Pendugaan Kandungan Karbon pada Tegakan Akasia (Acacia mangium) dan Sengon (Paraserianthes falcataria) di Lahan Reklamasi Pasca Tambang Batubara PT Arutmin Batulicin, Kalimantan Selatan

(1)

1.1 Latar Belakang

Perubahan iklim merupakan fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan perindustrian. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama Gas Rumah Kaca (GRK) terutama karbondioksida (CO2) yang memiliki kontribusi terbesar pada peningkatan suhu permukaan bumi. Hal inilah yang memicu tuduhan bahwa kerusakan yang terjadi pada hutan tropik telah menyebabkan pemanasan global (Soemarwoto 1992).

Angka degradasi dan deforestasi hutan di Indonesia terus bertambah walaupun lajunya tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya. Data laju deforestasi yang dikutip dari Badan Planologi Departemen Kehutanan terbagi dalam tiga periode yaitu, 1985-1997 sebesar 1,87 juta hektar, 1997-2000 sebesar 2,83 juta hektar dan 1,08 juta hektar pada periode tahun 2000-2005 (FWI 2008). Degradasi dan deforestasi tersebut terjadi akibat beberapa sebab, salah satunya yaitu aktivitas pengembangan pertambangan. Kegiatan pertambangan berpotensi mengubah bentang alam, sehingga diperlukan upaya untuk menjamin pemanfaatan lahan di wilayah pasca kegiatan pertambangan agar berfungsi sesuai peruntukannya. Oleh sebab itu, perusahaan pertambangan wajib melaksanakan reklamasi paling lambat satu bulan setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan pada lahan pasca tambang dan lahan di luar pasca tambang.

Sebagai negara berkembang, Indonesia perlu mempertahankan serta meningkatkan kemampuan lahan dan hutan untuk menyerap GRK. Salah satu cara yang paling efektif dalam penurunan emisi gas rumah kaca yaitu dengan memanfaatkan sifat alami pohon sebagai penyerap CO2 (Murdiyarso 2003). Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan ditanamnya jenis-jenis pohon cepat tumbuh di lahan reklamasi seperti Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Akasia (Acacia mangium) yang dapat menyerap karbon lebih cepat dibandingkan jenis-jenis pohon yang lambat tumbuh. Sengon dapat tumbuh pada berbagai jenis-jenis tanah mulai dari yang drainase jelek hingga baik, pada tanah marginal sampai tanah yang banyak mengandung unsur hara, pada tanah yang memiliki masalah salinitas


(2)

dan pada tanah yang kering atau lembab (Rachman 2009). Begitu pula dengan akasia merupakan salah satu jenis pohon yang memiliki kisaran toleransi tinggi tehadap berbagai macam tipe tanah, sehingga dapat ditanam pada lahan kritis. Kedua jenis tersebut sama-sama dapat tumbuh dikondisi tanah yang tidak baik, namun memiliki perbedaan dalam kemampuan menyerap karbon. Oleh Karena itu, perlu dilakukan studi tentang pendugaan simpanan karbon tegakan Sengon dan tegakan Akasia pada lahan reklamasi pasca tambang batubara dengan pendekatan biomassa.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menduga potensi karbon dalam tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Akasia (Acacia mangium) di lahan reklamasi pasca tambang Batubara.

1.3 Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah memberikan informasi tentang simpanan karbon pada lahan reklamasi pasca tambang batu bara tegakan Akasia (Acacia mangium) dan tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) yang diharapkan dapat menjadi pohon yang digunakan pada lahan reklamasi pertambangan berkaitan dengan kemampuan simpanan karbonnya.


(3)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hutan Dan Reklamasi Hutan

Hutan didefinisikan menurut Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Reklamasi hutan menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 60/Menhut-II/2009 adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai peruntukannya. Kriteria keberhasilan reklamasi hutan yaitu penataan lahannya, pengendalian erosi dan sedimentasinya, serta revegetasi atau penanaman pohonnya. Penataan lahan meliputi pengisian kembali lubang bekas tambang, penataan permukaan tanah, kestabilan lereng, dan penaburan tanah pucuk. Pengendalian erosi dan sedimentasi meliputi pembuatan bangunan konservasi tanah (checkdam, dam penahan, pengendali jurang, drop structure, saluran drainase), penanaman cover crops untuk memperkecil kecepatan air limpasan dan meningkatkan infiltrasi, serta kejadian erosi dan sedimentasi (diamati dari terjadinya erosi alur dan erosi parit). Revegetasi atau penanaman pohon terdiri dari luas areal penanaman, persentase tumbuh tanaman, jumlah tanaman per hektar, komposisis jenis tanaman, dan pertumbuhan atau kesehatan tanaman.

2.2 Sengon (Paraserianthes falcataria L Nielsen)

Paraserianthes falcataria L Nielsen dikenal juga dengan Albizia falcataria (L) Fosberg, Moluccana Mig. falcataria backer, sedangkan berdasarkan nama lokal sengon dikenal dengan nama albisia, jeunjing (Jawa Barat), sengon laut, mbesiah (Jawa Tengah), sengon sebrang (Jawa Tengah dan Jawa Timur), jing laut (Madura) dan tedehu pute (Sulawesi). Sedangkan di Malaysia dan Brunei, sengon dikenal dengan nama puak, batai atau kayu macis (Atmosuseno 1998).

Sengon tergolong kayu ringan dengan berat jenis rata-rata yaitu 0,33 (0,24– 0,49), dengan kelas awet IV–V dan kelas kuat IV–V (Mandang dan Pandit 1997).


(4)

Tanaman Sengon dapat tumbuh baik pada tanah regosol, aluvial, dan latosol yang bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan kemasaman tanah sekitar pH 6–7. Ketinggian tempat yang optimal untuk tanaman sengon antara 0– 800 m dpl. Walapun demikian tanaman sengon ini masih dapat tumbuh sampai ketinggian 1500 m di atas permukaan laut. Sengon termasuk jenis tanaman tropis, sehingga untuk tumbuhnya memerlukan suhu sekitar 18–27 °C. Tanaman sengon membutuhkan batas curah hujan minimum yang sesuai, yaitu 15 hari hujan dalam 4 bulan terkering, namun juga tidak terlalu basah, dan memiliki curah hujan tahunan yang berkisar antara 2000–4000 mm. Kelembaban juga mempengaruhi setiap tanaman. Reaksi setiap tanaman terhadap kelembaban tergantung pada jenis tanaman itu sendiri. Tanaman sengon membutuhkan kelembaban sekitar 50%– 75% (Martawijaya et al. 1989).

Martawijaya et al. (1989) mengatakan bahwa kayu sengon dapat mencapai ketinggian 40 m dengan batang bebas cabang 10–30 m, diameter sampai 80 cm, kulit luar berwarna putih atau kelabu, tidak beralur, tidak mengelupas, tidak berbanir. Ciri umum yang lain pada kayu sengon adalah kayu teras berwarna hampir putih atau coklat muda, sedangkan warna kayu gubal tidak jauh berbeda dengan wana kayu teras. Tajuk pohon sengon berbentuk perisai, agak jarang dan selalu hijau. Tajuk yang jarang ini memungkinkan beberapa jenis tumbuhan bawah untuk dapat hidup di bawahnya. Bentuk daun majemuk , panjang bisa mencapai 40 cm, terdiri dari 8–15 pasang anak tangkai daun, setiap anak tangkai terdiri dari 15–25 daun dan bentuk daun lonjong (Atmosuseno, 1998). Sengon mempunyai berat jenis 0,24–0,29, berserat panjang dan termasuk kedalam kelas kuat IV–V, penyusutan sampai kering tanur 2,5% pada sisi radial dan 5,2% pada sisi tangensial. Sengon mengandung 49,4% selulosa, 26% lignin,15,6% pentosan, 0,6% abu dan 0,2% silika. Kelarutan dalam alkohol-benzen sebesar 3,4%, air dingin 3,4%, air panas 4,3% serta NaOH sebesar 19,6%. Nilai kalor dari kayu sengon sebesar 4,664 kal/g (Martawijaya et al. 1989).


(5)

2.3 Akasia (Acacia mangium Willd)

Habitat terestrial, sebaran di Timur Laut Queensland Australia, Propinsi Barat Papua Nugini, Papua dan Pulau Maluku Timur, ketinggian tempat 500-1000 m dari permukaan laut, musim berbunga dan musim berbuah sepanjang tahun. Habitus pohon, tinggi 500–700 cm. Daun majemuk, terdiri dari petiolus communis, foliolum, petiololus, panjang tangkai (petiolus) 5 cm, panjang helaian (lamina) 14 cm, lebar helaian (lamina) 3,5 cm ; sifat daun : bentuk daun (circum scriptio) lanset (lanceolatus), pangkal daun (basis folii) runcing (acutus), tepi daun (margo folii) rata (integer), ujung daun (apex folii) runcing (acutus), tulang daun (nervatio) sejajar (rectinervis), daging daun kertas (papyraceus), permukaan daun licin (laevis), warna daun hijau tua. Diameter batang 50 cm, permukaan batang kulit menelupas, bentuk batang bulat (teres), arah tumbuh batang tegak (erectus), percabangan batang monopodial.

Sistem perakaran tunggang (radix primeria), bagian-bagian akar : pangkal akar (collum), ujung akar (apex radicis), batang akar (corpus radicis), cabang-cabang akar (radix lateral), serabut akar (fibrilla radicalis), rambut-rambut akar (pilus radicalis), tudung akar (calyptra).

Letak bunga diketiak daun (flos lateralis), tipe bunga untai (amentum), bentuk karangan bunga malai rata, simetris bunga polysimetris, warna bunga kuning. Tipe buah sejati tunggal kering, bentuk buah polong (legumen), panjang 5–7 cm., lebar 3 cm, warna hijau dan coklat tua, permukaan buah tipis, kaku, bagian-bagian buah : kulit luar (testa), kulit dalam/kulit ari (tegmen). Bentuk biji bulat pipih, jumlah biji 7–10 buah, diameter 0,5 cm, warna biji hitam, permukaan biji halus berkilap, bagian-bagian biji : kulit biji (spermodermis), tali pusar (funiculus), inti biji (nucleus seminis).

A. mangium memiliki berat jenis rata-rata 0,61 (0,43–0,66), dengan kelas awet III dan kelas kuat II-III (Mandang dan Pandit 1997). Kayu mangium baik dijadikan sebagai bahan baku pulp karena memiliki kadar selulosa tinggi, lignin sedang, pentosan rendah, ektraktif tinggi dan abu sedang (Siagian et al. 1999). Akan tetapi pembuatan pulp dari kayu mengium ini perlu diperhatikan karena kadar ekstraktifnya tinggi.


(6)

2.4 Biomassa

Biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven ton per unit area (Brown 1997). Menurut Chapman (1976) biomassa adalah berat bahan organik suatu organisme per satuan unit area pada suatu saat, berat bahan organik dinyatakan dengan satuan berat kering (dry weight) atau kadang-kadang dalam berat kering bebas abu (ash free dry weight).

Biomassa dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu, biomassa tumbuhan di atas permukaan tanah (above ground biomass) dan biomassa di bawah permukaan tanah (below ground biomass). Lebih jauh dikatakan biomassa di atas permukaan tanah adalah berat bahan unsur organik per unit luas pada waktu tertentu yang dihubungkan ke suatu fungsi sistem produksi, umur tegakan hutan dan distribusi organik (Kusmana 1993).

Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju pengikatan biomasa disebut produktivitas primer bruto. Hal ini tergantung pada luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu dan ciri-ciri jenis tumbuhan masing-masing. Sisa dari hasil respirasi yang dilakukan tumbuhan disebut produksi primer bersih. Lebih lanjut disebutkan bahwa jumlah biomassa di dalam hutan adalah hasil dari perbedaan antara produksi melalui fotosintesis dengan konsumsi melalui respirasi dan proses penebangan (Whitten et al. 1984).

