Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor Barat
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KONSUMSI
ROKOK KRETEK : STUDI KASUS DI KECAMATAN BOGOR
BARAT
RIANA NUR QINTHARA
ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-faktor yang
Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Riana Nur Qinthara
NIM H14100093
2
ABSTRAK
RIANA NUR QINTHARA. Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi
Rokok Kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor Barat. Dibimbing oleh
WIDYASTUTIK.
Indonesia memiliki 33 provinsi yang tersebar diseluruh wilayahnya. Jawa
Barat merupakan provinsi tertinggi ke-2 dalam prevalensi kebiasaan merokok
umur 10 tahun keatas. Diantara kabupaten dan kota di Jawa Barat, Kota Bogor
merupakan kota dengan jumlah masyarakat pengonsumsi rokok terbanyak dalam
prevalensi kebiasaan merokok umur 10 tahun keatas. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis: 1) Karakteristik masyarakat Kecamatan Bogor Barat yang
mengonsumsi rokok; 2) Faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok di
Kecamatan Bogor Barat. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder.
Metode analisisnya menggunakan analisis regresi poisson. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: 1) Responden yang mengonsumsi rokok rata-rata memiliki
karakteristik lulusan SMA/Sederajat, sudah menikah, bermata pencaharian
sebagai pedagang, berusia antara 27-38 tahun, berpendapatan diatas Rp3 500 000.
Harga rokok kretek sebagian besar dikonsumsi pada kisaran harga Rp900 – Rp1
075. Harga rokok substitusi yang dikonsumsi pada kisaran Rp761 – Rp1 020.
Harga barang komplementer yang dibeli responden pada kisaran Rp2 600 – Rp5
000; 2) Faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di Kecamatan
Bogor Barat yaitu harga rokok kretek, harga rokok substitusi, harga barang
komplementer, umur, dan tingkat pendidikan,.
Kata kunci : Analisis regresi poisson, karakteristik perokok, konsumsi rokok
ABSTRACT
RIANA NUR QINTHARA. Factors that Influence Consumption of Clove
Cigarettes : A Case Study in West Bogor Subdistrict. Supervised by
WIDYASTUTIK.
Indonesia has 33 provinces which are scattered over its area. West Java is
the second highest province in term of prevalence of smoking habit for age groups
10 and above. Among counties and cities in West Java, Bogor is a city with
largest number of cigarette consumer in West Java in term of prevalence of
smoking habit for age groups 10 and above. The purposes of this study are to
analyze: 1) Characteristic of cigarette comsumers that are live in West Bogor
Subdistrict; 2) Factors that influence consumption of cigarettes in West Bogor
Subdistrict. This study uses primary and secondary data. Poisson regression
analysis is applied in this study as method of analysis. The results of this study
indicate that: 1) characteristics of respondents are senior high school graduate,
married, trader, 27 to 38 years old. They have monthly income more than Rp3 500
000. The price of clove cigarette consumed is about Rp900 to Rp1 075. The price
of subtitute cigarette is about Rp761 to Rp1 020. The price of complementary
good purchased by respondents is about Rp2 600 to Rp5 000; 2) Factors that
influence consumption of clove cigarette in Bogor are price of clove cigarette,
price of subtitute cigarette, price of complementary good, age, and education
level.
Keywords: poisson regression analysis, characteristics of smoker,
consumption of clove cigarette
3
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KONSUMSI
ROKOK KRETEK : STUDI KASUS DI KECAMATAN BOGOR
BARAT
RIANA NUR QINTHARA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
4
6
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 ini ialah Faktor-faktor
yang Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor
Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Widyastutik, S.E, M.Si selaku
pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada (1) papah, mamah,
kaka Metha, de Rakha, serta keluarga besar Ali Rachman, atas segala doa dan
kasih sayangnya (2) teman-teman Ilmu Ekonomi 47, teman sebimbingan (Nadiah,
Uke, Tika, Zulfi dan Anggo) (3) Teman INTEL (Elis, Azis, Khoe, Diyane, Mega,
Pika, Nanda, dan Anti) (4) Dhanny Apriyatna, Aulia, Nabilah, Sissy, Ema, Irga,
Nindy, Caca, Sheanie, Nudh, Adis, Rayteh, Ncin, Tika, Hani, Manda, Ruri,
Buddy, Oldga, Rosma, Jimmy, Ikhsan, Aki, Bram, Dodo, Gialdy, Febrian, Gerry,
dan seluruh teman-teman atas dukungan dan bantuan selama saya menjalankan
penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat dijadikan acuan para
pembaca untuk melakukan penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya
di bidang ekonomi.
Bogor, Januari 2015
Riana Nur Qinthara
7
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR GRAFIK
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Permintaan
Hubungan antara Faktor Harga terhadap Permintaan
Hubungan antara Harga Barang Substitusi terhadap Permintaan
Hubungan antara Harga Barang Komplementer terhadap Permintaan
Hubungan antara Faktor Pendapatan terhadap terhadap Permintaan
Hubungan antara Umur terhadap Permintaan
Hubungan antara Pendidikan terhadap Permintaan
Regresi Poisson
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran Konseptual
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Jenis dan Pengambilan Data
Teknik Pengambilan Sampel
Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR
Letak Geografis danAdministratif
Luas Wilayah dan Kependudukan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik berdasarkan Variabel
Hasil
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek
Di Kota Bogor
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vi
vi
vi
vi
1
1
4
7
7
7
8
8
8
9
9
10
10
10
11
11
14
15
15
15
15
16
18
18
19
19
19
22
23
25
25
26
27
29
8
RIWAYAT HIDUP
56
DAFTAR TABEL
1 Rata-rata konsumsi dan pengeluaran perkapita rokok selama seminggu
di Indonesia menurut daerah tempat tinggal pada bulan Maret 2013
2 Proporsi penduduk umur 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan
provinsi di Indonesia 2013
3 Proporsi penduduk umur 10 tahun menurut kebiasaan merokok di
Kabupaten/Kota Jawa Barat tahun 2013
4 Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur 10 tahun
menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2013
5 Jumlah dan penyebaran sampel pada setiap kelurahan
6 Luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan Kota Bogor tahun 2012
7 Jumlah konsumen rokok berdasarkan harga rokok kretek per batang
8 Jumlah konsumen rokok berdasarkan harga rokok substitusi per batang
9 Jumlah konsumen rokok berdasarkan harga barang komplementer
10 Jumlah konsumen rokok berdasarkan pendapatan
11 Jumlah konsumen rokok berdasarkan lama pendidikan
12 Hasil estimasi regresi nonlinear berganda
1
3
5
6
16
19
20
20
21
21
22
23
DAFTAR GAMBAR
1 Alur pikir penelitian analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan rokok kretek di Kota Bogor
14
DAFTAR GRAFIK
1 Realisasi penerimaan cukai rokok dalam negeri tahun 2000-2011
(triliun)
2
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data responden
2 Kuesioner
3 Hasil analisis regresi poisson fungsi konsumsi rokok
30
49
53
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia, negara besar dengan jumlah penduduk kurang lebih 241 973
879 juta, merupakan salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia.
Indonesia menduduki peringkat ke-5 dengan jumlah perokok terbesar di dunia
setelah Cina, USA, Rusia, dan Jepang. Jumlah penduduk Indonesia yang merokok
sebanyak 75 juta dengan jumlah konsumsi rokok sebanyak 225 milyar batang per
tahun menyebabkan dana masyarakat yang dikeluarkan untuk batang rokok
tersebut mencapai Rp100 triliun (WHO 2008).
Lebih dari 600 ribu penduduk yang tidak merokok terkena asap rokok,
diperkirakan angka kematian tahunan dapat meningkat mencapai 8 juta penduduk
pada tahun 2030 (WHO 2008). Konsumsi rokok Indonesia diperkirakan setiap
tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 jumlah rokok yang
dikonsumsi oleh kelompok populasi perkotaan lebih tinggi dibandingkan
kelompok populasi di pedesaan seperti disajikan pada Tabel 1. Prevalensi pria
dewasa yang merokok di pedesaan kisaran 67% lebih tinggi dibandingkan
perkotaan yang hanya mencapai kisaran 58.3%. Selain itu, 73% dari perokok
tersebut tidak berpendidikan formal (Departemen Kesehatan RI 2009).
Tabel 1 Rata-rata konsumsi dan pengeluaran perkapita rokok selama seminggu di
Indonesia menurut daerah tempat tinggal pada bulan Maret 2013
Tempat Tinggal
Satuan
Banyaknya
Nilai (Rp)
Perkotaan
Rokok kretek filter
Bungkus/Pack
0.676
7209
Rokok kretek tanpa filter
Bungkus/Pack
0.266
2271
Rokok putih
Bungkus/Pack
0.106
1229
Pedesaan
Rokok kretek filter
Bungkus/Pack
0.652
5742
Rokok kretek tanpa filter
Bungkus/Pack
0.388
2726
Rokok putih
Bungkus/Pack
0.076
745
Perkotaan + Pedesaan
Rokok kretek filter
Bungkus/Pack
0.664
6473
Rokok kretek tanpa filter
Bungkus/Pack
0.327
2499
Rokok putih
Bungkus/Pack
0.091
1021
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) 2013
Berdasarkan Tabel 1, rata-rata konsumsi dan pengeluaran perkapita untuk
rokok baik filter maupun tanpa filter, diperkotaan lebih tinggi dibandingkan
dipedesaan. Baik penduduk perkotaan maupun pedesaan lebih menyukai rokok
kretek filter dibandingkan rokok kretek tanpa filter maupun rokok putih. Jumlah
rokok yang dikonsumsi itulah menghasilkan penerimaan cukai rokok di Indonesia.
Pada Gambar 1 akan dijelaskan lebih detail tentang peningkatan jumlah konsumsi
rokok setiap tahunnya sehingga penerimaan cukai rokok terus meningkat.
2
Realisasi Penerimaan
Cukai Rokok
Triliun (Rp)
80
65
60
40
20
11.29
55.38
57
2009
2010
42.03 45.72
33.26 37.77
29.17
26.28
17.39 23.19
0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2011
Tahun
Sumber: Southeast Asia Tobacco Control Alliance 2012
Grafik 1 Realisasi penerimaan cukai rokok dalam negeri tahun 2000-2011 (triliun)
Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat penerimaan cukai rokok Indonesia
sejak tahun 2000 hingga 2011 mengalami peningkatan dalam jumlah yang besar.
Hal ini dapat menunjukkan juga bahwa selain peningkatan harga, jumlah rokok
yang dikonsumsi juga semakin bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2000
penerimaan cukai rokok Dalam Negeri hanya sebesar Rp11.29 triliun. Seiring
dengan peningkatan nilai rupiah dari cukai rokok sehingga pada tahun 2011
penerimaan cukai rokok Dalam Negeri mengalami peningkatan yang sangat
drastis mencapai Rp65 triliun (Southeast Asia Tobacco Control Alliance 2012).
Pendapatan yang besar melalui cukai rokok menyebabkan perhatian
pemerintah lebih fokus dan intensif terhadap industri rokok, agar industri rokok
dapat terus bertumbuh dan berkembang dengan baik. Namun di sisi lain, rokok
merupakan produk yang mengganggu kesehatan dan lingkungan hidup, sehingga
biaya sebagai dampak konsumsi rokok juga cukup besar. Oleh karena itu, sangat
dilematis bagi pemerintah dalam menyikapi industri rokok, karena pemerintah
menyadari kerugian dari konsumsi rokok. Kerugian yang timbul dari konsumsi
rokok adalah kerugian ekonomi dan sosial, seperti biaya kesehatan, biaya
kematian, dan biaya kehilangan produktivitas kerja. Pendapatan negara dari cukai
rokok, ternyata tak sebanding dengan nilai kerugian yang ditimbulkan karena
merokok. Pada tahun 2012, pendapatan negara dari cukai hanya sebesar Rp55
triliun. Namun, kerugiannya mencapai Rp254.41 triliun (Southeast Asia Tobacco
Control Alliance 2012).
Penerimaan cukai rokok yang tinggi dipengaruhi oleh jumlah penduduk
yang mengonsumsi rokok di perkotaan maupun pedesaan terus meningkat setiap
tahunnya. Bahkan umur 10-15 tahun di Indonesia sudah banyak yang menghisap
rokok tersebut. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap di Indonesia adalah
sekitar 12.3 batang perharinya. Jumlah yang dihisap bervariasi dari yang terendah
yaitu 10 batang perhari di DI Yogyakarta dan tertinggi di Bangka Belitung yaitu
sebanyak 18.3 batang per harinya. Perilaku merokok pada penduduk umur 15
tahun keatas cenderung meningkat dari 34.2% tahun 2007 menjadi 36.3% tahun
2013. Sebagian besar 64.9% laki-laki dan 2.1% perempuan masih menghisap
rokok di tahun 2013. Perokok umur 10-14 tahun di Indonesia mencapai 1.4%,
9.9% perokok pada kelompok tidak bekerja, dan 32.3% pada kelompok kuintil
indeks kepemilikan terendah (Dinas Kesehatan 2013).
Tabel 2 menjelaskan provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia dengan
jumlah perokok terbanyak pada saat ini dan jumlah penduduk yang tidak merokok
pada umur 10 tahun keatas di setiap provinsi. Pada tabel tersebut terdapat 5
provinsi dengan jumlah perokok terbanyak saat ini yang memiliki kebiasaan
3
merokok setiap hari terbanyak diatas umur 10 tahun yaitu Provinsi Kepulauan
Riau mencapai 27.2%, Provinsi Jawa Barat dan Bengkulu sebesar 27.1%, dan
Provinsi Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat sebesar 26.8%.
