhu kamar hangat, memudahkan pertumbuhan mikroba, sedangkan suhu penyimpanan yang baik adalah < 5oC (Pelczar, 2009).

Tabel 17. Perilaku konsumsi setelah di simpan Perlakuan konsumsi

kembali

Responden yang mengonsumsi produk olahan hewani

Jumlah (n) Persentase (%) langsung dimakan 38 9.5 dipanaskan kembali 362 90.5

Jumlah 400 100

Sejumlah responden yang melakukan penyimpanan makanan kembali terhadap makanan yang dikonsumsinya menyatakan bahwa responden telah melakukan pemanasan kembali untuk mengonsumsinya. Responden yang memanaskan kembali makanan tersebut adalah 362 responden, sedangkan responden yang memakan langsung (tanpa dipanaskan) adalah 38 responden. Responden yang memanaskan kembali makanan tersebut dengan benar dapat mengurangi resiko cemaran mikroba yang terdapat pada makanan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran responden terhadap pemanasan kembali produk pangan yang telah disimpan sangat baik.

Tabel 18. Perlakuan terhadap makanan basi Perlakuan pada makanan

Responden yang mengonsumsi produk olahan hewani

Jumlah (n) Persentase (%) dibuang bagian yang basi

dan mengonsumsi sisanya 2 0.5 dimasak kembali

kemudian dimakan 1 0.2

dibuang 397 99.2

Jumlah 400 100

Tabel 18 menyatakan kebanyakan responden memperlakukan makanan yang hampir basi atau telah basi dengan cara membuang langsung makanan tersebut yaitu sebanyak 397 responden, sedangkan 2 (dua) responden lainnya lebih memilih untuk memilah dan membuang bagian yang hampir atau telah basi untuk dikonsumsi kembali. Sisanya, yaitu 1 (satu) orang memutuskan untuk tetap mengonsumsinya tapi dilakukan pemasakan terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa responden lebih memilih untuk membuang langsung produk pangan yang dianggap telah mengalami kerusakan mutu atau basi pada makanan.


(27)

26

4.4 HASIL ANALISIS BIVARIAT

Analisis ini dilakukan untuk menguji hubungan faktor risiko terhadap kejadian diare dan hubungan antara konsumsi jenis produk hewani dengan kejadian diare di Kecamatan Bogor Barat, Bogor. Analisis data secara statistik dilakukan dengan menggunakan uji Chi square, dengan bantuan program SPSS versi 16 for windows. Selain itu, hubungan antara konsumsi jenis produk hewani dengan kejadian diare dihitung berdasarkan pesentase nilai AR (Attack Risk) dan nilai RR (Relative Risk). Hal ini bertujuan untuk menentukan jenis produk pangan hewani yang dapat menyebabkan terjadinya diare.

4.4.1 Hubungan Antara Kejadian Diare Terhadap Faktor Umur,

Pendidikan, dan Pekerjaan

1. Umur responden

Hubungan antara umur responden dengan kejadian diare akibat mengonsumsi produk hewani disajikan pada Tabel 19, berikut ini.

Tabel 19. Hubungan antara umur responden dengan kejadian diare

Umur responden

Kejadian diare

Diare Tidak diare

Jumlah (n) Persentase (%) Jumlah (n) Persentase (%) < 20 Tahun 0 0 1 0.2 20-45 Tahun 31 7.8 237 59.2 46-59 Tahun 12 3 100 25 > 59 Tahun 1 0.2 18 4.5

Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan-penyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian di dalam hampir semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umur (Notoatmodjo, 2003). Umur responden terbanyak tergolong pada kategori umur 20-45 tahun yaitu sebesar 67%. Tabel 19 di atas dapat diketahui bahwa umur responden dengan kategori umur 20-45 tahun lebih banyak mengalami kejadian diare, yaitu sebanyak 31 responden. Jika dilihat dari hubungannya dengan kejadian diare akibat mengonsumsi poduk hewani, faktor umur tidak berhubungan dengan kejadian diare pada produk hewani, dengan nilai p = 0.835 (p > 0,05. Hal ini dapat dimengerti karena umur 20-45 tahun merupakan kategori umur yang memiliki pertahanan tubuh dalam kategori baik pada ibu rumah tangga. Menurut Widyastuti (2005), umur merupakan salah satu variabel yang dipakai untuk memprediksi perbedaan dalam hal penyakit, kondisi dan peristiwa kesehatan.


