Strategi Manajemen Lahan Pasca-Tambang Untuk Praktik Agroforestri di PT. Arutmin Indonesia Kalimantan Selatan

Post-mining Landscape Evaluation For Agroforestry Practice
in PT. Arutmin Indonesia South kalimantan
(Muhammad Imanullah/A44070023, mentored by
Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS)

Abstract
Coal mining practice that carried out by PT. Arutmin Indonesia, Satui mine,
especially Pit Antasena, has already entered the stage of mine closure. One of the
company's responsibility is to restore the mined land, to its original state, or be
able to be re-used by the community in that particular place. Agroforestry is a
favored type of land use wich is supported by the stakeholders, in this case the
community in the area, government, and PT. Arutmin Indonesia itself. Apart from
providing community’s economical benefits, agroforestry can also preserve the
environment. Therefore, the strategy of sustainable management of post-mining
landscape is needed to achieve this goal.The objective of research is to arrange
the landscape management plan of post-mining landscapeaccording to landscape
characteristic evaluation and suitability, designation for agroforestry practice.
This research used Land evaluation method, according to FAO (1983), to have
land suitability an agroforestri purpose. Morphoedaphic index method was used
for assessing the productivity of waters, Socio-economic analyze method was used
for discovering the extent to which the company’s commitment regarding mine

closure practice,and SWOT analyze method forplanning the scenario of landscape
management strategies. Based on the research results, it’s found the limiting
factor of this land is lowly pH level. Company’s commitment regarding mine
closure practice is high. The landscape management strategies based on SWOT
analyses are to define the practice zone; to handle PETI; to increase land pH
level; to optimal the land restoration practice; to educate the community; to
increase the environmental either in restoration practice supervision, or against
the PETI.

 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Penambangan batubara sangat erat kaitannya dengan isu perusakan
lingkungan. PT. Arutmin Indonesia menerapkan metode penambangan terbuka
(open pit mining) dalam usahanya untuk mengekstrak batubara. Menurut
Mulyanto (2008) metode ini menimbulkan dampak terhadap perubahan lanskap
dan kondisi makhluk hidup yang terdapat di sekitar kawasan pertambangan.

Perubahan lanskap ini meliputi perubahan topografi, pola hidrologi, kerusakan
tubuh tanah, perubahan vegetasi penutup permukaan tanah, yang pada akhirnya
merubah ekosistem tempat dilakukan penambangan terbuka. Berubahnya
ekosistem ini menyebabkan kualitas lingkungan menurun, baik dari segi estetika
maupun fungsinya. Salah satu upaya dalam memperbaiki kondisi lingkungan pada
area pertambangan adalah dengan kegiatan reklamasi. Kegiatan reklamasi
meliputi dua tahapan, pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan
yang terganggu ekologinya, dan mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah
diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya.
Kegiatan pertambangan batubara yang dilakukan PT. Arutmin Indonesia,
Pit Antasena, yang dijadikan wilayah studi, sudah selesai dan berada pada tahap
reklamasi. Dalam mempersiapkan lahan untuk pemanfaatan kembali, PT. Arutmin
Indonesia merencanakan kawasan untuk dikembangkan menjadi kawasan praktik
agroforestri. Sejatinya, praktik agroforestri dari hulu hingga ke hilir dapat
berbentuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang selain memiliki peran dalam
produksi kebutuhan sandang, papan dan pangan (ekonomi), juga secara ekologis
dikelola untuk bisa berperan dalam jasa ekosistem yang meliputi konservasi
keragaman jenis hayati, manajemen sumber daya air, penurunan karbon di udara,
serta menjaga keindahan lanskap (Arifin et al., 2009). Konsep agroforestri ini
sangat cocok dengan visi PT Arutmin Indonesia yang berwawasan lingkungan dan

berkomitmen terhadap pengembangan masyarakat. Tentu saja keberhasilan dari
rencana ini tidak lepas dari keterlibatan para pemangku kepentingan


 
 

(stakeholders) yaitu, tidak hanya perusahaan, tetapi juga masyarakat sekitar dan
pemerintah.
Lahan pasca-tambang perlu dievaluasi terlebih dahulu untuk mengetahui
kesesuaian lahannya bagi praktik agroforestri. Evaluasi lahan adalah penilaian
terhadap rona lanskap untuk tujuan tertentu (FAO, 1983). Evaluasi ini dilakukan
dengan melakukan penilaian kesesuaian lahan pasca-tambang dengan tujuan
pengaplikasian praktik agrofoerstri. Hasil evaluasi lahan ini kemudian dianalisis
menggunakan analisis SWOT yang dielaborasi dengan analisis sosial-ekonomi,
untuk mendapatkan strategi pengelolaan yang berkelanjutan.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah menyusun strategi pengelolaan lanskap pascatambang berdasarkan evaluasi karakteristik lanskap dan kesesuaiannya, bagi
peruntukan praktik agroforestri.
1.3 Manfaat