Tabel 2 Proporsi penduduk umur
10 tahun menurut kebiasaan merokok dan
provinsi di Indonesia 2013
perokok saat ini
tidak merokok
Provinsi
total
Perokok
Perokok
Mantan
Bukan
Setiap Hari Kadang-kadang
Perokok
Perokok
Aceh
25.0
4.3
2.5
68.5
100
Sumatera Utara
24.2
4.2
3.3
68.2
100
Sumatera Barat
26.4
3.9
3.1
66.0
100
Riau
24.2
4.1
3.2
68.5
100
Jambi
22.9
4.7
2.9
69.5
100
Sumatera Selatan
24.7
5.4
3.4
66.6
100
Bengkylu
27.1
3.3
2.4
67.2
100
Lampung
26.5
4.8
2.6
66.0
100
Bangka Belitung
26.7
3.1
3.6
66.6
100
Kepulauan Riau
27.2
3.5
4.8
64.4
100
DKI Jakarta
23.2
6.0
6.0
64.8
100
Jawa Barat
27.1
5.6
4.5
62.8
100
Jawa Tengah
22.9
5.3
4.3
67.6
100
DI Yogyakarta
21.2
5.7
9.1
64.1
100
Jawa Timur
23.9
5.0
4.1
67.0
100
Banten
26.0
5.3
3.3
65.3
100
Bali
18.0
4.4
4.6
73.0
100
Nusa Tenggara Barat
26.8
3.5
2.2
67.5
100
Nusa Tenggara Timur
19.7
6.2
2.4
71.6
100
Kalimantan Barat
23.6
3.1
2.7
70.0
100
Kalimantan Tengah
22.5
4.0
3.1
69.8
100
Kalimantan Selatan
22.1
3.6
4.6
69.8
100
Kalimantan Timur
23.3
4.4
4.2
68.1
100
Sulawesi Utara
24.6
5.9
6.2
63.3
100
Sulawesi Tengah
26.2
4.5
4.4
64.9
100
Sulawesi Selatan
22.8
4.2
4.6
68.5
100
Sulawesi Tenggara
21.8
4.2
2.8
71.1
100
Gorontalo
26.8
5.5
3.4
64.3
100
Sulawesi Barat
22.0
4.2
3.6
70.2
100
Maluku
22.1
6.5
2.0
69.4
100
Maluku Utara
25.8
6.1
4.1
64.0
100
Papua Barat
22.1
6.0
2.6
69.3
100
Papua
16.3
5.6
2.8
75.4
100
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bogor 2013
4
Indonesia memiliki 33 provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia. Tabel 2
menunjukkan Jawa Barat termasuk kedalam jumlah perokok terbanyak ke-2 setelah
Kepulauan Riau menurut kebiasaan merokok setiap hari diatas umur 10 tahun. Selain
itu, Jawa Barat termasuk kedalam 5 besar terbanyak yang memiliki kebiasaan
merokok kadang-kadang diatas umur 10 tahun yang mencapai 5.6%.
Perumusan Masalah
Indonesia memiliki 33 provinsi yang tersebar diseluruh Indonesia dan
Provinsi Jawa Barat termasuk kedalam 2 besar pada provinsi dengan jumlah
perokok terbanyak diatas umur 10 tahun. Hal ini menandakan bahwa sebagian
besar penduduk Jawa Barat diatas umur 10 tahun mayoritas sudah mengenal dan
mengonsumsi rokok bahkan perokok dibawah umur 10 tahun yang belum
memiliki pendapatan sudah mulai mengonsumsi rokok seperti seorang balita
berumur 2.5 tahun asal Jember, Jawa Timur menghabiskan rokok 2 bungkus per
hari. Selain itu, terdapat balita serupa yang berdomisili di Sukabumi dan di Garut,
Jawa Barat (Kuwado 2012). Sejak tahun 2010 Jawa Barat menduduki peringkat 3
dalam prevalensi jumlah perokok terbanyak anak berdasarkan usia mulai merokok
5 tahun se-Provinsi Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah (Riset
Kesehatan dasar 2010). Tabel 3 akan menjelaskan detail Kabupaten dan Kota
yang berada di provinsi Jawa Barat memiliki kebiasaan merokok tertinggi pada
penduduk umur 10 tahun keatas.
Berdasarkan Tabel 3, peringkat 5 besar proporsi penduduk umur diatas 10
tahun menurut kebiasaan merokok di Kabupaten/Kota di Jawa Barat pada tahun
2013 yaitu Kota Bogor, Cianjur, Ciamis, Sumedang, dan Kota Sukabumi. Jumlah
perokok setiap hari tertinggi se-Jawa Barat yaitu Kota Bogor. Kebiasaan perokok
saat ini yang merokok setiap hari di Kota Bogor mencapai 32%. Selain itu, pada
kebiasaan merokok kadang-kadang mencapai 5.6%. Namun Kota Bogor pun
memiliki mantan perokok dan bukan perokok sebanyak 6.9% dan 55.5%. Perokok
setiap hari di Cianjur hanya mencapai 31.5%, Ciamis mencapai 30.9%, Sumedang
dan Kota Sukabumi mencapai 30.7%.
Proporsi jumlah perokok setiap hari di Kota Bogor lebih tinggi
dibandingkan DKI Jakarta yang hanya mencapai 23.2%. DKI Jakarta memiliki
perokok kadang-kadang mencapai 6%. Mantan perokok sebesar 6% dan bukan
perokok mencapai 64.8%. Kota Bogor bukan termasuk kota metropolitan namun
jumlah perokok diatas umur 10 tahun memiliki selisih mencapai 8.8% dengan
DKI Jakarta. Jumlah batang rokok yang dihisap oleh perokok di DKI Jakarta per
harinya mencapai 11.6 batang dan hampir mencapai 1 bungkus rokok (Dinas
Kesehatan 2013). Data mengenai konsumsi rokok di DKI Jakarta membuat
pemerintah provinsi tersebut memperketat implementasi Peraturan Gubernur
Nomor 88 Tahun 2010 tentang kawasan dilarang merokok (Selasar 2014).
5
Tabel 3 Proporsi penduduk umur
10 tahun menurut kebiasaan merokok di
Kabupaten/Kota Jawa Barat tahun 2013
Perokok saat ini
Tidak Merokok
Perokok
Perokok Mantan
Bukan
Kabupaten/Kota
Total
Setiap
Kadang- Perokok Perokok
Hari
Kadang
Bogor
28.6
5.9
5.8
59.7
Sukabumi
Cianjur
Bandung
Garut
Tasikmalaya
Ciamis
Kuningan
Cirebon
Majalengka
Sumedang
Indramayu
Subang
Purwakarta
Karawang
Bekasi
Bandung Barat
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
29.1
31.5
29.9
27.3
29.9
30.9
27.5
19.8
28.1
30.7
27.3
28.2
28.4
23.9
24.2
28.7
32
30.7
22.6
19.3
23.3
23.7
27.1
29.4
27.1
5.7
6.3
5.9
5.6
4
5.5
4.6
5.6
5.2
4.3
5.1
7.2
5.8
6
5.3
5.1
5.6
6.4
4.6
5.8
6.6
5.8
5.9
5
5.8
2.7
3.9
6.2
1.9
4.6
5.1
4.2
3.3
4.2
2.9
3.9
3.1
5.2
2.7
3
2.6
6.9
7.9
4.1
4
7.2
7.1
7.8
7.3
4.1
62.5
58.3
57.9
65.2
61.5
58.5
63.7
71.3
62.4
62.1
63.6
61.5
60.6
67.4
67.5
63.7
55.5
55
68.7
70.8
62.9
63.4
59.2
58.3
63
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
Sumber: Dinas Kesehatan, 2013
Tabel 4 menunjukan rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk
diatas umur 10 tahun di Jawa Barat. Kota Bogor termasuk dalam 10 besar yang
menduduki peringkat tertinggi untuk kategori jumlah batang rokok yang dihisap
penduduk umur 10 tahun menurut Kabupaten atau Kota di Jawa Barat tahun
2013. Konsumsi rokok kretek, rokok putih, dan linting di Kota Bogor cukup
tinggi yaitu sebanyak 11 batang perharinya dan hampir mencapai 1 bungkus
rokok. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar penduduk Kota Bogor memiliki
kecanduan yang cukup adiktif terhadap rokok dan sulit untuk mengurangi bahkan
menghentikan kebiasaan merokoknya tersebut. Oleh karena itu, relevan dilakukan
6
penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok kretek : studi
kasus di Kecamatan Bogor Barat.
Tabel 4 Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur 10
menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2013
Perokok (kretek, putih,
Kabupaten/kota
dan linting) tiap/hari
Bogor
Sukabumi
Cianjur
Bandung
Garut
Tasikmalaya
Ciamis
Kuningan
Cirebon
Majalengka
Sumedang
Indramayu
Subang
Purwakarta
Karawang
Bekasi
Bandung Barat
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
tahun
11.8
10.9
9.5
9.2
9.8
10.3
10.7
10.6
10.7
10.3
10.4
11.7
12.0
11.6
11.4
11.2
9.6
10.8
10.7
10.3
10.4
11.5
11.5
9.9
10.3
9.7
Sumber: Dinas Kesehatan 2013
Hasil dari penelitian terdahulu Anggraeni (2013) dan Woyanti (2011)
menunjukan bahwa pendapatan berpengaruh positif terhadap permintaan rokok.
Namun pendapatan tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok pada penelitian
Tjahjaprijadi dan Indarto (2003). Pada penelitian Debbie (2013), faktor-faktor
berikutnya yang memengaruhi permintaan rokok yaitu harga rokok substitusi,
lama merokok, dan lingkup sosial. Selanjutnya dalam penelitian Woyanti (2011)
terdapat harga rokok, umur dan pendidikan. Kemudian, pada penelitian
Tjahjaprijadi dan Indarto (2003) yang memengaruhi permintaan rokok yaitu
harga, selera, dan addiction. Oleh karena itu, untuk dapat mengendalikan
konsumsi rokok, terlebih dahulu diperlukan mengetahui faktor-faktor yang
memengaruhi permintaan konsumsi rokok.
7
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana karakteristik masyarakat Kecamatan Bogor Barat yang
mengonsumsi rokok?
2.
Faktor-faktor apa yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di Kecamatan
Bogor Barat?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijelaskan
maka tujuan penelitian dari skripsi ini adalah :
1. Menganalisis karakteristik masyarakat Kecamatan Bogor Barat yang
mengonsumsi rokok.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di
Kecamatan Bogor Barat.
Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan memberikan manfaat bagi berbagai
pihak, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Bagi pemerintah, diharapkan dapat dijadikan referensi dalam merumuskan
kebijakan yang terkait dengan pengendalian rokok dan menetapkan kebijakan
yang bersifat solutif.
2. Bagi institusi pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat menambah
khazanah guna dijadikan referensi untuk penelitian yang berkaitan dengan
pendidikan konsumen, serta menambah penelitian yang berkaitan dengan
konsumen.
3. Bagi masyarakat, untuk memberikan informasi mengenai rokok tentang
karakteristik masyarakat Kota Bogor yang mengonsumsi rokok, faktor-faktor
yang memengaruhi konsumsi rokok, dan bahaya kesehatan jika
mengkonsumsi rokok.
4. Bagi peneliti, diharapkan bermanfaat untuk menambah wawasan dan
pemahaman mengenai faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok
kretek di Kota Bogor dan bagi pengembangan serta aplikasi ilmu yang telah
diperoleh bangku kuliah.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam ruang lingkup Kota Bogor dengan 5
kelurahan yang terdapat di kecamatan Bogor Barat yaitu kelurahan Pasir Jaya,
Gunung Batu, Sindang Barang, Cilendek Timur, dan Kelurahan Cilendek Barat.
Responden yang dipilih adalah perokok yang sudah berpenghasilan. Ruang
lingkup penelitian ini dibatasi pada karakteristik masyarakat Kota Bogor dan
faktor-faktor konsumsi rokok yaitu harga rokok kretek, harga rokok substitusi,
harga barang komplementer, pendapatan, umur, dan lama pendidikan.
8
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab tinjauan pustaka ini akan dijelaskan teori tentang faktor-faktor
yang memengaruhi konsumsi, teori tentang metode analisis dan tinjauan
penelitian terdahulu yang terkait. Teori tentang faktor-faktor yang memengaruhi
konsumsi yaitu teori harga terhadap permintaan, harga rokok substitusi, harga
barang komplementer, pendapatan, umur, dan lama pendidikan. Selain teori
tentang permintaan, teori tentang metode analisis yang digunakan yaitu regresi
poisson akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.
Teori Permintaan
Menurut Sukirno (2008) permintaan erat hubungannya dengan konsumsi.
Teori permintaan menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah permintaan
dan harga. Permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh tingkat harganya.
Jika asumsi harga adalah tetap, kemudian menganalisis faktor lainnya seperti cita
rasa, pendapatan, atau harga barang lain yang mengalami perubahan pula.
Permintaan adalah banyaknya jumlah barang yang diminta pada suatu pasar
tertentu dengan tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan tertentu dan dalam
periode tertentu (Putong 2003). Menurut Lipsey (1995) suatu pergeseran kurva
permintaan atau perubahan permintaan menunjukkan adanya perubahan jumlah
yang diminta pada setiap tingkat harga Jika rata-rata pendapatan, harga barang
substitusi, harga barang komplementer, jumlah penduduk, dan selera berubah,
maka kurva permintaan pun akan bergeser.
Hubungan antara Faktor Harga terhadap Permintaan
Hukum permintaan menjelaskan kaitan antara permintaan suatu barang
dengan harganya. Hukum permintaan pada hakikatnya merupakan suatu hipotesis
yang menyatakan makin rendah harga suatu barang maka semakin banyak
permintaan terhadap barang tersebut. Sebaliknya, makin tinggi harga suatu barang
maka semakin sedikit permintaan terhadap barang tersebut (Sukirno 2008).
Menurut Lipsey (1995) semakin rendah harga suatu komoditi maka jumlah yang
akan diminta untuk komoditi tersebut akan semakin besar. Begitu pun sebaliknya.
Rokok merupakan barang normal, karena semakin tinggi harga barang
tersebut maka jumlah permintaannya akan semakin berkurang, akan tetapi
pengaruh kenaikan harga terhadap permintaan rokok diperkirakan kecil artinya
elastisitas permintaan karena harga (price elasticity of demand) kecil, karena
barang tersebut bersifat adiktif.
Harga berperan dalam menentukan permintaan terhadap komoditi rokok.