Pendugaan biomassa hutan dibutuhkan untuk mengetahui perubahan cadangan karbon untuk tujuan lain. Pendugaan biomassa diatas permukaan tanah sangat penting untuk mengkaji cadangan karbon dan efek dari deforestasi dan penyimpanan karbon dalam keseimbangan karbon secara global (Ketterings et al. 2001).

Faktor iklim seperti suhu dan curah hujan merupakan faktor yang mempengaruhi laju peningkatan karbon biomassa pohon (Kusmana 1993). Semakin tinggi suhu akan menyebabkan kelembaban udara relatif semakin berkurang. Kelembaban udara relatif bisa mempengaruhi laju fotosintesis. Hal ini


(7)

disebabkan udara relatif yang tinggi akan memiliki tekanan udara uap air parsial yang lebih tinggi dibanding dengan tekanan udara pasial CO2 sehingga memudahkan uap air berdifusi melalui stomata. Akibat selanjutnya laju fotosintesis akan menurun (Siringo & Ginting 1997diacu dalam Ojo 2003). Selain curah hujan dan suhu yang mempengaruhi besarnya biomassa yang dihasilkan adalah umur dan kerapatan tegakan, komposisi dan struktur tegakan, serta kualitas tempat tumbuh (Satoo & Madgwick 1982).

2.5 Pengukuran Dan Pendugaan Biomassa

Pengukuran biomassa vegetasi dapat memberikan informasi tentang nutrisi dan persediaan karbon dalam vegetasi secara keseluruhan, atau jumlah bagian-bagian tertentu seperti kayu yang sudah terekstraksi. Pengukuran biomassa vegetasi pohon tidaklah mudah, khususnya pada hutan campuran dan tegakan tidak seumur.

Menurut Brown (1997) ada dua pendekatan untuk menduga biomassa dari pohon, yaitu pendekatan pertama berdasarkan pendugaan volume kulit sampai batang bebas cabang yang kemudian dirubah menjadi kerapatan biomassa (ton/ha), sedangkan pendekatan kedua secara langsung dengan menggunakan persamaan regresi biomassa atau lebih dikenal dengan persamaan Allometrik. Pendugaan biomassa pada pendekatan pertama menggunakan persamaan berikut : Biomassa di atas tanah (ton/ha) = VOB x WD x BEF (Brown et al. 1989).

Dimana : VOB = volume batang bebas cabang dengan kulit (m3/ha),

WD = kerapatan kayu (biomassa kering oven (ton) dibagi volume biomassa (m3),

BEF = perbandingan total biomassa pohon kering oven di atas tanah dengan biomassa kering oven volume inventarisasi hutan. Pendekatan kedua penentuan kerapatan biomassa dengan menggunakan persamaan regresi biomassa berdasarkan diameter batang pohon. Dasar dari persamaan regresi ini adalah hanya mendekati biomassa rata-rata per pohon menurut sebaran diameter, dengan menggabungkan sejumlah pohon pada setiap kelas diameter dan menjumlahkan (total) seluruh pohon untuk seluruh kelas diameter.


(8)

Brown (1997) telah membuat model penduga biomassa di hutan tropika dengan model pangkat Y = a Db atau dengan model polynominal Y = a + bD + cD2 berdasarkan zona wilayah hujan kering, lembab dan basah. Model yang disulkan Brown untuk zona lembab adalah:

Y = 1,242 D2– 12,8 D + 42,69 nilai R2 = 84% (untuk model polynomial) Y = 0,118 D2,53 nilai R2 = 97% (untuk model pangkat)

Dimana: Y = Biomassa pohon (kg)

D = Diameter rata-rata pada setiap kelas diameter (cm) R2 = Nilai koefisien determinasi

a, b, c merupakan konstanta

Menurut Chapman (1976) diacu dalam Onrizal (2004) metode pendugaan biomassa di atas tanah dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu :

1. Metode pemanenan yang terdiri atas (a) metode pemanenan individu tanaman, (b) metode pemanenan kuadrat dan (c) metode pemanenan individu pohon yang mempunyai luas bidang dasar rata-rata, dan

2. Metode pendugaan tidak langsung yang terdiri dari (a) metode hubungan

Allometrik, yakni dengan mencari korelasi yang paling baik antara dimensi pohon dan biomassanya, dan (b) crop meter, yaitu dengan cara mengunakan seperangkat alat elektroda yang kedua kutubnya diletakkan di atas permukaan tanah pada jarak tertentu.

Menurut Hairiah et al. (2001), pendugaan biomassa di atas permukaan tanah bisa diukur dengan menggunakan metode langsung (destructive) dan metode tidak langsung (non destructive). Metode tidak langsung digunakan untuk menduga biomassa vegetasi yang berdiameter ≥ 5 cm, sedangkan untuk menduga biomassa vegetasi yang memiliki diameter < 5 cm (vegetasi tumbuhan bawah) menggunakan metode secara langsung.

Brown (1997) menyatakan bahwa pada pendugaan cadangan biomassa atau karbon pada vegetasi, pengukuran diameter bervariasi yaitu untuk daerah kering dengan laju pertumbuhan pohon sangat lambat, biasa digunakan batas minimum 2,5 cm dan untuk daerah yang beriklim basah, batas minimum pengukuran diameter yang digunakan 2,5–10 cm, akan tetapi secara umum biasa digunakan ukuran diameter minimum 5 cm.


(9)

2.6 Kandungan Karbon

Kayu adalah bahan komposit alami yang terdiri dari bahan organik dengan susunan unsur 49% karbon, 6% hidrogen, 44% oksigen dan sedikit unsur lain. Kayu dapat pula disebut sebagai polimer alami mengingat 97-99% bobotnya berupa polimer (90% untuk kayu tropis) (Achmadi 1990).

Umumnya karbon menyusun 45–50% bahan kering dari tanaman. Sejak kandungan karbondioksida meningkat secara global di atmosfer dan dianggap sebagai masalah lingkungan, berbagai ekolog tertarik untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan di hutan. Karbon dioksida (CO2) dan beberapa gas lainnya mempunyai efek rumah kaca, dengan cara mengurangi jumlah radiasi gelombang yang datang dari bumi, yang menyebabkan meningkatnya suhu bumi. Mekanisme perubahan CO2 di atmosfer memicu perubahan suhu global (pemanasan global atau pendinginan global) (Murdiyarso 2003).

Peningkatan penyerapan cadangan karbon dapat dilakukan dengan (a) meningkatkan pertumbuhan biomasa hutan secara alami, (b) menambah cadangan kayu pada hutan yang ada dengan penanaman pohon atau mengurangi pemanenan kayu, dan (c) mengembangkan hutan dengan jenis pohon yang cepat tumbuh Karbon yang diserap oleh tanaman disimpan dalam bentuk biomasa kayu, sehingga cara yang paling mudah untuk meningkatkan cadangan karbon adalah dengan menanam dan memelihara pohon (Rahayu et al. 2004).

2.7 Pendugaan Karbon

Komponen cadangan karbon daratan terdiri dari cadangan karbon di atas permukaan tanah, cadangan karbon di bawah permukaan tanah dan cadangan karbon lainnya. Cadangan karbon di atas permukaan tanah terdiri dari tanaman hidup (batang, cabang, daun, tanaman menjalar, tanaman epifit dan tumbuhan bawah) dan tanaman mati (pohon mati tumbang, pohon mati berdiri, daun, cabang, ranting, bunga, buah yang gugur, arang sisa pembakaran). Cadangan karbon di bawah permukaan tanah meliputi akar tanaman hidup maupun mati, organisme tanah dan bahan organik tanah (Rahayu et al. 2004). Kandungan Karbon (C-stock) dihitung dengan menggunakan pendekatan biomassa dengan asumsi 50 % dari biomassa adalah karbon yang tersimpan (Brown 1997).


(10)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di hutan reklamasi Sengon dan Akasia pada bekas tambang batu bara di Batu Licin, Kalimantan Selatan. Penelitian lapang dilaksanakan pada bulan November sampai dengan Desember 2009.

3.2 Alat dan Bahan 3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, tali tambang/rafia, meteran roll 30m, phiband/pita ukur, parang/golok, kantong plastik, kertas samson/koran, alat tulis dan kamera.

3.2.2. Bahan

Bahan-bahan yang merupakan objek dari penelitian ini adalah areal hutan reklamasi Sengon dan Akasia yang ditanam pada lahan pasca tambang batu bara di Batu Licin, Kalimantan Selatan yang memiliki tahun tanam 2005 dan jarak tanam 3 m x 4 m.

3.3 Metode Pengambilan Data

Data yang diambil dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kategori, yaitu: 1. Data primer

Data primer adalah data secara langsung diukur dari lapangan yang meliputi diameter dan tinggi tegakan sengon dan akasia 1,3 m dari atas tanah, serta berat basah dan berat kering tumbuhan bawah dan serasah pada setiap petak penelitian.

2. Data sekunder

Data sekunder merupakan data penunjang penelitian berupa kondisi umum lokasi penelitian dan data lain yang diperlukan.


(11)

3.4Prosedur Pengumpulan Data di Lapangan 3.4.1. Penentuan dan Pembuatan Petak Penelitian

Petak yang digunakan untuk penelitian adalah petak pada areal bekas tambang batu bara yang telah direklamasi dengan jenis sengon dan akasia. Pada areal tegakan Sengon dibuat 5 petak dengan ukuran 20 m x 20 m. Kemudian setiap sudut-sudut petak tersebut dibuat petak-petak kecil berukuran 2 m x 2 m untuk pengukuran biomasa tumbuhan bawah dan serasah.

20m

20 m

2 m

2 m

Gambar 1 Petak penelitian pendugaan karbon akasia dan sengon di lahan pasca tambang Batu bara

3.4.2. Pendugaan Biomassa Tegakan

Pendugaan biomassa tumbuhan dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan volume seperti yang diusulkan Brown (1997) namun dengan ada beberapa modifikasi mengenai pendugaan dan pengukuran biomassa. Perhitungan volume pohon rata-rata dengan melalui tahapan berikut :

a. Pengukuran diameter dan tinggi pohon untuk mencari volume per pohon. b. Untuk mencari biomassa tegakan per hektar dicari dari volume rata-rata per

hektar dan kerapatan kayunya.

Yn = volume rata-rata per ha x Berat Jenis (BJ)

Yn adalah biomassa per hektar, berat jenis pada Akasia adalah 0,61 dan berat jenis pada Sengon adalah 0,33 (Mandang & Pandit 1997)


(12)

3.4.3 Pengambilan Contoh Tumbuhan Bawah dan Serasah

Pada setiap petak penelitian berukuran 2 m x 2 m dilakukan pengambilan contoh tumbuhan bawah yang meliputi semak belukar yang berdiameter batang kurang dari 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma. Estimasi biomassa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian tanaman (Hairiah & Rahayu 2007). Selain pengambilan tumbuhan bawah, dilakukan pengambilan serasah dalam petak berukuran 2 m x 2 m tersebut kemudian langsung ditimbang di lapangan untuk mendapatkan berat basahnya.

3.4.3. Pengovenan

Pengovenan dilakukan pada suhu 105 º C selama 48 jam. Berat contoh yang dikeringkan untuk bagian cabang, ranting, dan daun sebanyak berat basah contoh bila berat basahnya kurang dari 200 gram, sedangkan apabila berat basahnya lebih dari 200 gram maka berat basah yang digunakan yaitu sebanyak 200 gram (Ismail 2005 dalam

Irawan 2009). Bagian batang, bagian yang dikeringkan adalah perwakilan dari batang yang dekat dengan permukaan tanah (bagian bawah/pangkal), bagian tengah batang (diameter batangnya peralihan antara diameter bagian batang bawah dengan bagian atas dan ujung batang (bagian paling atas dari batang/ berdiameter paling kecil).

