Studi konsumsi pangan hewani dan waktu pubertas pada siswi sekolah dasar di Bogor

(1)

STUDI KONSUMSI PANGAN HEWANI DAN WAKTU PUBERTAS

PADA SISWI SEKOLAH DASAR DI BOGOR

SUMI ARROFI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

ABSTRACT

SUMI ARROFI. Study of Animal Food Consumption and Time Puberty of Female Elementary School Students in Bogor. Under the guidance of ALI KHOMSAN.

Currently the consumption of animal food of Indonesia's population is still low, which only reached 6.6 kg/capita/year (Hanani 2009). Consumption of livestock products of Indonesians in 2008 (BPS 2010b) was 4.8 kg/capita/year for meat, 17.42 kg/capita/year for eggs, and 0.28 kg/capita/year for milk. This study aims to determine the frequency of consumption of animal food among female elementary school students in the City of Bogor and its association to menarche time of puberty.The design used was cross-sectional study. The total sample consisted of 38 female students who were menstruating and 38 female students who have not been menstruating.

Most of the samples (84.21%) experienced first menstruation at age 9-11 years.The most common animal food consumption of menstruating students was milk with an average of 9.8 ± 7.0 times/week. Chicken and milk were often consumed by students of this group with a percentage of 97.4%. Whereas the most common animal food consumption of non-menstruating students was also milk with an average frequency of consumption 13.3 ± 8.4 times/week. Eggs were most often consumed by students of this group with the percentage of 100%.

There was a significant association between the frequency of milk consumption with the amount of pocket money of students who are menstruating (p=0.037). Demonstrated a significant association between knowledge of nutrition with a frequency of egg consumption (p=0.010) in students who have periods while students who have not menstruation showed no association between these variables. There was an apparent association between the FFQ sausage meat with the age at first menstruation (p=0.022). There was no significant association between age at first menstruation with nutritional status (height for age, p=0.788 and BMI for age, p=0.060) and consumption of nutrients (energy, p=0.993 and protein, p=0.889) and the rate of nutrient adequacy (energy, p=0.905 and protein, p=0.847). In the group of students who have menstrual periods there was no significant association between nutritional status with sufficient levels of nutrition (p>0.05).

Key words: consumption, animal food, adolescence, time of puberty, nutritional status


(3)

RINGKASAN

SUMI ARROFI

. Studi Konsumsi Pangan Hewani dan Waktu Pubertas pada Siswi Sekolah Dasar di Bogor. Di bawah bimbingan ALI KHOMSAN.

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi konsumsi pangan hewani siswi Sekolah Dasar di kota Bogor dan hubungannya terhadap waktu datangnya masa pubertas. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1) mengidentifikasi karakteristik siswi Sekolah Dasar dan karakteristik sosio demografi keluarga, 2) menganalisis frekuensi konsumsi pangan hewani siswi Sekolah Dasar, 3) menganalisis hubungan frekuensi konsumsi pangan hewani dengan karakteristik keluarga, pengetahuan gizi, dan kecepatan pubertas pada siswi Sekolah Dasar, 4) menganalisis hubungan status gizi dan tingkat kecukupan gizi dengan waktu pubertas pada siswi Sekolah Dasar, 5) menganalisis hubungan status gizi dengan tingkat kecukupan gizi pangan hewani pada siswi Sekolah Dasar.

Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai Mei 2011 dengan menggunakan desain cross sectional study. Tempat pengambilan data, yaitu SD Ummul Quro’, SDN Polisi 4, SDN Pengadilan 5, dan SD Bina Insan. Pemilihan sekolah dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan kedekatan lokasi sekolah dan karakteristik sosial ekonomi contoh yang baik. Kriteria inklusi meliputi 1) telah mengalami menstruasi pada screening awal (bagi contoh yang telah menstruasi), 2) bersedia diwawancara, 3) bersedia memberikan keterangan yang lengkap, jelas, dan benar, serta 4) tidak dalam keadaan recovery saat pengambilan data. Contoh yang telah mengalami menstruasi merupakan populasi yang berasal dari keempat lokasi penelitian. Jumlah contoh yang belum mengalami menstruasi dilakukan teknik penarikan contoh Simple Random Sampling dengan jumlah contoh sama dengan contoh yang telah mengalami menstruasi sehingga diperoleh 38 contoh yang telah menstruasi dan 38 contoh yang belum menstruasi. Contoh keseluruhan pada penelitian ini berjumlah 76 contoh. Pengolahan data tersebut menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan SPSS for Windows versi 16.0. Uji yang digunakan yaitu uji korelasi Pearson, uji korelasi Spearman, uji Independent T-test, dan uji Mann-Whitney.

Sebagian besar umur siswi berada pada usia 11 tahun dengan persentase masing-masing sebesar 60.5% untuk siswi yang sudah menstruasi dan 52.6% untuk siswi yang belum menstruasi. Uang saku siswi sebagian besar berada pada kisaran Rp 6000-Rp 10000 dengan persentase 52.6% pada siswi yang sudah menstruasi dan 44.7% pada siswi yang belum menstruasi. Menurut TB/U, sebagian besar siswi berstatus gizi normal, yaitu 97.4% untuk siswi yang sudah menstruasi dan 92.1% untuk siswi yang belum menstruasi. Sebesar 76.3% siswi yang sudah menstruasi berstatus gizi normal menurut IMT/U dan sebesar 23.7% berstatus gizi risiko overweight. Sebaran status gizi (IMT/U) pada siswi yang belum menstruasi diperoleh sebanyak 71.0% yang berstatus gizi normal sedangkan untuk status gizi risiko overweight sebanyak 18.4% dan overweight sebanyak 5.3%. Terdapat siswi yang memiliki status gizi underweight pada kelompok ini, yaitu sebanyak 5.3%. Pengetahuan gizi sebagian besar siswi berkategori sedang yang ditunjukkan dengan persentase 63.2% untuk siswi yang sudah menstruasi dan 55.3% untuk siswi yang belum menstruasi. Secara berturut-turut persentase pendidikan terakhir ayah (Sarjana), yaitu 63.2% dan 55.3%, sedangkan untuk pendidikan terakhir ibu (Sarjana) berturut-turut yaitu 39.5% dan 47.4%. Sebagian besar pekerjaan ayah pada kedua kelompok siswi Sekolah Dasar adalah pegawai swasta dengan persentase 47.4% dan 31.6%.


(4)

Pekerjaan ibu siswi sebagai ibu rumah tangga memiliki persentase tertinggi pada kedua kelompok, yaitu 60.5% dan 57.9%. Sebanyak 11-15 unit (28.9%) kendaraan pribadi dan alat elektronik dimiliki oleh siswi yang belum menstruasi sedangkan sebanyak 21-25 unit (28.9%) kendaraan pribadi dan alat elektronik dimiliki oleh siswi yang sudah menstruasi.

Jenis pangan yang paling disukai oleh kedua kelompok siswi Sekolah Dasar adalah susu dengan persentase 68.4% dan 50.0%. Ikan dan telur menjadi jenis pangan yang tidak disukai dengan persentase masing-masing sebesar 36.8%. Umur siswi saat pertama kali menstruasi sebagian besar berada pada umur 9-11 tahun (84.21%). Jenis pangan hewani yang memiliki frekuensi konsumsi pangan hewani tertinggi pada siswi yang sudah menstruasi, yaitu ayam, sosis daging, telur, chicken nugget (kaki naga), dan susu. Frekuensi pangan hewani yang paling sering dikonsumsi adalah susu dengan rata-rata frekuensi konsumsi 9.8 ± 7.0 kali/minggu. Ayam dan susu menjadi pilihan pangan yang paling sering dikonsumsi oleh siswi dengan persentase sebesar 97.4%.

Jenis pangan hewani yang memiliki frekuensi konsumsi pangan hewani tertinggi pada siswi yang belum menstruasi, yaitu sosis daging, telur, susu, es krim, dan yoghurt. Frekuensi pangan hewani yang paling sering dikonsumsi adalah susu dengan rata-rata frekuensi konsumsi 13.3 ± 8.4 kali/minggu. Telur menjadi bahan pangan yang paling sering dikonsumsi oleh siswi dengan persentase 100%.

Uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara variabel-variabel pada kedua kelompok siswi. Terdapat perbedaan umur siswi yang tidak signifikan (p= 0.666). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada uang saku siswi yang sudah menstruasi dengan siswi yang belum menstruasi (p= 0.097). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pengetahuan gizi siswi yang sudah menstruasi dengan siswi yang belum menstruasi (p= 0.33). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara karakteristik keluarga dan tingkat kecukupan gizi kedua kelompok siswi Sekolah Dasar (p > 0.05).

Terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi konsumsi susu dengan besarnya uang saku (p= 0.037) dan pengetahuan gizi dengan frekuensi konsumsi telur (p= 0.010) pada siswi yang sudah menstruasi. Hasil uji korelasi Pearson dan Spearman terhadap FFQ dan seluruh variabel karakteristik keluarga siswi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan pada kedua kelompok siswi (p > 0.05). Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman terhadap FFQ sosis daging dan umur saat pertama menstruasi menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (p= 0.022). Hasil uji korelasi Pearson pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur saat pertama kali menstruasi dengan status gizi (TB/U, p= 0.788 dan IMT/U, p= 0.060) serta konsumsi zat gizi (energi, p= 0.993 dan protein, p= 0.889)dan TKG (energi, p= 0.905 dan protein, p= 0.847). Pada kelompok siswi yang sudah menstruasi dan yang belum menstruasi tidak terdapat hubungan yang nyata antara status gizi (TB/U dan IMT/U) dengan tingkat kecukupan gizi. Nilai signifikansi yang diperoleh yaitu p > 0.05 untuk semua hubungan variabel.


(5)

STUDI KONSUMSI PANGAN HEWANI DAN WAKTU PUBERTAS

PADA SISWI SEKOLAH DASAR DI BOGOR

SUMI ARROFI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(6)

Judul : Studi Konsumsi Pangan Hewani dan Waktu Pubertas pada Siswi Sekolah Dasar di Bogor

Nama : Sumi Arrofi

NRP : I14070030

Disetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS NIP. 19600202 198403 1 001

Diketahui,

Ketua Departemen Gizi Masyarakat Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP. 19621218 198703 1001


(7)

PRAKATA

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan cinta-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Studi Konsumsi Pangan Hewani dan Waktu Pubertas pada Remaja Puteri Sekolah Dasar di Bogor” dapat diselesaikan dengan baik. Selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya, memberikan arahan, kritik, dan saran, serta dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi.

2. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS selaku dosen pemandu seminar skripsi atas segala masukan yang telah diberikan.

3. Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS selaku dosen penguji skripsi atas segala koreksian dan saran untuk perbaikan skripsi.

4. Ibu Yossy dan Ibu Fitri NP, selaku pihak Japfa atas segala kelapangan hati dan telah membantu penulis dalam penyediaan dana serta produk untuk penelitian.

5. Bapak dan Ibu tercinta, Adik-adikku: Rohman dan Ghafuur tersayang, serta Paklik Kandar atas kasih sayang, dukungan, dan doa yang tak pernah berhenti diberikan kepada penulis dalam setiap perjalanan kehidupan.