Harga rokok itu sendiri dengan permintaan rokok berpengaruh negatif. Karena
rokok merupakan barang adiktif, meningkatnya harga mungkin akan lebih
mengurangi permintaan dari kelompok yang berpendapatan rendah dibanding
dengan kelompok yang berpendapatan tinggi. Pengaruh kenaikan harga terhadap
permintaan rokok diperkirakan kecil (Ahsan 2006). Adanya barang pengganti atau
barang subtitusi, maka permintaan akan komoditi rokok tidak akan menurun.
Tetapi permintaan untuk rokok kretek kemungkinan menurun karena adanya
9
barang substitusi seperti rokok putih yang dapat menggantikan fungsi rokok
kretek (Tjahjaprijadi dan Indarto 2003).
Hubungan Harga Barang Substitusi (pengganti) terhadap Permintaan
Harga barang substitusi dapat mempengaruhi permintaan barang yang dapat
digantikannya. Jika harga barang substitusi bertambah murah maka barang yang
digantikannya akan mengalami pengurangan dalam permintaan (Sukirno 2008).
Ketika harga pada suatu komoditi mengalami peningkatan, beberapa rumah
tangga akan membeli komoditi tersebut lebih sedikit bahkan beralih ke komoditi
lain untuk memuaskan keinginan yang sama (Lipsey 1995) Dengan demikian
apabila harga rokok substitusi turun maka permintaan terhadap rokok akan
berkurang. Begitu pun sebaliknya. Terdapat 3 macam kelompok subtitusi menurut
derajat penggantiannya :
Substitusi Sempurna
Dua barang dikatakan memiliki substitusi sempurna apabila penggunaan
barang tersebut dapat digantikan satu sama lainnya tanpa mengurangi kepuasan
konsumen dalam menggunakannya. Contohnya, gula pasir. Konsumen tidak
mempermasalahkan mengenai asal gula pasir tersebut, gula lokal atau gula impor,
gula yang diproduksi di Jawa atau luar Jawa. Konsumen tidak dapat merasakan
perbedaan dalam hal kepuasan dari mengonsumsi gula pasir tersebut.
Substitusi Dekat
Apabila kedua barang dapat saling menggantikan, tetapi memberikan
perbedaan kepuasan bagi konsumen, maka barang tersebut dikategorikan sebagai
substitusi dekat. Contohnya, konsumsi terhadap daging sapi dan daging ayam.
Konsumen memperoleh manfaat terpenuhinya kebutuhan protein hewani, tetapi
konsumen tidak merasakan kepuasan yang sama antara mengonsumsi daging sapi
dengan mengonsumsi daging ayam.
Substitusi Jauh
Apabila dua barang dapat saling menggantikan hanya dalam kondisi
terpaksa saja, maka kedua barang tersebut dikategorikan sebagai substitusi jauh.
Konsumen tidak akan menggantikan konsumsi barang tersebut dengan barang lain
dalam kondisi normal.
Contohnya, konsumsi nasi dengan sagu. Walaupun sagu dapat
menggantikan fungsi nasi, tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia tidak akan
mengonsumsi sagu apabila masih terdapat nasi.
Hubungan Harga Barang Komplementer (Pelengkap) terhadap Permintaan
Apabila suatu barang selalu digunakan bersama dengan barang lainnya,
maka barang tersebut dinamakan barang pelengkap kepada barang lain tersebut.
Kenaikan atau penurunan permintaan terhadap barang pelengkap selalu sejalan
dengan perubahan permintaan barang yang digenapinya (Sukirno 2008). Ketika
terjadi penurunan harga suatu komoditi komplementer menyebabkan rumah
10
tangga membeli lebih banyak komoditi komplementer pada setiap tingkat harga
(Lipsey 1995). Jika permintaan terhadap kopi bertambah, maka permintaan
terhadap konsumsi rokok cenderung bertambah juga. Begitu pun sebaliknya.
Hubungan antara Faktor Pendapatan terhadap Permintaan
Pendapatan konsumen akan menentukan besarnya daya beli yang
dimilikinya. Pada barang normal, peningkatan pendapatan konsumen akan
menaikkan permintaan barang tersebut. Sebaliknya untuk barang inferior,
peningkatan pendapatan konsumen justru akan menurunkan konsumsinya.
Distribusi pendapatan mempengaruhi corak permintaan terhadap berbagai
jenis barang. Sejumlah pendapatan masyarakat yang tertentu besarnya akan
menimbulkan corak permintaan masyarakat yang berbeda apabila pendapatan
tersebut diubah corak distribusinya. Seperti pemerintah menaikkah pajak terhadap
orang kaya dan kemudian menggunakan hasil pajak ini untuk menaikkan
pendapatan pekerja yang bergaji rendah maka corak permintaan terhadap berbagai
barang akan mengalami perubahan. Barang yang digunakan orang kaya akan
berkurang permintaannya, namun orang berpendapatan rendah yang mengalami
peningkatan pendapatan akan bertambah permintaannya (Sukirno 2008).
Sebagian besar komoditi rokok merupakan barang normal di mana kenaikan
pendapatan akan meningkatkan demand untuk komoditi tersebut. Pada masyarakat
miskin, kenaikan pendapatan akan meningkatkan konsumsi rokok sebesar 6%
sementara untuk orang kaya hanya 2.1% (Ahsan 2006).
Hubungan Umur terhadap Permintaan
Semakin bertambahnya umur hingga mencapai umur tertentu dimana
perokok aktif mulai mengeluh sakit akibat paparan asap rokok dan mulai
menyadari akan arti penting kesehatan, maka mereka cenderung akan berusaha
untuk mengurangi konsumsi rokok (Woyanti 2011). Oleh karena itu, umur
berhubungan negatif dan signifikan terhadap konsumsi rokok.
Hubungan Faktor Pendidikan terhadap Permintaan
Penelitian di Amerika Serikat menjelaskan adanya hubungan yang erat
antara kebiasaan merokok dan latar pendidikan sang perokok. Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) dalam laporannya yang berjudul Morbidity and
Mortality Weekly Report, 2008 menyatakan perokok dengan pendidikan diploma
menduduki peringkat tertinggi yaitu sebesar 44%. Sementara itu, perokok yang
pernah mengenyam pendidikan 9-11 tahun mempunyai tingkat prevalensi 33.3%,
dan perokok yang berlatar pendidikan perguruan tinggi hanya 11.4%. Prevalensi
perokok berpendidikan sarjana jauh lebih rendah lagi, yaitu hanya 6.2%.
11
Regresi Poisson
Cameron dan Trivedi (1998) menyatakan bahwa model regresi Poisson
digunakan sebagai pendekatan untuk analisis data cacah dan tergantung pada
asumsi munculnya data cacah tersebut. Ada dua keadaan formulasi yang sering
terjadi pada asumsi munculnya data cacah. Formulasi pertama, yaitu data cacah
berasal dari pengamatan langsung dari sebuah proses titik. Formulasi kedua, yaitu
data cacah berasal dari diskretisasi atau ordinalisasi pada data laten kontinu.
Formulasi lainnya, yaitu data cacah berasal dari kejadian yang jarang terjadi atau
pendekatan sebaran binomial terhadap Poisson. Regresi Poisson termasuk dalam
regresi nonlinier yang variabel. Model regresi Poisson berasal dari distribusi
Poisson dengan parameter intensitas µ yang bergantung pada variabel prediktor.
Karakteristik dari sebaran Poisson yaitu nilai rataan dan ragam pada
peubah Y bernilai sama. Namun, kondisi yang sering terjadi adalah nilai ragam
lebih besar dari rataan atau overdispersi. Hardin dan Hilbe (2007) menyatakan
bahwa overdispersi terjadi karena adanya sumber keragaman yang tidak teramati
pada data atau adanya pengaruh peubah lain yang mengakibatkan peluang suatu
kejadian bergantung pada kejadian sebelumnya. Selain itu, overdispersi dapat juga
terjadi karena adanya pencilan pada data dan kesalahan spesifikasi fungsi
penghubung. Penyebab lain dari overdispersi yang sering terjadi dalam regresi
Poisson adalah peluang nilai nol yang berlebih pada peubah respon.
Penelitian Terdahulu
Penelitian Fikriyah dan Febrijanto (2012) bertujuan untuk memperoleh
informasi tentang Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Merokok Pada
Mahasiswa Laki-laki Di Asrama Putra STIKES RS Baptis Kediri. Desain yang
digunakan adalah deskriptif analitik, dimana rancangan penelitian ini bertujuan
untuk mendiskripsikan (memaparkan) peristiwa-peristiwa yang urgen terjadi
dimasa kini disajikan apa adanya. Sampel diambil dari mahasiswa STIKES RS
Baptis Kediri yang tinggal di asrama putra yang memenuhi kriteria sebanyak 33
orang. Hasil penelitian Fikriyah dan Febrijanto menunjukkan faktor psikologi
berpengaruh terhadap perilaku merokok pada mahasiswa laki-laki yang tinggal di
asrama putra Stikes RS Baptis Kediri yaitu sebesar 11 responden (33.3%).
Namun, faktor biologi dan faktor lingkungan tidak signifikan memengaruhi
perilaku merokok pada mahasiswa laki-laki di asrama putra. Faktor biologi
memiliki taraf nyata sebesar p=0.453 sehingga (α 0.05) dan faktor lingkungan
memiliki taraf nyata sebesar p=0.760 sehingga (α 0.05).
Penelitian Anggraeni (2013) yang berjudul Faktor-faktor yang memengaruhi
Permintaan Rokok Kretek di Kota Pare-pare bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis besarnya pengaruh pendapatan, harga rokok kretek, harga rokok
subtitusi, lama merokok, dampak iklan, dan lingkup sosial berpengaruh terhadap
permintaan rokok kretek di kota Parepare. Penelitian ini menggunakan data
primer. Data diambil berdasarkan kuesioner yang diberikan kepada responden.
Data primer tersebut meliputi identitas responden, tingkat pendapatan konsumen,
umur konsumen, jumlah rokok yang dikonsumsi ,dan total biaya yang dikeluarkan
untuk konsumsi rokok dalam sehari. Metode analisis yang digunakan adalah
12
regresi OLS atau Ordinary Least Square. Hasil dari penelitian Anggraeni (2013)
menunjukan faktor-faktor yang memengaruhi permintaan rokok kretek di Kota
Pare-pare yaitu pendapatan, harga rokok substitusi, lama merokok, dan lingkup
sosial. Sedangkan variabel harga tidak signifikan. Rokok kretek merupakan rokok
yang cenderung lebih diminati di Pare-pare dibandingkan dengan rokok putih. Hal
ini bisa saja dipengaruhi oleh adanya cita rasa yang khas dan kuatnya selera orang
Parepare terhadap rokok kretek.
Penelitian Woyanti (2011) yang berjudul Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai
dan Fatwa Haram Merokok terhadap Perilaku Konsumen Rokok di Kota
Semarang bertujuan untuk menganalisis: (1) pengaruh faktor harga, pendidikan,
umur, penghasilan, regulasi cukai rokok dan fatwa haram merokok terhadap
perilaku konsumen rokok di Kota Semarang. (2) faktor yang paling dominan yang
mempengaruhi perilaku konsumen rokok setelah adanya regulasi pemerintah
tentang tarif cukai rokok dan perubahan fatwa haram merokok di Kota Semarang.
Wilayah penelitian yang diambil adalah Kecamatan Semarang Selatan yang
mewakili daerah tengah kota, dan Kecamatan Mijen yang mewakili daerah
pinggiran kota. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Populasi penelitian ini adalah konsumen rokok laki-laki di Kota
Semarang dengan usia minimal 15 tahun. Penelitian Woyanti (2011) menunjukan
bahwa koefisien fatwa tidak signifikan memengaruhi perilaku konsumen rokok
maka ini menjadi indikasi bahwa hingga saat ini sebagian besar perokok aktif di
Kota Semarang tidak terpengaruh atas munculnya wacana fatwa haram merokok.
Variabel pendapatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku
konsumen rokok. Besaran pengaruh variabel pendapatan terhadap konsumsi rokok
adalah 0.000237 artinya setiap kenaikan pendapatan riil Rp100 000 per bulan,
ceteris paribus, akan menambah konsumsi rokok sebesar 23 batang per bulannya.
Variabel harga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perilaku konsumen
rokok. Semakin mahal harga rokok maka semakin sedikit jumlah rokok yang
dikonsumsi atau yang diminta. Variabel umur berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap perilaku konsumen rokok. Semakin bertambahnya umur hingga
mencapai umur tertentu perokok akif cenderung akan berusaha unfuk mengurangi
konsumsi rokok. Variabel pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
perilaku konsumen rokok.
Penelitian Tjahjaprijadi dan Indarto (2003) tentang Analisis Pola Konsumsi
Rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan Sigaret
Putih Mesin (SPM) yang bertujuan (1) mengetahui pengaruh harga rokok dan
harga rokok substitusi terhadap konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM dan (2)
mengetahui pengaruh pendapatan konsumen rokok terhadap konsumsi rokok
SKM, SKT, dan SPM. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh
dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2002 (SUSENAS 2002), yang
meliputi: (1) jumlah konsumsi rokok kretek filter, rokok kretek tanpa filter, dan
rokok putih; (2) harga rokok kretek filter, rokok kretek tanpa filter, dan rokok
putih yang merupakan hasil pembagian antara nilai konsumsi dibagi dengan
banyaknya konsumsi; serta (3) total pendapatan dan penerimaan rumah tangga.