3.5 Analisis Data

3.5.1. Pengukuran biomassa tumbuhan bawah dan serasah

Data primer tumbuhan bawah yang diperoleh dihitung berat basahnya dan contoh yang diambil dikeringtanurkan untuk mengetahui berat keringnya. Menurut Haygreen dan Bowyer (1989), kadar air dihitung dengan menggunakan rumus :

BBc - BKc

% KA = x 100 % BKc

Keterangan : % KA = persen kadar air BBc = berat basah contoh BKc = berat kering contoh


(13)

3.5.2. Menghitung berat kering

Berat kering serasah diketahui setelah pengovenan. Selain itu juga, menurut Haygreen dan Bowyer (1982), apabila berat basah diketahui dan kandungan air telah diperoleh dari contoh uji kecil maka berat kering dari masing-masing sampel dapat dihitung dengan rumus :

BB BKT =

1 + % KA 100

Keterangan : BKT = berat kering tanur BB = berat basah

% KA = persen kadar air

Berat kering yang dihasilkan setelah pengovenan dinyatakan dalam satuan gram yang kemudian dikonversi ke kilogram per hektar untuk mengetahui biomassa di atas permukaan tanah yang terdapat pada masing-masing areal.

3.5.3. Pendugaan biomassa tegakan

Pendugaan biomassa menggunakan metode pendekatan volume seperti yang diusulkan Brown namun dengan ada beberapa modifikasi mengenai pendugaan dan pengukuran biomassa. Perhitungan volume pohon rata-rata dengan melalui tahapan berikut:

1. Pengukuran diameter pohon (cm) dan tingginya (m) kemudian dihitung volumenya (m3).

2. Untuk mencari biomassa tegakan per hektar dicari dari volume rata-rata per hektar dan kerapatan kayunya.

Yn = volume rata-rata per ha x Berat Jenis (BJ)

Yn adalah biomassa per hektar, berat jenis Akasia 0,61 dan berat jenis Sengon 0,33 (Mandang dan Pandit 1997).

3.5.4. Potensi Karbon

Karbon diduga melalui biomassa yaitu dengan mengkonversi setengah dari jumlah biomassa, karena hampir 50% dari biomassa pada vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon (Brown 1997) yaitu dengan menggunakan rumus:


(14)

C = Yn x 0,5

Dimana: C = Karbon (ton/ha)

Yn = Biomassa tegakan (ton/ha)

0,5 = faktor konversi dari standar internasional untuk pendugaan karbon

3.6 Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan potensi kandungan karbon di areal reklamasi pasca tambang batu bara yang ditanami akasia dan yang ditanami sengon yang dapat memberikan gambaran mengenai kandungan karbon pada kedua tegakan tersebut.


(15)

4.1 Letak dan Posisi Geografis

Salah satu site tambang yang dimiliki PT Arutmin Indonesia terdapat di Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Tambang ini berada pada 4 wilayah administratif kecamatan yakni Kecamatan Kusan Hulu, Mantewe, Simpang Empat, dan Tanah Bumbu. Site ini merupakan site tambang termuda yang baru beroperasi pada tahun 2003. Secara geografis wilayah PKP2B PT Arutmin Indonesia Tambang Batulicin ini berada pada koordinat 115035’29.80’’– 116005’10.00’’BT dan 03010’38.10’’–03021’21.50”LS (PT AI BTL 2003). Daerah Batulicin dapat dicapai dengan menempuh jalan beraspal dengan letak ± 270 km di sebelah timur kota Banjarmasin. Selanjutnya dari Batulicin ke konsesi Ata dapat ditempuh melalui Jalan Kodeko sampai KM 52 ke arah Barat Laut. Kondisi jalan ini berupa jalan tanah yang diperkeras dengan batu.

Lokasi kegitan penambangan beserta segala kegiatan pendukungnya tersebar dalam 6 Daerah Usaha (DU) yakni Setangga, Ata, Mereh, Mangkalapi, Saring, dan Serongga. Namun, saat ini kegitan produksi baru dilakukan padat 3 lokasi yakni Pit Mangkalapi, Mereh, dan Ata. Daerah deposit Ata memanjang dari utara ke selatan ± 14 km. Wilayah tersebut merupakan bekas areal HPH PT Kodeko.

Di site Batulicin terdapat 3 kontraktor yang beroperasi yaitu Pit Mangkalapi, Sungkai, dan Ata Selatan (PT AI BTL 2003), Pit Ata Utara dan kontraktor pelabuhan. Pit Mangkalapi, Sungkai, dan Ata Selatan dikelola oleh PT Cipta Kridatama, Pit Ata Utara dikelola oleh PT Bokormas Wahana Makmur, sedangkan untuk kontraktor pelabuhan dipercayakan kepada PT Bangun Arta.

4.2 Iklim

Iklim di Batulicin termasuk kedalam iklim tropis basah. Menurut tipe iklim Schmit dan Fergeson, Batulicin memiliki tipe iklim B dengan jumlah bulan kering (curah hujan < 60 mm) sebanyak 1 sampai 2 bulan dalam satu tahun. Karakteristik iklim ini yakni suhu udara selalu tinggi dan hampir seragam sepanjang tahun. Suhu bulanan terendah lebih dari 18oC dengan curah hujan


(16)

selalu tinggi sepanjang tahun dengan total curah hujan tahunan > 1500 mm. Iklim ini dipengaruhi oleh angin munson yang menyebabkan terjadinya pertukaran musim secara periodik antara musim hujan dan musim kemarau (PT AI BTL 2003).

4.2.1 Curah Hujan

Berdasarkan data curah hujan tahun 1983 sampai 2002, perbedaan antara curah hujan rata-rata bulanan tertinggi dan terendah cukup besar, berkisar antara 128 – 275,4 mm. Curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus dan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari (PT AI BTL 2003).

4.2.2 Suhu dan Kelembaban

Pada daerah Batulicin, suhu maksimum rata-rata bulanan mencapai 31,8 o

C yang biasanya terjadi pada bulan Oktober dan November. Sedangkan suhu minimum rata-rata bulanannya terjadi pada bulan Juni dengan suhu 22,7oC. Fluktuasi suhu udara rata-rata bulanan cukup besar yakni berkisar 7,8–9,2oC. Fluktuasi suhu udara rata-rata bulanan tertinggi terjadi pada bulan Agustus dan September. Sedangkan fluktuasi suhu udara rata-rata bulanan terendah terjadi pada bulan Januari (PT AI BTL 2003).

Relative humidity (RH) atau kelembaban relatif udara berkisar antara 82,00% sampai 87,63%. Rata-rata kelembaban relatif bulanan yakni 85,83%. Kelembaban relatif tertinggi terjadi pada bulan Mei sedangkan yang terendah terjadi pada bulan Agustus (PT AI BTL 2003).

4.2.3 Lama Penyinaran Matahari

Rata-rata lama penyinaran matahari di daerah ini yakni 47,93%. Lama penyinaran matahari terendah terjadi pada bulan Januari (41,62%) dan tertinggi pada bulan September (57,80%). Pada bulan Agustus dan September, lama penyinaran matahari rata-rata lebih besar dari 50%, sedangkan pada bulan-bulan lainnya lama penyinaran matahari rata-rata kurang dari 50% (PT AI BTL 2003).


(17)

4.3 Topografi dan Geomorfologi 4.3.1 Keadaan Topografi

Pada wilayah pertambangan di Batulicin, topografinya berombak hingga bergelombang. Ketinggian maksimum mendapai 500 mdpl. Ketinggian terus berubah pada daerah yang mengarah ke Selat Laut (10 mdpl). Pada Selat Laut ini bermuara sungai-sungai kecil dari sekitar tambang. Sungai-sungai yang dimaksudkan yakni Sungai Ata, Sungai Sela, Sungai Batulicin, Sungai Serongga, dan Sungai Dua (PT AI BTL 2003).

4.3.2 Geomorfologi

Di Batulicin, terdapat tiga satuan geomorfologi yakni perbukitan terjal, bergelombang dan pedataran. Di wilayah Ata bagian Barat dan Mereh bagian Timur, geomorfologinya perbukitan terjal dengan ketinggian maksimum 500 mdpl. Kelerengannya cukup terjal dengan kemiringan berkisar antara 50% sampai 60%. Faktor keterjalan geomorfologi ini diantaranya adalah faktor litologi akibat kerasnya batuan dasar. Kondisi geomorfologis yang bergelombang dan relatif datar dijumpai di hampir semua wilayah (PT AI BTL 2003).

Pada wilayah Ata, semakin ke Timur, geomorfologisnya menjadi bergelombang dan relatif datar dengan ketinggian maksimal 110 mdpl. sebaliknya, di wilayah Mereh, semakin ke Barat, geomorfologinya semakin bergelombang dan datar dengan ketinggian relative sama dengan wilayah Ata. Pada wilayah Saring dan Mangkalapi, geomorfologi umumnya bergelombang dan relatif datar dengan ketinggian maksimum 95 mdpl. Wilayah Serongga memiliki geomorfogi dataran rendah dengan ketinggian maksimum 50 mdpl.

Lokasi penambangan pada wilayah Ata bagian Barat memanjang dari Barat Laut ke Tenggara dengan ketinggian antara 40–170 mdpl dengan kemiringan berkisar 50–60%. Sedangkan di Ata bagian Timur, kondisi kemiringannya lebih landai (25–35%).

Di Mereh, lokasi penambangan di bagian Barat lebih landai (20–30%) dan bagian Barat cukup terjal (40–50%). Ketinggian di bagian Utara yakni 0–9 meter dan bagian Selatan 30–110 mdpl. Di sebelah Timur Pegunungan Meratus, terdapat wilayah penamabangan Mangkalapi yang memanjang dari Barat ke Timur dengan


(18)

geomorfologi yang relatif bergelombang dan datar. Ketinggiannya dari permukaan laut berkisar 35 sampai 70 meter dengan persen kemiringan 10–20.

Geomorfologi yang relatif datar dan bergelombang juga terdapat pada wilayah penambangan Saring yang memilki ketinggain 45–80 mdpl. Kemiringan di wilayah ini berkisar antara 15 sampai 25%.

Serongga merupakan wilayah penambangan yang paling dekat dengan pantai. Ketinggainnya 5–50 mdpl dengan kemiringan 4–10%. Di sisi paling Timur, terdapat geomorfologi dataran pantai yang berbatasan langsung dengan Selat Laut. Dalam geomorfologi ini terdapat endapan alluvial dan pasir pantai yang lembar geomorfologisnya mencapai lebih dari 1 km. Geomorfologi ini umumnya berbentuk rawa dengan tumbuhan khas yakni Nipah dan Bakau.

4.4 Jenis dan Karakteristik Tanah

Tanah yang ada pada wilayah Batulicin yakni tanah ultisol dan inceptisol yang menyebar merata. Tanah ini menyebar dari landform teras sungai, daerah lipatan, angkatan, sampai pengunungan entrusi dengan proporsi minor sampai dominan. Morfologi tanah umumnya sudah memperlihatkan perkembangan horizon tanah. Warna tanah pada horizon A berwarna cokelat sampai kekuningan, sedangkan pada lapisan tanah bawah (horizon B) umumnya berwarna abu-abu (PT AI BTL 2003).