6. Teman-teman yang telah banyak membantu dalam penelitian: Aulia Masruroh, Resta Tatiyana, Dara Kristianti N, Ossiriadewi MP, Ezria E. Adyas, Lalitya Citta N, Ayuningtyas Nur HP, Nurlaely Fitriana, Rindu Dwi M, Muthmainah, Frida Agustiani, Merita, Mbak Dwi Catur, Mbak Nurul Diasmarani, dan teman seperjuangan sejak SMA: Muhammad Irfan, S. Stk (Statistika 44) atas setiap waktu dan kesabaran yang telah diberikan dalam membantu pengambilan data, pengolahan dan penyusunan skripsi, serta Prof. Clara M. Kushartanto yang telah meminjamkan microtoise dan Nesyi Febi O. yang telah meminjamkan kamera digital untuk mengabadikan momen selama pengambilan data.

7. Kepala Sekolah dan Staf Tata Usaha serta Informasi SDIT Ummul Quro’, SD Bina Insani Bogor, SDN Polisi 4 Bogor, dan SDN Pengadilan 5 Bogor atas keramahan dan kesediaan dalam membantu pengambilan data.


(8)

8. Teman-teman pembahas: Nonly Stevani P, Ossiriadewi M. Putri, Ria Septiarini, dan Linda Dwi Jayanti, terima kasih atas pertanyaannya sebagai bahan perbaikan skripsi penulis.

9. Keluargaku SOKA 15 atas setiap kehangatan, kenangan, keceriaan, serta dukungan di setiap waktu.

10. Keluargaku Gizi Masyarakat 44, 43, 42, dan 45, Adik-adikku TEKNOS Ahmad Yani, serta teman-teman di IPB yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas setiap semangat, kehangatan, keceriaan, dan kenangan yang diberikan.

11. Seluruh pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Semoga Allah membalas segala kebaikan dengan pahala dan kebaikan yang lebih besar dan semoga skrispsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Juli 2011


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Maret 1989 di Jakarta. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Suyono dan Ibu Umi Kuraisyin.

Tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Jatiasih VI Bekasi dan melanjutkan ke jenjang menengah pertama di SMPN 9 Bekasi hingga tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan ke SMAN 3 Bekasi dan menamatkannya pada tahun 2007

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Angkatan 44 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2007. Selama masa kuliah penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan, antara lain sebagai Staf Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kewirausahaan BEM FEMA tahun 2008, Staf Divisi Keprofesian Himpunan Mahasiswa Gizi (HIMAGIZI) tahun 2008, Staf Forum Syiar Islam FEMA (Forsia) tahun 2008, dan Ketua Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kewirausahaan BEM FEMA tahun 2009. Penulis juga ikut aktif dalam berbagai kepanitiaan seperti, BONJOUR (Be a Good Journalistic) tahun 2008, MPF (Masa Perkenalan Fakultas) FEMA “HERO 45” dan MPD (Masa Perkenalan Departemen) Gizi “Nutrient 45” tahun 2008, Nutrition Fair tahun 2009, dan INDEX (Indonesian Ecology Expo) tahun 2010. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan “Go Field” IPB ke Desa Jampang Kulon, Kecamatan Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi tahun 2009.

Kompetisi yang pernah diikuti oleh penulis antara lain Program Kreatifitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat yang berhasil didanai oleh DIKTI pada tahun 2009, kompetisi karya tulis ilmiah berkelompok IPB Social Fair yang berhasil didanai pada tahun 2010, Program Kreatifitas Mahasiswa Gagasan Tertulis yang diselenggarakan oleh DIKTI pada tahun 2011.

Pada bulan Juli-Agustus 2010 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di Desa Cilember, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor dan pada April 2011 penulis mengikuti Internship Dietetik (ID) di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ...vii

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI...x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ...xvi

PENDAHULUAN ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Tujuan Umum ... 3

Tujuan Khusus ... 3

Kegunaan Penelitian ... 4

Hipotesis Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA... 5

Pangan Hewani sebagai Sumber Protein ... 5

Daging sebagai Sumber Protein ... 5

Daging Ternak ... 6

Daging Unggas ... 7

Olahan Produk Daging ... 7

Telur ... 9

Olahan Telur ... 10

Ikan ... 12

Susu ... 14

Olahan Produk Susu ... 16

Konsumsi Pangan Hewani pada Tingkat Nasional dan Provinsi ... 18

Pola Konsumsi Pangan Hewani Penduduk Indonesia ... 19

Remaja ... 20

Jajanan sebagai Sumber Pangan Hewani ... 25

Karakteristik Siswi ... 25

Uang Saku ... 25

Preferensi Pangan ... 25

Status Gizi Siswi ... 26


(11)

Karakteristik Keluarga ... 27

Besar Keluarga ... 27

Pendidikan Orang Tua ... 27

Penghasilan Orang Tua ... 28

Masa Pubertas Remaja dan Konsumsi Pangan Hewani ... 29

KERANGKA PEMIKIRAN ... 32

METODE ... 35

Desain, Waktu, dan Tempat Penelitian ... 35

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh ... 35

Jenis dan Cara Pengambilan Data ... 36

Pengolahan dan Analisis Data ... 38

Definisi Operasional ... 39

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 42

Gambaran Umum Sekolah ... 42

SD Negeri Polisi 4 Bogor ... 42

SD Negeri Pengadilan 5 Bogor ... 43

SD Bina Insani Bogor ... 44

SD Islam Terpadu Ummul Quro’ Bogor ... 45

Karakteristik Siswi ... 47

Umur Siswi... 47

Uang Saku Siswi ... 47

Status Gizi Siswi ... 48

Pengetahuan Gizi Siswi ... 49

Karakteristik Keluarga Siswi ... 51

Umur Orang Tua Siswi ... 51

Pendidikan Orang Tua Siswi ... 52

Pekerjaan Orang Tua Siswi ... 53

Kepemilikan Kendaraan Pribadi dan Alat Elektronik ... 54

Jumlah Anggota Keluarga ... 55

Kebiasaan Makan Siswi ... 56

Frekuensi Makan Siswi Sehari ... 56

Kebiasaan Sarapan ... 56

Konsumsi Pangan Hewani ... 57


(12)

Waktu Pubertas Siswi ... 62

Frekuensi Konsumsi Pangan Hewani ... 65

Tingkat Kecukupan Gizi Siswi ... 66

Kontribusi Zat Gizi Pangan Hewani ... 67

Hubungan Frekuensi Konsumsi Pangan Hewani Siswi dengan Berbagai Variabel ... 68

KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

Kesimpulan... 73

Saran... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Kandungan gizi untuk setiap 100 gram daging ternak ... 6

Tabel 2 Kandungan zat gizi untuk setiap 100 gram daging unggas... 7

Tabel 3 Kandungan zat gizi untuk setiap 100 gram berbagai macam telur... 9

Tabel 4 Kandungan zat gizi untuk setiap 100 gram berbagai macam ikan ... 13

Tabel 5 Komposisi zat gizi pada susu sapi ... 15

Tabel 6 Konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia tahun 2008 ... 18

Tabel 7 Indeks antropometri menurut TB/U dan IMT/U ... 26

Tabel 8 Peubah, alat, dan cara pengumpulan data serta skala pengukuran yang digunakan ... 37

Tabel 9 Pembagian waktu KBM SDN Polisi 4 Bogor ... 43

Tabel 10 Sebaran siswi menurut umur (tahun)... 47

Tabel 11 Sebaran siswi menurut besarnya uang saku ... 48

Tabel 12 Sebaran status gizi siswi menurut TB/U dan IMT/U... 49

Tabel 13 Sebaran siswi yang menjawab pertanyaan dengan benar... 50

Tabel 14 Sebaran siswi menurut pengetahuan gizi ... 51

Tabel 15 Sebaran siswi menurut umur orang tua ... 52

Tabel 16 Sebaran siswi menurut pendidikan orang tua ... 53

Tabel 17 Sebaran siswi menurut pekerjaan orang tua ... 53

Tabel 18 Sebaran siswi menurut kepemilikan kendaraan pribadi dan alat elektronik... 54

Tabel 19 Sebaran siswi menurut jumlah anggota keluarga ... 55

Tabel 20 Sebaran siswi menurut frekuensi makan sehari ... 56

Tabel 21 Sebaran siswi menurut kebiasaan sarapan ... 57

Tabel 22 Sebaran siswi menurut konsumsi lauk hewani pada setiap makan ... 57

Tabel 23 Sebaran siswi menurut pangan hewani yang paling disukai ... 57

Tabel 24 Sebaran siswi menurut pangan hewani yang paling tidak disukai ... 58

Tabel 25 Sebaran siswi menurut pangan hewani yang paling jarang/tidak dikonsumsi ... 59

Tabel 26 Sebaran siswi menurut alasan tidak/jarang mengonsumsi pangan hewani ... 59

Tabel 27 Sebaran siswi menurut anggota keluarga yang mengatur dan menyusun menu makan di rumah ... 59

Tabel 28 Sebaran siswi menurut preferensi terhadap cara pengolahan pangan hewani ... 61


(14)

Tabel 29 Sebaran siswi menurut waktu pubertas ... 64

Tabel 30 Frekuensi konsumsi pangan hewani siswi yang sudah menstruasi ... 65

Tabel 31 Frekuensi konsumsi pangan hewani siswi yang belum menstruasi ... 66

Tabel 32 Konsumsi zat gizi dan angka kecukupan zat gizi siswi ... 66

Tabel 33 Tingkat kecukupan gizi pada siswi ... 67

Tabel 34 Kontribusi zat gizi pangan hewani pada siswi ... 67

Tabel 35 Tingkat kecukupan zat gizi pangan hewani pada siswi ... 68

Tabel 36 Hubungan frekuensi konsumsi pangan hewani dengan berbagai variabel pada siswi ... 69

Tabel 37 Kandungan zat gizi pada susu dan sosis daging (100 gram) ... 70

Tabel 38 Hubungan pengetahuan gizi dengan frekuensi konsumsi telur pada siswi yang sudah menstruasi... 71

Tabel 39 Hubungan umur pertama menstruasi siswi pada siswi menstruasi yang sudah menstruasi dengan berbagai variabel ... 71

Tabel 40 Hubungan status gizi siswi dengan konsumsi dan zat gizi asal pangan hewani ... 72


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Skema kerangka pemikiran: hubungan konsumsi pangan hewani terhadap status gizi serta waktu pubertas pada remaja ... 34 Gambar 2 Kerangka sampling ... 36


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Kuesioner penelitian untuk siswi ... 82 Lampiran 2 Kuesioner penelitian untuk orang tua ... 90 Lampiran 3 Konsumsi ikan menurut provinsi di Indonesia tahun 2008 ... 93 Lampiran 4 Konsumsi hasil ternak (kg/kapita/tahun) produk peternakan tahun

2007-2008 ... 94 Lampiran 5 Rata-rata konsumsi protein hewani (g/kapita/hari) menurut provinsi

tahun 2009 ... 95 Lampiran 6 Dokumentasi ... 96


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tujuan dari pembangunan nasional adalah meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas. Pangan dan gizi merupakan unsur terpenting dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas akan mampu membawa sebuah bangsa bersaing dengan bangsa lainnya di tingkat internasional. Gizi dalam daur kehidupan mempunyai peranan yang strategis. Zat gizi dibutuhkan pada setiap tahapan di dalam daur kehidupan sesuai dengan tingkatan perkembangan dan pertumbuhan pada masing-masing tahapan. Ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa status gizi antar generasi saling terkait satu dengan yang lainnya. Asupan gizi yang kurang selama kehamilan akan mengakibatkan masalah gizi dan berlanjut (terutama bila janin perempuan) ke dalam kehidupan remaja dan dewasa (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2009).