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pihak
perusahaan mengenai kegiatan pengelolaan lanskap yang berkelanjutan di area
pasca-tambang.
1.4 Kerangka Pikir
Strategi pengelolaan

lanskap dinilai perlu sebagai usaha untuk

mengembangkan kegiatan praktik agroforestri di lahan reklamasi. Kawasan
tambang dinyatakan ditutup ketika kandungan batubara pada sebuah kawasan
dinilai habis atau tidak dapat memberikan keuntungan ekonomi lagi dari kegiatan
pertambangannya. Kawasan inilah yang disebut kawasan pasca-tambang yang
kemudian direklamasi. Kawasan reklamasi dipengaruhi oleh aspek ekologi, sosial
budaya, dan ekonomi. Dari ketiga aspek ini kemudian akan dievaluasi
kesesuaiannya sesuai dengan usulan tipe penggunaan lahan (promotted utilization
type) sebagai praktik agroforestri. Evaluasi kesesuaian lahan dan Analisis sosialekonomi dilakukan untuk mendapatkan kelas kesesuaian lahan bagi komoditas
agroforestri, dan kondisi rona lanskap dari kawasan penelitian. Analisis SWOT
digunakan untuk merumuskan strategi manajemen pasca-tambang untuk praktik
agroforestri (Gambar 1).



 
 

Kegiatan Penambangan Batubara

Reklamasi Kawasan Pasca-tambang

Aspek Ekologi:
- Karakteristik lahan
- Tingkat degradasi

Aspek Ekonomi
- Komitmen owner

Aspek Sosial dan Budaya:
- Demografi
- Pengetahuan masyarakat
- Preferensi sosial


Promotted Land Utilization
Types (agroforestry)
Evaluasi Lahan

Analisis Sosial Ekonomi 

Kelas Kesesuaian Lahan (FAO, 1983)

Kesesuaian Lahan
untuk Agroforestri

Informasi Rona Lanskap

Analisis SWOT

Strategi Manajemen Lanskap Pasca-tambang Untuk Agroforestri
Berupa: kebijakan dan rencana lanskap

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian


 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penambangan Batu Bara
Kegiatan penambangan merupakan proses ekstraksi bahan mineral yang
bernilai ekonomis dari lapisan bumi demi memenuhi kebutuhan manusia
(Gregory, 1983 disitasi oleh Burley, 2001). Proses penambangan merupakan salah
satu mata rantai dari kegiatan penambangan yang berfungsi untuk menyediakan
bahan baku. Agar penyediaan bahan baku tersebut dapat terjamin maka kegiatan
penambangan harus ditangani secara baik dan sistematis.
Bapedal (2001) mengemukakan bahwa kegiatan pertambangan pada
umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan sebagai berikut:
1. eksplorasi
2. pembangunan infrastruktur, jalan akses dan sumber energi
3. pembangunan kamp kerja dan kawasan pemukiman
4. ekstraksi dan pembuangan limbah batuan
5. pengolahan bijih dan operasional
6. penampungan tailing, pengolahan dan pembuangannya
Menurut Arnold (2001) klasifikasi letak deposit mineral batubara dapat

dibagi menjadi dua, yaitu pertama, letak deposit batubara jauh dibawah
permukaan tanah, sehingga cara penambangannya biasa dikenal dengan subsurface mining atau deep mining, atau biasa disebut pertambangan dalam. Kedua,
letak deposit mineral batubara yang tidak jauh dari permukaan tanah antara 5 s/d
25 meter dibawah permukaan tanah. Untuk mendapatkan mineral ini biasa
didikenal dengan pertambangan permukaan (surface mining).
Sistem penambangan batubara di Indonesia kshususnya di Pulau
Kalimantan tidak dilakukan dengan cara deep mining, melainkan surface mining.
Kegiatan penambangan batubara dengan metode ini meliputi:
1. pembukaan lahan
2. pengupasan dan penimbunan tanah tertutup
3. pengambilan dan pengangkatan batubara serta pengecilan ukuran tanpa
proses pencucian batubara (Setyawan, 2004 disitasi oleh Feriansyah, 2009)


 
 

2.2 Lanskap Pasca-Tambang Batubara
Kondisi lanskap pasca-tambang batubara selalu terkait dengan bagaimana
cara mineral tersebut ditambang, hal tersebut tergantung letak deposit batubara

yang tersedia dari permukaan tanah. Pengeksploitasian deposit mineral batubara
yang dilakukan PT. Arutmin Indonesia ialah penambangan secara terbuka (open
pit mining). Kegiatan ini dapat mengakibatkan gangguan seperti berikut:
1. menimbulkan lubang besar pada tanah
2. penurunan muka tanah atau bentuk cadangan pada sisa bahan galian yang
dikembalikan ke dalam lubang galian.
3. penanaman kembali vegetasi pada galian tambang yang ditutupi kembali
atau yang ditelantarkan. Penambangan yang dibiarkan terlantar akan
mengakibatkan permasalahan.
4. bahan

galian

tambang

apabila

ditumpuk

atau


disimpan

dapat

mengakibatkan bahaya longsor, dan senyawa beracun dapat tercuci ke
daerah hilir.
5. mengganggu proses penanaman kembali vegetasi pada galian tambang
yang ditutup kembali atau yang ditelantarkan terutama bila terdapat bahan
beracun, kurang bahan organikk/humus atau unsur hara telah tercuci.
2.3 Pengelolaan Lanskap Berkelanjutan
Pengelolaan lanskap merupakan upaya dalam penataan, pemanfaatan,
pemeliharaan , pengawasan, pengendalian, dan pengembangan lingkungan hidup
suatu kawasan. Urgensi kegiatan pengelolaan lanskap adalah untuk menjaga
keadaan suatu lanskap beserta infrastruktur yang ada di dalamnya, agar tetap
sesuai dengan yang direncanakan. Pengelolaan berlangsung dengan membuat
program pengelolaan yang terstruktur dan terorganisasi. Program yang terstruktur
dan terorganisasi bertujuan agar lanskap tersusun secara sistematis dan mudah
dikelola. Program perencanaan perlu mempertimbangkan aspek fisik, sosial,
budaya, ekologi, dan ekonomi.