4.4.1 Kesuburan Tanah

Berat jenis tanahnya pada umumnya relatif lebih kecil pada lapisan atas dibandingkan tanah lapisan bawah. Sedangkan parameter total pori, air tersedia, dan permeabilitas cenderung berkuran dengan bertambahnya kedalaman tanah. Berikut rata-rata pengukuran parameter fisik tanah pada berbagai kedalaman.

Tabel 1 Parameter fisik tanah rata-rata (PT AI BTL 2003)

Kedalaman BD (g/cc) TPR (%) AWC (%) Permeabilitas (cm/jam)

0-15 1,19 54,4 18,3 3,43

15-30 1,31 48,9 14,5 2,96


(19)

Kandungan bahan organik, N total, dan P tersedia termasuk rendah. Ca (kalsium), K (kalium), Mg (magnesium), Na (natrium), KTK (kapasitas tukar kation), dan kejenuhan basa rendah. Sedangkan kejenuhan Al (almunium) tinggi. Pada semua kedalaman, tingkat kesuburan tanah sama, yakni rendah. Rendahnya kesuburan tanah ini diduga disebabkan oleh keadaan tanah yang berkembang pada daerah ini mempunyai bahan induk yang miskin unsur hara dan kaya akan kuarsa dan besi (PT AI BTL 2003).

4.4.2 Erosi Tanah

Pendugaan erosi dihitung dengan menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation). Besarnya erosi rata-rata adalah 17,8 ton/ha/tahun atau 1,4 mm/ha/tahun (PT AI BTL 2003).

4.5 Rona Awal 4.5.1 Vegetasi

Pada daerah usaha Mereh, terdapat hutan tropika dataran rendah dengan komposisi jenis cukup bervariasi. Spesies yang mendominasi yakni binuang (Octomeles sumatrana), tarap (Arthocarpus communis), mahang (Macaranga hypoleuca), dan laban (Viteks pubescens).

Hutan tropika dataran rendah dengan komposisi bervariasi juga terdapat di wilayah Saring. Spesies yang mendominasi antara lain: malahiyaan (Roton spp.), paning-paning (Quercus benneti), dan kujajing (Garcinia dioica).

Di daerah Ata, terdapat hutan tropika dataran rendah dengan vegetasi tidak bervariasi. Jenis pohon yang ada antara lain meranti merah (Shorea pinanga) dan simpur (Dillenia auvea).

Serangga merupakan hutan dataran rendah dengan komposisi bervariasi. Hutan ini berdampingan dengan komunitas mangrove yang menutupi dataran pantai Selat Laut. Jenis pohon yang mendominasi antara lain mahang (Macaranga hypoleuca), dan tapung-tapung (Viteks pinnata). Daerah Mangkalapi merupakan hutan daratan rendah dengan jenih pohon yang mendominasi yakni meranti putih (Shorea accuminatisima) dan meranti merah (Shorea pinanga).

Di sekitar daerah pertambangan Batulicin juga terdapat hutan tanaman, antara lain akasia (Acacia mangium), sengon (Paraserianthes falcataria), karet


(20)

(Hevea brasiliensis), dan sungkai (Peronema canescens). Menurut keputusan Menteri Pertanian No.54/Kpts/Um/II/1972, terdapat juga vegetasi yang dilindungi di daerah ini yaitu ulin (Eusyderoxylon zwageri), durian (Durio zibethinus),

gaharu (Aquilaria beccasiana), damar putih (Shorea lepidota), dan kayu bawang

(Scorodocarpus bornensis).

4.5.2 Satwa Liar

Di daerah ini terdapat berbagai jenis satwa, seperti jenis burung yaitu kuau

(Argusianus argus), alap-alap kelelawar (Machaeramphus alinus), raja udang (Halcyon sancia), bebek (Erostomus orientalis), Enggang hitam (Anthracoceros malayanus), enggang (Annohinus galeritus), Elang bondol (Haliastus Indus).

Jenis mamalia meliputi kijang, kucing hitam, sekek, landak, trenggiling, babi, musang, berang-berang, hirangan, warik, beruang madu, macan dahan, tikus, dan kukang. Jenis reptil meliputit biawak, bingkarungan/kadal, angmi/bunglon, ular kobra, ular ambalarang, ular sawa, ular pucuk, ular hidi, ular tadung, dan ular mangkaliutan.


(21)

5.1 Hasil

Data primer dikumpulkan dari dua lokasi berbeda yaitu tegakan akasia dan sengon. Data yang didapatkan digunakan untuk menduga potensi karbon di kedua lokasi tersebut.

Gambar 2 Kondisi tegakan akasia (A) dan sengon (B) yang berdampingan

5.1.1 Potensi Volume Tegakan

Pengukuran pohon dilakukan untuk mendapatkan data diameter dan tinggi pohon. Berdasarkan data tersebut maka didapatkan volume tegakan setelah dimasukan pada rumus volume. Hasil perhitungan potensi volume tegakan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.


(22)

Tabel 2 Potensi volume tegakan akasia dan tegakan sengonumur 4 tahun di areal reklamasi batubara PT. Arutmin

Umur (tahun) Jenis tegakan Jarak tanam (m) Luas petak (m2)

Jumlah pohon (N) Kerapatan (N/ha) Volume per hektar (m3/ha)

Volume per pohon

(m3)

Diameter rata-rata

(cm)

4 Akasia 3x4 0,2 248 1240 68,16 0,055 7,25 4 Sengon 3x4 0,2 261 1305 20,78 0,016 3,65

Potensi volume tegakan akasia berbeda dengan potensi volume tegakan sengon. Potensi volume tegakan akasia adalah 68,16 m3/ha, sedangkan pada tegakan sengon memiliki potensi volume 20,78 m3/ha. Tabel 2 menunjukkan jumlah pohon pada tegakan sengon lebih besar dibandingkan dengan tegakan akasia yaitu 248 pohon pada tegakan sengon dan 261 pohon pada tegakan akasia. Hal tersebut dapat terjadi karena pada tegakan sengon kebanyakan pohonnya memiliki percabangan dibawah 1,3 m sehingga percabangannya tersebut dihitung sebagai individu pohon juga. Faktor lain yang mempengaruhi jumlah pohon kedua tegakan tersebut berbeda adalah jumlah kematian pohon yang berbeda-beda pada setiap tegakan.

Gambar 3 Potensi volume tegakan akasia dan sengon (m3/ha) pada lahan pasca tambang batu bara PT. Arutmin


(23)

Jumlah pohon yang berbeda menyebabkan kerapatan pohonnya juga berbeda. Kerapatan pada tegakan akasia 1240 pohon/ha sedangkan pada tegakan sengon kerapatannya lebih tinggi yaitu 1305 pohon/ha. Diameter rata-rata akasia lebih tinggi dibandingkan dengan diameter rata-rata sengon yaitu 7,25 cm dibanding 3,65 cm. Hal tersebut menyebabkan volume per pohonnya juga memiliki nilai yang berbanding lurus dengan diameter rata-ratanya. Akasia memiliki nilai volume per pohonnya yang lebih tinggi yaitu 0,055 m3 sedangkan sengon volume per pohonnya 0,016 m3.

5.1.2 Potensi Biomassa Tegakan

Potensi biomassa tegakan yang diukur adalah yang terdapat di atas permukaan lahan namun belum termasuk biomassa serasah dan tumbuhan bawahnya. Gambar 4 menunjukkan kandungan biomassa tegakan akasia dan sengon.

Gambar 4 Potensi biomassa tegakan akasia dan sengon (m3/ha) pada lahan pasca tambang batu bara PT. Arutmin

Petak pada tegakan akasia memiliki biomassa yang lebih tinggi dibandingkan petak pada tegakan sengon. Potensi tegakan akasia yaitu 41,58 ton/ha sedangkan potensi tegakan sengon sebesar 6,86 ton/ha.


(24)

5.1.3 Potensi Biomassa Tumbuhan Bawah

Potensi biomassa tumbuhan bawah yang terkandung pada masing-masing tegakan memiliki nilai yang berbanding terbalik dengan nilai biomassa tegakannya. Tegakan sengon memiliki potensi biomassa tumbuhan bawah yang lebih besar dibandingkan dengan tegakan akasia. Potensi biomassa tumbuhan bawah pada tegakan sengon adalah 1,76 ton/ha sedangkan potensi tumbuhan bawah tegakan akasia adalah 0,84 ton/ha.

Gambar 5 Potensi biomassa tumbuhan bawah tegakan akasia dan tegakan sengon (ton/ha) pada lahan pasca tambang batu bara PT. Arutmin

Perbedaan keanekaragaman tumbuhan bawah pada tegakan akasia dan sengon dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Kondisi tumbuhan bawah pada tegakan akasia (A) dan tegakan sengon (B)


(25)

5.1.4 Potensi Biomassa Serasah

Potensi biomassa serasah pada masing-masing tegakan berbanding lurus dengan potensi tegakannya. Potensi biomassa serasah pada tegakan akasia memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan potensi biomassa pada tegakan sengon. Pada tegakan akasia terkandung potensi biomassa serasah sebesar 3,51 ton/ha sedangkan pada tegakan sengon potensi biomassa serasahnya sebesar 1,99 ton/ha.

Gambar 7 Potensi biomassa serasah tegakan akasia dan tegakan sengon (ton/ha)pada lahan pasca tambang batu bara PT. Arutmin

5.1.5 Potensi Biomassa Total di Atas Permukaan

Akumulasi biomassa tegakan terdiri dari biomassa tegakan pohon, biomassa tumbuhan bawah serta biomassa serasah, merupakan potensi biomassa total di atas permukaan pada masing-masing jenis tegakan. Biomassa total yang terkandung di atas permukaan tegakan dapat dilihat dalam Tabel 3.

Tabel 3 Potensi biomasssa total di atas permukaan lahan

Jenis Tegakan

Potensi Biomassa (ton/ha)

Tegakan Tumbuhan

Bawah Serasah Total

Akasia 41,58 0,85 3,51 45,93


(26)

Potensi biomassa total di atas permukaan tegakan akasia memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan potensi biomassa total di atas permukaan tegakan sengon. Potensi biomassa total tegakan akasia sebesar 45,93 ton/ha sedangkan potensi biomassa total tegakan sengon sebesar 10,61 ton/ha.

5.1.6 Potensi Simpanan Karbon Tegakan

Pengukuran potensi simpanan karbon meliputi simpanan karbon di atas permukaan yang terdiri dari tegakan pohon, tumbuhan bawah, dan serasah. Penghitungan karbon dilakukan dengan menggunakan studi biomassa yang dikonversi setengah dari jumlah biomassanya, hampir 50% biomassa pada vegetasi hutan tersusun atas unsur karbon (Brown 1997). Perbandingan potensi simpanan karbon tegakan akasia dan sengon dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Potensi simpanan karbon tegakan akasia dan sengon (ton/ha) pada lahan pasca tambang batu bara PT. Arutmin

Pada tegakan akasia potensi simpanan karbonnya sebesar 20,79 ton/ha sedangkan potensi simpanan karbon pada tegakan sengon adalah 3,43 ton/ha. Volume tegakan akasia yang lebih tinggi dibandingkan dengan volume tegakan sengon menyebabkan potensi simpanan karbon pada tegakan akasia lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan simpanan karbon pada tegakan sengon.


(27)

5.1.7 Potensi Simpanan Karbon Tumbuhan Bawah

Hasil perhitungan karbon tumbuhan bawah berbeda dengan tegakannya, pada tegakan sengon tumbuhan bawahnya memiliki potensi simpanan karbon yang lebih besar dibandingkan dengan simpanan karbon tumbuhan bawah pada tegakan akasia. Potensi simpanan karbon tumbuhan bawah pada tegakan sengon sebesar 0,88 ton/ha sedangkan pada tegakan akasia potensi simpanan karbon tumbuhan bawahnya sebesar 0,42 ton/ha (Gambar 9).