Kasus gizi buruk di Indonesia semakin berkembang pasca krisis ekonomi tahun 1998, dan hingga kini kasus tersebut masih menjadi masalah yang tak kunjung tuntas. Kasus gizi buruk membawa dampak yang sangat besar bagi perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia, khususnya dalam pembangunan nasional bangsa tersebut. Salah satu indikator bagi pembangunan suatu bangsa, khususnya bangsa Indonesia adalah konsumsi pangan yang mengandung zat gizi. Hal ini disebabkan antara konsumsi gizi dengan status kesehatan manusia sangatlah erat hubungannya. Salah satu komponen gizi yang menjadi sangat penting adalah protein hewani. Protein ini berasal dari hasil produksi ternak dan ikan yang memiliki karakteristik asam-asam amino yang lengkap dan tidak dimiliki oleh protein dari sumber lainnya, seperti protein nabati (Tawaf 2009).

Pangan hewani merupakan pangan yang kaya sumber zat gizi, baik dalam bentuk zat gizi makro maupun zat gizi mikro. Kandungan zat gizi makro pada pangan hewani (daging, telur, susu, dan ikan) meliputi lemak dan protein. Sementara itu, kandungan zat gizi mikro pada pangan hewani meliputi berbagai unsur mineral dan vitamin seperti zat besi, seng, vitamin B kompleks, vitamin A, kalsium, dan fosfor. Pangan hewani dapat meningkatkan kebutuhan zat gizi yang adekuat pada diet (Murphy & Allen 2003). Keseluruhan kandungan zat gizi pada pangan hewani diperlukan oleh tubuh untuk melakukan proses metabolisme


(18)

dalam rangka mencapai keseimbangan (homeostasis) tubuh. Hasil penelitian Neumann et al. (2003) menunjukkan bahwa pangan hewani dapat meningkatkan kualitas asupan gizi, status mikronutrien, pertumbuhan dan fungsi kognitif pada anak usia sekolah di Kenya.

Kelompok usia yang memiliki potensi besar untuk menjadi sumber daya manusia yang berkualitas adalah remaja. Pertumbuhan dan perkembangan secara biologis, kognitif, dan psikososial mencapai pacu tumbuh yang pesat pada fase ini meskipun dalam waktu yang terbatas (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia 2009). Masa remaja merupakan masa seseorang mencapai tingkat hormonal yang dapat dikatakan tinggi. Pubertas pada remaja menjadi sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan sistem reproduksi. Asupan zat gizi yang cukup dapat membantu menjaga sistem tubuh agar berkembang secara optimal dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan hormonal remaja.

Jenis makanan fast food dan junk food telah menjadi pilihan bagi sebagian besar remaja saat ini. Kebiasaan konsumsi pangan remaja yang tidak baik dapat berdampak pada defisiensi zat gizi tertentu sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan remaja. Pemenuhan akan konsumsi pangan hewani bagi remaja diperlukan untuk mendukung perkembangan sistem hormonal, kognitif, dan reproduksi sehingga dapat menjadi modal investasi bagi perkembangan pada fase selanjutnya menuju kedewasaan yang optimal.

Hanani (2009) menyatakan bahwa saat ini konsumsi pangan hewani penduduk Indonesia baru mencapai 6,6 kg/kapita/tahun. Tingkat konsumsi ini lebih rendah dibanding Malaysia dan Filipina yang masing-masing mencapai 48 kg/kapita/tahun dan 18 kg/kapita/tahun. Hal ini erat kaitannya dengan tingkat pendapatan per kapita penduduk Indonesia. Badan Pusat Statistik Indonesia (2010a) mencatat bahwa rata-rata konsumsi protein pangan hewani asal daging, ikan, susu dan telur masyarakat Indonesia tahun 2009 adalah 2.22 g/kapita/hari untuk daging, 7.28 g/kapita/hari untuk ikan, dan 2.96 g/kapita/hari untuk susu dan telur. Konsumsi untuk hasil ternak Indonesia tahun 2008 (BPS 2010b) yaitu 4.8 kg/kapita/tahun untuk daging, 17.42 kg/kapita/tahun untuk telur, dan 0.28 kg/kapita/tahun untuk susu. Angka-angka tersebut jauh lebih rendah dari angka konsumsi standar Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi yaitu sebanyak 6 gram/kapita/hari atau setara dengan 10.3 kg daging/kapita/tahun, 6.5 kg telur kg/kapita/tahun (konsumsi telur sudah memenuhi standar), dan 7.2 kg


(19)

susu/kapita/tahun (Direktorat Jendral Peternakan 2006 dalam Suryana 2008). Banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengkonsumsi suatu bahan pangan, khususnya pangan hewani. Faktor-faktor tersebut meliputi faktor internal (umur, jenis kelamin, uang saku, tingkat kesukaan (preferensi), sikap, perilaku, dan pengetahuan gizi) serta faktor eksternal (pendidikan orang tua, ketersediaan pangan di rumah tangga, penghasilan orang tua, mitos, mode, teman sebaya, media informasi, dan tokoh idola). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Waysima (2010) diketahui bahwa peranan ibu berbeda nyata terhadap pembentukan perilaku anak dalam mengkonsumsi ikan laut. Hal ini diasumsikan bahwa sikap afektif dan tingkat pendidikan orang tua, khususnya ibu sebagai pemegang peranan dalam penentuan menu makan harian keluarga berpengaruh nyata terhadap konsumsi pangan hewani anak.

Penelitian mengenai hubungan konsumsi pangan hewani terhadap kecepatan masa pubertas pada remaja puteri SD belum pernah ada dan perlu dilakukan untuk mengetahui frekuensi konsumsi pangan hewani dan pengaruhnya terhadap waktu datangnya masa pubertas pada remaja puteri. Selain itu juga untuk mengetahui hubungan status gizi terhadap waktu datangnya masa pubertas pada remaja puteri. Adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat, baik pemerintah maupun swasta mengenai kebutuhan zat gizi sumber hewani yang diperlukan remaja puteri pada masa pubertas sehingga kecukupan zat gizinya dapat terpenuhi untuk pertumbuhan dan perkembangan fisik, kognitif, dan psikososial serta sebagai gambaran dalam menyusun program preventif dan kuratif terkait pengentasan masalah gizi berganda di Indonesia.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis frekuensi konsumsi pangan hewani siswi Sekolah Dasar di kota Bogor dan hubungannya terhadap waktu datangnya masa pubertas.

Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi karakteristik masing-masing siswi Sekolah Dasar dan karakteristik sosio demografi keluarga siswi


(20)

2. Menganalisis frekuensi konsumsi pangan hewani siswi

3. Menganalisis hubungan frekuensi konsumsi pangan hewani dengan karakteristik keluarga siswi, pengetahuan gizi siswi, dan kecepatan pubertas

4. Menganalisis hubungan status gizi dan tingkat kecukupan gizi pangan hewani dengan waktu pubertas pada siswi

5. Menganalisis hubungan status gizi dengan tingkat kecukupan gizi pangan hewani pada siswi

Kegunaan Penelitian

Kegunaan yang akan diberikan oleh penelitian ini meliputi:

1. Bagi masyarakat: penelitian ini sebagai gambaran dan sumber informasi tentang frekuensi konsumsi pangan hewani di Indonesia dan hubungannya dengan waktu pubertas, khususnya pada remaja sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam penyediaan dan pemanfaatan sumber pangan hewani serta keterkaitannya dengan waktu pubertas dini.

2. Bagi pemerintah: penelitian ini sebagai bahan pertimbangan dalam penyediaan layanan pendidikan mengenai sistem reproduksi untuk remaja dan program gerakan gemar makan pangan hewani pada remaja. 3. Bagi akademisi/peneliti: penelitian ini sebagai bahan referensi dalam

perkembangan ilmu pengetahuan yang akan datang, khususnya perkembangan konsumsi pangan hewani dan pengaruhnya terhadap waktu pubertas dini remaja.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang akan dibuktikan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Terdapat hubungan antara konsumsi pangan hewani terhadap waktu datangnya pubertas siswi

2. Terdapat hubungan antara status gizi siswi terhadap waktu datangnya pubertas siswi


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Pangan Hewani sebagai Sumber Protein

Protein diperlukan oleh tubuh untuk membangun sel-sel yang telah rusak, membentuk zat-zat pengatur seperti enzim dan hormon, membentuk energi yang tiap gram protein menghasilkan sekitar 4.1 kkal (Kartasapoetra & Marsetyo 2003). Protein juga akan disimpan untuk digunakan dalam keadaan darurat selain untuk membangun struktur tubuh (pembentukan berbagai jaringan) sehingga pertumbuhan atau kehidupan dapat terus terjamin dengan baik.

Kekurangan protein yang terus menerus akan menimbulkan gejala yaitu pertumbuhan kurang baik, daya tahan tubuh menurun, rentan terhadap penyakit, daya kreatifitas dan daya kerja merosot, mental lemah dan lain-lain (Kartasapoetra & Marsetyo 2003). Sumber-sumber protein diperoleh dari bahan makanan yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan. Protein hewani termasuk kualitas lengkap dan protein nabati mempunyai nilai kualitas setengah sempurna atau protein tidak lengkap (Sediaoetama 2006). Protein sebagai pembentuk energi tergantung macam dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi. Nilai energi dan protein dalam tubuh dapat ditentukan dengan memperhatikan angka-angka protein tiap bahan makanan.

Berbeda dengan pangan nabati yang memiliki kesamaan dalam hal jaringan-jaringan atau komponen-komponen penyusunnya. Pada bahan pangan hewani, lemak pada daging terletak pada jaringan lemak, pada susu terletak pada globula-globula lemak dan pada telur terdapat pada kuning telur. Bahan pangan hewani pada umumnya merupakan sumber protein dan lemak sedangkan bahan pangan nabati merupakan sumber karbohidrat, vitamin, mineral, lemak dan protein.

Daging sebagai Sumber Protein

Daging merupakan salah satu produk pangan hewani. Kandungan zat gizi yang dimiliki oleh daging meliputi protein, lemak, vitamin dan mineral. Daging yang berasal dari hewan merupakan satu-satunya sumber protein yang cukup memadai karena di dalamnya mengandung asam amino utama yang dapat membangun jaringan tubuh dan otot. Protein hewani satu-satunya yang dapat memberikan imunitas pada tubuh dan dapat menyerang bakteri juga mikroba. Oleh karena itu jika kekurangan protein hewani maka akan memiliki daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terserang penyakit (As-Sayyid 2006).


(22)

Ternak yang umumnya dikonsumsi oleh penduduk Indonesia terdiri atas sapi, kerbau, berbagai jenis kambing, ayam, bebek, dan berbagai jenis unggas lainnya. Daging ternak terdiri atas sapi, kerbau, dan berbagai jenis kambing sedangkan daging unggas meliputi ayam, bebek, dan berbagai jenis unggas lainnya (Sediaoetama 2006).

Daging Ternak

Ternak yang dimakan pada umumnya adalah sapi, kerbau, dan berbagai kambing. Pada umumnya daging hewan merupakan sumber protein. Namun kandungan lemak yang terdapat pada daging juga tinggi karena merupakan kumpulan dari jaringan adiposa dan otot. Terdapat pengelompokkan daging berdasarkan kandungan lemaknya. Daging gemuk merupakan daging yang banyak mengandung lemak sedangkan daging kurus merupakan daging yang sedikit memiliki kandungan lemak. Jenis asam lemak dibagi menjadi dua yaitu asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Lemak jenuh rantai panjang banyak dimiliki oleh daging. Asam lemak ini cenderung mempengaruhi kolesterol darah yang dapat berakibat pada risiko penyakit degeneratif. Konsumsi daging yang rendah dapat mengurangi risiko terkena kanker ovarium pada wanita (Kolahdooz et al.2010).