Program pengelolaan biasa disebut dengan

rencana pengelolaan (management plan).


 
 

Manajemen suatu tapak mempunyai beberapa prinsip yang harus dimiliki
pengelola. Sternloff dan Warren (1984) mengemukakan bahwa ada dua belas
prinsip sebagai petunjuk dasar untuk mewujudkan program pengelolaan. Yaitu:
a. menetapkan tujuan dan standar pemeliharaan
b. pemeliharaan harus berdasarkan penggunaan waktu, tenaga, alat,
dan bahan secara ekonomis
c. pelaksanaan pemeliharaan berdasarkan perencanaan pemeliharaan
tertulis
d. jadwal pekerja pemeliharaan harus berdasarkan pada pertimbangan
prioritas dan kebijakan
e. seluruh bagian pemeliharaan hendaknya menekankan pada
pemeliharaan pencegahan (preventive maintenance)
f. divisi pemeliharaan harus dikelola dengan baik
g. adanya sumberdaya dana yang cukup untuk mendukung program
pemeliharaan
h. adanya sumberdaya tenaga kerja yang cukup untuk melaksanakan
fungsi pemeliharaan
i. adanya tanggung jawab terhadap keamanan pegawai serta
masyarakat
j. program

pengelolaan

harus

dirancang

untuk

memelihara

lingkungan alami
k. pemeliharaan

harus

menjadi

pertimbangan

utama

dalam

perancangan dan pembangunan taman dan fasilitasnya
l. pegawai bagian pemeliharaan bertanggung jawab bagi pencitraan
masyarakat terhadap dinas pertamanan
Dalam hubungannya dengan pertambangan, kegiatan pengelolaan lanskap
ini memiliki fungsi penting dalam mengembalikan kondisi lahan pasca-tambang.
Kegiatan pasca-tambang adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut
setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk
memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di
seluruh wilayah penambangan (UU RI No 4 Tahun 2009).


 
 

2.4 Lanskap Agroforestri
Lanskap agroforestri (agroforestry landscape) merupakan objek bentang
alam yang dalam penggunaannya dimanfaatkan untuk kegiatan yang berpola
agroforestri (Arifin et al., 2009). Secara sederhana, agroforestri berarti menanam
pepohonan di lahan pertanian, dan harus diingat bahwa petani atau masyarakat
adalah elemen pokoknya (subyek). Dengan demikian kajian agroforestri tidak
hanya terfokus pada masalah teknik dan biofisik saja tetapi juga masalah sosial,
ekonomi dan budaya yang selalu berubah dari waktu ke waktu, sehingga
agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis.
Pengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek sesuai
dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian agroforestri yang paling
umum, tetapi juga sekaligus yang paling mendasar adalah ditinjau dari komponen
yang menyusunnya. Pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam
menganalisis setiap bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan
secara lebih mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi
masyarakat atau para pemilik lahan. Komponen penyusun utama agroforestri
adalah komponen kehutanan, pertanian, dan/atau peternakan. Menurut Sardjono
et al., (2003) Ditinjau dari komponen penyusunnya, agroforestri dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Agrosilvikultur
Agrosilvikultur adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan
komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/ woody plants) dengan komponen
pertanian (atau

tanaman non-kayu).

Tanaman berkayu dimaksudkan yang

berdaur panjang (tree crops/ perenial) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman
semusim (annual crops). Dalam agrosilvikultur, ditanam pohon serbaguna atau
pohon dalam rangka fungsi lindung pada lahan.
b. Silvopastura
Sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman
berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture) disebut
sebagai sistem silvopastura. Beberapa contoh silvopastura, antara lain: Pohon
atau perdu pada padang penggembalaan (Trees and shrubs on pastures), atau
produksi terpadu antara ternak dan produk kayu (integrated production of animals


 
 

and wood products). Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak
dijumpai pada ruang dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan
ternak di bawah tegakan pinus). Meskipun demikian, banyak pegiat agroforestri
tetap mengelompokkannya dalam silvopastura, karena interaksi aspek konservasi
dan ekonomi bersifat nyata dan terdapat komponen berkayu pada manajemen
lahan yang sama.
c. Agrosilvopastura
Agrosilvopastura adalah pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan)
dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit
manajemen lahan yang sama. Tegakan hutan alam bukan merupakan sistem
agrosilvopastura, walaupun ketiga komponen pendukungnya juga bisa dijumpai
dalam ekosistem dimaksud. Pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan
secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya
komponen berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat. Tidak tertutup
kemungkinan bahwa kombinasi dimaksud juga didukung oleh permudaan alam
dan satwa liar. Interaksi komponen agroforestri secara alami ini mudah
diidentifikasi. Interaksi paling sederhana sebagai contoh, adalah peranan tegakan
bagi penyediaan pakan satwa liar, dan sebaliknya fungsi satwa liar bagi proses
penyerbukan atau regenerasi tegakan, serta sumber protein hewani bagi petani
pemilik lahan.