(28)

27

2. Pendidikan responden

Hubungan antara umur responden dengan kejadian diare akibat mengonsumsi produk hewani disajikan pada Tabel 20, berikut ini.

Tabel 20. Hubungan antara pendidikan responden dengan kejadian diare

Pendidikan responden

Kejadian diare

Diare Tidak diare

Jumlah (n) Persentase (%) Jumlah (n) Persentase (%) SD 13 3.2 115 28.8 SLTP 19 4.8 115 28.8 SLTA 5 1.2 95 23.8 Diploma 2 0.5 15 3.8

Sarjana 5 1.2 16 4

Tabel 20 di atas dapat diketahui bahwa pendidikan responden dengan kategori pendidikan SLTP lebih banyak mengalami kejadian diare, yaitu sebanyak 19 respondeni. Hasil uji statistik Chi square menunjukkan bahwa p = 0.070 (p > 0,05), artinya tidak ada hubungan antara pendidikan responden dengan kejadian diare akibat mengonsumsi produk hewani di Kecamatan Bogor Barat, Bogor. Menurut Notoatmodjo (2003), tingkat pendidikan seseorang dapat meningkat pengetahuannya tentang kesehatan. Salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah tingkat pendidikan. Pendidikan akan memberikan pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang meningkat. Menurut Widyastuti (2005), orang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi lebih berorientasi pada tindakan preventif, mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan dan memiliki status kesehatan yang lebih baik. Namun pada penelitian ini, hasil pengujian menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan responden (ibu rumah tangga) dengan kejadian diare akibat mengonsumsi produk hewani dengan nilai p = 0.07. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sander (2005), tentang hubungan faktor sosio budaya dengan kejadian diare di Kecamatan Sidoarjo. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian diare. Hal tersebut memberi arti bahwa tingkat pendidikan seseorang belum tentu menjamin dimilikinya pengetahuan tentang diare dan pencegahannya.


(29)

28

3. Pekerjaan responden

Hubungan antara umur responden dengan kejadian diare akibat mengonsumsi produk hewani disajikan pada Tabel 21, berikut ini.

Tabel 21. Hubungan antara pekerjaan responden dengan kejadian diare

Pekerjaan responden

Kejadian diare

Diare Tidak diare

Jumlah (n) Persentase (%) Jumlah (n) Persentase (%)

PNS 2 0.5 15 3.8

Wiraswasta 5 1.2 47 11.8 Pegawai swasta 2 0.5 26 6.5 Tidak bekerja 35 8.8 268 67

Jenis pekerjaan responden sebagian besar adalah tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga yaitu sebesar 75.8%, dapat dilihat pada Tabel 5. Menurut Widyastuti (2005), pekerjaan merupakan suatu determinan risiko dan determinan terpapar yang khusus dalam bidang pekerjaan tertentu serta merupakan prediktor status kesehatan dan kondisi tempat suatu populasi bekerja. Tabel 21 di atas dapat diketahui bahwa jenis pekerjaan responden, baik yang bekerja maupun tidak bekerja menunjukkan bahwa tidak ada hubungannya dengan kejadian diare di Kec. Bogor Barat, Bogor. Hasil uji statistik Chi square menunjukkan bahwa p = 0.835 (p > 0,05), artinya tidak ada hubungan antara umur responden dengan kejadian diare akibat mengonsumsi produk hewani di Kecamatan Bogor Barat, Bogor.