Daging muda lebih mudah dicerna dibandingkan dengan daging yang sudah tua. Daging tua terdiri atas kulit kaki (dermis) dan kuku kaki (tanduk) yang keduanya terdiri atas protein yang kualitas gizinya rendah karena asam amino esensial tidak lengkap (Sediaoetama 2006).

Tabel 1 Kandungan gizi untuk setiap 100 gram daging ternak

Unsur Kambing Sapi Domba

Energi (kkal) 154 207 206

Protein (g) 16.6 18.8 17.1

Lemak (g) 9.2 14 14.8

Vitamin A (RE) 0 12 0

Vitamin B (mg) 0.1 0.1 0.1

Besi (mg) 1 2.8 2.6

Fosfor (mg) 124 170 191

Sumber: DKBM 2010

Meskipun daging ternak merupakan sumber protein hewani yang mudah dicerna namun dalam mengkonsumsinya dianjurkan tidak berlebihan. Konsumsi daging terutama daging hasil ternak ruminansia yang berwarna merah dapat mengganggu kesehatan jika berlebihan dalam mengonsumsinya. Tubuh membutuhkan protein dalam sehari sebanyak 60 gram dan di dalam 120 gram


(23)

daging domba dan burung mengandung sekitar 60 gram protein. Konsumsi daging merah yang berlebihan dapat mengganggu kesehatan (As-Sayyid 2006).

Daging Unggas

Daging ayam rendah kandungan lemaknya sehingga baik dijadikan sebagai sumber protein untuk penderita penyakit degeneratif. Paha ayam lebih banyak seratnya dibanding dada sehingga sulit dicerna. Unggas yang memiliki sayap untuk terbang lebih banyak serat pada bagian dadanya daripada bagian paha.

Daging yang paling baik adalah daging yang sedikit mengandung lemak atau unsur minyaknya. Bagian pundak dan lengan merupakan bagian yang paling baik, paling enak, paling lembut, dan paling mudah dicerna (As-Sayyid 2006).

Tabel 2 Kandungan zat gizi untuk setiap 100 gram daging unggas

Unsur Ayam Bebek

Energi (kkal) 175 196

Protein (g) 10.6 9.6

Lemak (g) 14.5 17.16

Vitamin A (RE) 45.2 185.4

Vitamin B (mg) 0.1 0.1

Besi (mg) 0.9 1.08

Fosfor (mg) 116 112.8

Sumber: DKBM 2010

Olahan Produk Daging

Daging dapat diolah menjadi produk yang bernilai ekonomis dan harga jual yang tinggi. Adanya pengolahan daging dapat menjadikan alternatif konsumsi pangan hewani sebagai makanan camilan. Menurut Hadiwiyoto (1983) dalam Suharyanto (2009), beberapa produk hasil olahan daging adalah:

a. Sosis

Sosis atau sausage berasal dari bahasa Latin salsulus yang berarti digarami. Jadi sosis sebenarnya merupakan daging yang diolah melalui proses penggaraman. Berdasarkan tekniknya, sosis merupakan makanan yang dibuat dari daging (atau ikan) yang digiling dan dibumbui dan kemudian dimasukkan ke dalam selongsong bulat panjang. Selongsong dapat berupa usus sapi ataupun buatan. Proses pembuatan sosis melalui beberapa tahap, yaitu curing, pembuatan adonan, pengisian selongsong, pengasapan (untuk sosis asap) dan perebusan.


(24)

b. Bakso

Bakso merupakan produk olahan daging yang populer di kalangan masyarakat Indonesia. Tahapan pembuatannya meliputi curing (bila diperlukan), penggilingan, pembuatan adonan, pembentukan bulatan dan perebusan hingga bulatan bakso mengapung. Bahan-bahan yang digunakan adalah daging, tepung, STPP, garam dan bumbu-bumbu.

c. Kornet

Kornet adalah bahan olahan daging yang diawetkan. Pembuatannya merupakan campuran dengan bumbu-bumbu, garam dan nitrit. Prosesnya adalah curing, penggilingan, pembumbuan, pengalengan dan sterilisasi.

d. Abon

Abon merupakan produk olahan daging dengan cara disuwir. Prosesnya: daging direbus hingga empuk kemudian dipukul-pukul dan disuwir-suwir. Tambahkan bumbu-bumbu yang telah dihaluskan. Tambahkan santan dan direbus pada api yang kecil hingga agak kering. Kemudian ditumbuk hingga hancur.

e. Dendeng

Dendeng merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia. Dendeng termasuk makanan semi-basah, yaitu mengandung kadar air antara 15-50 persen. Dendeng juga merupakan produk olahan daging yang diproses secara kombinasi antara curing dan pengeringan. Dendeng ada dua jenis, yaitu dendeng iris dan dendeng giling. Dendeng iris dibuat dengan mengiris dendeng kira-kira setebal 3 mm kemudian dicampurkan dengan bumbu-bumbu dan curing selama satu malam. Kemudian dendeng dijemur hingga kering. Pengeringan bisa dilakukan dengan menggunakan oven. Pembuatan dendeng giling adalah diawali dengan menggiling daging yang kemudian dicampur dengan bumbu-bumbu. Selanjutnya dibentuk lembaran-lembaran dengan ketebalan lebih kurang 3 mm.

f. Nugget

Nugget biasanya dibuat dari daging ayam tetapi semua daging bisa dibuat nugget. Bahan untuk membuat nugget adalah daging, garam, bumbu-bumbu, tepung, kuning telur, bisa ditambahkan susu full cream dan lain-lain. Proses pembuatannya meliputi tahap penggilingan daging, pembentukan adonan (campur dengan bumbu dan bahan lainnya), pencetakan dan dikukus selama 45 menit, pemotongan, pelapisan dan penggorengan.


(25)

g. Lain-lain

Selain yang telah disebut di atas, masih banyak produk-produk olahan daging lainnya baik yang tradisional Indonesia maupun mancanegara dan yang modern. Beberapa di antaranya adalah Sate, Rendang (Indonesia), Jerky (Amerika), Charqui (Brazil), Biltong (Afrika), dan lain-lain.

Telur

Telur merupakan produk pangan hewani yang berasal dari unggas. Selain dagingnya, unggas juga menyumbangkan protein yang nilainya tinggi melalui telur. Telur yang dihasilkan unggas bermacam-macam, baik itu telur ayam, telur puyuh, telur bebek, maupun telur itik/entok. Telur merupakan sumber pangan hewani yang dapat dijangkau oleh masyarakat sehingga dapat dikatakan telur sebagai sumber protein hewani yang bernilai ekonomis. Kandungan gizi terutama protein jauh lebih tinggi dibandingkan produk pangan hewani lainnya.

Sebuah penelitian tentang manfaat protein telur yang mampu mencegah dan mengobati hipertensi pernah dilakukan. Penelitian tersebut dilakukan oleh Miguel dan Aleixandre (2006) yang membuat beberapa ACE-inhibitor peptida yang diperoleh dari hidrolisat asam-asam amino pada telur (Tyr-Arg-Glu-Glu-Arg-Tyr-Pro-Ile-Leu-Arg-Ala-Asp-His-Pro-Phe-Leu, dan Ile-Val-Phe) yang diujikan kepada tikus hipertensi. Hasilnya berhubungan terhadap penurunan tekanan darah pada tikus yang hipertensi.

Tabel 3 Kandungan zat gizi untuk setiap 100 gram berbagai macam telur

Unsur Ayam Bebek

Energi (kkal) 146 170

Protein (g) 11.5 11.8

Lemak (g) 10.4 12.9

Vitamin A (RE) 278.1 379.8

Vitamin B (mg) 0.1 0.2

Besi (mg) 2.4 2.52

Fosfor (mg) 162 157.5

Sumber: DKBM 2010

Telur bebek di negara-negara Barat tidak diperdagangkan dan dikonsumsi. Hal ini dikarenakan telur bebek mudah terkontaminasi bakteri Salmonella thypii penyebab penyakit tifoid (tifus) dibandingkan dengan telur ayam. Meskipun telur bebek sedikit lebih besar dari telur ayam akan tetapi kandungan gizinya tidak berbeda jauh, kecuali mungkin kandungan lemaknya yang lebih banyak pada telur bebek. Bagian putih telur adalah 58 persen dari


(26)

berat seluruh telur, tetapi sebagian besar zat gizi dan vitamin terdapat di bagian merah telur (Sediaoetomo 2006).

Teknik konsumsi telur di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pengolahan makanan yang berasal dari telur banyak ragam dan jenisnya. Namun ada pula sebagian masyarakat yang mengkonsumsi telur tanpa melalui proses pengolahan. Fenomena tersebut umumnya terjadi pada masyarakat yang gemar mengkonsumsi jamu. Telur ayam kampung (ayam buras) sering dijadikan tambahan bahan dalam mengkonsumsi jamu. Telur tersebut langsung dicampur dengan jamu tanpa melalui proses pengolahan. Hal tersebut tidak baik dilakukan karena dapat mengganggu penyerapan vitamin di dalam tubuh.

Olahan Telur

Beberapa olahan telur yang biasa dikonsumsi masyarakat adalah (Suharyanto 2009):

a. Telur Asin

Prinsipnya adalah dengan membungkus atau merendam material adonan yang asin selama waktu tertentu. Bahan yang biasa digunakan adalah serbuk batu bata merah dan garam serta ditambahkan sedikit air hangat. Perbandingan antara serbuk batu bata merah dengan garam adalah 10:50 s.d. 50:50. Penambahan air hangat kemudian diaduk-aduk hingga merata dan terbentuk semacam pasta. Telur yang telah dibersihkan kemudian dibenamkan atau dibungkus dengan pasta serbuk batu bata selama 2 minggu.

b. Pindang Telur

Telur direbus dalam air garam dengan perbandingan garam dan air adalah 1:10 s.d. 10:10. Perebusan dilakukan hingga mendidih. Daya simpan pindang telur sekitar 5 hari.

c. Acar Telur

Telur dimasak terlebih dahulu kemudian dikupas, lalu direndam dalam larutan asam cuka dengan konsentrasi 1.2 – 6 persen.

d. Telur Asap

Pengasapan telur dilakukan secepat mungkin setelah telur selesai direbus atau kukus. Bisa juga telur asin diasap. Bahan pembuat asap bisa


(27)

serabut kelapa atau kayu jati. Pengasapan dilakukan hingga kulit telur berubah menjadi coklat manggis atau hingga hitam.

e. Bubuk Telur

Prinsipnya adalah mengeringkan telur hingga airnya hilang sebanyak mungkin. Pengeringan dapat dilakukan dengan metode penyemprotan (spray drying) dan silindris (drum drying). Macam bubuk telur ada tiga yaitu bubuk putih telur, bubuk kuning telur dan bubuk telur utuh. Pembuatan bubuk putih telur dilakukan dengan pengeringan silindris. Mula-mula putih telur difermentasi supaya mempertahankan warna saat proses pengeringan dan sifat kelarutannya serta membantu daya buih putih telur. Fermentasi ini menyebabkan kekentalan putih telur menurun sehingga memudahkan dalam penanganan.