 

BAB III
METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian ini dilakukan di PT Arutmin Indonesia Tambang Satui.
Secara georafis, lokasi tambang ini terletak di Kecamatan Satui Provinsi
Kalimantan Selatan (Gambar 2). Secara astronomis areal kawasan Tambang Satui
terletak pada 03o36’1” – 03 o48’35” LS dan 115 o7’39” – 115 o28’25” BT.
Kegiatan penelitian lapang dilakukan selama empat bulan, dimulai pada Februari
2011 sampai dengan Mei 2011.

Sumber: http://www.Google.com (2011)

Gambar 2. Peta orientasi daerah Satui, Kabupaten Tanah bumbu, Kalimantan
Selatan
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang dibutuhkan pada saat pengambilan data yaitu kamera digital,
Relevee sheet, dan kuisioner wawancara. Pengolahan data atau gambar secara
komputerisasi, menggunakan software Auto Cad, Arc View GIS 3.3, Sketch Up,
serta Adobe Photoshop. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data
aspek ekologis, sosial budaya, dan ekonomi, referensi berupa laporan terdahulu
yang terdapat di tempat penelitian, serta dokumen perusahaan yang bersifat
menunjang kegiatan penelitian seperti, dokumen AMDAL, dan laporan

10 
 
 

pemantauan lingkungan. Data yang digunakan pada penelitian ini sebagian besar
sudah disediakan oleh perusahaan.
3.3 Metode
Penelitian dilakukan untuk memperoleh hasil berupa strategi manajemen
lahan pasca-tambang berdasarkan evaluasi karakteristik lahan kawasan, untuk
pemanfaatan kegiatan agroforestri. Proses Penelitian yang dilakukan meliputi
evaluasi lahan, analisis sosial-ekonomi, sampai penyusunan strategi manajemen
pasca-tambang.
3.3.1

Evaluasi lahan
Metode evaluasi lahan yang digunakan mengacu pada FAO (1983).

Metode ini digunakan untuk memilih tata guna lahan yang optimal bagi satuan
lahan yang telah ditentukan, dengan mempertimbangkan aspek fisik dan sosialekonomi, juga juga aspek lingkungan atau bio-fisik dari suatu lahan (FAO, 1983).
Kegiatan evaluasi lahan terdiri atas dua hal penting yaitu, penjelasan atas tata
guna lahan terkait atau tipe pemanfaatan lahan (land utilization type), dan
penilaian atas syarat-syarat tata guna lahan tersebut. Tahapan dari evaluasi ini
meliputi, peninjauan rona lanskap, penentuan tipe pemanfaatan lahan, pemetaan
unit lahan (land unit mapping), pengklasifikasian kelas kesesuaian (class
suitability).
3.3.1.1 Penentuan Tipe Pemanfaatan Lahan
Tipe pemanfaatan lahan (land utilization type) merupakan penjelasan
secara rinci atas tata guna lahan, berdasarkan spesifikasi teknis dari keadaan aspek
fisik, dan sosial ekonomi, seperti komponen penyusun yang digunakan, dan
interaksinya dengan masyarakat (FAO, 1983). Pada skala tertentu jenis tanaman
dapat dianggap sebagai tipe pemanfaatan lahan dengan menyediakan pernyataan
kepentingan akan keadaan ekonomi-sosial pada kawasan tersebut. Tipe
pemanfaatan lahan harus ditentukan diawal kegiatan evaluasi dikarenakan
penilaian syarat tata guna lahan mengacu pada hal tersebut.
3.3.1.2 Peninjauan Rona Lanskap
Kondisi rona lanskap meliputi kondisi umum, dan biofisik kawasan (Tabel
1). Peninjauan kondisi rona lanskap menggunakan formulir survei Relevee Sheet.

11 
 
 

Kata Relevee, berasal dari bahasa perancis yang dapat diartikan sebagai daftar,
pernyataan atau rekapitulasi. Dalam penggunaanya, relevee sheet terdiri atas
daftar tanaman beserta informasi kondisi lingkungan yang mendukungnya
(Minnesota Department of Natural Resources, 2007). Oleh karena itu, dengan
formulir survei ini, akan didapatkan data fisik dan biofisik dari kawasan tersebut.
Selain itu, studi literatur juga dilakukan dengan menggunakan dokumen AMDAL
tahun 2009 yang dibuat pihak perusahaan setelah penambangan pada kawasan ini
selesai. Data juga didapatkan dari hasil penilitian baik mahasiswa maupun pihak
professional yang pernah melakukan penelitian pada kawasan pertambangan PT
Arutmin Indonesia.
Tabel 1. Data Penelitian Terkait
No.