Hasil penelitiannya menunjukkan konsumsi rokok SKM dipengaruhi oleh harga
rokok SKM secara negatif, yaitu kenaikan harga SKM akan direspon dengan
penurunan konsumsi rokok SKM. Faktor selera sangat dominan bagi perokok
dalam mengonsumsi suatu jenis rokok maupun berganti jenis rokok. Adanya
13
faktor selera menyebabkan perokok SKM tidak mudah melakukan substitusi
kepada jenis rokok yang lain Selain masalah selera terhadap satu jenis rokok serta
faktor addiction terhadap rokok dapat menyebabkan konsumsi rokok SKM tidak
dipengaruhi oleh pendapatan dari konsumennya. Untuk konsumsi rokok SKT,
harga SKT memiliki hubungan negatif yang signifikan. Selera sangat menentukan
dalam mengonsumsi suatu jenis rokok atau melakukan substitusi kepada jenis
rokok yang lain. Harga SPM memiliki hubungan yang signifikan dengan
konsumsi rokok SKT. Kenaikan harga SPM sebesar 1% akan meningkatkan
konsumsi rokok SKT sebesar 0.093%, sehingga antara rokok SKT dan rokok
SPM memiliki hubungan yang saling menggantikan. Konsumsi rokok SKT tidak
dipengaruhi oleh pendapatan. Pendapatan perokok tidak menentukan banyaknya
rokok SKT yang dikonsumsi, dan faktor addiction terhadap rokok SKT juga tidak
dipengaruhi oleh pendapatan perokoknya. Konsumsi rokok SPM memiliki
hubungan negatif yang signifikan dengan harga SPM. Kenaikan harga SPM akan
diikuti oleh turunnya konsumsi rokok SPM. Kenaikan harga SKM akan
mengurangi konsumsi rokok SPM. Sebagai produk substitusi, kenaikan harga
SKT akan menyebabkan konsumsi rokok SPM meningkat, dimana kenaikan harga
SKT sebesar 1% akan menaikan konsumsi rokok SPM sebesar 0.385%. Kenaikan
pendapatan akan menyebabkan naiknya konsumsi rokok SPM, dimana kenaikan
pendapatan sebesar 1% akan mengurangi konsumsi rokok SPM sebesar 0.059
batang.
Penelitian mengenai konsumsi rokok dengan menggunakan metode regresi
poisson sepengetahuan peneliti sepengetahuan peneliti belum banyak ditemukan.
Penelitian Yulianingsih, Sukarsa dan Suciptawati (2012) menggunakan regresi
poisson untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi jumlah siswa
SMA/SMK yang tidak lulus UN di Bali. Dari keempat faktor yang merupakan
variabel bebas pada penelitian ini yaitu proporsi SMA/SMK negeri, proporsi
ruang kelas SMA/SMK rusak, proporsi guru SMA/SMK sertifikasi, dan jumlah
peserta UN SMA/SMK semuanya secara signifikan berpengaruh terhadap jumlah
siswa SMA/SMK yang tidak lulus UN di Bali tahun 2011. Dari keempat variabel
tersebut yang paling berpengaruh adalah proporsi guru SMA/SMK sertifikasi
dengan penurunan jumlah siswa yang tidak lulus sebesar 64,40% sejalan dengan
peningkatan proporsi guru sertifikasi sebesar 1%. Model regresi Poisson yang
diperoleh adalah sebagai berikut: β = exp (12.5737 – 0.166612 X + 0.11908 X 1.03146 X - 0.00049 X ) dengan X yaitu proporsi SMA/SMK negeri, X yaitu
proporsi ruang kelas SMA/SMK yang rusak, X yaitu proporsi guru SMA/SMK
tersertifikasi, dan X yaitu jumlah peserta UN SMA/SMK.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini
lebih menjelaskan secara detail tentang kasus di Kecamatan Bogor Barat yang
karakteristiknya berbeda dengan penelitian lain serta menggunakan variabel harga
barang substitusi dan komplementer sebagai salah satu variabel pada penelitian
yang berjudul Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek : Studi
Kasus di Kecamatan Bogor Barat.
14
Kerangka Pemikiran Konseptual
Indonesia memiliki 33 provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia dan Jawa
Barat merupakan provinsi tertinggi ke-3 dalam prevalensi kebiasaan merokok
umur 10 tahun keatas. Di antara kabupaten dan kota di Jawa Barat, masyarakat
Kota Bogor merupakan konsumen rokok terbanyak se-Provinsi Jawa Barat dalam
prevelensi kebiasaan merokok umur 10 tahun keatas dan Kecamatan Bogor Barat
memiliki jumlah penduduk terbanyak se-Kota Bogor. Oleh karena itu relavan
dilakukan analisis faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di
Kecamatan Bogor Barat.
Berdasarkan tinjauan teori dan penelitian terdahulu faktor yang
diindikasikan memengaruhi konsumsi rokok adalah harga rokok kretek, harga
rokok substitusi, harga barang komplementer, pendapatan, umur, dan lama
pendidikan. Selanjutnya secara detail disajikan dalam Gambar 1.
Indonesia menduduki peringkat ke-3 dengan jumlah
perokok terbesar di dunia.
Jawa Barat merupakan provinsi tertinggi ke-2 dalam
prevalensi kebiasaan merokok umur 10 tahun keatas.
Masyarakat Kota Bogor merupakan penghisap batang
rokok terbanyak di provinsi Jawa Barat dalam
prevalensi kebiasaan merokok umur 10 tahun keatas.
Faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok
kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor Barat.
1.
2.
3.
4.
Faktor Ekonomi :
Pendapatan
Harga rokok
Harga rokok Substitusi
Harga Barang
Komplementer
Faktor Non Ekonomi :
1. Umur
2. Lama Pendidikan
Implikasi kebijakan
Gambar 1 Alur pikir penelitian
15
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Kota Bogor, Kecamatan Bogor
Barat. Adapun pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling
(sengaja) dengan pertimbangan bahwa Kota Bogor termasuk kedalam jumlah
populasi perokok tertinggi pada prevalensi merokok usia 10 tahun ke atas seProvinsi Jawa Barat. Di antara kecamatan di Kota Bogor, kecamatan Bogor Barat
merupakan jumlah penduduk terbanyak dan tertinggi pada usia 10 tahun keatas
yang rentan mengonsumsi rokok. Oleh karena itu, penelitian dilakukan di
Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Adapun waktu yang dilaksanakan dalam
penelitian menggunakan kuesioner ini yaitu pada tanggal 12 Mei-15 Juli 2014.
Jenis dan Cara Pengambilan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh dari hasil pengamatan langsung di
lapangan dan wawancara langsung dengan responden yang dipilih secara acak
dengan memberikan kuesioner kepada responden. Kuesioner berisi pertanyaan
tertutup dan terbuka yang diberikan kepada 400 responden. Pertanyaan tertutup
merupakan pertanyaan yang alternatif jawabannya telah disediakan, sehingga
responden hanya memilih salah satu alternatif jawaban yang paling sesuai.
Sedangkan pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memberikan kebebasan
bagi responden untuk menjawab. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS), Dinas Kesehatan, dan Bea dan Cukai.
Teknik Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini, populasinya adalah penduduk usia 10 tahun keatas di
Kota Bogor sebesar 822 664 orang. Contoh dalam penelitian ini adalah penduduk
usia 10 tahun keatas yang sudah berpendapatan dan bertempat tinggal di
Kecamatan Bogor Barat, yang tersebar di lima Kelurahan yaitu Kelurahan Pasir
Jaya dengan jumlah penduduk sebesar 17 406 orang, Gunung Batu dengan jumlah
penduduk sebesar 15 344 orang, Cilendek Timur sebesar 14 559, Sindang Barang
sebesar 14 371 dan Kelurahan Cilendek Barat dengan jumlah penduduk sebesar
14 349. Metode pemilihan contoh yang digunakan adalah convenience sampling
yang dilakukan dengan cara memilih contoh yang ditemui lalu diperoleh
responden yang bersedia untuk diwawancarai secara tatap muka.
Penentuan jumlah sampel yang diambil menggunakan rumus slovin sebagai
berikut:
16
Tabel 5 Jumlah dan Penyebaran Sampel pada Setiap Kelurahan
Jumlah
Kelurahan
Presentase x Total Sampel
Penduduk
17406/76029 = 0.229
Pasir Jaya
22.9% x 400 = 91.6 (92)
15344/76029 = 0.20
Gunung Batu
20% x 400 = 80
(80)
14371/76029
=
0.189
Sindang Barang
18.9% x 400 = 75.6 (76)
14559/76029 = 0.191
Cilendek Timur
19.1% x 400 = 76.4 (76)
14349/76029 = 0.189
Cilendek Barat
18.9% x 400 = 75.6 (76)
76029
Total
400
Pengolahan dan Analisis Data
Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah metode
analisis tabulasi silang dan regresi poisson. Analisis tabulasi silang digunakan
untuk menyajikan karakteristik responden dan regresi poisson digunakan untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di
Kecamatan Bogor Barat.
Spesifikasi Model Penelitian
Spesifikasi model yang dipilih oleh peneliti yaitu spesifikasi model terbaik
yang diolah menggunakan software SPSS 20. Model sebelumnya telah mencoba
memasukkan variabel lama merokok, efek iklan, fatwa haram, dan cukai rokok.
Namun model akhir dari persamaan permintaan rokok di Kecamatan Bogor Barat
sebagai berikut:
Y=a+
+
+
+
+
+
+ ɛt
Keterangan:
Y
= Jumlah konsumsi rokok (batang)
a
= intersep
= Umur (tahun)
= Lama pendidikan (tahun)
= Pendapatan (rupiah)
= Harga rokok kretek (rupiah)
= Harga rokok substitusi (rupiah)
= Harga barang komplementer (rupiah)
εt
= Error term
Kriteria Ekonomi
Kriteria ekonomi adalah cara penentuan parameter model regresi
berdasarkan teori ekonomi. Teori ekonomi yang digunakan untuk menjelaskan
hasil analisis yaitu teori permintaan.
17
Kriteria Statistik
Pengujian hipotesis menggunakan program SPSS 20 baik uji disperse
maupun uji wald yaitu dengan melihat tingkat signifikansi yaitu probabilitas
kesalahan menolah hipotesis yang ternyata benar. Jika dikatakan taraf nyata 5%
berarti resiko kesalahan mengambil keputusan adalah 5%. Program SPSS 20
selalu menggunakan taraf nyata 5% pada selang kepercayaan 95%.
Untuk dapat memperoleh hasil regresi terbaik maka harus memenuhi
kriteria statistic sebagai berikut:
Regresi Poisson
Model regresi Poisson merupakan model regresi nonlinier yang berasal dari
sebaran Poisson. Misalkan nilai yi dengan i=1,2,.., n, melambangkan jumlah
kejadian yang terjadi dalam satu periode dengan nilai parameter dari sebaran
Poisson λ. Penelitian ini menganggap bahwa setiap amatan memiliki parameter
dari sebaran Poisson yang sama di regresi Poisson. Peubah y merupakan peubah
acak yang menyebar Poisson dengan fungsi massa peluang sebagai berikut:
dengan asumsi pada regresi Poisson yaitu:
Metode untuk menduga koefisien parameter regresi Poisson yaitu metode
kemungkinan maksimum. Fungsi log kemungkinan yang dinotasikan dengan
pada persamaan 2.1 digunakan untuk mempermudah perhitungan dalam
menduga koefisien parameter regresi Poisson. Memaksimumkan fungsi log
kemungkinan akan memberikan hasil yang sama dengan memaksimumkan fungsi
kemungkinannya.
∑
(2.1)
Model pada persamaan 2.2 merupakan model regresi Poisson dengan fungsi
penghubung untuk sebaran Poisson adalah log. ̂ adalah penduga respon dari
model regresi Poisson dengan ukuran n x 1, adalah koefisien penduga parameter
regresi Poisson dengan ukuran vektor (j + 1) x 1, dan X adalah peubah penjelas
dengan ukuran matriks n x (j + 1), dengan j adalah banyaknya parameter yang
diduga.
(̂)
̂
(2.2)
18
Uji Dispersi
Apabila regresi Poisson digunakan untuk kondisi overdispersi, maka
terjadi keragaman data yang terdapat pada peubah respon (Y). Keragaman data
ditunjukan dengan adanya rasio dispersi (τ), yaitu:
Dispersi adalah ukuran penyebaran suatu kelompok data terhadap nilai
tengah data. Nilai dispersi kecil menunjukkan ragam yang homogen pada data,
sedangkan nilai dispersi besar menunjukkan keheterogenan pada data.
Overdispersi diidentifikasi dengan rasio τ bernilai lebih dari satu dan bersifat
konstan (Hardin dan Hilbe 2007).
Uji Wald
Uji parameter secara parsial dilakukan untuk mengetahui apakah masingmasing variabel bebas berpengaruh terhadap variabel respons apabila di dalam
model terdapat variabel lain. Hipotesis untuk uji parsial adalah:
H : βj = 0 ; j = 1, 2, …, k (pengaruh variabel ke- j tidaksignifikan)
H : βj 0 ; j = 1, 2, …, k (pengaruh variabel ke- j signifikan)
H₀ ditolak apabila P-value < taraf nyata 5% sehingga hasil uji Wald menunjukkan
bahwa variabel tersebut berpengaruh signifikan.
GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR
Letak Geografis dan Administratif
Kota Bogor merupakan salah satu kota yang terletak di Propinsi Jawa
Barat yang memiliki luas wilayah sekitar 11 850 hektar. Secara administratif Kota
Bogor melingkupi enam wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Timur,
Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Barat,
Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Tanah Sareal
Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS,
kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor
serta lokasinya sangat dekat dengan Ibu kota Negara, merupakan potensi yang
strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan
nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata.
Selain itu, karena lokasi Kota Bogor dekat ibukota Jakarta menyebabkan
masyarakat Kota Bogor terpengaruh untuk mengonsumsi rokok.
Luas wilayah Kota Bogor sebesar 11 850 Ha terdiri dari 6 kecamatan dan 68
kelurahan. Kemudian secara administratif Kota Bogor dikelilingi oleh Wilaya
ROKOK KRETEK : STUDI KASUS DI KECAMATAN BOGOR
BARAT
RIANA NUR QINTHARA
ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-faktor yang
Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor Barat
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Riana Nur Qinthara
NIM H14100093
2
ABSTRAK
RIANA NUR QINTHARA. Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi
Rokok Kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor Barat. Dibimbing oleh
WIDYASTUTIK.
Indonesia memiliki 33 provinsi yang tersebar diseluruh wilayahnya. Jawa
Barat merupakan provinsi tertinggi ke-2 dalam prevalensi kebiasaan merokok
umur 10 tahun keatas. Diantara kabupaten dan kota di Jawa Barat, Kota Bogor
merupakan kota dengan jumlah masyarakat pengonsumsi rokok terbanyak dalam
prevalensi kebiasaan merokok umur 10 tahun keatas. Tujuan penelitian ini adalah
menganalisis: 1) Karakteristik masyarakat Kecamatan Bogor Barat yang
mengonsumsi rokok; 2) Faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok di
Kecamatan Bogor Barat. Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder.