Fermentasi dilakukan pada suhu 20 derajat Celciusselama 36-60 jam atau suhu 23-29.4 derajat Celcius selama 12 jam. Bakteri yang dapat digunakan untuk fermentasi adalah kelompok Aerobacter atau Escherechia. Bisa juga menggunakan ragi roti sebanyak 0.025 persen. Sebelum digunakan ragi roti dilarutkan dahulu dalam air suling dengan perbandingan 1:3 dari berat bahan. Selama fermentasi terjadi pemisahan lapisan putih telur. Lapisan bagian atas yang diambil untuk kemudian dikeringkan. Lapisan atas ini banyak mengandung ovomucin dan glikoprotein sehingga bersifat gelatinous. Pengeringan putih telur dilakukan pada suhu 50-60 derajat Celcius. Pembuatan bubuk kuning telur dilakukan dengan memanaskan kuning telur terlebih dahulu pada suhu 70 derajat Celcius. Kemudian disemprotkan melalui sebuah ”nozzle” dengan tekanan 3000 psi ke dalam ruang panas bersuhu di atas 160 derajat Celcius. Proses pembuatan bubuk telur utuh sama dengan bubuk kuning telur.

f. Telur Beku

Mula-mula telur dipecah, kemudian dimasukkan ke dalam wadah khusus dalam ruang bersuhu 18 derajat Celcius dan 21 derajat Celcius selama 72 jam. Kemudian pembekuan dipercepat dengan menurunkan suhunya. Suhu pembekuan yang biasa digunakan antara minus 23.3 dan 28.9 derajat Celcius. Beberapa cara juga dilakukan dengan mengocok telur hingga merata kemudian dibekukan.


(28)

Ikan

Indonesia sejak dahulu dikenal sebagai negara maritim. Hal ini dikarenakan wilayah perairan Indonesia mencapai 6.1 juta km2 atau sebesar 77 persen dari seluruh luas Indonesia, dengan kata lain luas laut Indonesia adalah tiga kali luas daratannya (Basuki et al. 2009). Potensi perairan Indonesia yang sangat luas tersebut menghasilkan sumberdaya perairan yang luar biasa. Sumberdaya laut merupakan sumberdaya yang dapat dipulihkan, artinya bahwa ikan ataupun sumberdaya laut lainnya dapat dimanfaatkan, namun harus memperhatikan kelestariannya.

Ikan merupakan sumberdaya perairan yang mengandung protein tinggi khususnya untuk asam amino tak jenuh, atau biasa dikenal dengan kandungan omega-3 yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia (Basuki et al. 2009).

Hasil-hasil perikanan secara umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut:  Ikan, contoh: tuna, bawal, kembung, lemuru

 Udang, contoh: udang barong, udang jerbung, udang galah  Kerang-kerangan, contoh: kerang, remis, bukur, simping  Rumput laut, contoh: Echeumas, Laminaria

Kualitas protein ikan tergolong sempurna (protein lengkap) karena mengandung semua asam-asam amino esensial dalam jumlah masing-masing yang mencukupi kebutuhan tubuh (Sediaoetama 2006).

Ikan dikonsumsi sebagai ikan segar (ikan basah), ikan kering yang diasinkan atau tidak, dan ikan kalengan hasil teknologi pangan modern. Pembusukan pada ikan yang dikeringkan baik diasinkan maupun tidak memiliki bau yang khas. Hal tersebut terjadi karena saat proses pengeringan kemungkinan terjadi kontaminasi oleh bakteri. Bagi yang mengkonsumsi ikan kering ini keluhan yang sering dirasakan adalah gangguan gastrointestinal pada masyarakat yang tidak biasa mengkonsumsinya, tetapi bagi masyarakat yang sudah biasa mempergunakannya tidak akan muncul keluhan tersebut

Terdapat beberapa jenis ikan yang dapat menimbulkan reaksi allergic bagi yang mengkonsumsinya. Reaksi allergic yang biasa timbul berupa gatal-gatal ringan maupun berat. Kecenderungan reaksi tersebut terutama pada konsumsi jenis ikan laut, dikeringkan, atau tidak. Bagi yang memiliki alergi terhadap jenis ikan tertentu dianjurkan untuk selalu mengingatnya dan menghindari untuk mengkonsumsinya (Sediaoetama 2006).


(29)

Selain dikonsumsi dalam kondisi utuh sebagai lauk, ikan juga dapat diolah menjadi produk lain yang kandungan gizinya tidak kalah tinggi untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Saat ini terdapat proses pengolahan ikan menjadi produk minyak ikan (fish oil). Ikan yang sering diolah menjadi minyak ikan adalah ikan kod. Minyak ikan kaya akan vitamin A dan tinggi protein sehingga baik dikonsumsi oleh anak dan remaja. Manfaat konsumsi minyak ikan bagi kesehatan manusia adalah vitamin dan mineral yang terkandung di dalamnya baik untuk kesehatan mata, kulit, selaput lendir, dan pertumbuhan otak (As-Sayyid 2006). Berikut ini disajikan tabel kandungan gizi pada berbagai macam ikan.

Tabel 4 Kandungan zat gizi untuk setiap 100 gram berbagai macam ikan

Unsur Asin Ikan Bandeng Kembung Ikan Mas Mujair Ikan Teri

Energi (kkal) 135 103 82 69 65.4 513.3

Protein (g) 29.4 16 17.6 12.8 13.8 106.7

Lemak (g) 1.1 3.8 0.8 1.6 0.7 6.7

Vitamin A (RE) 0 37.6 7.2 37.6 4.4 313.3

Vitamin B (mg) 0 0.1 0.1 0.1 0.0 0.3

Besi (mg) 1.8 1.6 0.8 1.6 1.1 6.7

Fosfor (mg) 210 120 160 120 21.3 3333.3

Sumber: DKBM 2010

Saat ini ikan dipercaya sebagai pangan yang paling berperan dalam proses perkembangan kognitif seseorang khususnya remaja. Konsumsi EPA dan DHA secara bersamaan dapat mengurangi risiko penurunan kognitif pada individu usia lanjut. Hal tersebut didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Van Gelder (2007), linear trend menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara asupan EPA dan DHA dengan kemunduran kognitif. Perbedaan rata-rata asupan EPA dan DHA sebesar 380 mg/hari berhubungan dengan perbedaan sebesar 1.1 poin dalam penurunan kognitif.

Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Bradbury et al. (2004) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara efek konsumsi minyak ikan dan minyak zaitun dalam mengurangi stres pada sampel. Konsumsi ikan ternyata juga berperan dalam mengurangi perkembangan aterosklerosis arteri koronari pada wanita dengan riwayat penyakit jantung koroner. Hal tersebut didasarkan pada hasil penelitian Erkkilä et al. (2004) yang membandingkan rendahnya asupan ikan dengan asupan ikan ≥ 2 penyajian ikan atau ≥ 1 penyajian tuna atau ikan daging gelap per minggu. Hasilnya menunjukkan bahwa


(30)

terdapat hubungan konsumsi ikan dengan peningkatan persentase stenosis yang sangat kecil pada wanita penderita diabetes yang telah diketahui memiliki faktor risiko penyakit kardiovaskular dan asupan asam-asam lemak, kolesterol, serat, dan alkohol. Hasil tersebut tidak terjadi pada wanita yang bukan penderita diabetes. Konsumsi ikan yang tinggi juga berhubungan dengan penurunan pada diameter minimum arteri koronari dan pada lesi yang baru.

Susu

Pangan sumber protein hewani lainnya yang tidak kalah pentingnya dalam menyediakan kebutuhan gizi pangan adalah susu. Susu dapat diartikan sebagai hasil pemerahan dari sapi atau hewan menyusui lainnya, yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain.

Susu mudah rusak oleh mikroorganisme karena merupakan tempat yang baik bagi perkembangan mikroorganisme. Ini merupakan sifat susu yang penting, oleh karenanya penanganan yang baik perlu dilakukan dengan tepat. Susu yang baik harus mengandung jumlah bakteri yang sedikit, tidak mengandung spora mikroba patogen, bersih, yaitu tidak mengandung debu atau kotoran, mempunyai flavor yang baik dan tidak dipalsukan (Suharyanto 2009).

Susu dianggap sebagai makanan yang sempurna dilihat dari beberapa sisi. Susu oleh para ahli dianggap sebagai makanan utama yang kaya gizi karena mengandung zat gizi yang diperlukan oleh tubuh. Susu kaya akan karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan garam-garam mineral. Semua unsur tersebut terdapat dalam susu dengan formula yang seimbang dan mudah dicerna. Susu tidak meninggalkan sisa di ginjal ketika selesai dicerna di lambung atau tidak menambah keasaman pada tubuh. Oleh karena itu, tidak aneh jika susu menjadi makanan pertama yang dikonsumsi oleh bayi mamalia sewaktu lahir. Kemungkinan bagi orang dewasa hidup hanya dengan mengkonsumsi susu selama beberapa minggu tanpa kekurangan gizi (As-Sayyid 2006).

Saat ini konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah. Menurut Wiratakusuma (1999) dalam Nurwandi (2010), konsumsi susu Indonesia baru mencapai 7.7 lt/kap/tahun atau setara dengan 19 gram per hari atau sekitar 1/10 konsumsi susu di dunia. Rendahnya konsumsi susu di Indonesia, berdampak pada rendahnya kualitas gizi balita dan anak. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat konsumsi susu di Indonesia, di antaranya adalah masih


(31)

rendahnya produk susu nasional, rendahnya daya beli dan budaya minum susu di masyarakat.

Masa remaja sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi susu dalam jumlah yang tinggi. Hal ini dikarenakan komponen zat gizi yang terdapat di dalam susu mampu memenuhi kebutuhan zat gizi yang diperlukan oleh remaja. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asupan susu yang tinggi selama masa remaja dapat memperbesar massa tubuh, saraf, mineral tulang radial yang diukur selama perkembangan puncak massa tulang. Konsumsi susu yang tinggi juga turut meningkatkan asupan kalsium. Konsumsi susu di usia muda akan berdampak pada kebiasaan yang terus berlanjut hingga di kehidupan mendatang (Teegarden et al. 1999). Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Rich-Edwards et al. (2007) tentang pengaruh konsumsi susu terhadap hormon somatotropik. Hasilnya sesuai dengan hipotesis bahwa peningkatan konsumsi susu pada remaja awal akan meningkatkan hormon-hormon pertumbuhan seperti hormon somatotropik.

Absorbsi kolesterol dan lemak pada usus dapat dilakukan oleh susu. Penyerapan lebih efektif jika dilakukan oleh spingomielin susu dibandingkan dengan spingomielin pada telur. Efek penghambat terkuat dari spingomielin susu adalah adanya hubungan tingginya tingkat kejenuhan dan panjangnya kelompok asam lemak rantai panjang yang secara perlahan menurunkan lipolisis luminal, kelarutan miselar dan perpindahan lemak miselar ke enterosit (Noh & Koo 2004). Berikut ini merupakan tabel komposisi rata-rata susu sapi:

Tabel 5 Komposisi zat gizi pada susu sapi

Komposisi Berat

Energi (kkal) 61

Protein (g) 3.2

Lemak (g) 3.5

Karbohidrat (g) 4.3

Kalsium (mg) 143

Vitamin C (mg) 1

Fasfor (mg) 60

Besi (mg) 1.7

Vitamin A (RE) 45

Vitamin B (mg) 0

Sumber: DKBM 2010

Terdapat sensitifitas pada sebagian orang yang mengonsumsi susu. Sesaat setelah seseorang mengonsumsi susu mengalami diare. Hal ini dikarenakan pada sebagian orang tidak mampu mencerna gula susu (laktosa) sehingga timbul gangguan pencernaan. Orang yang mengalami gangguan terhadap penyerapan laktosa dikenal dengan gangguan lactose intollerence.