Jenis Data

1

Kondisi Umum

2

Kondisi
biofisik dan
fisik

Indikator
Pengamatan
Letak dan
batas wilayah

Demografi

4

Preferensi
sosial

5

Mata
pencaharian
penduduk

Sumber

Rona Lanskap (ekologi)
koordinat
Pihak pengelola

Luas area
Vegetasi

ha
spesies

Pihak pengelola
Observasi/ Pihak
pengelola

Satwa

spesies

Topografi

-

Curah hujan
Temperatur
Kelembaban
relatif
Tanah

mm/ bulan
0
C
% RH

Observasi/ Pihak
pengelola
Observasi/ Pihak
pengelola
Pihak pengelola
Pihak pengelola
Pihak pengelola

Hidrologi

3

Unit

Jumlah
pemukim,
Pekerjaan
Presepsi dari
masyarakat,
pemerintah,
dan perusahaan
Jenis mata
pencaharian
penduduk

Kualitas
air

Observasi/ Pihak
pengelola
Observasi/ Pihak
pengelola

Aspek Sosial-budaya
orang
Wawancara/
Observasi Pihak
pengelola
Wawancara/
Observasi pihak
pengelola
Aspek Ekonomi
Wawancara
Pihak pengelola

Analisis

Kegunaan

Deskriptif

Mengetahui
kesesuaian
lahan

Evaluasi
kesesuaian
lahan

Mengetahui
kesesuaian
lahan

Morphoedaphic
index
Analisis
deskriptif
Analisis
deskriptif

Analisis
deskriptif

Mengetahui
komitmen
perusahaan
Mengetahui
komitmen
perusahaan

Mengetahui
komitmen
perusahaan

12 

 
 

3.3.1.3 Pemetaan Satuan Lahan
Menurut FAO (1983) satuan lahan (land unit) adalah area atau lahan yang
memliki karakteristik dan kualitas lahan spesifik yang biasa disajikan dengan
pemetaan, yang digunakan sebagai dasar dari evaluasi lahan (Gambar 3).
Karakteristik lahan (land characteristic) mencakup faktor-faktor lahan yang dapat
diukur atau ditaksir besarnya seperti lereng, curah hujan, tekstur tanah, air tersedia
dan sebagainya. Sedangkan, Kualitas lahan (land quality) adalah sifat-sifat lahan
yang tidak dapat diukur langsung karena merupakan interaksi dari beberapa
karakterisitik lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan
untuk penggunaan-penggunaan tertentu (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).






5

Gambar 3. Ilustrasi Pemetaan Unit Lahan
Dalam memetakan satuan lahan ini, masing-masing dari tiap kelompok
lahan memiliki karakteristik serta kualitas lahan yang seragam. Pengelompokan
haruslah sesuai untuk penggunaan lahan yang ditentukan. Unit lahan yang sudah
ditentukan, pada akhir survei, akan ditinjau ulang dan dicocokan dengan tipe
penggunaan lahan (kesesuaian lahan). Dengan peninjauan ulang ini akan
didapatkan hasil yang lebih akurat.
3.3.1.4 Pengklasifikasian Kesesuain
a. Pengklasifikasian Kelas Kesesuaian Lahan
Pengklasifikasian kelas kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan
berdasarkan keseuaiannya atau kemampuannya untuk tujuan penggunaan tertentu.
Metode yang digunakan masih mengacu pada kerangka klasifikasi menurut FAO
(1983). Secara ringkas, metode FAO membagi kesesuain lahan dengan
menyesuaikan kualitas lahan yang telah dievaluasi dengan komoditas (tipe

13 
 
 

pemanfaatan lahan), dengan membaginya berdasarkan kelas – kelas. Adapun
pembagian kelas tersebut secara kualitatif, sebagai berikut:
1. Kelas S1: Sangat sesuai. Lahan tidak mempunyai pembatas yang besar
untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas
yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan
menaikan masukan yang telah biasa diberikan
2. Kelas S2: Cukup sesuai. Lahan memiliki pembatas yang cukup besar
untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan.
Pembatas akan mengurangi produk atau kuntungan dan meningkatkan
masukan yang diperlukan
3. Kelas S3: Kurang sesuai. Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang
besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan

yang harus

ditetapkan.pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau
lebih meningkatkan masukan yang diperlukan.
4. Kelas N1: tidak sesuai pada saat ini. Lahan mempunyai pembatas yang
lebih besar, masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat diatasi
dengan tingkat pengelolaan dengan modal normal. Keadaan pembatas
sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang
lestari dalam jangka panjang.
5. Kelas N2: Tidak sesuai untuk selamanya. Lahan mmpunyai pembatas
permanen yang mencegah segala kemungkinan pengunaan lahan yang
lestari dalam jangka panjang.
Dengan melakukan analisis kesesuaian lahan, maka didapatkan kelas
kesesuaian lahannya. Kelas kesesuaian lahan menunjukan keadaan lahan pada saat
ini yang belum mempertimbangkan usaha perbaikan dan pengelolaan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi faktor – faktor pembatas yang ada.
b. Morphoedaphic Index (MEI)
Metode ini merupakan salah satu metode yang efisien untuk menilai
produktivitas perairan. Dengan melihat produktifitas perairan, maka kita dapat
mengasumsikan apakah perairan ini cocok atau tidak untuk perikanan (Santoso,
2008). MEI didapatkan dengan menghitung ratio antara padatan terlarut total
(Total Dissolved Solid/ TDS) dengan nilai tengah dari kedalaman perairan.