4.4.2 Risiko Relatif Kejadian Diare Akibat Konsumsi Produk Hewani

Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari distribusi suatu penyakit dan faktor yang menentukan terjadinya suatu penyakit yang berhubungan ddengan gizi di kalangan penduduk. Ilmu ini kemudian berkembang ruang lingkupnya. Selain itu, epidemiologi merupakan ilmu yang mempelajari terjadinya penyakit dan distribusi keadaan kesehatan, penyakit dan perubahan penduduk, begitu juga faktor-faktor yang berpengaruh terhadap distribusi pada populasi. Penelitian ini dilakukan secara analitik untuk mencari kaitan sebab-akibat, hubungan antara “exposure dan outcome”, dengan menggunakan perhitungan risiko relatif (Budiarto, 2001). Faktor risiko pada jenis olahan pada produk pangan hewani (daging dan ikan) yang menyebabkan terjadinya diare ditentukan dengan cara menghitung nilai RR (Risiko Relatif), sedangkan untuk mengetahui kejadian sakit diare dapat diperoleh berdasarkan perhitungan persentase insiden atau angka serangan (Attack Risk) untuk kelompok terpapar (AR) dengan persentase Insiden atau angka serangan (Attack Risk) untuk kelompok tidak terpapar (AR). Berikut adalah pengelompokan jenis makanan yang berasal dari 17 jenis olahan produk hewani (daging dan ikan) berdasarkan pilihan responden, dapat di lihat pada Tabel 22.


(30)

29

Tabel 22. Risiko relatif kejadian diare akibat konsumsi produk hewani olahan jenis makanan

orang yang makan orang yang tidak makan RR sakit total AR sakit total AR

Ayam panggang 0 14 0% 44 386 11% 0,00 Ayam bakar 6 33 18% 38 367 10% 1,76 Ayam goreng 6 212 3% 38 188 20% 0,14 Ayam bumbu 19 70 27% 25 330 8% 3,58 Sate ayam 1 12 8% 43 388 11% 0,75 Sate sapi 0 1 0% 44 399 11% 0,00 Sate kambing 0 1 0% 44 399 11% 0,00 Sate kelinci 0 0 - 44 400 11% - Bebek goreng 0 0 - 44 400 11% - Bebek bakar 0 2 0% 44 398 11% 0,00 Bebek panggang 0 0 - 44 400 11% - Ikan bakar 3 7 43% 41 393 10% 4,11 Ikan goreng 13 118 11% 31 282 11% 1,00 Ikan asin 2 14 14% 42 386 11% 1,31 ikan bumbu 1 6 17% 43 394 11% 1,53 daging semur 1 5 20% 43 395 11% 1,84 daging rendang 0 3 0% 44 397 11% 0,00

Tabel 22 menunjukkan bahwa terdapat 17 daftar jenis olahan produk hewani (daging dan ikan). Masing-masing jenis olahan produk hewani tersebut diasumsikan memiliki dampak negatif pada 400 responden. Pengelompokkan responden berdasarkan jenis olahannya diperoleh 44 responden yang mengalami sakit, sedangkan sisanya tidak. Penentuan 44 responden yang mengalami sakit di hitung berdasarkan kejadian sakit akibat mengonsumsi masing-masing jenis olahan produk hewani dari total populasi. Menurut Ismael dan Sastroasmoro (1995), penentuan faktor risiko pada masing-masing jenis olahan tersebut di hitung berdasarkan penentuan risiko relatif (RR) melalui perbandingan insiden penyakit anatar responden dengan faktor risiko dengan responden tanpa risiko atau yang disebut dengan RR (Relative Risk). Sebanyak 17 jenis produk olahan hewani yang dipilih responden terdapat enam jenis produk hewani olahan yang dianggap sebagai faktor risiko pada kejadian diare. Masing-masing jenis olahan produk hewani tertentu yang dapat menyebabkan kejadian diare (Gambar 3) adalah ayam bakar, ayam bumbu, ikan bakar, ikan asin, ikan bumbu, dan daging semur. Perolehan keenam jenis olahan hewani yang menyebabkan terjadinya diare dihasilkan berdasarkan perhitungan nilai RR.


(31)

30

Penentuan nilai RR diperoleh dengan cara menelusuri masing-masing responden yang mengonsumsi berbagai macam jenis olahan hewani dan mengalami kejadian diare. Menurut Ismael dan Sastroasmoro (1995), nilai RR > 1 menunjukkan ada hubungan positif antara faktor risiko dengan kejadian penyakit (sebagai faktor risiko), RR < 1 berarti tidak ada hubungan (hubungan negatif) dengan kejadian penyakit (menghambat penyakit), dan RR = 1 berarti ada hubungan antara faktor risiko atau paparan dengan kejadian penyakit (bersifat netral). Perhitungan ini menggunakan perhitungan matematis dengan rumus yang telah di tetapkan dalam menentukan jenis pangan yang menyebabkan kejadian diare. Contoh perhitungan penentuan nilai RR yang di anggap sebagai faktor risiko dapat di lihat pada Lampiran 6.