Metode analisisnya menggunakan analisis regresi poisson. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa: 1) Responden yang mengonsumsi rokok rata-rata memiliki
karakteristik lulusan SMA/Sederajat, sudah menikah, bermata pencaharian
sebagai pedagang, berusia antara 27-38 tahun, berpendapatan diatas Rp3 500 000.
Harga rokok kretek sebagian besar dikonsumsi pada kisaran harga Rp900 – Rp1
075. Harga rokok substitusi yang dikonsumsi pada kisaran Rp761 – Rp1 020.
Harga barang komplementer yang dibeli responden pada kisaran Rp2 600 – Rp5
000; 2) Faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di Kecamatan
Bogor Barat yaitu harga rokok kretek, harga rokok substitusi, harga barang
komplementer, umur, dan tingkat pendidikan,.
Kata kunci : Analisis regresi poisson, karakteristik perokok, konsumsi rokok
ABSTRACT
RIANA NUR QINTHARA. Factors that Influence Consumption of Clove
Cigarettes : A Case Study in West Bogor Subdistrict. Supervised by
WIDYASTUTIK.
Indonesia has 33 provinces which are scattered over its area. West Java is
the second highest province in term of prevalence of smoking habit for age groups
10 and above. Among counties and cities in West Java, Bogor is a city with
largest number of cigarette consumer in West Java in term of prevalence of
smoking habit for age groups 10 and above. The purposes of this study are to
analyze: 1) Characteristic of cigarette comsumers that are live in West Bogor
Subdistrict; 2) Factors that influence consumption of cigarettes in West Bogor
Subdistrict. This study uses primary and secondary data. Poisson regression
analysis is applied in this study as method of analysis. The results of this study
indicate that: 1) characteristics of respondents are senior high school graduate,
married, trader, 27 to 38 years old. They have monthly income more than Rp3 500
000. The price of clove cigarette consumed is about Rp900 to Rp1 075. The price
of subtitute cigarette is about Rp761 to Rp1 020. The price of complementary
good purchased by respondents is about Rp2 600 to Rp5 000; 2) Factors that
influence consumption of clove cigarette in Bogor are price of clove cigarette,
price of subtitute cigarette, price of complementary good, age, and education
level.
Keywords: poisson regression analysis, characteristics of smoker,
consumption of clove cigarette
3
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI KONSUMSI
ROKOK KRETEK : STUDI KASUS DI KECAMATAN BOGOR
BARAT
RIANA NUR QINTHARA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
4
6
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 ini ialah Faktor-faktor
yang Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor
Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Widyastutik, S.E, M.Si selaku
pembimbing. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada (1) papah, mamah,
kaka Metha, de Rakha, serta keluarga besar Ali Rachman, atas segala doa dan
kasih sayangnya (2) teman-teman Ilmu Ekonomi 47, teman sebimbingan (Nadiah,
Uke, Tika, Zulfi dan Anggo) (3) Teman INTEL (Elis, Azis, Khoe, Diyane, Mega,
Pika, Nanda, dan Anti) (4) Dhanny Apriyatna, Aulia, Nabilah, Sissy, Ema, Irga,
Nindy, Caca, Sheanie, Nudh, Adis, Rayteh, Ncin, Tika, Hani, Manda, Ruri,
Buddy, Oldga, Rosma, Jimmy, Ikhsan, Aki, Bram, Dodo, Gialdy, Febrian, Gerry,
dan seluruh teman-teman atas dukungan dan bantuan selama saya menjalankan
penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat dijadikan acuan para
pembaca untuk melakukan penelitian dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya
di bidang ekonomi.
Bogor, Januari 2015
Riana Nur Qinthara
7
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR GRAFIK
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Permintaan
Hubungan antara Faktor Harga terhadap Permintaan
Hubungan antara Harga Barang Substitusi terhadap Permintaan
Hubungan antara Harga Barang Komplementer terhadap Permintaan
Hubungan antara Faktor Pendapatan terhadap terhadap Permintaan
Hubungan antara Umur terhadap Permintaan
Hubungan antara Pendidikan terhadap Permintaan
Regresi Poisson
Penelitian Terdahulu
Kerangka Pemikiran Konseptual
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Jenis dan Pengambilan Data
Teknik Pengambilan Sampel
Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR
Letak Geografis danAdministratif
Luas Wilayah dan Kependudukan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik berdasarkan Variabel
Hasil
Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek
Di Kota Bogor
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vi
vi
vi
vi
1
1
4
7
7
7
8
8
8
9
9
10
10
10
11
11
14
15
15
15
15
16
18
18
19
19
19
22
23
25
25
26
27
29
8
RIWAYAT HIDUP
56
DAFTAR TABEL
1 Rata-rata konsumsi dan pengeluaran perkapita rokok selama seminggu
di Indonesia menurut daerah tempat tinggal pada bulan Maret 2013
2 Proporsi penduduk umur 10 tahun menurut kebiasaan merokok dan
provinsi di Indonesia 2013
3 Proporsi penduduk umur 10 tahun menurut kebiasaan merokok di
Kabupaten/Kota Jawa Barat tahun 2013
4 Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur 10 tahun
menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2013
5 Jumlah dan penyebaran sampel pada setiap kelurahan
6 Luas wilayah, jumlah penduduk, dan kepadatan Kota Bogor tahun 2012
7 Jumlah konsumen rokok berdasarkan harga rokok kretek per batang
8 Jumlah konsumen rokok berdasarkan harga rokok substitusi per batang
9 Jumlah konsumen rokok berdasarkan harga barang komplementer
10 Jumlah konsumen rokok berdasarkan pendapatan
11 Jumlah konsumen rokok berdasarkan lama pendidikan
12 Hasil estimasi regresi nonlinear berganda
1
3
5
6
16
19
20
20
21
21
22
23
DAFTAR GAMBAR
1 Alur pikir penelitian analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
permintaan rokok kretek di Kota Bogor
14
DAFTAR GRAFIK
1 Realisasi penerimaan cukai rokok dalam negeri tahun 2000-2011
(triliun)
2
DAFTAR LAMPIRAN
1 Data responden
2 Kuesioner
3 Hasil analisis regresi poisson fungsi konsumsi rokok
30
49
53
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia, negara besar dengan jumlah penduduk kurang lebih 241 973
879 juta, merupakan salah satu negara konsumen tembakau terbesar di dunia.
Indonesia menduduki peringkat ke-5 dengan jumlah perokok terbesar di dunia
setelah Cina, USA, Rusia, dan Jepang. Jumlah penduduk Indonesia yang merokok
sebanyak 75 juta dengan jumlah konsumsi rokok sebanyak 225 milyar batang per
tahun menyebabkan dana masyarakat yang dikeluarkan untuk batang rokok
tersebut mencapai Rp100 triliun (WHO 2008).
Lebih dari 600 ribu penduduk yang tidak merokok terkena asap rokok,
diperkirakan angka kematian tahunan dapat meningkat mencapai 8 juta penduduk
pada tahun 2030 (WHO 2008). Konsumsi rokok Indonesia diperkirakan setiap
tahunnya mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 jumlah rokok yang
dikonsumsi oleh kelompok populasi perkotaan lebih tinggi dibandingkan
kelompok populasi di pedesaan seperti disajikan pada Tabel 1. Prevalensi pria
dewasa yang merokok di pedesaan kisaran 67% lebih tinggi dibandingkan
perkotaan yang hanya mencapai kisaran 58.3%. Selain itu, 73% dari perokok
tersebut tidak berpendidikan formal (Departemen Kesehatan RI 2009).
Tabel 1 Rata-rata konsumsi dan pengeluaran perkapita rokok selama seminggu di
Indonesia menurut daerah tempat tinggal pada bulan Maret 2013
Tempat Tinggal
Satuan
Banyaknya
Nilai (Rp)
Perkotaan
Rokok kretek filter
Bungkus/Pack
0.676
7209
Rokok kretek tanpa filter
Bungkus/Pack
0.266
2271
Rokok putih
Bungkus/Pack
0.106
1229
Pedesaan
Rokok kretek filter
Bungkus/Pack
0.652
5742
Rokok kretek tanpa filter
Bungkus/Pack
0.388
2726
Rokok putih
Bungkus/Pack
0.076
745
Perkotaan + Pedesaan
Rokok kretek filter
Bungkus/Pack
0.664
6473
Rokok kretek tanpa filter
Bungkus/Pack
0.327
2499
Rokok putih
Bungkus/Pack
0.091
1021
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) 2013
Berdasarkan Tabel 1, rata-rata konsumsi dan pengeluaran perkapita untuk
rokok baik filter maupun tanpa filter, diperkotaan lebih tinggi dibandingkan
dipedesaan. Baik penduduk perkotaan maupun pedesaan lebih menyukai rokok
kretek filter dibandingkan rokok kretek tanpa filter maupun rokok putih. Jumlah
rokok yang dikonsumsi itulah menghasilkan penerimaan cukai rokok di Indonesia.
Pada Gambar 1 akan dijelaskan lebih detail tentang peningkatan jumlah konsumsi
rokok setiap tahunnya sehingga penerimaan cukai rokok terus meningkat.
2
Realisasi Penerimaan
Cukai Rokok
Triliun (Rp)
80
65
60
40
20
11.29
55.38
57
2009
2010
42.03 45.72
33.26 37.77
29.17
26.28
17.39 23.19
0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2011
Tahun
Sumber: Southeast Asia Tobacco Control Alliance 2012
Grafik 1 Realisasi penerimaan cukai rokok dalam negeri tahun 2000-2011 (triliun)
Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat penerimaan cukai rokok Indonesia
sejak tahun 2000 hingga 2011 mengalami peningkatan dalam jumlah yang besar.
Hal ini dapat menunjukkan juga bahwa selain peningkatan harga, jumlah rokok
yang dikonsumsi juga semakin bertambah setiap tahunnya. Pada tahun 2000
penerimaan cukai rokok Dalam Negeri hanya sebesar Rp11.29 triliun. Seiring
dengan peningkatan nilai rupiah dari cukai rokok sehingga pada tahun 2011
penerimaan cukai rokok Dalam Negeri mengalami peningkatan yang sangat
drastis mencapai Rp65 triliun (Southeast Asia Tobacco Control Alliance 2012).
Pendapatan yang besar melalui cukai rokok menyebabkan perhatian
pemerintah lebih fokus dan intensif terhadap industri rokok, agar industri rokok
dapat terus bertumbuh dan berkembang dengan baik. Namun di sisi lain, rokok
merupakan produk yang mengganggu kesehatan dan lingkungan hidup, sehingga
biaya sebagai dampak konsumsi rokok juga cukup besar. Oleh karena itu, sangat
dilematis bagi pemerintah dalam menyikapi industri rokok, karena pemerintah
menyadari kerugian dari konsumsi rokok. Kerugian yang timbul dari konsumsi
rokok adalah kerugian ekonomi dan sosial, seperti biaya kesehatan, biaya
kematian, dan biaya kehilangan produktivitas kerja. Pendapatan negara dari cukai
rokok, ternyata tak sebanding dengan nilai kerugian yang ditimbulkan karena
merokok. Pada tahun 2012, pendapatan negara dari cukai hanya sebesar Rp55
triliun. Namun, kerugiannya mencapai Rp254.41 triliun (Southeast Asia Tobacco
Control Alliance 2012).
Penerimaan cukai rokok yang tinggi dipengaruhi oleh jumlah penduduk
yang mengonsumsi rokok di perkotaan maupun pedesaan terus meningkat setiap
tahunnya. Bahkan umur 10-15 tahun di Indonesia sudah banyak yang menghisap
rokok tersebut. Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap di Indonesia adalah
sekitar 12.3 batang perharinya. Jumlah yang dihisap bervariasi dari yang terendah
yaitu 10 batang perhari di DI Yogyakarta dan tertinggi di Bangka Belitung yaitu
sebanyak 18.3 batang per harinya. Perilaku merokok pada penduduk umur 15
tahun keatas cenderung meningkat dari 34.2% tahun 2007 menjadi 36.3% tahun
2013. Sebagian besar 64.9% laki-laki dan 2.1% perempuan masih menghisap
rokok di tahun 2013. Perokok umur 10-14 tahun di Indonesia mencapai 1.4%,
9.9% perokok pada kelompok tidak bekerja, dan 32.3% pada kelompok kuintil
indeks kepemilikan terendah (Dinas Kesehatan 2013).
Tabel 2 menjelaskan provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia dengan
jumlah perokok terbanyak pada saat ini dan jumlah penduduk yang tidak merokok
pada umur 10 tahun keatas di setiap provinsi. Pada tabel tersebut terdapat 5
provinsi dengan jumlah perokok terbanyak saat ini yang memiliki kebiasaan
3
merokok setiap hari terbanyak diatas umur 10 tahun yaitu Provinsi Kepulauan
Riau mencapai 27.2%, Provinsi Jawa Barat dan Bengkulu sebesar 27.1%, dan
Provinsi Gorontalo dan Nusa Tenggara Barat sebesar 26.8%.