14 
 
 

Semakin tinggi nilai MEI maka perairan akan semakin berkurang tingkat
produktivitasnya.

Keterangan:
MEI
Total Dissolved Solids
Mean depth











: Nilai Morphoedaphic Indeks
: Padatan terlarut total
: Rata-rata kedalaman

Kemudian dari nilai padatan tersuspensi total (Total Suspended solid/ TSS)
dapat diklasifikasikan sebuah perairan atau danau

baik atau tidaknya untuk

kegiatan perikanan. Tabel kesesuaian untuk perikanan berdasarkan nilai TSS
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kesesuaian untuk perikanan berdasarkan nilai TSS
Nilai TSS (mg/l)

Pengaruh Terhadap Kepentingan Perikanan

< 25
25 - 80
81 - 400
> 400

Tidak berpengaruh
Sedikit berpengaruh
Kurang baik
Tidak baik

Sumber: Alabaster dan Lloyd, 1982 disitasi Santoso, 2008

3.3.2

Analisis Sosial-Ekonomi
Analisis sosial-ekonomi digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana

komitmen PT. Arutmin Indonesia dalam mempersiapkan lahan untuk penggunaan
lahan selanjutnya. Peninjauan kondisi sosial-budaya dan ekonomi menggunakan
wawancara dengan kuisioner (Lampiran 2) yang dilakukan terhadap Key Person
dari kalangan masyarakat maupun perusahaan. Hal ini perlu dilakukan mengingat
penggunaan lahan merupakan tanggung jawab bersama.
3.3.3

Strategi Manajemen Lanskap Pasca-Tambang
Pada tahap ini kelas kesesuaian lahan yang didapatkan akan ditentukan

strategi pengelolaannya agar tipe penggunaan lahan bisa sesuai dengan lahannya,
berdasarkan data yang sudah diinventarisasi dan dianalisis. Tahap pertama dari
pengevaluasian ini ialah dengan mensitesis data yang sudah dianalisis dengan
menggunakan metode SWOT. Setelah data disintesis, maka akan didapatkan
strategi yang dibutuhkan oleh pengelola. Strategi ini kemudian digunakan sebagai
acuan dalam mengevaluasi lahan pasca-tambang, yang kemudian dikembangkan,

15 
 
 

sehingga tercipta suatu rencana pengelolaan lanskap pasca-tambang yang sesuai
dan berkelanjutan.
3.3.3.1 Metode SWOT
Menurut Rangkuti (2009) Metode Swot digunakan untuk mengidentifikasi
berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan suatu strategi. Metode ini
didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths), dan
peluang (Opputunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan
(Weakness). dan ancaman (Threats). Proses perumusan strategi selalu berkaitan
dengan pengembangan misi, tujuan, dan kebijakan perusahaan.
Dari metode SWOT ini akan dihasilkan matriks SWOT. Matriks SWOT
merupakan suatu alat yang digunakan untuk menghasilkan empat golongan
alternatif strategi yang dapat menghasilkan 4 strategi kemungkinan alternative
berdasarkan aspek S (strengths), W (weakness), O (oppoturnities), dan T
(threats). Keempat strategi itu antara lain:


SO, yaitu dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan
memanfaatkan peluang sebesar-besarnya



ST, yaitu strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk
mengatasi ancaman



WO, yaitu strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang
ada dengan meminimalkan kelemahan yang ada



WT, yaitu strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive
dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari
ancaman.
Kerangka kerja dengan menggunakan pendekatan analisis SWOT adalah

sebagai berikut:
a. Analisis Penilaian Faktor Internal dan Faktor Eksternal
Penilaian faktor internal (IFE) adalah untuk mengetahui sejauh mana
kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dengan cara mendaftarkan semua
kekuatan dan kelemahan serta memberikan dasar untuk mengidentifikasi dan
mengevaluasi hubungan antara area-area tersebut. Sedangkan penilaian faktor
eksternal (EFE) adalah untuk mengetahui sejauh mana ancaman dan peluang

16 
 
 

yang dimiliki dengan cara mendaftarkan ancaman dan peluang (David, 2008
yang disitasi Rangkuti, 2009). Identifikasi berbagai faktor tersebut secara
sistematis digunakan untuk merumuskan strategi untuk manajemen Kawasan.
b. Penentuan Bobot Setiap Variable
Sebelum melakukan pembobotan faktor internal maupun eksternal,
terlebih dahulu ditentukan tingkat kepentingannya. Setiap faktor internal dan
eksternal diberi nilai berdasarkan tingkat kepentingannya (Tabel 3 dan 4).
Tabel 3. Formulir tingkat kepentingan faktor internal
Simbol

Faktor kekuatan (strength)

Tingkat kepentingan

Faktor kelemahan (weakness)

Tingkat kepentingan

S1
S2
S3
Sn
Simbol
W1
W2
W3
Wn
Sumber: Rangkuti, 2009

Tabel 4. Formulir tingkat kepentingan faktor eksternal
Simbol
O1
O2
O3
On
Simbol
T1
T2
T3
Tn

Faktor peluang (oportunity)

Tingkat kepentingan

Faktor ancaman (threat)

Tingkat kepentingan

Sumber: Rangkuti, 2009

Penentuan bobot dilakukan dengan cara mengajukan identifikasi faktor
strategis internal dan eksternal kepada pihak pengelola. Metode tersebut
digunakan untuk memberikan penilaian terhadap bobot setiap faktor penentu
internal dan eksternal (Tabel 5).