Gambar 3. Tingkatan pengaruh jenis makanan terhadap kejadian resiko diare

Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui 6 jenis produk hewani olahan yang menyebabkan diare di wilayah Kecamatan Bogor Barat. Jenis olahan produk hewani yang menyebabkan kejadian diare dari yang tertinggi hingga terendah adalah ikan bakar, ayam bumbu, ayam bakar, daging semur, ikan bumbu, dan ikan asin. Jenis olahan produk ikan bakar diperoleh persentase AR responden yang mengonsumsi ikan bakar dan mengalami sakit diare sebanyak 43% dari 7 orang yang mengonsumsi ikan bakar, sedangkan persentase responden yang tidak mengonsumsi ikan bakar namun mengalami sakit diare adalah 10% dari 393 orang yang tidak mengonsumsi ikan bakar. Dengan demikian angka risiko relatif (RR) pada ikan bakar adalah 4.11. Hal ini menunjukkan bahwa jenis olahan produk hewani (daging dan ikan) tersebut merupakan faktor risiko terjadinya kejadian diare karena nilai RR > 1. Selain itu, produk olahan ayam bumbu juga dapat menyebabkan kejadian diare. Perolehan persentase nilai AR dari ayam bumbu dan mengalami sakit diare sebanyak 27% dari 70 orang yang mengonsumsi ayam bumbu, sedangkan persentase responden yang tidak mengonsumsi ayam bumbu namun mengalami sakit diare sebanyak 8% dari total responden yang tidak mengonsumsi ayam bumbu yaitu 330 orang. Sehingga dapat diperoleh nilai RR dari ayam bumbu adalah 3.58 dimana nilai RR > 1. Hal ini menunjukkan bahwa produk hewani tersebut merupakan faktor risiko yang menyebabkan kejadian diare.

Efektivitas bumbu dalam menghambat pertumbuhan mikroba telah mengalami kerusakan selama proses pengolahan sehingga bekerja kurang optimum. Kombinasi antara senyawa antimikroba dan pH bumbu yang asam dapat memperkuat aktivitas antimikroba bumbu.

1,76 3,58 4,11 1,31 1,53 1,84 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 Ayam bakar Ayam bumbu

Ikan bakar Ikan asin ikan bumbu daging semur Re la ti v e Ri sk ( RR) Jenis makanan


(32)

31

Meskipun bumbu dapat bertindak sebagai senyawa antimikroba, tetapi bumbu hanya bersifat untuk menghambat pertumbuhan mikroba dan tidak bersifat bakterisidal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rahayu (2000) yang menyatakan bahwa bumbu pada olahan daging dapat menghambat pertumbuhan mikroba, tetapi bumbu tersebut tidak dapat bersifat bakterisidal, yaitu mulai pada konsentrasi 10% Selain itu, proses pemanasan pada produk olahan telah menurunkan ketahanan senyawa selektif atau efektivitas antimikroba pada bumbu, sehingga kecenderungan untuk menghambat pertumbuhan mikroba pada ayam bumbu dan daging semur sangat kecil.

Persentase nilai AR pada responden yang mengonsumsi jenis olahan ayam bakar dan mengalami sakit diare adalah 18% dari 33 orang yang mengonsumsi ayam bakar, sedangkan persentase nilai AR pada responden yang tidak mengonsumsi namun mengalami sakit diare adalah 10% dari 367 orang yang tidak mengonsumsi ayam bakar. Karena nilai RR ayam bakar lebih dari 1, maka ayam bakar juga dianggap sebagai jenis olahan hewani tertentu yang memiliki faktor risiko kejadian diare. Risiko relatif pada ayam bakar adalah 1.76. Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya proses pemasakan yang terjadi pada pengolahan produk ayam bakar sehingga kemungkinan kontaminasi mikroba pada karkas daging ayam. Proses termal pada suhu konvensional (120oC) atau suhu ultra tinggi dapat mengakibatkan kerusakan sub-lethal terhadap spora Bacillus subtilis, Clostridium perifringens, C. Sporogenes dan C. Botulinum (Busta, 1976). Hal ini disebabkan spora bakteri juga dapat mengalami stres atau sakit oleh proses pengolahan terutama pemanasan.