(32)

Olahan Produk Susu

Bagi individu yang tidak dapat atau tidak suka mengonsumsi susu secara langsung, masih dapat menikmati susu dan memperoleh manfaat dari susu. Susu dapat diolah menjadi beragam bentuk produk pangan yang bernilai ekonomi namun tetap bergizi. Berikut ini adalah beberapa produk olahan dari susu.

1. Susu Homogen

Susu homogen merupakan susu yang telah mengalami homogenisasi yang tujuannya untuk menyeragamkan globula lemak susu. Susu yang belum dihomogenasi, ukuran globulanya tidaklah sama, yaitu sekitar 2-20 mikrometer. Perbedaan ukuran globula lemak disebabkan oleh perbedaan jenis ternak, pakan/manajemen, pemerahan, umur ternak dan lain-lain. Alat untuk menyeragamkan globula-globula lemak disebut dengan “homogenizer”. Prinsip kerja alat homogenizer adalah dengan cara menekan susu melalui lubang kecil maka susu akan keluar dan menghantam suatu bidang keras sehingga globula yang besar akan pecah. Homogenisasi ini mampu meningkatkan kekentalan susu hingga 10 persen. Susu yang telah dihomogenasi jumlah partikel dan luas permukaan globula lemak bertambah karena globula lemak yang besar pecah menjadi berukuran lebih kecil. Hal ini menyebabkan susu homogen mudah mengalami ketengikan dan mudah menggumpal oleh perlakuan panas dan asam. Susu homogen juga mudah mengalami “creaming”, yaitu pemisahan antara krim dan skim. Tetapi biasanya mampu bertahan selama 48 jam penyimpanan pada suhu 10-15 derajat Celcius tanpa adanya gangguan tidak terjadi pemisahan krim pada susu. Oleh karenanya susu homogen biasanya merupakan upaya antara dalam pengolahan selanjutnya menjadi produk olahan. 2. Susu Pasteurisasi

Sebagaimana disebutkan di atas, pasteurisasi merupakan salah satu penanganan awal untuk memperpanjang masa simpan sebelum susu dijual. Selain itu, pasteurisasi bertujuan untuk:

 Membunuh bakteri patogen, misalnya Mycobacterium tubercolosis.

 Membunuh bakteri tertentu, yaitu dengan mengatur suhu dan lamanya pasteurisasi.

 Mengurangi jumlah bakteri dalam bahan (susu).  Mempertinggi dan memperpanjang masa simpan.


(33)

 Meningkatkan cita rasa susu.

 Menginaktifkan enzim fosfatase dan katalase yang menyebabkan susu mudah rusak.

Pateurisasi dapat dilakukan dengan cara:

a. High Temperatur Short Time (HTST), yaitu dengan pemanasan tinggi 72 derajat Celcius selama 15 detik.

b. Low Temperatur Long Time (LTLT), yaitu dengan pemanasan 62 derajat Celcius selama 30 menit.

3. Susu Steril

Susu steril merupakan susu hasil sterilisasi dan banyak dijual, terutama susu UHT. Sterilisasi merupakan pamanasan dengan suhu tinggi (100–140 derajat Celcius) selama beberapa detik dengan tujuan membunuh semua bakteri baik yang patogen maupun non patogen.

4. Krim dan Skim

Krim merupakan bagian susu yang banyak mengandung lemak dan bahan larut lemak atau disebut juga “kepala susu” dan skim adalah bagian susu yang telah diambil lemaknya sehingga banyak mengandung protein (setelah dipisahkan dari lemak susu). Skim disebut juga sebagai serum susu. Memisahkan krim dan skim adalah dengan sentrifugasi. Pemisahan dapat terjadi karena keduanya memiliki bobot molekul yang berbeda. Krim berbobot molekul ringan dan skim berbobot molekul lebih berat sehingga setelah disentrifugasi, bagian krim berada di atas skim.

Susu skim dapat digunakan oleh seseorang yang menginginkan nilai kalori rendah di dalam makanannya, karena susu skim hanya mengandung 55 persen dari seluruh energi susu, dan juga digunakan dalam pembuatan keju dengan lemak rendah dan yoghurt.

5. Bubuk susu

Bubuk susu merupakan susu yang diuapkan sebanyak mungkin airnya sehingga kering dan dibuat bubuk. Kadar air bubuk susu sekitar 5 persen. Proses pembuatannya melalui tahap pemanasan pendahuluan dan pengeringan. Pemanasan pendahuluan bertujuan untuk menguapkan air sehingga tinggal sekitar 45–50 persen. Pemanasan pendahuluan menggunakan temperatur antara 65–170 derajat Celcius, tergantung jenis susu bubuk yang akan dibuat. Susu bubuk penuh menggunakan suhu yang rendah dibanding susu bubuk skim.


(34)

Konsumsi Pangan Hewani pada Tingkat Nasional dan Provinsi

Salah satu bagian dari sistem pangan dan gizi adalah kegiatan konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat. Konsumsi merupakan kegiatan yang menentukan status gizi seseorang. Konsumsi pangan yang mencukupi baik secara kuantitas dan kualitas menjadi indikator apakah seseorang memiliki status gizi baik atau buruk. Selain itu, konsumsi pangan juga menjadi determinan dalam menentukan suatu wilayah yang rawan pangan dan mengalami kelaparan.

Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa ikan merupakan pangan hewani yang paling banyak dikonsumsi dengan jumlah sebesar 28 kg/kapita/tahun. Rata-rata konsumsi protein ikan juga berada pada angka tertinggi yaitu sebesar 7.9 g/kapita/hari. Konsumsi ikan di Indonesia belum merata karena masih terdapat provinsi yang konsumsi ikannya sangat rendah (Lampiran 3). Namun jika dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia dan Thailand, tingkat konsumsi ikan di dalam negeri masih sangat rendah. Rendahnya konsumsi ikan di dalam negeri karena kurangnya informasi mengenai pentingnya konsumsi ikan (DKP 2010).

Tabel 6 Konsumsi pangan hewani masyarakat Indonesia tahun 2008 Komoditi

Konsumsi Jumlah

(kg/kap/tahun) Protein (g/kap/hari)

Daging 4.8 2.4

Telur dan Susu 17.7 3.0

Ikan 28.0 7.9

Sumber: Badan Pusat Statistik (Susenas 2007 dan 2008) / BPS- Statistic Indonesia (2010b)

Berdasarkan data di atas konsumsi protein tertinggi nasional terdapat pada komoditi ikan, sedangkan daging menjadi komoditi yang rendah dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber protein. Hal ini diduga harga ikan lebih dapat dijangkau oleh masyarakat dibandingkan dengan harga daging, telur, dan susu. Menurut Martianto dan Ariani (2004) dalam Aprilian (2010), tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya.

Konsumsi pangan hasil ternak masyarakat Indonesia dan olahannya masih rendah (Lampiran 4). Hal ini menyebabkan asupan protein asal pangan hewani juga menjadi rendah (Lampiran 5). Kondisi tersebut jika dibiarkan lebih lanjut maka akan berdampak pada status gizi dan perkembangan sumberdaya manusia di Indonesia, khususnya pada kelompok usia anak-anak dan remaja.


(35)

Pola Konsumsi Pangan Hewani Penduduk Indonesia

Nasoetion et al. (1992) mendefinisikan pola konsumsi pangan sebagai

“Susunan jenis atau ragam pangan yang biasa dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang di daerah tertentu”. Pengelompokkan pola konsumsi pangan dapat dibentuk berdasarkan kegunaan atau fungsi pangan dalam tubuh meliputi pola konsumsi pangan pokok, pola konsumsi pangan sumber protein, pola konsumsi sayuran, dan pola konsumsi buah-buahan. Pola konsumsi suatu masyarakat dapat dilihat dari tingkat konsumsi, pengeluaran, dan proporsi pengeluaran untuk setiap komoditi seperti komoditi pangan hewani dari total pengeluaran pangan hewani.

Pola konsumsi pangan dapat juga diartikan sebagai frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang sehari-hari dan merupakan ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi seseorang (Harper et al 1985). Konsumsi pangan yang beraneka ragam diharapkan dapat memperbaiki mutu gizi makanan seseorang. Tiap-tiap jenis pangan atau makanan mempunyai cita rasa, tekstur, bau, campuran zat gizi, dan daya cerna masing-masing. Oleh sebab itu tiap-tiap jenis komoditi dapat memberikan sumbangan zat gizi yang unik (Suhardjo 1989). Apresiasi masyarakat terhadap pangan hewani cukup tinggi, walaupun secara umum masyarakat Indonesia baru dapat memenuhi 69.8 persen dari kebutuhan protein hewani. Berbagai strategi untuk meningkatkan kesediaan pangan hewani asal ternak telah pula dilakukan. Sementara ini. telah tersedia beragam rakitan teknologi dari Badan Litbang Pertanian menyangkut aspek budidaya peternakan dan pencegahan penyakit hewan serta pengolahan produk pangan hewani yang aman dan halal. Implementasi rakitan teknologi di masyarakat luas diharapkan dapat membantu penyediaan pangan hewani asal ternak (Suryana 2008).

Populasi penduduk Indonesia yang sekitar 220 juta orang memerlukan kesediaan pangan hewani bermutu tinggi. halal dan aman dikonsumsi. Badan Pusat Statistik Indonesia (2010a) mencatat bahwa rata-rata konsumsi protein pangan hewani asal daging, ikan, susu dan telur masyarakat Indonesia tahun 2009 adalah 2.2 gram/kapita/hari untuk daging, 7.3 gram/kapita/hari untuk ikan. dan 2.9 gram/kapita/hari untuk susu dan telur. Konsumsi pangan asal hewani akan meningkat sejalan dengan membaiknya keadaan ekonomi masyarakat maupun meningkatnya kesadaran masyarakat akan gizi baik. Sejak tahun 1955


(36)

Indonesia sudah mampu berswasembada telur dan daging ayam, akan tetapi sampai dewasa ini belum tercapai swasembada untuk daging sapi dan susu.

Sebagian besar masyarakat Indonesia mengandalkan pada penyediaan daging unggas (ayam dan itik), daging ternak besar. Kesediaan daging unggas dari broiler (955756 ton) sudah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas. sedangkan populasi ayam lokal sejumlah 298.4 juta ekor. mempunyai produksi sekitar 322800 ton. Populasi sapi potong yang 11 juta ekor hanya memenuhi produksi daging sapi nasional sebesar 306000 ton (pemotongan sekitar 1.5 juta ekor/tahun) atau baru memenuhi 70 persen dari kebutuhan nasional. Sehingga pemerintah masih memerlukan importasi sapi potong sejumlah 408000 ekor/tahun (setara dengan 56000 ton). Pada tahun 2005 importasi daging (terdiri dari daging sapi, kambing, domba, ayam, dan babi, termasuk hati dan jeroan sapi) mencapai 634315 ton dan produk susu mencapai 173084 ton belum lagi mentega (60176 ton), keju (9883 ton), sedikit telur dan yoghurt (Direktorat Jendral Peternakan 2006 dalam Suryana 2008).