17 
 
 

Tabel 5. Formulir pembobotan faktor internal dan eksternal
Faktor strategis internal/ external

A

B

C

D

E

Total

A
B
C
D
E
Total

Sumber: Rangkuti, 2009

Menurut David (2008) yang disitasi Rangkuti (2009), penentuan bobot
setiap variabel menggunakan skala 1, 2, 3, dan 4. Variabel diberi bobot 1 jika
indikator faktor horizontal kurang penting daripada indikator faktor vertikal.
Variabel diberi bobot 2 jika indikator faktor horizontal sama penting dengan
indikator faktor vertical. Variabel diberi bobot 3 jika indikator faktor horizontal
lebih penting daripada indikator faktor vertical. Bobot 4 diberikan pada variabel
jika indikator faktor horizontal sangat penting daripada indikator faktor internal.
Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap
jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus:

Keterangan:
ai = bobot variable ke-i
xi = nilai variable ke-i
i = 1,2,3,…,n
n = jumlah variabel

c. Penentuan Peringkat (rating)
Penentuan

tiap

variabel

terhadap

kondisi

objek

diukur

dengan

menggunakan nilai peringkat berskala 1-4 terhadap masing-masing faktor
strategis yang dimiliki Kawasan. Nilai dari pembobotan dikalikan dengan
peringkat pada setiap faktor dan semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara
vertikal untuk memperoleh total skor pembobotan (Tabel 6). Total skor
pembobotan berkisar antara 1-4 dengan rata-rata 2,5. Jika total skor pembobotan
IFE di bawah 2,5 maka dapat dinyatakan bahwa kondisi internal lemah,
sedangkan jika berada di atas 2,5 maka dinyatakan kondisi internal kuat,
Demikian juga total pembobotan EFE, jika dibawah 2,5 menyatakan bahwa

18 
 
 

kondisi eksternal lemah dan jika di atas 2,5 menyatakan bahwa kondisi eksternal
kuat (Tabel 7 dan Tabel 8).
d. Penyusunan Alternatif Strategi
Alat yang digunakan untuk menyusun faktor-faktor

strategis

perusahaan adalah matriks SWOT (Tabel 9). Hubungan antara kekuatan dan
kelemahan dengan peluang dan ancaman digambarkan dalam matriks tersebut.
Matriks ini menghasilkan beberapa alternatif strategi sehingga kekuatan dan
peluang dapat ditingkatkan serta kelemahan dan ancaman dapat diatasi.
Tabel 6. Skala penilaian peringkat untuk Matriks Internal Factor Evaluation
(IFE) dan External Factor Evaluation (EFE)
Nilai
Peringkat
1
2

Matriks IFE
Strength (S)
Weakness (W)
Kekuatan
Kelemahan
sangat kecil
sangat berarti
Kekuatan
Kelemahan yang
sedang
berarti

3

Kekuatan
besar

Kelemahan yang
kurang berarti

4

Kekuatan
sangat besar

Kelemahan yang
tidak berarti

Matriks EFE
Opportunity (O)
Threat (T)
Peluang rendah,
Ancaman
respon kurang
sangat besar
Peluang rendah
Ancaman besar
respon rata-rata
Peluang tinggi,
Ancaman
respon di atas
sedang
rata-rata
peluang sangat
Ancaman
tinggi, respon di
sedikit
atas rata-rata

Sumber: Rangkuti, 2009

Tabel 7. Formulir matriks Internal Factor Evaluation (IFE)
Faktor strategis internal
Kekuatan
1.
Kelemahan
1.
Total

Bobot

Rating

Skor (Bobot x Rating)

Sumber: Rangkuti, 2009

Tabel 8. Formulir matriks External Factor Evaluation (EFE)
Faktor strategis External
Peluang
1.
Ancaman
1.
Total
Sumber: Rangkuti, 2009

Bobot

Rating

Skor (Bobot x Rating)

19 
 
 

e. Pembuatan Tabel Rangking Alternatif Strategi
Penentuan prioritas dari strategi yang dihasilkan dilakukan dengan
memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait. Jumlah dari skor pembobotan
akan menetukan rangking prioritas strategi (Tabel 10). Jumlah skor ini
diperoleh dari penjumlahan semua skor di setiap faktor-faktor strategis yang
terkait. Rangking akan ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar
sampai terkecil dari semua strategi yang ada. Perangkingan ini dilakukan
secara subjektif dimana strategi akan berupa usaha memaksimumkan kekuatan
(strengths) dan peluang (opportunities) serta meminimumkan ancaman
(threats) dan kelemahan (weaknesses).
Tabel 9. Matriks SWOT
Eksternal
Internal
Strengths

Weakness

Oppotunities

Threats

Menggunakan kekuatan yang
dimiliki untuk mengambil
kesempatan yang ada

Menggunakan kekuatan yang
dimiliki untuk mentgatasi
ancaman yang dihadapi

Mendapatkan keuntungan dari
kesempatan yang ada untuk
mengatasi kelemahankelemahan