Angka risiko relatif 1.84 pada daging semur menunjukkan bahwa nilai RR > 1. Hal ini menunjukkan bahwa jenis produk hewani daging semur merupakan suatu faktor risiko kejadian diare. Persentase nilai AR yang didapatkan pada responden yang mengonsumsi daging semur dan mengalami sakit diare adalah 20% dari lima responden yang mengonsumsi daging semur, sedangkan persentase nilai AR pada responden yang tidak mengonsumsi namun mengalami sakit diare adalah 11% dari 395 responden yang tidak mengonsumsi daging semur.

Penyebab kejadian diare selanjutnya adalah olahan ikan bumbu. Ikan bumbu dianggap memiliki faktor risiko pada kejadian diare. Berdasarkan persentase nilai AR yang didapatkan, responden yang mengonsumsi ikan bumbu dan mengalami sakit diare adalah 17% dari enam orang yang mengonsumsi daging semur, sedangkan persentase nilai AR pada responden yang tidak mengonsumsi namun mengalami sakit diare adalah 11% dari 394 orang yang tidak mengonsumsi ikan bumbu. Sehingga dapat diperoleh angka risiko relatif dari ikan bumbu adalah 1.53, menunjukkan bahwa produk hewani tersebut merupakan faktor yang menyebabkan kejadian diare, karena nilai RR > 1.

Jenis olahan hewani, seperti ikan asin, memiliki angka resiko relatif adalah 1.31, menunjukkan bahwa produk hewani tersebut merupakan faktor yang menyebabkan kejadian diare. Berdasarkan persentase nilai AR yang didapatkan, responden yang mengonsumsi ikan asin dan mengalami sakit diare adalah 14% dari 14 orang yang mengonsumsi ikan asin, sedangkan persentase nilai AR pada responden yang tidak mengonsumsi namun mengalami sakit diare adalah 11% dari 386 orang yang tidak mengonsumsi ikan asin.

Produk pangan hewani seperti ikan, unggas, dan daging memiliki peranan penting dalam metabolisme tubuh. Terutama pengaruhnya terhadap nilai gizi yang sangat tinggi yang terkandung di dalamnya. Produk hewani memiliki kandungan protein yang sangat tinggi dibandingkan produk nabati. Seperti yang kita ketahui bahwa komponen protein yang tinggi sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia sebagai faktor pertumbuhan. Akan tetapi produk hewani tersebut dapat dengan cepat mengalami kerusakan pada sel-sel jaringannya. Kerusakan-kerusakan itu dapat berupa Kerusakan-kerusakan fisik, kimia dan mikrobiologis.


(33)

32

Kerusakan fisik dan kimia disebabkan karena perlakuan-perlakuan fisik, seperti pengeringan terjadi case hardening, pendinginan terjadi chilling injuries atau freezing injuries. Pada penggorengan atau pembakaran yang terlalu lama sehingga kegosongan, juga merupakan kerusakan fisik. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi dalam pengolahan bahan pangan menyebabkan cita rasa menyimpang dan kerusakan terhadap kandungan vitaminnya. Pengolahan dengan cara di goreng, di bakar, di panggang, maupun di beri bumbu membutuhkan proses termal yang optimal untuk membunuh mikroba. Proses termal dalam pengolahan bahan pangan dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi aktifitas biologis yang tidak diinginkan dalam bahan pangan (Muchtadi, 2008).

Pindah panas pada proses termal yang digunakan pada jenis olahan (Tabel 22) adalah perpindahan panas secara konveksi, konduksi, maupun radiasi dari sinar matahari. Pindah panas secara konveksi adalah perpindahan panas berdasarkan gerakan udara atau tekanan udara, sehingga perpindahan panas yang terjadi pada proses pemanggangan, seperti ayam panggang dengan menggunakan microwave adalah pindah panas yang terjadi karena adanya panas yang dialirkan melalui gelombang mikro yang dipantulkan oleh logam ke udara untuk kemudian diserap oleh komponen bahan pangan. Pindah panas secara konduksi merupakan proses pindah panas melalui kontak langsung antara permukaan atau anatar bahan dengan penghasil panas (api), seperti proses pembakaran pada ikan bakar dan ayam bakar. Selain itu, pada proses penggorengan juga merupakan pindah panas secara konduksi. Proses penggorengan merupakan proses dengan produk pangan dipanaskan dalam minyak goreng yang merupakam media pindah panas. Pindah panas secara radiasi berdasarkan perpindahan panas dari gelombang elektromagnetik. Proses pengeringan pada ikan asin digunakan dengan teknik penjemuran, yaitu pengeringan dengan menggunakan sinar matahri langsung sebagai energi panas, dalam hal ini dilakukan karena adanya radiasi matahari yang mengenai produk ikan asin.