Remaja

Manusia mengalami proses daur kehidupan yang dimulai sejak masih di dalam kandungan sampai lanjut usia. Manusia akan melalui fase-fase tumbuh dan berkembang dalam daur kehidupan. Setiap fase-fase tersebut memiliki ciri-ciri yang khas sehingga dapat dikenali antara fase yang satu dengan yang lainnya.

Pertumbuhan mempunyai ciri-ciri khusus. yaitu perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri-ciri lama, serta munculnya ciri-ciri baru, Pertumbuhan mempunyai keunikan yaitu adanya kecepatan yang berbeda-beda di setiap kelompok umur dan pola pertumbuhan pada masing-masing organ yang berbeda. Selama proses pertumbuhan pada manusia terdapat 3 periode pertumbuhan cepat, yaitu masa janin, masa bayi 0–1 tahun, dan masa pubertas (Chamidah 2009).

Setiap pertumbuhan disertai dengan proses perkembangan. Proses perkembangan merupakan proses perubahan fungsi tubuh. Perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan susunan saraf pusat dengan organ yang dipengaruhinya. Perkembangan fase awal meliputi beberapa aspek kemampuan fungsional, yaitu kognitif, motorik, emosi, sosial, dan bahasa. Perkembangan pada fase awal ini akan menentukan perkembangan fase selanjutnya. Jika terjadi


(37)

kekurangan pada salah satu aspek perkembangan maka dapat mempengaruhi aspek lainnya (Chamidah 2009).

Remaja merupakan salah satu fase tumbuh dan kembang yang dilalui oleh manusia. Menurut Hurlock (1992) dalam Arya (2010), remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik. Papalia et al. (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence). Menurut Papalia et al. (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Masa remaja sering juga disebut sebagai masa pubertas. Menurut Monks (2002), pubertas berasal dari kata puber yaitu pubescere yang artinya mendapat pubes atau rambut kemaluan, yaitu suatu tanda kelamin sekunder yang menunjukkan perkembangan seksual. Pubertas menurut Root (1998) dalam Hurlock (2004) merupakan suatu tahap dalam perkembangan yang ditandai dengan kematangan alat–alat seksual dan tercapainya kemampuan reproduksi.

Batasan usia remaja menurut klasifikasi World Health Organization (WHO) (2000) dalam Nugroho (2001) adalah 10-19 tahun. Menurut United Nations (UN) (1998) dalam Nugroho (2001), menyebutnya sebagai anak muda (youth) untuk usia 15-24 tahun. Ini kemudian disatukan dalam batasan kaum muda (young people) yang mencakup usia 10-24 tahun. Masa pubertas pada remaja akan membawa perubahan-perubahan pada diri remaja. Perubahan tersebut meliputi perubahan secara fisik dan emosional/psikologis.

Selama pertumbuhan pesat masa puber, terjadi empat perubahan fisik penting dimana tubuh anak dewasa: perubahan ukuran tubuh, perubahan proporsi tubuh, perkembangan ciri-ciri seks primer, dan perkembangan ciri-ciri seks sekunder (Hurlock 2004), yaitu:

Perubahan primer pada masa puber. Perubahan primer pada masa pubertas adalah tanda-tanda/perubahan yang menentukan sudah mulai berfungsi optimalnya organ reproduksi pada manusia.

1. Pada pria: gonad atau testis yang terletak di skrotum, di luar tubuh, pada usia 14 tahun baru sekitar 10 persen dari ukuran matang. Kemudian terjadi pertumbuhan pesat selama 1 atau 2 tahun, setelah itu


(38)

pertumbuhan menurun, testis sudah berkembang penuh pada usia 20 atau 21 tahun. Jika fungsi organ-organ pria sudah matang, maka biasanya mulai terjadi mimpi basah.

2. Pada wanita: semua organ reproduksi wanita tumbuh selama masa puber. meskipun dalam tingkat kecepatan yang berbeda. Berat uterus anak usia 11 atau 12 tahun berkisar 5.3 gram, pada usia 16 rata-rata beratnya 43 gram. Tuba falopi, sel-sel telur, dan vagina juga tumbuh pesat pada saat ini. Petunjuk pertama bahwa mekanisme reproduksi anak perempuan menjadi matang adalah datangnya menstruasi (Hurlock 2004).

Perubahan sekunder pada masa pubertas. Menurut Sarwono (2009), perubahan sekunder pada masa pubertas adalah perubahan-perubahan yang menyertai perubahan primer yang terlihat dari luar.

1. Pada perempuan: lengan dan tungkai kaki bertambah panjang; pertumbuhan payudara; tumbuh bulu-bulu halus disekitar ketiak dan vagina; panggul mulai melebar; tangan dan kaki bertambah besar; tulang-tulang wajah mulai memanjang dan membesar; vagina mengeluarkan cairan; keringat bertambah banyak; kulit dan rambut mulai berminyak; pantat bertambah lebih besar.

2. Pada pria: lengan dan tungkai kaki bertambah panjang; tangan dan kaki bertambah besar; pundak dan dada bertambah besar dan membidang; otot menguat; tulang wajah memanjang dan membesar tidak tampak seperti anak kecil lagi; tumbuh jakun; tumbuh rambut-rambut di ketiak. sekitar muka dan sekitar kemaluan; penis dan buah zakar membesar; suara menjadi besar; keringat bertambah banyak; kulit dan rambut mulai berminyak.

Perubahan Emosional/Psikologis

Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “Badai dan Tekanan”, sesuatu masa terjadi ketegangan emosi yang meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Pertumbuhan yang terjadi terutama bersifat melengkapi pola yang sudah terbentuk pada masa puber. Adapun meningginya emosi terutama karena anak laki-laki dan perempuan berada di bawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru, sedangkan selama masa kanak-kanak ia


(39)

kurang mempersiapkan diri untuk menghadapi keadaan-keadaan itu (Hurlock 2004). Masa remaja merupakan masa stress full karena ada perubahan fisik dan biologis serta perubahan tuntutan dari lingkungan, sehingga diperlukan suatu proses penyesuaian diri dari remaja. Tidak semua remaja mengalami masa stress full. Namun dapat dikatakan benar bila sebagian besar remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru. (Nurfajriyah 2009).

Penyebab Perubahan Pubertas (Hurlock 2004).

1. Peran Kelenjar Pituitari: kelenjar pituitari mengeluarkan dua hormon yaitu hormon pertumbuhan yang berpengaruh dalam menentukan besarnya individu, dan hormon gonadotropik yang merangsang gonad untuk meningkatkan kegiatan. Sebelum masa puber secara bertahap jumlah hormon gonadotropik semakin bertambah dan kepekaan gonad terhadap hormon gonadotropik dan peningkatan kepekaan juga semakin bertambah, dalam keadaan demikian perubahan-perubahan pada masa puber mulai terjadi.

2. Peran Gonad: Adanya pertumbuhan dan perkembangan gonad. organ-organ seks yaitu ciri-ciri seks primer: bertambah besar dan fungsinya menjadi matang, dan ciri-ciri seks sekunder, seperti rambut kemaluan mulai berkembang.

3. Interaksi Kelenjar Pituitari dan Gonad: Hormon yang dikeluarkan oleh gonad, yang telah dirangsang oleh hormon gonadotropik yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari, selanjutnya bereaksi terhadap kelenjar ini dan menyebabkan secara berangsur-angsur penurunan jumlah hormon pertumbuhan yang dikeluarkan sehingga menghentikan proses pertumbuhan, interaksi antara hormon gonadotropik dan gonad berlangsung terus sepanjang kehidupan reproduksi individu, dan lambat laun berkurang menjelang wanita mendekati menopause dan pria mendekati climacteric.

Meskipun sebagian besar anak puber secara fisik tidak merasa normal. namun penyakit yang aktual tidak banyak dialami anak dalam periode ini dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Bahaya fisik utama masa puber disebabkan kesalahan fungsi kelenjar endokrin yang mengendalikan pertumbuhan pesat dan perubahan seksual yang terjadi pada periode ini.


(40)

Banyak bahaya psikologis pada masa puber yang akibat panjangnya lebih penting dari pada akibat berlangsungnya. Beberapa bahaya psikologis yang adalah sebagai berikut :

1. Konsep diri yang kurang baik. Terdapat banyak hal yang menyebabkan perkembangan konsep diri kurang baik selama masa puber, beberapa di antaranya alasan pribadi dan alasan lingkungan. Anak yang mengembangkan konsep diri kurang baik pada masa remaja cenderung menguatkan konsep tersebut dengan perilaku yang tidak sosial. dan bukan memperbaikinya. Akibatnya. dasar-dasar untuk kompleks rendah diri semakin tertanam dan kecuali dilakukan langkah-langkah perbaikan. maka cenderung akan menetap dan mewarnai mutu perilaku individu sepanjang hidupnya.

2. Prestasi Rendah. Cepatnya pertumbuhan fisik maka tenaga menjadi melemah akibatnya timbul keseganan untuk bekerja dan bosan pada tiap kegiatan yang melibatkan usaha individu.

3. Kurangnya persiapan untuk menghadapi masa puber. Anak puber tidak diberitahu atau secara psikologis tidak dipersiapkan tentang perubahan fisik dan psikologis yang terjadi pada masa puber, pengalaman akan perubahan itu dapat merupakan pengalaman traumatis.

4. Menerima tubuh yang berubah. Salah satu tugas perkembangan masa puber yang penting adalah menerima kenyataan bahwa tubuhnya mengalami perubahan. Hanya sedikit anak puber yang mampu menerima kenyataan ini, sehingga mereka tidak puas dengan penampilannya. 5. Menerima peran seks yang diharapkan. Menerima peran seks pada anak

puber yang diharapkan mendekati peran seks orang dewasa merupakan tugas perkembangan utama pada tingkat usia ini. Terjadinya kematangan seksual atau waktu yang diperlukan untuk pematangan.

6. Penyimpangan dalam pematangan sosial. Salah satu bahaya psikologis selama masa puber yang paling serius adalah penyimpangan dalam usia terjadinya kematangan seksual atau waktu yang diperlukan untuk pematangan.

7. Anak yang matang lebih awal. Anak yang matang terlalu dini dapat menunjukkan kesulitan pribadi. Kesulitan ini timbul karena anak matang lebih awal yang kelihatannya lebih tua dari usianya, biasanya diharapkan bertindak sesuai dengan penampilannya dan bukan dengan usianya


(41)

Jajanan sebagai Sumber Pangan Hewani

Anak dan remaja merupakan individu yang tidak jauh dari konsumsi pangan jajanan. Pangan jajanan dapat dengan mudah diperoleh dan ditemui di pasar, terminal bis, pinggir-pinggir jalan, baik yang telah menempati kios-kios maupun yang masih menggunakan gerobak dan berpindah tempat. Para penjaja makanan jajanan akan cenderung banyak berkumpul di dekat pasar. jalur perdagangan, halaman kantor atau halaman sekolah (Sibarani 1985).

Menurut Murphy et al. (2003), jajanan (snacks) dapat memberikan 20 persen kebutuhan energi pada anak. Jajanan sekolah yang mengandung pangan sumber hewani dapat meningkatkan kualitas asupan pangan untuk anak-anak di wilayah pedesaan Kenya. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa pangan hewani yang terdapat pada makanan jajanan sekolah (school snacks) memiliki kontribusi dalam memenuhi kebutuhan gizi anak dan remaja.