Meminimumkan kelemahan dan
menghindari ancaman yang ada

Sumber: Rangkuti, 2009

Tabel 10. Formulir perangkingan alternatif strategi dari matriks SWOT
Alternatif strategi
SO1
SO2
SOn
WO1
WO2
WOn
ST1
ST2
STn
WT1
WT2
WTn
Sumber: Rangkuti, 2009

Keterkaitan dengan unsur SWOT

Nilai

Rangking

 

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Rona Lanskap
Kawasan Tambang ini secara administratif terletak pada Kecamatan Satui,
Kabupaten Tanah Bumbu dan Kecamatan Kintap Kabupaten Tanah Laut.
Kawasan Tambang Satui PT. Arutmin Indonesia dapat ditempuh melalui jalan
provinsi dengan jarak 165 km dari Ibu Kota Kalimantan Selatan Banjarmasin ke
arah tenggara (Gambar 4).
Kawasan Penilitian difokuskan pada Pit Antasena yang terletak di
Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Bumbu. Kawasan ini memiliki luas areal
434,706 ha (Tabel 11). Pit antasena selesai ditambang pada tahun 2009, dan
sampai sekarang kegiatan reklamasi pada kawasan ini masih terus dilakukan
(Gambar 5). Hal ini merupakan salah satu bentuk tanggung jawab serta kewajiban
PT Arutmin Indonesia terhadap lingkungan.
Tabel 11. Rincian Luas Kawasan Pertambangan PT Arutmin Indonesia, Tambang
Satui, Pit Antasena 2009
No. Kawasan
Luas (Ha) Persentase (%)
1

Areal Penimbunan Tanah Pucuk

5,38

1,24

2

Areal Tambang Aktif

64,37

14,81

3

Areal Telah Ditanami

162,15

37,30

4

Areal Telah Ditata Kembali

68,74

15,81

5

Areal Telah Ditebar Tanah Pucuk

55,01

12,66

6

Areal Tidak Diganggu

12,72

2,93

7

Areal Timbunan Batuan Penutup di Dalam

57,68

13,27

Tambang
8

Jalan Angkut

4,49

1,03

9

Kolam Pengendapan

4,13

0,95

434,70

100,00

Total
Sumber: PT Arutmin, 2011

 
 

Pit Antasena

Gambar 4. Lokasi areal Tambang Satui

21 

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

21

22 
 
 

Sumber: Dokumen PT. Arutmin Indonesia, 2009

Gambar 5. Peta Kawasan Pit Antasena
4.1.1

Topografi
Keadaan permukaan kawasan pasca-tambang Pit Antasena relatif

bergelombang (undulating). Hal ini disebabkan oleh adanya timbunan bahan
galian dari proses penambangan. Secara umum topografi area reklamasi didesain
sesuai dengan standar operasional (SOP) untuk pelaksanaan reklamasi yaitu
sampai kemiringan lereng secara umum maksimal 25% pada daerah timbunan
(dumping area) yang berlereng melalui kegiatan cut and fill. Sedangkan untuk
daerah yang relatif datar akan dibiarkan seperti itu sehingga membentuk topografi
akhir tambang ketika tambang akan ditutup. Titik tertinggi Pit Antasena terletak
pada ketinggian 67 meter dari permukaan laut (m dpl), dan titik terendahnya
berada pada -93 m dpl yang berada di dasar danau tambang. (Gambar 6).
4.1.2

Tanah
Pada kawasan penelitian Tanah Ultisol (podsolik) merupakan jenis tanah

dengan areal yang terluas. Ultisol merupakan tanah yang berkembang lanjut.
Tanah ini bersifat masam dengan kandungan basa pencucian yang ekstensif.
Tanah di wilayah penelitian memliki tekstur lempung liat berpasir dengan
persentase pasir sebesar 52%, debu 4%, dan liat 44%. Dengan tekstur seperti ini,
tanah memiliki perkembangan struktur yang kuat.

 
 

Gambar 6. Peta TopografiAntasena

23 

Sumber: PT. Arutmin Indonesia, 2009

23

24 

 
 

Beradasarkan uji laborotorium sample tanah (AMDAL, 2009), didapatkan
kadar kemasaman tanah di wilayah penelitian cukup masam, dengan pH 4.17.
Sifat kimia tanah di lokasi studi dapat dikarakteristikan dengan kandungan
kapasitas tukar kation (KTK) sebesar 13.81 (me/100 g), C-organik sebesar 1.56%
kandungan nitrogen sebesar 0.19%, dan kandungan P2O5 sebesar 9.37 mg/ 100
gram tanah.

Kandungan Ca-tukar sebesar 3.06 me/ 100 gram tanah, dan

kandungan Mg-tukar sebesar 0.77 me/ 100 gram tanah. Kandungan K-tukar
sebesar 0.19 me/100 gram tanah, kandungan alumunium pada tanah sebesar 6.17
%, dan kandungan Fe tanah sebesar 25361 ppm.
4.1.3 Iklim
Berdasarkan data curah hujan tahun 2001-2011 (Gambar 7) curah hujan
rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Juni dengan nilai 400 mm. Nilai curah hujan
terendah sebesar 150 mm terjadi pada bulan September dengan bulan kering
(