Berdasarkan proses pindah panas dengan jenis olahan produk hewani yang dapat menurunkan risiko kejadian diare adalah jenis olahan hewani dengan cara di panggang yaitu ayam panggang dengan nilai RR < 1 yaitu 0. Selain itu, proses penggorengan seperti ayam goreng dan ikan goreng juga dapat mengurangi risiko kejadian diare, yaitu nilai RR < 1.

Kerusakan mikrobiologis dapat disebabkan dari bermacam-macam mikroba seperti kapang, bakteri dan ragi yang mempunyai daya perusak terhadap hasil petanian. Kerusakan mikrobiologis tidak hanya terjadi pada bahan mentah, tetapi pada bahan setengah jadi maupun bahan hasil olahan. Kerusakan yang terjadi karena faktor mikrobiologis dilakukan dengan cara menghidrolisa atau mendegradasi makromolekul-makromolekul yang menyusun bahan tersebut menjadi fraksi-frkasi yang lebih kecil (Muchtadi, 2008). Bahan-bahan yang telah rusak oleh mikroba dapat menjadi sumber kontaminasi yang berbahaya bagi bahan-bahan lain yang masih segar. Karena bahan yang sedang membusuk mengandung mikroba-mikroba yang masih muda dan dalam pertumbuhan ganas (log phase), sehingga dapat menular dengan cepat ke bahan-bahan lain yang ada didekatnya.

Hal ini dikarenakan adanya peranan mikrobiologi yang secara tidak langsung mempengaruhi perubahan fisik dan kimia suatu produk pangan, baik yang di olah maupun tidak di olah. Selama proses pengolahan dan setelah proses pengolahan terjadi perubahan-perubahan komponen pada makanan seperti kebusukan dan keracunan makanan serta perubahan dalam fermentasi makanan. Mikroorganisme maupun enzim-enzim yang terdapat di dalam sel mikroorganisme mempunyai ketahanan yang berbeda-beda terhadap berbagai proses pengawetan dan pengolahan. Penyimpanan makanan pada suhu rendah pada umumnya dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme, tetapi suhu penyimpanan tersebut bahkan dapat merangsang


(1)

Apakah anda menggunkaan alat sendok/garpu untuk mengkonsumsi makanan

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid ya 379 94.8 94.8 94.8

tidak 21 5.2 5.2 100.0 Total 400 100.0 100.0

Apa yang anda lakukan terhadap tangan anda setelah dicuci

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid dibiarkan begitu saja 12 3.0 3.0 3.0

di lap dengan menggunakan lap bersih kering/tissue

388 97.0 97.0 100.0 Total 400 100.0 100.0

Apa yang anda lakukan terhadap alat sendok/garpu tersebut ketika akan digunakan

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid dibiarkan begitu saja 28 7.0 7.0 7.0

di lap terlebih dahulu dengan menggunakan

lap bersih kering

372 93.0 93.0 100.0 Total 400 100.0 100.0


(2)

Berapa lama waktu antara produk hewani olahan tersebut setelah disiapkan sampai dikonsumsi

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid langsung dikonsumsi 33 8.2 8.2 8.2

menunggu beberapa

menit 234 58.5 58.5 66.8

lebih dari enam jam 133 33.2 33.2 100.0 Total 400 100.0 100.0

Apa yang anda lakukan jika produk hewani olahan tersebut tidak habis makan

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid langsung dibuang 269 67.2 67.2 67.2

disimpan kembali 131 32.8 32.8 100.0 Total 400 100.0 100.0

Apa yang anda lakukan setelah menyimpan produk hewani olahan tersebut untuk dikonsumsi kembali

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent Valid langsung dimakan 38 9.5 9.5 9.5

dipanaskan

kembali 362 90.5 90.5 100.0 Total 400 100.0 100.0


(3)