Tabel 2 Proporsi penduduk umur
10 tahun menurut kebiasaan merokok dan
provinsi di Indonesia 2013
perokok saat ini
tidak merokok
Provinsi
total
Perokok
Perokok
Mantan
Bukan
Setiap Hari Kadang-kadang
Perokok
Perokok
Aceh
25.0
4.3
2.5
68.5
100
Sumatera Utara
24.2
4.2
3.3
68.2
100
Sumatera Barat
26.4
3.9
3.1
66.0
100
Riau
24.2
4.1
3.2
68.5
100
Jambi
22.9
4.7
2.9
69.5
100
Sumatera Selatan
24.7
5.4
3.4
66.6
100
Bengkylu
27.1
3.3
2.4
67.2
100
Lampung
26.5
4.8
2.6
66.0
100
Bangka Belitung
26.7
3.1
3.6
66.6
100
Kepulauan Riau
27.2
3.5
4.8
64.4
100
DKI Jakarta
23.2
6.0
6.0
64.8
100
Jawa Barat
27.1
5.6
4.5
62.8
100
Jawa Tengah
22.9
5.3
4.3
67.6
100
DI Yogyakarta
21.2
5.7
9.1
64.1
100
Jawa Timur
23.9
5.0
4.1
67.0
100
Banten
26.0
5.3
3.3
65.3
100
Bali
18.0
4.4
4.6
73.0
100
Nusa Tenggara Barat
26.8
3.5
2.2
67.5
100
Nusa Tenggara Timur
19.7
6.2
2.4
71.6
100
Kalimantan Barat
23.6
3.1
2.7
70.0
100
Kalimantan Tengah
22.5
4.0
3.1
69.8
100
Kalimantan Selatan
22.1
3.6
4.6
69.8
100
Kalimantan Timur
23.3
4.4
4.2
68.1
100
Sulawesi Utara
24.6
5.9
6.2
63.3
100
Sulawesi Tengah
26.2
4.5
4.4
64.9
100
Sulawesi Selatan
22.8
4.2
4.6
68.5
100
Sulawesi Tenggara
21.8
4.2
2.8
71.1
100
Gorontalo
26.8
5.5
3.4
64.3
100
Sulawesi Barat
22.0
4.2
3.6
70.2
100
Maluku
22.1
6.5
2.0
69.4
100
Maluku Utara
25.8
6.1
4.1
64.0
100
Papua Barat
22.1
6.0
2.6
69.3
100
Papua
16.3
5.6
2.8
75.4
100
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bogor 2013
4
Indonesia memiliki 33 provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia. Tabel 2
menunjukkan Jawa Barat termasuk kedalam jumlah perokok terbanyak ke-2 setelah
Kepulauan Riau menurut kebiasaan merokok setiap hari diatas umur 10 tahun. Selain
itu, Jawa Barat termasuk kedalam 5 besar terbanyak yang memiliki kebiasaan
merokok kadang-kadang diatas umur 10 tahun yang mencapai 5.6%.
Perumusan Masalah
Indonesia memiliki 33 provinsi yang tersebar diseluruh Indonesia dan
Provinsi Jawa Barat termasuk kedalam 2 besar pada provinsi dengan jumlah
perokok terbanyak diatas umur 10 tahun. Hal ini menandakan bahwa sebagian
besar penduduk Jawa Barat diatas umur 10 tahun mayoritas sudah mengenal dan
mengonsumsi rokok bahkan perokok dibawah umur 10 tahun yang belum
memiliki pendapatan sudah mulai mengonsumsi rokok seperti seorang balita
berumur 2.5 tahun asal Jember, Jawa Timur menghabiskan rokok 2 bungkus per
hari. Selain itu, terdapat balita serupa yang berdomisili di Sukabumi dan di Garut,
Jawa Barat (Kuwado 2012). Sejak tahun 2010 Jawa Barat menduduki peringkat 3
dalam prevalensi jumlah perokok terbanyak anak berdasarkan usia mulai merokok
5 tahun se-Provinsi Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah (Riset
Kesehatan dasar 2010). Tabel 3 akan menjelaskan detail Kabupaten dan Kota
yang berada di provinsi Jawa Barat memiliki kebiasaan merokok tertinggi pada
penduduk umur 10 tahun keatas.
Berdasarkan Tabel 3, peringkat 5 besar proporsi penduduk umur diatas 10
tahun menurut kebiasaan merokok di Kabupaten/Kota di Jawa Barat pada tahun
2013 yaitu Kota Bogor, Cianjur, Ciamis, Sumedang, dan Kota Sukabumi. Jumlah
perokok setiap hari tertinggi se-Jawa Barat yaitu Kota Bogor. Kebiasaan perokok
saat ini yang merokok setiap hari di Kota Bogor mencapai 32%. Selain itu, pada
kebiasaan merokok kadang-kadang mencapai 5.6%. Namun Kota Bogor pun
memiliki mantan perokok dan bukan perokok sebanyak 6.9% dan 55.5%. Perokok
setiap hari di Cianjur hanya mencapai 31.5%, Ciamis mencapai 30.9%, Sumedang
dan Kota Sukabumi mencapai 30.7%.
Proporsi jumlah perokok setiap hari di Kota Bogor lebih tinggi
dibandingkan DKI Jakarta yang hanya mencapai 23.2%. DKI Jakarta memiliki
perokok kadang-kadang mencapai 6%. Mantan perokok sebesar 6% dan bukan
perokok mencapai 64.8%. Kota Bogor bukan termasuk kota metropolitan namun
jumlah perokok diatas umur 10 tahun memiliki selisih mencapai 8.8% dengan
DKI Jakarta. Jumlah batang rokok yang dihisap oleh perokok di DKI Jakarta per
harinya mencapai 11.6 batang dan hampir mencapai 1 bungkus rokok (Dinas
Kesehatan 2013). Data mengenai konsumsi rokok di DKI Jakarta membuat
pemerintah provinsi tersebut memperketat implementasi Peraturan Gubernur
Nomor 88 Tahun 2010 tentang kawasan dilarang merokok (Selasar 2014).
5
Tabel 3 Proporsi penduduk umur
10 tahun menurut kebiasaan merokok di
Kabupaten/Kota Jawa Barat tahun 2013
Perokok saat ini
Tidak Merokok
Perokok
Perokok Mantan
Bukan
Kabupaten/Kota
Total
Setiap
Kadang- Perokok Perokok
Hari
Kadang
Bogor
28.6
5.9
5.8
59.7
Sukabumi
Cianjur
Bandung
Garut
Tasikmalaya
Ciamis
Kuningan
Cirebon
Majalengka
Sumedang
Indramayu
Subang
Purwakarta
Karawang
Bekasi
Bandung Barat
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
29.1
31.5
29.9
27.3
29.9
30.9
27.5
19.8
28.1
30.7
27.3
28.2
28.4
23.9
24.2
28.7
32
30.7
22.6
19.3
23.3
23.7
27.1
29.4
27.1
5.7
6.3
5.9
5.6
4
5.5
4.6
5.6
5.2
4.3
5.1
7.2
5.8
6
5.3
5.1
5.6
6.4
4.6
5.8
6.6
5.8
5.9
5
5.8
2.7
3.9
6.2
1.9
4.6
5.1
4.2
3.3
4.2
2.9
3.9
3.1
5.2
2.7
3
2.6
6.9
7.9
4.1
4
7.2
7.1
7.8
7.3
4.1
62.5
58.3
57.9
65.2
61.5
58.5
63.7
71.3
62.4
62.1
63.6
61.5
60.6
67.4
67.5
63.7
55.5
55
68.7
70.8
62.9
63.4
59.2
58.3
63
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
100
Sumber: Dinas Kesehatan, 2013
Tabel 4 menunjukan rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk
diatas umur 10 tahun di Jawa Barat. Kota Bogor termasuk dalam 10 besar yang
menduduki peringkat tertinggi untuk kategori jumlah batang rokok yang dihisap
penduduk umur 10 tahun menurut Kabupaten atau Kota di Jawa Barat tahun
2013. Konsumsi rokok kretek, rokok putih, dan linting di Kota Bogor cukup
tinggi yaitu sebanyak 11 batang perharinya dan hampir mencapai 1 bungkus
rokok. Hal ini menunjukan bahwa sebagian besar penduduk Kota Bogor memiliki
kecanduan yang cukup adiktif terhadap rokok dan sulit untuk mengurangi bahkan
menghentikan kebiasaan merokoknya tersebut. Oleh karena itu, relevan dilakukan
6
penelitian tentang faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok kretek : studi
kasus di Kecamatan Bogor Barat.
Tabel 4 Rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap penduduk umur 10
menurut Kabupaten/Kota di Jawa Barat 2013
Perokok (kretek, putih,
Kabupaten/kota
dan linting) tiap/hari
Bogor
Sukabumi
Cianjur
Bandung
Garut
Tasikmalaya
Ciamis
Kuningan
Cirebon
Majalengka
Sumedang
Indramayu
Subang
Purwakarta
Karawang
Bekasi
Bandung Barat
Kota Bogor
Kota Sukabumi
Kota Bandung
Kota Cirebon
Kota Bekasi
Kota Depok
Kota Cimahi
Kota Tasikmalaya
Kota Banjar
tahun
11.8
10.9
9.5
9.2
9.8
10.3
10.7
10.6
10.7
10.3
10.4
11.7
12.0
11.6
11.4
11.2
9.6
10.8
10.7
10.3
10.4
11.5
11.5
9.9
10.3
9.7
Sumber: Dinas Kesehatan 2013
Hasil dari penelitian terdahulu Anggraeni (2013) dan Woyanti (2011)
menunjukan bahwa pendapatan berpengaruh positif terhadap permintaan rokok.
Namun pendapatan tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok pada penelitian
Tjahjaprijadi dan Indarto (2003). Pada penelitian Debbie (2013), faktor-faktor
berikutnya yang memengaruhi permintaan rokok yaitu harga rokok substitusi,
lama merokok, dan lingkup sosial. Selanjutnya dalam penelitian Woyanti (2011)
terdapat harga rokok, umur dan pendidikan. Kemudian, pada penelitian
Tjahjaprijadi dan Indarto (2003) yang memengaruhi permintaan rokok yaitu
harga, selera, dan addiction. Oleh karena itu, untuk dapat mengendalikan
konsumsi rokok, terlebih dahulu diperlukan mengetahui faktor-faktor yang
memengaruhi permintaan konsumsi rokok.
7
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimana karakteristik masyarakat Kecamatan Bogor Barat yang
mengonsumsi rokok?
2.
Faktor-faktor apa yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di Kecamatan
Bogor Barat?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijelaskan
maka tujuan penelitian dari skripsi ini adalah :
1. Menganalisis karakteristik masyarakat Kecamatan Bogor Barat yang
mengonsumsi rokok.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di
Kecamatan Bogor Barat.
Manfaat Penelitian
Penelitian yang dilakukan ini diharapkan memberikan manfaat bagi berbagai
pihak, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Bagi pemerintah, diharapkan dapat dijadikan referensi dalam merumuskan
kebijakan yang terkait dengan pengendalian rokok dan menetapkan kebijakan
yang bersifat solutif.
2. Bagi institusi pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat menambah
khazanah guna dijadikan referensi untuk penelitian yang berkaitan dengan
pendidikan konsumen, serta menambah penelitian yang berkaitan dengan
konsumen.
3. Bagi masyarakat, untuk memberikan informasi mengenai rokok tentang
karakteristik masyarakat Kota Bogor yang mengonsumsi rokok, faktor-faktor
yang memengaruhi konsumsi rokok, dan bahaya kesehatan jika
mengkonsumsi rokok.
4. Bagi peneliti, diharapkan bermanfaat untuk menambah wawasan dan
pemahaman mengenai faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok
kretek di Kota Bogor dan bagi pengembangan serta aplikasi ilmu yang telah
diperoleh bangku kuliah.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam ruang lingkup Kota Bogor dengan 5
kelurahan yang terdapat di kecamatan Bogor Barat yaitu kelurahan Pasir Jaya,
Gunung Batu, Sindang Barang, Cilendek Timur, dan Kelurahan Cilendek Barat.
Responden yang dipilih adalah perokok yang sudah berpenghasilan. Ruang
lingkup penelitian ini dibatasi pada karakteristik masyarakat Kota Bogor dan
faktor-faktor konsumsi rokok yaitu harga rokok kretek, harga rokok substitusi,
harga barang komplementer, pendapatan, umur, dan lama pendidikan.
8
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab tinjauan pustaka ini akan dijelaskan teori tentang faktor-faktor
yang memengaruhi konsumsi, teori tentang metode analisis dan tinjauan
penelitian terdahulu yang terkait. Teori tentang faktor-faktor yang memengaruhi
konsumsi yaitu teori harga terhadap permintaan, harga rokok substitusi, harga
barang komplementer, pendapatan, umur, dan lama pendidikan. Selain teori
tentang permintaan, teori tentang metode analisis yang digunakan yaitu regresi
poisson akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.
Teori Permintaan
Menurut Sukirno (2008) permintaan erat hubungannya dengan konsumsi.
Teori permintaan menerangkan tentang ciri hubungan antara jumlah permintaan
dan harga. Permintaan suatu barang terutama dipengaruhi oleh tingkat harganya.
Jika asumsi harga adalah tetap, kemudian menganalisis faktor lainnya seperti cita
rasa, pendapatan, atau harga barang lain yang mengalami perubahan pula.
Permintaan adalah banyaknya jumlah barang yang diminta pada suatu pasar
tertentu dengan tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan tertentu dan dalam
periode tertentu (Putong 2003). Menurut Lipsey (1995) suatu pergeseran kurva
permintaan atau perubahan permintaan menunjukkan adanya perubahan jumlah
yang diminta pada setiap tingkat harga Jika rata-rata pendapatan, harga barang
substitusi, harga barang komplementer, jumlah penduduk, dan selera berubah,
maka kurva permintaan pun akan bergeser.
Hubungan antara Faktor Harga terhadap Permintaan
Hukum permintaan menjelaskan kaitan antara permintaan suatu barang
dengan harganya. Hukum permintaan pada hakikatnya merupakan suatu hipotesis
yang menyatakan makin rendah harga suatu barang maka semakin banyak
permintaan terhadap barang tersebut. Sebaliknya, makin tinggi harga suatu barang
maka semakin sedikit permintaan terhadap barang tersebut (Sukirno 2008).
Menurut Lipsey (1995) semakin rendah harga suatu komoditi maka jumlah yang
akan diminta untuk komoditi tersebut akan semakin besar. Begitu pun sebaliknya.
Rokok merupakan barang normal, karena semakin tinggi harga barang
tersebut maka jumlah permintaannya akan semakin berkurang, akan tetapi
pengaruh kenaikan harga terhadap permintaan rokok diperkirakan kecil artinya
elastisitas permintaan karena harga (price elasticity of demand) kecil, karena
barang tersebut bersifat adiktif.
Harga berperan dalam menentukan permintaan terhadap komoditi rokok.