Gambar 9 Potensi simpanan karbon tumbuhan bawah pada tegakan akasia dan sengon (ton/ha) pada lahan pasca tambang batu bara PT. Arutmin

5.1.8 Potensi Simpanan Karbon Serasah

Serasah yang merupakan hasil guguran daun dari pohon yang terdapat pada tegakan juga mengandung simpanan karbon karena termasuk biomassa tegakan. Potensi biomassa serasah berbanding lurus dengan potensi karbonnya, sehingga potensi simpanan karbon serasah pada tegakan akasia lebih tinggi dibandingkan dengan potensi simpanan karbon serasah pada tegakan sengon. Potensi simpanan karbon serasah pada tegakan akasia sebesar 1,75 ton/ha sedangkan pada tegakan sengon sebesar 0,99 ton/ha (Gambar 10).


(28)

Gambar 10 Potensi simpanan karbon serasah tegakan akasia dan sengon (ton/ha) pada lahan pasca tambang batu bara PT. Arutmin

5.1.9 Potensi Simpanan Karbon Total di atas Permukaan

Potensi simpanan karbon total di atas permukaan merupakan hasil penjumlahan dari potensi simpanan karbon pada tegakan,tumbuhan bawah, dan serasah pada masing-masing tegakan. Akumulasi tersebut menunjukkan bahwa potensi simpanan karbon total di atas permukaan pada tegakan jenis akasia lebih besar dibandingkan dengan tegakan sengon. Potensi simpanan karbon total di atas permukaan tegakan akasia sebesar 22,96 ton/ha sedangkan pada tegakan sengon sebesar 5,30 ton/ha (Tabel 4).

Tabel 4 Potensi karbon total di atas permukaan lahan

Jenis Tegakan

Potensi karbon (ton/ha)

Tegakan Tumbuhan

Bawah Serasah Total

Akasia 20,79 0,42 1,75 22,96

Sengon 3,43 0,88 0,99 5,30

5.1.10 Hasil Analisis Data Simpanan Karbon

Pengujian model yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan uji statistic ANOVA dengan respon simpanan karbon. Hasil analisis model tersebut didapatkan nilai p-value 0,0001 dimana nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata 5% sehingga hipotesis yang terima H1 (model nyata) dan tolak H0. Dengan


(29)

demikian dapat disimpulkan bahwa model berpengaruh nyata terhadap simpanan karbon.

Hasil analisis data yang diperoleh menunjukan tingkat keterandalan yang nyata yaitu dibuktikan dengan nilai R-Sq = 0.987007%. Nilai koefisien keragaman tersebut menunjukan bahwa keragaman dipengaruhi oleh faktor hutan dan faktor vegetasi pada hutan sebesar 98,70% sedangkan sisanya sebesar 1,3% dipengaruhi oleh faktor di luar model.

Selanjutnya untuk menguji hipotesis pertama yaitu faktor hutan, dapat dilihat pada p-value sumber keragaman hutan. Nilai p-value <.0001dimana nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata 5% yang berarti terima Hipotesis satu (H1) yaitu H1 : setidaknya ada satu αi ≠ 0 (faktor hutan berpengaruh). Dengan demikian dapat disimpulkan hutan akasia dan hutan sengon memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai simpanan karbon pada taraf nyata 5%.

Pengujian hipotesis yang kedua yaitu pengujian hipotesis terhadap faktor vegetasi yang terdapat di dalam hutan akasia dan hutan sengon, dimana di dalam hutan akasia sendiri terdapat vegetasi akasia, serasah, dan tumbuhan bawah, sedangkan untuk hutan sengon terdiri dari vegetasi sengon, serasah, dan tumbuhan bawah. Dari hasil tabel sidik ragam di atas didapatkan hasil p-value untuk pengujian hipotesis ini sebesar kurang dari 0,0001 (p-value<0,0001), dimana nilai tersebut lebih kecil daripada nilai taraf nyata 5%, sehingga hipotesis nol ditolak yaitu H0 : βj(i) = 0 untuk semua i, j (vegetasi pada hutan tertentu tidak berpengaruh). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pada hipotesis kedua terdapat vegetasi pada hutan tertentu yang berpengaruh terhadap respon nilai simpanan karbon.

Karena pada hipotesis kedua terjadi penolakan hipotesis nol (vegetasi pada hutan tertentu memberikan pengaruh nyata terhadap respon pada taraf nyata 5%), maka dapat dilakukan Uji lanjut yaitu dengan uji lanjut Least Significant Differences (Beda Nyata Terkecil/BNT). Bila selisih mutlaknya melebihi nilai BNT, maka dikatakan dua perlakuan tersebut berbeda pada taraf nyata 5%. Berdasarkan hasil output SAS 9.1 untuk uji BNT didapatkan nilai BNT sebesar 0.1282. Nilai mutlak dari selisih rata-rata (simpanan karbon) dapat dilihat pada Tabel 5.


(30)

Tabel 5 Nilai mutlak selisih rata-rata (simpanan karbon) antara dua vegetasi

Vegetasi Akasia Sengon

Akasia Serasah TBawah Sengon Serasah TBawah

Akasia Akasia -

Serasah 3,243181 -

TBawah 3,910308 0,6671278 - Sengon Sengon 2,724104 0,5190766 1,1862044 - Serasah 3,572980 0,3297992 0,3373286 0,8488758 - TBawah 3,628717 0,385536 0,2815918 0.9046126 0,05574 -

Dari tabel di atas diketahui bahwa vegetasi yang memiliki nilai lebih kecil dari BNT yaitu vegetasi serasah sengon dengan tumbuhan bawah sengon, sehingga dapat disimpulkan vegetasi tersebut tidak berbeda nyata pada taraf 5% atau memberikan pengaruh yang sama terhadap nilai simpanan karbon.

5.2 Pembahasan

Pada PT. Arutmin Batu Licin Kalimantan Selatan wilayah kegiatan penambangan beserta segala kegiatan pendukungnya tersebar dalam 6 Daerah Usaha (DU) yakni Setangga, Ata, Mereh, Mangkalapi, Saring, dan Serongga. Namun, saat ini kegiatan produksi baru dilakukan padat 3 lokasi yakni Pit Mangkalapi, Mereh, dan Ata. Daerah deposit Ata memanjang dari utara ke selatan 14 km dan wilayah tersebut merupakan bekas areal HPH PT Kodeko.

Penelitian lapang dilakukan di wilayah Ata. Pada wilayah tersebut terdapat lahan reklamasi yang ditanami oleh tegakan akasia dan sengon pada umur dan jarak tanam yang sama. Namun kandungan yang diserap oleh kedua tegakan kemungkinan memiliki perbedaan, sehingga perlu dilakukan perhitungan kandungan karbon pada kedua tegakan tersebut.

Wilayah tambang yang dilakukan reklamasi tidak hanya mencakup areal lubang tambang (In pit dump) melainkan juga pada areal di luar lubang tambang (Out pit dump) seperti pada areal timbunan batuan galian tambang (over burden), timbunan tanah pucuk (Stock top soil) serta timbunan batubara (ROM stockpile). Tegakan sengon (Paraserienthes falcataria) dan akasia (Acacia mangium) yang menjadi objek penelitian sebelumnya merupakan areal ROM stockpile tambang


(31)

Atayaitu tempat penimbunan batubara sementara sebelum diangkut ke pelabuhan. Pada tahun 2005 areal tersebut kemudian direklamasi dan direvegetasi menggunakan jenis sengon dan akasia di blok tanam yang berbeda.

Pendugaan kandungan karbon yang dilakukan pada tegakan akasia dan sengon di lahan reklamasi memerlukan beberapa parameter pendukung seperti tegakan, tumbuhan bawah dan serasah. Mengacu pada UU RI No.23 Bab IX pasal 41 ayat 1 tentang pihak perusahaan melarang adanya aktifitas yang dapat merusak lahan reklamasi tambang. Hal tersebut yang menjadi landasan penelitian ini tidak menggunakan metode destruktif dalam pendugaan kandungan karbon pada kedua tegakan yang menjadi objek penelitian. Alternatif pendugaan karbon yang dilakukan yaitu dengan pengukuran volume tegakan untuk mendapatkan nilai biomassa yang kemudian dikonversi menjadi nilai karbon tegakan.

Pengambilan data primer yang dilakukan di lapangan menunjukan adanya perbedaan antara jumlah pohon pada tegakan sengon dan akasia. Individu pohon sengon yang ditanam di PT. Arutmin Satui mencapai daya hidup 80% dan sebagian besar (90%) berbatang ganda (multistem) yaitu pohon yang memiliki jumlah 2 sampai tiga batang, kondisi percabangan tersebut sangat mendukung penutupan tanah kritis, serta dengan adanya pertautan cabang maka curahan air hujan terjadi tidak langsung ke tanah, namun disisi lain batang tanaman tersebut berkualitas rendah (Akbar et al. 2005). Selain hal tersebut, pada tegakan akasia ditemukan beberapa titik tanam yang kosong karena individu tersebut mati dan setelah dilakukan penyulaman tanaman tersebut gagal bertahan hidup.

Potensi volume tegakan akasia pada lahan reklamasi lebih besar dibandingkan tegakan sengon. Potensi volume tegakan akasia adalah 68,16 m3/ha, sedangkan pada tegakan sengon memiliki potensi volume 20,78 m3/ha. Hal tersebut dapat disebabkan oleh kemampuan adaptasi jenis akasia lebih baik dibandingkan dengan jenis sengon pada lahan reklamasi tambang yang cenderung memiliki pH tanah yang rendah. Yunus (2011) mengatakan bahwa pH tanah lahan reklamasi PT. Arutmin Batulicin berkisar antara 3,6 sampai 4,16. Tanaman sengon dapat tumbuh baik pada tanah regosol, aluvial, dan latosol yang bertekstur lempung berpasir atau lempung berdebu dengan kemasaman tanah sekitar pH 6-7 (Toni 2010). Tanaman Acacia mangium dapat tumbuh baik pada lahan yang


(32)

mengalami erosi, berbatu dan tanah Alluvial serta tanah yang memiliki pH rendah (4,2) (LITBANG 1994).

Berdasarkan data yang diperoleh yaitu volume tegakan, berat kering tumbuhan bawah dan serasah dapat dilakukan perhitungan untuk mendapatkan nilai biomassa yang kemudian dikonversi menjadi nilai karbon. Biomassa merupakan jumlah total dari bahan organik hidup yang dinyatakan dalam berat kering oven per ton per unit area (Brown 1997). Biomassa juga didefinisikan sebagai total berat atau volume organisme dalam suatu area atau volume tertentu (a glossary by the IPCC 1995 dalam Dandun 2009). Biomassa dapat dikategorikan menjadi dua macam yaitu biomassa biomassa di atas permukaan tanah (below ground biomass) dan di bawah permukaan tanah (above ground biomass).

Hasil pendugaan biomassa tegakan diperoleh hasil potensi biomassa pada tegakan akasia adalah 41.58 ton/ha, sedangkan pada tegakan sengon potensi biomassa tegakannya adalah 6,86 ton/ha. Potensi biomassa pada tegakan akasia memiliki biomassa yang lebih besar dibandingkan potensi biomassa pada tegakan sengon. Hal ini disebabkan karena kemampuan akasia dalam beradaptasi lebih baik daripada sengon pada lahan reklamasi yang memiliki tanah dengan pH rendah yaitu 3,6 sampai 4,16 dan akasia dapat tumbuh baik pada lahan dengan pH 4,2. Kemampuan adaptasi tersebut mempengruhi pertumbuhan vertikal maupun horizontal pada tegakan akasia dan sengon sehingga adanya perbedaan kemampuan adaptasi tersebut juga menyebabkan pertumbuhan akasia lebih besar dibandingkan sengon.

Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap karbondioksida (CO2) dari udara dan mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Biomassa tegakan dipengaruhi oleh beberapa faktor iklim seperti curah hujan, umur tegakan, sejarah perkembangan vegetasi, komposisi dan struktur tegakan (Kusmana 1993). Selain itu jumlah pohon dan kerapatan juga mempengaruhi potensi volume dan biomassa, namun pada hasil pengolahan data penelitian menunjukkan potensi volume dan biomassa pada tegakan akasia lebih besar dibandingkan tegakan sengon walaupun jumlah pohon dan kerapatannya lebih besar tegakan sengon dibandingkan tegakan akasia.


(33)

Pada pendugaan potensi tumbuhan bawah pada kedua tegakan tersebut menunjukkan hasil yang berkebalikan antara potensi biomassa tegakan dengan potensi biomassa tumbuhan bawah. Potensi biomassa tumbuhan bawah pada tegakan akasia lebih kecil dibandingkan dengan tumbuhan bawah pada tegakan sengon. Potensi biomassa tumbuhan bawah pada tegakan akasia adalah 0.85 ton/ha, sedangkan potensi biomassa pada tegakan sengon adalah 1.76 ton/ha. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan berat kering dari tumbuhan bawah pada tegakan akasia dan sengon. Selain itu jumlah tumbuhan bawah pada masing-masing tegakan juga mempengaruhi jumlah potensi biomassa tumbuhan bawah.

Hasil perhitungan potensi biomassa serasah pada penelitian ini diperoleh potensi biomassa serasah pada tegakan akasia adalah 3.51 ton/ha, sedangkan potensi biomassa serasah pada tegakan sengon adalah 1.99 ton/ha. Serasah pada penelitian ini adalah bahan organik mati yang berada di atas tanah mineral yang belum atau sedikit terdekomposisi. Potensi biomassa serasah pada tegakan akasia menunjukkan hasil biomassa yang lebih besar dibandingkan dengan potensi biomassa serasah pada tegakan sengon. Hal ini terjadi karena pengaruh dekomposisi serasah pada tegakan akasia yang lebih lambat menyebabkan keberadaan bahan organik akan terakumulasi dan jumlahnya menjadi tinggi, sedangkan dekomposisi serasah pada tegakan sengon berlangsung lebih cepat sehingga bahan organik yang terakumulasi lebih sedikit jumlahnya. Dekomposisi serasah yang lambat pada tegakan akasia disebabkan oleh rasio C/N yang tinggi dibandingkan dengan serasah sengon (Munawar 1997 dan Maftu’ah 2002 dalam Denny 2004). Selain itu tanaman akasia juga memiliki kandungan lignin yang tinggi dibandingkan dengan tanaman sengon (Hardiyanto et al. 2004).

Hasil penjumlahan biomassa yang terdapat di atas permukaan tanah yang terdiri dari tegakan, tumbuhan bawah dan serasah menunjukkan bahwa potensi biomassa total pada tegakan akasia lebih besar dibandingkan potensi biomassa total tegakan sengon. Potensi biomassa total pada tegakan akasia adalah 45,93

ton/ha, sedangkan potensi biomassa total pada tegakan sengon adalah 10,61

ton/ha. Potensi biomassa total dipengaruhi oleh ketiga potensi biomassa pada masing-masing tegakan yaitu potensi biomassa tegakan, tumbuhan bawah dan


(34)

serasah. Potensi biomassa total tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi serapan karbon pada masing-masing tegakan.

Besarnya potensi simpanan karbon pada masing-masing tegakan dapat ditentukan dengan besarnya biomassa yang terdapat pada maisng-masing tegakan. Pendugaan potensi simpanan karbon dalam suatu tegakan dapat dilihat dari besarnya potensi biomassa yang ada. Biomassa hutan dapat memberikan dugaan sumber karbon pada vegetasi hutan, oleh karena 50% dari biomassa adalah karbon (Brown dan Gaton 1996 dalam Salim 2005). Sumber karbon berdasarkan IPCC guideline (2006) yaitu terdiri dari biomassa atas tanah dan bawah tanah, bahan organik mati dan tanah. Perhitungan simpanan karbon yang dilakukan pada penelitian ini yaitu bersumber dari biomassa atas tanah yang terdiri dari tegakan, tumbuhan bawah dan serasah. Oleh sebab itu, potensi simpanan karbon yang dimiliki oleh masing-masing tegakan adalah setengah dari potensi biomassanya yang berarti juga bahwa peningkatan jumlah biomassa akan meningkatkan jumlah potensi simpanan karbon.

Pada tegakan akasia diperoleh potensi simpanan karbon tegakan yaitu 20,79 ton/ha dan pada tegakan sengon potensi simpanan karbon tegakannya adalah 3,43 ton/ha. Hasil pendugaan potensi simpanan karbon tegakan tersebut menunjukkan bahwa potensi simpanan karbon tegakan akasia lebih besar dibandingkan dengan potensi simpanan karbon tegakan sengon. Hal tersebut dipengaruhi oleh jumlah volume tegakan akasia lebih besar dibandingkan volume tegakan sengon sehingga akan mempengaruhi pula potensi biomassa serta simpanan karbon pada masing-masing tegakan.

Hasil pengolahan data potensi simpanan karbon tumbuhan bawah pada masing-masing tegakan menunjukkan hasil yang berkebalikan dengan perhitungan potensi simpanan karbon tegakan pada masing-masing tegakan. Pada tegakan akasia diperoleh perhitungan potensi simpanan karbon tumbuhan bawah adalah 0.42 ton/ha, sedangkan pada tegakan sengon didapatkan potensi simpanan karbon tumbuhan bawahnya adalah 0.88 ton/ha. Seperti halnya dengan potensi simpanan karbon pada tegakan, potensi simpanan karbon pada tumbuhan bawah juga dipengruhi oleh potensi biomassa tumbuhan bawah pada masing-masing


(35)

tegakan, dimana potensi biomassa tumbuhan bawah pada tegakan akasia lebih rendah dibandingkan potensi biomassa tumbuhan bawah pada tegakan sengon.

Menurut IPCC guideline (2006) dalam Solichin (2010) selain memperhitungkan jumlah potensi simpanan karbon tegakan dan tumbuhan bawah pada masing tegakan, potensi simpanan karbon serasah pada masing-masing tegakan juga perlu diperhitungkan, karena serasah juga merupakan salah satu sumber simpanan karbon diatas permukaan tanah. Hasil pengolahan data penelitian menunjukkan potensi simpanan karbon serasah pada tegakan akasia lebihS besar dibandingkan dengan potensi simpanan karbon serasah pada tegakan sengon. Potensi simpanan karbon serasah pada tegakan akasia adalah 1.75 ton/ha, sedangkan potensi simpanan karbon serasah pada tegakan sengon adalah 0.99 ton/ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa dekomposisi serasah pada tegakan Akasia lebih lambat dibandingkan dengan tegakan sengon yang mempengaruhi jumlah akumulasi serasah dan potensi biomassa serasah pada masing-masing tegakan.

Hasil perhitungan potensi simpanan karbon total di atas permukaan tanah (above ground) merupakan penjumlahan simpanan karbon pada pohon atau tegakan, tumbuhan bawah dan serasah. Pada penelitian ini perhitungan simpanan karbon total dilakukan pada dua tegakan yang berbeda yaitu pata tegakan akasia dan tegakan sengon. Berdasarkan hasil penjumlahan dari tiap-tiap bagian pada masing-masing tegakan diperoleh potensi simpanan karbon total pada tegakan akasia lebih besar dibandingkan dengan potensi simpanan karbon total pada tegakan sengon. Potensi simpanan karbon total pada tegakan akasia adalah 22,96

ton/ha dan potensi simpanan karbon total pada tegakan sengon adalah 5,30 ton/ha. Besarnya potensi simpanan karbon total pada masing-masing tegakan bergantung pada potensi simpanan karbon pada tiap-tiap bagian seperti simpanan karbon pada tegakan, tumbuhan bawah dan serasah. Berdasarkan hasil pengolahan data sebelumnya pada penelitian ini didapatkan potensi simpanan karbon tumbuhan bawah pada tegakan akasia lebih rendah dibandingkan potensi simpanan karbon pada tegakan sengon. Meskipun demikian potensi simpanan karbon total pada tegakan akasia lebih besar dibandingkan dengan potensi simpanan karbon total pada tegakan sengon. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor


(36)

lainya seperti jumlah potensi simpanan karbon yang terkandung pada tegakan dan potensi simpanan karbon serasah pada masing-masing tegakan.

Pengujian keaktualan data pada hasil potensi simpanan karbon baik pada tegakan akasia maupun tegakan sengon dilakukan dengan menggunakan pengujian hipotesis yang telah dibuat. Hasil analisis data yang diperoleh menunjukkan tingkat keterandalan yang nyata dengan nilai R-Sq = 0.987007%. Sedangkan hasil uji hipotesis pertama pada taraf nyata 5% menunjukkan bahwa antara hutan akasia dan hutan sengon berbeda nyata sehingga memberikan simpanan karbon yang berbeda. Berbeda dengan pengujian hipotesis pertama, pada pengujian hipotesis kedua dilakukan pengujian hipotesis terhadap faktor vegetasi yang terdapat di dalam tegakan akasia dan tegakan sengon yaitu vegetasi pohon atau tegakan, serasah dan tumbuhan bawah. Hasil pengujian hipotesis tersebut menunjukkan bahwa terdapat vegetasi pada hutan tertentu yang berpengaruh terhadap respon nilai simpanan karbon.

Berdasarkan pengujian hipotesis yang kedua, maka digunakan uji lanjut dengan Least Significant Difference (Beda Nyata Kecil) untuk mengetahui untuk mengetahui faktor vegetasi mana diantara hutan akasia dan sengon yang memberikan pengaruh yang berbeda. Pengujian Least Significant Difference

membandingkan sepasang perlakuan demi perlakuan dengan mengurangkan rataan dari perlakuan tersebut (Montgomery 1996). Hasil uji Least Significant Difference menunjukkan terdapat satu pasangan vegetasi dalam hutan yang menghasilkan kadar karbon sama yaitu vegetasi serasah sengon dengan tumbuhan bawah sengon, sedangkan pasangan yang lainnya menghasilkan kadar karbon yang berbeda.

Pengujian statistik yang digunakan dalam penelitian ini mampu membuktikan hipotesis yang telah dibuat yaitu terdapat perbedaan potensi pada salah satu variabel pengamatan yang terdiri dari tegakan, tumbuhan bawah dan serasah pada hutan akasia dan hutan sengon. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa vegetasi akasia menghasilkan karbon paling tinggi di antara vegetasi lainnya. Pada dasarnya hasil analisis menunjukkan hasil yang sama dengan kondisi di lapangan.


(37)

6. 1. Kesimpulan

1. Potensi simpanan karbon lahan reklamasi tambang batubara PT Arutmin Batulicin dengan jenis tanaman Akasia (Acacia mangium) adalah 22,96

ton/ha, sedangkan potensi simpanan karbon lahan reklamasi tambang batubara PT Arutmin Batulicin dengan jenis tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) adalah 5,30 ton/ha.

2. Hasil uji statistik menunjukkan vegetasi Akasia menghasilkan kadar karbon paling tinggi di antara vegetasi lainya dan vegetasi serasah pada tegakan Akasia menghasilkan kadar karbon lebih tinggi dibandingkan vegetasi serasah pada tegakan sengon, sedangkan tumbuhan bawah pada tegakan sengon menghasilkan kadar karbon lebih tinggi dibandingkan vegetasi tumbuhan bawah pada tegakan Akasia.