Tabel Kejadian diare dan keracunan makanan produk hewani olahan 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 Ayam bakar Ayam goreng Ayam bumbu

Sate ayam Ikan bakar Ikan goreng

Ikan asin ikan bumbu daging semur Rel a ti v e Ri sk ( RR) Jenis makanan

Pengaruh jenis makanan terhadap kejadian resiko

diare dan keracunan pangan

jenis makanan orang yang makan orang yang tidak makan RR sakit total AR sakit total AR

Ayam panggang 0 14 0% 52 386 13% 0,00

Ayam bakar 6 33 18% 46 367 13% 1,45

Ayam goreng 6 212 3% 46 188 24% 0,12

Ayam bumbu 19 70 27% 33 330 10% 2,71

Sate ayam 1 12 8% 51 388 13% 0,63

Sate sapi 0 1 0% 52 399 13% 0,00

Sate kambing 0 1 0% 52 399 13% 0,00

Sate kelinci 0 0 - 52 400 13% -

Bebek goreng 0 0 - 52 400 13% -

Bebek bakar 0 2 0% 52 398 13% 0,00

Bebek panggang 0 0 - 52 400 13% -

Ikan bakar 3 7 43% 49 393 12% 3,44

Ikan goreng 13 118 11% 39 282 14% 0,80

Ikan asin 2 14 14% 50 386 13% 1,10

ikan bumbu 1 6 17% 51 394 13% 1,29

daging semur 1 5 20% 51 395 13% 1,55


(4)

Tabel 5.1

DISTRIBUSI FREKUENSI BERDASARKAN KARAKTERISTIK RESPONDEN DI KECAMATAN BOGOR BARAT

No Variabel n %

1 Umur

< 20 tahun 1 0,2

20-45 tahun 268 67

46-59 tahun 112 28

> 59 tahun 19 4,8

Jumlah 400 100

2 Pendidikan

SD 128 32

SLTP 134 33,5

SLTA 100 25

Diploma 17 4,2

Sarjana 21 5,2

Jumlah 400 100

3 Pekerjaan

PNS 17 4,2

Wiraswasta 52 13

Pegawai swasta 28 7

Ibu rumah tangga 303 75,8

Jumlah 400 100

4 Penghasilan

< Rp 1.000.000 279 69,8

Rp 1.000.000 - Rp

3.000.000 118 29,5

> Rp 3.000.000 3 0,8

Jumlah 400 100

Tabel 5.2

DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN TINGKAT KESUKAAN OLAHAN PRODUK PANGAN HEWANI DI KECAMATAN BOGOR BARAT

Aspek kesukaan Nilai statistik

n %

bakar 25 6,2 goreng 289 72,2 panggang 6 1,5

bumbu 80 20


(5)

Tabel 5.3

DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN FREKUENSI KONSUMSI OLAHAN PRODUK PANGAN HEWANI DI KECAMATAN BOGOR BARAT

Frekuensi konsumsi Nilai Statistik

n %

< 2 kali 129 32,2 2-3 kali 165 41,2 > 3 kali 106 26,5

Total 400 100

Tabel 5.4

DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN TINGKAT KESUKAAN OLAHAN PRODUK PANGAN HEWANI DI KECAMATAN BOGOR BARAT

Porsi konsumsi Nilai statistik

n %

50 gram

3 0,8

100 gram

384 96 > 100 gram 13 3,2

Total 400 100

Tabel 5.5

DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN KEJADIAN DIARE PADA RESPONDEN YANG MENGONSUMSI OLAHAN PRODUK PANGAN HEWANI DI KECAMATAN BOGOR

BARAT

Kejadian diare Nilai statistik

n %

ya

44 11

tidak

356 89 Total


(6)

Tabel 5.6

DISTRIBUSI FREKUENSI SAMPEL BERDASARKAN LAMA KEJADIAN DIARE PADA RESPONDEN YANG MENGONSUMSI OLAHAN PRODUK PANGAN HEWANI DI

KECAMATAN BOGOR BARAT

Lama sakit diare Nilai statistik

n %

Tidak sakit 356 89 satu hari 17 4,2

dua hari 15 3,8

tiga hari 8 2

lebih dari tiga hari 4 1