Harga rokok itu sendiri dengan permintaan rokok berpengaruh negatif. Karena
rokok merupakan barang adiktif, meningkatnya harga mungkin akan lebih
mengurangi permintaan dari kelompok yang berpendapatan rendah dibanding
dengan kelompok yang berpendapatan tinggi. Pengaruh kenaikan harga terhadap
permintaan rokok diperkirakan kecil (Ahsan 2006). Adanya barang pengganti atau
barang subtitusi, maka permintaan akan komoditi rokok tidak akan menurun.
Tetapi permintaan untuk rokok kretek kemungkinan menurun karena adanya
9
barang substitusi seperti rokok putih yang dapat menggantikan fungsi rokok
kretek (Tjahjaprijadi dan Indarto 2003).
Hubungan Harga Barang Substitusi (pengganti) terhadap Permintaan
Harga barang substitusi dapat mempengaruhi permintaan barang yang dapat
digantikannya. Jika harga barang substitusi bertambah murah maka barang yang
digantikannya akan mengalami pengurangan dalam permintaan (Sukirno 2008).
Ketika harga pada suatu komoditi mengalami peningkatan, beberapa rumah
tangga akan membeli komoditi tersebut lebih sedikit bahkan beralih ke komoditi
lain untuk memuaskan keinginan yang sama (Lipsey 1995) Dengan demikian
apabila harga rokok substitusi turun maka permintaan terhadap rokok akan
berkurang. Begitu pun sebaliknya. Terdapat 3 macam kelompok subtitusi menurut
derajat penggantiannya :
Substitusi Sempurna
Dua barang dikatakan memiliki substitusi sempurna apabila penggunaan
barang tersebut dapat digantikan satu sama lainnya tanpa mengurangi kepuasan
konsumen dalam menggunakannya. Contohnya, gula pasir. Konsumen tidak
mempermasalahkan mengenai asal gula pasir tersebut, gula lokal atau gula impor,
gula yang diproduksi di Jawa atau luar Jawa. Konsumen tidak dapat merasakan
perbedaan dalam hal kepuasan dari mengonsumsi gula pasir tersebut.
Substitusi Dekat
Apabila kedua barang dapat saling menggantikan, tetapi memberikan
perbedaan kepuasan bagi konsumen, maka barang tersebut dikategorikan sebagai
substitusi dekat. Contohnya, konsumsi terhadap daging sapi dan daging ayam.
Konsumen memperoleh manfaat terpenuhinya kebutuhan protein hewani, tetapi
konsumen tidak merasakan kepuasan yang sama antara mengonsumsi daging sapi
dengan mengonsumsi daging ayam.
Substitusi Jauh
Apabila dua barang dapat saling menggantikan hanya dalam kondisi
terpaksa saja, maka kedua barang tersebut dikategorikan sebagai substitusi jauh.
Konsumen tidak akan menggantikan konsumsi barang tersebut dengan barang lain
dalam kondisi normal.
Contohnya, konsumsi nasi dengan sagu. Walaupun sagu dapat
menggantikan fungsi nasi, tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia tidak akan
mengonsumsi sagu apabila masih terdapat nasi.
Hubungan Harga Barang Komplementer (Pelengkap) terhadap Permintaan
Apabila suatu barang selalu digunakan bersama dengan barang lainnya,
maka barang tersebut dinamakan barang pelengkap kepada barang lain tersebut.
Kenaikan atau penurunan permintaan terhadap barang pelengkap selalu sejalan
dengan perubahan permintaan barang yang digenapinya (Sukirno 2008). Ketika
terjadi penurunan harga suatu komoditi komplementer menyebabkan rumah
10
tangga membeli lebih banyak komoditi komplementer pada setiap tingkat harga
(Lipsey 1995). Jika permintaan terhadap kopi bertambah, maka permintaan
terhadap konsumsi rokok cenderung bertambah juga. Begitu pun sebaliknya.
Hubungan antara Faktor Pendapatan terhadap Permintaan
Pendapatan konsumen akan menentukan besarnya daya beli yang
dimilikinya. Pada barang normal, peningkatan pendapatan konsumen akan
menaikkan permintaan barang tersebut. Sebaliknya untuk barang inferior,
peningkatan pendapatan konsumen justru akan menurunkan konsumsinya.
Distribusi pendapatan mempengaruhi corak permintaan terhadap berbagai
jenis barang. Sejumlah pendapatan masyarakat yang tertentu besarnya akan
menimbulkan corak permintaan masyarakat yang berbeda apabila pendapatan
tersebut diubah corak distribusinya. Seperti pemerintah menaikkah pajak terhadap
orang kaya dan kemudian menggunakan hasil pajak ini untuk menaikkan
pendapatan pekerja yang bergaji rendah maka corak permintaan terhadap berbagai
barang akan mengalami perubahan. Barang yang digunakan orang kaya akan
berkurang permintaannya, namun orang berpendapatan rendah yang mengalami
peningkatan pendapatan akan bertambah permintaannya (Sukirno 2008).
Sebagian besar komoditi rokok merupakan barang normal di mana kenaikan
pendapatan akan meningkatkan demand untuk komoditi tersebut. Pada masyarakat
miskin, kenaikan pendapatan akan meningkatkan konsumsi rokok sebesar 6%
sementara untuk orang kaya hanya 2.1% (Ahsan 2006).
Hubungan Umur terhadap Permintaan
Semakin bertambahnya umur hingga mencapai umur tertentu dimana
perokok aktif mulai mengeluh sakit akibat paparan asap rokok dan mulai
menyadari akan arti penting kesehatan, maka mereka cenderung akan berusaha
untuk mengurangi konsumsi rokok (Woyanti 2011). Oleh karena itu, umur
berhubungan negatif dan signifikan terhadap konsumsi rokok.
Hubungan Faktor Pendidikan terhadap Permintaan
Penelitian di Amerika Serikat menjelaskan adanya hubungan yang erat
antara kebiasaan merokok dan latar pendidikan sang perokok. Centers for Disease
Control and Prevention (CDC) dalam laporannya yang berjudul Morbidity and
Mortality Weekly Report, 2008 menyatakan perokok dengan pendidikan diploma
menduduki peringkat tertinggi yaitu sebesar 44%. Sementara itu, perokok yang
pernah mengenyam pendidikan 9-11 tahun mempunyai tingkat prevalensi 33.3%,
dan perokok yang berlatar pendidikan perguruan tinggi hanya 11.4%. Prevalensi
perokok berpendidikan sarjana jauh lebih rendah lagi, yaitu hanya 6.2%.
11
Regresi Poisson
Cameron dan Trivedi (1998) menyatakan bahwa model regresi Poisson
digunakan sebagai pendekatan untuk analisis data cacah dan tergantung pada
asumsi munculnya data cacah tersebut. Ada dua keadaan formulasi yang sering
terjadi pada asumsi munculnya data cacah. Formulasi pertama, yaitu data cacah
berasal dari pengamatan langsung dari sebuah proses titik. Formulasi kedua, yaitu
data cacah berasal dari diskretisasi atau ordinalisasi pada data laten kontinu.
Formulasi lainnya, yaitu data cacah berasal dari kejadian yang jarang terjadi atau
pendekatan sebaran binomial terhadap Poisson. Regresi Poisson termasuk dalam
regresi nonlinier yang variabel. Model regresi Poisson berasal dari distribusi
Poisson dengan parameter intensitas µ yang bergantung pada variabel prediktor.
Karakteristik dari sebaran Poisson yaitu nilai rataan dan ragam pada
peubah Y bernilai sama. Namun, kondisi yang sering terjadi adalah nilai ragam
lebih besar dari rataan atau overdispersi. Hardin dan Hilbe (2007) menyatakan
bahwa overdispersi terjadi karena adanya sumber keragaman yang tidak teramati
pada data atau adanya pengaruh peubah lain yang mengakibatkan peluang suatu
kejadian bergantung pada kejadian sebelumnya. Selain itu, overdispersi dapat juga
terjadi karena adanya pencilan pada data dan kesalahan spesifikasi fungsi
penghubung. Penyebab lain dari overdispersi yang sering terjadi dalam regresi
Poisson adalah peluang nilai nol yang berlebih pada peubah respon.
Penelitian Terdahulu
Penelitian Fikriyah dan Febrijanto (2012) bertujuan untuk memperoleh
informasi tentang Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Merokok Pada
Mahasiswa Laki-laki Di Asrama Putra STIKES RS Baptis Kediri. Desain yang
digunakan adalah deskriptif analitik, dimana rancangan penelitian ini bertujuan
untuk mendiskripsikan (memaparkan) peristiwa-peristiwa yang urgen terjadi
dimasa kini disajikan apa adanya. Sampel diambil dari mahasiswa STIKES RS
Baptis Kediri yang tinggal di asrama putra yang memenuhi kriteria sebanyak 33
orang. Hasil penelitian Fikriyah dan Febrijanto menunjukkan faktor psikologi
berpengaruh terhadap perilaku merokok pada mahasiswa laki-laki yang tinggal di
asrama putra Stikes RS Baptis Kediri yaitu sebesar 11 responden (33.3%).
Namun, faktor biologi dan faktor lingkungan tidak signifikan memengaruhi
perilaku merokok pada mahasiswa laki-laki di asrama putra. Faktor biologi
memiliki taraf nyata sebesar p=0.453 sehingga (α 0.05) dan faktor lingkungan
memiliki taraf nyata sebesar p=0.760 sehingga (α 0.05).
Penelitian Anggraeni (2013) yang berjudul Faktor-faktor yang memengaruhi
Permintaan Rokok Kretek di Kota Pare-pare bertujuan untuk mengetahui dan
menganalisis besarnya pengaruh pendapatan, harga rokok kretek, harga rokok
subtitusi, lama merokok, dampak iklan, dan lingkup sosial berpengaruh terhadap
permintaan rokok kretek di kota Parepare. Penelitian ini menggunakan data
primer. Data diambil berdasarkan kuesioner yang diberikan kepada responden.
Data primer tersebut meliputi identitas responden, tingkat pendapatan konsumen,
umur konsumen, jumlah rokok yang dikonsumsi ,dan total biaya yang dikeluarkan
untuk konsumsi rokok dalam sehari. Metode analisis yang digunakan adalah
12
regresi OLS atau Ordinary Least Square. Hasil dari penelitian Anggraeni (2013)
menunjukan faktor-faktor yang memengaruhi permintaan rokok kretek di Kota
Pare-pare yaitu pendapatan, harga rokok substitusi, lama merokok, dan lingkup
sosial. Sedangkan variabel harga tidak signifikan. Rokok kretek merupakan rokok
yang cenderung lebih diminati di Pare-pare dibandingkan dengan rokok putih. Hal
ini bisa saja dipengaruhi oleh adanya cita rasa yang khas dan kuatnya selera orang
Parepare terhadap rokok kretek.
Penelitian Woyanti (2011) yang berjudul Pengaruh Kenaikan Tarif Cukai
dan Fatwa Haram Merokok terhadap Perilaku Konsumen Rokok di Kota
Semarang bertujuan untuk menganalisis: (1) pengaruh faktor harga, pendidikan,
umur, penghasilan, regulasi cukai rokok dan fatwa haram merokok terhadap
perilaku konsumen rokok di Kota Semarang. (2) faktor yang paling dominan yang
mempengaruhi perilaku konsumen rokok setelah adanya regulasi pemerintah
tentang tarif cukai rokok dan perubahan fatwa haram merokok di Kota Semarang.
Wilayah penelitian yang diambil adalah Kecamatan Semarang Selatan yang
mewakili daerah tengah kota, dan Kecamatan Mijen yang mewakili daerah
pinggiran kota. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder. Populasi penelitian ini adalah konsumen rokok laki-laki di Kota
Semarang dengan usia minimal 15 tahun. Penelitian Woyanti (2011) menunjukan
bahwa koefisien fatwa tidak signifikan memengaruhi perilaku konsumen rokok
maka ini menjadi indikasi bahwa hingga saat ini sebagian besar perokok aktif di
Kota Semarang tidak terpengaruh atas munculnya wacana fatwa haram merokok.
Variabel pendapatan berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku
konsumen rokok. Besaran pengaruh variabel pendapatan terhadap konsumsi rokok
adalah 0.000237 artinya setiap kenaikan pendapatan riil Rp100 000 per bulan,
ceteris paribus, akan menambah konsumsi rokok sebesar 23 batang per bulannya.
Variabel harga berpengaruh negatif dan signifikan terhadap perilaku konsumen
rokok. Semakin mahal harga rokok maka semakin sedikit jumlah rokok yang
dikonsumsi atau yang diminta. Variabel umur berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap perilaku konsumen rokok. Semakin bertambahnya umur hingga
mencapai umur tertentu perokok akif cenderung akan berusaha unfuk mengurangi
konsumsi rokok. Variabel pendidikan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
perilaku konsumen rokok.
Penelitian Tjahjaprijadi dan Indarto (2003) tentang Analisis Pola Konsumsi
Rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM), Sigaret Kretek Tangan (SKT), dan Sigaret
Putih Mesin (SPM) yang bertujuan (1) mengetahui pengaruh harga rokok dan
harga rokok substitusi terhadap konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM dan (2)
mengetahui pengaruh pendapatan konsumen rokok terhadap konsumsi rokok
SKM, SKT, dan SPM. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh
dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2002 (SUSENAS 2002), yang
meliputi: (1) jumlah konsumsi rokok kretek filter, rokok kretek tanpa filter, dan
rokok putih; (2) harga rokok kretek filter, rokok kretek tanpa filter, dan rokok
putih yang merupakan hasil pembagian antara nilai konsumsi dibagi dengan
banyaknya konsumsi; serta (3) total pendapatan dan penerimaan rumah tangga.