Makanan jajanan yang banyak dijajakan mengandung sumber tenaga dan protein. Kecenderungan harga yang ditawarkan makanan jajanan tersebut relatif murah. Meskipun murah, keamanan pangan dan sanitasi makanan jajanan masih sangat diragukan. Risiko kontaminasi zat-zat berbahaya dan mikroorganisme pada pangan tersebut sangat tinggi.

Karakteristik Siswi Uang Saku

Orang tua cenderung akan memberikan uang saku untuk anaknya. Kesibukan yang dialami oleh orang tua untuk memenuhi kebutuhan hidup, maka kebiasaan yang timbul adalah orang tua kurang memperhatikan asupan gizi anaknya, misalnya anak-anak tidak dibiasakan untuk sarapan pagi, anak hanya diberi uang saku untuk membeli makanan di sekolah, membiasakan makanan yang dijual di warung, sementara keseimbangan gizi dan kebersihannya kurang diperhatikan (Muasyaroh 2006). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widjayanti (1989) dalam Mardayanti (2008) tentang alokasi uang saku pada siswa sekolah di Bogor menyimpulkan bahwa semakin besar pendapatan keluarga maka semakin besar uang saku yang diterima oleh anak.

Preferensi Pangan

Preferensi pangan (food preference) merupakan faktor yang sangat penting sebagai penentu utama konsumsi pangan terutama yang terjadi pada


(42)

anak usia sekolah (Birch 2000). Penentu konsumsi pangan ini berbeda dengan penentu konsumsi pada orang dewasa. Umumnya orang dewasa akan mempertimbangkan harga, nilai gizi, dan atau kemudahan dalam menyiapkan makanan setiap kali melakukan kebiasaan konsumsi pangan. Anak-anak mulai dari anak sekolah dasar sampai pada remaja akhir akan mengkonsumsi makanan yang disukai dan jika tidak suka akan meninggalkannya dan bersisa (Fisher & Birch 1999).

Menurut Birch (2000), pengalaman awal anak dengan makanan berlaku sebagai kesempatan belajar yang penting dalam pembentukan preferensi anak terhadap pangan sekaligus pengontrolan konsumsi pangan. Orang tua membentuk lingkungan makan anak dari bayi, bahkan semenjak dalam kandungan. Sewaktu anak mulai mendapatkan makanan padat, orang tua mempunyai kesempatan untuk membentuk lingkungan makan bagi anak melalui pemberiaan makanan tertentu dan bukan yang lain serta melalui konteks sosial yang terjadi pada waktu anak makan.

Status Gizi Siswi

Status gizi siswi dihitung menurut TB/U dan IMT/U. IMT/U direkomendasikan sebagai indikator terbaik yang dapat digunakan pada remaja (WHO 2008). Berikut ini merupakan pengelompokkan indeks antropometri menurut TB/U dan IMT/Uberdasarkan WHO (2008).

Tabel 7 Indeks antropometri menurut TB/U dan IMT/U Indeks Antropometri Klasifikasi berdasarkan Z-score

TB/U

1. Sangat tinggi (kelainan endokrin) : >3

2. Normal : -2 s/d 3

3. Pendek : -3 s/d <-2

4. Sangat pendek : <-3

IMT/U

1. Obese : >3

2. Overweight : >2 s/d 3

3. Risiko overweight : >1 s/d 2

4. Normal : -2 s/d 1

5. Kurus : -3 s/d <-2

6. Sangat kurus : <-3

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang, sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang dalam memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi (Harper et al 1985). Terjadinya perubahan sikap dan perilaku gizi dilandaskan kepada pengetahuan


(1)

B. KARAKTERISTIK KELUARGA (KK)

B1 Umur Ayah

[1]< 35 tahun [2] 35-39 tahun [3] 40-44 tahun [3] 45-49 tahun [4] 50-54 tahun [5] 55-59 tahun [6] ≥ 60 tahun

B2 Umur Ibu

[1]< 30 tahun [2] 30-34 tahun [3] 35-39 tahun [3] 40-44 tahun [4] 45-49 tahun [5] 50-54 tahun [6] ≥ 55 tahun B3 Pendidikan Terakhir Ayah:

[1] SD/sederajat [2] SMP/sederajat [3] SMA/sederajat [4] Diploma/Akademi [5] Sarjana

[6] Pasca Sarjana (...)

B4 Pendidikan Terakhir ibu:

[1] SD/sederajat [2] SMP/sederajat [3] SMA/sederajat [4] Diploma/Akademi [5] Sarjana

[6] Pasca Sarjana (...)

B5 Pekerjaan Ayah:

[1] PNS

[2] Pegawai Swasta [3] BUMN

[4] TNI/Polri [5] Berwiraswasta

[6] Lainnya (...)

B6 Pekerjaan Ibu:

[1] PNS

[2] Pegawai Swasta [3] BUMN

[4] TNI/Polri [5] Berwiraswasta [6] ibu Rumah Tangga

[7] Lainnya (...)

B7

Kendaraan pribadi dan alat elektronik yang dimiliki: (Jawaban boleh lebih dari satu)

[1] Mobil, banyaknya... [2] Motor, banyaknya... [3] TV, banyaknya... [4]DVD, banyaknya... [5]Lemari Es, banyaknya... [6]AC, banyaknya... [7]Radio/kaset, banyaknya... [8]Komputer, banyaknya... [9]Laptop, banyaknya... [10]Kamera Digital, banyaknya... [11]Handphone, banyaknya... [12] Microwave, banyaknya...


(2)

B. KARAKTERISTIK KELUARGA (KK) B8 Berapa jumlah anggota keluarga

yang tinggal bersama anak?

[1] ≤ 3 orang [2] 4-5 orang [3] > 5 orang


(3)

Lampiran 3 Konsumsi ikan menurut provinsi di Indonesia tahun 2008

No Provinsi Jumlah Konsumsi Ikan (kg/kapita/tahun)

1 Nanggroe Aceh Darussalam 39.0

2 Sumatera Utara 32.0

3 Sumatera Barat 25.0

4 Riau 28.0

5 Jambi 26.0

6 Sumatera Selatan 21.0

7 Bengkulu 19.8

8 Lampung 19.8

9 Kep. Bangka Belitung 38.0

10 Kepulauan Riau 40.0

11 DKI Jakarta 18.0

12 Jawa Barat 17.0

13 Jawa Tengah 11.0

14 DI Yogyakarta 8.0

15 Jawa Timur 18.0

16 Banten 20.0

17 Bali 20.9

18 Nusa Tenggara Barat 18.0

19 Nusa Tenggara Timur 18.0

20 Kalimantan Barat 20.0

21 Kalimantan Tengah 38.0

22 Kalimantan Selatan 38.5

23 Kalimantan Timur 31.0

24 Sulawesi Utara 38.0

25 Sulawesi Tengah 34.0

26 Sulawesi Selatan 40.0

27 Sulawesi Tenggara 39.0

28 Gorontalo 39.8

29 Sulawesi Barat 32.0

30 Maluku 50.0

31 Maluku Utara 48.0

32 Papua Barat 25.0

33 Papua 38.0


(4)

Lampiran 4 Konsumsi hasil ternak (kg/kapita/tahun) produk peternakan tahun 2007-2008

Komoditi Tahun

2007 2008

I. DAGING 8.37 7.75

A. Daging Segar 8.37 4.52

1. Sapi 0.42 0.36

2. Kerbau 0.05 -

3. Kuda - -

4. Kambing 0.26 0.05

5. Babi 3.43 0.21

6. Ayam (ras dan kampung) 4.11 3.80

7. Unggas lainnya 0.05 0.05

8. Daging lainnya 0.05 0.05

B. Daging diawetkan 0.21 0.19

1. Dendeng 0.00 0.01

2. Daging asap 0.00 0.02

3. Abon 0.21 0.16

4. Lainnya 0.00 0.00

C. Lainnya 0.36 0.21

1. Hati 0.10 0.05

2. Jeroan selain hati 0.05 0.05

3. Tetelan 0.10 0.05

4. Tulang 0.05 0.05

5. Lainnya 0.05 0.00

II. TELUR 20.64 17.42

1. Telur ayam ras 6.08 5.77

2. Telur ayam buras 5.10 4.16

3. Telur itik 3.02 3.12

4. Telur puyuh 4.58 2.81

5. Lainnya 0.05 0.10

6. Telur asin 1.82 1.46

III. SUSU 7.12 6.92

1. Susu segar 0.21 0.21

2. Susu cair pabrik 0.88 0.99

3. Susu kental manis 3.54 3.17

4. Susu bubuk 0.88 0.78

5. Susu bubuk bayi 1.20 1.30

6. Keju 0.10 0.10

7. Hasil lain dari susu 0.31 0.36

Sumber: Badan Pusat Statistik (Susenas 2007 dan 2008) / BPS- Statistic Indonesia

(2010b)

Keterangan: Konversi

16 butir telur ayam ras/itik/lainnnya/asin = 1 kg 25 butir ayam buras = 1 kg

125 butir telur burung puyuh = 1 kg

Susu kental manis/Keju/Hasil lainnya dari susu = 1 kali susu segar Susu bubuk/susu bubuk bayi = 11 kali susu segar


(5)

Lampiran 5 Rata-rata konsumsi protein hewani (g/kapita/hari) menurut provinsi tahun 2009

No Provinsi Komoditi Ikan Daging Telur dan Susu

1 NAD 13.9 1.5 3.1

2 Sumut 13.3 1.7 3.4

3 Sumbar 8.8 2.6 3.2

4 Riau 10.9 2.9 4.7

5 Jambi 10.1 3.2 3.4

6 Sumsel 8.1 2.5 3.8

7 Bengkulu 7.4 2.1 2.6

8 Lampung 7.7 2.0 2.9

9 Kep. Bangka Belitung

13.0 3.5 3.8

10 Kep. Riau 14.8 2.9 4.9

11 DKI Jakarta 6.3 4.6 5.2

12 Jabar 6.2 2.9 3.2

13 Jateng 4.1 2.0 2.5

14 DI Yogyakarta 1.9 2.2 3.0

15 Jatim 6.2 2.0 2.5

16 Banten 8.1 3.4 3.8

17 Bali 7.5 4.7 3.9

18 NTB 6.3 1.7 1.8

19 NTT 6.6 1.8 1.4

20 Kalbar 10.6 3.3 2.8

21 Kalteng 12.6 3.8 3.7

22 Kalsel 12.2 2.1 3.2

23 Kaltim 11.7 2.8 5.1

24 Sulut 12.2 1.6 2.3

25 Sulteng 12.1 1.1 2.1

26 Sulsel 15.1 1.2 2.9

27 Sultengara 14.3 0.7 1.7

28 Gorontalo 13.8 0.8 1.1

29 Sulbar 13 0.7 1.4

30 Maluku 17.7 1.1 1.8

31 Maluku Utara 16.6 0.8 1.4

32 Papua Barat 12.0 2.9 2.3

33 Papua 8.8 3.8 2.7

INDONESIA 7.9 2.4 3.0


(6)

Lampiran 6

Dokumentasi Pengambilan Data

Foto 1 SDIT Ummul Quro’ Bogor Foto 2 SDN Pengadilan 5 Bogor

Foto 3 SD Bina Insani Bogor Foto 4 SDN Polisi 4 Bogor

Foto 5 Wawancara dengan responden Foto 6 Pengukuran tinggi badan