6. 2. Saran

Pemilihan jenis yang baik pada hutan reklamasi akan mendukung kemampuan serapan karbon dalam rangka pemulihan serapan karbon seperti keadaan semula sehingga diperlukan penelitian dengan jenis-jenis lainnya yang dapat meningkatkan serapan karbon hutan reklamasi tambang.


(38)

i

(

Paraserianthes falcataria

) DI LAHAN REKLAMASI PASCA

TAMBANG BATUBARA PT ARUTMIN BATULICIN,

KALIMANTAN SELATAN

BRAMAS ARISTA TH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(39)

DAFTAR PUSTAKA

[LITBANG] Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. 1994. Pedoman Teknis Penanaman Jenis-Jenis Kayu Komersial. http://gatsgarden.com/bibit-tanaman-kayu/bibit-akasia-mangium/akasia-mangium/ [17 September 2011].

[PT AI BTL] PT Arutmin Indonesia Tambang Batulicin. 2003. Analisis Mengenai dampak lingkungan. Batulicin: PT AI BTL.

Achmadi SS. 1990. Diktat Kimia Kayu. Bogor : Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor.

Akbar A, Priyanto E, Basiang HA. 2005. Potensi Tanaman Revegetasi Lahan Reklamasi Bekas Tambang Batubara dalam Mendukung Suksesi Alam. Penelitian Hutan Tanaman 2005;2.3:131-140.

Atmosuseno BS. 1998. Budi Daya, Kegunaan dan Prospek Sengon. Jakarta: Penebar Swadaya.

Brown S. 1997. Estimates Biomass And Biomass Change Of Tropical Forest. FAO Forestry Paper: no.134.

Brown S, Gillespie AJR, Lugo AE. 1989. Biomass Estimation Methods for Tropical Forest with Application to Forest Inventory Data. Forest Science;35:881-902.

Chapman SB. 1976. Production Ecology And Nutrient Budget, in Chapman, SB (eds). Methods In Plant Ecology Ed 2:157-228.

Hairiah K, S.M. Sitompul, Meine van Noordwijk, Cherly, Palm. 2001. Methods for sampling carbon stock above and below ground. Bogor: ICRAF Southeast Asia.

Hardiyanto EB, S Anshori, D Sulistyono. 2004. Early result of site management in

Acacia mangium plantations at PT. Musi Hutan Persada, South Sumatera, Indonesia. Di dalam: E. K. S. Nambiar, J. Ranger, A. Tiarks and T. Toma, editor. Cifor 2004. Prossiding of workshop; Congo July 2001 and Cina 2003. http://www.cifor.cgiar.org/abm/download/pub/ [ 2 Juli 2010 ].

Ketterings QM, Coe R, Noordwijk M, Ambagu Y, Palm CA. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric biomass equation for predicting above ground tree biomass in mixed secondary forests. Forerst Ecology and Management 146:199-209.

Kusmana C. 1993. A Study on mangrove forest management base on ecological data in East Sumatra, Indonesia [disertasi]. Japan: Kyoto University, Faculty of Agricultural.

Mandang YI, Pandit IKN. 1997. Pedoman Identifikasi Janis Kayu di Lapangan.


(40)

Martawijaya A, I Kartasujana, YI Mandang, SA Prawira, K Kadir. 1989. Atlas kayu indonesia. Jilid ke-2. Bogor: Badan penelitian dan pengembangan kehutanan.

Murdiyarso D. 2003. Protocol Kyoto, Implikasinya Bagi Negara Berkembang. Jakarta: Penerbit Kompas.

Ojo. 2003. Potensi simpanan karbon di atas permukaan tanah pada hutan tanaman Jati di KPH Madiun [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Onrizal. 2004. Model penduga biomassa dan karbon tegakan kerangas study kasus di taman nasional danau sentarum kalimantan barat [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Rachman S. 2009. Pendugaan potensi kandungan karbon pada tegakan sengon (Paraserianthes falcataria L Nielsen) di Hutan Rakyat (Studi Kasus Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Rahayu S, Betha Lusiana, Meine van Noordwijk. 2004. Pendugaan cadangan karbon di atas permukaan tanah pada berbagai sistem penggunaan lahan di

Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.

http://www.worldagroforestry.org/sea/ Publications /files/book/BK0089-05/BK0089-05-2.pdf . [ 21 Oktober 2008].

Salim. 2005. Profil kandungan karbon pada tegakan puspa (Schima wallichii

Korth) [tesis]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Satoo T, Madgwick HAS. 1982. Forest Biomass. Martinus Nijhoff/DR W. London: Junk Publisher.

Setiawan D. 2004. Perubahan karakter tanah pada kawasan reklamasi bekas tambang batubara yang di revegetasi selama satu, dua, tiga dan empat tahun dengan sengon dan akasia [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Soemarwoto O. 1992. Peranan hutan tropik dalam hidro-orologi, pemanasan global dan keanekaan hayati. Di dalam Lubis Mochtar, editor. Melestarikan Hutan Tropika: Permasalahan, manfaat dan kebijakannya. Jakarta: Yayasan OborIndonesia. pp. 1-26.

Sutaryo D. 2009. Perhitungan Biomassa sebuah pengantar untuk studi karbon dan perdagangan karbon. http://www.wetlands.or.id/PDF/buku/ Penghitungan% 20 Biomassa.pdf. [20 September 2011].

Toni. 2010. Teknis Budidaya Tanaman Sengon. http://www.kabayan. web.id/2010/12/teknis-budidaya-tanaman-sengon.html. [17 September 2011]. Whitten AJ, Anwar DJ, Hisyam N. 1984. The Ecological of Sumatra. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.

Yunus EP. 2011. Laporan Kegiatan Praktik Kerja Profesi di PT. Arutmin Indonesia Tambang Batulicin Kalimantan Selatan (Februari-April 2011). Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.


(41)

i

(

Paraserianthes falcataria

) DI LAHAN REKLAMASI PASCA

TAMBANG BATUBARA PT ARUTMIN BATULICIN,

KALIMANTAN SELATAN

BRAMAS ARISTA TH

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(42)

i

Paraserianthes falcataria

TAMBANG BATUBARA PT ARUTMIN BATULICIN,

KALIMANTAN SELATAN

BRAMAS ARISTA TH

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(43)

i BRAMAS ARISTA TH. Pendugaan Kandungan Karbon Pada Tegakan Akasia (Acacia mangium) dan Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) di Lahan Reklamasi Pasca Tambang Batubara PT Arutmin Batulicin, Kalimantan Selatan. Di bawah bimbingan BAMBANG HERO SAHARJO.

Indonesia memiliki bentang alam yang luas dan sumber kekayaan alam yang melimpah baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui. Penambangan merupakan kegiatan yang memanfaatkan sumber kekayaan alam tersebut dan berpotensi mengubah bentang alam, sehingga perlu diadakan reklamasi lahan sebagai salah satu upaya untuk menjamin pemanfaatan lahan sesuai peruntukannya. Reklamasi lahan yang dilakukan berupa penanaman jenis pohon yang akan menjadi suatu tegakan hutan di areal bekas tambang. Acacia mangium (Akasia) dan Paraserianthes falcataria (Sengon) merupakan jenis pohon cepat tumbuh yang dapat di tanam pada lahan reklamasi. Selain berfungsi untuk reklamasi lahan, Akasia dan Sengon juga memiliki fungsi sebagai penyimpanan karbon. Tegakan Akasia dan Sengon pada lahan reklamasi memberikan simpanan karbon yang berbeda-beda, sehingga perlu dilakukan studi tentang pendugaan simpanan karbon tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) dan tegakan Akasia (Acacia mangium) pada lahan reklamasi pasca tambang batubara dengan pendekatan biomassa.

Penelitian ini dilakukan di hutan reklamasi Sengon dan Akasia pada pasca tambang batu bara di Batu Licin, Kalimantan Selatan. Bahan yang digunakan adalah areal hutan reklamasi Sengon dan Akasia yang ditanam pada lahan pasca tambang batu bara di Batu Licin, Kalimantan Selatan yang memiliki tahun tanam 2005 dan jarak tanam 3 m x 4 m. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan, tali tambang/rafia, Meteran roll 30 m, phiband/pita ukur, parang/golok, kantong plastik, kertas samson/koran, kamera dan alat tulis. Pada kedua areal tegakan dibuat 5 petak dengan ukuran 20 m x 20 m. Kemudian setiap sudut-sudut petak tersebut dibuat petak-petak kecil berukuran 2 m x 2 m sebanyak 4 petak untuk analisis dan pengambilan vegetasi tumbuhan bawah dan serasah. Hasil perolehan data tersebut diolah melalui pendekatan biomassa yang kemudian dikonversi menjadi simpanan karbon dalam ton/ha. Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap simpanan karbon digunakan analisis dengan menggunakan ANOVA dan Uji lanjut Least Significant Difference (LSD).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa simpanan karbon pada tegakan Akasia lebih besar dibandingkan dengan tegakan Sengon. Simpanan karbon pada tegakan Akasia yaitu 71,8643 ton/ha, sedangkan simpanan karbon pada tegakan Sengon yaitu 31,8853 ton/ha. Perbedaan simpanan karbon pada tegakan tersebut dipengaruhi oleh jenis pohon, tumbuhan bawah dan serasah serta pengaruh perbedaan biomassanya yang ada pada masing-masing tegakan. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa potensi simpanan karbon lahan reklamasi tambang batubara PT Arutmin Batulicin dengan jenis tanaman Akasia (Acacia mangium) adalah 117,8695 ton/ha, sedangkan potensi simpanan karbon lahan reklamasi tambang batubara PT Arutmin Batulicin dengan jenis tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) adalah 31,8853 ton/ha. Vegetasi Akasia menghasilkan kadar karbon paling tinggi di antara vegetasi lainya dan vegetasi serasah pada


(44)

ii tumbuhan bawah pada tegakan Akasia.

Kata Kunci : tambang, reklamasi lahan, simpanan karbon, akasia, sengon.


(45)

v BRAMAS ARISTA TH. Carbon Content of Acacia (Acacia mangium) and Sengon (Paraserianthes falcataria) Estimation in Mine Reclamation at PT. Arutmin Batulicin, South Kalimantan. Under supervised by BAMBANG HERO SAHARJO.

Indonesia has a vast landscape and abundant natural resources, both renewable and non renewable. Mining is an activity that utilizes the natural resources and potentially change the landscape, so that reclamation should be made as an effort to ensure appropriate land use designation. Reclamation of land by planting trees that will be a forest in the former mining area. Acacia (Acacia mangium) and Sengon (Paraserianthes falcataria) are fast growing species that can be planted on landfill. In addition, Acacia and Sengon also has a function as carbon storage. Acacia and Sengon on land reclamation deliver various carbon savings, so a study on the estimation of carbon stocks of Acacia and Sengon on land reclamation after mining of coal with biomass approach is needed.

The research was carried out in reclamation forest of Acacia and Sengon post coal mining in Batulicin, South Kalimantan. Material used is reclamation forest of Acacia and Sengon planted in the post coal mining land in Batulicin, South Kalimantan, since 2005 with 3x4 m planty distance. The tools used in this study including scales, plastic rope, 30 m measuring tape, phiband,

knives/machetes, plastic bags, newspapers, cameras and stationery. In both stands 5 plots measuring with 20x20 m plant spacing is made. Then in each corners of the plots a smaller used plot of 4x2x2 m is made for under storey and litter analysis and sample taking. Data acquired is processed though biomass approach then converted to carbon storage in ton/ha. To study the factors that affecting the carbon storage LSD analysis and ANOVA is used.