Hasil penelitiannya menunjukkan konsumsi rokok SKM dipengaruhi oleh harga
rokok SKM secara negatif, yaitu kenaikan harga SKM akan direspon dengan
penurunan konsumsi rokok SKM. Faktor selera sangat dominan bagi perokok
dalam mengonsumsi suatu jenis rokok maupun berganti jenis rokok. Adanya
13
faktor selera menyebabkan perokok SKM tidak mudah melakukan substitusi
kepada jenis rokok yang lain Selain masalah selera terhadap satu jenis rokok serta
faktor addiction terhadap rokok dapat menyebabkan konsumsi rokok SKM tidak
dipengaruhi oleh pendapatan dari konsumennya. Untuk konsumsi rokok SKT,
harga SKT memiliki hubungan negatif yang signifikan. Selera sangat menentukan
dalam mengonsumsi suatu jenis rokok atau melakukan substitusi kepada jenis
rokok yang lain. Harga SPM memiliki hubungan yang signifikan dengan
konsumsi rokok SKT. Kenaikan harga SPM sebesar 1% akan meningkatkan
konsumsi rokok SKT sebesar 0.093%, sehingga antara rokok SKT dan rokok
SPM memiliki hubungan yang saling menggantikan. Konsumsi rokok SKT tidak
dipengaruhi oleh pendapatan. Pendapatan perokok tidak menentukan banyaknya
rokok SKT yang dikonsumsi, dan faktor addiction terhadap rokok SKT juga tidak
dipengaruhi oleh pendapatan perokoknya. Konsumsi rokok SPM memiliki
hubungan negatif yang signifikan dengan harga SPM. Kenaikan harga SPM akan
diikuti oleh turunnya konsumsi rokok SPM. Kenaikan harga SKM akan
mengurangi konsumsi rokok SPM. Sebagai produk substitusi, kenaikan harga
SKT akan menyebabkan konsumsi rokok SPM meningkat, dimana kenaikan harga
SKT sebesar 1% akan menaikan konsumsi rokok SPM sebesar 0.385%. Kenaikan
pendapatan akan menyebabkan naiknya konsumsi rokok SPM, dimana kenaikan
pendapatan sebesar 1% akan mengurangi konsumsi rokok SPM sebesar 0.059
batang.
Penelitian mengenai konsumsi rokok dengan menggunakan metode regresi
poisson sepengetahuan peneliti sepengetahuan peneliti belum banyak ditemukan.
Penelitian Yulianingsih, Sukarsa dan Suciptawati (2012) menggunakan regresi
poisson untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi jumlah siswa
SMA/SMK yang tidak lulus UN di Bali. Dari keempat faktor yang merupakan
variabel bebas pada penelitian ini yaitu proporsi SMA/SMK negeri, proporsi
ruang kelas SMA/SMK rusak, proporsi guru SMA/SMK sertifikasi, dan jumlah
peserta UN SMA/SMK semuanya secara signifikan berpengaruh terhadap jumlah
siswa SMA/SMK yang tidak lulus UN di Bali tahun 2011. Dari keempat variabel
tersebut yang paling berpengaruh adalah proporsi guru SMA/SMK sertifikasi
dengan penurunan jumlah siswa yang tidak lulus sebesar 64,40% sejalan dengan
peningkatan proporsi guru sertifikasi sebesar 1%. Model regresi Poisson yang
diperoleh adalah sebagai berikut: β = exp (12.5737 – 0.166612 X + 0.11908 X 1.03146 X - 0.00049 X ) dengan X yaitu proporsi SMA/SMK negeri, X yaitu
proporsi ruang kelas SMA/SMK yang rusak, X yaitu proporsi guru SMA/SMK
tersertifikasi, dan X yaitu jumlah peserta UN SMA/SMK.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini
lebih menjelaskan secara detail tentang kasus di Kecamatan Bogor Barat yang
karakteristiknya berbeda dengan penelitian lain serta menggunakan variabel harga
barang substitusi dan komplementer sebagai salah satu variabel pada penelitian
yang berjudul Faktor-faktor yang Memengaruhi Konsumsi Rokok Kretek : Studi
Kasus di Kecamatan Bogor Barat.
14
Kerangka Pemikiran Konseptual
Indonesia memiliki 33 provinsi yang tersebar di seluruh Indonesia dan Jawa
Barat merupakan provinsi tertinggi ke-3 dalam prevalensi kebiasaan merokok
umur 10 tahun keatas. Di antara kabupaten dan kota di Jawa Barat, masyarakat
Kota Bogor merupakan konsumen rokok terbanyak se-Provinsi Jawa Barat dalam
prevelensi kebiasaan merokok umur 10 tahun keatas dan Kecamatan Bogor Barat
memiliki jumlah penduduk terbanyak se-Kota Bogor. Oleh karena itu relavan
dilakukan analisis faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di
Kecamatan Bogor Barat.
Berdasarkan tinjauan teori dan penelitian terdahulu faktor yang
diindikasikan memengaruhi konsumsi rokok adalah harga rokok kretek, harga
rokok substitusi, harga barang komplementer, pendapatan, umur, dan lama
pendidikan. Selanjutnya secara detail disajikan dalam Gambar 1.
Indonesia menduduki peringkat ke-3 dengan jumlah
perokok terbesar di dunia.
Jawa Barat merupakan provinsi tertinggi ke-2 dalam
prevalensi kebiasaan merokok umur 10 tahun keatas.
Masyarakat Kota Bogor merupakan penghisap batang
rokok terbanyak di provinsi Jawa Barat dalam
prevalensi kebiasaan merokok umur 10 tahun keatas.
Faktor-faktor yang memengaruhi konsumsi rokok
kretek : Studi Kasus di Kecamatan Bogor Barat.
1.
2.
3.
4.
Faktor Ekonomi :
Pendapatan
Harga rokok
Harga rokok Substitusi
Harga Barang
Komplementer
Faktor Non Ekonomi :
1. Umur
2. Lama Pendidikan
Implikasi kebijakan
Gambar 1 Alur pikir penelitian
15
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu
Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Kota Bogor, Kecamatan Bogor
Barat. Adapun pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling
(sengaja) dengan pertimbangan bahwa Kota Bogor termasuk kedalam jumlah
populasi perokok tertinggi pada prevalensi merokok usia 10 tahun ke atas seProvinsi Jawa Barat. Di antara kecamatan di Kota Bogor, kecamatan Bogor Barat
merupakan jumlah penduduk terbanyak dan tertinggi pada usia 10 tahun keatas
yang rentan mengonsumsi rokok. Oleh karena itu, penelitian dilakukan di
Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Adapun waktu yang dilaksanakan dalam
penelitian menggunakan kuesioner ini yaitu pada tanggal 12 Mei-15 Juli 2014.
Jenis dan Cara Pengambilan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh dari hasil pengamatan langsung di
lapangan dan wawancara langsung dengan responden yang dipilih secara acak
dengan memberikan kuesioner kepada responden. Kuesioner berisi pertanyaan
tertutup dan terbuka yang diberikan kepada 400 responden. Pertanyaan tertutup
merupakan pertanyaan yang alternatif jawabannya telah disediakan, sehingga
responden hanya memilih salah satu alternatif jawaban yang paling sesuai.
Sedangkan pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memberikan kebebasan
bagi responden untuk menjawab. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat
Statistik (BPS), Dinas Kesehatan, dan Bea dan Cukai.
Teknik Pengambilan Sampel
Dalam penelitian ini, populasinya adalah penduduk usia 10 tahun keatas di
Kota Bogor sebesar 822 664 orang. Contoh dalam penelitian ini adalah penduduk
usia 10 tahun keatas yang sudah berpendapatan dan bertempat tinggal di
Kecamatan Bogor Barat, yang tersebar di lima Kelurahan yaitu Kelurahan Pasir
Jaya dengan jumlah penduduk sebesar 17 406 orang, Gunung Batu dengan jumlah
penduduk sebesar 15 344 orang, Cilendek Timur sebesar 14 559, Sindang Barang
sebesar 14 371 dan Kelurahan Cilendek Barat dengan jumlah penduduk sebesar
14 349. Metode pemilihan contoh yang digunakan adalah convenience sampling
yang dilakukan dengan cara memilih contoh yang ditemui lalu diperoleh
responden yang bersedia untuk diwawancarai secara tatap muka.
Penentuan jumlah sampel yang diambil menggunakan rumus slovin sebagai
berikut:
16
Tabel 5 Jumlah dan Penyebaran Sampel pada Setiap Kelurahan
Jumlah
Kelurahan
Presentase x Total Sampel
Penduduk
17406/76029 = 0.229
Pasir Jaya
22.9% x 400 = 91.6 (92)
15344/76029 = 0.20
Gunung Batu
20% x 400 = 80
(80)
14371/76029
=
0.189
Sindang Barang
18.9% x 400 = 75.6 (76)
14559/76029 = 0.191
Cilendek Timur
19.1% x 400 = 76.4 (76)
14349/76029 = 0.189
Cilendek Barat
18.9% x 400 = 75.6 (76)
76029
Total
400
Pengolahan dan Analisis Data
Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah metode
analisis tabulasi silang dan regresi poisson. Analisis tabulasi silang digunakan
untuk menyajikan karakteristik responden dan regresi poisson digunakan untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang memengaruhi konsumsi rokok kretek di
Kecamatan Bogor Barat.
Spesifikasi Model Penelitian
Spesifikasi model yang dipilih oleh peneliti yaitu spesifikasi model terbaik
yang diolah menggunakan software SPSS 20. Model sebelumnya telah mencoba
memasukkan variabel lama merokok, efek iklan, fatwa haram, dan cukai rokok.
Namun model akhir dari persamaan permintaan rokok di Kecamatan Bogor Barat
sebagai berikut:
Y=a+
+
+
+
+
+
+ ɛt
Keterangan:
Y
= Jumlah konsumsi rokok (batang)
a
= intersep
= Umur (tahun)
= Lama pendidikan (tahun)
= Pendapatan (rupiah)
= Harga rokok kretek (rupiah)
= Harga rokok substitusi (rupiah)
= Harga barang komplementer (rupiah)
εt
= Error term
Kriteria Ekonomi
Kriteria ekonomi adalah cara penentuan parameter model regresi
berdasarkan teori ekonomi. Teori ekonomi yang digunakan untuk menjelaskan
hasil analisis yaitu teori permintaan.
17
Kriteria Statistik
Pengujian hipotesis menggunakan program SPSS 20 baik uji disperse
maupun uji wald yaitu dengan melihat tingkat signifikansi yaitu probabilitas
kesalahan menolah hipotesis yang ternyata benar. Jika dikatakan taraf nyata 5%
berarti resiko kesalahan mengambil keputusan adalah 5%. Program SPSS 20
selalu menggunakan taraf nyata 5% pada selang kepercayaan 95%.
Untuk dapat memperoleh hasil regresi terbaik maka harus memenuhi
kriteria statistic sebagai berikut:
Regresi Poisson
Model regresi Poisson merupakan model regresi nonlinier yang berasal dari
sebaran Poisson. Misalkan nilai yi dengan i=1,2,.., n, melambangkan jumlah
kejadian yang terjadi dalam satu periode dengan nilai parameter dari sebaran
Poisson λ. Penelitian ini menganggap bahwa setiap amatan memiliki parameter
dari sebaran Poisson yang sama di regresi Poisson. Peubah y merupakan peubah
acak yang menyebar Poisson dengan fungsi massa peluang sebagai berikut:
dengan asumsi pada regresi Poisson yaitu:
Metode untuk menduga koefisien parameter regresi Poisson yaitu metode
kemungkinan maksimum. Fungsi log kemungkinan yang dinotasikan dengan
pada persamaan 2.1 digunakan untuk mempermudah perhitungan dalam
menduga koefisien parameter regresi Poisson. Memaksimumkan fungsi log
kemungkinan akan memberikan hasil yang sama dengan memaksimumkan fungsi
kemungkinannya.
∑
(2.1)
Model pada persamaan 2.2 merupakan model regresi Poisson dengan fungsi
penghubung untuk sebaran Poisson adalah log. ̂ adalah penduga respon dari
model regresi Poisson dengan ukuran n x 1, adalah koefisien penduga parameter
regresi Poisson dengan ukuran vektor (j + 1) x 1, dan X adalah peubah penjelas
dengan ukuran matriks n x (j + 1), dengan j adalah banyaknya parameter yang
diduga.
(̂)
̂
(2.2)
18
Uji Dispersi
Apabila regresi Poisson digunakan untuk kondisi overdispersi, maka
terjadi keragaman data yang terdapat pada peubah respon (Y). Keragaman data
ditunjukan dengan adanya rasio dispersi (τ), yaitu:
Dispersi adalah ukuran penyebaran suatu kelompok data terhadap nilai
tengah data. Nilai dispersi kecil menunjukkan ragam yang homogen pada data,
sedangkan nilai dispersi besar menunjukkan keheterogenan pada data.
Overdispersi diidentifikasi dengan rasio τ bernilai lebih dari satu dan bersifat
konstan (Hardin dan Hilbe 2007).
Uji Wald
Uji parameter secara parsial dilakukan untuk mengetahui apakah masingmasing variabel bebas berpengaruh terhadap variabel respons apabila di dalam
model terdapat variabel lain. Hipotesis untuk uji parsial adalah:
H : βj = 0 ; j = 1, 2, …, k (pengaruh variabel ke- j tidaksignifikan)
H : βj 0 ; j = 1, 2, …, k (pengaruh variabel ke- j signifikan)
H₀ ditolak apabila P-value < taraf nyata 5% sehingga hasil uji Wald menunjukkan
bahwa variabel tersebut berpengaruh signifikan.
GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR
Letak Geografis dan Administratif
Kota Bogor merupakan salah satu kota yang terletak di Propinsi Jawa
Barat yang memiliki luas wilayah sekitar 11 850 hektar. Secara administratif Kota
Bogor melingkupi enam wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Timur,
Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Barat,
Kecamatan Bogor Selatan dan Kecamatan Tanah Sareal
Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS,
kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor
serta lokasinya sangat dekat dengan Ibu kota Negara, merupakan potensi yang
strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan
nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata.
Selain itu, karena lokasi Kota Bogor dekat ibukota Jakarta menyebabkan
masyarakat Kota Bogor terpengaruh untuk mengonsumsi rokok.
Luas wilayah Kota Bogor sebesar 11 850 Ha terdiri dari 6 kecamatan dan 68
kelurahan. Kemudian secara administratif Kota Bogor dikelilingi oleh Wilaya