Result shown by this study reveal that carbon storage in Acacia study is greater compared with that in Sengon stand. Carbon storage in Acacia stand is 71,864 ton/ha, while carbon storage in Sengon stand is 31,8853 ton/ha. The carbon storage difference in both stand is affected by tree species. Under storey and litter also the effect of biomass difference in each stand. Based on that data can be concluded that carbon storage potential in reclamation site of PT. Arutmin Batulicin with Acacia study is 117,8695 ton/ha, while carbon storage potential in Sengon study is 31,8853 ton/ha. Acacia vegetation resulting highest carbon content among other vegetation and litter vegetation in Acacia produced higher carbon content compared with litter vegetation in Sengon stand, mean while under storey in Sengon forest resulting higher carbon content compared with under storey vegetation in Acacia stand.


(46)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pendugaan Kandungan Karbon pada Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Tegakan Akasia ( Acacia mangium) di Lahan Reklamasi Pasca Tambang Batubara PT. Arutmin Batulicin, Kalimantan Selatan adalah benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lambaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2012

Bramas Arista Tri Hanggara NIM. E44050516


(47)

i Batulicin, Kalimantan Selatan

Nama : Bramas Arista TH

NRP : E44050516

Departemen : Silvikultur

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr. NIP. 19641110 199002 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikultur,

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP. 19601024 198403 1 009


(48)

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan kasih sayangNya sehingga skripsi yang berjudul Pendugaan Kandungan Karbon pada Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Tegakan Akasia ( Acacia mangium) di Lahan Reklamasi Pasca Tambang Batubara PT. Arutmin Batulicin, Kalimantan Selatandapat diselesaikan. Hutan di Indonesia memiliki potensi yang besar dalam mengurangi Gas Rumah Kaca (GRK), oleh karena itu diharapkan pemilihan jenis tanaman yang tepat pada lahan reklamasi dapat memulihkan fungsi penyerapan karbon pada lahan reklamasi tersebut.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan dan pengembangna lebih lanjut. Penulis berharap karya ini tidak mengurangi hakikat kebenaran ilmiahnya dan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.

Bogor, April 2012 Penulis


(1)

45

Lampiran 7. Hasil Uji Least Significance Difference (LSD) atau Beda Nyata Terkecil (BNT)

Hasil uji BNT adalah sebagai berikut :

Alpha : 0,05

Error Degrees of Freedom : 24

Error Mean Square : 0.028922

Number of Mean : 2

Least Significant Difference : 0,1282

Berdasarkan hasil di atas, BNT adalah sebesar 0,1282, Sehingga, jika nilai mutlak selisih rata-rata sepasang vegetasi dalam hutan lebih besar dari 0,1282, maka pasangan tersebut memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kadar karbon (pada taraf nyata 5%),

Hasil Perbandingan Vegetasi :

Faktor vegetasi Faktor hutan N Akar karbon

Rata-rata Standar deviasi

Akasia Akasia 5 4.55846080 0.09972341

Serasah Akasia 5 1.31527980 0.17390746

Tbawah Akasia 5 0.64815200 0.05383816

Sengon Sengon 5 1.83435640 0.28271937

Serasah Sengon 5 0.98548060 0.17286421


(2)

46

Lampiran 8. Dokumentasi penelitian

Tegakan Sengon Tegakan Akasia

Tumbuhan bawah sengon Tumbuhan bawah akasia


(3)

47

Pengukuran diameter pohon


(4)

i

RINGKASAN

BRAMAS ARISTA TH. Pendugaan Kandungan Karbon Pada Tegakan Akasia (Acacia mangium) dan Tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) di Lahan Reklamasi Pasca Tambang Batubara PT Arutmin Batulicin, Kalimantan Selatan. Di bawah bimbingan BAMBANG HERO SAHARJO.

Indonesia memiliki bentang alam yang luas dan sumber kekayaan alam yang melimpah baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui. Penambangan merupakan kegiatan yang memanfaatkan sumber kekayaan alam tersebut dan berpotensi mengubah bentang alam, sehingga perlu diadakan reklamasi lahan sebagai salah satu upaya untuk menjamin pemanfaatan lahan sesuai peruntukannya. Reklamasi lahan yang dilakukan berupa penanaman jenis pohon yang akan menjadi suatu tegakan hutan di areal bekas tambang. Acacia mangium (Akasia) dan Paraserianthes falcataria (Sengon) merupakan jenis pohon cepat tumbuh yang dapat di tanam pada lahan reklamasi. Selain berfungsi untuk reklamasi lahan, Akasia dan Sengon juga memiliki fungsi sebagai penyimpanan karbon. Tegakan Akasia dan Sengon pada lahan reklamasi memberikan simpanan karbon yang berbeda-beda, sehingga perlu dilakukan studi tentang pendugaan simpanan karbon tegakan Sengon (Paraserianthes falcataria) dan tegakan Akasia (Acacia mangium) pada lahan reklamasi pasca tambang batubara dengan pendekatan biomassa.

Penelitian ini dilakukan di hutan reklamasi Sengon dan Akasia pada pasca tambang batu bara di Batu Licin, Kalimantan Selatan. Bahan yang digunakan adalah areal hutan reklamasi Sengon dan Akasia yang ditanam pada lahan pasca tambang batu bara di Batu Licin, Kalimantan Selatan yang memiliki tahun tanam 2005 dan jarak tanam 3 m x 4 m. Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan, tali tambang/rafia, Meteran roll 30 m, phiband/pita ukur, parang/golok, kantong plastik, kertas samson/koran, kamera dan alat tulis. Pada kedua areal tegakan dibuat 5 petak dengan ukuran 20 m x 20 m. Kemudian setiap sudut-sudut petak tersebut dibuat petak-petak kecil berukuran 2 m x 2 m sebanyak 4 petak untuk analisis dan pengambilan vegetasi tumbuhan bawah dan serasah. Hasil perolehan data tersebut diolah melalui pendekatan biomassa yang kemudian dikonversi menjadi simpanan karbon dalam ton/ha. Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap simpanan karbon digunakan analisis dengan menggunakan ANOVA dan Uji lanjut Least Significant Difference (LSD).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa simpanan karbon pada tegakan Akasia lebih besar dibandingkan dengan tegakan Sengon. Simpanan karbon pada tegakan Akasia yaitu 71,8643 ton/ha, sedangkan simpanan karbon pada tegakan Sengon yaitu 31,8853 ton/ha. Perbedaan simpanan karbon pada tegakan tersebut dipengaruhi oleh jenis pohon, tumbuhan bawah dan serasah serta pengaruh perbedaan biomassanya yang ada pada masing-masing tegakan. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa potensi simpanan karbon lahan reklamasi tambang batubara PT Arutmin Batulicin dengan jenis tanaman Akasia (Acacia mangium) adalah 117,8695 ton/ha, sedangkan potensi simpanan karbon lahan reklamasi tambang batubara PT Arutmin Batulicin dengan jenis tanaman Sengon (Paraserianthes falcataria) adalah 31,8853 ton/ha. Vegetasi Akasia menghasilkan kadar karbon paling tinggi di antara vegetasi lainya dan vegetasi serasah pada


(5)

ii tegakan Akasia menghasilkan kadar karbon lebih tinggi dibandingkan dengan vegetasi serasah pada tegakan sengon, sedangkan tumbuhan bawah pada hutan sengon menghasilkan kadar karbon lebih tinggi dibandingkan dengan vegetasi tumbuhan bawah pada tegakan Akasia.

Kata Kunci : tambang, reklamasi lahan, simpanan karbon, akasia, sengon.


(6)

v

SUMMARY

BRAMAS ARISTA TH. Carbon Content of Acacia (Acacia mangium) and Sengon (Paraserianthes falcataria) Estimation in Mine Reclamation at PT. Arutmin Batulicin, South Kalimantan. Under supervised by BAMBANG HERO SAHARJO.

Indonesia has a vast landscape and abundant natural resources, both renewable and non renewable. Mining is an activity that utilizes the natural resources and potentially change the landscape, so that reclamation should be made as an effort to ensure appropriate land use designation. Reclamation of land by planting trees that will be a forest in the former mining area. Acacia (Acacia mangium) and Sengon (Paraserianthes falcataria) are fast growing species that can be planted on landfill. In addition, Acacia and Sengon also has a function as carbon storage. Acacia and Sengon on land reclamation deliver various carbon savings, so a study on the estimation of carbon stocks of Acacia and Sengon on land reclamation after mining of coal with biomass approach is needed.

The research was carried out in reclamation forest of Acacia and Sengon post coal mining in Batulicin, South Kalimantan. Material used is reclamation forest of Acacia and Sengon planted in the post coal mining land in Batulicin, South Kalimantan, since 2005 with 3x4 m planty distance. The tools used in this study including scales, plastic rope, 30 m measuring tape, phiband,

knives/machetes, plastic bags, newspapers, cameras and stationery. In both stands 5 plots measuring with 20x20 m plant spacing is made. Then in each corners of the plots a smaller used plot of 4x2x2 m is made for under storey and litter analysis and sample taking. Data acquired is processed though biomass approach then converted to carbon storage in ton/ha. To study the factors that affecting the carbon storage LSD analysis and ANOVA is used.

Result shown by this study reveal that carbon storage in Acacia study is greater compared with that in Sengon stand. Carbon storage in Acacia stand is 71,864 ton/ha, while carbon storage in Sengon stand is 31,8853 ton/ha. The carbon storage difference in both stand is affected by tree species. Under storey and litter also the effect of biomass difference in each stand. Based on that data can be concluded that carbon storage potential in reclamation site of PT. Arutmin Batulicin with Acacia study is 117,8695 ton/ha, while carbon storage potential in Sengon study is 31,8853 ton/ha. Acacia vegetation resulting highest carbon content among other vegetation and litter vegetation in Acacia produced higher carbon content compared with litter vegetation in Sengon stand, mean while under storey in Sengon forest resulting higher carbon content compared with under storey vegetation in Acacia stand.


Dokumen yang terkait

Perencanaan Lanskap Area Rekreasi Pada Lahan Pasca Tambang Batubara Di Pit 1 Mangkalapi PT Arutmin Indonesia Tambang Batulicin, Kalsel

1 15 222

Perencanaan Lanskap Pasca Tambang Batubara PT Arutmin Indonesia untuk Ekowisata di Batulicin Kalimantan Selatan

10 27 208

Perencanaan reklamasi tambang batubara dalam kawasan hutan untuk pengembangan wilayah desa lingkar tambang (studi kasus PT Arutmin Indonesia tambang batulicin Kalimantan Selatan)

0 5 153

Studi Pertumbuhan Tanaman Revegetasi Pasca Tambang Batu Bara di PT Arutmin Indonesia Site Batulicin Kalimantan Selatan

0 5 38

Potensi Simpanan Karbon pada Tegakan Revegetasi Lahan Pasca Tambang PT Jorong Barutama Greston, Kalimantan Selatan.

0 8 35

Uji Efektivitas Mikoriza Arbuskula Terhadap Pertumbuhan Bibit Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium) dan Suren (Toona surenii) pada Tanah Marginal

0 6 86

Uji Efektivitas Mikoriza Arbuskula Terhadap Pertumbuhan Bibit Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium) dan Suren (Toona surenii) pada Tanah Marginal

0 0 14

Uji Efektivitas Mikoriza Arbuskula Terhadap Pertumbuhan Bibit Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium) dan Suren (Toona surenii) pada Tanah Marginal

0 0 2

Uji Efektivitas Mikoriza Arbuskula Terhadap Pertumbuhan Bibit Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium) dan Suren (Toona surenii) pada Tanah Marginal

0 0 3

Uji Efektivitas Mikoriza Arbuskula Terhadap Pertumbuhan Bibit Sengon (Paraserianthes falcataria), Akasia (Acacia mangium) dan Suren (Toona surenii) pada Tanah Marginal

0 0 15